• Tidak ada hasil yang ditemukan

Produk Hukum – DTRB RPP_2010-11-12

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Produk Hukum – DTRB RPP_2010-11-12"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

RANCANGAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

NOMOR TAHUN 2010

TENTANG

TINGKAT KETELITIAN PETA UNTUK RENCANA TATA RUANG

WILAYAH

(2)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ii

DAFTAR LAMPIRAN I iv

DAFTAR LAMPIRAN II iv

DAFTAR LAMPIRAN III iv

BAB I KETENTUAN UMUM 1

BAB II TUJUAN DAN LINGKUP 3

BAB III KETELITIAN PETA LUARAN 4

Bagian Pertama Umum 4

Bagian Kedua Tingkat Ketelitian Peta Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional

(RTRWN) 4

Paragraf 1 Umum 4

Paragraf 2 Peta Rencana Struktur Ruang Wilayah Nasional 5 Paragraf 3 Peta Rencana Pola Ruang Wilayah Nasional 6 Paragraf 4 Peta Rencana Penetapan Kawasan Strategis Nasional 6 Bagian Ketiga Tingkat Ketelitian Peta Peta Rencana Tata Ruang Wilayah

Provinsi ……..7

Paragraf 1 Umum 7

Paragraf 3 Peta Rencana Pola Ruang Wilayah Provinsi 8 Paragraf 4 Peta Rencana Penetapan Kawasan Strategis Provinsi 9 Bagian Keempat Tingkat Ketelitian Peta Peta Rencana Tata Ruang Wilayah

Kabupaten 10

Paragraf 1 Umum 10

Paragraf 2 Peta Rencana Struktur Ruang Wilayah Kabupaten 10 Paragraf 3 Peta Rencana Pola Ruang Wilayah Kabupaten 12 Paragraf 4 Peta Penetapan Kawasan Strategis Kabupaten 13

Bagian Kelima Tingkat Ketelitian Peta Peta Rencana Tata Ruang Wilayah

Kota 13

Paragraf 2 Peta Rencana Struktur Ruang Wilayah Kota 14 Paragraf 3 Peta Rencana Pola Ruang Wilayah Kota 15 Paragraf 4 Peta Sebaran Kawasan Strategis Kota 16 Bagian Keenam Tingkat Ketelitian Peta Rencana Tata Ruang

Pulau/Kepulauan 17

Bagian Ketujuh Tingkat Ketelitian Peta Rencana Tata Ruang Kawasan

Strategis Nasional 17

Bagian Kedelapan Tingkat Ketelitian Peta Rencana Tata Ruang Kawasan

Strategis Provinsi 18

Bagian Kesembilan Tingkat Ketelitian Peta Rencana Tata Ruang Kawasan

Perkotaan 18

Bagian Kesepuluh Tingkat Ketelitian Peta Rencana Tata Ruang Kawasan

Perdesaan 19

Bagian Kesebelas Tingkat Ketelitian Peta Rencana Tata Ruang Kawasan

(3)

Bagian Ketigabelas Tingkat Ketelitian Peta Rencana Detail Tata Ruang

Kabupaten 20

Bagian Keempatbelas Tingkat Ketelitian Peta Rencana Detail Tata Ruang

Wilayah Kota 20

BAB IV KETELITIAN PETA MASUKAN 21

Bagian Pertama Umum 21

Bagian Kedua Tingkat Ketelitian Peta Dasar 22 Bagian Kedua Tingkat Ketelitian Peta Tematik 24

BAB V METODE PROSES SPASIAL 26

BAB VI PENGELOLAAN DATA GEOSPASIAL 29 BAB VII PENGADAAN DAN PEMBINAAN TEKNIS 30

BAB VIII PERAN SERTA MASYARAKAT 31

BAB IX KETENTUAN PERALIHAN 31

(4)

DAFTAR LAMPIRAN I

1. Simbol, Notasi dan Kode Unsur, Unsur-unsur Sistem Perkotaan

2. Simbol, Notasi dan Kode Unsur, Unsur-unsur Sistem Jaringan Transportasi 3. Simbol, Notasi dan Kode Unsur, Unsur-unsur Sistem Jaringan Energi

4. Simbol, Notasi dan Kode Unsur, Unsur-unsur Sistem Jaringan Telekomunikasi 5. Simbol, Notasi dan Kode Unsur, Unsur-unsur Sistem Jaringan Sumberdaya Air 6. Simbol, Notasi dan Kode Unsur, Unsur-unsur Kawasan Lindung

7. Simbol, Notasi dan Kode Unsur, Unsur-unsur Kawasan Budidaya 8. Simbol, Notasi dan Kode Unsur, Unsur-unsur Kawasan Strategis 9. Simbol, Notasi dan Kode Unsur, Unsur-unsur Prasarana Lainnya

DAFTAR LAMPIRAN II 1. Simbol Dan Atau Notasi Unsur-Unsur Hidrologi 2. Simbol Dan Atau Notasi Unsur-Unsur Permukiman 3. Simbol Dan Atau Notasi Unsur-Unsur Transportasi

4. Simbol Dan Atau Notasi Unsur-Unsur Batas Administrasi 5. Simbol Dan Atau Notasi Unsur-Unsur Relief

6. Simbol Dan Atau Notasi Unsur-Unsur Nama Rupabumi

DAFTAR LAMPIRAN III

1. Simbol Dan Atau Notasi Unsur-Unsur Peta Penggunaan Lahan 2. Simbol Dan Atau Notasi Unsur-Unsur Peta Kemiringan Lereng 3. Simbol Dan Atau Notasi Unsur-Unsur Peta Geologi

4. Simbol Dan Atau Notasi Unsur-Unsur Peta Geomorfologi 5. Simbol Dan Atau Notasi Unsur-Unsur Peta Fisiograf 6. Simbol Dan Atau Notasi Unsur-Unsur Peta Curah Hujan 7. Simbol Dan Atau Notasi Unsur-Unsur Peta Penutup Lahan

8. Simbol Dan Atau Notasi Unsur-Unsur Peta Ketersediaan Sarana dan Prasarana Dasar 9. Simbol Dan Atau Notasi Unsur-Unsur Peta Rawan Bencana

(5)

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR ... TAHUN ...

TENTANG

TINGKAT KETELITIAN PETA RENCANA TATA RUANG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:

bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 14 Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Tingkat Ketelitian Peta Rencana Tata Ruang.

Mengingat:

1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;

2. Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4725);

MEMUTUSKAN: Menetapkan:

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG TINGKAT KETELITIAN PETA RENCANA TATA RUANG.

BAB I

KETENTUAN UMUM Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:

1.

Peta adalah suatu gambaran dari unsur-unsur alam dan atau buatan manusia, yang berada di atas maupun di bawah permukaan bumi yang digambarkan pada suatu bidang datar dengan skala tertentu.

2.

Ketelitian peta adalah ketepatan, kerincian dan kelengkapan data dan atau informasi georeferensi dan tematik, sehingga merupakan penggabungan dari sistem referensi geometri, skala, akurasi, atau kerincian basis data, format penyimpanan secara digital termasuk kode unsur, penyajian kartografs mencakup simbol, warna, arsiran dan notasi, dan kelengkapan muatan peta.

3.

Sistem referensi geometri adalah suatu sistem pemetaan tertentu yang dimaksudkan agar berbagai macam peta masukan dan peta luaran dapat diintegrasikan atau dipadukan satu sama lain.

4.

Skala adalah perbandingan jarak dalam suatu peta dengan jarak yang sama di muka bumi.

(6)

proses perencanaan tata ruang.

6.

Akurasi adalah ukuran kedekatan suatu informasi yang dipetakan dengan nilai sesungguhnya.

7.

Kerincian basis data adalah tingkat kedetilan unsur-unsur alam dan buatan manusia yang ditampung dalam suatu sistem penyimpanan data dan informasi atau dikenal sebagai basis data. Semakin detil suatu basis data semakin banyak unsur-unsur yang ditampung.

8.

Format penyimpanan secara digital adalah cara komputer menyimpan data dan informasi spasial kedalam daftar unsur yang diberi kode penomoran unik.

9.

Spasial adalah aspek keruangan suatu objek atau kejadian yang mencakup lokasi, letak dan posisinya.

10.

Geospasial adalah sifat keruangan yang menunjukkan posisi atau lokasi suatu objek atau kejadian yang berada di bawah, pada, atau di atas permukaan bumi yang dinyatakan dalam sistem koordinat tertentu.

11.

Data Geospasial adalah data tentang lokasi geografs, dimensi atau ukuran, dan/atau karakteristik objek alam dan/atau buatan manusia yang berada di bawah, pada, atau di atas permukaan bumi.

12.

Informasi Geospasial adalah data geospasial yang sudah diolah sehingga dapat digunakan sebagai alat bantu dalam perumusan kebijakan, pengambilan keputusan dan/atau pelaksanaan kegiatan yang berhubungan dengan keruangan.

13.

Penyajian kartografs adalah cara menggambarkan data geospasial dan informasi geospasial pada media cetak maupun dalam media elektronik berikut penjelasan tentang legenda dan riwayat peta, sehingga dapat dibaca dengan jelas, tanpa memberikan arti ganda.

14.

Kelengkapan muatan peta adalah tingkat kedetilan unsur yang dipetakan yang disesuaikan dengan ketelitian geometri atau skala.

15.

Perencanaan tata ruang adalah suatu proses untuk menentukan struktur ruang dan pola ruang yang meliputi penyusunan dan penetapan rencana tata ruang.

16.

Rencana tata ruang adalah hasil perencanaan tata ruang.

17.

Peta dasar adalah peta yang menyajikan unsur-unsur alam dan atau buatan manusia, yang berada di permukaan bumi, digambarkan pada suatu bidang datar dengan skala, penomoran, proyeksi dan georeferensi tertentu.

18.

Peta tematik adalah peta yang menggambarkan tema tertentu yang digunakan untuk pembuatan peta rencana tata ruang.

(7)

20.

Geodatabase adalah basis data geospasial yang digunakan untuk mengelola data geospasial dalam perencanaaan tata ruang.

21.

Template adalah cetakan digital sehingga data yang telah dikode dalam suatu kode unsur tertentu dapat secara otomatis ditampilkan sesuai spesifkasi simbolisasi tertentu.

22.

Badan adalah Instansi Pemerintah yang diberi tugas dan wewenang di bidang survei dan pemetaan.

23.

Instansi yang bertanggung jawab adalah instansi yang diberi tugas di bidang survei dan pemetaan.

24.

Instansi yang mengadakan peta tematik adalah instansi baik di tingkat pusat maupun daerah, yang tugas dan fungsinya mengadakan peta tematik.

25.

Metadata adalah informasi singkat atas data geospasial yang berisi minimal identifkasi, kualitas, organisasi, acuan, entitas, distribusi, sitasi, waktu, dan acuan data.

26.

Delineasi adalah cara menggambarkan batas unsur alam, unsur buatan manusia dan/atau tema tertentu dalam bentuk garis.

27.

Penyelenggara penataan ruang adalah Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah.

28.

Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.

29.

Pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati, Walikota dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

BAB II

TUJUAN DAN LINGKUP

Pasal 2

Pengaturan tingkat ketelitian peta rencana tata ruang dimaksudkan untuk mewujudkan kesatuan sistem peta rencana tata ruang yang akurat.

Pasal 3 Ketelitian peta rencana tata ruang meliputi: a. ketelitian peta luaran;

b. ketelitian peta masukan; c. metode proses spasial; dan

(8)

BAB III

KETELITIAN PETA LUARAN Bagian Pertama

Umum Pasal 4

(1) Peta luaran merupakan peta hasil proses perencanaan tata ruang yang mengolah berbagai data dari peta masukan dengan suatu metode proses tertentu.

(2) Peta luaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a terdiri dari: a. peta rencana umum tata ruang; dan

b. peta rencana rinci tata ruang.

Pasal 5

Peta rencana umum tata ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a terdiri dari:

a. peta Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN); b. peta Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRW-Prov);

c. peta Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten (RTRW-Kab); dan d. peta Rencana Tata Ruang Wilayah Kota (RTRW-Kota).

Pasal 6

Peta rencana rinci tata ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b terdiri dari:

a. peta Rencana Tata Ruang Pulau/Kepulauan (RTR-P/K);

b. peta Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional (RTR-KSN); c. peta Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Provinsi (RTR-KSProv); d. peta Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan (RTR-Perkotaan); e. peta Rencana Tata Ruang Kawasan Perdesaan (RTR-Perdesaan); f. peta Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Kabupaten (RTR-KSKab); g. peta Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Kota (RTR-KSKota); h. peta Rencana Detail Tata Ruang Kabupaten (RDTR-Kab); dan i. peta Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTR-Kota).

Bagian Kedua

Tingkat Ketelitian Peta Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN)

Paragraf 1 Umum

Pasal 7

(9)

Pasal 8

Peta RTRWN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a meliputi: a. peta Rencana Struktur Ruang Wilayah Nasional;

b. peta Rencana Pola Ruang Wilayah Nasional; dan c. peta Sebaran Kawasan Strategis Nasional.

Paragraf 2

Peta Rencana Struktur Ruang Wilayah Nasional Pasal 9

(1) Peta Rencana Struktur Ruang Wilayah Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a memuat:

a. sistem perkotaan nasional;

b. sistem jaringan transportasi nasional; c. sistem jaringan energi nasional;

d. sistem jaringan telekomunikasi nasional; dan e. sistem jaringan sumberdaya air nasional.

(2) Sistem perkotaan nasional dan sistem jaringan transportasi nasional harus digambarkan pada satu cakupan peta wilayah nasional secara utuh.

(3) Sistem jaringan energi nasional, sistem jaringan telekomunikasi nasional dan sistem jaringan sumberdaya air nasional digambarkan pada satu cakupan peta wilayah nasional dan dapat digambarkan pada peta tersendiri.

Pasal 10

(1) Sistem perkotaan nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a terdiri dari:

a. Pusat Kegiatan Nasional (PKN);

b. Pusat Kegiatan Strategis Nasional (PKSN); c. Pusat Kegiatan Wilayah (PKW); dan

d. Pusat Kegiatan Lokal (PKL).

(2) Sistem jaringan transportasi nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf b terdiri dari:

a. jaringan transportasi darat; b. jaringan transportasi laut; dan c. jaringan transportasi udara.

(3) Sistem jaringan energi nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf c terdiri dari:

a. jaringan pipa minyak dan gas bumi; b. jaringan listrik; dan

c. pembangkit tenaga listrik.

(4) Sistem jaringan telekomunikasi nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf d dapat berupa:

a. jaringan terestrial; dan

(10)

(5) Sistem jaringan sumber daya air nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf e terdiri dari:

a. jaringan sungai;

b. sistem sumber daya air pada setiap wilayah sungai; c. cekungan air tanah;

d. bendungan besar; dan e. kanal besar.

Paragraf 3

Peta Rencana Pola Ruang Wilayah Nasional Pasal 11

Peta Rencana Pola Ruang Wilayah Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b terdiri dari:

a. kawasan lindung; dan b. kawasan budidaya.

Pasal 12

(1) Kawasan lindung nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf a terdiri dari:

a. kawasan yang memberikan perlindungan terhadap bawahannya; b. kawasan perlindungan setempat;

c. kawasan pelestarian alam, suaka alam dan cagar budaya; d. kawasan rawan bencana alam;

e. kawasan lindung geologi; dan f. kawasan lindung lainnya.

(2) Kawasan budidaya bernilai strategis nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf b terdiri dari:

a. kawasan hutan produksi; b. kawasan hutan rakyat; c. kawasan perkebunan; d. kawasan pertanian pangan; e. kawasan perikanan;

f. kawasan pertambangan; g. kawasan industri;

h. kawasan pariwisata;

i. kawasan permukiman; dan j. kawasan peruntukan lainnya.

(3) Dalam hal kawasan lindung dan kawasan budidaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang tidak dapat digambarkan dalam bentuk delineasi karena terlalu kecil penggambarannya disajikan dalam bentuk simbol.

Paragraf 4

Peta Rencana Penetapan Kawasan Strategis Nasional

Pasal 13

Delineasi kawasan strategis harus dipetakan pada satu lembar kertas yang menggambarkan wilayah nasional secara utuh.

(11)

Kawasan strategis nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf c terdiri dari:

a. kawasan strategis dari sudut kepentingan pertahanan dan keamanan; b. kawasan strategis dari sudut pertumbuhan ekonomi;

c. kawasan strategis dari sudut sosial dan budaya;

d. kawasan strategis dari sudut pendayagunaan sumber daya alam dan/atau teknologi tinggi; dan

e. kawasan strategis dari sudut fungsi dan daya dukung lingkungan hidup.

Bagian Ketiga

Tingkat Ketelitian Peta Peta Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Paragraf 1

Umum Pasal 15

(1) Peta RTRW-Prov sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b digambarkan pada peta dasar dengan skala minimal 1: 250.000.

(2) Peta RTRW-Prov mencakup wilayah daratan dan perairan provinsi sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.

(3) Untuk provinsi yang memiliki wilayah pesisir dan laut dapat dilengkapi dengan data batimetri.

(4) Peta RTRW-Prov disusun setelah melalui proses koordinasi dengan provinsi yang berbatasan langsung dan ditunjukkan dengan penggambaran wilayah provinsi yang berbatasan dalam koridor 5 kilometer sepanjang garis perbatasan.

Pasal 16

Peta RTRW-Prov sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b terdiri dari: a. Peta Rencana Struktur Ruang Wilayah Provinsi;

b. Peta Rencana Pola Ruang Wilayah Provinsi; dan c. Peta Sebaran Kawasan Strategis Provinsi.

Paragraf 2

Peta Rencana Struktur Ruang Wilayah Provinsi Pasal 17

(1) Peta Rencana Struktur Ruang Wilayah Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf a harus menggambarkan Rencana Struktur Ruang Wilayah Nasional yang ada di wilayah provinsi.

(2) Peta Rencana Struktur Ruang Wilayah Provinsi selain memuat yang ada pada peta Struktur Ruang Wilayah Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat pula:

a. sistem perkotaan provinsi;

b. sistem prasarana utama berupa jaringan transportasi provinsi;

(12)

(3) Sistem perkotaan dan sistem prasarana utama harus digambarkan pada satu lembar peta wilayah provinsi secara utuh.

(4) Sistem prasarana wilayah lainnya digambarkan pada satu lembar peta wilayah provinsi secara utuh dan dapat digambarkan pada peta tersendiri.

Pasal 18

Sistem perkotaan wilayah provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf a terdiri dari:

a. Pusat Kegiatan Lokal (PKL) yang ditetapkan provinsi; b. Pusat Kegiatan Nasional promosi (PKNp); dan

c. Pusat Kegiatan Wilayah promosi (PKWp).

Pasal 19

Jaringan transportasi provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf b terdiri dari:

a. jaringan transportasi darat; b. jaringan transportasi laut; dan c. jaringan transportasi udara.

Pasal 20

(1) Jaringan energi provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf c terdiri dari:

a. sistem prasarana listrik provinsi; dan b. pembangkit tenaga listrik provinsi.

(2) Jaringan telekomunikasi provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf d terdiri dari:

a. jaringan terestrial; dan b. jaringan satelit.

(3) Jaringan sumberdaya air provinsi terdiri dari: a. jaringan sungai;

b. wilayah sungai lintas kabupaten/kota; c. cekungan air tanah lintas kabupaten/kota; d. bendungan;

e. waduk penampungan air besar; f. kanal besar; dan

g. fasilitas air bersih.

Paragraf 3

Peta Rencana Pola Ruang Wilayah Provinsi Pasal 21

(1) Peta Rencana Pola Ruang Wilayah Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf b harus sesuai dengan rencana pola ruang yang ditetapkan dalam RTRWN dan rencana rincinya untuk pola ruang dalam RTRWN yang berada dalam wilayah provinsi.

(13)

a. kawasan lindung; dan b. kawasan budidaya.

Pasal 22

(1) Kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf a terdiri dari:

a. kawasan hutan lindung;

b. kawasan yang memberikan perlindungan terhadap bawahannya; c. kawasan perlindungan setempat;

d. kawasan suaka alam;

e. kawasan pelestarian alam dan cagar budaya; f. kawasan rawan bencana alam;

g. kawasan lindung geologi; dan h. kawasan lindung lainnya.

(2) Kawasan budidaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf b terdiri dari: a. kawasan peruntukan hutan produksi;

b. kawasan hutan rakyat;

c. kawasan peruntukan pertanian; d. kawasan peruntukan perkebunan; e. kawasan peruntukan perikanan; f. kawasan peruntukan pertambangan; g. kawasan peruntukan industri;

h. kawasan peruntukan pariwisata; i. kawasan peruntukan permukiman; dan j. kawasan peruntukan lainnya.

Pasal 23

(1) Kawasan lindung dan kawasan budidaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 yang tidak dapat dipetakan dalam bentuk delineasi karena terlalu kecil digambarkan dalam bentuk simbol.

(2) Peta Rencana Pola Ruang Wilayah Provinsi dapat digambarkan dalam beberapa lembar peta yang tersusun secara beraturan mengikuti indeks peta dasar nasional.

(3) Untuk peruntukan pola ruang yang relatif kecil, tidak perlu dipetakan dalam peta pola ruang wilayah provinsi, namun tetap dijelaskan dalam rencana pola ruang pada Rencana Tata Ruang Wilayah provinsi.

Paragraf 4

Peta Rencana Penetapan Kawasan Strategis Provinsi Pasal 24

(1) Sebaran Kawasan Strategis Nasional yang berada dalam wilayah provinsi dan Kawasan Strategis Provinsi harus digambarkan dalam peta Penetapan Kawasan Strategis Provinsi.

(2) Delineasi kawasan strategis harus dipetakan pada satu lembar kertas yang menggambarkan wilayah provinsi secara keseluruhan.

Pasal 25

(14)

terdiri dari:

a. kawasan strategis provinsi dari sudut pertumbuhan ekonomi;

b. kawasan yang dapat mempercepat pertumbuhan kawasan tertinggal di dalam wilayah provinsi;

c. kawasan strategis provinsi dari sudut sosial dan budaya;

d. kawasan strategis provinsi dari sudut pendayagunaan sumber daya alam dan/atau teknologi tinggi;

e. kawasan strategis provinsi dari sudut fungsi dan daya dukung lingkungan hidup; atau

f. kawasan strategis provinsi lainnya.

Bagian Keempat

Tingkat Ketelitian Peta Peta Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Paragraf 1

Umum Pasal 26

(1) Peta RTRW-Kab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c digambarkan pada peta dasar skala minimal 1: 50.000.

(2) Peta RTRW-Kab mencakup wilayah daratan dan perairan kabupaten sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.

(3) Untuk wilayah kabupaten yang memiliki wilayah pesisir dan laut perlu dilengkapi dengan data batimetri.

(4) Peta RTRW-Kab disusun setelah melalui proses koordinasi dengan kabupaten/kota lain yang berbatasan langsung dan ditunjukkan dengan penggambaran wilayah kabupaten/kota lain yang berbatasan dalam koridor minimal 7

Pasal 27

Peta RTRW-Kab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c meliputi: a. Peta Rencana Struktur Ruang Wilayah Kabupaten;

b. Peta Rencana Pola Ruang Wilayah Kabupaten; dan c. Peta Penetapan Kawasan Strategis Kabupaten.

Paragraf 2

Peta Rencana Struktur Ruang Wilayah Kabupaten Pasal 28

(1) Peta Rencana Struktur Ruang Wilayah Kabupaten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf a harus menggambarkan Rencana Struktur Ruang Wilayah Nasional dan Rencana Struktur Ruang Wilayah Provinsi yang ada di wilayah kabupaten.

(2) Peta Rencana Struktur Ruang Wilayah Kabupaten selain menggambarkan Rencana Struktur Ruang Wilayah Nasional dan Rencana Struktur Ruang Wilayah Provinsi yang ada di wilayah kabupaten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat pula:

(15)

b. sistem prasarana utama berupa jaringan transportasi wilayah kabupaten; c. sistem prasarana wilayah lainnya berupa jaringan energi wilayah

kabupaten, jaringan telekomunikasi wilayah kabupaten, jaringan sumberdaya air wilayah kabupaten, dan sistem prasarana lainnya.

(3) Sistem perkotaan dan sistem prasarana utama digambarkan pada satu lembar peta wilayah kabupaten secara utuh.

(4) Sistem prasarana wilayah lainnya digambarkan pada satu lembar peta wilayah kabupaten secara utuh dan dapat digambarkan pada peta tersendiri.

Pasal 29

Sistem perkotaan wilayah kabupaten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) huruf a terdiri dari:

a. pusat pelayanan kawasan (PPK); b. pusat pelayanan lingkungan (PPL); dan c. pusat kegiatan lokal promosi (PKLp).

Pasal 30

(1) Jaringan transportasi wilayah kabupaten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) huruf b terdiri dari:

a. jaringan transportasi darat yang mencakup jaringan jalan, jaringan rel kereta api, dan jaringan sungai, danau dan penyeberangan;

b. jaringan transportasi laut yang mencakup pelabuhan dan alur pelayaran; dan

c. jaringan transportasi udara yang mencakup bandar udara dan ruang udara untuk penerbangan.

(2) Sistem jaringan jalan harus digambarkan mengikuti terase jalan yang sebenarnya.

Pasal 31

(1) Jaringan energi wilayah kabupaten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) huruf c terdiri dari:

a. jaringan pipa minyak dan gas bumi; b. jaringan listrik; dan

c. pembangkit tenaga listrik.

(2) Jaringan telekomunikasi wilayah kabupaten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) huruf d terdiri dari:

a. infrastruktur telekomunikasi yang berupa jaringan kabel telepon;

b. infrastruktur telepon nirkabel antara lain lokasi menara telekomunikasi termasuk menara Base Transceiver Station (BTS); dan

c. jaringan telekomunikasi satelit pada wilayah terpencil.

(3) Jaringan sumberdaya air wilayah kabupaten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) huruf c berupa:

a. jaringan sumber daya air lintas negara, lintas provinsi, dan lintas kabupaten/kota yang berada pada wilayah kabupaten bersangkutan;

b. wilayah sungai kabupaten; c. jaringan irigasi;

d. jaringan air baku untuk air bersih;

(16)

f. sistem pengendalian banjir wilayah kabupaten. (4) Sistem prasarana wilayah kabupaten lainnya berupa:

a. parasarana lingkungan berupa Tempat Pengolahan Sampah Sementara (TPS), Tempat Pengolahan Sampah Akhir (TPA), Sistem Pengolahan Limbah Cair, Sistem Pengolahan Limbah Padat;

b. Prasarana pendidikan berupa pendidikan tinggi skala wilayah dan kabupaten, pendidikan menengah skala kabupaten;

c. prasarana ekonomi skala wilayah dan kabupaten berupa pasar tradisional, pasar moderen;

d. prasarana kesehatan berupa rumah sakit tipe B, rumah sakit tipe C;dan e. prasarana olah raga dan rekreasi skala wilayah dan kabupaten.

Paragraf 3

Peta Rencana Pola Ruang Wilayah Kabupaten Pasal 32

(1) Peta Rencana Pola Ruang Wilayah Kabupaten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf c harus menggambarkan rencana pola ruang wilayah nasional dan wilayah provinsi yang ada di wilayah kabupaten.

(2) Peta Rencana Pola Ruang Wilayah Kabupaten selain memuat unsur peta Pola Ruang Wilayah Nasional dan peta Pola Ruang Wilayah Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat pula:

a. kawasan lindung kabupaten; dan b. kawasan budidaya kabupaten.

(3) Deliniasi kawasan lindung dan kawasan budi daya yang dipetakan dalam rencana pola ruang kabupaten dirinci sesuai dengan kawasan peruntukannya. (4) Rencana pola ruang wilayah kabupaten meliputi wilayah administrasi

kabupaten yang meliputi ruang darat, laut dan udara.

(5) Rencana pola ruang wilayah kabupaten dapat digambarkan dalam beberapa lembar peta yang tersusun secara beraturan mengikuti indeks peta dasar.

Pasal 33

Kawasan lindung kabupaten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 huruf b terdiri dari:

a. Kawasan hutan lindung;

b. Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya; c. Kawasan perlindungan setempat;

d. Kawasan suaka alam, pelestarian alam dan cagar budaya; e. Kawasan rawan bencana alam;

f. Kawasan lindung geologi; dan g. Kawasan lindung lainnya.

Pasal 34

Kawasan budidaya bernilai strategis kabupaten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 huruf c terdiri dari:

a. kawasan peruntukan hutan produksi; b. kawasan hutan rakyat;

(17)

d. kawasan peruntukan perkebunan; e. kawasan peruntukan perikanan; f. kawasan peruntukan pertambangan; g. kawasan peruntukan industri;

h. kawasan peruntukan pariwisata;

i. kawasan peruntukan permukiman; dan j. kawasan peruntukan lainnya.

Paragraf 4

Peta Penetapan Kawasan Strategis Kabupaten Pasal 35

(1) Delineasi kawasan strategis harus dipetakan pada satu lembar kertas yang menggambarkan wilayah kabupaten secara utuh.

(2) Pada peta kawasan strategis kabupaten harus digambarkan delineasi kawasan strategis nasional dan delineasi kawasan strategis provinsi yang berada di dalam wilayah kabupaten bersangkutan.

Pasal 36

Peta Kawasan Strategis Kabupaten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 huruf d memuat:

a. kawasan strategis kabupaten dari sudut pertumbuhan ekonomi; b. kawasan strategis kabupaten dari sudut sosial dan budaya;

c. kawasan strategis kabupaten dari sudut pendayagunaan sumber daya alam dan/atau teknologi tinggi;

d. kawasan strategis kabupaten dari sudut fungsi dan daya dukung lingkungan hidup; dan

e. kawasan andalan kabupaten.

Bagian Kelima

Tingkat Ketelitian Peta Peta Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Paragraf 1

Umum Pasal 37

(1) Peta RTRW-Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf d digambarkan pada peta dasar dengan skala minimal 1: 25.000.

(2) Peta RTRW-Kota mencakup wilayah daratan dan perairan dengan batasan 4 (empat) mil laut diukur dari garis pantai di wilayah kota atau sampai batas negara yang disepakati secara internasional apabila kota terkait berbatasan laut dengan negara lain.

(3) Untuk wilayah kota yang memiliki wilayah pesisir dan laut perlu dilengkapi dengan data batimetri.

(18)

Pasal 38

Peta RTRW-Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf d meliputi: a. Peta Rencana Struktur Ruang Wilayah Kota;

b. Peta Rencana Pola Ruang Wilayah Kota; dan c. Peta Penetapan Kawasan Strategis Kota.

Paragraf 2

Peta Rencana Struktur Ruang Wilayah Kota Pasal 39

(1) Peta Rencana Struktur Ruang Wilayah Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 huruf a menggambarkan Rencana Struktur Ruang Wilayah Nasional dan Rencana Struktur Ruang Wilayah Provinsi yang ada di wilayah kota.

(2) Peta Rencana Struktur Ruang Wilayah Kota selain memuat yang ada pada peta Struktur Ruang Wilayah Nasional dan peta Rencana Struktur Ruang Wilayah Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat pula:

a. pusat pelayanan wilayah kota;

b. sistem prasarana utama berupa jaringan transportasi wilayah kota;

c. sistem prasarana wilayah lainnya berupa jaringan energi wilayah kota, jaringan telekomunikasi wilayah kota, jaringan sumberdaya air wilayah kota, infrastruktur perkotaan dan sistem prasarana lainnya.

Pasal 40

(1) Pusat pelayanan di wilayah kota merupakan pusat pelayanan sosial, ekonomi, dan/atau administrasi masyarakat yang melayani wilayah kota dan regional, yang meliputi:

a. pusat kota;

b. sub-pusat kota; dan c. pusat lingkungan.

(2) Sistem pusat-pusat pelayanan dan sistem prasarana utama harus digambarkan pada satu cakupan peta wilayah kota secara utuh.

(3) Rencana struktur ruang wilayah kota harus menggambarkan jaringan jalan yang berada dalam wilayah kota yang menjadi kewenangan kota dan jalan primer yang melalui kota tersebut.

(4) Sistem prasarana wilayah lainnya digambarkan pada satu lembar peta wilayah kota secara utuh dan dapat digambarkan pada peta tersendiri.

(5) Sistem jaringan prasarana jalan harus digambarkan mengikuti terase jalan yang sebenarnya.

Pasal 41

Jaringan transportasi wilayah kota dalam Pasal 39 ayat (2) huruf b terdiri dari: a. jaringan transportasi darat yang mencakup jaringan jalan, jaringan rel kereta

api, dan jaringan sungai, danau dan penyeberangan;

b. jaringan transportasi laut wilayah kota yang mencakup pelabuhan dan alur pelayaran; dan

(19)

ruang udara untuk penerbangan.

Pasal 42

(1) Jaringan energi wilayah kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (2) huruf c terdiri dari:

a. jaringan pipa minyak dan gas bumi dalam wilayah kota; b. jaringan listrik wilayah kota; dan

c. pembangkit tenaga listrik.

(2) Jaringan telekomunikasi wilayah kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (2) huruf c terdiri dari:

a. jaringan telepon fixed line dan lokasi pusat automatisasi sambungan telepon; dan

b. Infrastruktur telepon nirkabel berupa lokasi menara telekomunikasi termasuk menara Base Transceiver Station (BTS).

(3) Jaringan sumberdaya air wilayah kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (2) huruf c terdiri dari:

a. sistem jaringan sumber daya air lintas negara, lintas provinsi, dan lintas kabupaten/kota yang berada pada wilayah kota bersangkutan;

b. wilayah sungai di wilayah kota, termasuk waduk, situ, dan embung pada wilayah kota;

c. sistem jaringan irigasi yang berfungsi mendukung kegiatan pertanian di wilayah kota;

d. sistem jaringan air baku untuk air bersih; dan e. sistem pengendalian banjir di wilayah kota.

(4) Infrastruktur perkotaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (2) huruf c meliputi:

a. prasarana penyediaan air minum kota; b. pengelolaan air limbah;

c. sistem persampahan; d. sistem drainase kota;

e. penyediaan dan pemanfaatan prasarana dan sarana jaringan jalan pejalan kaki; dan

f. jalur evakuasi bencana.

Paragraf 3

Peta Rencana Pola Ruang Wilayah Kota Pasal 43

(1) Peta Rencana Pola Ruang Wilayah Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 huruf c harus menggambarkan rencana pola ruang wilayah nasional dan wilayah provinsi yang ada di wilayah kabupaten.

(2) Peta Rencana Pola Ruang Wilayah Kota selain memuat unsur peta Pola Ruang Wilayah Nasional dan peta Pola Ruang Wilayah Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat pula:

a. kawasan lindung kota; dan

b. kawasan budidaya bernilai strategis kota.

(20)

Pasal 44

Kawasan lindung kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 huruf d dapat berupa:

a. hutan lindung;

b. kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya; c. kawasan perlindungan setempat;

d. ruang terbuka hijau (RTH) kota, yang antara lain meliputi taman Rukun Tetangga, taman Rukun Warga, taman kota dan taman permakaman;

e. kawasan suaka alam dan cagar budaya; f. kawasan rawan bencana alam; dan g. kawasan lindung lainnya.

Pasal 45

Kawasan budidaya kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 huruf e terdiri dari:

a. kawasan perumahan;

b. kawasan perdagangan dan jasa; c. kawasan perkantoran;

d. kawasan industri; e. kawasan pariwisata;

f. kawasan ruang terbuka non hijau; g. kawasan ruang evakuasi bencana;

h. kawasan peruntukan ruang bagi kegiatan sektor informal; dan i. kawasan peruntukan lainnya.

Paragraf 4

Peta Sebaran Kawasan Strategis Kota Pasal 46

(1) Delineasi kawasan strategis harus dipetakan pada satu lembar kertas yang menggambarkan wilayah kota secara utuh.

(2) Pada peta kawasan strategis kota harus digambarkan delineasi kawasan strategis nasional dan delineasi kawasan strategis provinsi yang berada di dalam wilayah kota bersangkutan.

Pasal 47

Peta Sebaran Kawasan Strategis Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 huruf e memuat:

a. unsur kawasan strategis kota dari sudut pertumbuhan ekonomi; b. unsur kawasan strategis kota dari sudut sosial dan budaya;

c. unsur kawasan strategis kota dari sudut pendayagunaan sumber daya alam dan/atau teknologi tinggi;

d. unsur kawasan strategis kota dari sudut fungsi dan daya dukung lingkungan hidup; dan

e. kawasan andalan kota.

Bagian Keenam

(21)

(1) Peta RTR-P/K sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a digambarkan pada peta dasar skala minimal 1: 500.000.

(2) Peta RTR-P/K mencakup wilayah daratan dan perairan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Pasal 49

Peta RTR-P/K sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a meliputi: a. peta Rencana Struktur Ruang Pulau/Kepulauan;

b. peta Rencana Pola Ruang Pulau/Kepulauan; dan c. peta Sebaran Kawasan Strategis Pulau/Kepulauan.

Pasal 50

Unsur-unsur Peta RTRWN sebagaimana dimaksud dalam Bagian Kedua berlaku mutatis mutandis untuk Peta RTR-P/K.

Bagian Ketujuh

Tingkat Ketelitian Peta Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional Pasal 51

(1) Peta RTR-KSN merupakan penjabaran dari Peta Sebaran Kawasan Strategis Nasional dalam RTRWN.

(2) Peta RTR-KSN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b digambarkan pada peta dasar dengan skala yang sesuai dengan bentang objek dan/atau kebutuhan kedetilannya.

(3) Skala yang sesuai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dikonsultasikan kepada Badan.

Pasal 52

Peta RTR-KSN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b memuat: a. kawasan strategis dari sudut pertahanan dan keamanan;

b. kawasan strategis nasional dari sudut pertumbuhan ekonomi; c. kawasan strategis nasional dari sudut sosial dan budaya;

d. kawasan strategis nasional dari sudut pendayagunaan sumber daya alam dan/atau teknologi tinggi; dan/atau

e. kawasan strategis nasional dari sudut fungsi dan daya dukung lingkungan hidup.

Bagian Kedelapan

Tingkat Ketelitian Peta Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Provinsi Pasal 53

(1) Peta RTR-KSProv merupakan penjabaran dari Peta Sebaran Kawasan Strategis Provinsi dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi.

(22)

kebutuhan kedetilannya.

(3) Skala yang sesuai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dikonsultasikan kepada Badan.

Pasal 54

Peta RTR-KSProv sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c memuat a. kawasan strategis provinsi dari sudut pertumbuhan ekonomi;

b. kawasan strategis provinsi dari sudut sosial dan budaya;

c. kawasan strategis provinsi dari sudut pendayagunaan sumber daya alam dan/atau teknologi tinggi; dan

d. kawasan strategis provinsi dari sudut fungsi dan daya dukung lingkungan hidup.

Bagian Kesembilan

Tingkat Ketelitian Peta Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Pasal 55

Rencana tata ruang kawasan perkotaan dapat berupa:

a. kawasan perkotaan yang merupakan bagian wilayah kabupaten; atau

b. kawasan yang secara fungsional berciri perkotaan yang mencakup 2 (dua) atau lebih wilayah kabupaten/kota pada satu atau lebih wilayah provinsi.

Pasal 56

(1) Peta RTR-Perkotaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 huruf a merupakan rencana rinci tata ruang wilayah kabupaten.

(2) Peta RTR-Perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digambarkan pada peta dasar atau wilayah dengan skala minimal 1:10.000.

(3) Unsur-unsur Peta RTRW-Kota sebagaimana dimaksud dalam Bagian Kelima berlaku mutatis mutandis untuk Peta RTR-Perkotaan yang merupakan bagian wilayah kabupaten.

Pasal 57

(1) Peta RTR-Perkotaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 huruf b merupakan alat koordinasi antar wilayah kabupaten/kota.

(2) Peta RTR-Perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digambarkan pada peta dasar atau wilayah dengan skala minimal 1: 50.000.

(3) Unsur-unsur Peta RTRW-Kab sebagaimana dimaksud dalam Bagian Keempat berlaku mutatis mutandis untuk Peta Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan. (4) Sistem Pusat Kegiatan pada Peta RTR-Perkotaan harus menunjukkan dengan

jelas kota inti dan kota satelit.

Bagian Kesepuluh

(23)

Rencana tata ruang kawasan perdesaan dapat berupa:

a. kawasan perdesaan yang merupakan bagian wilayah kabupaten; atau

b. kawasan yang secara fungsional berciri perdesaan yang mencakup 2 (dua) atau lebih wilayah kabupaten pada satu atau lebih wilayah provinsi.

Pasal 59

(1) Peta RTR-Perdesaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 huruf a merupakan rencana rinci tata ruang wilayah kabupaten.

(2) Peta RTR-Perdesaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digambarkan pada peta dasar dengan skala minimal 1:10.000.

(3) Unsur-unsur Peta RTRW-Kota sebagaimana dimaksud dalam Bagian Kelima berlaku mutatis mutandis untuk Peta RTR-Perdesaan yang merupakan bagian wilayah kabupaten.

Pasal 60

(1) Peta RTR-Perdesaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 huruf b merupakan alat koordinasi antar wilayah kabupaten.

(2) Peta RTR-Perdesaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digambarkan pada peta dasar dengan skala minimal 1: 50.000.

(3) Unsur-unsur Peta RTRW-Kab sebagaimana dimaksud dalam Bagian Keempat berlaku mutatis mutandis untuk Peta RTR-Perdesaan yang mencakup 2 (dua) atau lebih wilayah kabupaten pada satu atau lebih wilayah provinsi.

Bagian Kesebelas

Tingkat Ketelitian Peta Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Kabupaten Pasal 61

(1) Peta RTR-KSKab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf f merupakan penjabaran dari Peta Sebaran Kawasan Strategis Kabupaten dalam RTRW-Kab. (2) Peta RTR-KSKab digambarkan pada peta dasar dengan skala yang sesuai

dengan bentang objek atau kawasan dan/atau tingkat kepentingan objek atau kawasan yang digambarkan.

(3) Skala yang sesuai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dikonsultasikan kepada Badan.

Pasal 62

Peta RTR-KSKab memuat unsur-unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dengan tingkat kedetilan geometri sesuai dengan skala yang ditetapkan.

Bagian Keduabelas

(24)

(1) Peta RTR-KSKota Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf g merupakan penjabaran dari Peta Sebaran Kawasan Strategis Kota dalam RTRW-Kota.

(2) Peta Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis digambarkan pada peta dasar dengan skala yang sesuai dengan bentang objek atau kawasan dan/atau tingkat kepentingan objek atau kawasan yang digambarkan.

(3) Skala yang sesuai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dikonsultasikan kepada Badan.

Pasal 64

Peta RTR-KSKota memuat unsur-unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dengan tingkat kedetilan geometri sesuai dengan skala yang ditetapkan.

Bagian Ketigabelas

Tingkat Ketelitian Peta Rencana Detail Tata Ruang Kabupaten Pasal 65

(1) Peta Rencana Detil Tata Ruang Kabupaten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf h mencakup kawasan diluar RTR-KSKab sebagaimana dimaksud dalam Bagian Kesebelas.

(2) Peta Rencana Detil Tata Ruang Kabupaten digambarkan pada peta dasar dengan skala yang sesuai dengan bentang objek atau kawasan dan/atau tingkat kepentingan objek atau kawasan yang digambarkan.

(3) Skala yang sesuai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dikonsultasikan kepada Badan.

Pasal 66

Unsur-unsur Peta RDTR-Kab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf h, simbolisasi dan/atau notasi, kode unsur digital, dan penggambarannya secara kartografs diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Keempatbelas

Tingkat Ketelitian Peta Rencana Detail Tata Ruang Wilayah Kota

Pasal 67

(1) Peta Rencana Detil Tata Ruang Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf i mencakup kawasan diluar RTR-KSKota sebagaimana dimaksud dalam Bagian Keduabelas.

(2) Peta Rencana Detil Tata Ruang Kota digambarkan pada peta dasar dengan skala yang sesuai dengan bentang objek atau kawasan dan/atau tingkat kepentingan objek atau kawasan yang digambarkan.

(3) Skala yang sesuai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dikonsultasikan kepada Badan.

(25)

Unsur-unsur Peta RDTR-Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf i, simbolisasi dan/atau notasi, kode unsur digital, dan penggambarannya secara kartografs diatur dengan Peraturan Menteri yang membidangi tata ruang nasional.

Pasal 69

(1) Unsur-unsur peta RTRWN sebagaimana dimaksud dalam Bagian Kedua, peta RTRW-Prov sebagaimana dimaksud dalam Bagian Ketiga, peta RTRW-Kab sebagaimana dimaksud dalam Bagian Keempat, peta RTRW-Kota sebagaimana dimaksud dalam Bagian Kelima, peta RTR-P/K sebagaimana dimaksud dalam Bagian Keenam, peta RTR-KSN sebagaimana dimaksud dalam Bagian Ketujuh, peta RTR-KSProv sebagaimana dimaksud dalam Bagian Kedelapan, peta RTR-Perkotaan sebagaimana dimaksud dalam Bagian Kesembilan, peta RTR-Perdesaan sebagaimana dimaksud dalam Bagian Kesepuluh, peta RTR-KSKab sebagaimana dimaksud dalam Bagian Kesebelas, dan peta RTR-KSKota sebagaimana dimaksud dalam Bagian Keduabelas digambarkan dengan kode, simbol dan atau notasi pada Lampiran I Peraturan Pemerintah ini.

(2) Dalam hal unsur-unsur peta tidak terdapat pada Lampiran I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) penyelenggara penataan ruang harus berkonsultasi dengan instansi terkait.

BAB IV

KETELITIAN PETA MASUKAN Bagian Pertama

Umum Pasal 70

(1) Peta masukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b merupakan data atau peta yang digunakan untuk proses perencanaan tata ruang dengan metode proses tertentu.

(2) Peta masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari: a. peta dasar; dan

b. peta tematik.

Pasal 71

(1) Peta masukan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 3 huruf b, harus memiliki ketelitian peta yang pasti sesuai karakteristiknya.

(2) Tingkat ketelitian geometri peta masukan meliputi: a. sistem referensi geometri minimal yang harus dimiliki; dan

b. skala peta minimal, akurasi pengukuran minimal, dan kerincian data minimal yang digunakan untuk merekonstruksi informasi di muka bumi dengan benar.

Bagian Kedua

(26)

Pasal 72

Peta dasar yang digunakan untuk perencanaan tata ruang harus memenuhi kriteria:

a. memiliki skala sekurang-kurangnya sama atau lebih besar dari peta rencana tata ruang yang akan dibuat; dan

b. memiliki unsur-unsur: perairan, hipsograf, permukiman, jaringan transportasi, batas administrasi, dan nama-nama rupabumi sesuai dengan kenampakan rupabumi di tempat tersebut.

Pasal 73

Peta dasar untuk penyusunan peta rencana tata ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (2) huruf a menggunakan skala minimal:

a. 1: 1.000.000; b. 1: 500.000; c. 1: 250.000; d. 1: 50.000; e. 1: 25.000; f. 1: 10.000; atau g. 1: 5.000.

Pasal 74

Peta dasar dengan skala 1:1.000.000 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 huruf a memuat unsur-unsur:

a. perairan berupa laut beserta unsur-unsur di perairan pantainya, garis pantai, sungai, danau, waduk atau bendungan yang digambarkan dengan skala untuk lebar minimal 100 meter;

b. permukiman berupa kota;

c. jaringan transportasi berupa jalan tol, jalan arteri, jalan kolektor, jalur kereta api, bandar udara, pelabuhan;

d. batas administrasi berupa batas negara, batas provinsi, batas kabupaten/kota; dan/atau

e. nama rupabumi/toponim.

Pasal 75

Peta dasar dengan skala 1: 500.000 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 huruf b memuat unsur-unsur:

a. perairan berupa laut beserta unsur-unsur di perairan pantainya, garis pantai, sungai, danau, waduk atau bendungan yang digambarkan dengan skala untuk lebar minimal 50 meter;

b. permukiman berupa kota;

c. jaringan transportasi berupa jalan tol, jalan arteri, jalan kolektor, jalur kereta api, bandar udara, pelabuhan;

d. batas administrasi berupa batas negara, batas provinsi, batas kabupaten/kota; dan/atau

e. nama rupabumi/toponim.

Pasal 76

Peta dasar dengan skala 1: 250.000 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 huruf c memuat unsur-unsur:

(27)

lebar minimal 25 meter; b. permukiman;

c. jaringan transportasi berupa jalan tol, jalan arteri, jalan kolektor, jalur kereta api, bandar udara, pelabuhan;

d. batas administrasi berupa batas negara, batas provinsi, batas kabupaten/kota; e. garis kontur dengan selang kontur yang mempunyai kelipatan 100 meter dan

titik ketinggian; dan/atau f. nama rupabumi/toponim.

Pasal 77

Peta dasar dengan skala 1: 50.000 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 huruf e memuat unsur-unsur:

a. perairan berupa laut beserta unsur-unsur di perairan pantainya, garis pantai, sungai, danau, waduk atau bendungan yang digambarkan dengan skala untuk lebar minimal 5 meter;

b. permukiman;

c. jaringan transportasi berupa jalan tol, jalan arteri, jalan kolektor, jalur kereta api, bandar udara dan pelabuhan;

d. batas administrasi berupa batas negara, batas provinsi, batas kabupaten/kota, batas kecamatan/distrik;

e. garis kontur dengan selang kontur yang mempunyai kelipatan 25 meter dan titik ketinggian; dan/atau

f. nama rupabumi/toponim.

Pasal 78

Peta dasar dengan skala 1: 25.000 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 huruf f memuat unsur-unsur:

a. perairan berupa laut beserta unsur-unsur di perairan pantainya, garis pantai, sungai, danau, waduk atau bendungan yang digambarkan dengan skala untuk lebar minimal 2,5 meter;

b. permukiman;

c. jaringan transportasi berupa jalan tol, jalan arteri, jalan kolektor, jalur kereta api, bandar udara dan pelabuhan;

d. batas administrasi berupa batas negara, batas provinsi, batas kabupaten/kota, batas kecamatan/distrik;

e. garis kontur dengan selang kontur yang mempunyai kelipatan 12,5 meter dan titik ketinggian; dan/atau

f. nama rupabumi/toponim.

Pasal 79

Peta dasar dengan skala 1:10.000 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 huruf g memuat unsur-unsur:

a. perairan berupa laut beserta unsur-unsur di perairan pantainya, garis pantai, sungai, terusan, saluran air, danau, waduk atau bendungan yang digambarkan dengan skala untuk lebar minimal 1 meter;

b. permukiman;

c. jaringan transportasi berupa jalan tol, jalan arteri, jalan kolektor, jalan lokal, jalan lain, jalan setapak, jalur kereta api, bandar udara dan pelabuhan;

d. batas administrasi berupa batas negara, batas provinsi, batas kabupaten/kota, batas kecamatan/distrik, batas desa/kelurahan;

e. garis kontur dengan selang kontur yang mempunyai kelipatan 5 meter dan titik ketinggian; dan/atau

(28)

Pasal 80

Peta dasar dengan skala 1: 5.000 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 huruf h memuat unsur-unsur:

a. perairan berupa laut beserta unsur-unsur di perairan pantainya, garis pantai, sungai, terusan, saluran air, danau, waduk atau bendungan yang digambarkan dengan skala untuk lebar minimal 0,5 meter;

b. permukiman;

c. jaringan transportasi berupa jalan tol, jalan arteri, jalan kolektor, jalan lokal, jalan lain, jalan setapak, jalur kereta api, bandar udara dan pelabuhan;

d. batas administrasi berupa batas negara, batas provinsi, batas kabupaten/kota, batas kecamatan/distrik, batas desa/kelurahan;

e. garis kontur dengan selang kontur yang mempunyai kelipatan 2,5 meter dan titik ketinggian; dan/atau

f. nama rupabumi/toponim.

Pasal 81

Dalam hal peta dasar yang menjadi sumber tidak tersedia atau belum dimutakhirkan, penyelenggara penataan ruang dapat menggunakan sumber data spasial lain setelah mendapat persetujuan tertulis dari Badan.

Pasal 82

Unsur-unsur peta dasar sebagaimana dimaksud dalam Bagian Kedua peraturan ini digambarkan dengan kode, simbol dan atau notasi seperti pada Lampiran II Peraturan Pemerintah ini.

Bagian Kedua

Tingkat Ketelitian Peta Tematik

Pasal 83

(1) Peta tematik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (2) huruf b merupakan peta masukan yang digunakan untuk menyusun rencana tata ruang.

(2) Peta tematik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal meliputi: a. peta administrasi;

b. peta kependudukan;

c. peta ekonomi dan keuangan; d. peta fsik;

e. peta ketersediaan prasarana dan sarana dasar; f. peta rawan bencana; dan

g. peta potensi wilayah.

(3) Peta tematik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tingkat ketelitian dan penggambarannya secara kartografs mengikuti kaidah-kaidah, kriteria, klasifkasi dan spesifkasi yang telah ditentukan oleh instansi terkait.

Pasal 84

(29)

keseragaman.

(2) Keseragaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi keseragaman: a. datum dan proyeksi;

b. skala;

c. unit pemetaan; dan d. tingkat klasifkasi.

Pasal 85

Datum dan proyeksi peta tematik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (2) huruf a harus mengikuti ketentuan yang ditetapkan untuk tingkat ketelitian peta dasar.

Pasal 86

(1) Skala peta tematik untuk penyusunan tata ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (2) huruf b harus sama atau lebih besar dari skala peta dasar yang digunakan untuk penyusunan tata ruang.

(2) Dalam hal skala peta tematik untuk penyusunan tata ruang lebih kecil dari skala peta dasarnya, instansi pemerintah penyelenggara penataan ruang harus berkonsultasi dengan Badan.

Pasal 87

(1) Unit pemetaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (2) huruf c merupakan pembagian ruang terkecil atau hierarki terkecil dalam suatu peta tematik yang digunakan untuk menampilkan informasi tematik dalam penyusunan tata ruang.

(2) Unit pemetaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan berdasarkan hirarki rencana tata ruang dan/atau skala peta rencana tata ruang.

(3) Unit pemetaan peta tematik untuk penyusunan rencana tata ruang disusun berdasarkan ketentuan pada Lampiran III Peraturan Pemerintah ini.

(4) Dalam hal unit pemetaan peta tematik untuk penyusunan rencana tata ruang tidak dapat memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyelenggara penataan ruang harus berkonsultasi dengan Badan.

Pasal 88

(1) Tingkat klasifkasi peta tematik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (2) huruf d merupakan cara pengelompokan tingkatan suatu tema secara kualitatif maupun kuantitatif.

(2) Tingkat klasifkasi peta tematik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan berdasarkan hierarki rencana tata ruang dan/atau skala peta rencana tata ruang.

(3) Tingkat klasifkasi peta tematik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun berdasarkan ketentuan pada Lampiran III Peraturan Pemerintah ini.

(30)

ruang tidak dapat memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyelenggara penataan ruang harus berkonsultasi dengan Badan.

BAB V

METODE PROSES SPASIAL Pasal 89

(1) Metode proses spasial sebagaimana dimaksud dalam huruf c merupakan cara mengolah peta atau data masukan menjadi peta luaran.

(2) Metode proses spasial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penyamaan:

a. sistem referensi geometri; b. sistem generalisasi;

c. sistem kodefkasi digital; d. sistem indeks peta luaran; dan e. sistem penyajian kartografs cetak.

Pasal 90

(1) Sistem referensi geometri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (2) huruf a yang digunakan untuk peta masukan dan peta luaran harus

menggunakan:

a. sistem referensi menurut ketentuan Datum Geodesi Nasional 1995; b. sistem proyeksi Transverse Mercator (TM); dan

c. sistem grid Universal Transverse Mercator (UTM).

(2) Dalam hal suatu wilayah dalam sistem UTM terletak pada dua zona UTM yang berdampingan, seluruh koordinat terlebih dahulu ditransformasikan kedalam sistem koordinat geografs dan zona UTM yang dominan digunakan sebagai sistem proyeksi.

(3) Dalam hal suatu wilayah dalam sistem UTM terletak pada lebih dari dua zona UTM, seluruh koordinat ditransformasikan kedalam sistem koordinat geografs. (4) Dalam hal peta masukan belum memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud

pada ayat (1), harus dilakukan transformasi.

(5) Peta masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat berupa: a. gambar peta cetakan hasil pemindaian secara digital;

b. gambar peta cetakan hasil penggandaan secara optis; atau

c. peta yang sudah berbentuk basis data geospasial, tetapi mempunyai datum, proyeksi, atau grid yang berbeda dengan sistem nasional yang terpadu.

(6) Transformasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a dan huruf b dengan rumusan yang minimal memenuhi syarat:

a. menggunakan rumusan yang memenuhi sayarat; dan

b. sisa kesalahan atau residu maksimal yang diperbolehkan adalah 2 mm pada skala peta.

Pasal 91

(31)

luaran ditransformasikan kedalam sistem koordinat geografs. Pasal 92

Generalisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (2) huruf c adalah kegiatan

a. pemilihan;

b. penyederhanaan;

c. kombinasi dan penggabungan; dan d. pembesaran.

Pasal 93

(1) Pemilihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 huruf a merupakan proses pemilihan objek elemen dengan mempertahankan ciri dan karakter aslinya. (2) Penyederhanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 huruf b merupakan

kegiatan menghilangkan sebagian bentuk ketidakaturan akibat proses pengecilan skala, tetapi tetap mempertahankan karakter dari garis itu sendiri. (3) Kombinasi dan penggabungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 huruf c

merupakan kegiatan penggabungan objek-objek dalam suatu peta ke dalam unsur dominan.

(4) Pembesaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 huruf d merupakan kegiatan menampilkan suatu objek di peta yang tidak dapat ditampilkan sesuai ukuran sebenarnya tetapi perlu dilakukan perbesaran ataupun simbolisasi sesuai spesifkasi yang ditetapkan.

(5) Ketentuan teknis lebih lanjut tentang generalisasi diatur dengan Peraturan Kepala Badan.

Pasal 94

Sistem kodefkasi digital sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (2) huruf d meliputi:

a. kodefkasi unsur tata ruang; b. deskripsi unsur tata ruang; dan c. simbolisasi unsur tata ruang.

Pasal 95

Kodefkasi unsur tata ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 untuk kepentingan pembangunan basisdata spasial harus disusun secara unik dan sistematik.

Pasal 96

(1) Simbolisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 huruf b harus dibuat dalam suatu rangkaian simbol, warna, arsiran ataupun notasi.

(2) Simbolisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menggunakan model acuan yang akan menjamin keseragaman visualisasi.

(32)

semua jenis peta dan skala ditetapkan dan disediakan oleh Badan.

(4) Untuk simbolisasi dalam peta cetak, semua peta harus dilengkapi dengan legenda dan indeks lokasi yang mengacu kepada indeks lokasi peta dasar pada skala yang sesuai.

Pasal 97

(1) Sistem indeks peta luaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (2) huruf d sesuai dengan kode wilayah administrasi yang ditetapkan oleh Instansi Pemerintah yang diberi tugas di bidang pemerintahan dalam negeri. (2) Dalam hal suatu wilayah harus digambarkan menjadi beberapa lembar peta

luaran, maka pembagian lembar dan penomoran peta luaran harus disesuaikan dengan sistem indeks peta dasar nasional yang ditetapkan oleh Badan.

(3) Sistem indeks peta luaran merupakan penggabungan kode wilayah administrasi dan sistem indeks peta dasar nasional, yang disusun dengan urutan kode wilayah administrasi, indeks peta dasar, dan nama jenis peta luaran.

Pasal 98

(1) Sistem penyajian kartografs cetak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (2) huruf e meliputi:

a. pencetakan berupa mesin cetak, tinta cetak dan kertas cetak; dan b. penggunaan lembar khusus.

(2) Ketentuan tata cara sistem penyajian kartografs cetak diatur dengan Peraturan Kepala Badan.

BAB VI

PENGELOLAAN DATA GEOSPASIAL Pasal 99

(1) Pengelolaan data geospasial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf d disusun dalam sistem pengelolaan geodatabase sejak dari peta masukan, pemprosesan hingga peta luaran.

(2) Pengelolaan data geospasial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. penyimpanan;

b. pengamanan; dan c. aksesibilitas.

(3) Spesifkasi teknis mengenai sistem pengelolaan geodatabase sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diatur dengan Peraturan Kepala Badan.

(33)

(1) Penyimpanan data geospasial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 ayat (2) huruf a dilakukan dalam bentuk digital dan cetakan.

(2) Penyimpanan data geospasial dalam bentuk digital menggunakan teknologi geodatabase yang dilengkapi dengan metadata.

(3) Penyimpanan data geospasial dalam bentuk cetakan disusun dalam suatu album peta minimal dalam ukuran A3.

(4) Album peta sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdiri dari: a. Peta rencana tata ruang; dan

b. Peta tematik.

Pasal 101

(1) Pengamanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 ayat (2) huruf b dilakukan untuk menjamin agar data geospasial:

a. tetap dapat digunakan;

b. tidak dapat diubah atau dipalsukan; c. tidak rusak oleh keadaan.

(2) Setiap orang dilarang mengubah isi data geospasial yang telah ditetapkan tanpa sepengetahuan dan seizin penyelenggara penataan ruang.

(3) Penyelenggara penataan ruang harus menyerahkan duplikat data digital ke Badan untuk tujuan:

a. pengamanan;

b. pengintegrasian secara nasional; dan

c. alat bukti pada saat ada sengketa penataan ruang. Pasal 102

(1) Aksesibilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 ayat (2) huruf c harus disediakan oleh penyelenggara penataan ruang.

(2) Penyelenggara penataan ruang harus membuka akses peta luaran dan peta masukan kepada masyarakat.

(3) Penyelenggara penataan ruang harus menyediakan fasilitas sehingga peta luaran dalam format digital yang tidak untuk diproses lanjut dapat diperoleh secara cepat, mudah dan cuma-cuma melalui media elektronik.

(4) Peta luaran format digital yang memungkinkan diproses lanjut dapat diperoleh dengan prosedur sesuai peraturan perundang-undangan.

(5) Peta luaran dalam format cetakan dapat diperoleh dengan prosedur sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

BAB VII

PENGADAAN DAN PEMBINAAN TEKNIS Pasal 103

(34)

(2) Pengadaan peta tematik sektoral diselenggarakan oleh instansi yang mengadakan peta tematik sektoral.

(3) Pengadaan peta rencana tata ruang di provinsi dan kabupaten/kota diselenggarakan oleh pemerintah provinsi terkait.

(4) Pengadaan peta rencana tata ruang di kabupaten/kota diselenggarakan oleh pemerintah kabupaten/kota terkait.

Pasal 104

(1) Sebelum diajukan untuk mendapatkan persetujuan substansi, Peta Rencana Tata Ruang harus mendapatkan persetujuan teknis perpetaan dari Badan. (2) Yang dimaksud teknis perpetaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

mencakup:

a. sistem referensi geometri yang dipakai; b. skala, akurasi, atau kerincian basis data;

c. format penyimpanan secara digital termasuk kode unsur;

d. penyajian kartografs mencakup simbol, warna, arsiran dan notasi; dan e. kelengkapan peta.

Pasal 105

(1) Pembinaan teknis perpetaan untuk memelihara kualitas peta wilayah dan peta rencana tata ruang wilayah diselenggarakan oleh Badan.

(2) Pembinaan teknis untuk memelihara kualitas peta tematik sektoral diselenggarakan oleh instansi yang mengadakan peta tematik sektoral.

(3) Provinsi sebagai wakil pemerintah pusat di daerah melakukan pembinaan kepada kabupaten/kota dalam lingkup wilayah provinsinya untuk menyelaraskan substansi peta-peta rencana tata ruangnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(4) Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional melakukan penyelarasan substansi peta-peta rencana tata ruang antar provinsi.

Pasal 106 Pembinaan teknis dilakukan melalui:

a. Pengembangan keterpaduan dengan sistem jaringan data spasial nasional dalam penataan ruang wilayah.

b. Pembinaan sumber daya manusia dengan sosialisasi, pendidikan dan latihan atau bimbingan teknis.

BAB VIII

PERAN SERTA MASYARAKAT Pasal 107

(35)

yang disusun oleh instansi yang mengadakan peta tematik. (2) Masyarakat berhak mengetahui peta-peta rencana tata ruang.

(3) Penyelenggara harus menyajikan dan memberikan akses atas peta-peta itu ke masyarakat dalam media yang semudah-mudahnya dan semurah-murahnya dengan memanfaatkan teknologi informasi khususnya internet.

BAB IX

KETENTUAN PERALIHAN Pasal 108

Pada saat mulai berlakunya Peraturan Pemerintah ini, maka data geospasial yang telah ada harus disesuaikan dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini,

selambat-lambatnya dalam lima tahun setelah berlakunya Peraturan Pemerintah ini.

BAB X

KETENTUAN PENUTUP Pasal 109

Pada saat berlakunya peraturan pemerintah ini, maka Peraturan pemerintah nomor 10 tahun 2000 tentang Tingkat Ketelitian Peta Untuk Rencana Tata Ruang Wilayah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3934) dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 110

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di : Jakarta Pada tanggal :

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Diundangkan di : Jakarta

Pada tanggal :

MENTERI/SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA

(36)

Referensi

Dokumen terkait

Pihak perkebunan dan pabrik kelapa sawit memberikan informasi yang diperlukan kepada pihak lain menyangkut isu-isu lingkungan, sosial dan hukum yang relevan dengan

Setelah melewati perjalanan panjang selama kurang lebih 1 bulan, 10 komunitas peserta beasiswa Sociopreneur Academy by HOPE mengikuti kegiatan Demo Day Terminal-1

Kedua, aspek kelembagaan, untuk indikator akreditasi institusi dan akreditasi program studi versi BAN PT mengalami peningkatan signifikan untuk yang terakreditasi A, hanya

Saya cenderung meminjam ungkapan Sara Little (1983, p. Bukan semua perbuatan itu benar, tetap perbuatan kebenaran itu yang benar. Di mana kebenaran tidak hanya

Pelestarian bahasa Minang ragam keseharian dapat dilakukan dengan cara penggunaan dan pengajaran yang sistematis dan pelestarian bahasa Minang ragam khusus dapat

Ranks 10 a 6.20 62.00 1 b 4.00 4.00 5 c 16 13 d 7.65 99.50 1 e 5.50 5.50 2 f 16 14 g 8.00 112.00 1 h 8.00 8.00 1 i 16 Negative Ranks Positive Ranks Ties Total Negative Ranks

(2) Insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan apabila pemanfaatan ruang wilayah pesisir dan pulau- pulau kecil sesuai dengan rencana struktur ruang, rencana pola

Rencana pola ruang untuk kawasan lindung wilayah Kabupaten Ponorogo sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) huruf a meliputi:.. kawasan yang memberi perlindungan