• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengembangan Program Orientasi Kerja Bebasis Caring Di Rumah Sakit Umum Natama Kota Tebing Tinggi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengembangan Program Orientasi Kerja Bebasis Caring Di Rumah Sakit Umum Natama Kota Tebing Tinggi"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Tinjauan pustaka yang digunakan dalam penelitian ini adalah konsep

orientasi kerja, teori caring Watson , action research dan kerangka teori. Adapun penjelasannya masing-masing diuraikan sebagai berikut :

2.1. Orientasi Kerja

2.1.1. Defenisi Orientasi Kerja

Orientasi kerja adalah proses penyesuaian bagi pekerja baru dengan

lingkungan pekerjaan sehingga pegawai baru dapat berhubungan cepat dengan

lingkungan sekitarnya yang baru dan bermaksud membuat pegawai baru merasa

diinginkan dan diperlukan oleh rekan sekerja serta atasan, juga untuk meyakinkan

pekerja tersebut bahwa kehadirannya dibutuhkan untuk mewujudkan cita-cita

organisasi (Gillies, 1989). Selain itu orientasi kerja merupakan suatu program

untuk memperkenalkan pegawai baru pada peran-perannya, organisasi,

kebijaksanaan-kebijaksanaannya, nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, dan pada

rekan kerja mereka yang dilakukan melalui sebuah program formal atau informal.

Hal ini mungkin juga perlu dilakukan pada pegawai yang sudah lama bekerja bila

mereka dipromosikan, dialihkan (transfer) pada tugas-tugas yang lain, atau bilamana harus dilakukan pemutusan hubungan kerja (Hariandja, 2009). Hal yang

sama juga dikemukakan oleh Wijaya, Sitorus, dan Handayani (2010) bahwa

orientasi merupakan proses kegiatan memberikan informasi yang berhubungan

(2)

mempermudah perawat baru menyesuaikan dalam melaksanakan tugas dan fungsi

yang dibebankan kepadanya.

2.1.2. Tujuan Orientasi Kerja

Tujuan proses orientasi kerja adalah membuat pegawai merasa bagian tim.

Hal ini akan mengurangi gesekan dan membantu pegawai baru menjadi mandiri

dalam peran baru mereka dengan lebih cepat, untuk meminimalkan

kecenderungan pelanggaran peraturan, keluhan, dan kesalahpahaman, untuk

menumbuhkan perasaan memiliki dan menerima, serta meningkatkan antusiasme

dan moral (Marquis & Huston, 2010).

Program orientasi kerja berbasis kompetensi yang diterapkan sejak perawat

baru memasuki lingkungan kerja baru digunakan agar setelah perawat baru

melalui proses ini memiliki kompetensi dalam hal: 1) Keterampilan interpersonal,

2) Keterampilan teknis, dan 3) Keterampilan berfikir kritis (Bueno, 1994 dalam

Engelke, Marshburn, & Swanson, 2009 dalam penelitian Wijaya, Sitorus, &

Handayani, 2012). Upaya penerapan program orientasi kerja berbasis kompetensi

bagi perawat baru ditujukan agar perawat baru memiliki penampilan kinerja

professional (Wijaya, Sitorus, & Handayani, 2012).

Salah satu yang menjadi tujuan atau alasan pelaksanaan program orientasi

kerja adalah untuk menjawab tantangan yang biasanya dihadapi oleh pegawai

baru, antara lain:

1. Menghadapi harapan yang tidak realistis yang berkaitan dengan jenis pekerjaan

(3)

diterima, kemampuan mengaplikasikan ilmu yang telah dipelajari,

keseimbangan antara tujuan pribadi dan tujuan organisasi.

2. Mempelajari banyak mengenai tujuan karier mereka, yaitu jabatan tertinggi

yang dapat diraih dalam organisasi itu, dan apakah pengetahuan, keterampilan

dan kemampuan yang mereka miliki sesuai dengan pekerjaan yang akan

dilakukan.

3. Menentukan tujuan yang penting pada organisasi dan diterima oleh rekan kerja

dan atasan/ supervisor.

Akreditasi Rumah Sakit Versi 2012 pada Standar Kualifikasi dan

Pendidikan Staf (KPS) nomor 7 menyebutkan bahwa maksud dan tujuan

pelaksanaan program orientasi kerja merupakan keputusan menugaskan seseorang

sebagai staf dalam rumah sakit yang menimbulkan beberapa proses dalam

pelaksanaanya. Agar berkinerja baik, staf baru apapun status kepegawaiannya

butuh mengerti keseluruhan rumah sakit dan bagaimana tanggungjawab khusus

klinis atau nonklinisnya agar bisa berkontribusi pada misi rumah sakit. Hal ini

dapat dicapai melalui orientasi umum rumah sakit dan orientasi khusus terhadap

perannya dalam rumah sakit. Orientasi kerja tersebut termasuk pelaporan medical record, pengendalian dan pencegahan infeksi, kebijakan rumah sakit terhadap perintah medis melalui telepon dan sebagainya.

2.1.3. Pelaksana Program Orientasi Kerja dan Isi Program

Tanggungjawab program orientasi kerja dilaksanakan oleh 3 bagian, yaitu:

(1) Departemen personalia; melaksanakan fungsi pengupahan dan kepegawaian,

(4)

orientasi ke organisasi, tanggungjawab pegawai ke organisasi dan sebaliknya,

hubungan kerja manajemen tambahan dan rencana manfaat, (2) Departemen

pengembangan staf ; menyebarkan dan mengulas buku saku pegawai, membahas

filosofi dan misi organisasi, mengulas riwayat organisasi, memperlihatkan media

presentasi dari berbagai bagian dan fungsinya (jika media presentasi tidak

tersedia, perkenalkan berbagai kepala bagian dan jelaskan fungsi kerja

departemen tersebut), membahas struktur organisasi, program pemadaman

kebakaran dan keselamatan, sertifikasi dan verifikasi RJP, membahas program

pendidikan dan pelatihan yang tersedia, mengulas kebijakan dan prosedur pilihan,

dan menjelaksan kebijakan obat dan terapi, (3) Departemen unit ; orientasi ke

departemen, perkenalan, mengulas kebijakan unit yang spesifik yang berbeda

sedemikian rupa dari kebijakan umum, mengulas penjadwalan unit dan kebijakan

serta prosedur kepersonaliaan, penugasan kerja, kebijakan promosi dan

pemindahan, pembentukan rasa memiliki, menerima dan sosialisasi (Marquis &

Huston, 2010).

Wahyuni (2007) menyebutkan bahwa penyelenggaran program orientasi

kerja perlu melibatkan dua pihak yaitu unit yang mengurusi tentang sumber daya

manusia dan para manajer langsung dari pegawai baru. Begitu juga menurut

Hariandja (2009), kegiatan orientasi kerja biasanya dilakukan oleh departemen

sumber daya manusia dan atasan langsung dari pegawai tersebut untuk

mensosialisasikan nilai-nilai organisasi pada pegawai baru. Departemen sumber

daya manusia biasanya menyampaikan isi program tentang hal-hal yang umum

(5)

Isi program orientasi kerja yang menyangkut aspek-aspek umum adalah (1)

Aspek-aspek organisasi, antara lain; sejarah pendiri perusahaan, organisasi

perusahaan, nama-nama pejabat kunci, nama-nama pekerja dan departemen,

layout peralatan secara fisik, masa percobaan, produk atau jasa yang ditawarkan, gambaran proses produksi, aturan-aturan dan kebijaksanaan perusahaan,

peraturan-peraturan mengenai disiplin, buku pegangan pegawai, dan pelaksanaan

keselamatan kerja. (2) Manfaat yang didapat pegawai, antara lain: skala gaji, cuti,

masa istirahat, latihan dan pengembangan yang didapat, bimbingan kerja,

asuransi, program pensiun, bantuan yang dapat diberikan perusahaan, dan

program-program rehabilitasi. (3) Perkenalan, terdiri dari; perkenalan dengan

supervisor, perkenalan dengan pelatih, perkenalan dengan rekan kerja, dan

perkenalan dengan pembina. (4) Tugas-tugas, antara lain: lokasi pekerjaan,

tugas-tugas, persyaratan keamanan kerja, gambaran pekerjaan, sasaran pekerjaan, dan

hubungan dengan pekerjaan lain (Hariandja, 2009).

Isi program orientasi kerja untuk aspek khusus berkaitan langsung dengan

pekerjaan dalam dimensi yang lebih rinci, yang berkaitan langsung dengan

pekerjaan seperti memperkenalkan dengan rekan kerja, tempat kerja, persyaratan

keselamatan kerja dan lain-lain (Hariandja, 2009). Program orientasi kerja bagi

staf keperawatan sebaiknya terdiri dari dua bagian yaitu instruksi yang harus

diberikan kepada setiap pegawai guna menyesuaikan diri dengan tujuan dan

fungsi keseluruhan dari lembaga, serta instruksi yang berkenaan dengan

(6)

2.1.4. Bentuk Program Orientasi Kerja di Rumah Sakit

Ada perbedaan yang sangat tajam diantara organisasi keperawatan

berkenaan dengan lama, bentuk dan isi program orientasi kerja untuk perawat.

Dalam banyak lembaga, orientasi dua minggu diberikan kepada personil

keperawatan yang ditugaskan di ruang operasi atau unit rawat intensif. Beberapa

unit kerja pelaksanaan program orientasi kerja diberikan selama tiga bulan kepada

semua perawat yang baru lulus untuk menekan “kekagetan realitas” selama masa

transisi dari status siswa ke status pegawai (Minor & Thompson, 1981 dalam

Gillies, 1989). Beberapa lembaga memberikan program orientasi kerja atau masa

belajar suatu keahlian selama enam atau duabelas bulan kepada perawat yang baru

lulus (Tonges & Jones, 1985 dalam Gillies, 1989).

Beberapa unit kerja memberikan program orientasi kerja terpisah untuk

program sarjana luar biasa (associate degree), karena jumlah jam belajar laboratorium di dalam program sarjana luar biasa tersebut dalam beberapa hal

sekitar 66% dari jam praktek klinik yang diberikan dalam sebuah program

diploma keperawatan (Brunt, 1984 dalam Gillies, 1989). Disatu rumah sakit,

walaupun lulusan sarjana luar biasa diberikan orientasi enam minggu yang

termasuk didalamnya arahan kegiatan jaminan kualitas, format pemetaan masalah

pada orientasi, pengembangan rencana keperawatan, aplikasi proses keperawatan,

kebijaksanaan dan prosedur rumah sakit, kegiatan kepemimpinan tim (termasuk

pembuatan tugas, membantu anggota tim, menghitung bahan-bahan pembius,

(7)

membantu lulusan sarjana luar biasa tersebut memahami klinis tempat mereka

ditugaskan (Brunt, 1984 dalam Gillies, 1989).

Bentuk program orientasi bisa sentralisasi atau desentralisasi, standardisasi

atau individualisasi. Artinya, program orientasi bisa dilakukan oleh pejabat pusat

instruktur pendidikan kepada personil untuk semua unit keperawatan klinis, atau

bisa dilakukan anggota staf khusus di dalam masing-masing divisi keperawatan,

seksi, atau unit dengan tanggungjawab mengorientasikan personil ke area tersebut.

Ketika sebuah program orientasi diikuti, semua personil keperawatan yang baru

diangkat di dalam unit atau divisi mengikuti sesi orientasi yang sama, tanpa

memperhatikan persiapan atau pengalaman kerja sebelumnya. Ketika orientasi

bersifat perseorangan untuk masing-masing pekerja, sesi orientasi ditetapkan dan

pengalaman khusus dirancang untuk menambah dan melengkapi pengalaman

pekerja tersebut (Gillies, 1989).

Filosofi dan kerangka kerja program orientasi untuk perawat harus

mencerminkan filosofi dan tujuan unit kerja kesehatan itu sendiri. Dalam satu unit

kerja program orientasi perawat didasarkan pada hirarki kebutuhan manusia dari

Maslow (Buickus, 1984 dalam Gillies, 1989). Ternyata, suatu orientasi yang

didasarkan pada kerangka kerja tersebut dimulai dengan mengikuti kebutuhan

fisik peserta orientasi dan selanjutnya memfokuskan satu persatu pada kebutuhan

keamanan peserta orientasi serta kebutuhan akan kasih sayang dan penghargaan,

akhinya memberikan pengalaman yang bisa membawanya mencapai aktualisasi

diri. Beberapa unit kerja menerapkan kerangka kerja program orientasi untuk

(8)

dalam Gillies, 1989). Suatu orientasi yang berdasarkan pada kerangka kerja pada

proses keperawatan dapat melakukan kegiatan awal yakni pengkajian teknis dan

penggunaan kajian informasi; selanjutnya bisa diikuti oleh bagian mengenai

perencanaan perawatan dan intruksi dalam keahlian keperawatan; dan akhirnya,

informasi serta pengalaman bisa diberikan dalam mengevaluasi struktur proses

dan hasil asuhan keperawatan.

Isi dari program orientasi di dalam unit keperawatan, seksi, atau divisi

sebaiknya dipilih oleh perawat yang praktek di dalam keahlian tersebut. Dalam

merencanakan program orientasi untuk perawat medis, direktur divisi

keperawatan medis dapat menunjuk panitia orientasi bagi divisi yang terdiri dari

beberapa orang dan dari beberapa unit, seperti seorang supervisor unit rawat

intensif, kepala perawat unit ginjal, perawat staf dari unit rawat jantung, dan

perawat dari unit medis umum. Untuk ini, direktur harus merencanakan orientasi

untuk masing-masing klasifikasi personil dalam divisi keperawatan medis

tersebut. Direktur diharapkan untuk lebih tahu mengenai strategi pengajaran

dibanding dengan seorang kepala perawat atau staf perawat, namu pekerja lini

dalam divisi keperawatan medis lebih tahu akan pengetahuan dan keahlian yang

diperlukan untuk merawat pasien medis di dalam lembaga mereka sendiri.

Merekalah yang sebaiknya merencanakan program orientasi untuk personil

perawat pasien, meminta bantuan sesuai yang dibutuhkan dari psikolog,

perencana, dan para ahli teknik untuk menyaring sasaran, memilih isinya,

menetapkan pengalaman pembelajaran, merancang alat evaluasi, dan lain

(9)

Orientasi pegawai terhadap pekerjaanya tidak hanya direncanakan oleh

personil dari divisi dimana ia akan bekerja, namun bila mungkin dilaksanakan

juga oleh supervisor pegawai atau seorang perawat yang ditugaskan oleh

supervisor tersebut. Penyusunan seperti itu dilakukan karena atasan langsung dari

pegawai tersebut mengerti standar pelaksanaan kerja lebih baik dibandingkan

siapapun dan karena pekerja akan setuju dengan orientasi yang dilakukan oleh

atasannya tersebut jika atasannya tersebut langsung terlibat dalam orientasi

(Gillies, 1989).

2.2. Teori Caring Jean Watson 2.2.1. Model Caring

Watson (1996) dalam Fawcett (2005) menyatakan bahwa gambaran

terhadap manusia menunjukkan bahwa dia menganggap orang tersebut sebagai

suatu kesatuan antara pikiran, tubuh dan jiwa/ alam. Watson menggambarkan

kehidupan manusia didasarkan pada defenisi jiwanya. Konsep jiwa menurut

Watson (1985) mengacu pada spirit, inner self, atau esensi seseorang, yang terkait dengan rasa yang lebih besar seperti kesadaran diri, tingkat kesadaran diri yang

lebih tinggi, kekuatan batin dan kekuasaan yang dapat memperluas kapasitas

manusia dan memungkinkan seseorang untuk melampauinya atau dirinya yang

biasanya.

Watson (1988) dalam George (1990) dalam penelitian Muhlisin dan Ichsan

(10)

keperawatan. Manusia akan eksistensi bila dimensi spritualnya meningkat

ditunjukkan dengan penerimaan diri, tingkat kesadaran diri yang tinggi, kekuatan

dari dalam diri, intuitif. Caring sebagai esensi dari keperawatan berarti juga pertanggungjawaban hubungan antara perawat-klien, dimana perawat membantu

memperoleh pengetahuan dan meningkatkan kesehatan.

“Theory of human caring” Watson, mempertegas jenis hubungan dan

transaksi yang diperlukan antara pemberi dan penerima asuhan untuk

meningkatkan dan melindungi pasien sebagai manusia yang mempengaruhi

kesanggupan pasien untuk sembuh. Watson mengemukakan bahwa caring

merupakan inti dari keperawatan. Dalam hal ini caring merupakan perwujudan dari semua faktor yang digunakan perawat dalam memberikan pelayanan

kesehatan pada klien. Kemudian caring juga menekankan harga diri individu, artinya dalam melakukan praktik keperawatan, perawat senantiasa selalu

menghargai klien dengan menerima kelebihan maupun kekurangan klien. Watson

juga mengemukakan bahwa respon setiap individu terhadap suatu masalah

kesehatan unik, artinya dalam praktik keperawatan, seorang perawat harus mampu

memahami setiap respon yang berbeda dari klien terhadap penderitaan yang

dialaminya dan memberikan pelayanan kesehatan yang tepat dalam setiap respon

yang berbeda baik yang sedang maupun akan terjadi.

Caring hanya dapat ditunjukkan dalam hubungan interpersonal yaitu hubungan yang terjadi antara perawat dengan klien, dimana perawat menunjukkan

(11)

meliputi komitmen untuk memberikan pelayanan keperawatan yang didasarkan

pada ilmu pengetahuan. Dalam praktiknya, perawat di tantang untuk tidak ragu

dalam menggunakan pengetahuan yang dimilikinya dalam praktik keperawatan.

Watson dalam memahami konsep keperawatan terkenal dengan human caring theory. Tolak ukur pandangan Watson ini didasari pada unsur teori kemanusiaan. Watson (1985) dalam Talento (1995) membagi kebutuhan dasar

manusia dalam dua peringkat utama, yaitu kebutuhan yang tingkatnya lebih

rendah (lower order needs) dan kebutuhan yang tingkatnya lebih tinggi (higher order needs). Pemenuhan kebutuhan yang tingkatnya lebih rendah tidak selalu membantu upaya kompleks manusia untuk mencapai aktualisasi diri. Setiap

kebutuhan dipandang dalam konteksnya terhadap kebutuhan lain dan semuanya

dianggap penting. Kebutuhan manusia yang saling berhubungan diantaranya

kebutuhan dasar biofisikal (kebutuhan untuk hidup yang meliputi kebutuhan

makanan dan cairan, kebutuhan eliminasi, kebutuhan ventilasi, kebutuhan

psikofisikal (kebutuhan fungsional) yang meliputi kebutuhan aktivitas dan

istirahat, kebutuhan seksualitas; kebutuhan psikososial (kebutuhan untuk

integrasi) yang meliputi kebutuhan intrapersonal dan interpersonal (kebutuhan

aktualisasi diri).

Berdasarkan kebutuhan tersebut, Watson memahami bahwa manusia adalah

makhluk yang sempurna yang memiliki berbagai macam ragam perbedaan,

sehingga dalam upaya mencapai kesehatan, manusia seharusnya dalam keadaan

sejahtera baik fisik, mental, dan spiritual karena sejahtera merupakan

(12)

tersebut keperawatan harus berperan dalam meningkatkan status kesehatan,

mencegah terjadinya penyakit, mengobati berbagai penyakit dan penyembuhan

kesehatan.

Teori Watson bekerja sebagai teori human caring dan ilmu beserta seni

human caring yang sudah diaplikasikan pada berbagai tempat praktik keperawatan. Brockopp, Schreiber, Hill, Altpeter, Moe, dan Merritt, (2011)

menjelaskan suatu penelitian dimana mempraktikkan model praktik dengan

menggunakan teori caring Watson 10 faktor carative dijelaskan dalam memberikan suatu kerangka kerja pada aktivitas keperawatan di rumah sakit.

Lukose (2011) mengembangkan suatu model praktik dengan teori caring Watson yang dapat digunakan perawat pendidik dalam mengajarkan kepada staf perawat

dan mahasiswa.

2.2.2. Faktor Carative Watson

Untuk memandu tujuan keperawatan, faktor carative dan proses caritas

dikembangkan sebagai inti caring dalam penilaiannya. Sepuluh faktor carative

Watson yang digunakan sebagai intervensi teori (Watson, 2008). Faktor tersebut

meliputi: 1) Pembentukan sistem nilai humanistik. Nilai ini merupakan faktor

dasar caring yang meliputi bersahabat, empati, fokus, dan mencintai diri sendiri dan orang lain, 2) Kepercayaan dan harapan. Kepercayaan dan harapan adalah

faktor penting pada kesehatan. Perawat sebaiknya menjaga, mendorong, dan

menghormati keyakinan dan harapan dan percaya kepada pasien. 3)

Pengembangan sensitivitas pada diri sendiri dan orang lain. Sensitivitas kepada

(13)

sebaiknya peduli pada kenyamanan, pemulihan, kesejahteraan, dan lebih sensitif

pada kebutuhan lain, 4) Pengembangan rasa saling percaya dan hubungan caring. Untuk menjamin martabat manusia dan menjaga humanitas, perawat sebaiknya

membentuk kesatuan dengan jiwa pasien. 5) Promosi dan penerimaan ekspresi

pada perasaan positif dan negatif. Mempromosikan dan menerima ekspresi positif

dan negatif sebagai pemulihan. Melalui mendengar dan menjadi pasien,

pikirannya, perilaku, dan pengalaman adalah pengakuan, 6) Menggunakan suatu

pemecahan masalah yang kreatif. Untuk membantu pasien membuat keputusan

efisien dan efektif serta kreatif, proses caring pemecahan masalah individu dipertimbangkan sebagai komponen penting dalam ilmu keperawatan. Perawat

sebaiknya menggunakan semua pengetahuan, keterampilan, empirisme, insting,

dan intuisinya, 7) Melakukan pengajaran transpersonal. Selanjutnya, faktor

carative pembelajaran transpersonal yang melibatkan hubungan caring sebagai peran pelatihan, lebih dari peran pemberian informasi, perawat mencari pekerjaan

dari informasi pasien dan memahami signifikan informasi yang sediakan untuk

pasien, 8) Memberikan suatu lingkungan yang mendukung, melindungi, dan

perbaikan mental, fisik, sosial, dan spiritual. Untuk mempromosikan kualitas

pelayanan dan pemulihan, dukungan, perlindungan, dan mental korektif, fisik,

sosial, dan lingkungan spiritual yang diakui sebagai dukungan konvensial dengan

melibatkan kenyamanan, privasi, keamanan, kebersihan, dan lingkungan estetika.

9) Membantu memenuhi kebutuhan dasar dengan kepuasan. Selain itu, untuk

memberikan perawatan holistik membantu dengan kepuasan, tidak hanya

(14)

martabat manusia dikenal sebagai kebutuhan. 10) Mengizinkan kekuatan

eksistensial-fenomenologi-spiritual. Faktor carative terakhir mengizinkan fenomena yang tidak dikenal, mitos, filosofi, kepercayaan budaya, aspek metafisik

perawat, pasien, dan keluarganya menyesuaikan dalam makna spiritual dalam

mengizinkan pengobatan dan pemulihan.

2.2.3. Aplikasi Faktor Carative (Caritas Processes)

Dalam menerjemahkan faktor carative, Watson (2008) membuat caritas processes berdasarkan 10 faktor carative. Diantaranya adalah 1) Mempraktikkan cinta-kebaikan, ketenangan diri dan lainnya. Ini menghadirkan sentuhan, latihan,

dan meditasi. Misalnya mengetahui bahwa pasien sebagai individu, menghormati

keinginan pasien, mementingkan kepentingan pasien, sopan pada pasien dan

keluarga, jujur kepada pasien, dan memahami apa yang dirasakan pasien, 2)

Hadir, mempertahankan dan menghormati kepercayaan dan harapan pasien.

Perawat tidak bisa mengabaikan pentingnya harapan dan kepercayaan berperan

dalam kehidupan manusia terutama dihadapkan dengan krisis penyakit, sakit,

kehilangan, stres, putus asa, kesedihan, trauma, kematian, dan sebagainya.

Misalnya perawat mengklarifikasi keraguan, memberikan dukungan emosional,

melakukan perawatan lanjutan, dan menghormati pasien yang lebih tua, 3)

Sensitif pada diri dan orang lain. Jika perawat tidak peka terhadap dirinya, maka

akan sulit peka terhadap orang lain. Ketika perawat menutup hati pada orang lain

akan membuatnya tidak peka terhadap pasien yang membutuhkan perhatian, kasih

sayang, dan sensitivitas. Misalnya perawat mengetahui apa yang penting, dapat

(15)

masalah pribadi bersama pasien, mendengarkan pasien, memberikan kenyamanan

pasien, dan sabar menghadapi pasien, 4) Membantu dan mengembangkan

hubungan saling percaya. Hubungan saling percaya menjadi salah satu faktor

internal dalam pemulihan, misalnya menjawab panggilan pasien dengan segera,

menurunkan kecemasan pasien, tetap sabar menghadapi pasien, memanggil nama

pasien dengan namanya, menghargai apa yang diceritakan pasien, berbicara

dengan jelas, dan suara yang bersahabat, 5) Ada bersama pasien, mendukung

ekspresi perasaan positif, dan negatif. Hal ini akan meningkatkan kepercayaan dan

kepedulian. Misalnya menghargai apa yang diceritakan pasien, memahami apa

yang dialami pasien, dan mengenal kebutuhan pasien, 6) Perawat menggunakan

proses pemecahan masalah yang kreatif. Keperawatan professional melibatkan

logika yang sistematis, imajinasi, dan kreativitas. Misalnya fleksibel saat

perawatan pasien, membantu pasien beradaptasi dengan lingkungan rumah sakit,

mengetahui cara pemberian injeksi, dan melibatkan pasien dalam rencana

perawatan, 7) Memberikan pengajaran dan pendidikan transpersonal. Pengajaran

lebih dari menerima informasi, fakta, dan data. Hal ini melibatkan penuh makna,

hubungan saling percaya, dan pengajaran yang mempengaruhi proses caring, misalnya perawat menjelaskan istilah yang sederhana, menjelaskan perawatan di

rumah, menjawab pertanyaan dengan jelas, dan menjelaskan kepada pasien untuk

memahami penyakit dan pengobatan, 8) Perawat menciptakan lingkungan

pemulihan di rumah sakit. Kenyamanan dapat mengukur lingkungan internal dan

eksternal pasien, misalnya melakukan tugas keperawatan dengan baik, memantau

(16)

pasien merasa seperti di rumah, dan mengutamakan kepentingan pasien, 9)

Perawat membantu dalam memenuhi kebutuhan dasar pasien, misalnya sabar

memberikan makan pada pasien, memberikan kenyamanan, gentle terhadap pasien, memberikan dukungan dengan aktivitas fisik, memantau keamanan pada

pasien, memantau pasien secara berkelanjutan, dan menyesuaikan dengan

keterbatasan pasien, 10) Perawat meningkatkan kebutuhan spiritual pada pasien.

Proses ini memberikan kekuatan spiritual berdasarkan pengalaman yang tidak

dapat dijelaskan, misalnya mengizinkan pasien membawa peralatan ibadah,

mengizinkan pasien untuk berdoa, membantu pasien dalam memenuhi kebutuhan

spiritual, dan menghargai pasien sebagai individu yang unik.

2.2.4. Perilaku Caring Perawat

Caring menjadi suatu kebutuhan yang bermakna berdasarkan kesesuaian bersama antara perawat dan pasien pada perilaku caring perawat (Zamanzadeh, Azimzadeh, Rahmani, & Valizadeh, 2010). Banyak peneliti menegaskan ada 2

aspek caring, perilaku yang ekspresif dan aktivitas keperawatan. Aspek ekspresif dalam perawatan melibatkan pemberian dukungan emosional pada pasien dengan

menawarkan kepedulian, kepercayaan, harapan, dan kehangatan emosional. Aspek

aktivitas pada perawatan merujuk pada aktivitas inti, seperti memandikan pasien

di tempat tidur dan memberikan informasi medis dan keperawatan yang akan

meningkatkan kenyamanan fisik dan koping kognitif (Watson, 2008).

Aplikasi caring perawat seperti memperkenalkan diri serta membuat kontrak hubungan, memanggil klien dengan namanya, menggunakan sentuhan,

(17)

membantu klien dalam memberikan asuhan keperawatan, memenuhi kebutuhan

dasar klien dengan iklas, menjelaskan setiap tindakan yang akan dilakukan,

mendengarkan dengan penuh perhatian, bersikap jujur, bersikap empati, dapat

mengendalikan perasaan, selalu mendahulukan kepentingan klien, tidak menerima

uang dari klien, memberi waktu dan perhatian, bekerja dengan terampil, dan

cermat berdasarkan ilmu, kompeten dalam melakukan tindakan keperawatan,

berespon dengan cepat dan tanggap, mengidentifikasi secara dini perubahan status

kesehatan klien, serta memberikan rasa aman dan nyaman (Kozier, 2007).

Sikap keperawatan yang berhubungan dengan perilaku caring dalam praktik keperawatan yaitu:

1. Kehadiran (Presence)

Kehadiran merupakan suatu pertemuan antara perawat dengan klien maupun

keluarga klien yang merupakan upaya untuk lebih mendekatkan dan

menyampaikan manfaat caring. Menurut Fredrikson (1999) dalam Potter dan Perry (2009) kehadiran dapat diartikan dalam “ada di” dan “ada dengan”.

Makna “ada di” merupakan kehadiran secara fisik dengan adanya proses

komunikasi antar perawat dan klien. Sedangkan Pederson (1993) dalam Potter

dan Perry (2009) berpendapat bahwa “ada dengan” dimaknai dengan hubungan

interpersonal, peran perawat yang selalu bersedia atau ada di samping klien

saat klien membutuhkan. Selalu hadir disaat klien membutuhkan, adanya

kontak mata, bahasa tubuh, mendengarkan semua keluhan klien, serta adanya

dukungan yang diberikan perawat akan membantu klien untuk membentuk

(18)

2. Sentuhan (Contact)

Sentuhan merupakan suatu bentuk pendekatan yang dapat menenangkan

dimana perawat dapat mendekatkan diri dengan klien dalam memberikan

perhatian dan dukungan. Pada saat melaksanakan asuhan keperawatan, perawat

dapat memberikan sentuhan untuk memberikan rasa nyaman dan aman kepada

klien, sebagai contoh pada saat pemasangan selang naso gaster atau NGT.

Menurut Boyek dan Watson (1994) dalam Potter dan Perry (2009) sentuhan

juga dianggap sebagai bentuk komunikasi non verbal yang dapat

mempengaruhi rasa keamanan dan kenyamanan klien, meningkatkan harga diri

dan membantu klien menerima keadaannya. Selain itu sentuhan juga

memberikan banyak makna, oleh sebab itu sentuhan harus digunakan dengan

bijaksana. Salah satu bentuk masalah yang sering timbul dalam perilaku

sentuhan yaitu adanya perbedaan budaya antara perawat itu sendiri maupun

perawat dan klien.

3. Mendengarkan (Listen)

Mendengarkan merupakan salah satu perilaku caring yang dapat menjadi awal dalam menjalin hubungan interpersonal. Dalam suatu hubungan pelayanan

perawat untuk membentuk kepercayaan maka perawat harus dapat

mendengarkan keluhan ataupun perasaan klien. Selain itu dengan

mendengarkan maka menunjukkan bahwa perawat memiliki ketertarikan dan

perhatian penuh kepada klien. Pada saat mendengarkan perawat juga harus

dapat memahami apa yang disampaikan klien, mengerti maksud klien dan

(19)

4. Memahami klien

Menurut Bulfin (2005) dalam Potter dan Perry (2009) menyatakan bahwa

dengan memahami klien secara menyeluruh akan dapat membantu perawat

dalam merespon apa yang menjadi persoalan klien. Memahami klien maka

perawat akan terhindar dari asumsi, berfokus pada klien, dan ikut serta dalam

hubungan caring dengan klien yang memberikan informasi dan petunjuk untuk dapat berpikir kritis dan memberikan penilaian klinis. Dengan memahami klien

dapat menjadi pertimbangan perawat dalam mengambil keputusan klinis. Hal

terpenting bagi perawat pemula adalah pemahaman klien bukan hanya sekedar

mengumpulkan data kondisi klien dan gejala klinis yang dialami klien (Potter

& Perry, 2009).

2.3. Interpersonal Teaching Learning Teori Caring Jean Watson

Perawat memahami dengan jelas tentang perannya dalam mengajar,

meskipun hal tersebut sering tidak diperhatikan atau secara sistematis tidak

ditindaklanjuti. Bahkan, secara subjektif aspek hubungan dari proses ini sering

tidak dibuat eksplisit. Misalnya, meskipun mengajar dan memberikan informasi

kesehatan, dengan pendekatan diri secara caring, dan menggunakan hal-hal utama, dalam dialek atau percakapan, memperhatikan aspek transpersonal dari

belajar mengajar dan pentingnnya hubungan secara caring sebagai konteks yang harus ditampilkan bahkan sering diabaikan (Watson, 2008).

Belajar bukan hanya menerima informasi, fakta, atau data. Hal itu

(20)

alami hubungan baik dalam bentuk dan konteks pengajaran yang mempengaruhi

sebuah proses dan menghormati pribadi sepenuhnya. Konten tersebut diatas serta

kesiapan pasien untuk menerima informasi merupakan variabel penting.

Pemahaman konten bagi intelektual secara simbolis dan budaya serta harfiah

mempengaruhi kemampuannya untuk menerima dan memproses informasi. Proses

pengajaran yang standar menjadi transpersonal (melebihi yang semestinya) dalam

pengalaman, hubungan, dan arti dan makna dari pengalaman mempengaruhi

kedua belah pihak dalam pembelajaran tersebut. Dengan demikian, hubungan

yang terjadi di luar konteks pengajaran akan menginformasikan kehidupan dan

perilaku dan tindakan yang mengalir dari pengalaman (Watson, 2008).

Kata "kepatuhan" merupakan kata yang tidak berlaku bagi hubungan

seseorang dalam menindaklanjuti informasi dan saran. Model caritas dari belajar-mengajar tidak beroperasi pada konsep "kepatuhan," dalam model hubungan

otentik dan prosesnya tidak menggunakan satu otoritas dan penggunaan

profesional, posisi unggul dengan pendekatan otoriter yang terkontrol dan

kekuasaan atas yang lain, dengan informasi yang diberikan dan harapan untuk

mematuhi informasi tersebut. Sebaliknya, proses caritas belajar mengajar lebih relasional, percaya, eksplorasi, terlibat, dan akhirnya memberi kebebasan bagi

pasien dan orang lain. Hal ini melibatkan kekuasaan dan dengan kontrol tidak

lebih dari pelajar. Belajar mengajar dalam praktek caritas menghasilkan pengetahuan diri, perawatan diri, kontrol diri, dan bahkan kemungkinan

(21)

membantu yang lain menghasilkan sendiri pemecahan masalah, keputusan, solusi

yang konstruktif, dan tindakan terbaik yang mampu melayaninya (Watson, 2008).

Proses belajar-mengajar caritas tergantung pada kemampuan perawat untuk mendeteksi secara akurat selain perasaan, pikiran, kesiapan, suasana hati, dan

kemudian dengan terhubung dan mengakses persepsi lain, perasaan, perhatian,

pengetahuan, serta pemahaman. Caring proses membutuhkan keterbukaan terhadap perasaan, pengetahuan, informasi yang lain, tingkat pemahaman

intelektual, keterbukaan dan kesiapan untuk belajar (Watson, 2008).

Salah satu keterampilan inti dalam proses ini adalah mampu mengakses

dengan benar, tetap, dan bekerja berdasarkan kerangka acuan orang lain bukan

dari titik acuan sendiri. Proses belajar mengajar yang demikian membutuhkan

hubungan yang bermakna serta waktu dan kepekaan saat mengajar. Hal ini

merupakan kreatif yang baik serta purposive; sehingga membutuhkan perencanaan yang benar dan berpengetahuan, serta tindakan yang diberitahukan

(Watson, 2008).

Sementara dalam keperawatan tradisional peran pendidikan-pengajaran

adalah salah satu dari menyampaikan informasi, ini biasanya dilakukan dengan

cara-cara konvensional dan sekitar isu-isu konvensional seperti pendidikan

diabetes, melahirkan, pemberian obat, dan sebagainya. Proses pengajaran dalam

caritas transpersonal lebih personal, relasional, dan bermakna, konsisten dengan kondisi spesifik individu, kebutuhan, kesiapan, dan seterusnya. Namun,

pendekatan yang lebih luas yang mewakili evolusi berikutnya masih melibatkan

(22)

pergeseran ke arah sehat-kesehatan dan penyembuhan melalui pembinaan yang

disebut dengan Caritas Coaching, yang mencakup transpersonal dan kesatuan yang dilihat dari mengajar tapi masuk lebih mendalam dalam bekerja dan

menggunakan kerangka acuan orang lain (Watson, 2008).

Pembinaan ini membutuhkan pendekatan yang lebih canggih dalam proses

belajar mengajar; memerlukan keterampilan yang lebih spesifik sehubungan

dengan hubungan peduli serta cara untuk benar-benar membantu yang lain dalam

menemukan solusi terbaik, pilihan, dan strategi untuk mengatasi dan memecahkan

masalah dan kebutuhan sesuai identifikasi diri. Rencana untuk pembinaan

didasarkan pada tujuan dan definisi diri, pencapaian motivasi diri. Hal ini

melibatkan ketegasan, menggembirakan, menindaklanjuti, dan merayakan dengan

keberhasilan orang lain. Hal ini mengundang pertumbuhan pribadi dan menjadi

dewasa, membantu yang lain menemukannya atau sistem dukungannya,

lingkungan yang memperkuat tujuan individu; Caritas Coaching membantu yang lain menghadapi sisi gelap dari kebiasaan negatif dan cara berpikir dan

menemukan kekuatan batin dan hadiahnya. Melalui model yang diperluas ini,

perawat menjadi lebih dari seorang pendatang bersama dengan yang lain,

membantu yang lain menemukan energi baru, waktu, dan cara-cara untuk unggul

dengan bekerja dari dalam ke luar, menghubungkan semangat dan otentik

kerinduan batin untuk dirinya (Watson, 2008).

Caritas Coaching membuat orang memiliki pemecah masalah terbaik; orang tersebut adalah sumber terbaik bagi dirinya sendiri untuk menemukan solusi

(23)

demikian, Caritas Coaching adalah model yang sangat berbeda dari pendekatan belajar-mengajar konvensional dimana menanamkan informasi dan content

dengan otoritas dan pengetahuan sering tanpa pemahaman konteks, makna, dan

hubungan yang sehubungan dengan aspirasi yang lain dalam batin, harapan,

kerinduan yang mendalam, dan kebutuhan. Caritas Coaching terus menjadi sumber daya untuk orang bahkan setelah orang tersebut telah memenuhi

tujuannya atau memiliki kemunduran (Watson, 2008).

2.4. Action Research

2.4.1. Konsep Action Research

Kemmis dan Mc Taggart (1988) dalam bukunya yang berjudul “The Action

Research Planner” membuat suatu panduan bagi para guru, dosen maupun

administrator yang tertarik untuk membuat suatu perubahan dan peningkatan

dalam institusi pendidikan. Action research atau penelitian tindakan menurut Kemmis dan McTanggart (1988) adalah suatu bentuk penelitian reflektif diri

secara kolektif dilakukan peneliti bersama partisipan dalam situasi sosial untuk

meningkatkan penalaran praktek sosial dan pendidikan peneliti dan partisipan

serta pemahaman peneliti dan partisipan tentang perilaku dan situasi dimana

praktek-praktek tersebut akan dilakukan.

Individu, kelompok masyarakat, dan organisasi yang hendak memanfaatkan

penelitian tindakan (action research) harus memiliki validitas ilmu pengetahuan tentang 4 dimensi pengalaman manusia, yaitu: (1) Pengetahuan tentang

(24)

aktivitas apa saja yang selalu menuntut perhatian dan pengetahuan tentang kapan

suatu tujuan lebih diutamakan daripada yang lain, (2) Pengetahuan tentang

strateginya, kemampuan intelektual dan kognitif terkait dengan teori-teori yang

mendasari pilihan-pilihan, (3) Pengetahuan tentang pilihan-pilihan tindakan

terbuka, secara esensial pengetahuan ini dinamakan pengetahuan berbasis praktik

berdasarkan kesadaran tentang keahlian pribadi dan antar pribadi; dan akhirnya,

(4) Pengetahuan tentang dunia luar, yakni pengetahuan empiris tentang

konsekuensi-konsekuensi dari perilaku itu sendiri. Dengan demikian visi

penelitian tindakan adalah sebuah perhatian yang berusaha merangkum dan

menyatukan empat dimensi pengalaman manusia. Perhatian disini merujuk pada

apa yang tampak, apa yang dapat diraih, dan ketidaksesuaian-ketidaksesuaian apa

saja yang dapat dikoreksi menyangkut misi, strategi, operasi, dan hasil. Hal ini

adalah sumber dari kebenaran jiwa yang mencakup seluruh semesta kesadaran

(Torbert, 1991 dalam Denzin & Lincoln, 2009).

Action research dimulai dari adanya perhatian terhadap ketidakberdayaan suatu kelompok yang diamati dan tujuan kuncinya adalah menghasilkan suatu

dorongan yang secara langsung berguna untuk membuat perbaikan melalui

tindakan pendidikan dan sosial politik. Dalam action research, metode penelitian mengambil kedua tempat memunculkan proses kolaborasi dan dialog yang dapat

memotivasi, meningkatkan harga diri dan membangkitkan solidaritas dalam

komunitas. Strategi data yang dikumpulkan tidak hanya melalui metode

wawancara dan observasi (mencakup keduanya yaitu kuantitatif dan kualitatif)

(25)

yang bertujuan untuk mendorong individu menemukan kreatifitas mereka dalam

menyelidiki hidup mereka, mengatakan cerita mereka, dan mengenal kekuatan

mereka (Polit & Beck, 2012).

2.4.2. Ciri-ciri Action Research

Kemmis dan McTaggart (2000), dalam Denzin dan Lincoln (2009)

menyebutkan action research sebagai penelitian tindakan berdasarkan partisipatif

(participatory action research). Terdapat tujuh ciri utama Participatory Action Research (PAR) yaitu:

1. Participatory Action Research adalah sebuah proses sosial

PAR secara sadar mengkaji hubungan antara ranah individu dengan ranah

sosial. PAR menyadari bahwa “mustahil terjadi individuasi tanpa sosialisasi, dan sosialisasipun tidak mungkin tanpa individuasi”, dan bahwa proses

individuasi dan sosialisasi terus menerus membentuk individu-individu dan

hubungan sosial di segenap setting tempat kita berada. PARmerupakan sebuah proses yang ditempuh dalam penelitian yang di setting, seperti setting

pendidikan dan pembangunan masyarakat, ketika manusia secara individu dan

kolektif, berusaha untuk memahami bagaimana diri mereka dibentuk dan

dibentuk ulang sebagai individu-individu dan dalam hubungannya dengan satu

sama lain diberbagai setting.

2. Participatory Action Research berciri partisipatoris

PAR mengajak manusia untuk mengkaji ilmu pengetahuan (pemahaman,

kecakapan, dan nilai-nilai) dan kategori-kategori interpretif manusia (yaitu cara

(26)

material). PAR merupakan sebuah proses yang menjadi sarana bagi

masing-masing individu dalam sebuah kelompok berupaya untuk menangani cara-cara

ilmu pengetahuan membentuk kepekaan akan rasa identitas dan keberfungsian

diri serta merefleksikan secara kritis bagaimana ilmu pengetahuan saat ini

membingkai dan membatasi tindakan manusia.

3. Participatory Action Research berciri praktis dan kolaboratif

PAR mengajak manusia untuk mengkaji praktik-praktik sosial yang

menghubungkan diri individu dengan orang-orang lain dalam interaksi sosial.

PAR merupakan sebuah proses yang menjadi sarana bagi manusia untuk

mengeksplorasi praktik-praktik komunikasi, produksi, dan pengorganisasian

sosial, serta berupaya mengeksplorasi cara untuk meningkatkan

interaksi-interaksi manusia dengan mengubah tindakan-tindakan yang membentuk

interaksi tersebut yaitu, mengurangi aspek-aspek interaksi yang dialami oleh

partisipan yang irasional, tidak produktif atau tidak efisien, tidak adil, dan/ atau

tidak memuaskan (menimbulkan alienasi). Para peneliti PAR berupaya untuk

menjalin kerjasama dalam merekonstruksi interaksi-interaksi sosial dengan

merekonstruksi tindakan-tindakan yang membentuk interaksi tersebut.

4. Participatory Action Research berciri emansipatoris

PAR bertujuan untuk membantu manusia agar pulih dan melepaskan diri dari

tekanan-tekanan struktur sosial yang irasional, tidak produktif, tidak adil dan

tidak memuaskan yang membatasi perkembangan diri dan kemandirian diri.

PAR merupakan sebuah proses yang menjadi sarana bagi manusia untuk

(27)

struktur-struktur sosial (kultural, ekonomi, dan politik) yang lebih luas dan mengkaji

apakah diri manusia dapat ikut campur tangan untuk melepaskan diri dari

hambatan-hambatan tersebut. Artinya, jika manusia tidak dapat melepaskan diri

dari hambatan-hambatan tersebut, maka apakah cara terbaik untuk ikut terlibat

didalamnya dalam upaya untuk meminimalkan tingkat hambatan-hambatan

tersebut dan untuk mengurangi munculnya irasionalitas, kurangnya

produktivitas (ketidakefisienan), ketidakadilan, dan ketidakpuasan (alienasi) di

kalangan manusia untuk membentuk kehidupan sosial bersama.

5. Participatory Action Research berciri kritis

PAR bertujuan untuk membantu manusia agar pulih dan melepaskan diri

sendiri dari hambatan-hambatan yang lekat dengan media sosial yang menjadi

wahana interaksi manusia: bahasa (wacana), pola kerja, dan relasi sosial

kekuasaan manusia (yang menjadi sarana bagi manusia untuk mengalami

aviliasi perbedaan, baik secara inklusi dan ekslusi yaitu, adanya

hubungan-hubungan yang secara gramatis menjadi sarana bagi manusia untuk

berinteraksi dengan orang lain dalam pola orang ketiga, kedua atau pertama).

PAR merupakan sebuah proses ketika manusia secara sadar berketetapan hati

untuk memperjuangkan dan membentuk ulang cara-cara irasional, tidak

produktif atau tidak efisien, tidak adil, dan/atau tidak memuaskan

(menimbulkan alienasi) dalam menafsirkan dan mendeskripsikan dunia

manusia, cara-cara kerja (pekerjaan), dan cara-cara menghubungkan diri

(28)

6. Participatory Action Research berciri recursif (refleksi dan dialektis)

PAR bertujuan untuk membantu manusia dalam mengkaji realita agar mampu

mengubah dan mengkaji dengan cara mengubah praktik-praktik manusia

melalui siklus spiral aksi dan pengkajian kritis diri sebagai sebuah proses sosial

dan yang dirancang untuk membantu manusia agar dapat lebih banyak belajar

dan menyusun teori tentang praktik-praktik, ilmu pengetahuan tentang praktik

dan aneka struktur sosial yang membentuk dan membatasi praktik-praktik

manusia. PAR merupakan sebuah proses pembelajaran, bersama-sama orang

lain dengan melakukan, mengubah cara-cara berinteraksi di dalam dunia sosial

bersama demi hal yang lebih baik maupun lebih buruk, menjadi tempat untuk

menerima dan menanggung konsekuensi dari tindakan individu dan tindakan

orang-orang lain.

7. Participatory Action Research bertujuan untuk mengubah teori dan praktik PAR tidak mementingkan hubungan salah satunya antara teori dan praktik.

PAR bertujuan untuk mengartikulasikan dan mengembangkan keduanya dalam

hubungan satu sama lain melalui penalaran kritis tentang teori dan praktik

berikut konsekuensi keduanya. PAR tidak bertujuan untuk mengembangkan

bentuk-bentuk teori yang mampu berdiri terpisah dan lepas dari praktik,

seolah-olah praktik dapat dikendalikan dan ditentukan tanpa

mempertimbangkan aspek-aspek partikular dari situasi praktis yang dihadapi

oleh para praktisi dalam kehidupan dan pekerjaan masing-masing. PAR juga

tidak bertujuan untuk mengembangkan bentuk-bentuk praktik yang dapat

(29)

2.4.3. Proses Action Research

Kemmis dan McTaggart (1988) menyatakan bahwa secara umum action research mencakup sebuah spiral siklus reflektif diri berupa merencanakan sebuah perubahan, mempelajari dan mengamati proses dan konsekuensi tersebut,

merencanakan ulang, mempelajari dan mengamati, mengkaji lagi dan seterusnya.

Siklus action research terdiri dari planning, action, observation dan reflection.

Berikut ini dijelaskan mengenai ke empat tahap pada siklus tersebut, yaitu :

1. Planning

Planning direncanakan untuk tindakan positif dan berorientasi ke masa depan yang bersifat fleksibel. Segala faktor resiko dianalisa dalam fase ini dan

dipersiapkan untuk evaluasi sebelum dipilih tindakan yang akan dilakukan.

Pada fase ini diperlukan kolaborasi antara peneliti dan partisipan untuk

memahami teori dan praktik.

2. Action

Action merupakan tindakan yang disengaja dan dikontrol secara hati-hati dan teliti serta memberikan informasi penting. Action di pandu oleh rencana yang telah dibuat, tetapi tidak seluruhnya berpedoman pada planning karena hal ini sangat beresiko. Rencana untuk action harus fleksibel, memiliki sifat sementara dan terbuka terhadap perubahan. Implementasi dan action

mengasumsikan material, sosial, dan politik untuk ditingkatkan lebih baik lagi.

(30)

3. Observation

Observation berfungsi sebagi dokumentasi efek yang penting dari tindakan. Observasi harus direncanakan dengan baik dan akan menjadi dokumen yang

penting untuk melakukan refleksi. Rencana observasi harus fleksibel dan

terbuka terhadap pencatatan yang mungkin tidak diprediksi sebelumnya.

4. Reflection

Reflection disebut juga action yang sudah dicatat dalam observation. Refleksi memperlihatkan bagaimana proses berlangsung, masalah, issue dan manifestasi

dalam tindakan strategis. Refleksi dibantu dengan cara berdiskusi dengan

partisipan. Refleksi memiliki aspek evaluasi yang merupakan pertanyaan

peneliti dalam menilai pengalaman mereka, menetapkan efek yang diinginkan

dan menyarankan apa yang akan dilakukan kemudian. Tahap refleksi berusaha

mendapatkan kekurangan yang terjadi supaya bisa dibuat suatu usulan

pemecahan masalah.

Bentuk siklus action research dapat dilihat pada gambar dibawah ini:

(31)

Keterangan gambar 1:

R : Rencana tindakan Rf : Refleksi

A & O : Aplikasi tindakan dan observasi RR : Revisi Rencana

Kemmis dan McTaggart (1988) menjelaskan bahwa dalam melaksanakan

action research memerlukan beberapa langkah tindakan yaitu peninjauan

(reconnaissance), membuat perencanaan (planning), melaksanakan rencana

(action) dan observasi (observation), serta penilaian (reflection). Berikut penjelasan dari langkah-langkah tindakan tersebut, yaitu:

1. Reconnaissance

Reconnaisance, merupakan tahap awal dalam mencari permasalahan yang ada. Tahap ini dapat disebut juga tahap preliminary study, yaitu mempelajari masalah yang ada dan menentukan tema yang penting. Tahap ini

menggambarkan apa yang terjadi sekarang dan apa yang kita lakukan sekarang.

Pernyataan-pernyataan tentang masalah yang ada mulai dimunculkan pada

tahap ini. Dasar dalam merencanakan langkah awal sebelum melakukan

tindakan pertama sekali adalah pemeriksaan atau peninjauan (reconnaissance). Tahap ini berguna karena peneliti harus memiliki dasar dalam merencanakan

tindakan yang akan dijadikan sebagai pandangan awal atas bagaimana situasi

yang dihadapi dan syarat-syarat yang perlu diperhatikan dan dipenuhi.

Kegunaan fase reconnaissance adalah untuk membantu mengorientasikan diri dalam bertindak dan mengenal sesuatu yang memungkinkan untuk

(32)

2. Planning

Planning merupakan perencanaan yang bersifat untuk perbaikan. Tahap ini berorientasi pada peneliti tentang bagaimana kolaborasi dengan partisipan.

Perencanaan meliputi rencana untuk merubah dengan menggunakan bahasa,

aktivitas dan praktik, hubungan antara manusia dan organisasi, dan

merencanakan hasil yang diinginkan.

3. Action dan Observation

Action dan observation adalah mengimplementasikan rencana dan mengobservasi pekerjaan yang dilakukan. Tahap ini adalah melaksanakan

rencana yang sudah ditetapkan, meliputi melaksanakan rencana untuk berubah

dengan menggunakan bahasa, aktivitas dan praktik, hubungan antara manusia

dan organisasi, dan mengobservasi hasil dari implementasi yang telah

dilakukan.

4. Reflection

Reflection merupakan waktu untuk memberikan analisa, sintetis, interpretasi dan menyimpulkan hal yang penting. Pada tahap refleksi berfokus pada hasil

yang telah di capai kemudian di buat analisa untuk perbaikan pada cycle

berikutnya.

2.5. Kerangka Konseptual

Kerangka konseptual penelitian ini disusun berdasarkan landasan teori

keperawatan Watson’s Theory of Transpersonal yaitu Carative Factor ke tujuah

(33)

di rumah sakit. Dalam penyusunan progam orientasi kerja perawat baru, peneliti

mengacu kepada kegiatan yang dilakukan oleh pimpinan dan bagian keperawatan

rumah sakit. Peneliti juga menggunakan hasil penelitian yang berhubungan dengan masalah-masalah yang muncul dalam penelitian program orientasi kerja.

Program orientasi kerja bagi perawat baru dikembangkan dengan menggunakan

metode penelitian action research. Hasil penelitian ini meningkatkan pengetahuan pimpinan dan tim pelaksana program orientasi kerja tentang program orientasi

kerja berbasis caring, pengetahuan perawat baru tentang program orientasi kerja berbasis caring, tingkat kepuasan perawat baru dalam menerapkan prinsip keperawatan caring untuk meningkatkan mutu pelayanan keperawatan dan membawa perubahan dalam berkomunikasi kepada pegawai lainnya dan pasien

serta perubahan dalam memberikan pelayanan keperawatan kepada pasien dengan

prinsip caring. Pengembangan program orientasi kerja dilakukan dalam satu siklus penelitian action research yang mengacu pada teori action research oleh Kemmis dan McTaggart (1988). Kerangka teori penelitian ini dapat dilihat pada

(34)

Skema 2.2 Kerangka Konseptual dan Metodologi Pengembangan Program Orientasi Kerja Berbasis Caring di Rumah Sakit Umum Natama

Kota Tebing Tinggi

Pengetahuan tim pelaksana, pengetahuan perawat baru, dan tingkat kepuasan perawat baru tentang program orientasi kerja berbasis caring

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini menggunakan tiga macam metode pengumpulan data, yaitu: (1) metode observasi dilakukan untuk mengetahui kelengkapan sarana dan prasarana di sekolah

Pasien yang akan menjalani operasi harus diberi informasi secara jelas tentang persiapan menjelang operasi untuk menurunkan atau mengurangi gejala kecemasan serta

Aji Sujatman , 201310225086, Fakultas Teknik Program Studi Teknik Informatika Universitas Bhayangkara Jakarta R aya, judul skripsi “ Sistem Pendukung Keputusan

This research was intended to investigate whether the cooperative script technique is effective to improve reading comprehension ability to thetenth grade students

Selanjutnya, untuk 51 pernyataan yang berkategori B (baik), peneliti hanya membahas untuk nilai indeks kepuasan mahasiswa yan berada pada indeks terendah 0.045 -

Skripsi ini bertujuan untuk memaparkan fungsi dan peran Taman Kebun Bunga dalam memperkenalkan sosok Tjong Yong Hian yang adalah Tokoh Masyarakat Tionghoa di

Hal ini dapat ditempuh dengan menerapkan model pembelajaran CTL dimana model ini berupaya membawa pemikiran peserta didik untuk lebih memahami makna dari suatu

Stadia sungai dan stadia daerah pada satuan geomorfologi ini adalah stadia dewasa hingga tua (Nugroho, 2004) yang dicirikan dengan tidak adanya