• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Procalcitonin dengan Skor Pneumonia Severity Indeks (PSI) Untuk Menilai Tingkat Keparahan Penyakit Pneumonia Komuniti di RSUP H. Adam Malik Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Procalcitonin dengan Skor Pneumonia Severity Indeks (PSI) Untuk Menilai Tingkat Keparahan Penyakit Pneumonia Komuniti di RSUP H. Adam Malik Medan"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 PNEUMONIA KOMUNITI

Pneumonia komuniti (PK) adalah pneumonia yang didapat di masyarakat. 19 2.1.1 Epidemiologi

PK merupakan masalah kesehatan yang menyebabkan angka kematian

tinggi di dunia.20 Di Amerika Serikat, sekitar 80% dari 4 juta kasus PK diobati sebagai pasien rawat jalan dan sekitar 20% kasus di rawat di rumah sakit. Dari

600.000 pasien PK yang di rawat di rumah sakit, rata-rata selama 64 juta hari

mereka terbatas aktivitasnya dan sebanyak 45.000 pasien akhirnya meninggal

dunia. Dana tahunan yang dikeluarkan berhubungan dengan PK diperkirakan

sebesar US$9-10 milyar. Di Amerika Serikat tercatat 12 kasus PK per 1000

penduduk, dimana 12-18 kasus per 1000 penduduk adalah anak usia <4 tahun dan

20 kasus per 1000 penduduk usia >60 tahun.21

Di Indonesia, pneumonia komunitas termasuk pada sepuluh besar rawatan

rumah sakit dimana penderita laki-laki sebanyak 53,95% kasus dan perempuan

46,05%, crude fatality rate (CFR) 7,6% yang merupakan tertinggi dibandingkan

penyakit lain. Pada tahun 2012 tercatat jumlah penderita pneumonia komunitas

yang dirawat inap di RSUP H.Adam Malik Medan sebanyak 256 pasien, di RSUP

dr.M.Djamil Padang sebanyak 94 pasien, RSUP Persahabatan Jakarta sebanyak

117 pasien, RSUD dr.Moewardi Surakarta sebanyak 225 pasien, RSUD dr.Saiful

Anwar Malang sebanyak 514 pasien dan RSUD dr.Soetomo Surabaya sebanyak

(2)

2.1.2 Etiologi

Berbagai mikroorganisme seperti bakteri, virus, jamur dan protozoa dapat

menyebabkan pneumonia. Menurut ATS/IDSA 2007 PK banyak disebabkan oleh

bakteri gram positif dan dapat pula bakteri atipikal. Data yang diperoleh dari

beberapa rumah sakit di Indonesia tahun 2012 memperlihatkan penyebab PK

terbanyak di ruang rawat inap yang didapat dari pemeriksaan dahak adalah kuman

gram negatif seperti Klebsiella pneumonia, Acinetobacter baumanii dan

Pseudomonas aeruginosa, sementara kuman gram positif hanya sedikit dijumpai

seperti Streptococcus viridians dan Staphylococcus aureus. Data ini menunjukkan

bahwa di Indonesia telah terjadi perubahan pola kuman pada PK. 20,22

Angka kematian akibat PK akan meningkat apabila antibiotik terlambat

diberikan.2,11 Oleh karena itu sangat penting untuk memberikan terapi antibiotik sedini mungkin setelah diagnosa PK ditegakkan. Saat ini belum diketahui berapa lama pemberian terapi antibiotik yang optimal dn efektif untuk pasien PK, pemberian antibiotik untuk PK saat ini adalah 7 sampai 21 hari, tergantung dari tingkat keparahan penyakit dan jenis patogen. Pada pasien lanjut usia terutama dengan komorbid dan juga pasien PK berat akan diberikan terapi antibiotik dengan jangka waktu yang lebih lama berpedoman pada gejala klinis.2

Telah diketahui patogen yang cenderung dijumpai pada faktor resiko

tertentu, misalnya Haemophylus influenza pada pasien perokok, patogen atipikal

pada pasien lanjut usia, gram negatif pada pasien dari rumah jompo dengan

PPOK dan penyakit penyerta kardiopulmonal dan/atau pasca terapi antibiotik

(3)

bronkiektasis, terapi steroid, malnutrisi dan imunosupresi dengan disertai

leukopenia.22

Pada pasien PK rawat jalan jenis patogen tidak diketahui pada 40% kasus.

Dilaporkan adanya Streptococcus pneumoniae pada 9-20% kasus, Mycoplasma

pneumoniae pada 13-37% kasus dan Chlamydia pneumoniae pada 17% kasus.14 Patogen pada PK rawat inap di luar ICU, sekitar 20-70% kasus tidak

diketahui penyebabnya. Streptococcus pneumoniae dijumpai pada 20-60% kasus,

Haemophylus influenzae pada 3-10% kasus. Staphylococcus aureus, gram negatif

enterik, Mycoplasma pneumoniae, Chlamydia pneumoniae, Legionella, dan virus

terjadi pada 10% kasus. Kejadian infeksi kuman atipikal sebanyak 40-60%.

Infeksi patogen gram negatif dapat mencapai 10%. Pseudomonas aeruginosa

dilaporkan sebesar 4%.14

Sebanyak 10% dari pasien PK mendapat perawatan di ICU dan sebanyak

50-60% tidak diketahui penyebabnya. Sebanyak 33% disebabkan oleh

Streptococcus pneumoniae. Disamping patogen yang didapatkan pada pasien

rawat inap non ICU, didapatkan juga peningkatan infeksi patogen Gram negatif.

Enterobacteriacae dijumpai pada 20% kasus, dimana 10-20% diantaranya oleh

Pseudomonas aeruginosa terutama pasien dengan bronkiektasis.14

Pada rumah jompo lebih sering dijumpai Staphylococcus aureus yang

resisten methisillin (Methycilline resistant staphylococcus aureus / MRSA),

bakteri Gram negatif dan virus tertentu (adenovirus, cyncytial virus/RSV dan

influenza).14

Berbagai mikroorganisme juga mempunyai karakteristik, yakni

(4)

menyebabkan terjadinya infeksi interstitial, streptokokus lebih banyak

menimbulkan pleuritis dan efusi pleura, sedangkan sedangkan pneumokokus lebih

banyak menimbulkan kelainan pada parenkim paru. Stafilokokus dan gram negatif

dapat membentuk abses sehingga terbentuk kaverna. Terganggunya fungsi paru

tergantung dari lokasi infeksi. Pada virus dan mikoplasma, infeksi terjadi pada

trakeobronkial, akan tetapi pada PPOK, faal paru marginal mengalami

bronkopneumonia sehingga mudah terjadi kegagalan pernapasan dengan

perburukan faal perfusi ventilasi. Edema yang disebabkan Pneumonia juga dapat

menimbulkan gangguan obstruksi pada paru dan matching diantara ventilasi dan

perfusi yang dapat menyebabkan terjadinya hipoksia. Ketidakseimbangan V/Q

dapat disebabkan juga oleh karena nyeri. Pada pneumonia yang disebabkan oleh

virus atau mikoplasma dapat menyebabkan terjadinya penurunan dari faal paru,

compliance dan gangguan obstruksi paru.23

2.1.3 Patofisiologi

Saluran napas bagian bawah di desain untuk melindungi diri secara efektif

(5)

sirkulasi darah sebagai respon sistemik yang dapat dijadikan sebagai gejala dan tanda dari pneumonia.24

Bakteri menyebabkan 60-80% kasus PK, dimana 15% kasus disebabkan oleh virus. Pada kasus PK yang memerlukan perawatan di rumah sakit sering disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae . Diantara pasien PK yang dirawat di rumah sakit, beberapa penelitian menyimpulkan Streptococcus pneumoniae bertanggung jawab untuk terjadinya 9-50% kasus PK, penyebab terbanyak kedua adalah Mycoplasma pneumoniae yang menyebabkan 15% dari semua kasus PK.24

Untuk pneumonia atipikal penularan dapat terjadi antar manusia melalui terhirupnya droplet dengan karakteristik onset yang bertahap dan gejalanya adalah sakit kepala, lelah, nyeri otot, sakit tenggorokan dan batuk kering. Mycoplasma pneumoniae sering sembuh sendiri dengan angka kematian yang rendah dan

jarang menyebabkan perawatan dirumah sakit. Chlamydia pneumoniae dan Legionella pneumophila juga termasuk kuman yang berhubungan dengan

pneumonia atipikal. Chlamydia pneumoniae sering pada usia lanjut dengan komorbid. Kebanyakan kasus yang disebabkan oleh Chlamydia pneumoniae sembuh sendiri tetapi dapat juga menjadi parah dan memerlukan perawatan di rumah sakit dengan angka kematian 9%. Legionella pneumophila ditularkan dengan paparan kuman di lingkungan tempat tinggal. Legionella pneumophila hidup di air bersih, sistem pemanas dan pendingin serta tanah yang lembab. Legionella pneumophila lebih sering terjadi pada individu dengan penurunan

sistem imun, gagal ginjal, disfungsi hati, keganasan dan diabetes. Legionella pneumophila merupakan patogen atipikal yang meyebabkan keadaan klinis

(6)

Virus juga merupakan penyebab dari pneumonia komuniti yang harus mendapat perawatan di rumah sakit. Virus influenza adalah penyebab tersering pneumonia yang diakibatkan oleh virus dan sering menjadi penyebab pneumonia bakteri sekunder akibat penurunan daya tahan tubuh dan bisa juga disebabkan penurunan fungsi silia dalam pembersihan saluran napas dari kuman. Respiratory syncytial virus adalah kuman yang biasa menyebabkan infeksi pada populasi anak

dan frekuensinya meningkat pada saat dewasa, terutama pada pasien yang mendapat perawatan di rumah.24

2.1.4 Diagnosis

PK didiagnosis dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan klinis,

diagnosis fisik, foto toraks dan pemeriksaan laboratorium. Diagnosis pasti untuk

PK jika pada gambaran foto toraks tampak infiltrat baru ataupun infiltrat progresif

ditambah dengan dua atau lebih gejala berikut ini :  Batuk-batuk bertambah

 Perubahan karakteristik dahak / purulen  Suhu tubuh > 380C (aksila) / riwayat demam

 Pemeriksaan fisik : adanya tanda-tanda konsolidasi, suara napas bronkial

dan ronki

(7)

2.1.5 Penilaian derajat keparahan penyakit

Pada PK, menilai tingkat keparahan penyakit dengan menggunakan sistem

skoring yang telah banyak digunakan saat ini seperti PSI (pneumonia severity

index) yang juga dikenal dengan nama PORT (Patient Outcome Research Team)

skor, CURB-65 (Confusion, Urea, Respiratory rate, Blood pressure, Age >65

years), IDSA / ATS (The Infectious Disease Society of America / American

Thoracic Society) kriteria mayor dan minor, CURXO-80, SMART-COP dan

CAP-PIRO dan lain-lain.5,9

Skor PSI terdiri atas beberapa variabel klinik yang membagi pasien

menjadi 5 tingkatan berdasarkan risiko kematian dalam 30 hari (kelas I= 0,1 –

0,4%; kelas II= 0,6 -0,7%; kelas III= 0,9 – 2,8%; kelas IV= 4 – 10%; kelas V:

27%). Skor PSI direkomendasikan pemakaiannya oleh American Thoracic Society

(ATS) dan Infectious Disease Society of America (IDSA) dengan kemampuan

prediksi yang baik dengan AUC: 0,74 -0,83 25,26 Adapun sistem skoring PSI ditunjukkan pada tabel 2.1.

Tabel 2.1. Sistem skoring PSI untuk menilai tingkat keparahan pasien PK.9,24,27 Karakteristik penderita Jumlah poin Faktor demografi

- Usia : Laki-laki

Perempuan

- Perawatan di rumah

(8)

- Gagal jantung kongestif

- Perubahan status mental Pemeriksaan fisik

- Pernapasan ≥ 30 kali permenit

- Tekanan darah sistolik ≤ 90mmHg - Suhu tubuh < 35°C atau ≥ 40°C

- Analisis Gas Darah arteri : PH 7,35 Hasil laboratorium / Radiologik

- BUN > 30 mg/dL

- Natrium < 130 mEq/liter

- Glukosa > 250 mg/dL

(9)

Berdasarkan kesepakatan PDPI 2003, kriteria yang dipakai untuk indikasi

rawat inap pneumonia komuniti adalah :

1. Skor PORT > 70

2. Bila skor PORT kurang < 70 maka penderita tetap perlu dirawat inap bila

dijumpai salah satu dari kriteria dibawah ini.

• Frekuensi napas > 30/menit

• PaO2 / FiO2 < 250 mmHg

• Gambaran foto toraks menunjukkan kelainan bilateral

• Gambaran foto toraks melibatkan > 2 lobus

• Tekanan sistolik < 90 mmHg

• Tekanan diastolik < 60 mmHg

3. Pneumonia pada pengguna NAPZA 19,20

Menurut Infectious Diseases Society of America (IDSA) / American

Thoracic Society (ATS) Consensus Guidelines on the Management of

Community-Acquired Pneumonia in Adults 2007, kriteria pneumonia berat adalah

apabila dijumpai salah satu atau lebih kriteria di bawah ini:

Kriteria minor:

Frekuensi napas ≥ 30/menit

PaO2 / FiO2≤ 250 mmHg

Foto toraks menunjukkan gambaran infiltrat multilobar

Uremia (BUN ≥ 20 mg/dL)

Leukopenia ( ≤ 4000 sel/mm3) Hipotermi (< 36°C)

(10)

Kriteria mayor adalah sebagai berikut :

Membutuhkan ventilasi mekanik

Septik syok yang membutuhkan vasopresor.3,24 2.1.6 Kriteria perawatan intensif

Kriteria untuk pasien PK yang membutuhkan rawat inap di Ruang Rawat

Intensif adalah yang mempunyai minimal 1 dari 2 gejala mayor tertentu

(membutuhkan ventilasi mekanik dan membutuhkan vasopresor > 4 jam / syok

septik) atau 2 dari 3 gejala minor tertentu (PaO2/FiO2 < 250 mmHg, gambaran foto toraks menunjukkan kelainan bilateral, dan tekanan sistolik < 90 mmHg).

Adapun kriteria minor dan mayor lainnya bukan indikasi untuk rawat inap di

Ruang Rawat Intensif.19,20

2.1.7 Pneumonia Atipikal

Selain bakteri penyebab PK yang tipikal sering pula dijumpai bakteri/kuman atipikal.20 Bakteri atipikal tidak ditemukan dengan pewarnaan gram.23,24 Pneumonia akibat bakteri atipikal disebut pneumonia atipikal yang sering disebabkan oleh Mycoplasma pneumoniae, Chlamydia pneumoniae,

Legionella spp. Penyebab lainnya adalah Chlamydia psittasi, Coxiela burnetti,

Virus influenza tipe A dan B, Adenovirus dan Respiratory syncitial virus.24 Diagnosis pneumonia atipikal dapat ditegakkan dengan :

 Gejalanya seperti demam, batuk non produktif, nyeri kepala dan mialgia.  Pada pemeriksaan fisik dijumpai ronki basah difus, jarang terjadi

konsolidasi.

(11)

 Laboratorium : leukositosis ringan. Dengan pewarnaan gram, kultur dahak

atau darah tidak ditemukan bakteri.

 Pemeriksaan laboratorium untuk menemukan bakteri atipikal

- Isolasi biakan sensitivitasnya sangat rendah.

- Deteksi Enzyme Immunoassay Antigen (EIA).

- Polymerase Chain Reaction (PCR).

- Uji serologi :

o Cold Agglutinin

o Uji fiksasi komplemen yang merupakan standar diagnosis

M.pneumoniae

o Micro Immunofluorescence (MIF), standar serologi untuk

Chlamydia pneumoniae

o Antigen dari urine untuk Legionella.19,20

Gambaran klinis pneumonia atipikal tidak sama dengan pneumonia tipikal.

Tabel 2.2 menujukkan perbedaan klinis pneumonia atipikal dan tipikal.19,20

Tabel2.2.Perbedaan gambaran klinik pneumonia atipikal dan pneumonia tipikal.19,20

Tanda dan Gejala Pneumonia Bakterial

(tipikal)

 Gejala diluar paru

Akut

Nyeri kepala, mialgia, Sakit

tenggorokan

(12)

 Pewarnaan gram

Sering flora normal atau spesifik

“Patchy” atau normal

Lekosit normal kadang rendah

Sering meningkat

2.1.8 Penatalaksanaan

Menurut ATS/IDSA 2007, untuk penatalaksanaan PK penting di

perhatikan pasien tanpa adanya riwayat pemakaian antibiotik 3 bulan

sebelumnya dan pasien dengan komorbid atau mempunyai riwayat pemakaian

antibiotik 3 bulan sebelumnya. Adapun pemilihan antibiotik secara empirik

didasari atas beberapa faktor:

- Kemungkinan jenis kuman penyebab berdasarkan pola kuman.

- Obat telah terbukti efektif pada penelitian sebelumnya.

- Faktor resiko resisten terhadap antibiotik.

- Ada atau tidaknya faktor komorbid juga perlu diperhatikan, faktor

komorbid dapat mempengaruhi kecenderungan terhadap jenis kuman

tertentu dan menjadi faktor penyebab kegagalan. Berikut ini adalah

termasuk faktor komorbid yaitu :

a. Pneumokokus resisten terhadap penisilin

- Usia > 65 tahun

- Memakai obat golongan β-laktam dalam 3 bulan terakhir

- Pecandu alkohol

- Penyakit gangguan kekebalan

(13)

4. Kuman enterik gram negatif

- Penghuni rumah jompo

- Mempunyai penyakit dasar kelainan jantung dan paru

- Mempunyai kelainan penyakit yang multipel

- Riwayat pengobatan antibiotik

5. Pseudomonas aeruginosa

- Bronkiektasis

- Pengobatan kortikosteroid > 10 mg/hari

- Pengobatan antibiotik spektrum luas > 7 hari pada bulan terakhir

- Gizi kurang19,20

Penatalaksanaan PK dibagi menjadi:

1. Penderita Rawat jalan

 Pengobatan suportif/simptomatik

- Istirahat di tempat tidur (bed rest).

- Minum yang cukup agar tidak dehidrasi.

- Kompres bila demam tinggi atau beri obat penurun panas.

- Kalau perlu berikan mukolitik atau ekspektoran.  Pemberian antibiotik sesegera mungkin. 19,20

2. Penderita rawat inap di ruang biasa  Pengobatan suportif / simptomatik

- Pemberian terapi oksigen

- Pasang infus untuk rehidrasi, koreksi kalori dan elektrolit

(14)

 Pemberian antibiotik sesegera mungkin 19,20

3. Penderita rawat inap di ruang intensif / Intensive Care Unit (ICU)  Pengobatan suportif / simptomatik

- Pemberian terapi oksigen

- Pasang infus untuk rehidrasi, koreksi kalori dan elektrolit

- Pemberian obat simptomatik seperti antipiretik dan mukolitik  Pemberian antibiotik sesegera mungkin.

 Bila ada indikasi di pasang Ventilator Mekanik.19,20

Berbagai petunjuk terapi empirik PK dibuat untuk memudahkan

pemberian antibiotik sebagai terapi awal. Tabel 3. Menunjukkan terapi empirik

antibiotik untuk PK menurut PDPI 2014.20

Tabel 2.3. Terapi empirik antibiotik untuk PK menurut PDPI 2014.20

Rawat jalan o Pasien yang sebelumnya sehat atau tanpa riwayat pemakaian antibiotik 3 bulan sebelumnya.

- golongan β-laktam atau golongan β-laktam + anti β -laktamase

ATAU

- makrolid baru (klaritromisin, azitromisin)

o Pasien dengan komorbid atau mempunyai riwayat pemakaian antibiotik 3 bulan sebelumnya.

- Fluorokuinolon respirasi (levofloksasin 750 mg, moksifloksasin)

ATAU

- golongan β-laktam + anti β-laktamase

ATAU

(15)

Rawat inap non ICU

o Fluorokuinolon respirasi (levofloksasin 750 mg, moksifloksasin)

ATAU

o golongan β-laktam + makrolid

Ruang rawat intensif

Tidak ada faktor resiko infeksi pseudomonas:

o β-laktam (sefotaksim, seftriakson atau ampisilin sulbaktam) + makrolid baru atau flurokuinolon respirasi iv

o

Pertimbangan khusus

Ada faktor resiko infeksi pseudomonas:

o Antipneumokokal, antipseudomonas β-laktam (piperasilin-tazobaktam, sefepime, imipenem atau meropenem) + levofloksasin 750 mg

ATAU

o β-laktam (piperasilin-tazobaktam, sefepime, imipenem atau meropenem) + aminoglikosida dan azitromisin

ATAU

o β-laktam (piperasilin-tazobaktam, sefepime, imipenem atau meropenem) + aminoglikosida dan antipneumokokal fluorokuinolon (untuk pasien yang alergi penisilin, β-laktam diganti dengan aztreonam)

Bila curiga disertai infeksi MRSA

o Tambahkan vankomisin atau linezolid

2.1.9 Prognosis pada PK

Prognosis PK tergantung dari usia pasien, komorbid dan pengobatan yang

tepat dan adekuat. Pada penderita usia muda tanpa komorbid akan sembuh dalam

2 minggu. Pada pasien usia tua dan pasien dengan komorbid akan membutuhkan

(16)

2.2. PROCALCITONIN (PCT)

Procalcitonin (PCT) adalah suatu peptida yang merupakan prekursor dari

calcitonin dan terdiri dari 116 molekul asam amino dengan berat molekul 13

kDa.14,26,28,29 Secara enzimatis procalcitonin akan dipecah oleh sel-sel neuroendokrin yang terdapat pada kelenjar tiroid, paru dan pankreas sehingga

menghasilkan 3 jenis molekul yaitu calcitonin, katacalcin dan

amino-procalcitonin.14 Sintesis procalcitonin berasal dari gen Calcitonin-1 (Calc-1) yang terletak pada kromosom 11. 28,-30 Kadar PCT dalam darah pada individu sehat sangat rendah yaitu < 0,1 ng/mL. Lipopolisakarida (LPS) yang merupakan bagian

dari endotoksin dapat merangsang sekresi PCT sehingga kadarnya meningkat

pada sirkulasi sistemik tetapi tidak diikuti dengan peningkatan kadar calcitonin.

Kadar PCT meningkat dalam 3-4 jam kemudian mencapai puncak setelah 6 jam

dan menetap selama 24-48 jam, lalu turun ke nilai normal setelah 48 jam jika

pengobatan berhasil, hal ini menunjukkan prognosis yang baik tetapi bila kadar

(17)

Gambar 2.1. Skema asam amino dari procalcitonin 31

Kadar PCT akan meningkat pada infeksi bakteri sedangkan pada infeksi

virus maupun reaksi inflamasi yang bersifat non infeksi kadarnya tidak

meningkat.13 Rangsangan produk bakteri (endotoksin / LPS) dan mediator

proinflamasi (TNF-α dan IL-1β) akan menyebabkan terjadinya induksi CT

mRNA yang menyeluruh pada jaringan sehingga menyebabkan terjadinya sekresi

yang masif dari dari beberapa prekursor calcitonin kedalam darah (termasuk

PCT). Kadar PCT mengalami peningkatan yang lebih tinggi pada infeksi bakteri

dibandingkan infeksi yang disebabkan oleh parasit ataupun jamur. Pada infeksi

yang disebabkan virus, kadar PCT tidak meningkat diakibatkan oleh rangsangan

virus terhadap makrofag akan menghasilkan interferon gamma (IFN-γ) yang akan

menghambat mRNA sehingga mengurangi peningkatan sekresi PCT. 11,13 Tetapi keadaan seperti trauma, pembedahan, syok kardiogenik, luka bakar, sindroma

distress pernapasan, infeksi, nekrosis setelah pankreatitis akut dan reaksi

(18)

negative ini dapat disebabkan oleh, antara lain: tahap awal infeksi, infeksi

terlokalisir, endokarditis infeksi subakut, infeksi oleh kuman atipikal (terutama

kuman intraseluler).11 Studi oleh Ingram dkk mendapatkan hanya sedikit peningkatan kadar PCT pada pasien yang terinfeksi virus H1N1. 33

Pada sepsis sel-sel parenkim paru, hati, otak, otot dan jaringan lemak

merupakan sumber utama PCT sehingga kadarnya dapat meningkat sampai lebih

dari 100.000 kali dari kadar normal.13

Bakteri dengan ukuran ≤1 mm memasuki saluran napas hingga mencapai

permukaan alveoli dan kemudian akan berinteraksi dengan komponen yang

terlarut dalam cairan alveoli (misalnya Imunoglobulin G / IgG, komplemen,

surfaktan) dan dengan makrofag alveoli. Dalam keadaan normal leukosit yang

mengisi rongga alveoli sebagian besar terdiri dari makrofag (hampir 95%)

sedangkan sisanya terdiri dari limfosit (1-4%) dan neutrofil (1%). Karena itu

makrofag alveoli merupakan sel fagosit utama pada innate immunity di saluran

napas dan paru. Selain fungsi fagositosis makrofag juga berperan sebagai antigen

presenting cell (APC) dan sebagai sel yang dapat memproduksi sitokin-sitokin

proinflamasi. Makrofag alveoli dapat memproduksi beberapa sitokin yang penting

dalam proses inflamasi yaitu TNF-α yang berfungsi sebagai mediator inflamasi

dan IL-1 yang berfungsi sebagai pirogen endogen dan berperan dalam aktivasi sel

T helper. Endotoksin, IL-1, IL-6, dan TNF-α dapat merangsang produksi PCT

oleh hati dan sel-sel makrofag di berbagai organ sebelum timbulnya gejala-gejala

(19)

Philippe Linscheid meneliti ekspresi gen Calc-1 secara in vitro dan in vivo

pada sel-sel parenkim jaringan lemak dan memperlihatkan bahwa terdapat

ekspresi CT mRNA dan pelepasan PCT pada jaringan lemak setelah penyuntikan

LPS.13 Baik secara in vivo atau ex vivo kadar PCT sangat stabil meskipun pada suhu ruangan. Pembekuan dan pencairan juga tidak berpengaruh secara signifikan

pada konsentrasi PCT. Pada sampel arteri dan vena konsentrasi PCT juga tidak

berbeda. Konsentrasi PCT dalam sampel serum dan plasma dengan anti koagulan

yang berbeda juga tidak menunjukkan perbedaan , hanya pada plasma

lithium-heparin terdapat perbedaan konsentrasi PCT. Tetapi perbedaan ini sangat rendah

dengan rata-rata perbedaan < 8%. Disamping itu, kehilangan konsentrasi PCT

sehubungan dengan penyimpanan pada suhu 25°C juga rendah. Meskipun setelah

penyimpanan 24 jam dengan suhu ruangan tenyata sekitar 12,4% (mean) dari

konsentrasi sebenarnya yang hilang sedangkan pada suhu 4°C sebanyak 6,3%

(mean) yang hilang. 14

(20)

Terdapat beragam jenis pemeriksaan PCT, seperti ILMA

(immunoluminometric assay/ LIA, BRAHMS PCT-Q , VIDAS BRAHMS PCT ,

BRAHMS PCT KRYPTOR dan Elecsys BRAHMS PCT11,30,34-36. Saat ini, BRAHMS PCT KRYPTOR dan Elecsys BRAHMS PCT merupakan alat untuk

memeriksa kadar PCT yang paling sensitif dan akurat dibandingkan alat-alat yang

lainnya.11,29

2.2.1 Peran PCT sebagai pedoman penggunaan antibiotik pada PK

Pada tahun 2004, Christ-Crain dkk melaporkan hasil penelitian tentang

penggunaan PCT sebagai pedoman untuk penggunaan antibiotik untuk penyakit

infeksi saluran napas bawah dengan menggunakan alat yang sangat sensitif

(Kryptor,BRAHMS, Aktiengesellschaft, Hennigsdorf, Germany) dengan jumlah

sampel sebanyak 243 pasien yang secara acak dibagi menjadi 2 grup, dimana grup

kontrol diberi antibiotik sesuai prosedur standar sedangkan pada pasien grup PCT

diberi antibiotik sesuai dengan algoritma standar PCT :

< 0.1 ng/ ml: antibiotik sangat tidak dianjurkan

< 0.25 ng/ ml: antibiotik tidak dianjurkan

> 0.25 ng/ml: antibiotik dianjurkan

> 0.5 ng/ ml: antibiotik sangat dianjurkan

Ternyata pada grup PCT secara signifikan berkurang penggunaan antibiotik dan

biaya pengobatan sebesar 50% .2 Kemudian pada tahun 2006, Christ-Crain dkk kembali melakukan penelitian pada, 302 pasien PK. Grup kontrol diberi antibiotik

berdasarkan. gejala klinis. Grup PCT diberi antibiotik sesuai algoritma diatas.

(21)

Bukhart dkk membagi kadar PCT sebagai pedoman untuk penggunaan

antibiotik, seperti yang terlihat pada gambar 2.3.37

Gambar 2.3. Pedoman penggunaan antibiotik berdasarkan kadar PCT 37

2.2.2 Peran procalcitonin dalam menentukan tingkat keparahan PK

Pada penelitian oleh Huang dkk yang dilakukan sejak november 2001

sampai november 2003 dengan sampel sebanyak 1651 pasien PK . Hasilnya, pada

kadar PCT< 0,1 ng/ml memiliki angka kematian hari ke-30 dan ke-90 akibat PK

yang rendah walau skor PSI berada pada grup IV atau V dan skor CURB-65 ≥ 3.

Hasil tersebut menunjukkan bahwa PCT lebih akurat dibandingkan skor PSI dan

CURB-65 dalam memprediksi tingkat keparahan PK.1

Schuetz dkk melaporkan hasil penelitiannya antara bulan oktober 2006

sampai maret 2008 , dimana sebanyak 925 pasien PK dilibatkan. Hasilnya

menunjukkan bahwa PCT mempunyai akurasi yang tinggi untuk prognosis

perburukan pada PK .16

Jean dkk melibatkan 589 pasien PK dalam penelitiannya yang

menghubungkan antara kadar PCT dengan skor PSI dan disimpulkan bahwa PCT

ternyata dapat memprediksi kuman penyebab pada pasien PK dengan skor PSI

(22)

non-bakteri, sedangkan pada skor PSI yang tinggi (PSI kelas IV-V) PCT menjadi

petunjuk tingkat keparahan yang baik pada PK.6,11

Masia dkk pada 15 oktober 1999 sampai 14 oktober 2001 meneliti dan

melibatkan sebanyak 240 pasien PK, mendapatkan bahwa PCT dapat

memprediksi kuman penyebab pada skor PSI yang rendah, sedangkan pada skor

PSI yang tinggi, PCT lebih bermanfaat untuk menentukan prognostik.11,18

Penelitian Muller dkk pada rentang waktu desember 2002 sampai april

2003 dan November 2003 sampai Februari 2005 yang melibatkan 545 pasien,

didapatkan hasil bahwa PCT lebih akurat dalam mendiagnosis dan menentukan

tingkat keparahan PK dibanding CRP dan jumlah lekosit total, dan kadar PCT

akan meningkat sejalan dengan peningkatan skor PSI pada pasien PK yang

(23)

2.2.3 Kerangka Konsep

Gambar 2.4. Kerangka Konsep

Pneumonia Komuniti

Pneumonia Nasokomial

Pneumonia yang berhubungan dengan Immunocompromised

Pneumonia

Pembagian secara klinis dan epidemiologis

Pneumonia Aspirasi

Skor Pneumonia Severity Indeks

(PSI)

Procalcitonin

Gambar

Gambar 2.2. Diagram ekspresi Calc-1 pada jaringan adiposa dan kelenjar tiroid.13
Gambar 2.3. Pedoman penggunaan antibiotik berdasarkan kadar PCT 37
Gambar 2.4. Kerangka Konsep

Referensi

Dokumen terkait