• Tidak ada hasil yang ditemukan

STRATEGI COPING UNTUK MENGHADAPI KONFLIK PEKERJAAN- KELUARGA DALAM MENCAPAI KINERJA OPTIMAL: SEBUAH AGENDA PENELITIAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "STRATEGI COPING UNTUK MENGHADAPI KONFLIK PEKERJAAN- KELUARGA DALAM MENCAPAI KINERJA OPTIMAL: SEBUAH AGENDA PENELITIAN"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

STRATEGI COPING UNTUK MENGHADAPI KONFLIK

PEKERJAAN-KELUARGA DALAM MENCAPAI KINERJA OPTIMAL:

SEBUAH AGENDA PENELITIAN

Sih Darmi Astuti astuti_sda@yahoo.com

Fakultas Ekonomi Universitas Stikubank Semarang

ABSTRAK

Tuntutan yang meningkat terhadap manajemen untuk memahami kehidupan bekerja dan berkeluarga telah berubah. Dua hal tersebut tidak dapat dipisahkan, tentunya pada pasangan suami istri yang keduanya bekerja telah meningkatkan hubungan ketergantungan antara pekerjaan dan keluarga. Di sisi lain, menurut Teori Konservasi Sumber Daya bahwa seseorang akan berusaha untuk memperoleh dan menjaga sumber daya yang dimilikinya. Sumber daya disini meliputi sasaran, kondisi (status pernikahan, jabatan), karakter pribadi (nilai diri), dan energy (waktu, uang, pengetahuan). Ancaman terhadap kehilangan yang sesungguhnya dari ketiga sumber daya tersebut akan mengakibatkan “keadaan negatif”, misalnya mengalami stress/konflik (konflik pekerjaan-keluarga), ketidakpuasan kerja, depresi atau tekanan. Dalam bekerja, masing-masing individu memiliki tujuan/pengharapan yang hendak dicapai. Untuk itu, individu akan mengerahkan segenap usahanya dengan mengerahkan potensi yang ada guna mengatasi konflik yang muncul, dengan memilih strategi coping yang tepat, sehingga akan dapat mencapai kinerja sesuai tanggung jawabnya (in-role), sampai menemukan kepuasan kerja. Seseorang akan merasa puas terhadap hasil kerjanya bila ada penghargaan dari organisasi. Hal ini akan mendorong untuk membantu rekan kerjanya menyelesaikan pekerjaan, sebagai wujud kinerja extra-role atau organizational citizenship behavior (OCB). Kinerja extra-role merupakan perilaku sukarela dari seorang karyawan untuk mau melakukan tugas atau pekerjaan di luar tanggung jawab atau kewajibannya untuk kemajuan organisasi. Kinerja extra-role akan mudah tercipta bila ada rasa kebersamaan (kohesivitas) dari para anggota organisasi yang terlibat.

Gagasan ini masih terbatas pada kajian literatur, sehingga membutuhkan pembuktian secara empiris agar mendapat bukti yang dapat menjadi referensi bagi pengambil kebijakan di organisasi.

(2)

COPING STRATEGY IN DEALING WITH WORK FAMILY CONFLICT TO

ACHIEVE OPTIMUM PERFORMANCE: A RESEARCH AGENDA

ABSTRACT

Increased demands on management to understand the work and family life has changed. Two things can not be separated, of course, in which both spouses work has increased the dependency relationship between work and family. On the other hand, according to Resource Conservation Theory that someone will try to acquireand maintain its resources. Resources here include targeted, condition (maritalstatus, occupation), personal character (selfworth), and energy (time, money, knowledge). The real threat to the loss of all three of these resources will result in "negative circumstances", such as experiencing stress/conflict (work-family conflict), job dissatisfaction, depression or stress. In their work, each individual has a goal/hope to be achieved. To that end, the individual will mobilize all its efforts to mobilize the existing potentials in order to resolve conflicts that arise, by selecting the appropriate coping strategies, so it will be able to achieve the appropriate performance responsibility (in-role), to find job satisfaction. Someone will feel satisfied with their work when there are awar ds from the organization. This will encourage colleagues to help finish the job, as a form of extra-role performance or organizational citizenship behavior (OCB). Extra-roleperformance is a voluntary behavior of an employee to want to perform a task or work outside the responsibility or obligation for the betterment of the organization. Extra-role performance would be straightforward if there is a sense of togetherness (cohesiveness) of the members of the organizations involved.This idea is still limited to the study of literature, thus requiring the empirical evidence in order to get evidence that can be areference for policy makers in the organization.

Keywords: coping strategies, work-family conflict, job satisfaction, reward system, cohesiveness, performance

I. Pendahuluan

Konsep ini dilandasi oleh Teori Konservasi Sumber Daya sebagai suatu teori yang mengintegrasikan model stres (Hobfoll, 1989) sebagai suatu kerangka alternatif untuk memahami konflik pekerjaan-keluarga. Menurut teori ini, seseorang akan berusaha untuk memperoleh dan menjaga sumber daya

(3)

ketidakpuasan kerja, depresi atau tekanan.

Teori ini merupakan sebuah langkah penting dalam menteorikan konflik pekerjaan-keluarga karena teori ini menjelaskan mengapa orang bertindak ketika berkonfrontasi dengan sebuah konflik dan tidak hanya ketika mengalami tekanan. Akan tetapi, teori ini tidak menjelaskan kapan sumber daya tertentu dianggap cukup dan kapan orang akan bertindak. Teori ini secara jelas merangkum gagasan bahwa seseorang mencoba mencapai sebuah “keseimbangan” atau keadaan “homeostatis” (Canon, 1954). Setiap orang bisa berbeda dalam prioritas pekerjaan atau keluarga, dan pengorbanan yang bisa mereka buat. Teori konservasi sumber daya menyatakan bahwa hal tersebut dikarenakan adanya perbedaan sumber daya, akan tetapi sampai hal tersebut argumen bisa berlaku. Teori ini tidak membahas interaksi pasangan dan terus memusatkan pada individu sebagai unit analisis.

Konflik pekerjaan-keluarga pada gilirannya akan menyebabkan kelelahan emosional karena karena sumber-sumber

hilang dalam proses menyeimbangkan peran baik pada pekerjaan maupun keluarga. Berdasarkan teori konservasi sumber daya, ketika seseorang kehabisan energi emosionalnya, maka standar kinerja dan kepuasan kerja yang diharapkan akan hilang atau tidak tercapai.

Konsep kinerja yang dilakukan dengan menggunakan pendekatan dan perspektif positif pada individu, dan suasana positif dimana individu merasa diperlakukan secara adil oleh organisasi, akan lebih memunculkan rasa saling percaya, dan sebagai akibatnya akan menciptakan kinerja yang melebihi harapan/ekspektasi, ini yang disebut dengan kinerja ekstra, sebagai wujud munculnya kinerja yang optimal.

II. Problem Focus Coping dan

Konflik Pekerjaan-Keluarga

(4)

menghadapi kesulitan hidup mungkin lebih mudah menghindari konflik pekerjaan-keluarga. Lazarus dan Folkman (1984) menggambarkan penanganan berfokus masalah sebagai sebuah pertahanan melawan lingkungan penyebab stres yang umumnya mengarah pada pendefinisian masalah, mencari solusi alternatif, menitik beratkan alternatif solusi dalam hal solusi biaya solusi dan manfaat, memilih diantaranya, dan bertindak. Penanganan berfokus masalah telah menunjukkan sebagai cara yang efektif dalam mengelola masalah pekerjaan-keluarga (Rotondo, Carlson & Kincaid, 2002). Dengan mengambil langkah-langkah penting yang efisien dalam memenuhi tanggung jawab di rumah dan pekerjaan, para pegawai akan memiliki banyak waktu terlibat dalam kedua peran dan tidak kehabisan energi dengan secara efektif menghadapi tantangan dalam kedua peran. Dengan demikian, penannganan berfokus masalah secara teoritis membantu menghindari konflik pekerjaan-keluarga.

Argumen lain yang dikemukakan oleh Hobfoll (1989) bahwa pegawai biasanya termotivasi untuk menginvestasikan beberapa sumberdaya

dalam usahanya untuk mencapai peningkatan dalam usahanya untuk sumberdaya. Dengan menggunakan gaya penanganan berfokus masalah, para pegawai menginvestasikan waktu dan energi mereka dalam merencanakan dan menghadapi tantangan dalam pekerjaan dan keluarga mereka untuk lebih mudah memenuhi tuntutan peran.

III. Konflik Pekerjaan-Keluarga

dan Kinerja in-role

Keseimbangan kerja-keluarga merupakan topik yang menarik, yang relevan dengan paradigma karir ganda saat ini. Bagi pasangan yang tidak dapat mencapai keseimbangan kerja-keluarga akan muncul masalah konflik pekerjaan-keluarga. Konflik pekerjaan-keluarga yang berlangsung terus-menerus akan berdampak pada kelelahan fisik dan mental bagi pelakunya. Sejumlah

penelitian mendokumentasikan hubungan antara konflik

(5)

pria (Neal & Hammer, 2006; Etzion & Bailyn, 1994).

Greenhaus et.al. (1999) mengidentifikasikan 3 (tiga) tipe utama mengenai konflik pekerjaan-keluarga yaitu konflik berdasarkan waktu (time based conflict), konflik berdasarkan ketegangan (strain based conflict), dan konflik berdasarkan perilaku (behaviour based conflict). Konflik berdasar waktu adalah konflik yang terjadi karena waktu yang digunakan dalam suatu peran tidak dapat digunakan untuk memenuhi peran yang lain, sehingga akan berpengaruh terhadap kinerja individu yang bersangkutan, dalam hal ini bisa dilihat dari kinerjanya yaitu produktivitas yang menurun, turunnya loyalitas, kemangkiran, dan lain-lain. Konflik berdasarkan ketegangan (strain based conflict) terjadi jika ketegangan yang dihasilkan dalam satu peran berpengaruh pada peran yang lain. Misalnya seorang yang berprofesi manajer atau seseorang yang mempunyai jabatan dengan tanggung jawab yang besar, maka akan berusaha mengoptimalkan kinerjanya, disisi lain pada saat yang sama tekanan dari perannya di rumah tangga juga menuntutnya, sehingga peran salah satu pasti akan terabaikan. Konflik

berdasarkan perilaku (behaviour conflict) menunjuk pada ketidak cocokan pola tingkah laku yang diinginkan oleh perannya dalam pekerjaan dan keluarga. Misalnya seseorang yang berprofesi manajer diharuskan untuk mandiri, obyektif dan tidak memihak serta agresif. Di sisi lain, para anggota keluarga mungkin mengharapkan untuk bersikap lembut, hangat, tidak emosional dan manusiawi dalam hubungan dengan mereka. Jika seseorang tidak bisa mengubah sikap saat memasuki peran yang berbeda maka kemungkinan mereka akan mengalami konflik ini. Dampak dari konflik-konflik tersebut jelas akan berpengaruh terhadap kinerja mereka. Semakin tinggi konflik pekerjaan-keluarga, akam menyebabkan rendahnya kinerja seseorang.

(6)

menantang juga akan menciptakan frustrasi dan perasaan gagal. Pegawai pada umumnya akan merasa senang dan puas pada kondisi yang beban tantangannya sedang/moderat, sehingga akan dapat mencapai kinerja yang ditargetkan. (Katzel, Thompson, & Guzzo, 1992)

Pegawai yang mengalami konflik ini cenderung mempunyai tingkat kemangkiran/ketidakhadiran yang tinggi, kepuasan kerja dan motivasi yang rendah dan tidak jarang pula yang keluar dari organisasi. Hal ini sejalan dengan pendapat Gibson dan kawan-kawan (1997) yang mengatakan bahwa konflik dalam pekerjaan menjadi penyebab terjadinya konflik keluarga. Pegawai yang tidak dapat menyelesaikan konflik ini seringkali terpaksa meninggalkan organisasi atau bekerja pada tingkat yang tidak efektif. Pada kasus lain, individu dan organisasi bahkan tidak terurus karena konflik antara pekerjaan dan keluarga tidak terselesaikan. Tentu saja hal ini akan berdampak pada tanggung jawabnya sebagai pegawai dalam memenuhi target kinerjanya (in-role).

IV. Konflik Pekerjaan-Keluarga,

Kepuasan Kerja, dan Religios

Coping

Pengaruh positif dari agama secara substansial ditemukan dapat mengatasi kesulitan/masalah. Kegiatan keagamaan terutama do’a biasanya dianggap sebagai cara mengatasi masalah dan pertumbuhan pribadi (Folkman, et al, 1986). Idler (1987) menemukan bahwa depresi akan berkurang ketika seseorang berdo’a, baik secara individu maupun berdo’a bersama. Do’a memungkinkan seseorang dalam menghadapi masa depan dengan optimis, memiliki kontrol yang lebih baik, lebih percaya diri, harga diri, dan merasa memiliki tujuan (Dull & Skolan, 1995).

(7)

beragama islam. Makna agama mungkin berbeda antara kedua agama. Kristen membuat perbedaan antara gereja dan negara, sementara islam menekankan agama sebagai jalan hidup.

Menurut Rahman (1995), islam merupakan dua unsur dasar, yaitu keyakinan dan praktik, dimana keduanya harus diintegrasikan untuk mencapai kesuksesan, sekaligus menanggulangi suatu masalah. Agama akan dipakai untuk meminta pertolongan ketika menghadapi masalah dalam hidup mereka. Oleh karena itu, ketika menghadapi konflik dalam kehidupan, salah satu mengatasinya dengan mencari bantuan pada Tuhannya. Tingkat strategi religios coping yang tinggi akan menciptakan kepuasan kerja yang tinggi.

Noor dan Hussein (2006) dalam studinya yang dilakukan pada obyek para perawat di rumah sakit pemerintah di Malaysia juga menemukan bahwa religios coping memoderasi hubungan konflik pekerjaan-keluarga dengan kepuasan kerja. Walaupun peran religios coping masih kurang mendapat perhatian dalam penelitian khususnya dalam konteks konflik pekerjaan-keluarga. Oleh karena itu, peran moderator religios

coping perlu mendapatkan bukti empiris lebih lanjut.

V. Kinerja in-role, Sistem

Penghargaan, dan Kepuasan

Kerja

Seorang karyawan yang telah mencapai kinerja yang dicerminkan dari tercapainya tugas dan tanggung jawabnya, akan dapat menemukan kepuasan kerjanya. Kinerja (performance) diartikan sebagai hasil dari pekerjaan yang terkait dengan tujuan organisasi, seperti kualitas, efisiensi, dan kriteria efektivitas kerja lainnya (Gibson, 1997). Kinerja juga merupakan hasil yang telah dicapai oleh seseorang, yang berhubungan dengan tugas dan peran yang dilakukannya. Sementara Fiske (1994) mengartikan kinerja sebagai perilaku atau tindakan yang relevan dengan tujuan organisasi. Spesifikasi tujuan ini mewakili keputusan penilaian yang dilakukan oleh ahlinya.

(8)

kerja dan hasil yang dia capai. Sedangkan extra-role performance diartikan dengan ukuran perilaku kerja yang bukan bagian deskripsi kerja, tidak terkait dengan penggajian, tapi membuat fungsi organisasi menjadi lebih efektif.

Dalam studi lain dari MacKenzie, et al. (1998) menemukan bahwa kinerja in-role akan dipisahkan dari kinerja extra-role, karena ada faktor yang mempengaruhi hal ini, yaitu bagaimana kepuasan kerja yang diperoleh para karyawan.

Kebanyakan bisnis tidak sukarela dalam memberi layanan, sehingga harus memberi kompensasi mereka dalam beberapa cara bagi waktu dan usahanyaHal ini yang sering disebut dengan “Pembayaran” atau yang kemudian disebut juga dengan "Imbalan". Imbalan mengacu pada semua pembayaran moneter, non-moneter, dan psikologis dari organisasi bagi para karyawannya. Bagaimana hal ini bisa dilakukan bersama-sama? Ukuran yang cocok bagi solusi untuk semua adalah: harus bervariasi dalam organisasi yang berbeda.

Banyak manajer percaya bahwa orang hanya bekerja untuk uang. Namun, Anda harus

ingat bahwa ada dua jenis dasar imbalan, yaitu:

- imbalan ekstrinsik, yang meliputi kebutuhan dasar pendapatan untuk bertahan hidup (untuk membayar tagihan), perasaan stabilitas dan konsistensi (pekerjaan yang aman), dan pengakuan (nilai saya adalah ketrampilan kerja saya). Dalam Hirarki Kebutuhan Maslow, ini adalah kebutuhan dasar. Kita juga dapat menyebut ini imbalan keuangan.

(9)

menyebutnya imbalan psikologis.

Sistem penghargaan memiliki tiga tujuan utama: untuk menarik karyawan baru bagi

organisasi, untuk memperoleh kinerja yang baik, dan untuk menjaga komitmen terhadap

organisasi.

Sebuah sistem penghargaan dimaksudkan untuk menarik dan mempertahankan karyawan yang cocok. Seorang majikan yang mengembangkan reputasi "murah" adalah tidak mungkin diinginkan di pasar kerja, karena karyawan potensial akan berpikir bahwa hal itu tidak menghargai usaha. Organisasi seperti itu kemungkinan akan berakhir dengan orang-orang yang tidak diinginkan. Penghargaan juga dimaksudkan untuk mempertahankan dan meningkatkan kinerja. Janji bonus atau kenaikan gaji ini dimaksudkan untuk mendorong karyawan untuk memotivasi diri untuk menuai hasilnya. Beberapa perusahaan memiliki tiga jenis yang berbeda terkait kinerja membayar: individu, tim, dan organisasi.

Sistem imbalan juga berfungsi untuk menjaga dan memperkuat kontrak

psikologis. Sebagai contoh, jika perusahaan memiliki nilai-nilai kerja sama tim, maka mungkin akan ada beberapa bonus tim yang baik. Kontrak psikologis sebagian akan menentukan apa yang dianggap karyawan "Adil", dalam hal imbalan untuk pekerjaan yang mereka lakukan.

Perilaku mengganggu seperti pencurian di tempat kerja sering merupakan upaya untuk mengembalikan "Keadilan" bagi remunerasi. Pelanggaran terhadap kontrak psikologis jauh lebih mungkin terjadi sebagai sebab suatu masalah dengan karyawan.

Pemerintah juga memiliki pengaruh tidak langsung terhadap pembayaran. Kebijakan fiskal dan moneter akan mempengaruhi perekonomian, dan perubahan pendapatan pekerja. Tentu saja, semua organisasi harus mengikuti peraturan pemerintah ketika membayar karyawan, dengan menggunakan undang-undang untuk menentukan kisaran upah yang diperbolehkan.

(10)

penghargaan untuk strategi bisnis, bagaimana membangun tingkat imbalan yang benar dalam sebuah organisasi, atau bagaimana untuk mempertahankan daya saing penghargaan. Ini adalah masalah yang sangat kompleks yang dihadapi oleh kebanyakan perusahaan/organisasi saat ini, sehingga

akan dapat memiliki karyawan yang handal sesuai kebutuhan organisasi yang kompeten.

Sebuah sistem upah yang baik merespon kekuatan pasar: yaitu dengan mengetahui apa yang layak untuk seorang karyawan dari perusahaan? Dan juga dipengaruhi oleh faktor sosial dan psikologis, termasuk persepsi/ide karyawan tentang "keadilan" dan "kepercayaan". Sebuah sistem dipandang adil adalah merupakan salah satu komponen kunci dari kontrak psikologis di sisi lain juga perlu mematuhi peraturan pemerintah, lingkungan bisnis yang tidak pasti saat ini, dan tujuan organisasi. Dengan kata lain, harus fleksibel, seperti yang Richard Johnston katakan, Direktur Sumber Daya Manusia Rekayasa, bahwa: "Tidak ada sistem pembayaran yang baik, hanya ada serangkaian yang buruk.” Caranya adalah dengan memilih

salah satu paling buruk. "Apakah

perusahaan/organisasi mampu menghadapi tantangan ini?

Berdasarkan kerangka konsep di atas, maka dapat dijelaskan bahwa untuk dapat menciptakan kepuasan kerja, yaitu keadaan emosional yang menyenangkan dimana para karyawan memandang pekerjaan mereka (Handoko, 2000). Namun demikian, orang yang sudah memenuhi tanggung jawab pekerjaan tidak akan otomatis kepuasannya tercapai, tetapi harus didukung oleh sistem penghargaan yang diberlakukan oleh organisasi, sehingga sistem penghargaan ini dapat dikatakan sebagai Supporting Generating Factor (SGF) atau sebagai moderator dalam penciptaan kepuasan kerja seorang karyawan. Sedangkan kinerja in-role dapat dikatakan sebagai Achievement Generating Factor (AGF) atau sebagai faktor penentu terciptanya kepuasan kerja karyawan.

VI. Kepuasan Kerja, Kohesivitas,

dan Kinerja Ekstra/Extra-role

Performance

(11)

keinginan, tuntutan, dan harapan-harapan yang dirasakan karyawan, sehingga menimbulkan rasa senang, puas ataupun tidak puas. Karyawan yang tidak memperoleh kepuasan kerja tidak akan pernah mencapai kematangan psikologis dan pada gilirannya akan menjadi frustrasi. Karyawan seperti ini akan sering melamun, mempunyai semangat kerja yang rendah, cepat lelah dan bosan, emosi kurang stabil, sering absen, melakukan kesibukan yang tidak

ada hubungannya dengan pekerjaan/tanggung jawab yang harus dilakukannya. Sedangkan karyawan yang mendapatkan kepuasan kerja biasanya akan mempunyai catatan kehadiran dan perputaran yang lebih baik, kurang aktif dalam kegiatan serikat karyawan, dan kadang-kadang berprestasi lebih baik daripada karyawan yang tidak memperoleh kepuasan kerja. Oleh karena itu, kepuasan kerja memiliki arti penting bagi karyawan maupun perusahaan/organisasi karena dapat menciptakan kondisi positif dalam lingkungan kerja yang dapat mendorong para karyawan untuk mencapai kinerja yang optimal. Kinerja optimal adalah kinerja yang dapat mencerminkan tercapainya tugas dan tanggung jawab

karyawan, sebagai wujud kinerja in-role, dan juga terciptanya kinerja ekstra/extra-role.

Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa pemahaman saat ini anteseden dan konsekuensi dari kinerja harus diubah untuk memperhitungkan perbedaan antara peran/tugas utama dan kinerja ekstra/extra-role performance. Fokus baru pada kinerja ekstra adalah merupakan perkembangan penting karena beberapa alasan: (1) kinerja ekstra telah ditunjukkan dapat mempengaruhi evaluasi kinerja karyawan (MacKenzie, et al., 1993); (2) kinerja ekstra telah ditemukan berpengaruh terhadap keefektifan organisasi secara keseluruhan dan/atau keberhasilannya (Podsakoff, et al., 1997); (3) yang paling penting adalah bahwa kinerja ekstra memiliki hubungan yang berbeda secara fundamental dengan kinerja in-role dalam hal sikap kerja, persepsi peran, dan perputaran tenaga kerja (Organ, 1990).

(12)

seseorang. Posisi seseorang dalam struktur interaksi akan memudahkan dia memperoleh sumber daya yang diperlukan, yang memungkinkan dia bekerja dengan lebih baik. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa, setiap orang memiliki keterbatasan, sehingga dia akan membutuhkan dukungan, informasi, bahkan sumber daya dari rekan kerja untuk menunjang pekerjaanya. Jika seorang karyawan memiliki interaksi yang baik dengan rekan kerja akan memiliki posisi dalam hirarki yang memungkinkan dia berhubungan dengan banyak orang, network ties yang dimilikinya dapat memberikan akses pada informasi dan sumber daya yang diperlukan untuk mendukung kinerjanya. Dengan demikian, posisi seseorang dalam struktur interaksi akan menyebabkan dia dapat memperoleh dukungan lebih besar, sehingga dia mampu melaksanakan pekerjaan dengan baik. Hal ini terjadi karena dukungan yang dia peroleh dari rekan kerja memampukan dia untuk menggunakan waktu kerja secara lebih efektif, sehingga kinerjanya semakin baik.

Konsep kinerja ekstra/extra-role juga konsisten dengan apa yang dikemukakan

oleh Dolan (2005) tentang pertukaran sosial (social-exchange), yang didasarkan pada norma resiprokal, seperti: individu akan membantu individu lain yang juga membantu dirinya. Individu yang memiliki persepsi bahwa organisasi memperlakukan mereka secara adil, akan lebih mengembangkan hubungan pertukaran sosial dibanding individu lainnya. Konsep ini hampir sama dengan apa yang disebut dengan perilaku keanggotaan organisasi (Organizational Citizenship Behavior/OCB) yang dikemukakan oleh (Moore dan Love, 2005). OCB adalah perilaku individu yang mempunyai kebebasan untuk memilih atau menentukan, dan walaupun tidak dihargai oleh sistem penghargaan formal secara langsung, secara agregat akan meningkatkan fungsi organisasi/perusahaan secara efektif. OCB juga merupakan perilaku-perilaku individu yang tidak spesifik dan tidak diharapkan, akan tetapi dapat menghasilkan penyelesaian tugas yang melebihi apa yang diharapkan (Dolan, 2005).

(13)

organisasi. Meskipun hal ini juga tidak otomatis akan dapat dijalankan, karena masih ada hal lain yang menjadi pendukung untuk kesediaanya melakukan kinerja ekstra, yaitu ada/tidaknya rasa kebersamaan (kohesivitas) diantara para karyawan yang terlibat.

McShane & Glinow (2003) mendefinisikan kohesivitas sebagai perasaan daya tarik individu terhadap kelompok dan motivasi mereka untuk tetap bersama kelompok, dimana hal ini menjadi faktor penting dalam keberhasilan kelompok. Karyawan akan merasa kompak ketika mereka percaya bahwa setiap anggota dalam kelompok akan membantu menyelesaikan tugas mereka, saling mengisi, atau memberi dukungan sosial selama kritis. Sedangkan Greenberg (2005) menyatakan bahwa kohesivitas kelompok kerja adalah perasaan dalam kebersamaan antar anggota kelompok. Tingginya kohesivitas kelompok kerja berarti tiap anggota dalam kelompok saling berinteraksi satu sama lain, mendapatkan tujuan mereka, dan saling membantu di setiap pertemuan, dan bila kelompok kerja tidak kompak, maka tiap anggota kelompok akan saling tidak

menyukai satu sama lain dan bahkan mungkin terjadi perbedaan pendapat. Sementara Forsyth (1999) menyatakan bahwa kohesivitas kelompok merupakan kesatuan yang terjalin dalam kelompok, menikmati interaksi satu sama lain, dan memiliki waktu tertentu untuk bersama dan di dalamnya terdapat semangat kerja yang tinggi.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kohesivitas kelompok kerja merupakan daya tarik emosional sesama anggota kelompok kerja dimana adanya rasa saling menyukai, membantu, dan secara bersama-sama saling mendukung untuk tetap bertahan dalam kelompok kerja dalam mencapai satu tujuan.

Forsyth (1999) mengemukakan bahwa kohesivitas kelompok memiliki 4 (empat) dimensi, yaitu:

a. Kekuatan sosial

b. Kesatuan dalam kelompok

c. Daya tarik

d. Kerja sama kelompok

(14)

mengatasi perbedaan individu dan motifnya dalam kelompok. secara singkat, kohesivitas kelompok adalah "sense of belonging".

Berdasarkan kerangka konsep di atas, maka dapat dijelaskan bahwa untuk dapat menciptakan kinerja ekstra, yaitu perilaku kerja yang bukan bagian deskripsi kerja, tidak terkait dengan penggajian, tapi membuat fungsi organisasi menjadi lebih efektif, akan didapat dari para karyawan yang puas. Namun demikian, karyawan yang memiliki kepuasan kerja tidak akan otomatis bersedia melakukan kinerja

ekstranya, tetapi harus didukung oleh kebersamaan kelompok (kohesivitas) yang ada di organisasi, sehingga kohesivitas ini dapat dikatakan sebagai Supporting Generating Factor (SGF) atau sebagai moderator dalam menumbuhkan kinerja ekstra seorang karyawan. Sedangkan kepuasan kerja dapat dikatakan sebagai Achievement Generating Factor (AGF) atau sebagai faktor penentu terciptanya kinerja ekstra dari para karyawan.

(15)

Gambar 2:

Model Strategi Coping dalam menghadapi Konflik Pekerjaan Keluarga untuk mencapai

Kinerja Optimal

Sumber: diadopsi dari berbagai referensi

VII. Agenda Penelitian Mendatang

Kerangka pemikiran ini merupakan sebuah karya konseptual dan karena itu berisi cara pandang penelitian untuk dapat dijadikan dasar dalam mendapatkan justifikasi empiriknya. Oleh karena itu, hipotesis dan pertanyaan penelitian dapatlah dikembangkan lebih lanjut menjadi agenda penelitian empirik. Uji-uji empirik atas konstruk-konstruk yang

dibangun dalam model konseptual ini, akan memberikan kontribusi nyata pada pengembangan ilmu manajemen sumber daya manusia.

Demikian kerangka pemikiran ini disajikan, semoga dapat menjadi masukan untuk pengembangan model penelitian baru dalam riset-riset manajemen sumber daya manusia. Lebih dari itu, diharapkan dapat menjadi masukan untuk kerangka kerja Konflik

Pekerjaan-Keluarga

Kinerja In-role

Sistem Penghargaan

Kepuasan Kerja

Kohesivitas

Kinerja Extra-role

Religious Coping

(16)

manajerial dalam mengelola sumber daya manusia pada umumnya, dan penciptaan kinerja pegawai yang optimal pada khususnya.

Daftar Pustaka

Bratton, J., & Gold, J. 2007. Human resource management: Theory and practice. (4th ed.).Basingstoke, Hampshire, UK: Palgrave Macmillan. Basingstoke, Hampshire, UK: Palgrave Macmillan.

Burke, R.J. 1994. Stressful Events, Work-Family Conflict, Coping, Psychological Burnout and Well-Being among Police Officers. Psychological Reports, vol. 75, 787-800.

Burke, R.J. & Greenglass, E.R. 2001. Hospital restructuring, Work-Family Conflict and Burnout among Nursing Staff. Psychology and Health, vol. 16, 583-594. Dolan, Tzafrir, Baruch. 2005.

Testing the Causal Relationship between

Procedural Justice, Trust, and Organizational Citizenship Behavior. Reveu de Gestion des Resources Humaines, 57, 79-89.

Dull, V.T & Skokan,L.A. 1995. A Cognitive Model of Religion’s Influence on Health. Journal of Social Issues, 51, 49-64.

Etzion, D. & Bailyn, L. 1994. Patterns of Adjustment to The Career/Family Conflict of Technically Trained Women in the USA and Israel. Journal of Applied Social Psychology, vol. 24, 1520-1549.

Folkman, S., et al. 1986. Dynamics of A Stressful Encounter: Cognitive Appraisal, Coping, and Encounterm Outcomes. Journal of Personality and Social Psychology, 50, 992-1003.

Gerdes, E.P. 1995. Women

(17)

Associated with Work and Home Stress. Sex Roles, vol.32, 787-807

Gibson, James L. et al.1997. Organisasi, Bina Rupa Aksara, Edisi 8

Greenberg, J. 2005. Managing Behavior in Organization. Pearson Prentice-Hall. New Jersey.

Greenhause, J.H. Callanan. G.A. & Godshale, V.M. 1999. Career Management Third Ed Philadelphia: The Dryden Press P; 297

Handoko, T.H. 2000. Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia, edisi II, BPFE, Jogjakarta.

Hertog, J.F.D. 2001. The Knowledge Enterprise, Implementation of

Intelligent Business Strategies, Series of Technology Management, 2, 22-67

Hobfoll, S.E. 1989. Conservation of Resources: A New Attempt at Conceptualizing Stress.

American Psychologist, 44, 513-524.

Idler, E.L. 1987. Religious Involvement and The Health of Elderly: Some Hypotheses and An Initial Test. Social Forces, 66, 226-238.

Kossek, E.E. & Ozeki, C. 1999. Bridging The Work-Family Policy an Productivity Gap: A Literature Review. Community Work and Family, vol 2, 7-32.

Lazarus, R.S. & Folkman, S. 1984. Stress, Appraisal, and Coping. New York: Springer.

MacKenzie, S.B., Podsakoff, P.M., and Ahearne, M. 1998. Some Possible Antecedents and Consequences of In-Role and Extra-Role Salesperson Performance. Journal of Marketing,62; 87-98.

(18)

Academy of Marketing Science, 27 (4); 390-410.

McShane & Glinow. 2003. Organizational Behavior. McGraw Hill, USA.

Moore, Love. 2005. IT Professionals as Organizational Citizenship. Communication of the ACM, 48, 89-93.

Neal, M.B. & Hammer, L.B. 2006. Working Couples Caring for Children and Aging Parents: Effects on Work and Well-Being, Lawrence Erlbaum, Mahwah, NJ.

Noor, N.M. 2006. Locus of Control, Supportive Workplace Policies and Work-Family Conflict. Psychologia, 49, 48-60.

Organ, Dennis. W. 1990. The Subtle Significance of Job

Satisfaction. Clinical Laboratory Management Review, 4 (1); 94-98.

Podsakaff, et al. 1997.

Organizational Citizenship

Behavior and The Quantity and Quality of Work Group Performance. Journal of Applied Psychology, 82 (2); 262-270.

Rahman, A. 1995. Islam: Ideology and The Way of Life. Kuala Lumpur: AS Nordeen.

Richard Johnston's Quote at the end of the article is from the Bratton and Gold text.. .

Robbin, S.P. and Timothy, A.J. 2009. Organizational

Behavior. Pearson Education, Inc. New Jersey.

Rotondo, D.M., Carlson, D.S. & Kincaid, Kincaid,J.F. 2002. Coping with Multiple

Dimensions of Work-Family Conflict. Personnel Review, vol. 32. No. 3, 275-296.

(19)

Prentice-S al of Manag .

L. and Spenc Competence

Models for S Performance Sons, Inc, NY

s, L.J. and A 991. Job Sat Organization as Predictors Organization and In-Role B Journal of M

7(3):601-61

Gambar

Gambar 2:

Referensi

Dokumen terkait

Dengan demikian yang dimaksud penulis dalam judul penelitiannya adalah keberagamaan yang dilakukan pedagang sayur di Pasar Pandu Banjarmasin Timur yang meliputi dimensi keyakinan

Raharjana, D.T., 2012, Partisipasi Masyarakat dalam Perencanaan dan Pengelolaan Pariwisata Studi Kasus di Desa Dieng Kulon, Kecamatan Batur Kabupaten Banjarnegara,

Air merupakan unsur yang vital dalam kehidupan manusia. Seseorang tidak dapat bertahan hidup tanpa air, karena itulah air merupakan salah satu penopang hidup bagi

Berdasarkan hasil pengolahan data dapat disimpulkan sebagai berikut: (1) Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa perencanaan program Pamsimas Dinas Cipta Karya Kabupaten

Kecerdasan buatan atau dikenal sebagai Artificial Intelligence adalah bagian dari ilmu komputer yang mempelajari bagaimana membuat mesin (komputer) dapat melakukan

Dalam mendukung kegiatan kelompok tani yang ter gabung dalam P4S Tani Mandir i ini Pr ogr am Studi Ar sitektur mempunyai kegiatan pengabdian masyar akat ini ter kait er at dengan

Analisa penurunan dan waktu konsolidasi akan dihitung pada satu titik yang dianggap  paling kritis (ketebalan tanah lempung yang paling besar) yaitu BH-02

Dalam penelitian ini dilakukan perkawinan silang antara itik Alabio dan Mojosari untuk meningkatkan performa itik lokal terutama dalam hal produksi dan kualitas telur