• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peranan Unit Pelaksana Teknis Sekolah Luar Biasa (UPT.SLB-E) Negeri Pembina Medan Dalam Memberikan Kegiatan Pembelajaran Keterampilan Bagi Penyandang Tuna Grahita

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Peranan Unit Pelaksana Teknis Sekolah Luar Biasa (UPT.SLB-E) Negeri Pembina Medan Dalam Memberikan Kegiatan Pembelajaran Keterampilan Bagi Penyandang Tuna Grahita"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Secara kodrat manusia selalu ingin menyempurnakan kehidupannya. Manusia

selalu mencoba menjangkau jauh dari kehidupannya yang bersifat naluriah, dan

dalam hal ini kehidupan manusia tentunya tidak terlepas dari adanya pendidikan.

Pendidikan dalam arti luas meliputi seluruh usaha manusia meningkatkan harkat

kemanusiannya. Pendidikan dalam arti yang terbatas adalah usaha mendewasakan

dan membimbing anak didik yang belum dewasa hingga menuju dewasa. Pendidikan

merupakan perangkat penting dalam meningkatkan kesejahteraan warga melalui

penguasaan pengetahuan informasi dan teknologi. Masalah pendidikan dari sekian

banyak yang dihadapi, salah satunya adalah mengenai pendidikan terhadap

penyandang cacat. Masalah penyandang cacat ini selanjutnya meluas menjadi

masalah sosial karena kodrat manusia yang tidak mungkin hidup secara menyendiri

tanpa bergaul dengan sesama manusia.

Pada masalah penyandang cacat diperlukan menghimbau kepada para orang

tua yang mempunyai anak-anak dengan kekurangan atau menyandang cacat apapun

diharapkan tidak menyembunyikan anak-anaknya. Anak-anak tersebut mulai saat dini

diharapkan segera diajak bersama anak-anak lain, agar bisa bersosialisasi secara

wajar. Kekurangan atau kelebihan yang ada padanya dapat dibantu dengan

(2)

bersifat ketergantungan yang tidak wajar. Para penyandang cacat yang terhambat

pertumbuhannya dalam segi sosial, emosional, intelegensi, dan segi-segi lain dalam

fisik dan kejiwaan misalnya yang selalu ada dalam masyarakat tentunya perlu

mendapatkan perhatian khusus. Kelompok penyandang cacat ini perlu mendapatkan

bantuan bimbingan dan pendidikan agar mereka mampu berpartisipasi dan berpotensi

didalam kehidupan sosial dan bisa bersikap mandiri.

Menurut Purwandari menyatakan bahwa anak tuna grahita memerlukan

perhatian khusus dari orang tua berupa membantu anak tuna grahita agar timbul sikap

percaya diri, mandiri, menjadi manusia yang produktif, memiliki kehidupan yang

layak, dan aman terlindungi serta bahagia lahir dan batin.

(http://fpsi.mercubuanayogya.ac.id/wpcontent/uploads/2012/06/Agustus2010TrianaN

oor-Edwina.pdf, diakses 17 september 2013 pukul 07.00 wib)

Anak cacat mental/tuna grahita tersebut berhak untuk hidup sejahtera dan

tidak tergantung pada pertolongan orang lain. Namun mereka mempunyai

hambatan-hambatan yang disebabkan keadaan yang ada pada dirinya untuk mendapatkan

kesempatan yang luas dalam mengembangkan kemampuannya. Menangani

penyandang cacat itu dibutuhkan metode pelayananan sosial yang baik dan sistematik

agar mereka dapat dengan mudah mengadakan penyesuaian diri dalam kehidupan

karena penyandang cacat pada umumnya sangat perasa, yang kadang sangat

berlebihan seperti rendah diri dan kemudian menjadi terisolasi dari kehidupan

(3)

Pada kenyataannya memang menunjukkan kebanyakan anak cacat mental atau

tuna grahita sulit untuk dapat mandiri. Oleh sebab itu, latihan-latihan dan pendidikan

untuk mereka diselenggarakan secara khusus misalnya melalui diskusi, ceramah,

latihan bina gerak, latihan pekerjaan sehari-hari, dan latihan keterampilan.

(http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/15674/1/pkm-jan

apr2006%20%286%29.pdf diakses 17 September 2013 pukul 07.30 wib).

Menurut PBB, di dunia ini hingga tahun 2000 terdapat sekitar 500 juta

orang cacat. Total itu sekitar 80% hidup di negara-negara berkembang. Prefalensi

orang yang menderita cacat atau kelainan sekitar 2,3% dari total populasi, sedangkan

angka prefalensi anak berbakat sekitar 2%. Artinya, setiap 1.000 orang terdapat 23

orang yang menderita cacat, dan setiap 1.000 orang terdapat 20 anak berbakat.

Berkaitan dengan penderita cacat ini bila penduduk usia sekolah di Indonesia tahun

2000 diperkirakan sebesar 76.478.249 maka penderita cacat atau kelainan adalah

sekitar 1.759.000 orang dan terdapat anak berbakat sebanyak 1.529.565 siswa.

Kini, 210 juta jiwa penduduk telah mendiami negara Indonesia. Mereka

tersebar di ribuan pulau dalam beragam etnis, budaya, dan agama. Sementara dari 210

juta jiwa penduduk tersebut lima persennya kalangan cacat. Mereka adalah para

penyandang cacat tuna netra, tuna runggu, tuna daksa, dan cacat mental/tuna grahita.

Saat ini di Indonesia, penyandang cacat mental/tuna grahita menduduki jumlah paling

banyak di antara penyandang cacat lainnya

(http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31904/3/chapter%20II.pdf, diakses

(4)

Hasil pendataan jumlah penyandang cacat yang dilakukan oleh Pusat Data dan

Informasi Kesejahteraan Sosial Departemen Sosial RI pada tahun 2010 adalah

2.126.785 jiwa. Tunanetra 778.084 jiwa, tuna rungu wicara 267.974 jiwa, tuna daksa

733.740 jiwa, dan tuna grahita 345.815 jiwa. Provinsi Sumatera Utara sendiri,

terdapat jumlah penyandang cacat pada tahun 2010 adalah 118.603 jiwa, terdiri dari

penyandang tuna netra 43.390 jiwa, tuna rungu wicara 14.943 jiwa, tuna daksa

40.918 jiwa, dan tuna grahita 19.284 jiwa

(http://database.depsos.go.id/modules.php?name=pmks, diakses 01 September 2013

pukul 10.05 wib). Jumalah penyandang disabilitas di Indonesia relatif banyak,

menurut data Kementerian Kesehatan (2012) tercatat sebanyak 6,7 juta jiwa atau 3,11

% penduduk Indonesia sebagai penyandang disabilitas. Berdasarkan Undang-Undang

Republik Indonesia No.4 Tahun 1997 tentang penyandang cacat, disabilitas terbagi

dua kelompok. Pertama disabilitas fisik, dan kedua disabilitas mental. (Suyono. 2013:

139)

Keterbatasan (disabilitas) tersebut sesungguhnya merupakan pribadi yang

utuh. Seperti individu pada umumnya, mereka memiliki potensi, bakat, minat dan

cita-cita untuk berkembang. Mereka memiliki kemampuan dalam melakukan

berbagai aktivitas dan pekerjaan sesuai dengan potensinya masing-masing. Kondisi

ini sudah dibuktikan, misalnya dalam bidang olahraga kaum disabilitas dapat

mengharumkan nama Indonesia dikancah Internasional pada tahun 2011.

Tahun 2011 Indonesia meraih medali 15 emas, 13 perak, dan 11

(5)

intelektual) yang digelar di Athena, Yunani. Dalam bidang seni,

penyandang tuna netra piawai bermain musik, dan reputasi lain

dalam berbagai bidang. (Suyono, 2013: 139)

Namun saat ini masih banyak perusahaan yang enggan mempekerjakan kaum

difabel, entah dengan alasan demi efesiensi dan efektifitas, karena itulah sebagian

besar pengangguran didominasi oleh kaum difabel. Berdasarkan Survei Sosial

Ekonomi Nasional (SUSENAS, 2007), diketahui bahwa dari 20 Juta penyandang

cacat di Indonesia, sebanyak 80% atau 16 juta orang tercatat tidak memiliki

pekerjaan. Sementara itu, menurut Hesti Armiwulan (2010), penyandang cacat yang

kebetulan bergabung dengan perusahaan, umumnya digaji lebih rendah daripada

pekerja lainnya. Alasan keterbatasan fisik, buruh difabel semakin tersisihkan dari

buruh lain. Apalagi, keberadaan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 13

Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan justru lebih melemahkan buruh dibandingkan

pengusaha.

(http://www.edisicetak.joglosemar.co/berita/memanusiakan-kaum-difabel-30606.html, diakses 08 September 2013 pukul 20.00 wib).

Lain halnya dengan Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAID)

Sumut Zahrin Piliang menuturkan, jumlah anak disabilitas atau penyandang cacat di

Sumatera Utara (Sumut) diperkirakan mencapai 3.000 orang. Anak-anak disabilitas

memiliki hak yang sama dengan anak-anak normal lainnya, termasuk untuk

mendapatkan pelayanan pendidikan dan kesehatan yang layak. Namun, kenyataannya

pemerintah tidak memberikan perhatian yang khusus kepada anak-anak berkebutuhan

(6)

Biasa (SDLB) di Sumut, hanya ada 10 Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa

(SMPLB) dan mungkin hanya 2 Sekolah Menengah Atas Luar Biasa (SMALB). Itu

tidak seimbang dengan jumlah anak disabilitas yang mencapai 3.000 anak dan pada

dasarnya anak-anak disabilitas memang memiliki keterbatasan. Namun, mereka tetap

memiliki potensi yang bisa dikembangkan

(http://www.koran-sindo.com/node/297803, diakses 10 desember 2013 pukul 11.18 wib).

Sungguh ironis bila melihat data penyandang cacat yang semakin lama

semakin meningkat, sedangkan hak asasi mereka pun banyak yang terabaikan.

Banyak sekali penyandang cacat yang tidak mengenyam bangku pendidikan karena

kondisi ekonomi orang tua mereka tidak mampu, bahkan ada yang sengaja

disembunyikan oleh orang tua mereka lantaran malu punya anak yang menyandang

disabilitas baik fisik maupun mental, hal ini menyebabkan munculnya Penyandang

Masalah Kesejahtraan Sosial (PMKS), yang juga merupakan akibat dari terbatasnya

sumber daya manusia yang tidak dapat menyesuaikan diri dengan keadaan dan situasi

di sekitarnya sehingga ia tertinggal dan tidak memiliki kemampuan dan keterampilan

dalam pengembangan diri. PMKS dapat didefinisikan sebagai seorang keluarga atau

kelompok masyarakat yang karena suatu hambatan, kesulitan atau gangguan, tidak

melaksanakan fungsi sosialnya dan karenanya tidak dapat menjalin hubungan yang

serasi dan kreatif dengan lingkungannya sehingga tidak dapat terpenuhi kebutuhan

hidupnya baik jasmani, rohani, dan sosial disebut pendidikan luar biasa

Hal senada dalam salah satu wawancara di radio, menghimbau kepada orang

(7)

diharapakan tidak menyembunyikan anak-anaknya. Anak-anak itu diharapkan segera

diajak bersama anak-anak lain agar bisa bersosialisasi secara wajar. Kekurangan dan

kelebihan yang ada padanya dapat dibantu dengan pendampingnya yang sifatnya

mendorong kemandirian. Pendampingan itu tidak boleh bersifat ketergantungan yang

tidak wajar (http://www.dniks.org/index.php?optionpenyandang-tuna-grahita, diakses

13 Juli 2013 pukul 11.00 wib).

Upaya untuk mempersiapkan dan memperoleh pendidikan serta mencerdaskan

anak didik tanpa terkecuali anak tunagrahita merupakan hak semua warga Negara

Indonesia yang pada dasarnya untuk mendapatkan pendidikan telah ditegaskan dalam

UUD 1945 pasal 31 ayat 1 yang berbunyi sebagai berikut “ tiap – tiap warga negara

berhak mendapatkan pendidikan”. Pemerintah maupun suatu lembaga yang dikelola

masyarakat penyelenggara pendidikan formal dan non formal baik untuk anak normal

ataupun diperuntukkan untuk anak berkebutuhan khusus yang disejajarkan dengan

anak normal pada umumnya.

Orang tua tentunya mempunyai keinginan untuk membekali anaknya

dengan pendidikan budi pekerti dan keterampilan – keterampilan tertentu agar

anaknya dapat mengatasi segala permasalahan yang ada pada dirinya sehingga

mampu terjun di masyarakat. Tanpa disadari kadang orang tua mempunyai perhatian

yang berlebihan terhadap anaknya apalagi anak tersebut menyandang tuna grahita

ringan dengan segala keterbatasan yang dimiliki anak tersebut, dengan perlakuan

orang tua yang akibatnya anak menjadi manja, minder dan merasa ketakutan dalam

(8)

hambatan-hambatan. Hambatan sebagai contoh adalah hambatan dalam kemandirian,

percaya diri, berwirausaha, bersosialisasi berkomunikasi dengan keluarga khususnya

dan pada masyarakat pada umumnya.

Penanganan disabilitas saat ini masih terkesan diskriminatif, misalnya dalam

mendapatkan layanan pendidikan, kesehatan, dan layanan umum lainnya. Dalam

lingkungan keluarga, masih ada keluarga yang menganggap anak disabilitas sebagai

“aib” atau “kutukan” sehingga anak tersebut disembunyikan dan kehilangan hak

-haknya terhadap kelangsungan hidup dan tumbuh kembang secara wajar. (Suyono,

2013: 140)

Adapun tindakan pemerintah dalam menjalankan Undang-undang No.20

Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional dapat dilihat dari sikap pemerintah

dengan membentuk Unit Pelaksana Teknis (UPT) Sekolah Luar Biasa-dalam

tingkatan E (SLB-E) ditiap masing-masing provinsi di Indonesia, salah satunya UPT

SLB-E Negeri Pembina Medan. Ada berbagai macam pendekatann yang dapat

diberikan kepada penyandang tuna grahita, seperti: terapi gerak, terapi bermain, life

skill, dan vokasional

(http://ppcisulsel.blogspot.com/2009/12/informasi-pelayanan-pendidikan-bagi.html, diakses 3 September 2013 pukul 20.10 wib).

Melalui upaya itu akan dicapai kondisi ilmiah, mental sosial, serta

meningkatnya pengetahuan dan keterampilan sebagai modal dasarnya sehingga

nantinya penyandang cacat tidak lagi sebagai objek, tetapi dijadikan subjek dalam

pembangunan. Disamping itu yang tak kalah penting, mereka harus mendapat

(9)

Aksesibilitas nonfisik yang sangat utama adalah penerimaan masyarakat yang sampai

saat ini masih kurang kondusif.

Tuna Grahita merupakan salah satu klasifikasi penyandang cacat yang

memiliki kecerdasan mental dibawah normal. Menurut data dari Direktorat Jenderal

Rehabilitasi Sosial yang ada, penyandang Tuna Grahita 777.761 Jiwa. Deputi Bidang

Pelindungan Perempuan KPP-PA, Nimas mengatakan kalau penyandang cacat Tuna

Grahita akan terus meningkat mengingat struktur umur penduduk semakin menua,

epidemologi ke arah kronik degeneratif, kecelakaan dan bencana alam

(http://rehsos.depsos.go.id, diakses 28 Agustus 2013 pukul 18.15 wib).

Terkait dengan penyandang cacat tuna grahita salah satu kasus antara lain;

menurut Prof. Dr. Fawzie Aswin Hadi (Universitas Negeri Jakarta) mengisahkan

sekolah inklusi (SD. Muhammdiyah di Gunung Kidul) sekolah ini punya murid 120

anak. 2 anak laki-laki diantaranya adalah Tuna Grahita, dua anak ini dimasukkan oleh

kedua ibunya ke kelas 1 karena mau masuk SLBC lokasinya jauh dari tempat

tinggalnya yang di pegunungan. Keluarga ini tergolong keluarga miskin oleh sebab

itu mereka memasukkan anak-anaknya ke SD. Muhammadiyah. Perasaan mereka

sangat bahagia dan bangga bahwa kenyataannya anak mereka diterima di sekolah.

Satu anak tampak berdiam diri dan cuek, sedang satu lagi tampak ceria dan gembira,

bahkan ia menyukai tari dan musik, juga ia ramah dan bermain dengan teman

sekolahnya yang tidak cacat. Gurunya menyukai mereka, mengajar dan mendidik

mereka dengan menggunakan modifikasi kurikulum untuk setiap pelajaran

(10)

dengan guru adalah anak Tuna Grahita dapat menyesuaikan diri dengan baik, bahagia

dan senang di sekolah. Ini merupakan potret anak Tuna Grahita di tengah-tengah

teman yang sedang belajar

(http://getmyhope.wordpress.com/2010/04/23/anak-berkebutuhan-khusus-di-indonesia, diakses 4 Juli 2013 pukul 11.00 wib).

Gambaran kisah anak-anak tunagrahita dengan latar belakang keluarga miskin

serta akses pendidikan yang jauh dari tempat tinggal serta tidak mengurangi

keinginan yang terpadu antara orang tua, anak, sekolah yang mengedepankan masa

depan anak dalam keterbatasan. Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem

Pendidikan Nasional Pasal 32 disebutkan bahwa: pendidikan khusus merupakan

pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti

proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial. Ketetapan

dalam Undang-undang No.20 Tahun 2003 tersebut bagi penyandang kelainan sangat

berarti karena memberi landasan yang kuat bahwa penyandang cacat perlu

memperoleh kesempatan yang sama sebagaimana yang diberikan kepada masyarakat

normal lainnya dalam hal pendidikan dan pengajaran (Efendi, 2006 : 1).

Pemerintah telah memberikan pendidikan secara khusus yaitu melalui sekolah

luar biasa bagi anak tunagrahita ataupun penyandang cacat lainnya.. Pendidikan dan

pengajaran luar biasa yang dimaksud adalah suatu bentuk sekolah khusus yang

berbeda dengan sekolah pada umumnya. Sekolah luar biasa ini tidak hanya untuk

para penyandang cacat mental saja. Sekolah luar biasa di Indonesia terdiri dari

(11)

Berdasarkan landasan tersebut dikemukakan bahwa pemerintah dan

masyarakat mempunyai tanggung jawab yang sama dalam melakukan pembinaan

demi kesejahteraan penyandang cacat. Pemerintah dalam menjalankan tugas tersebut,

dan masyarakat diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk bersama-sama

pemerintah atau oleh masyarakat itu sendiri melakukan kegiatan peningkatan

kesejahteraan sosial bagi penyandang cacat. Sebagai wujud dari upaya masyarakat

terhadap peningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat, berbagai kegiatan

pemberdayaan yang bersumberdaya masyarakat terhadap penyandang cacat telah

dilakukan diberbagai wilayah di Indonesia.

Kekurangan yang dialami anak tunagrahita yaitu pada keterampilan adaptif,

antara lain kemampuan berkomunikasi, menolong diri, keterampilan sosial,

pengarahan diri, keamanan diri, dan akademik. Jadi karakteristik yang dimiliki anak

tunagrahita ringan seperti terlambat dalam perkembangan mental dan sosial, kesulitan

dalam mengingat apa yang dilihat, didengar secara sekilas, mengalami masalah

persepsi yang menyebabkan salah satunya tunagrahita ringan mengalami kesulitan

dalam mengingat berbagai bentuk benda (visual perception), keterlambatan atau

keterbelakangan mental yang dialami anak tunagrahita ringan akan berpengaruh pada

perkembangan perilaku, sehingga perilaku yang muncul pada anak-anak tunagrahita

tidak sesuai dengan perilaku seusianya.

UPT SLB-E Negeri Pembina Medan menjalankan salah satu pendekatan yang

diberikan kepada penyandang Tuna Grahita yaitu pendekatan life skill atau

(12)

cacat khususnya tuna grahita bisa mendapatkan pendidikan yang sama dan bisa

memperoleh penghidupan yang lebih layak ditengah-tengah masyarakat.

Berdasarkan penjelasan tersebut, dengan dasar inilah penulis tertarik untuk

meneliti bagaimana peranan Pelaksana Teknis Sekolah Luar Biasa (UPT SLB-E)

Negeri Pembina Medan dalam memberikan pendidikan keterampilan bagi

penyandang tuna grahita sebagai judul penelitian saya yang hasilnya akan dituangkan

ke dalam skripsi dengan judul “Peranan Unit Pelaksana Teknis Sekolah Luar Biasa

(UPT. SLB-E) Negeri Pembina Medan dalam Memberikan Kegiatan Pembelajaran

Keterampilan bagi Penyandang Tuna Grahita”.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka masalah yang dapat

dirumuskan dalam penelitian ini adalah “Bagaimana Unit Pelakasana Teknis Sekolah

Luar Biasa (UPT. SLB-E) Negeri Pembina Medan dalam memberikan kegiatan

pembelajaran keterampilan bagi penyandang tuna grahita?”.

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1 Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui

bagaimana peranan Unit Pelaksana Teknis Sekolah Luar Biasa (UPT. SLB-E) Negeri

Pembina Medan dalam memberikan pendidikan keterampilan bagi penyandang tuna

grahita, juga untuk mengetahui dan menganalisis manfaat yang diperoleh penyandang

tuna grahita setelah masuk ke dalam sekolah Unit Pelaksana Teknis Sekolah Luar

(13)

1.3.2 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai referensi dalam

rangka pengembangan konsep dan teori terutama dalam rangka perolehan manfaat

yang berhubungan dengan kegiatan pembelajaran keterampilan terhadap penyandang

tunagrahita di Unit Pelaksana Teknis Sekolah Luar Biasa (UPT. SLB-E) Negeri

Pembina Medan, untuk kesejahteraan dalam kehidupan bermasyarakat.

1.4 Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan secara garis besarnya dikelompokkan dalam enam bab,

dengan urutan sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Berisikan mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah,

tujuan dan manfaat penelitian serta sistematika penelitian.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Berisikan tentang teori-teori yang mendukung dalam penelitian,

kerangaka pemikiran, defenisi konsep dan defenisi operasional.

BAB III : METODE PENELITIAN

Berisikan tentang tipe penelitian, lokasi penelitian, subyek penelitian,

teknik pengumpulan data, serta teknik analisa data.

BAB IV : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

Berisikan tentang sejarah singkat berdirinya Unit Pelaksana Teknis

(14)

gambaran umum lokasi penelitian dandata-data lain yang turut

memperkaya karya ilmiah ini.

BAB V : ANALISA DATA

Berisikan tentang uraian data yang diperoleh dari hasil penelitian

beserta analisis pembahasannya.

BAB VI : PENUTUP

Berisikan kesimpulan dan saran yang bermanfaat sehubungan dengan

Referensi

Dokumen terkait

23 Saya membutuhkan telaah dari rekan sekerja (sesama auditor) dalam tim untuk menilai prosedur audit yang telah saya lakukan 24 Saya membutuhkan dari pihak lain. (sesame

Banyak perusahaan-perusahaan distributor dan perdagangan dalam pendataan (pencatatan) dan bertransaksi penjualan barang masih menggunakan secara tradisional atau dengan kaa lain

Ketentuan dalam Peraturan Wallkota Padang Nomor 28 Tahun 2010 tentang Pedoman Standar Blaya Kegiatan Tahun Anggaran 2011 dilingkungan Pemerintah Kota Padang (Berita Daerah Kota

Dalam pembahasan masalah ini yang akan dibahas adalah cara pembuatan dari mulai menentukan struktur navigasi, membuat design antarmuka , pembentukan elemen, penggabungan

[r]

[r]

Aplikasi yang penulis buat berupa program e-learning yang interaktif dengan menggunakan flash 5 Aplikasi ini berupa informasi tentang proses penyerbukan yang diberikan secara

Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan penelitian pengembangan yaitu untuk menghasilkan produk berupa modul biologi berbasis literasi sains dengan