• Tidak ada hasil yang ditemukan

Satu Tahun Warga Syiah Sampang keluar da

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Satu Tahun Warga Syiah Sampang keluar da"

Copied!
4
0
0

Teks penuh

(1)

Page 1

Satu Tahun Warga Syiah Sampang keluar

dari kampong halamannya, di mana

Negara?

1

Woro Wahyuningtyas

Kami ingin pulang ke kampung kami, tanpa harus dipaksa “taubat”

Kalimat itu muncul dari percakapan singkat saya bersama dengan ustad Iklil Al Minal, pimpinan pengungsi syiah Sampang di sebuah dapur umum penuh lalat di Rusunawa Agro Sidoarjo. Warga Syiah Sampang, yang sudah setahun diusir dari kampung halamannya. Pengusiran ini terjadi dengan dalih perbedaan keyakinan antara faham sunni dan syiah. Apa yang terjadi sebenarnya? Para warga Syiah Sampang juga WNI, sama membayar pajak seperti warga yang lain, tetapi justru negara melalui pemerintah dan aparaturnya mengusir mereka pergi dari kampung halamannya, dengan dalih keamanan bagi para warga Syiah Sampang.

Dalih Negara dalam melakukan pengusiran (relokasi) ini adalah bentuk dari kemalasan dalam melindungi mereka dari serangan massa yang mengaku sebagai umat Sunni. Jelas, dalam hal ini negara telah lalai melakukan fungsinya melindungi kebebasan warga negaranya untuk beragama dan berkeyakinan.

a. Jaminan Konstitusi

Indonesia merdeka sudah genap 68 tahun, UUD 1945 (amandemen) juga telah memberikan amanat dan memberikan jaminan konstitutional bagi seluruh penduduk (warga negara) Indonesia untuk menjalankan kepercayaan agamanya sesuai dengan keyakinan masing-masing. Pasal 28E

memberikan penegasan, bahwa (1) “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali” dan ayat (2)

”Setiap berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap”. Dengan ini

jelas bahwa hak dan kebebasan beragama/berkeyakinan merupakan pilihan yang bebas, sesuai hati nurani seseorang yang harus dihormati. Tidak ada institusi apapun yang dapat menghalangi,

meniadakan atau memaksa agama dan keyakinan pada seseorang. Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 jelas menegaskan kebebasan penduduk untuk memeluk agamanya dan menjalankan kepercayaan

agamanya itu menurut keyakinan masing – masing.

Peraturan lain yang merupakan terobosan pemerintah adalah dengan meratifikasi Konvonen Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) lewat UU No. 12/2005. Konvenan tersebut, yang mengikatkan secara hukum dan mewajibkan negara peserta (state parties) untuk

memasukkannya sebagai bagian dari perundang-undangan nasionalnya, member jaminan kebebasan beragama atau berkeyakinan yang sangat luas, khususnya seperti tertera dalam pasal 18 ICCPR, beserta pembatasan lazimnya.

b. Kebebasan Beragama di Indonesia

1

(2)

Page 2

Lalu apa yang terjadi di Indonesia? Sebagai salah satu negara yang melakukan ratifikasi Konvenan ICCPR? Apakah sudah ada produk hukum Nasional yang diturunkan dari ratifikasi tersebut? mari kita lihat bersama.

Berdasarkan landasan konstitusi yang ada, jelas bahwa ada jaminan atas kebebasan

beragama/berkeyakinan yang sangat kuat di Indonesia. Hal itu tampak bukan hanya pada tataran konstitusional, yakni masuknya HAM ke dalam batang tubuh UUD 1945, tetapi dengan

diudangkannya UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan lewat ratifikasi ICCPR. Namun jaminan yang sangat kuat tersebut belum diterjemahkan ke dalam perangkat-perangkat dan

mekanisme yang mengikat secara hukum. Kewajiban negara –negara yang telah merafitikasi ICCPR untuk melakukan penyesuaian produk perudang-undangan maupun peraturan lain dengan prinsip – prinsip ICCPR sejauh ini belum pernah dilakukan pemerintah. Padahal, hal itu harus dilakukan segera. Karena jika produk hukum tersebut sudah ada, bukan hal yang mustahil, dapat mengikat semua warga negara maupun pemerintah untuk mentaati aturan dan menghormati kebebasan warga negara untuk beragama dan menjalankan keyakinannya.

Kondisi yang terjadi saat ini, beberapa tahun belakangan muncul berbagai peristiwa yang

mengguncang eksistensi hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan . berbagai “aliran” agama dan keyakinan yang muncul dan terekspos ke public mampu mengundang respon dari pihak yang menerima maupun reaksi dari pihak yang menolak secara halus maupun melakukan tindakan ekstrim.

Di sisi lain pengakuan terhadap keyakinan dan kepercayaan di luar “mainstream” yang ada masih

sangat minim. Moto “Bhineka Tunggal Ika” masih menjadi utopia, toleransi antar umat beragama

yang selama ini disanjung hanya kiasan. Contoh yang terjadi saat ini adalah yang terjadi pada kaum penganut Syiah di Sampang. Sejak hari Minggu tanggal 26 Agustus 2012, satu minggu setelah Hari Raya Idul Fitri 1433 H mereka diserang sebanyak 2 kali. Penyerangan ini terjadi, genap 8 bulan setelah ada penyerangan dan pembakaran pesantren Syiah di Sampang pada hari Kamis tanggal 29 September 2011. Rumah para penganut Syiah yang kebetulan satu kampung dibakar habis. Setelah itu mereka dievakuasi ke GOR Sampang oleh Pemda setempat. Derita mereka hidup di GOR belum berakhir, 20 Juni 2013, Pemerintah Kabupaten Sampang melalui Bakesbangpol dan Polres Sampang melakukan pemaksaan para pengungsi Syiah untuk berpindah ke Rusunawa Puspa Agro Sidoarjo. Dalam tayangan di jejaring social Youtube, terlihat bagaimana para pengungsi menolak untuk dibawa keluar dari pulau Madura. Tetapi perlawanan itu harus berakhir dan mereka sampai saat ini masih berada di pengungsian.

Sudah hampir 3 bulan sampai tulisan ini ditulis, mereka masih berada di Rusunawa dengan kondisi yang tidak baik. Anak-anak tidak ada lagi tanah lapang yang nyaman seperti di kampung untuk bermain, halaman Rusunawa sangat panas di siang hari. Anak usia sekolah juga bersekolah ala kadarnya di Rusunawa. Mereka sangat rindu ingin kembali ke kampung halaman. Rindu bekerja di sawah yang mereka miliki. Anak – anak juga sudah sangat merindukan bersekolah di tempat mereka yang dahulu. Selama di pengungsian Rusunawa, para penganut Syiah masih terus melakukan perlawanan untuk mendapatkan haknya dan meminta perlindungan negara untuk dapat

melaksanakan ibadah sesuai dengan keyakinan yang mereka anut. Beberapa orang melakukan aksi bersepeda dari Sidoarjo menuju Jakarta untuk bertemu dengan Presiden SBY yang telah menerima World Statesman Award dari Appeal of Conscience Foundation (ACF) pada tanggal 20 Mei 3013. ACF adalah sebuah penghargaan bergengsi yang diberikan sebagai bentuk “apresiasi” ACF untuk

(3)

Page 3

tempat ibadah agama manaoun atas alasan apapun. Selalu melindungi kaum minoritas dan

memastikan tidak ada yang terdiskriminasi, serta memastikan akan mengganjar mereka yang melanggar hak orang lain dengan hukuma yang setimpal.

Rasanya tepat bagi warga Syiah Sampang untuk menagih janji yang SBY ucapkan dalam gemerlap kemewahan sebuah hotel di New York, bulan Mei 2013 yang lalu. Tepat pada Tanggal 14 juli 2013, mereka diterima oleh Presiden SBYdi Cikeas, janji Presiden saat itu adalah memimpin langsung upaya rekosiliasi yang akan dilakukan presiden pada akhir Juli 2013 atau awal Agustus 2013. Dalam pertemuan tersebut, presiden SBY juga menegaskan bahwa rekonsiliasi ini akan menjamin

pemulihan dan perlindungan hak – hak warga Syiah Sampang yaitu : menjamin pemulangan warga Syiah ke kampung halamannya, memulihkan segala harta milik korban yang hancur, melindungi kebebasan beragama dan berkeyakinan, dan menjamin perlindungan keamanan dan hukum bagi seluruh warga Syiah Sampang. untuk menghormati dan mendukung apa yang telah disampaikan Presiden, maka warga Syiah Sampang mendukung dan sangat mengapresiasi upaya Forum Rekonsiliasi yang diawali lebih dahulu oleh Rektor IAIN Sunan Ampel Surabaya Prof. Abd. A’la.

Forum yang tadinya diberikan harapan besar oleh warga Syiah Sampang, ternyata masih dominan pandangan yang tidak menghormati dan melindungi kebebasan hak beragama dan keyakinan bagi warga Syiah Sampang. Warga Syiah masih dianggap sebagai pengikut aliran sesat. Pandangan bahwa aliran Syiah adalah sesat dikeluarkan oleh pejabat negara dan tokoh masyarakat. Beberapa tokoh tersebut adalah Gubernur Jawa Timur, Sukarwo mengatakan bahwa akar dari konflik di Sampang adalah masalah penodaan agama. Menteri Perumahan Rkyat menyatakan bahwa pembangunan infrastruktur di daerah konflik Sampang akan dilaksanakan parallel dengan usaha pencerahan para pengungsi Syiah ke jalan yang benar. Hal ini berarti Menri Perumahan Rakyat beranggapan bahwa warga Syiah Sampang adalah pengikut ajaran yang tidak benar. Walaupun menyangkal (mengaku tidak tahu) adanya pemaksaan keyakinan bagi warga Syiah Sampang (Kompas.com 13 Agustus 2013), namun Menteri Agama Surya Darma Ali pernah mengatakan di depan para ulama di Jawa Timur bahwa, upaya rekonsiliasi diawali dengan pernyataan atau ikrar warga Syiah Sampang untuk keluar dari keyakinannya dan menyatakan mengikuti ajaran Islam Sunni. Ikrar ini harus disampaikan di depan para ulama, pemerintah dan masyarakat luas.

Suryadharma mengatakan bahwa saat ini sudah ada keinginan besar untuk rekonsiliasi. Warga dan para ulama setempat tidak mempermasalahkan jika pengungsi Syiah kembali ke kampung halaman. Hanya saja, masih ada syarat yang harus dilakukan sebelum itu terjadi, yaitu penyamaan persepsi antara warga Sampang dengan warga Syiah. Hal ini untuk menghindari konflik yang kemungkinan bisa terjadi lagi.

Hampir semua aparatur negara yang menyatakan bahwa Syiah Sampang adalah ajaran sesat dan harus bertobat menyatakan penyangkalannya di media. Tetapi berita bahwa ada salah satu warga Syiah bernama Nur Kholis (22) dipaksa untuk menandatangani pertobatan oleh Bupati dan apartur pemerinta di bawah bupati menjadi sebuah fakta baru, bahwa negara melalui aparaturnya tidak melindungi kebebasan beragama dan berkeyakinan. Dalam realitas ini, di mana sebenarnya peran negara melindungi warga negaranya? Saat ini, warga Syiah Sampang masih tetap menunggu janji SBY, sebagai representasi negara. Sebenarnya, tanpa janji yang telah terucap di New York dan Cikeas, negara tetap wajib melindungi warga Syiah Sampang.

(4)

Page 4

kepercayaan yang mereka yakini. Dalam beberapa kasus terkait kebebasan beragama, ada indikasi negara melakukan pembiaran terhadap berbagai tindakan kekerasan yang dilakukan satu kelompok tertentu terhadap kelompok lain, pun dengan kasus bentrok di Sampang yang kemudian hari meruncing menjadi konflik horizontal penganut Syiah dan penganut Sunni. Pembiaran terhadap pelanggaran upaya penghormatan atas kebebasan individu untuk menganut dan memilih agama dan kepercayaannya berimplikasi nyata pada berbagai aspek kehidupan individu ; pendidikan, kesehatan dan pekerjaan sebagai hak dasar yang wajib dipenuhi setiap individu.

Kasus bentrok warga Syiah Sampang dengan warga Sunni setempat adalah satu kasus dari berbagai kasus kekerasan terhadap kebebasan memeluk agama dan menjalankan ibadah menurut agama dan kepercayaan yang dianutnya. Di luar ini, sepanjang tahun 2013 ini saja sudah terdapat 33 kasus perusakan serta kekerasan terhadap gereja. (Forum Umat Kristiani Jakarta, 2013). Banyak kasus pencideraan kebebasan beragama dan keyakinan ini, akibat dari negara seolah takluk terhadap kelompok tertentu dibandingkan memastikan tegaknya hukum dan konstitusi untuk melindungi siapapan warga negara Indonesia. Negara seharunya tidak boleh takluk pada kelompok manapun, yang mendasarkan kekerasan dan diskriminasi yang dilakukannya, pada agama tertentu atau berdasarkan pembeda apapun lainya, sebab Konstitusi di Indonesia menjamin melindungi semua warga negaranya tanpa kecuali. Segala kewenangan dan perangkat hukum dimiliki oleh negara, hendaknya ia memastikan hukum tegak dan bisa bertindak tanpa pandang bulu, demi menjamin perlindungan akan umat beragama yang diamanatkan oleh Konstitusi.

Kita semua tahu, negara lalai melakukan kewajibannya? Lalu sebagai lembaga Kristen, yang

minoritas juga di negara ini, tetapi memiliki misi damai untuk kehidupan, apa yang bisa kita lakukan? Gereja melalui berbagai lembaga bentukannya, tentu bisa dengan leluasa memberikan penyadaran untuk mengurangi gap (jarak) yang cukup jauh antara institusi versus tradisi yang terus bisa dikembangkan melalui proses pendidikan yang bertahap. Ini bukan hal yang mudah, di mana penegakan hukum di negara ini juga menjadi masalah tersendiri. Jalan panjang menuju

Referensi

Dokumen terkait

Produksi adalah kegiatan yang mengahsilkan barang dan jasa, konsumsi adalah pemanfaatan barang dan jasa, sedang distribusi adalah penyaluran terhadap.. Dalam ekonomi

Tri Wahyu Rejekini ngsih (2014) Mengukur Besarnya Peranan Industri Kecil Dalam Perekonomian dan Penyerapan Tenaga Kerja Di Provinsi Jawa Tengah. Variabel Inde-

Bidang dan Kegiatan Usaha Bergerak dalam bidang usaha Perbankan dan Jasa Keuangan Jumlah Saham yang ditawarkan 2.051.366.765 Saham Biasa Kelas B baru dengan nilai nominal.

Oleh karena itu, restoran cepat saji saat ini tidak hanya berfokus pada variasi produk dan harga saja, namun bagaimana meningkatkan kualitas pelayanan untuk dapat menarik

Dengan demikian permasalahan yang akan dijawab pada penelitian ini adalah apakah terdapat pengaruh antara tingkat penolakan risiko ( risk averseness ), tingkat orientasi

Dari sisi pandang panas, bila temperatur (sekitar 60 • ) dari refrigerant dalam condenser dan / atau temperatur udara luar (sekitar 55 • ) merupakan kegagalan, karena suhu

Di tahun 1890 Nommensen telah berhasil mendirikan tidak kurang dari 7 pos penginjilan di Tanah Batak yaitu di sipirok, Silindung dan sekitar Toba Holbung, tapi satu pun itu tidak

Dalam usaha tani kedelai, petani di Kalimantan Barat, khususnya Kabupaten Kubu Raya menggunakan cara-cara tertentu dengan inovasi teknologi seperti tampak dalam