BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan pustaka yang digunakan dalam penelitian ini adalah konsep
orientasi kerja, teori caring Watson , action research dan kerangka teori. Adapun penjelasannya masing-masing diuraikan sebagai berikut :
2.1. Orientasi Kerja
2.1.1. Defenisi Orientasi Kerja
Orientasi kerja adalah proses penyesuaian bagi pekerja baru dengan
lingkungan pekerjaan sehingga pegawai baru dapat berhubungan cepat dengan
lingkungan sekitarnya yang baru dan bermaksud membuat pegawai baru merasa
diinginkan dan diperlukan oleh rekan sekerja serta atasan, juga untuk meyakinkan
pekerja tersebut bahwa kehadirannya dibutuhkan untuk mewujudkan cita-cita
organisasi (Gillies, 1989). Selain itu orientasi kerja merupakan suatu program
untuk memperkenalkan pegawai baru pada peran-perannya, organisasi,
kebijaksanaan-kebijaksanaannya, nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, dan pada
rekan kerja mereka yang dilakukan melalui sebuah program formal atau informal.
Hal ini mungkin juga perlu dilakukan pada pegawai yang sudah lama bekerja bila
mereka dipromosikan, dialihkan (transfer) pada tugas-tugas yang lain, atau bilamana harus dilakukan pemutusan hubungan kerja (Hariandja, 2009). Hal yang
sama juga dikemukakan oleh Wijaya, Sitorus, dan Handayani (2010) bahwa
orientasi merupakan proses kegiatan memberikan informasi yang berhubungan
mempermudah perawat baru menyesuaikan dalam melaksanakan tugas dan fungsi
yang dibebankan kepadanya.
2.1.2. Tujuan Orientasi Kerja
Tujuan proses orientasi kerja adalah membuat pegawai merasa bagian tim.
Hal ini akan mengurangi gesekan dan membantu pegawai baru menjadi mandiri
dalam peran baru mereka dengan lebih cepat, untuk meminimalkan
kecenderungan pelanggaran peraturan, keluhan, dan kesalahpahaman, untuk
menumbuhkan perasaan memiliki dan menerima, serta meningkatkan antusiasme
dan moral (Marquis & Huston, 2010).
Program orientasi kerja berbasis kompetensi yang diterapkan sejak perawat
baru memasuki lingkungan kerja baru digunakan agar setelah perawat baru
melalui proses ini memiliki kompetensi dalam hal: 1) Keterampilan interpersonal,
2) Keterampilan teknis, dan 3) Keterampilan berfikir kritis (Bueno, 1994 dalam
Engelke, Marshburn, & Swanson, 2009 dalam penelitian Wijaya, Sitorus, &
Handayani, 2012). Upaya penerapan program orientasi kerja berbasis kompetensi
bagi perawat baru ditujukan agar perawat baru memiliki penampilan kinerja
professional (Wijaya, Sitorus, & Handayani, 2012).
Salah satu yang menjadi tujuan atau alasan pelaksanaan program orientasi
kerja adalah untuk menjawab tantangan yang biasanya dihadapi oleh pegawai
baru, antara lain:
1. Menghadapi harapan yang tidak realistis yang berkaitan dengan jenis pekerjaan
diterima, kemampuan mengaplikasikan ilmu yang telah dipelajari,
keseimbangan antara tujuan pribadi dan tujuan organisasi.
2. Mempelajari banyak mengenai tujuan karier mereka, yaitu jabatan tertinggi
yang dapat diraih dalam organisasi itu, dan apakah pengetahuan, keterampilan
dan kemampuan yang mereka miliki sesuai dengan pekerjaan yang akan
dilakukan.
3. Menentukan tujuan yang penting pada organisasi dan diterima oleh rekan kerja
dan atasan/ supervisor.
Akreditasi Rumah Sakit Versi 2012 pada Standar Kualifikasi dan
Pendidikan Staf (KPS) nomor 7 menyebutkan bahwa maksud dan tujuan
pelaksanaan program orientasi kerja merupakan keputusan menugaskan seseorang
sebagai staf dalam rumah sakit yang menimbulkan beberapa proses dalam
pelaksanaanya. Agar berkinerja baik, staf baru apapun status kepegawaiannya
butuh mengerti keseluruhan rumah sakit dan bagaimana tanggungjawab khusus
klinis atau nonklinisnya agar bisa berkontribusi pada misi rumah sakit. Hal ini
dapat dicapai melalui orientasi umum rumah sakit dan orientasi khusus terhadap
perannya dalam rumah sakit. Orientasi kerja tersebut termasuk pelaporan medical record, pengendalian dan pencegahan infeksi, kebijakan rumah sakit terhadap perintah medis melalui telepon dan sebagainya.
2.1.3. Pelaksana Program Orientasi Kerja dan Isi Program
Tanggungjawab program orientasi kerja dilaksanakan oleh 3 bagian, yaitu:
(1) Departemen personalia; melaksanakan fungsi pengupahan dan kepegawaian,
orientasi ke organisasi, tanggungjawab pegawai ke organisasi dan sebaliknya,
hubungan kerja manajemen tambahan dan rencana manfaat, (2) Departemen
pengembangan staf ; menyebarkan dan mengulas buku saku pegawai, membahas
filosofi dan misi organisasi, mengulas riwayat organisasi, memperlihatkan media
presentasi dari berbagai bagian dan fungsinya (jika media presentasi tidak
tersedia, perkenalkan berbagai kepala bagian dan jelaskan fungsi kerja
departemen tersebut), membahas struktur organisasi, program pemadaman
kebakaran dan keselamatan, sertifikasi dan verifikasi RJP, membahas program
pendidikan dan pelatihan yang tersedia, mengulas kebijakan dan prosedur pilihan,
dan menjelaksan kebijakan obat dan terapi, (3) Departemen unit ; orientasi ke
departemen, perkenalan, mengulas kebijakan unit yang spesifik yang berbeda
sedemikian rupa dari kebijakan umum, mengulas penjadwalan unit dan kebijakan
serta prosedur kepersonaliaan, penugasan kerja, kebijakan promosi dan
pemindahan, pembentukan rasa memiliki, menerima dan sosialisasi (Marquis &
Huston, 2010).
Wahyuni (2007) menyebutkan bahwa penyelenggaran program orientasi
kerja perlu melibatkan dua pihak yaitu unit yang mengurusi tentang sumber daya
manusia dan para manajer langsung dari pegawai baru. Begitu juga menurut
Hariandja (2009), kegiatan orientasi kerja biasanya dilakukan oleh departemen
sumber daya manusia dan atasan langsung dari pegawai tersebut untuk
mensosialisasikan nilai-nilai organisasi pada pegawai baru. Departemen sumber
daya manusia biasanya menyampaikan isi program tentang hal-hal yang umum
Isi program orientasi kerja yang menyangkut aspek-aspek umum adalah (1)
Aspek-aspek organisasi, antara lain; sejarah pendiri perusahaan, organisasi
perusahaan, nama-nama pejabat kunci, nama-nama pekerja dan departemen,
layout peralatan secara fisik, masa percobaan, produk atau jasa yang ditawarkan, gambaran proses produksi, aturan-aturan dan kebijaksanaan perusahaan,
peraturan-peraturan mengenai disiplin, buku pegangan pegawai, dan pelaksanaan
keselamatan kerja. (2) Manfaat yang didapat pegawai, antara lain: skala gaji, cuti,
masa istirahat, latihan dan pengembangan yang didapat, bimbingan kerja,
asuransi, program pensiun, bantuan yang dapat diberikan perusahaan, dan
program-program rehabilitasi. (3) Perkenalan, terdiri dari; perkenalan dengan
supervisor, perkenalan dengan pelatih, perkenalan dengan rekan kerja, dan
perkenalan dengan pembina. (4) Tugas-tugas, antara lain: lokasi pekerjaan,
tugas-tugas, persyaratan keamanan kerja, gambaran pekerjaan, sasaran pekerjaan, dan
hubungan dengan pekerjaan lain (Hariandja, 2009).
Isi program orientasi kerja untuk aspek khusus berkaitan langsung dengan
pekerjaan dalam dimensi yang lebih rinci, yang berkaitan langsung dengan
pekerjaan seperti memperkenalkan dengan rekan kerja, tempat kerja, persyaratan
keselamatan kerja dan lain-lain (Hariandja, 2009). Program orientasi kerja bagi
staf keperawatan sebaiknya terdiri dari dua bagian yaitu instruksi yang harus
diberikan kepada setiap pegawai guna menyesuaikan diri dengan tujuan dan
fungsi keseluruhan dari lembaga, serta instruksi yang berkenaan dengan
2.1.4. Bentuk Program Orientasi Kerja di Rumah Sakit
Ada perbedaan yang sangat tajam diantara organisasi keperawatan
berkenaan dengan lama, bentuk dan isi program orientasi kerja untuk perawat.
Dalam banyak lembaga, orientasi dua minggu diberikan kepada personil
keperawatan yang ditugaskan di ruang operasi atau unit rawat intensif. Beberapa
unit kerja pelaksanaan program orientasi kerja diberikan selama tiga bulan kepada
semua perawat yang baru lulus untuk menekan “kekagetan realitas” selama masa
transisi dari status siswa ke status pegawai (Minor & Thompson, 1981 dalam
Gillies, 1989). Beberapa lembaga memberikan program orientasi kerja atau masa
belajar suatu keahlian selama enam atau duabelas bulan kepada perawat yang baru
lulus (Tonges & Jones, 1985 dalam Gillies, 1989).
Beberapa unit kerja memberikan program orientasi kerja terpisah untuk
program sarjana luar biasa (associate degree), karena jumlah jam belajar laboratorium di dalam program sarjana luar biasa tersebut dalam beberapa hal
sekitar 66% dari jam praktek klinik yang diberikan dalam sebuah program
diploma keperawatan (Brunt, 1984 dalam Gillies, 1989). Disatu rumah sakit,
walaupun lulusan sarjana luar biasa diberikan orientasi enam minggu yang
termasuk didalamnya arahan kegiatan jaminan kualitas, format pemetaan masalah
pada orientasi, pengembangan rencana keperawatan, aplikasi proses keperawatan,
kebijaksanaan dan prosedur rumah sakit, kegiatan kepemimpinan tim (termasuk
pembuatan tugas, membantu anggota tim, menghitung bahan-bahan pembius,
membantu lulusan sarjana luar biasa tersebut memahami klinis tempat mereka
ditugaskan (Brunt, 1984 dalam Gillies, 1989).
Bentuk program orientasi bisa sentralisasi atau desentralisasi, standardisasi
atau individualisasi. Artinya, program orientasi bisa dilakukan oleh pejabat pusat
instruktur pendidikan kepada personil untuk semua unit keperawatan klinis, atau
bisa dilakukan anggota staf khusus di dalam masing-masing divisi keperawatan,
seksi, atau unit dengan tanggungjawab mengorientasikan personil ke area tersebut.
Ketika sebuah program orientasi diikuti, semua personil keperawatan yang baru
diangkat di dalam unit atau divisi mengikuti sesi orientasi yang sama, tanpa
memperhatikan persiapan atau pengalaman kerja sebelumnya. Ketika orientasi
bersifat perseorangan untuk masing-masing pekerja, sesi orientasi ditetapkan dan
pengalaman khusus dirancang untuk menambah dan melengkapi pengalaman
pekerja tersebut (Gillies, 1989).
Filosofi dan kerangka kerja program orientasi untuk perawat harus
mencerminkan filosofi dan tujuan unit kerja kesehatan itu sendiri. Dalam satu unit
kerja program orientasi perawat didasarkan pada hirarki kebutuhan manusia dari
Maslow (Buickus, 1984 dalam Gillies, 1989). Ternyata, suatu orientasi yang
didasarkan pada kerangka kerja tersebut dimulai dengan mengikuti kebutuhan
fisik peserta orientasi dan selanjutnya memfokuskan satu persatu pada kebutuhan
keamanan peserta orientasi serta kebutuhan akan kasih sayang dan penghargaan,
akhinya memberikan pengalaman yang bisa membawanya mencapai aktualisasi
diri. Beberapa unit kerja menerapkan kerangka kerja program orientasi untuk
dalam Gillies, 1989). Suatu orientasi yang berdasarkan pada kerangka kerja pada
proses keperawatan dapat melakukan kegiatan awal yakni pengkajian teknis dan
penggunaan kajian informasi; selanjutnya bisa diikuti oleh bagian mengenai
perencanaan perawatan dan intruksi dalam keahlian keperawatan; dan akhirnya,
informasi serta pengalaman bisa diberikan dalam mengevaluasi struktur proses
dan hasil asuhan keperawatan.
Isi dari program orientasi di dalam unit keperawatan, seksi, atau divisi
sebaiknya dipilih oleh perawat yang praktek di dalam keahlian tersebut. Dalam
merencanakan program orientasi untuk perawat medis, direktur divisi
keperawatan medis dapat menunjuk panitia orientasi bagi divisi yang terdiri dari
beberapa orang dan dari beberapa unit, seperti seorang supervisor unit rawat
intensif, kepala perawat unit ginjal, perawat staf dari unit rawat jantung, dan
perawat dari unit medis umum. Untuk ini, direktur harus merencanakan orientasi
untuk masing-masing klasifikasi personil dalam divisi keperawatan medis
tersebut. Direktur diharapkan untuk lebih tahu mengenai strategi pengajaran
dibanding dengan seorang kepala perawat atau staf perawat, namu pekerja lini
dalam divisi keperawatan medis lebih tahu akan pengetahuan dan keahlian yang
diperlukan untuk merawat pasien medis di dalam lembaga mereka sendiri.
Merekalah yang sebaiknya merencanakan program orientasi untuk personil
perawat pasien, meminta bantuan sesuai yang dibutuhkan dari psikolog,
perencana, dan para ahli teknik untuk menyaring sasaran, memilih isinya,
menetapkan pengalaman pembelajaran, merancang alat evaluasi, dan lain
Orientasi pegawai terhadap pekerjaanya tidak hanya direncanakan oleh
personil dari divisi dimana ia akan bekerja, namun bila mungkin dilaksanakan
juga oleh supervisor pegawai atau seorang perawat yang ditugaskan oleh
supervisor tersebut. Penyusunan seperti itu dilakukan karena atasan langsung dari
pegawai tersebut mengerti standar pelaksanaan kerja lebih baik dibandingkan
siapapun dan karena pekerja akan setuju dengan orientasi yang dilakukan oleh
atasannya tersebut jika atasannya tersebut langsung terlibat dalam orientasi
(Gillies, 1989).
2.2. Teori Caring Jean Watson 2.2.1. Model Caring
Watson (1996) dalam Fawcett (2005) menyatakan bahwa gambaran
terhadap manusia menunjukkan bahwa dia menganggap orang tersebut sebagai
suatu kesatuan antara pikiran, tubuh dan jiwa/ alam. Watson menggambarkan
kehidupan manusia didasarkan pada defenisi jiwanya. Konsep jiwa menurut
Watson (1985) mengacu pada spirit, inner self, atau esensi seseorang, yang terkait dengan rasa yang lebih besar seperti kesadaran diri, tingkat kesadaran diri yang
lebih tinggi, kekuatan batin dan kekuasaan yang dapat memperluas kapasitas
manusia dan memungkinkan seseorang untuk melampauinya atau dirinya yang
biasanya.
Watson (1988) dalam George (1990) dalam penelitian Muhlisin dan Ichsan
keperawatan. Manusia akan eksistensi bila dimensi spritualnya meningkat
ditunjukkan dengan penerimaan diri, tingkat kesadaran diri yang tinggi, kekuatan
dari dalam diri, intuitif. Caring sebagai esensi dari keperawatan berarti juga pertanggungjawaban hubungan antara perawat-klien, dimana perawat membantu
memperoleh pengetahuan dan meningkatkan kesehatan.
“Theory of human caring” Watson, mempertegas jenis hubungan dan
transaksi yang diperlukan antara pemberi dan penerima asuhan untuk
meningkatkan dan melindungi pasien sebagai manusia yang mempengaruhi
kesanggupan pasien untuk sembuh. Watson mengemukakan bahwa caring
merupakan inti dari keperawatan. Dalam hal ini caring merupakan perwujudan dari semua faktor yang digunakan perawat dalam memberikan pelayanan
kesehatan pada klien. Kemudian caring juga menekankan harga diri individu, artinya dalam melakukan praktik keperawatan, perawat senantiasa selalu
menghargai klien dengan menerima kelebihan maupun kekurangan klien. Watson
juga mengemukakan bahwa respon setiap individu terhadap suatu masalah
kesehatan unik, artinya dalam praktik keperawatan, seorang perawat harus mampu
memahami setiap respon yang berbeda dari klien terhadap penderitaan yang
dialaminya dan memberikan pelayanan kesehatan yang tepat dalam setiap respon
yang berbeda baik yang sedang maupun akan terjadi.
Caring hanya dapat ditunjukkan dalam hubungan interpersonal yaitu hubungan yang terjadi antara perawat dengan klien, dimana perawat menunjukkan
meliputi komitmen untuk memberikan pelayanan keperawatan yang didasarkan
pada ilmu pengetahuan. Dalam praktiknya, perawat di tantang untuk tidak ragu
dalam menggunakan pengetahuan yang dimilikinya dalam praktik keperawatan.
Watson dalam memahami konsep keperawatan terkenal dengan human caring theory. Tolak ukur pandangan Watson ini didasari pada unsur teori kemanusiaan. Watson (1985) dalam Talento (1995) membagi kebutuhan dasar
manusia dalam dua peringkat utama, yaitu kebutuhan yang tingkatnya lebih
rendah (lower order needs) dan kebutuhan yang tingkatnya lebih tinggi (higher order needs). Pemenuhan kebutuhan yang tingkatnya lebih rendah tidak selalu membantu upaya kompleks manusia untuk mencapai aktualisasi diri. Setiap
kebutuhan dipandang dalam konteksnya terhadap kebutuhan lain dan semuanya
dianggap penting. Kebutuhan manusia yang saling berhubungan diantaranya
kebutuhan dasar biofisikal (kebutuhan untuk hidup yang meliputi kebutuhan
makanan dan cairan, kebutuhan eliminasi, kebutuhan ventilasi, kebutuhan
psikofisikal (kebutuhan fungsional) yang meliputi kebutuhan aktivitas dan
istirahat, kebutuhan seksualitas; kebutuhan psikososial (kebutuhan untuk
integrasi) yang meliputi kebutuhan intrapersonal dan interpersonal (kebutuhan
aktualisasi diri).
Berdasarkan kebutuhan tersebut, Watson memahami bahwa manusia adalah
makhluk yang sempurna yang memiliki berbagai macam ragam perbedaan,
sehingga dalam upaya mencapai kesehatan, manusia seharusnya dalam keadaan
sejahtera baik fisik, mental, dan spiritual karena sejahtera merupakan
tersebut keperawatan harus berperan dalam meningkatkan status kesehatan,
mencegah terjadinya penyakit, mengobati berbagai penyakit dan penyembuhan
kesehatan.
Teori Watson bekerja sebagai teori human caring dan ilmu beserta seni
human caring yang sudah diaplikasikan pada berbagai tempat praktik keperawatan. Brockopp, Schreiber, Hill, Altpeter, Moe, dan Merritt, (2011)
menjelaskan suatu penelitian dimana mempraktikkan model praktik dengan
menggunakan teori caring Watson 10 faktor carative dijelaskan dalam memberikan suatu kerangka kerja pada aktivitas keperawatan di rumah sakit.
Lukose (2011) mengembangkan suatu model praktik dengan teori caring Watson yang dapat digunakan perawat pendidik dalam mengajarkan kepada staf perawat
dan mahasiswa.
2.2.2. Faktor Carative Watson
Untuk memandu tujuan keperawatan, faktor carative dan proses caritas
dikembangkan sebagai inti caring dalam penilaiannya. Sepuluh faktor carative
Watson yang digunakan sebagai intervensi teori (Watson, 2008). Faktor tersebut
meliputi: 1) Pembentukan sistem nilai humanistik. Nilai ini merupakan faktor
dasar caring yang meliputi bersahabat, empati, fokus, dan mencintai diri sendiri dan orang lain, 2) Kepercayaan dan harapan. Kepercayaan dan harapan adalah
faktor penting pada kesehatan. Perawat sebaiknya menjaga, mendorong, dan
menghormati keyakinan dan harapan dan percaya kepada pasien. 3)
Pengembangan sensitivitas pada diri sendiri dan orang lain. Sensitivitas kepada
sebaiknya peduli pada kenyamanan, pemulihan, kesejahteraan, dan lebih sensitif
pada kebutuhan lain, 4) Pengembangan rasa saling percaya dan hubungan caring. Untuk menjamin martabat manusia dan menjaga humanitas, perawat sebaiknya
membentuk kesatuan dengan jiwa pasien. 5) Promosi dan penerimaan ekspresi
pada perasaan positif dan negatif. Mempromosikan dan menerima ekspresi positif
dan negatif sebagai pemulihan. Melalui mendengar dan menjadi pasien,
pikirannya, perilaku, dan pengalaman adalah pengakuan, 6) Menggunakan suatu
pemecahan masalah yang kreatif. Untuk membantu pasien membuat keputusan
efisien dan efektif serta kreatif, proses caring pemecahan masalah individu dipertimbangkan sebagai komponen penting dalam ilmu keperawatan. Perawat
sebaiknya menggunakan semua pengetahuan, keterampilan, empirisme, insting,
dan intuisinya, 7) Melakukan pengajaran transpersonal. Selanjutnya, faktor
carative pembelajaran transpersonal yang melibatkan hubungan caring sebagai peran pelatihan, lebih dari peran pemberian informasi, perawat mencari pekerjaan
dari informasi pasien dan memahami signifikan informasi yang sediakan untuk
pasien, 8) Memberikan suatu lingkungan yang mendukung, melindungi, dan
perbaikan mental, fisik, sosial, dan spiritual. Untuk mempromosikan kualitas
pelayanan dan pemulihan, dukungan, perlindungan, dan mental korektif, fisik,
sosial, dan lingkungan spiritual yang diakui sebagai dukungan konvensial dengan
melibatkan kenyamanan, privasi, keamanan, kebersihan, dan lingkungan estetika.
9) Membantu memenuhi kebutuhan dasar dengan kepuasan. Selain itu, untuk
memberikan perawatan holistik membantu dengan kepuasan, tidak hanya
martabat manusia dikenal sebagai kebutuhan. 10) Mengizinkan kekuatan
eksistensial-fenomenologi-spiritual. Faktor carative terakhir mengizinkan fenomena yang tidak dikenal, mitos, filosofi, kepercayaan budaya, aspek metafisik
perawat, pasien, dan keluarganya menyesuaikan dalam makna spiritual dalam
mengizinkan pengobatan dan pemulihan.
2.2.3. Aplikasi Faktor Carative (Caritas Processes)
Dalam menerjemahkan faktor carative, Watson (2008) membuat caritas processes berdasarkan 10 faktor carative. Diantaranya adalah 1) Mempraktikkan cinta-kebaikan, ketenangan diri dan lainnya. Ini menghadirkan sentuhan, latihan,
dan meditasi. Misalnya mengetahui bahwa pasien sebagai individu, menghormati
keinginan pasien, mementingkan kepentingan pasien, sopan pada pasien dan
keluarga, jujur kepada pasien, dan memahami apa yang dirasakan pasien, 2)
Hadir, mempertahankan dan menghormati kepercayaan dan harapan pasien.
Perawat tidak bisa mengabaikan pentingnya harapan dan kepercayaan berperan
dalam kehidupan manusia terutama dihadapkan dengan krisis penyakit, sakit,
kehilangan, stres, putus asa, kesedihan, trauma, kematian, dan sebagainya.
Misalnya perawat mengklarifikasi keraguan, memberikan dukungan emosional,
melakukan perawatan lanjutan, dan menghormati pasien yang lebih tua, 3)
Sensitif pada diri dan orang lain. Jika perawat tidak peka terhadap dirinya, maka
akan sulit peka terhadap orang lain. Ketika perawat menutup hati pada orang lain
akan membuatnya tidak peka terhadap pasien yang membutuhkan perhatian, kasih
sayang, dan sensitivitas. Misalnya perawat mengetahui apa yang penting, dapat
masalah pribadi bersama pasien, mendengarkan pasien, memberikan kenyamanan
pasien, dan sabar menghadapi pasien, 4) Membantu dan mengembangkan
hubungan saling percaya. Hubungan saling percaya menjadi salah satu faktor
internal dalam pemulihan, misalnya menjawab panggilan pasien dengan segera,
menurunkan kecemasan pasien, tetap sabar menghadapi pasien, memanggil nama
pasien dengan namanya, menghargai apa yang diceritakan pasien, berbicara
dengan jelas, dan suara yang bersahabat, 5) Ada bersama pasien, mendukung
ekspresi perasaan positif, dan negatif. Hal ini akan meningkatkan kepercayaan dan
kepedulian. Misalnya menghargai apa yang diceritakan pasien, memahami apa
yang dialami pasien, dan mengenal kebutuhan pasien, 6) Perawat menggunakan
proses pemecahan masalah yang kreatif. Keperawatan professional melibatkan
logika yang sistematis, imajinasi, dan kreativitas. Misalnya fleksibel saat
perawatan pasien, membantu pasien beradaptasi dengan lingkungan rumah sakit,
mengetahui cara pemberian injeksi, dan melibatkan pasien dalam rencana
perawatan, 7) Memberikan pengajaran dan pendidikan transpersonal. Pengajaran
lebih dari menerima informasi, fakta, dan data. Hal ini melibatkan penuh makna,
hubungan saling percaya, dan pengajaran yang mempengaruhi proses caring, misalnya perawat menjelaskan istilah yang sederhana, menjelaskan perawatan di
rumah, menjawab pertanyaan dengan jelas, dan menjelaskan kepada pasien untuk
memahami penyakit dan pengobatan, 8) Perawat menciptakan lingkungan
pemulihan di rumah sakit. Kenyamanan dapat mengukur lingkungan internal dan
eksternal pasien, misalnya melakukan tugas keperawatan dengan baik, memantau
pasien merasa seperti di rumah, dan mengutamakan kepentingan pasien, 9)
Perawat membantu dalam memenuhi kebutuhan dasar pasien, misalnya sabar
memberikan makan pada pasien, memberikan kenyamanan, gentle terhadap pasien, memberikan dukungan dengan aktivitas fisik, memantau keamanan pada
pasien, memantau pasien secara berkelanjutan, dan menyesuaikan dengan
keterbatasan pasien, 10) Perawat meningkatkan kebutuhan spiritual pada pasien.
Proses ini memberikan kekuatan spiritual berdasarkan pengalaman yang tidak
dapat dijelaskan, misalnya mengizinkan pasien membawa peralatan ibadah,
mengizinkan pasien untuk berdoa, membantu pasien dalam memenuhi kebutuhan
spiritual, dan menghargai pasien sebagai individu yang unik.
2.2.4. Perilaku Caring Perawat
Caring menjadi suatu kebutuhan yang bermakna berdasarkan kesesuaian bersama antara perawat dan pasien pada perilaku caring perawat (Zamanzadeh, Azimzadeh, Rahmani, & Valizadeh, 2010). Banyak peneliti menegaskan ada 2
aspek caring, perilaku yang ekspresif dan aktivitas keperawatan. Aspek ekspresif dalam perawatan melibatkan pemberian dukungan emosional pada pasien dengan
menawarkan kepedulian, kepercayaan, harapan, dan kehangatan emosional. Aspek
aktivitas pada perawatan merujuk pada aktivitas inti, seperti memandikan pasien
di tempat tidur dan memberikan informasi medis dan keperawatan yang akan
meningkatkan kenyamanan fisik dan koping kognitif (Watson, 2008).
Aplikasi caring perawat seperti memperkenalkan diri serta membuat kontrak hubungan, memanggil klien dengan namanya, menggunakan sentuhan,
membantu klien dalam memberikan asuhan keperawatan, memenuhi kebutuhan
dasar klien dengan iklas, menjelaskan setiap tindakan yang akan dilakukan,
mendengarkan dengan penuh perhatian, bersikap jujur, bersikap empati, dapat
mengendalikan perasaan, selalu mendahulukan kepentingan klien, tidak menerima
uang dari klien, memberi waktu dan perhatian, bekerja dengan terampil, dan
cermat berdasarkan ilmu, kompeten dalam melakukan tindakan keperawatan,
berespon dengan cepat dan tanggap, mengidentifikasi secara dini perubahan status
kesehatan klien, serta memberikan rasa aman dan nyaman (Kozier, 2007).
Sikap keperawatan yang berhubungan dengan perilaku caring dalam praktik keperawatan yaitu:
1. Kehadiran (Presence)
Kehadiran merupakan suatu pertemuan antara perawat dengan klien maupun
keluarga klien yang merupakan upaya untuk lebih mendekatkan dan
menyampaikan manfaat caring. Menurut Fredrikson (1999) dalam Potter dan Perry (2009) kehadiran dapat diartikan dalam “ada di” dan “ada dengan”.
Makna “ada di” merupakan kehadiran secara fisik dengan adanya proses
komunikasi antar perawat dan klien. Sedangkan Pederson (1993) dalam Potter
dan Perry (2009) berpendapat bahwa “ada dengan” dimaknai dengan hubungan
interpersonal, peran perawat yang selalu bersedia atau ada di samping klien
saat klien membutuhkan. Selalu hadir disaat klien membutuhkan, adanya
kontak mata, bahasa tubuh, mendengarkan semua keluhan klien, serta adanya
dukungan yang diberikan perawat akan membantu klien untuk membentuk
2. Sentuhan (Contact)
Sentuhan merupakan suatu bentuk pendekatan yang dapat menenangkan
dimana perawat dapat mendekatkan diri dengan klien dalam memberikan
perhatian dan dukungan. Pada saat melaksanakan asuhan keperawatan, perawat
dapat memberikan sentuhan untuk memberikan rasa nyaman dan aman kepada
klien, sebagai contoh pada saat pemasangan selang naso gaster atau NGT.
Menurut Boyek dan Watson (1994) dalam Potter dan Perry (2009) sentuhan
juga dianggap sebagai bentuk komunikasi non verbal yang dapat
mempengaruhi rasa keamanan dan kenyamanan klien, meningkatkan harga diri
dan membantu klien menerima keadaannya. Selain itu sentuhan juga
memberikan banyak makna, oleh sebab itu sentuhan harus digunakan dengan
bijaksana. Salah satu bentuk masalah yang sering timbul dalam perilaku
sentuhan yaitu adanya perbedaan budaya antara perawat itu sendiri maupun
perawat dan klien.
3. Mendengarkan (Listen)
Mendengarkan merupakan salah satu perilaku caring yang dapat menjadi awal dalam menjalin hubungan interpersonal. Dalam suatu hubungan pelayanan
perawat untuk membentuk kepercayaan maka perawat harus dapat
mendengarkan keluhan ataupun perasaan klien. Selain itu dengan
mendengarkan maka menunjukkan bahwa perawat memiliki ketertarikan dan
perhatian penuh kepada klien. Pada saat mendengarkan perawat juga harus
dapat memahami apa yang disampaikan klien, mengerti maksud klien dan
4. Memahami klien
Menurut Bulfin (2005) dalam Potter dan Perry (2009) menyatakan bahwa
dengan memahami klien secara menyeluruh akan dapat membantu perawat
dalam merespon apa yang menjadi persoalan klien. Memahami klien maka
perawat akan terhindar dari asumsi, berfokus pada klien, dan ikut serta dalam
hubungan caring dengan klien yang memberikan informasi dan petunjuk untuk dapat berpikir kritis dan memberikan penilaian klinis. Dengan memahami klien
dapat menjadi pertimbangan perawat dalam mengambil keputusan klinis. Hal
terpenting bagi perawat pemula adalah pemahaman klien bukan hanya sekedar
mengumpulkan data kondisi klien dan gejala klinis yang dialami klien (Potter
& Perry, 2009).
2.3. Interpersonal Teaching Learning Teori Caring Jean Watson
Perawat memahami dengan jelas tentang perannya dalam mengajar,
meskipun hal tersebut sering tidak diperhatikan atau secara sistematis tidak
ditindaklanjuti. Bahkan, secara subjektif aspek hubungan dari proses ini sering
tidak dibuat eksplisit. Misalnya, meskipun mengajar dan memberikan informasi
kesehatan, dengan pendekatan diri secara caring, dan menggunakan hal-hal utama, dalam dialek atau percakapan, memperhatikan aspek transpersonal dari
belajar mengajar dan pentingnnya hubungan secara caring sebagai konteks yang harus ditampilkan bahkan sering diabaikan (Watson, 2008).
Belajar bukan hanya menerima informasi, fakta, atau data. Hal itu
alami hubungan baik dalam bentuk dan konteks pengajaran yang mempengaruhi
sebuah proses dan menghormati pribadi sepenuhnya. Konten tersebut diatas serta
kesiapan pasien untuk menerima informasi merupakan variabel penting.
Pemahaman konten bagi intelektual secara simbolis dan budaya serta harfiah
mempengaruhi kemampuannya untuk menerima dan memproses informasi. Proses
pengajaran yang standar menjadi transpersonal (melebihi yang semestinya) dalam
pengalaman, hubungan, dan arti dan makna dari pengalaman mempengaruhi
kedua belah pihak dalam pembelajaran tersebut. Dengan demikian, hubungan
yang terjadi di luar konteks pengajaran akan menginformasikan kehidupan dan
perilaku dan tindakan yang mengalir dari pengalaman (Watson, 2008).
Kata "kepatuhan" merupakan kata yang tidak berlaku bagi hubungan
seseorang dalam menindaklanjuti informasi dan saran. Model caritas dari belajar-mengajar tidak beroperasi pada konsep "kepatuhan," dalam model hubungan
otentik dan prosesnya tidak menggunakan satu otoritas dan penggunaan
profesional, posisi unggul dengan pendekatan otoriter yang terkontrol dan
kekuasaan atas yang lain, dengan informasi yang diberikan dan harapan untuk
mematuhi informasi tersebut. Sebaliknya, proses caritas belajar mengajar lebih relasional, percaya, eksplorasi, terlibat, dan akhirnya memberi kebebasan bagi
pasien dan orang lain. Hal ini melibatkan kekuasaan dan dengan kontrol tidak
lebih dari pelajar. Belajar mengajar dalam praktek caritas menghasilkan pengetahuan diri, perawatan diri, kontrol diri, dan bahkan kemungkinan
membantu yang lain menghasilkan sendiri pemecahan masalah, keputusan, solusi
yang konstruktif, dan tindakan terbaik yang mampu melayaninya (Watson, 2008).
Proses belajar-mengajar caritas tergantung pada kemampuan perawat untuk mendeteksi secara akurat selain perasaan, pikiran, kesiapan, suasana hati, dan
kemudian dengan terhubung dan mengakses persepsi lain, perasaan, perhatian,
pengetahuan, serta pemahaman. Caring proses membutuhkan keterbukaan terhadap perasaan, pengetahuan, informasi yang lain, tingkat pemahaman
intelektual, keterbukaan dan kesiapan untuk belajar (Watson, 2008).
Salah satu keterampilan inti dalam proses ini adalah mampu mengakses
dengan benar, tetap, dan bekerja berdasarkan kerangka acuan orang lain bukan
dari titik acuan sendiri. Proses belajar mengajar yang demikian membutuhkan
hubungan yang bermakna serta waktu dan kepekaan saat mengajar. Hal ini
merupakan kreatif yang baik serta purposive; sehingga membutuhkan perencanaan yang benar dan berpengetahuan, serta tindakan yang diberitahukan
(Watson, 2008).
Sementara dalam keperawatan tradisional peran pendidikan-pengajaran
adalah salah satu dari menyampaikan informasi, ini biasanya dilakukan dengan
cara-cara konvensional dan sekitar isu-isu konvensional seperti pendidikan
diabetes, melahirkan, pemberian obat, dan sebagainya. Proses pengajaran dalam
caritas transpersonal lebih personal, relasional, dan bermakna, konsisten dengan kondisi spesifik individu, kebutuhan, kesiapan, dan seterusnya. Namun,
pendekatan yang lebih luas yang mewakili evolusi berikutnya masih melibatkan
pergeseran ke arah sehat-kesehatan dan penyembuhan melalui pembinaan yang
disebut dengan Caritas Coaching, yang mencakup transpersonal dan kesatuan yang dilihat dari mengajar tapi masuk lebih mendalam dalam bekerja dan
menggunakan kerangka acuan orang lain (Watson, 2008).
Pembinaan ini membutuhkan pendekatan yang lebih canggih dalam proses
belajar mengajar; memerlukan keterampilan yang lebih spesifik sehubungan
dengan hubungan peduli serta cara untuk benar-benar membantu yang lain dalam
menemukan solusi terbaik, pilihan, dan strategi untuk mengatasi dan memecahkan
masalah dan kebutuhan sesuai identifikasi diri. Rencana untuk pembinaan
didasarkan pada tujuan dan definisi diri, pencapaian motivasi diri. Hal ini
melibatkan ketegasan, menggembirakan, menindaklanjuti, dan merayakan dengan
keberhasilan orang lain. Hal ini mengundang pertumbuhan pribadi dan menjadi
dewasa, membantu yang lain menemukannya atau sistem dukungannya,
lingkungan yang memperkuat tujuan individu; Caritas Coaching membantu yang lain menghadapi sisi gelap dari kebiasaan negatif dan cara berpikir dan
menemukan kekuatan batin dan hadiahnya. Melalui model yang diperluas ini,
perawat menjadi lebih dari seorang pendatang bersama dengan yang lain,
membantu yang lain menemukan energi baru, waktu, dan cara-cara untuk unggul
dengan bekerja dari dalam ke luar, menghubungkan semangat dan otentik
kerinduan batin untuk dirinya (Watson, 2008).
Caritas Coaching membuat orang memiliki pemecah masalah terbaik; orang tersebut adalah sumber terbaik bagi dirinya sendiri untuk menemukan solusi
demikian, Caritas Coaching adalah model yang sangat berbeda dari pendekatan belajar-mengajar konvensional dimana menanamkan informasi dan content
dengan otoritas dan pengetahuan sering tanpa pemahaman konteks, makna, dan
hubungan yang sehubungan dengan aspirasi yang lain dalam batin, harapan,
kerinduan yang mendalam, dan kebutuhan. Caritas Coaching terus menjadi sumber daya untuk orang bahkan setelah orang tersebut telah memenuhi
tujuannya atau memiliki kemunduran (Watson, 2008).
2.4. Action Research
2.4.1. Konsep Action Research
Kemmis dan Mc Taggart (1988) dalam bukunya yang berjudul “The Action
Research Planner” membuat suatu panduan bagi para guru, dosen maupun
administrator yang tertarik untuk membuat suatu perubahan dan peningkatan
dalam institusi pendidikan. Action research atau penelitian tindakan menurut Kemmis dan McTanggart (1988) adalah suatu bentuk penelitian reflektif diri
secara kolektif dilakukan peneliti bersama partisipan dalam situasi sosial untuk
meningkatkan penalaran praktek sosial dan pendidikan peneliti dan partisipan
serta pemahaman peneliti dan partisipan tentang perilaku dan situasi dimana
praktek-praktek tersebut akan dilakukan.
Individu, kelompok masyarakat, dan organisasi yang hendak memanfaatkan
penelitian tindakan (action research) harus memiliki validitas ilmu pengetahuan tentang 4 dimensi pengalaman manusia, yaitu: (1) Pengetahuan tentang
aktivitas apa saja yang selalu menuntut perhatian dan pengetahuan tentang kapan
suatu tujuan lebih diutamakan daripada yang lain, (2) Pengetahuan tentang
strateginya, kemampuan intelektual dan kognitif terkait dengan teori-teori yang
mendasari pilihan-pilihan, (3) Pengetahuan tentang pilihan-pilihan tindakan
terbuka, secara esensial pengetahuan ini dinamakan pengetahuan berbasis praktik
berdasarkan kesadaran tentang keahlian pribadi dan antar pribadi; dan akhirnya,
(4) Pengetahuan tentang dunia luar, yakni pengetahuan empiris tentang
konsekuensi-konsekuensi dari perilaku itu sendiri. Dengan demikian visi
penelitian tindakan adalah sebuah perhatian yang berusaha merangkum dan
menyatukan empat dimensi pengalaman manusia. Perhatian disini merujuk pada
apa yang tampak, apa yang dapat diraih, dan ketidaksesuaian-ketidaksesuaian apa
saja yang dapat dikoreksi menyangkut misi, strategi, operasi, dan hasil. Hal ini
adalah sumber dari kebenaran jiwa yang mencakup seluruh semesta kesadaran
(Torbert, 1991 dalam Denzin & Lincoln, 2009).
Action research dimulai dari adanya perhatian terhadap ketidakberdayaan suatu kelompok yang diamati dan tujuan kuncinya adalah menghasilkan suatu
dorongan yang secara langsung berguna untuk membuat perbaikan melalui
tindakan pendidikan dan sosial politik. Dalam action research, metode penelitian mengambil kedua tempat memunculkan proses kolaborasi dan dialog yang dapat
memotivasi, meningkatkan harga diri dan membangkitkan solidaritas dalam
komunitas. Strategi data yang dikumpulkan tidak hanya melalui metode
wawancara dan observasi (mencakup keduanya yaitu kuantitatif dan kualitatif)
yang bertujuan untuk mendorong individu menemukan kreatifitas mereka dalam
menyelidiki hidup mereka, mengatakan cerita mereka, dan mengenal kekuatan
mereka (Polit & Beck, 2012).
2.4.2. Ciri-ciri Action Research
Kemmis dan McTaggart (2000), dalam Denzin dan Lincoln (2009)
menyebutkan action research sebagai penelitian tindakan berdasarkan partisipatif
(participatory action research). Terdapat tujuh ciri utama Participatory Action Research (PAR) yaitu:
1. Participatory Action Research adalah sebuah proses sosial
PAR secara sadar mengkaji hubungan antara ranah individu dengan ranah
sosial. PAR menyadari bahwa “mustahil terjadi individuasi tanpa sosialisasi, dan sosialisasipun tidak mungkin tanpa individuasi”, dan bahwa proses
individuasi dan sosialisasi terus menerus membentuk individu-individu dan
hubungan sosial di segenap setting tempat kita berada. PARmerupakan sebuah proses yang ditempuh dalam penelitian yang di setting, seperti setting
pendidikan dan pembangunan masyarakat, ketika manusia secara individu dan
kolektif, berusaha untuk memahami bagaimana diri mereka dibentuk dan
dibentuk ulang sebagai individu-individu dan dalam hubungannya dengan satu
sama lain diberbagai setting.
2. Participatory Action Research berciri partisipatoris
PAR mengajak manusia untuk mengkaji ilmu pengetahuan (pemahaman,
kecakapan, dan nilai-nilai) dan kategori-kategori interpretif manusia (yaitu cara
material). PAR merupakan sebuah proses yang menjadi sarana bagi
masing-masing individu dalam sebuah kelompok berupaya untuk menangani cara-cara
ilmu pengetahuan membentuk kepekaan akan rasa identitas dan keberfungsian
diri serta merefleksikan secara kritis bagaimana ilmu pengetahuan saat ini
membingkai dan membatasi tindakan manusia.
3. Participatory Action Research berciri praktis dan kolaboratif
PAR mengajak manusia untuk mengkaji praktik-praktik sosial yang
menghubungkan diri individu dengan orang-orang lain dalam interaksi sosial.
PAR merupakan sebuah proses yang menjadi sarana bagi manusia untuk
mengeksplorasi praktik-praktik komunikasi, produksi, dan pengorganisasian
sosial, serta berupaya mengeksplorasi cara untuk meningkatkan
interaksi-interaksi manusia dengan mengubah tindakan-tindakan yang membentuk
interaksi tersebut yaitu, mengurangi aspek-aspek interaksi yang dialami oleh
partisipan yang irasional, tidak produktif atau tidak efisien, tidak adil, dan/ atau
tidak memuaskan (menimbulkan alienasi). Para peneliti PAR berupaya untuk
menjalin kerjasama dalam merekonstruksi interaksi-interaksi sosial dengan
merekonstruksi tindakan-tindakan yang membentuk interaksi tersebut.
4. Participatory Action Research berciri emansipatoris
PAR bertujuan untuk membantu manusia agar pulih dan melepaskan diri dari
tekanan-tekanan struktur sosial yang irasional, tidak produktif, tidak adil dan
tidak memuaskan yang membatasi perkembangan diri dan kemandirian diri.
PAR merupakan sebuah proses yang menjadi sarana bagi manusia untuk
struktur-struktur sosial (kultural, ekonomi, dan politik) yang lebih luas dan mengkaji
apakah diri manusia dapat ikut campur tangan untuk melepaskan diri dari
hambatan-hambatan tersebut. Artinya, jika manusia tidak dapat melepaskan diri
dari hambatan-hambatan tersebut, maka apakah cara terbaik untuk ikut terlibat
didalamnya dalam upaya untuk meminimalkan tingkat hambatan-hambatan
tersebut dan untuk mengurangi munculnya irasionalitas, kurangnya
produktivitas (ketidakefisienan), ketidakadilan, dan ketidakpuasan (alienasi) di
kalangan manusia untuk membentuk kehidupan sosial bersama.
5. Participatory Action Research berciri kritis
PAR bertujuan untuk membantu manusia agar pulih dan melepaskan diri
sendiri dari hambatan-hambatan yang lekat dengan media sosial yang menjadi
wahana interaksi manusia: bahasa (wacana), pola kerja, dan relasi sosial
kekuasaan manusia (yang menjadi sarana bagi manusia untuk mengalami
aviliasi perbedaan, baik secara inklusi dan ekslusi yaitu, adanya
hubungan-hubungan yang secara gramatis menjadi sarana bagi manusia untuk
berinteraksi dengan orang lain dalam pola orang ketiga, kedua atau pertama).
PAR merupakan sebuah proses ketika manusia secara sadar berketetapan hati
untuk memperjuangkan dan membentuk ulang cara-cara irasional, tidak
produktif atau tidak efisien, tidak adil, dan/atau tidak memuaskan
(menimbulkan alienasi) dalam menafsirkan dan mendeskripsikan dunia
manusia, cara-cara kerja (pekerjaan), dan cara-cara menghubungkan diri
6. Participatory Action Research berciri recursif (refleksi dan dialektis)
PAR bertujuan untuk membantu manusia dalam mengkaji realita agar mampu
mengubah dan mengkaji dengan cara mengubah praktik-praktik manusia
melalui siklus spiral aksi dan pengkajian kritis diri sebagai sebuah proses sosial
dan yang dirancang untuk membantu manusia agar dapat lebih banyak belajar
dan menyusun teori tentang praktik-praktik, ilmu pengetahuan tentang praktik
dan aneka struktur sosial yang membentuk dan membatasi praktik-praktik
manusia. PAR merupakan sebuah proses pembelajaran, bersama-sama orang
lain dengan melakukan, mengubah cara-cara berinteraksi di dalam dunia sosial
bersama demi hal yang lebih baik maupun lebih buruk, menjadi tempat untuk
menerima dan menanggung konsekuensi dari tindakan individu dan tindakan
orang-orang lain.
7. Participatory Action Research bertujuan untuk mengubah teori dan praktik PAR tidak mementingkan hubungan salah satunya antara teori dan praktik.
PAR bertujuan untuk mengartikulasikan dan mengembangkan keduanya dalam
hubungan satu sama lain melalui penalaran kritis tentang teori dan praktik
berikut konsekuensi keduanya. PAR tidak bertujuan untuk mengembangkan
bentuk-bentuk teori yang mampu berdiri terpisah dan lepas dari praktik,
seolah-olah praktik dapat dikendalikan dan ditentukan tanpa
mempertimbangkan aspek-aspek partikular dari situasi praktis yang dihadapi
oleh para praktisi dalam kehidupan dan pekerjaan masing-masing. PAR juga
tidak bertujuan untuk mengembangkan bentuk-bentuk praktik yang dapat
2.4.3. Proses Action Research
Kemmis dan McTaggart (1988) menyatakan bahwa secara umum action research mencakup sebuah spiral siklus reflektif diri berupa merencanakan sebuah perubahan, mempelajari dan mengamati proses dan konsekuensi tersebut,
merencanakan ulang, mempelajari dan mengamati, mengkaji lagi dan seterusnya.
Siklus action research terdiri dari planning, action, observation dan reflection.
Berikut ini dijelaskan mengenai ke empat tahap pada siklus tersebut, yaitu :
1. Planning
Planning direncanakan untuk tindakan positif dan berorientasi ke masa depan yang bersifat fleksibel. Segala faktor resiko dianalisa dalam fase ini dan
dipersiapkan untuk evaluasi sebelum dipilih tindakan yang akan dilakukan.
Pada fase ini diperlukan kolaborasi antara peneliti dan partisipan untuk
memahami teori dan praktik.
2. Action
Action merupakan tindakan yang disengaja dan dikontrol secara hati-hati dan teliti serta memberikan informasi penting. Action di pandu oleh rencana yang telah dibuat, tetapi tidak seluruhnya berpedoman pada planning karena hal ini sangat beresiko. Rencana untuk action harus fleksibel, memiliki sifat sementara dan terbuka terhadap perubahan. Implementasi dan action
mengasumsikan material, sosial, dan politik untuk ditingkatkan lebih baik lagi.
3. Observation
Observation berfungsi sebagi dokumentasi efek yang penting dari tindakan. Observasi harus direncanakan dengan baik dan akan menjadi dokumen yang
penting untuk melakukan refleksi. Rencana observasi harus fleksibel dan
terbuka terhadap pencatatan yang mungkin tidak diprediksi sebelumnya.
4. Reflection
Reflection disebut juga action yang sudah dicatat dalam observation. Refleksi memperlihatkan bagaimana proses berlangsung, masalah, issue dan manifestasi
dalam tindakan strategis. Refleksi dibantu dengan cara berdiskusi dengan
partisipan. Refleksi memiliki aspek evaluasi yang merupakan pertanyaan
peneliti dalam menilai pengalaman mereka, menetapkan efek yang diinginkan
dan menyarankan apa yang akan dilakukan kemudian. Tahap refleksi berusaha
mendapatkan kekurangan yang terjadi supaya bisa dibuat suatu usulan
pemecahan masalah.
Bentuk siklus action research dapat dilihat pada gambar dibawah ini:
Keterangan gambar 1:
R : Rencana tindakan Rf : Refleksi
A & O : Aplikasi tindakan dan observasi RR : Revisi Rencana
Kemmis dan McTaggart (1988) menjelaskan bahwa dalam melaksanakan
action research memerlukan beberapa langkah tindakan yaitu peninjauan
(reconnaissance), membuat perencanaan (planning), melaksanakan rencana
(action) dan observasi (observation), serta penilaian (reflection). Berikut penjelasan dari langkah-langkah tindakan tersebut, yaitu:
1. Reconnaissance
Reconnaisance, merupakan tahap awal dalam mencari permasalahan yang ada. Tahap ini dapat disebut juga tahap preliminary study, yaitu mempelajari masalah yang ada dan menentukan tema yang penting. Tahap ini
menggambarkan apa yang terjadi sekarang dan apa yang kita lakukan sekarang.
Pernyataan-pernyataan tentang masalah yang ada mulai dimunculkan pada
tahap ini. Dasar dalam merencanakan langkah awal sebelum melakukan
tindakan pertama sekali adalah pemeriksaan atau peninjauan (reconnaissance). Tahap ini berguna karena peneliti harus memiliki dasar dalam merencanakan
tindakan yang akan dijadikan sebagai pandangan awal atas bagaimana situasi
yang dihadapi dan syarat-syarat yang perlu diperhatikan dan dipenuhi.
Kegunaan fase reconnaissance adalah untuk membantu mengorientasikan diri dalam bertindak dan mengenal sesuatu yang memungkinkan untuk
2. Planning
Planning merupakan perencanaan yang bersifat untuk perbaikan. Tahap ini berorientasi pada peneliti tentang bagaimana kolaborasi dengan partisipan.
Perencanaan meliputi rencana untuk merubah dengan menggunakan bahasa,
aktivitas dan praktik, hubungan antara manusia dan organisasi, dan
merencanakan hasil yang diinginkan.
3. Action dan Observation
Action dan observation adalah mengimplementasikan rencana dan mengobservasi pekerjaan yang dilakukan. Tahap ini adalah melaksanakan
rencana yang sudah ditetapkan, meliputi melaksanakan rencana untuk berubah
dengan menggunakan bahasa, aktivitas dan praktik, hubungan antara manusia
dan organisasi, dan mengobservasi hasil dari implementasi yang telah
dilakukan.
4. Reflection
Reflection merupakan waktu untuk memberikan analisa, sintetis, interpretasi dan menyimpulkan hal yang penting. Pada tahap refleksi berfokus pada hasil
yang telah di capai kemudian di buat analisa untuk perbaikan pada cycle
berikutnya.
2.5. Kerangka Konseptual
Kerangka konseptual penelitian ini disusun berdasarkan landasan teori
keperawatan Watson’s Theory of Transpersonal yaitu Carative Factor ke tujuah
di rumah sakit. Dalam penyusunan progam orientasi kerja perawat baru, peneliti
mengacu kepada kegiatan yang dilakukan oleh pimpinan dan bagian keperawatan
rumah sakit. Peneliti juga menggunakan hasil penelitian yang berhubungan dengan masalah-masalah yang muncul dalam penelitian program orientasi kerja.
Program orientasi kerja bagi perawat baru dikembangkan dengan menggunakan
metode penelitian action research. Hasil penelitian ini meningkatkan pengetahuan pimpinan dan tim pelaksana program orientasi kerja tentang program orientasi
kerja berbasis caring, pengetahuan perawat baru tentang program orientasi kerja berbasis caring, tingkat kepuasan perawat baru dalam menerapkan prinsip keperawatan caring untuk meningkatkan mutu pelayanan keperawatan dan membawa perubahan dalam berkomunikasi kepada pegawai lainnya dan pasien
serta perubahan dalam memberikan pelayanan keperawatan kepada pasien dengan
prinsip caring. Pengembangan program orientasi kerja dilakukan dalam satu siklus penelitian action research yang mengacu pada teori action research oleh Kemmis dan McTaggart (1988). Kerangka teori penelitian ini dapat dilihat pada
Skema 2.2 Kerangka Konseptual dan Metodologi Pengembangan Program Orientasi Kerja Berbasis Caring di Rumah Sakit Umum Natama
Kota Tebing Tinggi
Pengetahuan tim pelaksana, pengetahuan perawat baru, dan tingkat kepuasan perawat baru tentang program orientasi kerja berbasis caring