• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penelitian Prevalensi HIV dan SIFILIS serta Hubungan antara Penyebaran SIFILIS dengan Penularan HIV pada WBP Tahanan di Rutan Lapas Lubuk Pakam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penelitian Prevalensi HIV dan SIFILIS serta Hubungan antara Penyebaran SIFILIS dengan Penularan HIV pada WBP Tahanan di Rutan Lapas Lubuk Pakam"

Copied!
42
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 HIV/AIDS 2.1.1 SEJARAH

AIDS atau Acquired Immuno Deficiency Syndrome pertama kali ditemukan di Amerika Serikat pada tahun 1981, ketika CDC atau Centers for Disease Control andPrevention menjumpai kasus pneumonia Pneumocystis jiroveci (P. jiroveci) pada pria homoseksual yang sebelum nya sehat dan sarcoma Kaposi dengan atau

tanpa pneumonia P.jiroveci, serta infeksi oportunistik pada 26 orang pria homoseksual yang sebelumnya sehat di New York, San Francisco, dan Los

Angeles. Pada tahun 1983 virus HIV atau HumanImmunodeficiency Virus berhasil ditemukan dari pasien dengan limfadenopati, dan pada tahun selanjutnya secara

jelas ditemukan bukti bahwa virus HIV merupakan penyebab AIDS1.

Sampai dengan saat ini, masalah HIV-AIDS masih menjadi masalah

kesehatan masyarakat yang memerlukan perhatian lebih, terutama dalam rangka

mencapai peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang juga merupakan bagian

dari unsur MDGs (Millenium Development Goals) pemerintah, yaitu menanggulangi penyakit infeksi dan penyakit menular. Program MDGs ini juga

sejalan dengan misi UNAIDS tahun 2015 agar tidak ada lagi penyebaran infeksi

(zero new infections), kematian (zero AIDS-related deaths), dan stigma (zero discrimination) karena HIV-AIDS 2.

Salah satu langkah pencegahan semakin bertambahnya jumlah penderita

HIV adalah dimulai dari populasi yang beresiko tinggi terinfeksi virus HIV,

dalam hal ini salah satunya adalah pada WBP/tahanan. Menurut survey,

prevalensi infeksi HIV di Rutan/Lapas secara signifikan lebih tinggi dari populasi

HIV pada umumnya2. Penanganan populasi khusus ini harus dimulai dari

melakukan pemeriksaan tes HIV yang disertai dengan pemberian konseling.

Diharapkan dengan pemeriksaan ini tidak hanya untuk memastikan status HIV

nya, tapi juga menjadi pintu masuk untuk pengobatan infeksi nya dan pencegahan

(2)

2.1.2 VIRUS HIV

HIV merupakan virus RNA yang menyebabkan AIDS. Virus ini termasuk

dalam famili Retrovirus dan subfamili Lentivirus. Virus HIV sendiri dibagi menjadi dua tipe, yaitu HIV-1 dan HIV-2. HIV-1 merupakan virus klasik pemicu

AIDS, yang didapatkan pada sebagian besar populasi di dunia. Sedangkan HIV-2

diisolasi dari binatang dan beberapa pasien di Afrika Barat, dan dalam jumlah

kecil ditemukan juga di Amerika 3.

Virus HIV memiliki lapisan membran lipid yang dibatasi oleh matriks

protein yang ditempeli oleh tonjolan glikoprotein gp120 dan gp41, yang akan

berikatan dengan reseptor CD4. CD4 merupakan protein yang dominan dijumpai

pada limfosit T yang berperan pada sistem imunitas tubuh. Selain itu, dapat

dijumpai juga pada permukaan monosit ataupun makrofag serta sel dendritik

ataupun Langerhans.

Inti virus HIV berbentuk corong (cone) yang disusun dari protein p24, berisi 2 kopi RNA untai tunggal yang mengandunng enzim reverse transcriptase yang berperan dalam tahap replikasi dimana akan mengubah inti RNA menjadi DNA 5.

Gambaran virus HIV sendiri dapat dilihat pada gambar berikut 1:

(3)

Setelah berikatan dengan reseptor CD4, siklus perjalanan replikasi virus HIV

dapat dilihat pada gambar berikut 5:

Gambar 3. Siklus Replikasi Virus HIV

2.1.3 PENULARAN VIRUS HIV

HIV ditularkan terutama melalui kontak seksual, baik antara heteroseksual

maupun antara sesama jenis (laki-laki dengan laki-laki); selain itu juga dapat

ditularkan melalui kontak non seksual seperti transfusi darah, penggunaan jarum

suntik, ataupun penularan dari ibu ke bayi.

Penularan yang disebabkan oleh hubungan seksual merupakan penyebab

yang dominan dari infeksi HIV di seluruh dunia. Hal ini umum terjadi terutama di

negara sedang berkembang diantara heteroseksual, dan di negara maju yang

didominasi antara lelaki dengan lelaki. Tingkat penularan tidak hanya dipengaruhi

oleh jumlah virusnya, tapi juga dipengaruhi faktor lain seperti jenis hubungan

seksual (tingkat penularan lebih tinggi pada hubungan seksual melalui anus) dan

ada tidaknya ulkus di daerah genitalia. Resiko tertular HIV dari transfusi darah

diketahui pada tahun 1982 dimana pasien hemophilia yang mendapat transfusi

(4)

kasus nya cukup rendah, karena unit transfusi darah sudah melakukan

pemeriksaan untuk mendeteksi virus HIV sebelum diberikan kepada resipien.

HIV juga dapat ditularkan melalui penggunaan jarum suntik pada pemakai

narkotika, dimana sering menggunakan jarum suntik bersama-sama. Resiko HIV

meningkat tergantung pada durasi injeksi, frekuensi berbagi jarum suntik, dan

jumlah orang yang ikut menggunakan jarum suntik bersama-sama.

Penularan virus HIV dari ibu ke bayi dapat terjadi sejak bayi masih di

dalam kandungan, selama proses persalinan, ataupun saat menyusui. Saat ini

resiko penularan ke bayi dapat dicegah dengan melakukan pemeriksaan status

HIV pada ibu hamil. Jika dijumpai positif HIV, maka persalinan harus dilakukan

terencana dengan tindakan operasi dan memberikan terapi Anti Retro Viral (ARV) tanpa memandang jumlah CD4 nya 1,4.

2.1.4 PATOGENESIS AIDS

AIDS merupakan kumpulan gejala berkurangnya kemampuan pertahanan

diri yang disebabkan oleh masuknya virus HIV dalam tubuh seseorang 6.

Perjalanan penyakit AIDS dimulai dari adanya infeksi primer. Infeksi ini akan

menunjukkan gejala lebih dari 50% kasus HIV, akan tetapi sering tidak

terdiagnosa. Periode inkubasi berlangsung 2-4 minggu setelah paparan. Durasi

gejala bervariasi, tapi jarang lebih dari dua minggu. Manifestasi klinis yang

didapat dari infeksi primer, dapat dilihat pada gambar berikut 5.

Gambar 4. Tampilan Klinis Infeksi Primer HIV

Pada fase ini, penegakan infeksi HIV dideteksi dengan pemeriksaan virus

HIV-RNA menggunakan metode PCR atau Polymerase Chain Reaction ataupun dengan mendeteksi antigen p24. Virus akan meningkat jumlahnya dan menyebar

(5)

milimeternya yang berlangsung selama beebrapa minggu. Antibodi spesifik

anti-HIV di serum dapat dideteksi 2-12 minggu setelah timbul gejala tersebut di atas.

Setelah fase infeksi primer, akan diikuti fase klinis laten yang ditandai dengan

tidak adanya gejala klinis atau asimtomatik. Pemeriksaan fisik yang mungkin

dijumpai adalah limfadenopati generalisata yang persisten dengan diameter < 2

cm. Pada fase ini jumlah virus mulai menurun seiring terbentuknya respon imun,

dan akan terus bertahan selama 3 bulan. Fase ini berlangsung selama lebih kurang

9 tahun hingga akhirnya pasien mengalami kondisi yang disebut sebagai AIDS.

Pada fase AIDS mulai timbul gejala klinis yang sesuai dengan infeksi

oportunistiknya, dimana gejala ini dapat menentukan juga jenis stadium HIV pada

pasien. Jumlah CD4 pada fase ini akan terus menurun, dan hal ini dapat dijadikan

patokan kemungkinan infeksi apa yang mungkin terjadi pada pasien HIV. Berikut

adalah gambar yang menunjukkan jenis infeksi yang timbul sesuai dengan jumlah

CD4 pasien 5

Gambar 5. Jumlah CD4 dan Resiko Infeksi yang Mungkin Terjadi pada Pasien HIV

Seluruh perjalanan penyakit yang disebabkan virus HIV hingga akhirnya menjadi

(6)

Gambar 6. Perjalanan Penyakit Virus HIV

2.1.5 EPIDEMIOLOGI HIV/AIDS

Berdasarkan data Global AIDS Update, di tahun 2015 jumlah penderita HIV mencapai 36,7 juta orang di seluruh dunia, dan diantaranya adalah kasus baru

sebanyak 2,1 juta orang. Di Asia sendiri, jumlah penderita HIV mencapai 5,1 juta

orang dengan kasus baru 300.000 orang di tahun 2015 8.

Sedangkan data di Indonesia sejak tahun 2005 hingga Desember 2016, akumulasi

kasus HIV mencapai 232.323 orang dan AIDS sebesar 86.780 orang. Dari data

ini, pada bulan Oktober sd Desember tahun 2016 terdapat 13,287 orang terinfeksi

HIV, dan 3.812 orang dengan AIDS. Kasus HIV-AIDS sendiri lebih banyak pada

pria dibandingkan wanita, dengan perbandingan 2 : 1. Persentase infeksi HIV

tertinggi dilaporkan tertinggi pada kelompok umur 25-49 tahun sebesar 68%, dan

pada kasus AIDS tertinggi pada kelompok umur 30-39 tahun (35,3%). Faktor

resiko HIV-AIDS sendiri tertinggi bila penderita melakukan hubungan seks

beresiko pada heteroseksual, diikuti LSL (lelaki seks lelaki), dan penasun

(pengguna narkoba suntik) 9.

2.1.6 DIAGNOSIS LABORATORIUM HIV

Diagnosis HIV ditegakkan dengan kombinasi antara gejala klinis dan

(7)

AIDS penderita, sedangkan pemeriksaan laboratorium HIV dideteksi dengan dua

cara yaitu secara langsung maupun tidak langsung.

Deteksi HIV secara langsung adalah dengan menemukan virus HIV atau

bagian-bagian dari virus tersebut, misalnya dengan pemeriksaan antigen p24, HIV-RNA

dengan metode PCR ataupun kultur virus. Antigen p24 dapat ditemukan di serum,

plasma, dan cairan serebrospinal. Kadarnya akan meningkat pada keadaan infeksi

akut, dengan sensitivitas 99% dan spesifitas 99,9%. Pemeriksaan ini hanya

dianjurkan pada pasien resiko tinggi terinfeksi HIV tapi hasil serologis nya

negatif, dan dapat juga dipakai pada bayi dengan ibu yang positif HIV.

Pemeriksaan HIV-RNA atau sering disebut viral load merupakan pemeriksaan menggunakan teknologi PCR untuk mendeteksi jumlah virus HIV di

dalam darah. Pemeriksaan ini berguna pada keadaan bila hasil serologis belum

bisa menunjukkan hasil (seperti pada masa window period ataupun pada bayi yang lahir dari ibu positif HIV), ataupun bila hasil pemeriksaan serologis

menunjukkan hasil intermediate.

Kultur virus HIV biasanya hanya dilakukan untuk kepentingan penelitian,

karena pemeriksaan nya yang mahal dan memerlukan waktu yang lama. Bahan

kultur didapat dari cairan plasma, serum, cairan serebrospinal, saliva, semen, dan

lender serviks.

Deteksi HIV dengan metode tidak langsung adalah dengan pemeriksaan

serologi untuk mendeteksi antibodi terhadap HIV. Metode yang paling banyak

digunakan adalah metode Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA), karena metode ini paling sesuai untuk screening specimen dalam jumlah besar. Metode serologi lain adalah pemeriksaan sederhana yang tidak memerlukan alat, seperti

aglutinasi, imunofiltrasi, imunokromatografi, dan uji celup. Pemeriksaan ini dapat

dikerjakan dalam waktu kurang dari 20 menit, sehingga sering disebut uji cepat

dan sederhana (simple/rapid test). Selain kedua metode tersebut, pemeriksaan lain adalah dengan uji Western Blot. Pemeriksaan ini jarang dilakukan dengan alasan

(8)

WHO dan UNAIDS merekomendasikan penggunaan kombinasi ELISA dan atau

uji cepat untuk pemeriksaan antibodi HIV, dibandingkan kombinasi ELISA dan

Western Blot 1,4.

Di Indonesia, tes HIV wajib menggunakan reagen tes HIV yang sudah

diregistrasi dan dievaluasi oleh institusi yang ditunjuk Kementrian Kesehatan,

yaitu dapat mendeteksi antibodi HIV-1 maupun HIV-2.

Berikut adalah alur tes HIV yang sesuai dengan pedoman nasional

pemeriksaan yang berlaku 10:

Gambar 7. Alur Diagnosis HIV

Setelah dilakukan tes HIV, langkah selanjutnya adalah menentukan tindakan yang

(9)

1. Tindak lanjut hasil positif: rujuk ke pengobatan HIV

2. Tindak lanjut hasil negatif:

• Bila hasil negatif dan beresiko, dianjurkan pemeriksaan

ulang minimal 3 bulan, 6 bulan, dan 12 bulan dari

pemeriksaan pertama sampai satu tahun

• Bila hasil negatif dan tidak beresiko, dianjurkan

perilaku hidup sehat

3. Tindak lanjut hasil indeterminate:

• Tes perlu diulang dengan specimen baru minimal

setelah dua minggu dari pemeriksaan yang pertama

• Bila hasil tetap indeterminate, dilanjutkan dengan pemeriksaan PCR

• Bila sarana pemeriksaan PCR tidak memungkinkan, tes

cepat atau rapid test diulang 3 bulan, 6 bulan, dan 12 bulan dari pemeriksaan yang pertama. Bila sampai satu

tahun hasil tetap indeterminate dan faktor resiko rendah, hasil dapat dikatakan negatif

2.1.7STADIUM AIDS

Gejala AIDS sendiri dilihat dari tingkat stadium nya. Stadium AIDS dapat

menggunakan panduan dari WHO ataupun CDC. CDC lebih ditujukan untuk

klasifikasi stadium AIDS di negara-negara berkembang. CDC tidak hanya

mengklasifikasi stadium berdasarkan gejala klinis, tetapi juga dari nilai CD4

pasien. Di Indonesia, para klinisi menentukan stadium AIDS menurut kriteria

(10)

Pembagian stadium AIDS baik WHO maupun CDC, dapat dilihat pada

gambar berikut 5:

Gambar 8. Stadium AIDS menurut WHO & CDC

(11)

2.1.8HIV-AIDS DI INDONESIA

Di Indonesia, orang yang terinfeksi HIV disebut ODHA (Orang yang

Hidup dengan HIV dan AIDS). Selain itu terdapat populasi kunci dan populasi

khusus. Populasi kunci atau key population adalah populasi yang terdiri dari sekumpulan orang yang dengan perilaku yang memiliki resiko tinggi untuk

menularkan dan ditularkan infeksi HIV. Termasuk dalam kelompok ini adalah

Wanita Pekerja Seks (WPS), Waria, LSL yaitu lelaki yang berhubungan seks

dengan lelaki, dan penasun 4. Berdasarkan data Komisi Penanggulangan AIDS

Provinsi (KPAP) DKI Jakarta tahun 2014, terdapat 141.633 orang populasi kunci,

dengan jumlah terbanyak adalah populasi wanita pekerja seks sebanyak 11.862

orang 9.

Sedangkan populasi khusus adalah populasi yang rentan terhadap

penularan HIV (termasuk pekerja yang bekerja dengan mobilitas tinggi, atau

sering berpisah dengan keluarganya). Populasi ini terdiri dari tahanan, Warga

Binaan Pemasyarakatan (WBP), ibu hamil, pasien Tuberkulosis (TB), kaum

migrant, pelanggan pekerja seks, dan pasangan ODHA6.

2.1.9TAHANAN & WBP

Tahanan didefinisikan sebagai terdakwa yang ditempatkan di dalam

Rumah Tahanan Negara (Rutan) untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan

pemeriksaan sidang di pengadilan. Sedangkan WBP terdiri dari narapidana, anak

didik pemasyarakatan, dan klien pemasyarakatan2. Jumlah WBP/tahanan di

Indonesia pada tahun 2011 mencapai 140.217 orang, sedangkan di Sumatera

Utara sendiri pada tahun 2007, jumlah WBP mencapai 16.509 orang 14.

Tahanan dan WBP memiliki resiko tinggi tertular dan menularkan infeksi, karena

dikaitkan dengan perilaku nya yang beresiko selama masa penahanan. Perilaku

beresiko tersebut dikaitkan dengan penggunaan injeksi napza baik sebelum masuk

tahanan, ataupun penggunaan saat masa tahanan yang terutama dikaitkan dengan

bergonta-ganti pemakaian jarum suntik; aktivitas seksual baik antara sesama

tahanan (tanpa paksaan ataupun dengan pemaksaan), dengan petugas

(12)

tindakan pembuatan tato, penindikan, ataupun penggunaan pisau cukur

bersama-sama 11.

2.1.10.GAMBARAN KONDISI HIV-AIDS PADA WBP/TAHANAN

Setiap tahunnya terjadi peningkatan jumlah WBP/tahanan secara

terus-menerus yang tidak sebanding dengan peningkatan kapasitas hunian dan

sarana-prasarannya. Situasi ini semakin mempersulit pelaksanaan pembinaan

permasyarakatan, keamanan, peredaran dan penyalahgunaan narkoba, yang

akhirnya akan berdampak pada upaya penyehatan lingkungan dan kesehatan

termasuk program pengendalian infeksi HIV-AIDS dan penyakit infeksi lainnya2.

Berdasarkan laporan WHO mengenai populasi WBP/tahanan dengan

infeksi HIV, didapatkan prevalensi yang lebih tinggi pada wanita dibandingkan

pria. Sebagai contoh, di Amerika Serikat pada tahun 2005, dijumpai 2,8% wanita

di penjara memiliki hasil tes HIV positif bila dibandingkan pria yang hanya

sebanyak 1,9% saja. Menurut penelitian Butler dkk tahun 1999, prevalensi yang

lebih tinggi pada wanita dikaitkan dengan riwayat pemakaian Napza suntik

sebelum masuk tahanan 10. Menurut CDC tahun 2007, penyebaran infeksi HIV

terbesar berasal dari kontak seksual antara pria dan pria yaitu 54%, pemakaian

Napza suntik sebesar 21%, kombinasi keduanya sebesar 8% 11.

Data prevalensi WHO di Asia Tenggara, dijumpai juga prevalensi yang

cukup tinggi pada WBP/tahanan di beberapa negara. Seperti di Malaysia tahun

2001 dilaporkan 6% WBP/tahanan terinfeksi HIV, Vietnam terdapat 22.161

tahanan terinfeksi HIV pada tahun 2000, dan di Thailand pada tahun 2003

terdapat 25,4% dari 689 tahanan pria terinfeksi HIV 10.

Menurut survey sentinel di antara WBP/tahanan di Jawa Barat tahun 2006,

menunjukkan prevalensi HIV adalah 13,1%, dimana hampir 60 kali lebih tinggi

daripada rata-rata nasional. Menurut survey 24 Lapas/Rutan di Indonesia

menunjukkan prevalensi HIV mencapai 1,1% pada WBP/tahanan laki-laki dan 6%

pada tahanan wanita. Sementara menurut penelitian IMPACT di Lapas Banceuy

di Bandung menunjukkan 17,2 % adalah penasun dengan prevalensi HIV 7,2%.

Di Sumatera Utara sendiri, tepatnya di Lapas Tanjung Gusta Medan, dijumpai 40

(13)

Dengan diterapkannya Undang-Undang tentang Narkotika dan

Psikotropika (UU No. 22/1997 dan UU No.5/1997) terjadi penambahan jumlah

yang pesat dari tahanan kasus narkotika. Hal ini ikut mempengaruhi jumlah kasus

HIV yang semakin terlihat jelas sejak tahun 2006 ke atas. Peningkatan jumlah

kasus HIV ini juga diikuti dengan peningkatan jumlah kematian karena HIV.

Untuk merespon situasi ini, Kementrian Hukum dan HAM RI, sebagai pengelola

sistem pemasyarakatan, melalui Ditjen Pemasyarakatannya pada tahun 2005

menetapkan Strategi Penanggulangan HIV-AIDS dan Penyalahgunaan Narkoba di

Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara di Indonesia 2005-2009.

Strategi ini kemudian dikembangkan lebih lanjut pada Rencana Aksi Nasional

Penanggulangan HIV-AIDS dan Penyalahgunaan Narkotika di Unit Pelaksana

Teknis Pemasyarakatan Tahun 2010-2014. Diharapkan dari kebijakan ini dapat

memberikan layanan kesehatan kepada seluruh penghuni Lapas, Rutan, dan

Bapas, yang dijamin dalam konstitusi negara Republik Indonesia 2.

2.1.11PELAYANAN KONSELING DAN TES HIV

Pengendalian HIV-AIDS di Indonesia, menunjukkan kemajuan program

sejak tahun 2011, dilihat dari bertambahnya jumlah layanan tes HIV dan layanan

perawatan, dukungan dan pengobatan HIV-AIDS, yang telah terdapat di lebih dari

300 kabupaten/kota di seluruh propinsi. Jumlah orang yang dites HIV dan

penemuan kasus HIV-AIDS juga cenderung meningkat, dimana tahun 2010

sebanyak 300.000 orang dites HIV dan tahun 2013 sebanyak 1.080.000 orang 12.

Pelaksanaan tes HIV disertai konseling bertujuan tidak hanya menegakkan

diagnosis HIV-AIDS, tapi juga untuk mencegah sedini mungkin terjadinya

penularan atau peningkatan kejadian infeksi HIV, dan juga untuk pengobatan

lebih dini. Konseling dan tes HIV di Indonesia yang berpedoman pada pasal 27

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 21 tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV

dan AIDS, wajib menjadi acuan bagi tenaga kesehatan, pengelola program,

kelompok profesi yang menjadi konselor HIV, pengelola/pengurus tempat kerja,

dan pemangku kepentingan terkait lainnya.

Layanan konseling dan tes HIV saat ini ditingkatkan cakupannya sehingga

(14)

menawarkan kepada ibu hamil, pasien Infeksi Menular Seksual (IMS), pasien

Tuberkulosis (TB), pasien hepatitis B atau C dan pasangan ODHA, serta

melakukan tes ulang HIV 6 bulan sekali pada populasi kunci. 2,12.

Tes HIV yang dilakukan pada dasarnya harus mengikuti prinsip yang telah

disepakati secara global, yaitu terdiri dari lima komponen dasar yang disebut 5C,

yang terdiri dari 12:

1. Informed Consent, dimana ada persetujuan akan tindakan pemeriksaan laboratorium HIV yang diberikan kepada pasien atau wali, setelah

mendapatkan dan memahami penjelasan yang diberikan secara lengkap

oleh petugas kesehatan tentang tindakan medis yang akan dilakukan

terhadap pasien tersebut

2. Confidentiality, yaitu semua isi informasi atau konseling antara klien dan petugas pemeriksa atau konselor dan hasil tes laboratoriumnya tidak akan

diungkapkan kepada pihak lain tanpa persetujuan pasien. Hasil tes ini

dapat dibagikan kepada pemberi layanan kesehatan yang akan menangani

pasien untuk kepentingan layanan kesehatan sesuai indikasi penyakit

pasien

3. Counselling, adalah proses dialog antara konselor dengan pasien yang bertujuan untuk memberikan informasi yang jelas dan dapat dimengerti

pasien. Konselor meberikan informasi, waktu, perhatian, dan keahliannya,

untuk membantu klien mempelajari keadaan dirinya, mengenali dan

melakukan pemecahan masalah terhadap keterbatan yang diberikan

lingkungan. Layanan konseling harus dilengkapi dengan informasi

HIV-AIDS, konseling pra-Konseling, dan Tes Pasca-tes yang berkualitas baik.

4. Correct test results, yaitu hasil tes harus akurat mengikuti standar pemeriksaan HIV nasional yang berlaku. Hasil tes harus dikomunikasikan

sesegera mungkin kepada pasien secara pribadi oleh tenaga kesehatan

yang memeriksa.

5. Connection to care, treatment and prevention services, dimana pasien harus dirujuk ke layanan pencegahan, perawatan, dukungan dan

pengobatan HIV yang didukung dengan sistem rujukan yang baik dan

(15)

Konseling dan tes HIV telah mulai dilaksanakan di Indonesia sejak tahun

2004, yaitu dengan pendekatan konseling dan tes HIV atas inisiatif klien atau

yang dikenal dengan Konseling dan Tes HIV Sukarela (KTS). Hingga saat ini,

pendekatan ini masih dilakukan bagi klien yang ingin mengetahui status HIV nya.

Sejak tahun 2010 mulai dikembangkan konseling dan tes HIV dengan pendekatan

Konseling dan Tes HIV atas Inisiatif Pemberi Layanan Kesehatan (KTIP).

Alur konseling dan tes HIV dengan pendekatan KTIP maupun KTS di

fasilitas layanan kesehatan tergambar pada gambar berikut 12:

Gambar 10. Alur Konseling dan Tes HIV

Konseling dan tes HIV secara umum, perlu dilakukan kepada pasien dengan

alasan 12:

1. Orang atau pasangan yang ingin mengetahui status HIV nya

2. Ibu hamil yang masuk dalam Program Pencegahan Penularan HIV dari

(16)

3. Penegakan diagnosis untuk keperluan pasien (pasien Hepatitis, pasien

TB, pasien IMS, ibu hamil, bayi yang lahir dari ibu dengan HIV)

4. Pasien yang diduga telah terinfeksi HIV

5. Penapisan darah donor transfusi atau organ tubuh

6. Tata laksana Profilaksis Pasca Pajanan (PPP) setelah terjadinya

tusukan pada kecelakaan kerja okupasional

7. Prosedur pemeriksaan dalam kasus perkosaan

8. Perintah pengadilan dari terdakwa dalam kasus kejahatan seksual dan

sebagainya

Konseling dan tes HIV saat ini dapat dilakukan dengan sistem terintegrasi

ataupun mandiri di setiap fasilitas layanan kesehatan, termasuk didalamnya adalah

lingkungan lembaga pemasyarakatan (Lapas) / rumah tahanan (Rutan) 2.

Konseling dan tes HIV di lingkungan Lapas dan Rutan dilaksanakan

dengan menggunakan pendekatan penawaran rutin sewaktu masa pengenalan

lingkungan, dan tes ulang yang dapat dilakukan secara KTS maupun KTIP.

Layanan konseling dan tes HIV di Lapas dan Rutan mengikuti alur

layanan yang berlaku di fasilitas pelayanan kesehatan dan ditawarkan pada saat:

• Pemeriksaan kesehatan WBP baru. Perhatian khusus diberikan

bagi WBP dan tahanan yang dinilai memiliki resiko tinggi

• Melakukan edukasi HIV-AIDS kelompok yang dilakukan secara rutin di dalam Lapas/Rutan. WBP yang berminat untuk konseling

dianjurkan untuk mendatangi klinik kesehatan Lapas/Rutan

• WBP datang ke klinik di Lapas/Rutan untuk berbagai keluhan

medis

• 1-3 bulan sebelum WBP bebas. Pada tahap ini konseling untuk

WBP adalah prosedur yang wajib dilakukan

• WBP mendapatkan pembebasan bersyarat dalam pembinaan di

balai pemasyarakatan

Konseling dan tes HIV sukarela (KTS) adalah proses konseling sukarela

(17)

yaitu konseling sebelum tes (pra tes), tes HIV, dan konseling sesudah tes (pasca

tes). KTS hanya dilakukan bila pasien memberikan persetujuan secara tertulis.

Konseling dan Tes Inisiatif atas Petugas Layanan Kesehatan (KTIP) dianjurkan

sebagai bagian standar pelayanan kesehatan, termasuk didalam nya populasi kunci

ataupun dengan perilaku beresiko, seperti pada tahanan ataupun WBP.

Langkah-langkah KTIP meliputi pemberian informasi tentang HIV-AIDS sebelum tes,

pengambilan darah untuk tes, penyampaian hasil tes, dan konseling.

Konseling merupakan komponen penting pada layanan tes HIV.

Konseling dilaksanakan baik sebelum tes, sesudah tes, dan selama perawatan HIV

yang dilaksanakan oleh tenaga yang terlatih. Konseling yang dilakukan bagi WBP

umumnya berjalan dalam format konseling individual,

Hal-hal yang dapat dilakukan dalam konseling bagi WBP:

• Mengkaji permasalahan yang dialami oleh WBP terkait perilaku beresiko

HIV maupun gangguan jiwa

• Mendiskusikan strategi pengurangan resiko penularan HIV, termasuk

mendorong penerapan praktek perilaku seks dan atau penggunaan napza

yang aman apabila yang bersangkutan aktif berhubungan seks atau

menggunakan napza

• Mendiskusikan strategi mengatasi stress yang mungkin dialami selama

berada di Lapas/Rutan

• Memberikan informasi dimana klien/pasien dapat mengakses layanan

selepas dari Lapas/Rutan

Setelah dilakukan konseling kepada pasien, tahap selanjutnya adalah tes

HIV. Tes HIV idealnya dilakukan di laboratorium yang tersedia di fasilitas

layanan kesehatan. Jika layanan tes tidak tersedia, maka dilakukan di laboratorium

rujukan. Bagi tahanan atau WBP yang ada di Lapas dan Rutan yang belum

memiliki sarana tes atau petugas belum terlatih, maka tes darah dilakukan dengan

bekerja sama dengan puskesmas setempat. Tes darah dapat dilakukan melalui

(18)

2.1.12 PENERAPAN KONSELING & TES HIV DI BEBERAPA NEGARA

Penerapan KTIP di Rutan/Lapas di Amerika Serikat sendiri, memiliki

prevalensi yang bervariasi antar 39-83%. Penerimaan WBP/tahanan untuk

melakukan tes HIV lebih tinggi di Rutan/Lapas dengan prevalensi HIV rendah

dibandingkan di Rutan/Lapas dengan prevalensi HIV yang lebih tinggi. Beberapa

alasan penolakan dari para WBP/tahanan ini antara lain ketidakyakinan bahwa

perilakunya beresiko untuk tertular HIV dan rasa ketakutan bila hasil tes nya

positif. Hal ini akhirnya membuat beberapa Rutan/Lapas menerapkan sistem

pemeriksaan HIV dengan metode routine offer. Sistem Lembaga Pemasyarakatan di Kanada juga menerapkan metode routine offer pada saat WBP/tahanan masuk Rutan/Lapas, dan di Australia pemeriksaan tes HIV dilakukan pada saat masuk,

selama di tahanan, dan menjelang kebebasannya.

Negara-negara miskin atau berkembang, pemeriksaan HIV tidak secara

aktif ditawarkan pada WBP/tahanan pada saat masuk atau selama di penjara,

tetapi pemeriksaan dapat dilakukan bila WBP/tahanan meminta sendiri untuk

dilakukan tes HIV. Aksesibilitas untuk melakukan tes HIV tergantung pada

fasilitas yang tersedia di Rutan/Lapas tersebut 9.

2.1.11 PERAWATAN DAN PENGOBATAN

Bila tahanan atau WBP terinfeksi HIV, dapat dimulai langkah perawatan

dan pengobatan. Menurut WHO langkah perawatan dan pengobatan meliputi

perawatan kronis, akut, dan paliatif. Perawatan kronis meliputi pengobatan

dengan ARV, dukungan untuk kepatuhan konsumsi ARV, profilaksis infeksi,

manajemen klinis seperti diare, demam ataupun penurunan berat badan, dan

pencegahan penularan HIV. Perawatan akut meliputi diagnosis, pengobatan, serta

pencegahan berbagai macam infeksi oportunistik. Sedangkan perawatan paliatif

meliputi perawatan, pengobatan gejala dan keluhan yang timbul pada fase akut,

kronis, dan menjelang kematian. Ketiga jenis perawatan tersebut dapat disediakan

di layanan kesehatan dasar seperti di klinik Rutan dan Lapas 2,12.

Bila Lapas/Rutan belum mampu melakukannya, dapat dilakukan rujukan

dengan jejaring kerja sama dan rujukan dengan rumah sakit setempat atau

(19)

Sakit Adam Malik, Rumah Sakit Haji Medan, Rumah Sakit Pirngadi, dan Rumah

Sakit Bhayangkara 13.

Alur rujukan ke luar Lapas/Rutan dapat dilihat pada bagan berikut 2

Gambar 11. Alur Rujukan Layanan Kesehatan ke luar Lapas/Rutan 2.1.13PENCEGAHAN HIV-AIDS DI LAPAS/RUTAN

Pencegahan perlu diterapkan di lingkungan Lapas/Rutan sebagai usaha

mencegah penularan HIV ke sesama narapidana maupun petugas di Lapas/Rutan

dan mencegah timbulnya infeksi oportunistik seperti tuberkulosis.

Tindakan pencegahan dasar yang dilakukan di Lapas/Rutan salah satunya adalah

kewaspadaan standar. Pencegahan ini dirancang untuk melindungi petugas

kesehatan dan pasien dari berbagai infeksi, termasuk infeksi yang ditularkan

melalui darah. Rekomendasi kewaspadaan ini meliputi kebersihan tangan dengan

mencuci tangan dengan benar, penggunaan alat pelindung untuk mencegah

paparan infeksi, etika batuk yang benar, menjaga kebersihan lingkungan,

pembuangan limbah dengan benar, dan melakukan tindakan sterilisasi pada

peralatan perawatan pasien 2.

Sedangkan pencegahan penularan HIV-AIDS diantara sesama tahanan

ataupun WBP, tergantung pada faktor resiko penularannya. Pencegahan yang

dilakukan meliputi pencegahan penularan melalui hubungan seksual maupun non

seksual. Penelitian yang dilakukan di lapas/Rutan di Indonesia tahun 2010

menunjukkan penularan infeksi HIV terbanyak adalah melalui Napza suntik 14.

Pencegahan hubungan seksual meliputi: • Tidak melakukan hubungan seksual • Setia dengan pasangan

• Menggunakan kondom secara konsisten

(20)

Sedangkan tindakan pencegahan non seksual ditujukan untuk mencegah

penularan HIV melalui darah. Hal ini ditujukan terutama bagi tahanan/WBP yang

menggunakan napza suntik. Langkah pencegahan yang dimaksud meliputi 5:

• Program layanan alat suntik steril dengan konseling perubahan perilaku • Mendorong pengguna napza suntik untuk menjalani program terapi

rumatan

Selain itu dianjurkan untuk tidak menggunakan alat pembuat tato, tindik, ataupun

pisau cukur secara bersama-sama.

2.2 SIFILIS

2.2.1 SEJARAH

Sifilis merupakan salah satu IMS (infeksi menular seksual) yang

menimbulkan kondisi cukup parah misalnya infeksi otak (neurosifilis), kecacatan

tubuh (gumma). Pada populasi ibu hamil yang terinfeksi sifilis, bila tidak diobati

dengan adekuat, akan menyebabkan 67% kehamilan berakhir dengan abortus,

lahir mati, atau infeksi neonatus (sifilis kongenital).1 Sifilis dapat bermanifestasi

lokal dan sistemik berbetuk bermacam-macam dan dapat menyerupai banyak

penyakit sehingga sering disebut sebagai “the great imitator” atau “the great impostor”. Dalam perjalanannya, sifilis kadang dapat dikenali karena pada sebagain besar infeksi berlangsung silent, dapat diselingi dengan periode laten

tanpa gejala, dan dapat hilang sendiri walau tidak mendapat pengobatan.2

Walaupun telah tersedia teknologi yang relatif sederhana dan terapi efektif dengan

biaya yang sangat terjangkau, sifilis masih merupakan masalah kesehatan

masyarakat yang meluas di berbagai negara di dunia. Bahkan sifilis masih

merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas perinatal di banyak

negara16.

2.2.2. Definisi

(21)

Tidak seperti penyakit infeksi lainnya, sifilis jarang didiagnosis berdasarkan

penemuan kuman penyebab dari pemeriksaan langsung. Diagnosis sifilis terutama

didasarkan pada reaksi serologis terhadap treponema.17

2.2.3. Epidemiologi

Diseluruh belahan dunia hingga saat ini sifilis tetap merupakan masalah

kesehatan utama. Angka kejadian infeksi baru (insiden) diperkirakan 112 juta per

tahun di seluruh dunia, terutama di Afrika, Amerika Selatan, China, dan Asia

Tenggara. Di Asia Tenggara diperkirakan terjadi 4 juta infeksi baru per tahun.

Kejadiannya akhir-akhir ini meningkat di negara-negara Eropa terutama pada

kelompok Lelaki Suka sama Lelaki (LSL). Penularan sifilis dari ibu hamil ke

bayinya menyebabkan sifilis kongenital yang merupakan 50% penyebab bayi lahir

mati. Tiap tahun diperkirakan terjadi 500 ribu dan 1,5 juta sifilis kongenital3,4.

Survey Terpadu Biologi dan Perilaku (STBP) tahun 2011 di Indonesia juga

melaporkan prevalensi sifilis masih cukup tinggi. Pada populasi waria, prevalensi

sifilis sebesar 25%, WPSL (wanita penjaja seks langsung) 10%, LSL (lelaki yang

berhubungan seks dengan lelaki) 9%, warga binaan lembaga pemasyarakatan 5%,

pria berisiko tinggi 4%, WPSTL (wanita penjaja seks tidak langsung) 3% dan

penasun (pengguna narkoba suntik) 3%.16,17,19

2.2.4 Etiologi

T.pallidum merupakan anggota genus Spirochaetas memiliki 4 spesies yang pathogen terhadap manusia dan hewan. Spesies Leptospira menyebabkan

leptospirosis. Spesies Borella menyebabkan relapsing fever dan lyme disease.

Spesies Brachyspira yang menyebabkan infeksi usus, serta spesies Treponema

yang secara umum menyebabkan segolongan penyakit yang dsebut

treponematoses. Spesies Treponema terdiri lagi dari beberapa sub-spesies yang

(22)

pallidum subsp.carateum yang menyebabkan penyakit pinta. Dari keempat subspecies Treponema di atas, hanya sifilis yang merupakan peyakit kelamin.17

T.pallidum subspecies pallidum berbentuk spiral tipis, mempunyai sel yang dibungkus membrane trilaminar cytoplasmi, yang terdiri dari lapisan

peptidoglikan serta lipid-rich outer membrane yang hanya memiliki sedikit

protein sehingga berguna untuk menghindari deteksi sistem imun. Untuk

mobilisasi organisme ini memiliki endoflagella.16

T.pallidum tidak dapat dikultur secara invitro. Memiliki beberapa gen yang bertanggung jawab pada transport asam amino, karbohidrat dan elektrolit.

Organisme ini memiliki single circular geome yang stabil tanpa elemen yang mudah berpindah-pindah seperti bakteri lain. Hal ini menyebabkan organisme ini

sulit bermutasi dan mungkin dapat menjelaskan rendahnya kejadian resistensi

antibiotika pada sifilis.16

Gambar 12. T Pallidum 2.2.5. Pathogenesis

Sifilis terutama menular melalui kontak seksual baik melalui vaginal, anal,

atau oral. Metode penularan lainnya yang lebih jarang adalah berciuman, berbagi

jarum suntik yang tidak aman, transfusi darah, needle stick injury, dan cangkok organ. Secara klasik sifilis menyebabkan penyakit yang terbagi dalam beberapa

stadium : (1) masa inkubasi tanpa gejala; (2) sifilis primer yaitu timbulnya lesi

primer pada tempat inokulasi pertama; (3) sifilis sekunder yang terjadi akibat

penyebaran kuman ke seluruh tubuh dengan berbagai manifestasi klinik; (4)

Stadium klinis atau laten yang dapat berlangsung hingga bertahun-tahun dan

hanya dapat dideteksi melalui pemeriksaan serologis; (5) sifilis tersier, stadium

akhir dari sifilis berupa penyakit progresif yang melibatkan susunan saraf pusat, Histopatologis T.pallidumGambaran

(23)

pembuluh darah besar, dana atau pembentukan gumma yang dapat terjadi pada

semua organ 17

Sifilis primer, sekunder, dan laten awal merupakan stadium yang sangat

menular, dengan resiko penularan sebesar 60%. Kontak langsung dengan lesi kulit

sifilis primer atau sekunder merupakan penularan terbanyak. Pada stadium laten

awal, kemungkinan penularan menurun hingga sekitar 25%. Bayi baru lahir

tertular sifilis akibat infeksi dalam rahim, tetapi bayi dapat juga tertular akibat

kontak dengan lesi genital ibu pada saat persalinan. Risiko penularan dari wanita

dengan sifilis primer atau sekunder yang tidak mendapat pengobatan adalah

sekitar 70-100%. Risiko ini menurun hingga 40% bila ibu hamil berada pada

stadium laten awal dan 10% pada stadium laten lanjut atau sifilis tersier. Empat

puluh persen kehamilan pada wanita dengan sifilis menyebabkan kematian janin.

Secara teoritis, sifilis dapat menular melalui air susu ibu (ASI) dari ibu dengan

sifilis primer atau sekunder walaupun hal ini jarang ditemukan.17

Saat penularan T.pallidum dapat menembus membran mukosa mukosa utuh atau kulit dengan mikroabrasi. Dalam beberapa jam pertama akan memasuki

jaringan limfatik dan aliran darah yang akan menimbulkan gejala infeksi sistemik

dan fokus metastatik sebelum timbulnya lesi primer. T.pallidum membelah diri setiap 30 hingga 33 jam. Darah dari penderita dalam masa inkubasi dan sifilis

stadium awal sangat menular. Lamanya masa inkubasi berbanding terbalik dengan

jumlah inoculum Treponema. Semakin banyak jumlah Treponema yang

terinokulasi, maka semakin pendek masa inkubasinya. Masa inkubasi rata-rata

berlangsung 3 minggu sejak inokulasi pertama dan jarang berlangsung sampai

lebih dari 6 minggu. 17

Menandai stadium sifilis primer, muncul lesi primer pada tempat inokulasi

yang disebut canchre. Canchre biasanya bertahan dalam waktu 4-6 minggu dan kemudian sembuh sendiri. Pemeriksaan histopatologis pada Canchre menemukan infiltrasi masif perivaskular terutama oleh sel limfosit CD4 dan CD8, sel plasma,

serta makrofag. Ditemukan juga proliferasi endotel kapiler dan obliterasi

pembuluh-pembuluh darah kecil. Gejala-gejala konstitusi dan mukokutan sifilis

sekunder muncul antara 6-8 minggu setelah lesi primer menyembuh. Lima belas

(24)

Tetapi pada beberapa penderita paska lesi primer, sifilis sekunder tidak ditemukan

dan penderita langsung masuk dalam stadium sifilis laten. Gambaran

histopatologis lesi sifilis sekunder meliputi hiperkeratosis epidermis, proliferasi

kapiler disertai dengan pembengkakkan endotel dan infiltrasi perivaskular oleh

limfosit CD4 dan CD8, sel plasma, serta makrofag. Treponema dapat ditemukan

pada jaringan termasuk cairan serebrospinal dan humor aques pada mata. Invasi Treponema pada susunan saraf pusat (SSP) terjadi pada minggu pertama infeksi

dan kelainan pada SSP ditemukan pada 40% penderita sifilis sekunder.17

Hepatitis dan glomerulonephritis dapat terjadi pada sifilis sekunder

walaupun jarang. Gangguan fungsi hati ditemukan hingga 25% pada penderita

sifilis primer. Pembesaran kelenjar getah bening (KGB) generalisata terjadi pada

85% penderita sifilis sekunder. Lesi sifilis sekunder biasanya hilang sendiri dalam

2-6 minggu dan sifilis memasuki stadium laten yang hanya dapat dikenali dengan

menggunakan tes serologis. Stadium laten dapat diselang-seling oleh beberapa

episode kekambuhan mukokutan pada tahun-tahun pertama. Sekitar satu dari tiga

penderita sifilis yang tidak diobati dan melewati masa laten akan memasuki

stadium sifilis tersier. Pada stadium akhir ini manifestasi yang sering ditemukan

adalah gumma, sifilis pada sistem kardiovaskular, dan neorosifilis lanjut.

Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya sifilis tersier hingga saat ini belum banyak

diketahui. Kematian akibat sifilis terutama terjadi sifilis tersier. 17

2.2.6.Gejala dan tanda

Setelah masa inkubasi antara 2-6 minggu lesi primer muncul, sering

disertai dengan limfadenopati regional. Pada sifilis sekunder, dapat ditemukan lesi

mukokutan dan limfadenopati generalisata yang diikuti dengan periode laten

infeksi subklinis yang berlangsung bertahun-tahun. Keterlibatan SSP dapat terjadi

pada saat awal dan dapat asimtomatik atau simtomatik. Pada kurang lebih 1/3

kasus yang tidak diobati, berlanjut menjadi stadium 3, yang ditandai dengan

gejala destruktif mukokutan, musculoskeletal atau lesi parenkimal, aortitis atau

manifestasi SSP lanjut. Pada penderita HIV, gejala dan tanda-tanda di bawah ini

(25)

Tabel 1. Gejala dan tanda Sifilis pada dewasa

Stadium Manifestasi klinis Durasi

Primer Ulkus/luka/tukak, biasanya soliter, tidak nyeri, batasnya tegas, ada indurasi dengan pembesaran

KGB regional (limfadenopati)

3 minggu

Sekunder Bercak merah polimorfik biasanya di telapak tangan dan telapak kaki, lesi kulit

papuloskuamosa dan mukosa, demam, malaise,

limfadenopati generalisata, kondiloma lata,

patchy alopecia, meningitis, uveitis, retinitis

2-12 minggu

Destruksi jaringan di organ dan lokasi yang

terinfeksi

Aneurisma aorta, regurgitasi aorta, stenosis

osteum

Bervariasi dari asimtomatis sampai nyeri kepala,

vertigo, perubahan kepribadian, demensia,

ataksia, pupil Argyll Robertson

1-46 tahun

10-30 tahun

>2 tahun-20

tahun

Sumber : kemenkes RI 2013

Sifilis primer

(26)

sulit ditemukan daripada pada pria heteroseksual. Chancre biasanya berupa papula tunggal yang tidak nyeri, cepat terkikis dan berindurasi. Dasar chancre

biasanya halus, pinggirnya lebih tinggi dan teraba kenyal. Tanpa infeksi sekunder,

chancre tampak bersih tanpa eksudat.17

Variasi bentuk lesi tergantung dari status imunologis penderita terhadap

Treponema dan jumlah Treponema yang berinokulasi. Inokulum berjumlah besar

akan menyebabkan lesi ulseratif pada pederita yang nonimun, tetapi dapat

menyebabkan lesi papula asimtomatik pada penderita yang telah berada pada

stadium laten sifilis. Inokulum kecil dapat hanya menimbulkan lesi berbentuk

papula pada penderita yang nonimun. Oleh karena itu, sifilis tetap harus

dipertimbangkan pada lesi genital yang tidak khas. Diagnosis banding lesi primer

sifilis meliputi lesi yang disebabkan infeksi virus herpes simpleks, chancroid,

regional (inguinal) biasa terjadi dalam 1 minggu pertama timbulnya chancre. Chancre hilang sendiri dalam waktu 4-6 minggu (rentang 2-12 minggu) tetapi limfadenopati dapat bertahan hingga beberapa bulan.17

Ulkus sifilis primer anorectal Ulkus sifilis primer labia mayor Ulkus sifilis primer di Gpenis

Gambar 13. Ulkus Sifilis Primer

Sifilis Sßekunder

Manifestasi sifilis sekunder adalah lesi mukokutan dan limfadenopati

generalisata yang tidak terasa nyeri. Pada 15% kasus, kejadian sifilis sekunder

overlapping dengan sifilis primer, terutama pada penderita HIV. Lesi mukokutaneus dapat berupa ruam yang berbentuk makula, papula,

papulaskuamosa atau pustular syphilides. Beberapa bentuk dapat terjadi bersamaan. Ruam yang ringan kadang tidak disadari penderita dapat ditemukan

hingga 25%. Makula muncul pertama kali pada tubuh dan ekstremitas proksimal,

(27)

berubah menjadi papula yang tersebar keseluruh tubuh termasuk telapak tangan

dan kaki. Lesi nekrotik yang dikenal sebagai lues maligna sering juga ditemukan

pada penderita HIV. Penyebaran lesi sekunder pada folikel rambut menyebabkan

kebotakan pada rambut, alis ataupun jenggot pada 5% kasus.17

Pada daerah lipatan kulit yang lembab dan hangat seperti daerah perianal,

vulva dan skrotum, papula dapat membesar hingga berbentuk papula lebar yang

lembab berwarna merah muda atau putih keabu-abuan yang disebut condyloma lata. Condyloma lata sangat menular dan terjadi pada 10% penderita sifilis sekunder. Erosi mukosa superfisial atau mucous patches terjadi pada 10-15% kasus dan terutama terjadi pada mukosa oral dan genital. Mucous patches

berwarna abu-abu dan pinggir yang kemerahan dan tidak terasa nyeri.17

Gejala-gejala konstitusional dapat mendahului atau menyertai sifilis

sekunder, diantaranya adalah nyeri menelan (15-30%), demam (5-8%), penurunan

berat badan (2-20%), lemah badan (25%), anoreksia (2-10%), nyeri kepala (10%),

dan meningismus (5%). Meningitis akut ditemukan pada 1-2% kasus, tetapi

kelainan cairan SSP dapat ditemukan hingga 40%. T.pallidum dapat ditemukan pada cairan SSP penderita sifilis primer dan sekunder hingga 30%. Gejala dan

tanda yang lebih jarang ditemukan pada sifilis sekunder meliputi hepatitis,

nefropati, keterlibatan gastro intestinal, artritis, dan periostitis. Gangguan mata

yang dapat ditemukan adalah kelainan pupil dan neuritis optic selain iritis dan

uveitis. Uveitis anterior ditemukan pada 5-10% kasus dengan sifilis sekunder dan

T.pallidum dapat ditemukan pada cairan aqueos. Hepatitis biasanya asimtomatik, glomerulonephritis terjadi akibat deposit kompleks imun dan menyebabkan

proteinuria yang dapat berujung pada sindroma nefrotik. Seperti juga sifilis

primer, manifestasi sifilis sekunder menghilang sendiri dalam waktu 1-6 bulan.17

(28)

Bercak kemerahan di vagina, sifilis sekunder Patchy alopecia

Gambar 14. Sifilis sekunder

Neurosifilis

Neurosifilis mempunyai 3 bentuk simtomatik yaitu meningeal,

meningovaskular dan sifilis parenkimal. Paraplegia (Erb’s paralysis) dan tabes dorsalis termasuk kelompok yang terakhir. Sifilis meningovaskular terjadi setelah

10 tahun, dan tabes dorsalis terjadi setelah 25 tahun. Dengan kemajuan

pengobatan, gambaran neurosifilis tidak lagi khas.17

Sifilis meningeal mempunyai manifestasi sakit kepala, mual, dan muntah,

kaku kuduk, kelumpuhan syaraf kranial, kejang dan perubahan status mental.

Sifilis meningeal dapat terjadi berbarengan dengan sifilis sekunder. Penderita

sifilis dengan uveitis, iritis atau gangguan pendengaran sering juga mengalami

sifilis meningeal. Sifilis meningovaskular adalah meningitis yang disertai

vaskulitis pada pembuluh darah otak kecil sampai besar. Gambaran klinis yang

paling sering ditemukan adalah stroke yang melibatkan pembuluh darah otak pada

dewasa muda. Berbeda dengan stroke akibat trombus atau emboli yang

berlangsung mendadak, stroke akibat sifilis meningovaskular sering didahului

oleh keluhan sakit kepala, vertigo, insomnia dan gangguan psikologis yang diikuti

oleh gejala vaskular yang progresif. 17

Kerusakan parenkim yang luas akibat neurosifilis lanjut akan

menyebabkan gejala kelumpuhan umum dan termasuk di dalamnya adalah paresis

mneumonik perilaku, afektif, reflex hiperaktif, mata (Argyll Robertson pupils, pupil kecil irregular), sensorium (delusi, ilusi, halusinasi), intelektual (penurunan

(29)

kemampuan berbicara. Tobes dorsalis adalah maifestasi lanjut akibat

demielinisasi koluma posterior, dorsal root dan ganglia dorsal root. Gejalanya

berupa gait lebar dan foot drop, paresthesia, gangguan miksi, impotensi, areflexia

dan kehilangan sensasi posisi, nyeri dalam dan suhu. Degenerasi sendi

(Charcoat’s joint) dan ulkus pada tungkai dapat terjadi akibat kehilangan sensasi nyeri.17

Sifilis pada sistem kardiovaskular

Sifilis kardiovaskular yang terjadi 10-40 tahun setelah infeksi, diakibatkan

oleh endarteresis obliterans pada vasa vasorum yang memberi aliran darah pada

pembuluh darah besar. Keterlibatan kardiovaskular dapat berbentuk aortitis, aortic regurgitation, saccular aneurisma pada aorta ascendens atau stenosis arteri coroner.17

Gumma

Gumma adalah lesi tunggal dengan ukuran bervariasi mulai dari

mikroskopik hingga beberapa sentimeter. Gumma dapat ditemukan pada semua

organ tubuh terutama pada kulit dan tulang. Gumma pada kulit berbentuk lesi

indolen, nodul yang berindurasi atau ulserasi yang tidak nyeri. Pemeriksaan

histologis memperlihatkan inflamasi granulomatosa dengan daerah sentral

nekrosis akibat endateritis obliterans. 17

Gambar 15. Gumma Gumma di hidung

(30)

Sifilis kongenital

Sifilis kongenital yang terjadi akibat transmisi T.pllidum pada saat kehamilan dapat mempunyai beberapa manifestasi yaitu: (1) manifestasi dini pada

2 tahun pertama yang menular dan menyerupai sifilis sekunder pada orang dewas;

(2) manifestasi lanjut setelah 2 tahun yang tidak menular; (3) stigmata residual

yang berbentuk klasik seperti Hutchinson’s teeth, mulberry mollars, saddle nose,

dan sober shin. Tabel 2 menunjukkan gejala dan tanda sifilis kongenital.17

Gigi Hutchinson

Gambar 16. Sifilis kongenital

Tabel 2. Gejala dan tanda sifilis kongenital

Stadium Manifestasi klinis Durasi

Dini • 70% asimtomatis

• Pada bayi usia < 1 bulan dapat ditemukan kelainana kulit berbentuk vesikel dana tau bula

• Infeksi fulmnan dan tersebar, lesi mukokutaneus,

osteokondroitis, anemia, hepatosplenomegaly,

neurosiflis

Dari lahir

sampai < 2

tahun

Lanjut Keratitis interstisial, lifadenopati, hepatosplenomegaly,

kerusakan tulang, anemia, gigi Hutchinson, neurosifilis

Persisten > 2

tahun setelah

kelahiran

Sumber : kemenkes RI 2013

(31)

2.2.7. Diagnosis

Diagnosis sifilis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,

pemeriksaan laboratorium dan kadang-kadang radiologi. Pemeriksaan

laboratorium yang tersedia adalah pemeriksaam sediaan langsung (misalnya

mikroskop lapangan gelap, direct fluorescent antibody test dan nucleic acid

amplification test), serologi (treponemal dan non treponemal test) dan

pemeriksaan cairan serebrospinal.20

Yang termasuk kelompok resiko tinggi adalah: (1) kontak seksual dengan

penderita sifilis, termasuk kelompok risiko tinggi (LSL, PSK, waria) yang

termasuk juga diantaranya gelandangan dan pengguna narkoba suntik (penasun),

(2) penderita dengan partner seksual multipel, (3) penderita dengan infeksi HIV,

dan penyakit menular seksual lainnya. Yang juga termasuk kelompok risiko tinggi

adalah semua pasangan seksual dari kelompok diatas.17

Pemeriksaan sediaan langsung

Pada sifilis primer, sekunder, dan tersier; pemeriksaan langsung apusan

dari lesi mukokutan dengan menggunakan mikroskop lapangan gelap atau

pewarnaan immunofleresensi adalah pemeriksaan yang tercepat untuk dapat

menegakkan diagnosis. Pemeriksaan pada chancre, condyloma lata dan mucous

patches memberikan angka positif yang tinggi karena lesi-lesi ini mengandung

banyak trepoema. Walaupun demikian pemeriksaan langsung dari kulit kering

ataupun aspirasi KGB juga dapat memeberikan hasil positif.17,20

Tidak dianjurkan membersihkan lesi dengan menggunakan larutan

antiseptic, sabun atau larutan bakterisidal sebelum pengambilan bahan

pemeriksaan, karena Treponema yang mati sulit diidentifikasi; kecuali bila

menggunakan pewarnaan immunofluoreensi.17

Pemeriksaan serologis

Ada 2 macam pemeriksaan serologi pada sifilis : (1) pemeriksaan terhadap

antibodi reaginic nonspesifik non treponemal dan (2) antibodi spesifik

anti-treponemal.11,20Pemeriksaan pertama lebih murah, cepat dan mudah bila

(32)

donor darah. Selain itu, tes non-treponemal dapat digunakan untuk memantau

aktivitas pengobatan. Tes spesifik dapat memastikan adanya infeksi sifilis saat ini

atau pada masa lalu. Kedua tes ini biasanya digunakan bersama-sama. Tes

serologis sifilis jarang memberikan hasil negatif palsu kecuali pada orang tua.17

Tes non-treponemal, seperti VDRL (venerreal disease research laboratory), memeriksa antibodi terhadap komplek cardiolipin-lecithin-cholesterol yang dihasilkan oleh interaksi antara T.pallidum dengan jaringan host. Tes ini mempunyai positif semu yang tinggi sehigga hasil positif harus

dilanjutkan dengan tes treponema. VDRL merupakan tes standar untuk

pemeriksaan cairan serebrospinalis. Selain VDRL, yang termasuk dalam tes

non-treponemal adalah : rapid plasma reagin (RPR), automated reagin test (ART) dan

toluidine red unheated syphilis test (TRUST). Tes non-treponemal dianggap positif bila titernya lebih dari 1:4, mencapai nilai titer tertinggi pada sifilis

sekunder dan late awal, kemudian menurun sesudahnya. Seiring perjalanan waktu,

25% penderita sifilis yang tidak mendapat pengobatan, tets non-reponemalnya

menjadi negatif. Perbandingan respon positif tes non-treponemal dan treponemal

dapat dilihat pada tabel 3. 17

Tabel 3. Tes serologi sifilis positif

Stadium VDRL

Fenomena prozone, yaitu reaksi serologis yang negative walaupun kadar antibody tinggi, dapat terjadi pada 2% kasus terutama pada sifilis sekunder dan

wanita hamil. Pengenceran bertahap pada baha pemeriksaan yang sama dapat

(33)

Tes spesifik treponemal seperti FTA-abs (Flouresence treponemal antibody-absobed) dan TPHA (Treponema pallidum hemaglutination test) mendeteksi antibody terhadap antigen spesifik T.pallidum. tes ini memerlukan standarisasi dalam pengerjaannya, sehingga lebih sulit dan interpetasinya dapat

bersifat subjektif. Test ini harganya mahal sehingga tidak dapat digunakan sebagai

alat skrining masal dan memiliki nilai positif semu yang rendah, sehingga tes ini

berguna untuk tes konfirmasi pada penderita dengan tes non-treponemal yang

positif. Tes spesifik positif akan berlangsug seumur hidup, tetapi 10% dapat

menjadi negative setelah mendapat terapi dini.17

Tes lain untuk mendiagnosa sifilis adalah tes PCR yang menggunakan

antigen sifilis dan isolasi bakteri. PCR spesifik tetapi tidak dapat membedakan

Trepnema mati dan yang hidup, sedangkan isolasi T.pallidum hanya dapat

dilakukan pada hewan percobaan karena T.pallidum tidak dapat tumbuh pada media buatan. Keterlibatan SSP dapat didiagnosis dengan pleositosis (>5 sel darah

putih/uL), peningkatan protein (>45mg/dl) dan VDRL positif. Semua penderita

sifilis dengan gejala neurologi harus menjalani pemeriksaan cairan SSP tanpa

melihat stadium sifilisnya. Karena penderita sifilis mempunyai risiko tinggi untuk

terkena HIV dan juga sebaliknya. Penderita HIV dan sifilis harus dievaluasi untuk

kemungkinan adanya neurosifilis.17

Tes diagnostik cepat (Rapid diagnostic test)

Akhir-akhir ini, telah tersedia rapid test untuk sifilis yaitu (Treponema Pallidum Rapid (TP Rapid)), menyediakan hasil antibodi treponemal dalam 10-15 menit dan dapat dilakukan dalam setting apapun karena tidak memerlukan

penyimpanan berpendingin atau peralatan laboratorium. Sensitivitas RDT berkisar

antara 85% - 98% dan spesifisitas 93% sampai 98%, dibandingkan dengan TPHA

atau TPPA sebagai standar acuan.16,20

Rapid test sifilis yang tersedia saat ini TP Rapid termasuk kategori tes spesifik treponema yang mendeteksi antibodi spesifik terhadap berbagai spesies

treponema (tidak selalu T pallidum), sehingga tidak dapat digunakan membedakan infeksi aktif dari infeksi yang telah diterapi dengan baik. TP Rapid

(34)

dapat menunjukkan seseorang sedang mengalami infeksi aktif. TP Rapid dapat

digunakan hanya sebagai pengganti pemeriksaan TPHA,dalam rangkaian

pemeriksaan bersama dengan RPR. Penggunaan TP Rapid tetap harus didahului

dengan pemeriksaan RPR. Jika hasil tes positif, harus dilanjutkan dengan

memeriksa titer RPR, untuk diagnosis dan menentukan pengobatan. Pemakaian

TP Rapid dapat menghemat waktu, namun harganya jauh lebih mahal

dibandingkan dengan TPHA. Bagi daerah yang masih mempunyai TPHA

konvensional/bukan rapid masih bisa digunakan

Interpretasi hasil tes serologi sifilis

Hasil tes non-treponemal (RPR) masih bisa negatif sampai 4 minggu sejak pertama kali muncul lesi primer. Tes diulang 1-3 bulan kemudian pada pasien yang dicurigai sifilis namun hasil RPR nya negatif.

(35)

Tabel 4. Interpretasi hasil tes serologis Sifilis dan tindakan16

Tidak dikerjakan - Ulangi tes 3 bulan

lagi

Positif negatif Tidak dikerjakan Positif palsu Ulangi tes 3 bulan

lagi

Positif Positif

Terdapat riwayat

terapi sifilis dalam 3

bulan terahir, berapa

pun titernya

Masa evaluasi

terapi

Tidak perlu

terapi. Ulangi tes

3 bulan lagi

Tidak ada riwayat

terapi dalam 3 bulan

terahir

Positif Bandingkan dengan

titer 3 buan yang lalu

Jika turu terapi

Positif Positif Bandingkan dengan

titer 3 bulan yang lalu

Jika naik infeksi

baru

Terapi sesuai

titer/stadium

Sumber : kemenkes RI 2013

2.2.8Penatalaksanaan

Berdasarkan Guideline WHO untuk terapi Treponema pallidum (syphilis) 2016 20:

1. Sifilis dini (primer, sekunder dan sifilis laten dini durasi tidak lebih dari 2

tahun

(36)

1) Pada dewsa dan remaja dengan sifilis dini, guideline WHO infeksi

menular seksual (Sexually transmitted infections (STI) merekomendasikan benzathine penicillin G 2.4 juta unit secara

intramuskular tanpa perawatan

2) Pada orang dewasa dan remaja dengan sifilis dini, pedoman WHO STI

lebih menyarankan penggunaan penisilin benzathine G 2,4 juta unit

sekali secara intramuskular daripada penisilin prokain G 1,2 juta unit

10-14 hari secara intramuskular.

Bila penisilin benzathine atau procaine tidak dapat digunakan

(misalnya karena alergi penisilin) atau tidak tersedia (misalnya karena

stok habis), pedoman WHO STI menyarankan penggunaan doksisiklin

100 mg dua kali sehari secara oral selama 14 hari atau ceftriaxone 1 g

intramuskular sekali sehari. Selama 10-14 hari, atau dalam keadaan

khusus, azitromisin 2 g sekali secara oral.

Keterangan: Doxycycline lebih disukai daripada ceftriaxone karena

biaya yang lebih rendah dan pemberian oral. Doxycycline tidak boleh

digunakan pada wanita hamil (lihat rekomendasi 3 dan 4 untuk wanita

hamil). Azitromisin adalah pilihan dalam keadaan khusus hanya jika

kerentanan lokal terhadap azitromisin mungkin terjadi. Jika tahap

sifilis tidak diketahui, ikuti rekomendasinya pada penderita sifilis.

b. Wanita hamil, rekomendasi:

3) Pada wanita hamil dengan sifilis dini, pedoman WHO STI

merekomendasikan penisilin benzathine G 2,4 juta unit sekali secara

intramuskular tanpa pengobatan lanjutan.

4) Pada wanita hamil dengan sifilis dini, pedoman WHO STI lebih

menyarankan penggunaan penisilin benzathine G 2,4 juta unit sekali

secara intramuskular daripada prokain penisilin 1,2 juta unit secara

intramuskular sekali sehari selama 10 hari.

Bila penisilin benzathine atau procaine tidak dapat digunakan

(misalnya karena alergi penisilin dimana desensitisasi penisilin tidak

(37)

pedoman WHO STI menyarankan penggunaan, dengan hati-hati,

eritromisin 500 mg secara oral sebanyak empat kali, setiap hari selama

14 hari atau ceftriaxone 1 g intramuskular sekali sehari selama 10-14

hari atau azitromisin 2 g sekali secara oral.

Keterangan: Meskipun eritromisin dan azitromisin mengobati wanita

hamil, mereka tidak melewati barrier plasenta sepenuhnya dan akibatnya janin tidak diobati. Oleh karena itu, perlu untuk merawat

bayi yang baru lahir segera setelah melahirkan (lihat rekomendasi 9

dan 10 untuk sifilis kongenital). Ceftriaxone adalah pilihan yang mahal

dan bisa disuntikkan. Doxycycline tidak boleh digunakan pada wanita

hamil. Karena sifilis selama kehamilan dapat menyebabkan komplikasi

merugikan parah pada janin atau bayi baru lahir, kurangnya stok

benzathine penisilin untuk digunakan dalam perawatan antenatal harus

dihindari.

2. Sifilis lanjut (durasi infeksi lebih dari dua tahun tanpa bukti infeksi

treponemal)

a. Dewasa dan remaja, Rekomendasi:

5) Pada orang dewasa dan remaja dengan sifilis lanjut atau tahap sifilis

yang tidak diketahui, pedoman WHO STI merekomendasikan

benzathine penicillin G 2,4 juta unit secara intramuskular sekali

seminggu selama tiga minggu

berturut-turuttanpaperawatan.Keterangan: Interval antara dosis penisilin

benzathine berturut-turut tidak boleh melebihi 14 hari

6) Pada orang dewasa dan remaja dengan sifilis lanjut atau tahap sifilis

yang tidak diketahui, pedoman WHO STI lebih menyarankan

benzathine penisilin G 2,4 juta unit secara intramuskular sekali

seminggu selama tiga minggu berturut-turut daripada prokain penisilin

1,2 juta unit sekali sehari selama 20 hari. Bila penisilin benzathine atau

procaine tidak dapat digunakan (misalnya karena alergi penisilin

dimana desensitisasi penisilin tidak mungkin dilakukan) atau tidak

(38)

menyarankan penggunaan doksisiklin 100 mg dua kali sehari secara

oral selama 30 hari. Keterangan: Doxycycline tidak boleh digunakan

pada ibu hamil (lihat rekomendasi 7 dan 8 untuk wanita hamil).

b. Wanita hamil, rekomendasi:

7) Pada wanita hamil dengan sifilis lanjut atau tahap sifilis yang tidak

diketahui, pedoman WHO STI merekomendasikan penicillin

benzathine G 2,4 juta unit secara intramuskular sekali seminggu

selama tiga minggu berturut-turut tanpa perawatan.

Keterangan: Interval antara dosis penisilin benzathine berturut-turut

tidak boleh melebihi 14 hari.

8) Pada wanita hamil dengan sifilis lanjut atau tahap sifilis yang tidak

diketahui, pedoman WHO STI menyarankan penicillin benzathine G

2,4 juta unit secara intramuskular sekali seminggu selama tiga minggu

berturut-turut daripada penisilin prokain 1,2 juta unit secara

intramuskular sekali sehari selama 20 hari.

Bila penisilin benzathine atau procaine tidak dapat digunakan

(misalnya karena alergi penisilin dimana desensitisasi penisilin tidak

mungkin dilakukan) atau tidak tersedia (misalnya karena stok habis),

pedoman WHO STI menyarankan penggunaan, dengan hati-hati,

eritromisin 500 mg secara oral sebanyak empat kali, setiap hari selama

30 hari.

Keterangan: Meskipun eritromisin mengobati wanita hamil, ia tidak

melewati barrier plasenta sepenuhnya dan akibatnya janin tidak diobati. Oleh karena itu, perlu untuk merawat bayi yang baru lahir

segera setelah melahirkan (lihat rekomendasi 9 dan 10 untuk sifilis

kongenital). Doxycycline tidak boleh digunakan pada wanita hamil.

Karena sifilis selama kehamilan dapat menyebabkan komplikasi

merugikan parah pada janin atau bayi baru lahir, kehabisan stok

benzathine penisilin untuk digunakan dalam perawatan antenatal harus

(39)

3. Sifilis kongenital

Infant, Rekomendasi :

9) Pada bayi dengan sifilis bawaan yang dikonfirmasi atau bayi yang

normal secara klinis, namun ibunya memiliki sifilis yang tidak diobati,

sifilis yang tidak diobati secara memadai (termasuk pengobatan dalam

30 hari persalinan) atau sifilis yang diterapi dengan rejimen

non-penisilin, pedoman WHO STI menyarankan Penisilin benzil atau

penisilin prokain.

Dosis:

• Aqueous benzyl penicillin 100 000-150 000 U/kg/hari intravena

selama

10-15hari

• Procaine penisilin 50.000 U/kg/hari dosis tunggal intramuskular

selama

10-15hari

Keterangan: Jika venipuncturist berpengalaman tersedia, Aqueous

benzyl penicillin mungkin lebih disukai daripada suntikan

intramuskular penisilin prokain.

10) Pada bayi yang normal secara klinis dan ibu yang memiliki sifilis yang

telah diobati adekuat dengan tidak ada tanda-tanda reinfeksi, pedoman

WHO STI menyarankan pemantauan ketat pada bayi

Keterangan: Risiko penularan sifilis ke janin bergantung pada

sejumlah faktor, termasuk titer ibu dari tes non-treponemal (misalnya

RPR), waktu penanganan ibu dan tahap infeksi ibu, dan oleh karena itu

rekomendasi ini bersifat kondisional. Jika pengobatan diberikan,

benzathine penisilin G 50.000 U/kg/hari dosis tunggal secara

intramuskular merupakan pilihan.

2.2.9Komplikasi

Selain berbagai manifestasi yang muncul akibat kerusakan pada seluruh

(40)

kemungkinan penularan HIV hingga 2-5 kali. Lesi siflis mudah berdarah sehingga

memudahkan penularan virus HIV saat melakukan hubungan seksual16

Penularan sifilis dari ibu ke bayi pada saat kehamilan juga akan

meningkatkan risiko keguguran dan kematian bayi beberapa hari setelah

melahirkan.17

2.2.10Pencegahan

Tidak ada vaksin untuk sifilis21.Segala jenis aktivitas seksual merupakan

faktor resiko penularan sifilis. Walaupun kontak langsung dengan lesi aktif

merupakan faktor resiko utama, tidak selalu lesi dapat terlihat sehingga semua

penderita sifilis dianggap mempunyai potensi menularkan sifilis dan harus

menggunakan hubungan seksual yang aman. Penderita asimtomatik yang

memerluka kontrasepsi harus diberikan pengertian mengenai efikasi barrier untuk

mencegah transmisi nfeksi menular seksual dan juga HIV. Pasien ini juga harus

diberikan konseling tentang pengurangan perilaku beresiko. Konseling ini juga

memberi pengetahuan tentang perlunya abstinensia seksual, pengurangan jumlah

partner seksusal, dan hubungan seksual aman.17

Pada penderita sifilis stadium primer, sekunder atau laten awal;

abstinensia seksual pada penderita dan partner seksualnya dianjurkan hingga

terapi pada keduanya selesai dan respons serologis yang memuaskan dicapai

setelah pengobatan. Sifilis dapat menular dari ibu hamil ke anaknya sehingga tes

rutin skrining sifilis merupakan hal penting yang harus dilakukan pada setiap

kehamilan.17,21

Partner notification yang bertujuan mnemukan kontak seksual penderita sifilis dan memberikan pengobatan dini harus dilakukan oleh petugas terlatih.

Pengobatan dini pada semua kontak seksual sifilis dini dengan 2,4 juta unit

Benzatine Penisilin dapat dilakukan walaupun kontak seksual tidak mempunyai

kelainan serologis pada saat pemeriksaan karena sifilis dapat terjadi pad 30%

kontak seksual yang tes serolgisnya negatif. Pengobatan kontak dianjurkan

dilakukan pada semua kasus yang kontak seksual dengan penderita sfilis dini

(41)

2.2.11. Prognosis

Pengobatan pada sifilis primer dan sekunder memberikan hasil yang

sangat baik. Kegagalan terapi hanya masih ditemukan pada penderita HIV.

Penderita tabes dorsalis tidak akan membaik tetapi progresivitas penyakit akan

berkurang dengan pengobatan sifilis. Sifilis kardiovaskular juga memberikan

respon yang baik dengan pengobatan sifilis walaupun infark iskemik masih dapat

ditemukan.17,24

2.3 HUBUNGAN ANTARA PENYEBARAN SIFILIS DENGAN PENULARAN HIV

Infeksi menular Seksual (IMS) adalah infeksi yang salah satu penularannya

melalui hubungan seksual dengan pasangan yang sudah tertular. Hubungan seks

ini termasuk hubungan seks lewat vagina, anus maupun mulut (oral). Infeksi

menular Seksual yang paling sering dijumpai salah satunya adalah Sifilis. IMS

merupakan faktor resiko independen untuk penularan HIV dan diketahui

mempermudah penularan HIV yang selanjutnya dapat berkembang menjadi AIDS

dengan tingkat kematian yang tinggi. IMS juga merupakan petunjuk tentang

terdapatnya perilaku seksual beresiko tinggi. Kemunculan IMS seperti penyakit

gonore, klamidia, sifilis dan chancroid ternyata dapat memperbesar resiko

penularan HIV melalui hubungan seksual (The United Nations High

Commissioner for Refugee, 2010).2

IMS merupakan masalah kesehatan masyarakat yang cukup besar di dunia

termasuk di Indonesia. Kebutuhan akan adanya program penanggulangan IMS

yang efektif semakin dirasakan semenjak dibuktikan bahwa IMS merupakan

faktor resiko independen untuk penularan HIV. Keberadaan WBP dengan latar

belakang kasus penyalahgunaan narkotika suntik, tato dan praktek seksual yang

tidak aman, memberikan pemahaman bahwa Lapas/Rutan dianggap salah satu

tempat yang beresiko tinggi terjadinya penularan HIV dan IMS di Lapas/Rutan2

Secara epidemiologis terdapat kaitan erat antara penyebaran IMS dan penularan

HIV, baik dengan perlukaan maupun tanpa perlukaan. Terbukti meningkatnya

penularan HIV sebanyak 3-5 kali. IMS juga sangat memudahkan tertular HIV

(42)

luka yang ditimbulkan oleh IMS, diperkirakan IMS dengan luka dapat

meningkatkan infeksi HIV menjadi 300 kali pada paparan yang tidak

terlindungi.17

Pada Negara berkembang 3-5% wanita usia subur terdiagnosa sifilis. IMS

merupakan kofaktor penularan HIV dan penderita IMS lebih rentan terhadap HIV.

Orang dengan HIV dan IMS lebih cepat menjadi AIDS dan akan lebih mudah

menularkan kepada orang lain. Prevalensi IMS yang tinggi pada mereka yang

baru terinfeksi HIV dan dampaknya pada peningkatan jumlah virus sangat

mendukung kebutuhan skrining IMS secara rutin pada mereka yang baru di

Gambar

Gambar 3. Siklus Replikasi Virus HIV
Gambar 5. Jumlah CD4 dan Resiko Infeksi yang Mungkin Terjadi pada Pasien HIV
Gambar 6. Perjalanan Penyakit Virus HIV
Gambar 7. Alur Diagnosis HIV
+7

Referensi

Dokumen terkait