TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman
Menurut Van Steenis (2003) bawang merah dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom Plantae, divisi Spermatophyta, subdivisi Angiospermae,
kelas Monocotyledonae, ordo Liliales, famili Liliaceae, genus Allium,
spesies Allium ascalonicum L.
Bentuk daun tanaman bawang merah seperti pipa, yakni bulat kecil
memanjang antara 50-70 cm, berlubang, bagian ujungnya meruncing, berwarna hijau muda sampai hijau tua, dan letak daun melekat pada tangkai yang ukurannya relatif pendek (Rukmana, 1994).
Tanaman bawang merah memiliki batang sejati (discus), yang merupakan bagian seperti kayu yang berada pada dasar umbi bawang merah, sebagai tempat
melekatnya perakaran dan mata tunas. Pangkal daun akan bersatu dan membentuk batang semu. Yang kelihatan seperti batang pada tanaman bawang merah sebenarnya merupakan batang semu yang akan berubah bentuk dan fungsinya
sebagai umbi lapis (Sinclair, 1988).
Bentuk daun bawang merah memanjang seperti pipa dan berbentuk bulat,
tetapi ada juga yang membentuk setengah lingkaran pada penampang melintang daun. Bagian ujung daun meruncing, sedangkan bagiaan bawahnya melebar dan membengkak. Daun berwarna hijau (Brewster, 2008).
Bunga bawang merah merupakan bunga sempurna, memiliki benang sari dan kepala putik. Tiap kuntum bunga terdiri atas enam daun bunga yang berwarna
bunga banyak, namun bunga yang berhasil mengadakan persarian relatif sedikit
(Pitojo, 2003).
Buah berbentuk bulat dengan ujungnya tumpul membungkus biji
berjumlah 2-3 butir. Bentuk biji pipih, sewaktu masih muda berwarna bening atau putih, tetapi setelah tua menjadi hitam. Biji-biji berwarna merah dapat
dipergunakan sebagai bahan perbanyakan tenaman secara generatif
(Rukmana, 1995).
Umbi bawang merah merupakan umbi ganda ini terdapat lapisan tipis yang
tampak jelas, dan umbi-umbinya tampak jelas juga sebagai benjolan kekanan dan kekiri, dan mirip siung bawang putih. Lapisan pembungkus siung umbi bawang merah tidak banyak, hanya sekitar 2 sampai 3 lapis dan tipis yang mudah kering.
Sedangkan lapisan dari setiap umbi berukuran lebih banyak dan tebal. Maka besar kecilnya siung bawang merah tergantung oleh banyak dan tebalnya lapisan pembungkus umbi (Suparman, 2010).
Syarat Tumbuh Iklim
Tanaman bawang merah lebih optimum tumbuh di daerah beriklim kering. Tanaman bawang merah peka terhadap curah hujan dan intensitas hujan yang tinggi serta cuaca berkabut. Tanaman ini membutuhkan sinar matahari yang
maksimal (minimal 70% penyinaran), suhu udara 25-32 °C, dan kelembapan nisbi (RH) 50-70 % (Sumarni dan Hidayat, 2005).
yang berarti suhunya rendah pertumbuhan tanaman terhambat dan umbinya
kurang baik (Wibowo, 2007).
Tanah
Bawang merah menghendaki struktur tanah remah. Tanah remah memiliki perbandingan bahan padat dan pori-pori yang seimbang. Bahan padat merupakan
tempat berpegang akar. Tanah remah lebih baik daripada tanah bergumpal
(AAK, 1998)
Tanaman bawang merah memerlukan tanah berstruktur remah, tekstur
sedang sampai liat, drainase/aerasi baik, mengandung bahan organik yang cukup, dan reaksi tanah tidak masam (pH tanah : 5,6-6,5). Tanah yang paling cocok
untuk tanaman bawang merah adalah tanah aluvial atau latosol
(Sutarya dan Grubben, 1995).
Keragaman Genetik
Untuk mempelajari keanekaragaman genetik pada tanaman dapat
dilakukan dengan cara analisis langsung terhadap sifat morfologi agronomi, melalui penggunaan penanda tertentu baik pada tingkat sitologi maupun
molekuler, ataupun melalui analisis kimiawi jaringan tanaman. Penanda adalah karakter yang dapat diturunkan dan berasosiasi dengan genotip tertentu. Sedangkan penanda DNA dapat digunakan untuk menganalisis keanekaragaman
genetik dengan lebih baik karena penanda DNA mampu menampakkan polimorfisme pola pita DNA dalam jumlah banyak, konsisten, dan tidak
dipengaruhi lingkungan (Sumarsono, 2000).
Perbedaan susunan genetik merupakan salah satu faktor penyebab keragaman penampilan tanaman. Program genetik yang akan diekspresikan pada
menghasilkan keragaman pertumbuhan tanaman. Keragaman penampilan tanaman
akibat perbedaan susunan genetik selalu mungkin terjadi sekalipun bahan
tanaman yang digunakan berasal dari jenis tanaman yang sama
(Sitompul dan Guritno, 1995).
Lingkungan yang sering mempengaruhi tanaman adalah lingkungan yang terdapat dekat di sekitar tanaman dan disebut lingkungan mikro. Faktor ini
tergantung dari gen tanaman menerima respon dari lingkungan tersebut. Gen dari tanaman tidak dapat menyebabkan berkembangnya suatu karakter terkecuali bila
mereka berada dalam kondisi yang sesuai. Jika mereka berada dalam kondisi yang tidak sesuai maka tidak ada pengaruh gen terhadap berkembangnya karakteristik dengan mengubah tingkat keadaan lingkungan (Allard, 2005).
Genetik molekuler memainkan peranan penting pada berbagai aspek konservasi tanaman seperti untuk deteksi, karakterisasi yang dulu dilakukan secara langsung dengan pengamatan fenotipik. Dengan kemajuan dibidang biologi
molekuler pengamatan dapat dilakukan dengan lebih teliti pada level DNA yaitu dengan bantuan penanda DNA. Bila dibandingkan pengamatan fenotipik,
karakterisasi dengan bantuan penanda molekuler manjanjikan akurasi dan efisiensi yang lebih tinggi. Identifikasi dilakukan pada level DNA, tidak dipengaruhi oleh lingkungan dan dapat dilakukan pada tahap awal pertumbuhan
tanaman (Hittalmani et al., 1995).
Polymerase Chain Reaction (PCR)
Reaksi berantai polimerase (polymerase chain reaction / PCR) adalah metode amplifikasi suatu sekuen DNA tertentu. PCR merupakan cara yang sensitif, selektif, dan sangat cepat untuk memperbanyak sekuen DNA yang
melipatkgandakan secara eksponensial suatu sekuen nukleotida tertentu dengan
cara in vitro. Metode ini pertama kali dikembangkan pada tahun 1985 oleh Kary B. Mullis. Metode PCR tersebut sangat sensitive. Sensivitas tersebut menjadikan
PCR dapat digunakan untuk melipatgandakan satu molekul DNA. Kelebihan lain metode PCR adalah bahwa reaksi ini dapat dilakukan dengan menggunakan komponen dalam jumlah sangat sedikit (Yuwono, 2006).
Beberapa faktor yang mempengaruhi hasil PCR adalah: konsentrasi dan kemurnian DNA contoh, ukuran/panjang primer, komposisi primer (urutan
nukleotida), konsentrasi ion magnesium, dan enzim Taq-DNA polymerase (Numba, 2010).
Primer adalah suatu sekuen pendek DNA yang menunjukkan adanya
polimorfisme antara individu berbeda dalam satu spesies. Penanda molekuler mempunyai tingkat polimorfisme yang sangat tinggi, jumlahnya tidak terbatas, tidak dipengaruhi oleh lingkungan, dan tingkat heritabilitasnya hampir 100%.
Suatu penanda akan efektif jika dapat membedakan antara dua tetua yang berbeda genotipenya dan dapat dideteksi dengan mudah dalam populasi yang diuji
(Wirnas, 2005).
Primer berupa untai DNA pendek yang menempel pada fragmen DNA target serta sebagai tempat awal terjadinya replikasi. Reaksi PCR membutuhkan
suatu buffer yang mengandung MgCl2 karena aktivitas enzim polimerase
dipengaruhi oleh konsentrasi ion Mg2+. Ion Mg2+ akan menstimulasi aktivitas
enzim secara maksimal pada konsentrasi 2 mM. Jika konsentrasinya lebih tinggi, maka dapat bersifat sebagai inhibitor (Sambrook, 1989).
Bila pita yang muncul memiliki ukuran basa dan intensitas yang
penempelan primer pada genom, kemurnian DNA, dan konsentrasi DNA dalam
reaksi. Banyaknya pita yang dihasilkan pada setiap primer tergantung pada sebaran situs yang homolog pada genom (Williams dkk., 1990).
Keunggulan PCR yaitu Polimerase-DNA dapat diarahkan untuk sintesis wilayah DNA tertentu. Teknik PCR sebenarnya mengeksploitasi berbagai sifat alami replikasi DNA. Dalam proses tersebut, polimerase DNA menggunakan
DNA berserat tunggal sebagai cetakan untuk mensintesis serat baru yang komplementer. Cetakan berserat tunggal dapat diperoleh dengan mudah
dilaboratorium melalui pemanasan DNA berserat ganda pendek untuk memulai (prime) proses sintesis. Posisi awal dan akhir sintesis DNA pada PCR dapat ditentukan dengan menyediakan suatu oligonukleotida sebagai primer yang
menempel secara komplementer pada cetakan sesuai dengan keinginan peneliti dan PCR menghasilkan amplifikasi wilayah DNA tertentu. Serat DNA dapat berfungsi sebagai cetakan untuk mensintesis bila primer oligonukleotida
disediakan untuk masing-masing serat (Mahardika, 2003).
Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD)
Penanda molekuler dapat dilakukan dengan RLFP (Ristriction Fragment Polymorphism), AFLP (Amplified Fragment Length Polymorphism), SSR (Single
Sequence Repeat), dan RAPD (Random Amplified Polimorphic DNA). (Ebrahimi
et al., 2009, Ovesna et.al., 2011, Ma et al., 2009, Lee et al., 2011). Penanda RAPD memiliki kelebihan yaitu lebih sederhana, DNA yang dibutuhkan sedikit,
mampu menghasilkan polimorfisme lebih cepat. Kekurangan metoda RAPD adalah tingkat pengulangan yang rendah, tetapi dapat dijaga dengan konsistensi kondisi PCR (Prana dan Hartati, 2003).
Salah satu pendekatan untuk mengetahui keragaman genetik dan hubungan
kekerabatan serta mendeteksi pohon induk yang berproduksi tinggi adalah menggunakan RAPD. RAPD merupakan marka molekuler yang lebih cepat, lebih
murah dan lebih mudah dibandingkan AFLP dan RFLP dalam mempelajari keragaman genetik, hubungan kekerabatan antar genotip dan identifikasi varietas. Marka DNA hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai indikator seleksi tanpa
dipengaruhi lingkungan, juga dapat digunakan mengidentifikasi aksesi-aksesi, koleksi plasma nutfah baik itu hasil persilangan atau yang berasal dari daerah lain
tanpa menunggu tanaman tersebut berproduksi dan materi-materi genetik hasil persilangan diperlukan untuk evaluasi dalam upaya penemuan varietas unggul produksi tinggi (Samal et al., 2003).
Teknik RAPD hanya digunakan pada satu primer arbitrasi yang dapat menempel pada kedua utas DNA setelah didenaturasi pada situs tertentu yang homolog dengan spesifitas penempelan yang tinggi. Potongan DNA yang
teramplifikasi berdasarkan pilihan penempelan yang bersifat acak dan tidak harus berkaitan dengan gen tertentu. Penggunaan penanda RAPD relatif sederhana dan
mudah dalam hal preparasi. Teknik RAPD memberikan hasil yang lebih cepat dibandingkan dengan teknik molekuler lainnya. Teknik ini juga mampu menghasilkan jumlah karakter yang relatif tidak terbatas, sehingga sangat
membantu untuk keperluan analisis keanekaragaman organisme yang tidak diketahui latar belakang genomnya, baik organisme tingkat tinggi (eukariot)
maupun organisme tingkat rendah (prokariot) (Bardakci, 2001).
Keunggulan teknik RAPD antara lain kuantitas DNA yang dibutuhkan sedikit, hemat biaya, mudah dipelajari dan primer yang diperlukan sudah banyak
RAPD untuk meningkatkan efisiensi seleksi awal. Teknik RAPD telah banyak
diaplikasikan dalam kegiatan pemuliaan tanaman, antara lain analisis keragaman genetik plasma nutfah tanaman (padi, kapas, dan jeruk mandarin), dan analisis
populasi genetik tanaman (kakao dan kelapa) (Azrai, 2005).