• Tidak ada hasil yang ditemukan

BOOK Bertha Sri Eko M Kompetensi Budaya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "BOOK Bertha Sri Eko M Kompetensi Budaya"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

KOMPETENSI BUDAYA DAN KEARIFAN LOKAL

KULTUR JAWA DALAM KOMUNIKASI POLITIK

JOKOWI

Bertha Sri Eko Murtiningsih

Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara Email : bertasri@umn.ac.id

Pendahuluan

Budaya memberikan pengaruhi bagi kehidupan manusia dalam berbagai aspek seperti lingkup hubungan antar pribadi, organisasi dan bisnis, mau pun juga sosial dan politik. Terkait kehidupan politik, kemampuan berkomunikasi seseorang secara efektif sangat dipengaruhi oleh dinamika budaya yang tumbuh dan berkembang dalam lingkungannya. Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan oleh Dedy Mulyana dalam artikel di Pikiran Rakyat tentang Komunikasi Politik Antar Budaya (4 Desember 2016), bahwa proses politik senantiasa terjadi dalam konteks budaya yang melibatkan interaksi antara kehidupan politik dan nilai – nailai budaya masyarakatnya.

Budaya yang tumbuh dan berkembang dalam lingkungan tertentu mampu membentuk gaya komunikasi seseorang. Budaya dan komunikasi saling berkaitan. Budaya akan mempengaruhi cara seseorang ketika menciptakan, mengirim, menginterpretasikan dan merespon pesan orang lain. Dalam konteks komunikasi politik, budaya yang melekat pada insane politikus akan memengaruhi gaya komunikasi politiknya.

Budaya adalah seperangkat makna, simbol, dan norma – norma. De Vito (2009) mendeinisikan budaya sebagai berikut :

(2)

values, or ways of behaving, is called intercultural communication (Devito, 2009: 44). More precisely, intercultural communication involves interactions between people whose cultural perceptions and symbol systems are distinct enough. his will eventually inluence the efective communication.

Karena itu pemahaman budaya sangat penting untuk membantu mengembangkan komunikasi yang efektif dan interaksi yang bermakna. Sehingga memahami hubungan antara budaya dan komunikasi menjadi sangat penting guna memahami dan memaknai interaksi antar seseorang dengan orang lain, maupun juga seseorang dengan komunitas masyarakat. Menurut Samovar, Porter dan Daniel (2006, h.327), hal ini dikarenakan budaya berbeda dari satu sama lain, praktek komunikasi dan perilaku individu bisa dibangun meskipun dalam budaya berbeda dan tingkatan pengaruh budaya pada komunikasi antar budaya adalah sebuah fungsi dari perbedaan budaya.

Untuk itu kesuksesan bagi seorang politikus maupun pejabat publik melakukan komunikasi politik sangat ditentukan oleh kemampuannya dalam mengelola dan memahami dinamika serta interaksi budaya masyarakat. Mereka perlu memahami bagaimana melakukan komunikasi politik yang sesuai dengan konteks budaya masyarakat setempat. Dalam hal ini, kompetensi budaya dalam politik menjadi penting untuk dipahami sepenuhnya oleh politikus dan pejabat publik tertentu.

Menurut Deardof (2006:7), pengertian kompetensi budaya merujuk pada pengelolaan interaksi yang pantas dan efektif diantara orang – orang yang setara atau berbeda dari sisi afektif, kognitif dan orientasi perilaku pada dunia. Orientasi ini secara normatif akan terepresentasikan dalam lingkup kebangsaan, ras, etnis, suku dan agama. Sedangkan istilah kompetensi dimaknai sebagai suatu sikap memahami, kepantasan, kesesuaian, keefektifan dan kemampuan beradaptasi.

(3)

normatif dalam artian komunikasi harus dilakukan secara implisit yang mengutamakan basa – basi, memperhatikan loyalitas kelompok dari pada individu, memakai gaya komunikasi tidak langsung, mengutamakan pertukaran informasi non verbal, mengutamakan suasana komunikasi non formal, reaksi terhadap sesuatu tidak selalu nampak, dan bentuk pesan sebagian besar pesan tersembunyi.

Kompetensi budaya bisa digali dari kearifan lokal. Dalam konteks Indonesia banyak pejabat publik yang belum sepenuhnya melakukan komunikasi politik berbasis kearifan lokal dan memiliki sensitivitas terhadap keberagaman budaya. Sebagai contoh, komunikasi politik yang dilakukan oleh Ahok kerapkali menuai pro dan kontra. Dalam persoalan komunikasi politik yang dilakukan Ahok, banyak kalangan menilai bahwa komunikasi yang dilakukan oleh Ahok kurang santun bahkan seringkali dimaknai negatif bila dilihat dari intonasi atau nada suara yang cenderung tinggi, gaya bicaranya yang ceplas – ceplos dan terkadang meledak – ledak, pilihan bahasa yang digunakan cenderung kasar, serta gesture yang kurang santun.

Tidak hanya terkait dengan kompetensi budaya, pemimpin publik juga perlu memahami konteks kearifan lokal dalam melakukan komunikasi politik. Hal ini dipandang penting karena dengan memahami dan mewujudkan nilai-nilai, norma, dan etika yang melembaga secara tradisional serta berlaku pada masyarakat tertentu akan memudahkan pemimpin publik dalam membangun komunikasi politik yang efektif untuk mempermudah mencapai tujuan yang dikehendaki.

(4)

Kajian Teori

Kompetensi Budaya

Menurut UNESCO (2013:12), pengertian kompetensi mengacu pada keterampilan, kemampuan, dan pengetahuan untuk bertindak apakah melalui kata – kata atau tindakan yang sesuai dengan konteks tertentu. Kompetensi meliputi komponen kognitif ( pengetahuan), aplikasi pengetahuan, aspek personal, dan etika. Individu memiliki kapasitas pengetahuan yang bisa dicocokkan dengan kapasitas untuk berbicara dan bertindak dengan tetap sesuai dengan konteks serta memiliki etika dan perimbangan hak asasi manusia.

Kompetensi budaya adalah kemampuan untuk dapat berkomunikasi secara efektif dan tepat dengan orang – orang dengan beragam budaya. Dengan demikian setiap individu ketika melakukan interaksi dan komunikasi tidak melanggar aturan, norma, dan harapan yang berlaku dalam lingkup masyarakat tertentu.

Menurut Fantini dan Tarmizi, 2006, kompetensi budaya adalah kemampuan untuk mahir menavigasi lingkungan yang kompleks ditandai dengan tumbuhnya keragaman masyarakat, budaya dan gaya hidup. Mampu berinteraksi secara efektif dan tepat dengan ornag yang berbeda bahasa dan budaya.

Menurut Deardof (2006:7), pengertian kompetensi antar budaya merujuk pada pengelolaan interaksi yang pantas dan efektif diantara orang – orang yang setara atau berbeda dari sisi afektif, kognitif dan orientasi perilaku pada dunia. Orientasi ini secara normatif akan terepresentasikan dalam lingkup kebangsaan, ras, etnis, suku dan agama. Sedangkan istilah kompetensi dimaknai sebagai suatu sikap memahami, kepantasan, kesesuaian, keefektivan dan kemampuan beradaptasi.

(5)

nilai mereka berbeda dari kita.

Awareness merupakan kesadaran bahwa individu membawa kerangka mental tertentu dimana individu tersebut dibesarkan dalam lingkungan yang berbeda, maka ia akan membawa nilai-nilai yang berbeda. Tanpa awareness ini individu akan merasa superior dan kurang mau memahami isyarat atau petunjuk dari budaya lain. Sebaliknya, jika individu memiliki awareness maka ia mampu bersikap simpati dan menghargai motivasi orang lain yang sepenuhnya berbeda dengan dirinya. Sedangkan skill adalah kemampuan individu untuk mengakui dan menerapkan simbol – simbol dari budaya lain sehingga individu memperoleh kepuasan bergaul dalam lingkungan yang beragam.

(6)

Model kompetensi budaya menurut Deardof

Figure 1. Model Kompetensi Budaya

Sumber: Deardof (2009:68)

Komunikasi Politik

Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat multikultur yang mempunyai keberagaman dalam berbagai aspek kehidupan sehingga memberi implikasi pada dinamika politik. Beragamnya etnis dan agama di Indonesia menuntut seorang komunikator politik harus dapat melakukan komunikasi politik yang memiliki kompetensi kearifan lokal. Mengingat komunikasi politik yang berbasiskan kearifan lokal akan mampu menyelesaikan berbagai persoalan yang terdapat dalam dinamika masyarakat secara efektif karena pesan – pesan politik tersampaikan dengan baik dan benar.

(7)

merupakan proses pengoperan lambang – lambang atau simbol – simbol komunikasi yang berisi pesan – pesan politik dari seseorang atau kelompok kepada orang lain dengan tujuan untuk membuka wawasan atau cara berpikir, serta memengaruhi sikap dan tingkah laku khalayak yang menjadi target politik.

Komunikasi politik menurut Brian Mc Nair (2003:21) memiliki lima fungsi dasar, yaitu : 1) memberikan informasi kepada masyarakat apa yang terjadi disekitarnya; 2) mendidik masyarakat mengenai arti dan signiikansi fakta yang ada. hal ini bisa dilakukan oleh media dengan membuat liputan yang objektif; 3) menyediakan diri sebagai platform untuk menampung masalah- masalah politik sehingga bisa menjadi wacana dalam membentuk opini publik, dan mengembalikan hasil opini itu kepada masyarakat.; 4) membuat publikasi yang ditujukan kepada pemerintah dan lembaga – lembaga politik

Sedangkan menurut Hebro dalam Cangara (2009: 40-41), fungsi komunikasi politik adalah :

1. Memberikan informasi kepada masyarakat terhadap usaha-usaha yang dilakukan lembaga politik maupun dalam hubungannya dengan pemerintah dan masyarakat

2. Melakukan sosialisasi tentang kebijakan, program, dan tujuan lembaga politik

3. Memberi motivasi kepada politisi, fungsionaris, dan para pendukung partai

4. Menjadi platform yang bisa menampung ide – ide masyarakat sehingga menjadi bahan pembicaraan dalam bentuk opini publik 5. Mendidik masyarakat dengan pemberian informasi, sosialisasi

tentang cara – cara pemilihan umum dan penggunaan hak mereka sebagai pemberi suara

6. Menjadi hiburan masyarakat sebagai “peserta demokrasi” dengan menampilkan para juru kampanye, artis, dan komentator politik 7. Memupuk integrasi dengan mempertinggi rasa kebangsaan guna

menghindari konlik dan ancaman berupa tindakan separatis yang mengancam persatuan masional

(8)

luas terhadap gerakan reformasi dan demokrasi

9. Meningkatkan aktivitas politik masyarakat melalui siaran berita, agenda setting, maupun komentar – komentar politik

10. Menjadi watchdog atau anjing penjaga dalam membantu terciptanya ggod governance yang transparansi dan akuntabilitas.

Kearifan lokal dan Budaya Kekuasaan Jawa

Kearifan lokal adalah gagasan – gagasan lokal yang bernilai baik, benar dan bersikap bijaksana yang dimiliki serta diimplementasikan oleh anggota masyarakat dalam komunitasnya. Kearifan lokal merupakan bagian dari kompetensi budaya. Dalam kultur masyarakat Jawa kearifan lokal tercermin melalui falsafah hidup yang kemudian mereka implementasikan dalam kehidupan sehari-hari baik dalam tataran keluarga, organisasi dan pemerintahan.

Menurut Abubakar dalam Al Musanna (2011:589), kearifan lokal merupakan kebijakan yang bersandar pada ilosoi, nilai – nilai, etika dan perilaku yang melembaga secara tradisional untuk mengelola sumber daya ( alam, manusia, dan budaya) secara berkelanjutan.

Didit dalam Istiawati (2016:5), mengungkapkan bahwa kearifan lokal mengacu pada pengetahuan yang berasal dari pengalaman komunitas dan akumulasi pengetahuan lokal sebagai hasil proses dialektika antara individu dan lingkungan.

Menurut Ellen, Parker & Bicker dalam Dahliani (2015:2), menamai local wisdom dengan pengetahuan lokal atau pengetahuan adat. Pengetahuan lokal dideinisikan sebagai (1) pengetahuan yang terkait dengan tempat dan satu set pengalaman yang dikembangkan oleh masyarakat lokal; (2) pengetahuan yang diperoleh dengan peniruan (imitasi) dan percobaan; (3) pengetahuan empiris yang ada; (4) pengetahuan di ranah tradisi dan budaya yang komprehensif dan terpadu.

(9)

Konsep tentang local widom juga diungkapkan oleh Nakorntap dalam Roikhwanphut Mungmachon ( 2012:3) :

local wisdom is basic knowledge gained from living in balance with nature. It is realted to culture in the community which is accumulated and passed on. his is wisdom can be both abstract an concrete, but the important characteristics are that it comes from experiences of truth gained from life. his wisdom from real experiences integrates the body, the spirit and the environment. It emphasizes respect for elders and their life experiences. Moreover, it values morals more than material things

Dari berbagai pendapat diatas, maka dapat disimpulkan bahwa kearifan lokal merupakan pengetahuan, ilosoi, dan nilai – nilai yang dimiliki oleh kelompok masyarakat tertentu yang diperoleh dari interaksinya dengan lingkungan. Kearifan lokal juga bersifat terbuka, leksibel dan dinamis.

Sebagaimana diungkapkan oleh Wagiran (2012:7), kearifan lokal dapat dilihat dari aspek budaya seperti : (1) Religio-spritual, (2) Moral, (3) Kemasyarakatan, (4) Adat dan tradisi, (5) Pendidikan dan pengetahuan, (6) Teknologi, (7) Penataan ruang dan arsitektur, (8) Mata pencaharian, (9) Kesenian, (10) Bahasa, (11) Benda cagar budaya dan kawasan cagar budaya, (12) Kepemimpinan dan pemerintahan, (13) Kejuangan dan kebangsaan.

Kearifan lokal pada masyarakat Jawa dalam konteks ini terlihat dari aspek ilosoi nilai budaya yang terkait dengan aspek moral, kepemimpinan dan pemerintahan. Masyarakat Jawa memiliki budaya kepemimpinan yang khas dan sarat dengan nilai – nilai ilosois. Masyarakat Jawa memiliki falsafah hidup yang menjadi pedoman dalam sikap dan perilakunya. Salah satu contoh falsah hidup jawa menurut Endraswara (2003:50), dalam diri manusia ada “angon rasa’, artinya setiap manusia memiliki tiga unsur yaitu cipta, karsa , dan rasa. Cipta akan melahirkan pengetahuan, karsa melahirkan kehendak baik, dan rasa melahirkan perasaan atau nilai – nilai luhur. Falsafah ini memberi konsekuensi bagaimana orang Jawa harus bertindak. Dalam konteks ini, orang Jawa dalam bertindak harus memperhatikan konteks sosial, ruang, dan waktu.

(10)

bertindak orang Jawa yang harus mampu menyesuaikan diri. Budaya ini memiliki makna bahwa seorang pemimpin dalam pemerintahan tidak boleh berlebihan, tidak memperkaya diri, dan tidak menutupi kesalahan orang lain. Istilah” anoraga” atau merendahkan diri, memberi makna bahwa dalam bertindak tidak boleh bersikap “sapa sira sapa ingsun, aja adigang-adigung adiguna, dan aja dumeh (mengunggulkan diri, merendahkan orang lain). Endraswara (2003:50)

Menurut Suyanto (2005:9) konsep “budi luhur” merupakan salah satu nilai kepemimpinan Jawa yang penting. Konsep ini dianggap penting karena mampu menciptakan pemerintahan yang baik dan bisa menjadi pedoman bagi elit politik agar dapat mengekang diri dan tidak “kebablasan” dalam menjalankan kekuasaan, bersikap tanpa pamrih dan berpihak pada rakyat. Pemimpin harus mampu menunjukkan keseimbangan antara kewajiban dan kewenangan yang dimiliki, serta mampu melindungi dan mengasihi rakyatnya.

Gaya kepemimpinan Jawa harus memiliki sikap “hamangku, hamengku, dan hamengkoni”. sikap hamangku dimaknai sebagai sikap dan pandangan yang harus bertanggung jawab terhadap kewajibannya sebagai seorang pemimpin. Sedangkan sikap hamengkoni merupakan sikap mampu mengakui kewajibannya. Kemudian sikap “hamengkoni” adalah sikap yang berani melindungi rakyatnya dalam segala situasi.

Dalam kultur Jawa, maka seorang raja atau pemimpin harus mampu menjadi panutan seluruh rakyat. Sikap “mamayu ayuning bowo” yang dimaknai sebagai kemampuan untuk mewujudkan suasana aman, tentram, dan kesejahteraan bagi rakyatnya. (Sardiman, 1992)

(11)

dayakuwera, artinya bersedia berkorban dengan melimpahkan kepada kawula alit yang membutuhkan bantuan. Dalam kepemimpinan Jawa terdapat konsep yang sarat dengan kebajikan seperti konsep “mikul dhuwur mendhem jero” yang bermakna memikul setinggi-tingginya, memendam sedalam – dalamnya.

Pembahasan

Kompetensi Budaya, Kearifan Lokal Jawa dalam Kepemimpinan dan Komunikasi Politik Jokowi.

Joko Widodo atau yang lebih dikenal dengan panggilan Jokowi menjadi sosok fenomenal dalam dinamika politik di Indonesia. Berlatar belakang pengusaha furnitur, Jokowi mampu menjadi Walikota Solo selama dua periode dengan beragam dinamika politik yang terjadi. Bahkan selanjutnya Jokowi mampu terpilih sebagai Gubernur DKI Jakarta. Puncaknya, Jokowi berhasil mendapatkan amanat kepercayaan rakyat melalui pemilihan umum langsung untuk menduduki posisi orang nomor satu di Republik Indonesia sebagai presiden. Sepak terjang Jokowi ketika menjadi pemimpin dan harus mempimpin mulai dari level walikota, gubernur, sampai presiden mempunyai pola-pola komunikasi ala Jawa.

Kepemimpinan dan komunikasi politik yang berbasis pada local wisdom dapat memberikan arti dan dampak positif bagi terbangunnya kehidupan berbangsa dan bernegara yang bermakna. Gagasan kepemimpinan dan komunikasi politik yang berbasiskan kearifan lokal merujuk pada kesadaran individu bahwa setiap masyarakat memiliki nilai – nilai ilosois dan cara hidup yang bisa dijalankan dalam setiap aspek kehidupan terutama dalam kehidupan berpolitik sesuai konteksnya. Kearifan lokal yang dikembangkan dan diimplementasikan dalam kehidupan bernegara dan berbangsa mampu memberikan solusi terhadap beragam persoalan yang ada.

(12)

(3) “hamengkoni” adalah sikap yang berani melindungi rakyatnya dalam segala situasi, (4) diwaycitta, sikap mau mendengarkan pendapat orang lain dan bermusyawarah. Sebagai contoh, pertama dalam kasus sengketa terkait dengan ganti rugi lahan untuk proyek Jakarta Outer Ring Road West 2, Jokowi berupaya untuk melakukan dialog dan mencari upaya – upaya untuk penyelesaian masalah dengan mendengarkan suara warga Petukangan. Dalam kepemimpinannya Jokowi mempraktikan nilai – nilai , menghindari konlik, dan membela rakyat kecil. Jokowi menjaga harmonisasi politik dan kerukunan dengan berbagai pihak yang terlibat dalam sengketa. Kedua, dalam pertemuan Jokowi dengan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Ulama Indonesia (GNPF-MUI). Organisasi ini gencar melakukan kritik terhadap pemerintahan Jokowi, namun Jokowi mau melakukan dialog dan musyawarah dengan organisasi ini.

Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo menggunakan diplomasi makan siang bersama untuk menyelesaikan berbagai persoalan. Dalam diplomasi makan siang bersama, Jokowi mempraktikkan ilosoi Jawa,(KOMPAS/WISNU WIDIANTORO) Sumber :

(13)

Penampilan Jokowi jika dilihat dari komunikasi nonverbal, seperti : cara berpakaian, cara berbicara, dan gesture yang digunakan saat berkomunikasi. Jokowi menampilkan proil sebagai rakyat biasa. Dalam hal berpakaian tampak sederhana, hal ini berbeda dengan presiden – presiden sebelumnya yang menggunakan cara berpakaian tertentu untuk membentuk identitasnya. Misalnya, Presiden Habibie selalu menggunakan dasi dalam setiap kesempatan untuk menunjukkan bahwa dia seorang yang berpendidikan atau intelek. Sama halnya dengan presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang selalu menggunakan pakaian safari untuk menunjukkan kewibawaannya. Sedangkan presiden Gus Dur selalu tampil dengan pakaian gamis dan berkopiah yang menunjukkan bahwa dia adalah sosok yang religius. Dalam hal nada suara, Jokowi tidak pernah bicara keras atau dengan nada tinggi.

Kearifan lokal Jawa yang dipraktikan dalam gaya komunikasi nonverbal Jokowi berdasar pada konsep pimpinan jawa “manjing ajur ajer” yang bermakna pimpinan hendaknya bisa menjadi diri sendiri dan menjadi orang lain terutama wong cilik ( Endraswara, 2010:141)

Kompetensi Budaya dalam komunikasi politik Jokowi.

Hasil atau dampak eksternal yang diinginkan bagi setiap individu yang memiliki kompetensi budaya adalah individu mampu berperilaku dan berkomunikasi secara tepat dan efektif berdasarkan pengetahuan, sikap, dan perilaku antarbudaya. Sedangkan dampak internal dari kompetensi budaya adalah adanya kemapuan beradaptasi terkait dengan gaya komunikasi yang berbeda dan perilaku, penyesuaian terhadap lingkungan budaya baru, memiliki leksibilitas dalam memilih dan menggunakan gaya komunikasi yang sesuai, leksibilitas kognitif, memiliki pandangan etnorelatif dan mampu berempati.

(14)

Sikap yang diperlukan dalam kompetensi budaya adalah kemampuan untuk menghormati dan menghargai budaya lain dan keragaman budaya. Keterbukaan untuk pembelajaran antar budaya dan orang- orang dari budaya lain, tidak mudah menghakimi. Adanya rasa ingin tahu sehingga individu bisa bertoleransi terhadap ambiguitas dan ketidakpastian.

Kompetensi budaya perlu dimiliki oleh komunikator politik termasuk politikus, pejabat publik bahkan presiden. Bila dikaitkan dengan model kompetensi budaya dari Deardof, dalam gaya kepemimpinan dan komunikasi politik Jokowi memiliki kompetensi pengetahuan dan pemahaman mendalam tentang konteks budaya lain. Jokowi memiliki keterampilan mendengarkan dan mengamati, menghormati dan terbuka terhadap orang – orang diluar budayanya. Sebagai contoh, Jokowi mau berdialog dengan masyarakat suku Anak dalam yang berbeda budaya.

Jokowi berdialog dengan beberapa warga Suku Anak Dalam didampingi (dok. Tim Komunikasi Presiden)

Sumber : https://news.detik.com/berita/3059312/

(15)

dalam keluarga, bukan sebagai seorang pemimpin apalagi penguasa. Di berbagai pelosok tanah air ada banyak kisah kepahlawan tentang sosok-sosok perempuan Indonesia yang pada era nya mampu memberikan kontribusi bagi masyarakat luas. Mulai dari Cut Nyak Dien, Christina Martha, sampai kepada R.A Kartini. Hal ini tampaknya sangat dipahami oleh Jokowi ketika menjadi presiden dengan memberikan porsi menteri kepada perempuan cukup banyak, tercatat ada Sri Mulyani, Khoifah, Puan Maharani, Rini Soemarmo, Susi Pudjiastuti, Retno Lestari, Siti Nurbaya, Nila F Moeloek, dan Yohana Yambise.

Dalam konteks kompetensi budaya, dengan memilih menteri yang bukan etnis Jawa dan memberi peluang kepada perempuan untuk menduduki jabatan menteri. Hal ini menyiratkan bahwa Jokowi mau memahami dan memiliki kesadaran diri terhadap orang – orang dari budaya lain.

Kesimpulan

Membangun kompetensi antar budaya dan saling pengertian saat ini merupakan hal yang relevan dalam politik. Berangkat dari berbagai persoalan antar budaya yang terjadi ketika seorang pejabat publik melakukan komunikasi politik dengan komunitas dan masyarakat yang beragam etnis yang seringkali memunculkan sikap prasangka, stereotip dan etnosentris yang membawa mereka pada konlik. Masalah ini muncul karena adanya kesalahpahaman yang terjadi dalam interaksi dan komunikasi antara orang – orang dengan beragam budaya.

Kompetensi antarbudaya merupakan sebuah proses “long life process”. Individu bisa sungguh – sungguh dapat memiliki kompetensi budaya jika individu mampu memperhatikan proses mulai dari bagaimana ia memperoleh pengetahuan, sikap, dan keterampilan dan mampu melakukan releksi secara kritis.

(16)

cara berikir inklusif, memperhatikan emosi, dan memfungsikan tindakan.

Datar Pustaka:

Buku

Brian Mc Nair. (2003). Pengantar Komunikasi Politik. Jakarta: Nusamedia

Cangara, Haied.(2009). Komunikasi Politik: Konsep, Teori, dan Strategi. Jakarta : . RajaGraindo Persada.

Deardof, Darla. K. (2009). Intercultural Competence. USA: SAGE Publication

De Vito.(2009). Interpersonal Communication. USA : Pearson Education. Inc

Endraswara. (2010). Falsafah Hidup Jawa. Yogyakarta :Penerbit Cakrawala.

Samovar, Larry A, Richard E.Porter dan Edwin R.McDaniel.(2006). Intercultural Communication: A Reader. hompson Wadsworth

Tuman, Joseph.S.(2008). Communication in American Campaign. San Fransisco State. University: SAGE Publication Inc

UNESCO. (2013). Intercultural Competences. Conceptual and operational framework. Paris :UNESCO

Artikel Jurnal

Isbodroini Suyanto-Gunawan.(2005). Faham Kekuasaan Jawa : Pandangan Elit Keraton Surakarta dan Yogyakarta. Jurnal Antropologi Indonesia, 29 (2).

Wahyudi, S. Sarjana. (2011). Kepemimpinan Jawa Islam dalam Masyarakat Jawa.Membangun Masyarakat Indonesia dalam Perspektif Budaya.

(17)

Dahliani, dkk.(2015), Local Wisdom In Built Environment In Globalization Era. International Journal of Education and Research, 3(6).ISSN: 2411- 5681

Roikhwanphut Mungmachon.(2012), Knowledge and Local Wisdom: Community Treasure. International Journal of Humanities and Social Science,2(13)

Sumber lain :

https://news.detik.com/berita/3059312/ diakses 13 Juli pk. 10.30

Gambar

Figure 1. Model Kompetensi Budaya

Referensi

Dokumen terkait

Syaiful Anwar, Wakil Rektor III UIN Raden Intan Lampung, wawancara , dicatat pada tanggal 13/05/2018.. kepemimpinan yang demokratis. Teori ini ternyata diaplikasikan oleh Prof.

Hasil perbandingan menunjukan kurva medan rerata magnet hasil konstruksi berada di atas medan isokronus hasil simulasi dengan rerata kesalahan 0,3%, kecuali pada

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa implementasi model pembelajaran berbasis masalah dengan bantuan diagram Vee pada kelas eksperimen memiliki perbedaan

Hal ini terlihat bahwa kementerian/Lembaga menjalankan kebijakannya sesuai dengan kepentingan masing-masing, termasuk membuat kebijakan mengenai perbatasan cenderung

Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) menyidangkan pelanggaran etika dan dapat menyidangkan pelanggaran disiplin profesi dokter di wilayah yang belum terdapat

Ia belajar para pemimpin politik di Amerika Serikat, dan menyarankan bahwa kepemimpinan dapat dinyatakan dalam dua berbeda bentuk, transformasional atau

4.2 Penelitian dilakukan oleh Nataniel Dengen, Dyna Marisa Khairina “Sistem Informasi Akademik Berbasis Web SMP Negeri 4 Samarinda” suatu sistem informasi akademik berbasis web

Grafik rata-rata kepemilikan manajerial yang cenderung meningkat daripada kebijakan hutang karena tingkat kepemilikan saham oleh manajerial telah banyak dimiliki