• Tidak ada hasil yang ditemukan

Insidensi dan Faktor Risiko Non Alcoholic Fatty Liver Disease (NAFLD) di RSUP HAM Medan Tahun 2011-2014

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Insidensi dan Faktor Risiko Non Alcoholic Fatty Liver Disease (NAFLD) di RSUP HAM Medan Tahun 2011-2014"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

5

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian NAFLD

Hati (hepar, liver) merupakan organ yang berfungsi sebagai pusat metabolisme tubuh. Apabila terjadi gangguan dalam metabolisme, maka hati adalah organ yang berpotensi besar mengalami gangguan. Salah satu gangguan hati yang sering terjadi adalah Non Alcoholic Fatty Liver Disease (NAFLD). (Arciello et al, 2013)

NAFLD merupakan gangguan hati yang disebabkan karena abnormalitas metabolis melemak. Penyakit ini ditandai dengan adanya infiltrasi lemak khususnya trigliserida (TG) yang menyerang lebih dari 5% dari total sel-sel hati (hepatocyte) tanpa disertai adanya konsumsi alkohol yang berlebihan (diatas 20 g/hari bagi pria dan 10g/hari bagi wanita) dan kerusakan hati yang disebabkan oleh virus ataupun penyakit hati lainnya. (Durazzo et al, 2014 ; Lankarani et al, 2013)

2.2. Spektrum NAFLD

Rentangan NAFLD dimulai dari simple steatosis hingga Non Alcoholic Steato Hepatitis (NASH) yang ditandai dengan adanya degenerasi lemak (steatosis), kerusakan hepatocellular, dan inflamasi lobular. Kerusakan ini nantinya akan berakhir menjadi fibrosis, sirosis (cirrhocis), atau hepatocellular carcinoma. Penentuan spektrum ini, hanya dapat dilakukan melalui pemeriksaan biopsi. (Durazzo et al, 2014 ; Fruci et al, 2013 ; Liao et al, 2013 ; Schwenger et al, 2014)

2.3. Epidemiologi NAFLD

(2)

6

Sementara itu, kelainan hati lebih lanjut berupa sirosis ditemukan pada 25% pasien yang memiliki NASH. (Alvina, 2010)

2.4. Faktor Risiko NAFLD

Gaya hidup merupakan faktor risiko utama terjadinya NAFLD meskipun penyakit ini akan dapat didahului oleh kelainan-kelainan sindrom metabolik (Tabel 2.1). Studi dari Saudi Arabia melaporkan bahwa terjadinya sindrom metabolik berkaitan erat dengan faktor gaya hidup. Pada individu pre-diabetes, faktor gaya hidup ini (sedentary dan hypercaloric) dipercaya sebagai penyebab utama terjadinya NAFLD. (Lankarani et al, 2013 ; Al-Jiffri et al, 2013 ; Berardis et al, 2013 ; Liu et al, 2014)

Ternyata, sindrom metabolik tidak hanya menjadi penyebab NAFLD tetapi juga dapat menjadi faktor risiko yang memperburuk NAFLD. Studi dari Yogyakarta melaporkan bahwa pasien yang mengalami obesitas disertai dengan

hypertriglyceridemia berisiko 3-4 kali lipat berkembang menjadi NASH. Sedangkan, pada pasien dengan diabetes mellitus tipe 2 cenderung terkena NAFLD dalam waktu 7 tahun dan lebih berisiko 10 kali lipat terkena NAFLD dibandingkan dengan pasien NAFLD tanpa disertai diabetes mellitus tipe 2. (Ratnasari et al, 2012)

(3)

7

Dari segi umur, studi dari Semarang melaporkan bahwa NAFLD memiliki kecenderungan pada usia antara 23–74 tahun dengan rata-rata terjadi pada usia 48 tahun. Sekitar 58,3% pasien berada dalam kelompok usia 41-60 tahun. Sedangkan, pasien lainnya (33,3%) berada dalam kelompok usia 21-40 tahun. (Sari, 2012)

2.5. Penyebab NAFLD

Sampai saat ini, terjadinya NAFLD dipercaya berkaitan dengan sindrom metabolik. Menurut International Diabetes Federation (IDF) tahun 2005, kriteria sindrom metabolik terdiri dari lima komponen yang tercantum dalam tabel 2.1. Apabila tiga/lebih diantara lima kriteria tersebut terpenuhi, maka diagnosis sindrom metabolik dapat ditegakkan. Namun, sumber lain mengatakan bahwa diagnosis sindrom metabolik ditegakkan apabila ditemukannya obesitas sentral yang disertai minimal dua kriteria berikut. (Chalasani et al, 2012 ; Ratnasari et al, 2012)

Tabel 2.1. Kriteria Sindrom Metabolik Menurut IDF 2005

No Kriteria Nilai

1 Obesitas

≥94 cm (Pria Eropa), ≥80 cm (Wanita Eropa) ;

≥90 cm (Pria Asia), ≥80 (Wanita Asia)

2 Trigliserida ≥150 mg/dL (1.7 mmol/L) atau sedang dalam terapi

3 Penurunan HDL

<40 mg/dL (1.03 mmol/L) pada pria ; <50 mg/dL (1.29 mmol/L) pada wanita atau

sedang dalam terapi

4 Peningkatan Tekanan Darah

Tekanan Sistolik ≥ 130 atau Tekanan Diatolik ≥ 85 atau sedang dalam terapi

5 Kadar Gula Darah (KGD) Puasa

(4)

8

Studi dari Jakarta melaporkan bahwa kelima kriteria tersebut (baik tunggal maupun kombinasi) memiliki prevalensi masing-masing terhadap kejadian NAFLD yang tertera dalam tabel berikut : (Alvina, 2009)

Tabel 2.2. Prevalensi NAFLD Berdasarkan Distribusi Sindrom Metabolik

No Faktor Risiko Nilai (%)

1 Dislipidemia 12.2

2 DM (Diabetes Mellitus) 14.4

3 Hiperkolesterolemia 15.5

4 Hipertrigliseridemia 4.4

5 Hipertensi 2.2

6 Obesitas 10

7 Dislipidemia + Hypertension 3.3

8 Dislipidemia + DM 5.5

9 DM + Hiperkolesterolemia 3.3

10 DM + Hipertrigliseridemia 1.1

11 DM + Hipertensi 11.6

12 Hiperkolesterolemia+ Hipertensi 1.1

13 Obesitas+ Dislipidemia 2.2

14 Obesitas+ DM 1.1

15 Obesitas+ Hiperkolesterolemia 5.5

16 Tiga Faktor Risiko* 6.6

Tanda * :DM-hipertensi-dislipidemia dan obesitas-DM-hipertensi

2.6. Mekanisme NAFLD

(5)

9

Konsumsi makanan yang mengandung asam lemak jenuh dan kolesterol dapat menyebabkan resistensi insulin dan inflamasi hepatocyte. Selain itu, konsumsi fruktosa juga dapat meningkatkan trigliserida pada plasma dan jaringan adiposa

visceral. (Alwahsh et al, 2014 ; Al-Jiffri et al, 2013; Schwenger et al, 2014)

Hubungan pola makan dengan sindrom metabolik akan jelas terlihat pada skema berikut :

Tanda * : Kriteria sindrom metabolik

Gambar 2.1. Skema Penyebab NAFLD

Trigliserida yang diperoleh dari makanan akan ditangkap oleh hepatocyte. Selanjutnya, trigliserida tersebut akan mengalami peroksidasi lipid yang akan meningkatkan produksi pro inflammatory cytokines. Selain itu, penumpukan trigliserida juga menyebabkan pengeluaran stress oxidative yang memicu

(6)

10

terjadinya inflamasi. (Schwenger et al, 2014)

Hubungan NAFLD terhadap pola hidup sehari-hari juga berkaitan dengan pemilihan jenis makanan. Studi dari Jerman melaporkan bahwa makanan yang mengandung pemanis buatan diyakini sebagai penyebab NAFLD. Salah satu jenis pemanis buatan yang sering digunakan oleh pabrik industri yaitu fruktosa. Golongan monosakarida ini banyak ditemukan pada softdrink dan makanan kemasan. (Alwahsh et al, 2014)

Tidak sepeti glukosa yang dapat dipakai langsung oleh jaringan tubuh, fruktosa akan mengalami metabolisme terlebih dahulu. Tentunya, metabolisme zat ini terjadi di dalam hati. Adanya fruktosa pada hati akan mempermudah terjadinya kerusakan oksidatif sel dan peroksidasi lipid, yaitu proses degradasi oksidatif lemak tidak jenuh di bagian sel yang mengalami inflamasi. Dengan begitu, dapat disimpulkan bahwa fruktosa dapat memperparah kondisi inflamasi hepatocyte. (Alwahsh et al, 2014)

Salah satu produk akhir dari peroksidasi lipid ini yaitu 4-hydroxynonenal (4-HNE). Adanya 4-HNE ini akan menyebabkan gerakan kemotaksis sehingga menarik neutropil granulosit menuju sel-sel hati yang mengalami inflamasi. Selain itu, adanya Lipocalin-2 (LCN-2) pada neutrofil juga dapat dijadikan indikator adanya sel yang telah terekspos oleh bakteri/mikroorganisme. (Alwahsh et al, 2014)

Selain sebagai indikator terhadap mikroorganisme, LCN-2 juga dianggap sebagai indikator fatty liver pada beberapa studi hewan coba. LCN-2 yang beredar di sirkulasi berfungsi sebagai transporter umum yang dapat mengikat substansi

lipofilik kecil salah satunya adalah lipid. Sehingga, apabila ditemukan kadar LCN-2 yang berlebih, maka dapat disimpulkan bahwa kadar lipid sirkulasi juga meningkat. (Alwahsh et al, 2014)

(7)

11

imun tubuh pada hati. (Alwahsh et al, 2014)

Selain itu, penekanan pada LCN-2 dapat menurunkan obesitas yang diinduksi oleh insulin resistensi. Hal tersebut juga didukung oleh data yang diperoleh pada pemeriksaan manusia yaitu adanya peningkatan konsentrasi serum LCN-2 pada pasien diabetes. (Alwahsh et al, 2014)

Selain itu, pemasukan fruktosa secara berlebihan dan terus-menerus akan menyebabkan peningkatan translokasi lipopolysaccharide (LPS, endotoxin) dari usus menuju vena portal. Akibatnya, permeabilitas intestinal akan meningkat dan menjadi tempat berkembangnya bakteri. (Alwahsh et al, 2014)

Fakta tersebut didukung oleh hasil studi dari wilayah Cina yang mengkaji mengenai microbiota usus (gut microbiota). Microbiota ini merupakan unsur biologi yang berfungsi dalam proses metabolisme, fisiologi, dan imunologi tubuh. Apabila terjadi gangguan pada microbiota ini, maka dapat menyebabkan kerusakan pada ketiga fungsi tersebut. Studi ini juga melaporkan bahwa akumulasi lemak pada hati (hepatic fat accumulation) dapat terjadi akibat ketidakseimbangan komposisi microbiota yang disebabkan oleh obesitas (yang berkaitan dengan sindrom metabolik), diabetes tipe 2, dan penyakit kardiovaskular. Selain itu, kuantitas hepatocyte yang terinfiltrasi lemak juga dipengaruhi oleh keberadaan microbiota ini. Melalui vena porta (penghubung antara hati dan usus), microbiota usus ini dapat menjadi stimulator inflamasi sel-sel hati dan resistensi insulin pada hati (hepatic insulin resistence). (Liu et al, 2014 ; Alwahsh et al, 2014)

Namun, studi dari Korea memberikan paparan yang berbeda terhadap kasus ini. Studi tersebut meyakini bahwa resistensi insulin hepatik disebabkan oleh akumulasi lemak pada tempat yang salah (ectopic adiposa) pada hepatocyte

bukan karena visceral adiposa. Hal inilah yang menyebabkan resistensi insulin hepatik tetap terjadi meskipun telah dilakukan penurunan visceral adiposa bagi individu obesitas. Dengan begitu, dapat dikatakan bahwa ectopic adiposa

(8)

12

Selain microbiota usus, Helicobacter pylori (H. pylori) juga berperan terhadap resistensi insulin. Infeksi bakteri ini ternyata lebih banyak ditemukan di negara berkembang daripada negara maju. Infeksi yang berkepanjangan akan menyebabkan terjadinya respon imun dan inflamasi kronis. Efek dari kedua respon ini akan menyebabkan lesi lokal dan non lokal (remote lesion). Adanya lesi lokal akan menyebabkan penyakit gastritis, peptic ulcer disease, dan kanker lambung. Apabila lesi tersebut ditemukan di hati, maka akan menginduksi terjadinya NAFLD. (Li et al, 2013)

Beberapa studi melaporkan bahwa fetuin-A merupakan zat intermediate yang berfungsi sebagai mediator resistensi insulin yang diinduksi oleh H. pylori. Studi pendukung melaporkan bahwa individu yang terinfeksi H. pylori ternyata memiliki kadar fetuin-A yang tinggi. (Manolaksis et al, 2011)

Fetuin-A disekresikan oleh hati dan diedarkan secara sistemik melalui pembuluh darah. Adanya zat ini di dalam sirkulasi diyakini berhubungan dengan resistensi insulin, metabolisme glukosa, dan awal timbulnya DM. (Li et al, 2013)

Mekanisme kerja zat ini yaitu dengan menghambat reseptor endogen

insulin-tyrosine kinase pada hati dan otot lurik (skeletal muscle). Selain itu,

fetuin-A juga menghambat insulin-tyrosinephosphorylase dari substrat reseptor insulin yang akhirnya akan mempengaruhi sinyal insulin. Apabila sinyal insulin terganggu, maka akan berdampak pada regulasi glukosa yang mayoritas diperoleh dari otot, hati dan cadangan lemak. Sinyal yang terganggu ini akan berujung pada resistensi insulin. Jika terjadi di hati, maka akan terjadi NAFLD. (Li et al, 2013)

Studi lainnya meyakini bahwa fetuin-A merupakan pertanda adanya inflamasi karena fetuin-A berfungsi sebagai sitokin anti-inflamasi yang diproduksi dan disekresikan ketika terjadi inflamasi dan memodulasi reaksi inflamasi. (Kebapcilar et al, 2010)

(9)

13

Selain itu, vitamin D dapat meningkatkan konsentrasi adiponectin melalui penghambatan sistem RAS (Renin Angiotensin System). Sebaliknya, peningkatan aktivitas RAS akan menurunkan fungsi vitamin D sehingga akan menurunkan sekresi adiponectin yang merupakan zat protektif terhadap NAFLD. (Seo et al, 2013). Fungsi protektif adiponectin ini meliputi dua cakupan yaitu sebagai antiinflamasi dan stimulator sensitivitas insulin. Apabila terjadi penurunan kadar

adiponectin, maka resistensi insulin juga akan terjadi. (Schwenger et al, 2014) Terjadinya resistensi insulin akan meningkatkan aktivitas lipolisis jaringan lemak perifer (peripheral adipose tissue) sehingga menyebabkan peningkatan masuknya Free Fatty Acid (FFA) ke hepatocyte. Selain itu, keadaan

hyperinsulinemia dan hyperglycemia juga meningkatkan aktivitas lipogenesis

(pembentukan lemak) dan penghambatan oksidasi FFA secara tidak langsung. (Qu et al, 2013) Sehingga, dapat disimpulkan bahwa penurunan kadar vitamin D dapat menyebabkan terjadinya NAFLD melalui mekanisme adiponectin dan resistensi insulin. Selain itu, data yang diperoleh dari studi hewan coba melaporkan bahwa defisiensi vitamin D akan semakin memperburuk NAFLD karena menyebabkan peningkatan hepatic resistin dan aktivasi reseptor Toll. (Seo et al, 2013)

2.7. Diagnosis NAFLD

NAFLD tidak dapat ditentukan hanya dengan anamnesis saja karena kebanyakan pasien tidak merasakan adanya gejala (asymptomatic). Namun, untuk pasien yang mengalami obesitas (khususnya obesitas sentral), sindrom metabolik, keluhan nyeri perut kanan atas, dan gangguan toleransi fisik (mudah lelah dan sakit kepala) perlu curiga terhadap kemungkinan adanya NAFLD. Studi dari Semarang melaporkan bahwa pasien dengan keluhan nyeri perut kanan atas ditemukan sekitar 58.3%. Sedangkan, pasien dengan keluhan mudah lelah ditemukan sekitar 36,1%. (Schwenger et al, 2014; Sari, 2012)

(10)

14

NAFLD melalui palpasi abdomen berupa pembesaran hati (hepatomegali) ditemukan sebesar 26%-50%. Selain itu, studi pada populasi Asia melaporkan bahwa resistensi insulin (insulin resistence) merupakan manifestasi klinis pertama yang ditemukan sebanyak 80% pada pasien NAFLD. (Schwenger et al, 2014 ; Liao et al, 2013 ; Patell et al, 2014 ; Amarapurkar, 2011 ; Alvina, 2010)

Dari pemeriksaan darah, peningkatan enzim alanine aminotransferase

(ALT) dan aspartate aminotransferase (AST) tanpa adanya gangguan/penyakit hati lainnya dapat mengindikasikan NAFLD. Selain itu, perbandingan antara kedua enzim tersebut (AST/ALT) kurang dari 1 ditemukan pada sekitar 50% pasien simple steatosis dan sekitar 80% pada pasien NASH. Namun, kadar normal enzim transaminase juga dapat ditemukan pada pasien NASH. Sehingga, hasil pemeriksaan enzim ini hanya berfungsi sebagai langkah awal diagnostik bukan sebagai kriteria diagnostik pasti karena sensitivitas dan spesifisitas yang rendah (sekitar 64% dan 81%). (Schwenger et al, 2014 ; Berardis et al, 2013)

Alat diagnostik lainnya yaitu ultrasonography (USG). Penggunaan USG ini dapat dijadikan sebagai media screening dan diagnostik lini pertama NAFLD karena memiliki beberapa keuntungan yaitu aman (non-invasi) dan terjangkau dengan kisaran sensitivitas 82-89% dan spesivisitas 93%. (Liao et al, 2014 & Schwenger et al, 2014 ; Alvina, 2010)

Deteksi NAFLD menggunakan media USG mencapai 17-46% pada populasi Eropa, USA, dan negara Asia. Sedangkan di China, deteksi penyakit ini menggunakan media yang sama ditemukan sebesar 31% (pria) dan 16% (wanita) diperoleh pada individu yang melakukan cek kesehatan rutin. Sementara itu,di RSUP dr. Kariadi Semarang dilaporkan deteksi kasus ini sekitar 4-7% pada tahun 2005-2009. (Liao et al, 2014 ; Sari, 2012)

Diagnostik NAFLD melalui gambaran USG dapat ditegakkan apabila terpenuhinya dua diantara tiga kriteria berikut:

a. Peningkatan pantulan hati (hyperechoic) terhadap limpa atau ginjal ; b. Melemahnya pantulan pembuluh darah hati (hypoechoic) dan

(11)

15

Namun, ketiga kriteria tersebut dapat dideteksi apabila minimal 30%-33%

hepatocyte telah terinfiltrasi oleh lemak. (Karimi et al, 2011 ; Patell et al, 2014) Berdasarkan gambaran pada USG tersebut, infiltrasi lemak dapat dibagi dalam tiga derajat, yaitu :

a. Ringan, ditandai dengan penyebaran ekogenitas ringan tanpa ada kerusakan pembuluh darah intrahepatic ;

b. Sedang, peningkatan ekogenitas sedang yang disertai dengan sedikit kerusakan pembuluh darah intrahepatic ;

c. Berat, peningkatan ekogenitas hati yang nyata yang disertai dengan sulitnya identifikasi vena porta dan diafragma. (Sari, 2012)

Selain USG, alat diagnostik non-invasi lainnya yaitu Fatty Liver Index,

yang terdiri dari empat buah komponen yaitu : a. Indeks Massa Tubuh (IMT) ; b. Lingkar Pinggang ;

c. Kadar Trigliserida (TG) dan d. Gama Glutamiltransferase (GGT)

Keempat komponen tersebut memiliki korelasi satu sama lain melalui rumus berikut:

Indeks ini sudah digunakan pada studi populasi dengan ketepatan 0.84 dalam deteksi fatty liver. Apabila score yang diperoleh <30, maka hasil dapat diabaikan. Namun, apabila mencapai 60, maka dapat dikategorikan hepatic steatosis. (Schwenger et al, 2014)

Teknologi pencitraan lainnya seperti computed tomography (CT) dan

(12)

16

diagnosis NAFLD dengan beberapa pertimbangan. Kelebihan alat diagnostik ini yaitu dapat menentukan jumlah lemak di hati. Namun, biaya yang diperlukan dalam pemeriksaan ini sangat mahal. Selain itu, informasi yang diberikan dari pencitraan ini tidak lebih baik jika dibandingkan dengan USG. (Schwenger et al, 2014)

2.8. Staging NAFLD

Untuk membedakan spektrum NAFLD, maka baku emas yang seharusnya digunakan adalah pemeriksaan histopatologi (biopsi). Media ini dapat membedakan simple steatosis, NASH dengan atau tanpa fibrosis/sirosis. Namun, media ini digunakan setelah hasil pemeriksaan laboratorium dan USG membuktikan adanya steatosis. (Sari, 2012 ; Schwenger et al, 2014)

Sayangnya, penggunaan biopsi ini kurang disukai karena sifatnya yang invasi. Maka dari itu, penggunaan media non-invasi lainnya mulai diperkenalkan yaitu NAFLD Fibrosis Score (NFS), Fibrometer, dan Fibroscan. Ketiga jenis pemeriksaan ini memiliki fungsi, kelebihan, kekerurangan, dan variabel pengukuran yang berbeda. (Schwenger et al, 2014)

Pada NFS, metode ini mengukur enam buah variabel yang terdiri dari usia, kadar Indeks Massa Tubuh (IMT), hiperglikemia, jumlah trombosit, kadar albumin, dan rasio AST/ALT. (Schwenger et al, 2014). Keenam variabel tersebut berkorelasi satu sama lain melalui rumus berikut :

Selain sebagai media yang akurat untuk mengukur kemungkinan (probability)

(13)

17

a. Rendah (kemungkinan kecil menjadi fibrosis), apabila nilai yang diperoleh < -1.5

b. Sedang (kemungkinan sedang menjadi fibrosis), apabila nilai yang diperoleh -1.5 < nilai < 0.67

c. Tinggi (kemungkinan besar menjadi fibrosis), nilai yang diperoleh > 0.67 (Schwenger et al, 2014)

Apabila telah terjadi fibrosis, maka media yang dapat digunakan untuk mengukur persentase sel yang mengalami fibrosis tersebut yaitu fibroMeter. Sama seperti NFS, fibroMeter ini juga menggunakan rumus dan mengukur beberapa variabel yaitu usia, berat badan, KGD puasa, AST, ALT, ferritin, dan jumlah trombosit. Rumus fibroMeter ini yaitu : (Schwenger et al, 2014)

Penilaian fibrosis tersebut juga dapat dilakukan tanpa penggunaan rumus yaitu dengan fibroscan (transient elastography). Dalam menilai adanya fibrosis, media ini menilai tingkat kekakuan hati melalui pemantulan gelombang yang melewati kulit. Selanjutnya, gelombang tersebut akan mengalir melalui sirkulasi dan bermuara pada hati. Kecepatan aliran gelombang ini akan diukur dengan alat

ultrasound. Selain itu, kecepatan aliran ini juga akan berhubungan dengan kekakuan hati. Semakin besar kekakuan hati yang terukur, maka akan semakin besar derajat fibrosis yang terjadi. Penilaian alat ini meliputi empat skala penilaian, yaitu : (Schwenger et al, 2014)

a. Nilai 0, menunjukkan tidak ada steatosis;

b. Nilai 1, menunjukkan adanya fibrosis perivenular dan atau perisinusoidal;

(14)

18

d. Nilai 3, menunjukkan adanya fibrosis pada septum (septal fibrosis);

e. Nilai 4, menunjukkan adanya sirosis. (Schwenger et al, 2014)

2.9. Terapi NAFLD

Dalam penatalaksanaan, NAFLD dimulai dengan terapi non farmakologi terlebih dahulu yaitu melalui perubahan gaya hidup. Pengaturan kuantitas dan kualitas makanan beserta aktivitas fisik dapat menunda progresivitas penyakit. Sebuah studi melaporkan bahwa kombinasi antara aktivitas fisik, asupan makanan, dan modifikasi pola hidup dapat menurunkan 7-10% berat badan pasien obesitas dengan NASH. (Schwenger et al, 2014)

Terkadang, perubahan pola hidup tidak dapat memberikan hasil yang efektif untuk beberapa kasus. Sehingga, dibutuhkan terapi obat seperti metformin dan thiazolidinediones (TZD) yang merupakan obat sensitisasi insulin. (Schwenger et al, 2014)

Metformin merupakan obat yang digunakan pada pasien diabetes mellitus tipe 2. Obat ini dapat menurunkan kadar gula darah dengan cara mengurangi

glukogeogenesis (hati) dan penyerapan glukosa pada usus. Dengan demikian, stimulasi glukosa otot dan oksidasi FFA dapat terjadi. (Schwenger et al, 2014)

Sementara itu, thiazolidinediones (TZD) merupakan obat primer yang digunakan untuk meningkatkan sensitisasi insulin di jaringan hati, otot, dan lemak. Obat ini juga meningkatkan oksidasi asam lemak dan menurunkan lipogenesis hati. Namun, beberapa studi melaporkan bahwa pemberian obat sensitisasi insulin ini masih menjadi kontroversi. (Schwenger et al, 2014)

Penggunaan asam empedu sekunder seperti UDCA (ursodeoxycholicacid) dilaporkan dapat menurunkan nilai enzim hati. Namun, zat ini tidak berpengaruh pada jumlah lemak yang menginfiltrasi hati. (Schwenger et al, 2014)

(15)

19

dan meningkatkan sensitivitas insulin maupun mediator biokimia inflamasi. (Schwenger et al, 2014)

Karena pasien NAFLD juga sering disertai dengan dislipidemia, maka penggunaan statin juga diperlukan sebagai terapi. Tetapi, obat ini hanya digunakan pada pasien yang mengalami dislipidemia. Sedangkan, pada pasien yang tidak disertai gangguan tersebut, obat ini tidak memberikan efek yang berarti. (Schwenger et al, 2014)

Untuk mengatasi masalah bakteri di usus, penggunaan prebiotik merupakan terapi pilihan. Zat ini merupakan karbohidrat tak tercerna yang dapat menstimulasi pertumbuhan bakteri. Sedangkan, pemberian probiotik (mikroorganisme hidup) dapat menurunkan enzim hati. (Schwenger et al, 2014)

Ternyata, vitamin E juga dapat digunakan sebagai salah satu terapi NAFLD. Vitamin ini bekerja sebagai penghambat stress oxidative dan mengurangi fibrosis hepatis. (Schwenger et al, 2014)

Selain perubahan pola hidup dan obat-obatan, penanganan melalui bedah juga bisa menjadi pilihan seperti bariatric surgery. Melalui operasi ini, ukuran lambung pasien dapat diperkecil. Sehingga, porsi makanan juga dapat berkurang. Namun, indikasi pemilihan metode ini yaitu apabila pasien dengan IMT>40 kg/m2. (Schwenger et al, 2014)

2.10. Prognosis NAFLD

Deteksi yang terlambat akan menyebabkan progresivitas simple steatosis

Gambar

Tabel 2.1. Kriteria Sindrom Metabolik Menurut IDF 2005
Tabel 2.2. Prevalensi NAFLD Berdasarkan Distribusi  Sindrom Metabolik
Gambar 2.1. Skema Penyebab NAFLD

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan Surat Penetapan Penyedia Jasa dari Pejabat Pengadaan Barang/Jasa Bidang Sumber Daya Air Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kabupaten Sukoharjo Tahun 2017

Berdasarkan Surat Penetapan Penyedia Jasa dari Pejabat Pengadaan Barang/Jasa Bidang Sumber Daya Air Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kabupaten Sukoharjo Tahun 2017

[r]

Sesuai Berita Acara Hasil Pengadaan Langsung Kecamatan Kartasura Kabupaten Sukoharjo Tahun Anggaran 2017, Nomor: 13/04.PAG.KEC/2017, Tanggal 12 Juni 2017, kami

Mengidentifikasi jenis motif hias pada karya seni rupa Nusantara daerah setempat. 1.Mengelompokkan berbagai jenis perpaduan simbol rupa berdasarkan unsur-unsur rupa pada

Setelah Bomb Bali I, maka pariwisata di Bali mulai pulih sekitar 50% dalam 6- 8 bulan berikutnya dan dalam waktu setahun sudah hampir pulih. Namun pada Oktober

memperlihatkan bahwa pengaruh perlakuan terhadap penyusutan bobot badan ayam kampung super tidak berbeda nyata, artinya pengaruh jarak pengangkutan pada perlakuan tersebut

Konsumsi protein yang rendah disebabkan oleh konsumsi bahan kering dan bahan organik (Tabel 4) dan kandungan protein yang lebih ren- dah (Tabel 3) dibandingkan perlakuan