• Tidak ada hasil yang ditemukan

INTERAKSI ANTARA BAKTERI DAN AUKSIN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "INTERAKSI ANTARA BAKTERI DAN AUKSIN"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tumbuhan memiliki berbagai cara untuk meregulasi pertumbuhan dan perkembangannya. Salah satu cara regulasi tumbuhan agar dapat terus tumbuh dan berkembang adalah dengan mensintesis hormon auksin. Auksin merupakan hormon terpenting pada tumbuhan karena berfungsi sebagai viabilitas bagi tumbuhan. Auksin meregulasi berbagai perkembangan pada tumbuhan, yaitu pemanjangan sel, pembesaran sel, diferensiasi sel, pembentukan bunga, dominansi apikal, dan respon cahaya (Woodward & Bartel, 2005, dalam Ali, 2015).

Seperti yang telah kita kethaui bahwa bakteri dapat bersimbiosis dengan tumbuhan (host), seperti fiksasi Nitrogen oleh bakteri Rhizobium sp. yang hidup di bintil akar kelompok tanaman Leguminoceae. Selain itu, berbagai hasil penelitian mengemukakan bahwa auksin disekresikan pula oleh bakteri sebagai metabolit sekunder (Ali, 2015). Oleh karena itu, para peneliti menggunakan berbagai metode untuk membuktikan bahwa bakteri dapat mensekresikan auksin pada tumbuhan dan bakteri apa saja yang berperan dalam produksi auksin tersebut..

B. Tujuan

Tujuan dibuatnya makalah analisis jurnal ini diantaranya untuk mengetahui: a. Interaksi antara bakteri dan hormon auksin pada tumbuhan.

b. Metode yang digunakan untuk mengisolasi bakteri agar dapat mensintesis auksin. c. Berbagai macam bakteri yang mensekresikan hormon auksin.

d. Pengaruh interaksi bakteri-auksin pada pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan.

BAB II

(2)

Fitohormon merupakan molekul yang berperan sebagai pembawa pesan kimia untuk mengontrol pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan (Ali, 2015). Fitohormon berupa substansi organik yang disintesis pada berbagai organ pada tumbuhan akan ditranslokasikan ke berbagai bagian tumbuhan dan akan memberikan berbagai macam respon fisiologis. Fitohormon pada tumbuhan terdiri dari berbagai macam, diantaranya auksin, sitokinin, gibberellin, asam absisat, etilen, dan brassinosteroid. Akan tetapi, pada ulasan kali ini hanya akan membahas mengenai auksin.

Auksin dengan struktur molekul indole-3-acetic acid (IAA) merupakan hormon dengan jumlah yang besar dan sangat berpengaruh terhadap viabilitas tumbuhan (Ali, 2015). Auksin meregulasi berbagai perkembangan pada tumbuhan, yaitu pemanjangan sel, pembesaran sel, diferensiasi sel, pembentukan bunga, dominansi apikal, dan respon cahaya. Perkembangan pada tumbuhan tersebut tentu dapat mengubah bentuk morfologi dan fisiologi tumbuhan. Bahkan, auksin dapat mempengaruhi proses kerja hormon lainnya, baik itu pengaruh yang berbanding lurus maupun yang berbanding terbalik, seperti dominansi apikal yang diregulasi oleh hormon sitokinin dengan pengaruh berbanding terbalik dari hormon auksin.

A. Biosintesis Auksin oleh Bakteri

(3)

Prekursor utama untuk biosintesis IAA adalah asam amino Triptofan atau L-Triptofan (L-TRP) (Ali, 2015). Prekursor ini tidak hanya berfungsi pada bakteri rizosfer, namun juga beberapa bagian lainnya pada tumbuhan. Penelitian lain dilakukan oleh Imtiaz dan Ali (2014) dengan mengisolasi bakteri dari filosfer (bagian pada permukaan daun yang terdedah pada atmosfer). Selain itu, Lins et al. (2014) melakukan isolasi pada bakteri endofit, yaitu bakteri tanaman yang tidak membahayakan inangnya juga menghasilkan metobolit sekunder. Walaupun berbagai penelitian mengemukakan bahwa biosintesis IAA dapat dilakukan melaui bakteri, namun hanya beberapa bakteri yang dapat melakukannya.

B. Tujuan Penelitian

Ali (2015) dalam penelitiannya menggunakan Arabidopsis thaliana untuk lebih memahami hubungan interaksi antara bakteri dengan pertumbuhan tumbuhan terutama karena pengaruh auksin. Alasan digunakannya spesies Arabidopsis thaliana adalah karena A. thaliana memiliki waktu hidup yang singkat dan memiliki latar belakang genetik yang baik dan mudah untuk diteliti. Selain itu, disertakan pula beberapa mutan dari A. thaliana untuk mengevaluasi Plant Growth Promotion Rhizobacteria (PGPR).

(4)

Gambar 1a. Alur Penelitian pada Arabidopsis thaliana (Ali, 2015)

Beberapa peneliti lain juga menggunakan PGPR untuk mengetahui interkasi antara bakteri dan auksin (Iqbal & Hasnain, 2014; Imtiaz & Ali, 2014; Reetha et al., 2014). Hal yang diamati sebagai pengaruh interaksi bakteri dan auksin pada PGPR biasanya adalah panjang tunas, berat basah/kering tunas, panjang akar, berat basah/kering akar, juga siliqua (buah yang berkembang dari dua karpel, biasanya berbentuk polong).

C. Metode Penelitian

1. Produksi Auksin Secara In vitro

(5)

Penelitian yang berhubungan dengan interaksi antara bakteri dan auksin dilakukan secara in vitro termasuk penelitian yang dilakukan oleh Ali (2015). Inokulasi dilakukan dengan beberapa bakteri dari genus yang telah disebutkan sebelumnya. Untuk A. thaliana, bakteri yang diinokulasikan adalah Bacillus megaterium MiR-4, B. pumilus DaR-2, B. circulans CaR-3, B. licheniformis BP-1, B. subtilis TpP-1, Pseudomonas sp. AvH-4, P. aeruginosa As-17, Micrococcus sp. AvR-5, Escherichia hermannii SnR-1, dan Staphylococcus saprophyticus SdR-1. Bakteri-bakteri tersebut (strains) diisolasi dari rizosfer dan filosfer.

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa biosintesis auksin diperlukan adanya prekursor L-Triptofan. Berikut langkah-langkah produksi auksin secara in vitro:

- Bakteri akan ditumbuhkan pada medium L-broth yang diberikan suplemen L-TRP.

- Tabung prekursor L-TRP diinokulasikan dengan sel bakteri yang telah disuspensikan, kemudian diinkubasi.

- Setelah inkubasi, pada kultur tersebut sel dipisahkan dari fase stasioner dengan sentrifugasi (supernatant). Pemisahan pada fase stasioner ini dilakukan karena fase ini merupakan keadaan seimbang antara laju pertumbuhan dan kematian, sehingga jumlah keseluruhan bakteri yang hidup akan tetap. Selain itu, pada fase ini bakteri biasnaya menghasilkan metabolit sekunder, seperti yang diharapkan yaitu sintesis auksin.

- Setelah diperoleh supernatant, kemudian dicampurkan dengan reagent Salkowski untuk menentukan produksi auksin oleh bakteri. Warna pink pada kultur supernatant menunjukkan adanya auksin, sedangkan kuning menandakan tidak ada auksin (Ali, 2015; Reetha et al., 2014; Lins et al., 2014).

- Selain itu, dilakukan pula metode kuantifikasi dengan colorimetric untuk melihat interval perbedaan pertumbuhan bakteri.

Selain in vitro, Ali (2015) juga melakukan analisis Gas Chromatography and Time-Of-Flight Mass Spectrometry (GC-TOFMS). Analisis ini dilakukan dengan menyaring ekstrak kasar bakteri untuk mengetahui kehadiran bakteri-bakteri tersebut. Metode in vitro ini dilakukan hampir oleh seluruh peneliti yang akan mengamati produksi auksin oleh bakteri. Hal-hal yang berbeda terletak pada bakteri yang diinokulasi, perbedaan konsentrasi atau banyaknya larutan yang akan digunakan, atau pada parameternya (Kafrawi et al., 2014; Iqbal & Hasnain, 2013; Imtiaz & Ali, 2014; Reetha et al., 2014; Lins et al., 2014).

2. Interaksi Bakteri – Arabidopsis thaliana

(6)

yang diambil dari Umeå Plant Science Center, Umeå, Sweden. Bagian yang digunakan dari setiap tipe tersebut adalah biji, karena pada metode ini, hasil yang ingin diketahui adalah PGPR. Berikut merupakan langkah-langkah untuk melihat interaksi antara bakteri dan A. thaliana:

- Biji disterilkan terlebih dahulu menggunakan etanol.

- Biji yang telah steril diinokulasikan dalam medium basal Murashige dan Skoog dan diberikan suplemen sukrosa serta agar.

- Setelah itu, medium tersebut dinkubasi dalam gelap selama 48 jam untuk menumbuhkan tunas.

- Medium diinkubasi kembali dengan 12 jam fotoperiod atau pemberian cahaya.

- Sekitar 1 minggu, tumbuh 5 semaian yang kemudian ditranplantasikan ke dalam masing-masing 3 pot yang mengandung campuran tanah yang sudah diautoklafkan dan vermiculite (lapisan mineral silica yang telah mengalami pemanasan pada suhu tinggi). - Setelah itu semaian tersebut diinokulasikan dengan suspensi sel bakteri.

- Untuk kontrol, tipe liat dan mutan diberi air distilasi yang sudah steril.

- Setelah 3 hari ditransplantasikan, dilakukan thinning (penjarangan) denga melepaskan 3 jenis semaian pada setiap pot yang mulai tumbuh ke arah kematangan. Hal ini dilakukan karena parameter yang akan diamati adalah panjang tunas, berat basah tunas, dan jumlah siliqua.

- Percobaan dilakukan di bawah kondisi yang benar-benar steril selama 6 minggu dengan 2 kali pengulangan.

3. Bakteri – Triticum aestivum

Biji Triticum aestivum diambil dari Punjab seed corporation, Lahore, Pakistan. Berbeda dengan A. thaliana, untuk T.aestivum, bakteri yang diinokulasikan adalah Bacillus pumilus DaR-2, B. circulans CaR-3, B. megaterium MiR-4, Pseudomonas sp. AvH-4, dan P. aeruginosa As-17. Pada T. aetivum, percobaan dilakukan dalam kondisi yang berbeda dengan A. thaliana dan juga terdapat dua bagian kondisi, yaitu axenic dan ambient. Kondisi axenic merupakan kondisi dimana hanya terdapat satu galur bakteri dalam satu lingkungan (pot), sedangkan ambient merupakan kondisi dimana diberikan perlakuan sesuai dengan kondisi lingkungan (natural). Berikut merupakan langkah-langkah untuk melihat interaksi antara bakteri dan T. aestivum:

- Untuk kondisi axenic, 8 biji disemaikan ke dalam masing-masing 3 pot yang berisi campuran tanah yang bisa digunakan untuk bahan pembakar dan vermiculate.

- Setelah mengalami perkecambahan, 5 semaian dilepaskan dari pot (thinning).

(7)

- Untuk kondisi ambient, biji disemaikan pada pot yang lebih besar dan berisi tanah yang berasal dari kebun liar (tanpa pupuk). Tanah tersebut mengandung pH netral dan beberapa mineral organik.

- 15 biji disemaikan masing-masing ke dalam 6 pot, kemudian dilepaskan 10 kecambah pada setiap pot (thinning).

- Parameter yang dikukur adalah panjang tunas, jumlah tiller, panjang spike, dan berat biji.

Analisis data dilakukan dengan menggunakan ANOVA pada SPSS 16. Perbedaan rata-rata perlakuan dibandingan menggunakan Duncan’s multiple range test (P=0,05). Keofisien korelasi antara produksi auksin secara in vitro dan kepadatan sel bakteri pada kurva pertumbuhan juga turut diperhitungkan.

D. Hasil Penelitian dan Pembahasan

Beberapa metode penelitian telah dikemukakan sebelumnya. Berdasarkan kuantifikasi colorimetric pada Figure 1, pada umumnya, produksi maksimum auksin terjadi pada fase stasioner (Ali, 2015). Hal tersebut mengindikasikan bahwa produksi auksin bergantung pada kepadatan sel bakteri (korelasi positif). Pada fase lag, tentu belum terlihat perubahan apapun, karena mesin biokimia sel bakteri berada dalam proses peningkatan pertumbuhan. Pada fase log, terajadi peningkatan yang tinggi yang berarti terjadi akumulasi IAA dalam waktu beberapa jam bergantung pada bakteri yang melakukannya. Bakteri yang menghasilkan konsentrasi auksin tertinggi adalah Pseudomonas aeruginosa As-17, yaitu 106 µg mL-1

dengan periode waktu pertumbuhan 80 jam. Selain itu, Bacillus megaterium MiR-4 juga menghasilkan konsentrasi auksin yang tinggi yaitu 92 µg mL-1 dengan periode waktu

pertumbuhan 64 jam. Konsentrasi auksin terendah dihasilkan oleh Bacillus pumilus DaR-2, yaitu 25 µg mL-1 dengan periode waktu pertumbuhan 64 jam. Hasil penelitian Reetha et al.,

(2014) juga menunjukkan hal yang sama bahwa Pseudomonas memproduksi auksin dengan konsentrasi yang lebih tinggi daripada Bacillus.

Berdasarkan analisis GC-TOFMS, pada Figure 2 terdapat perbedaan tipe metabolit sekunder yang dihasilkan oleh berbagai bakteri tersebut dari kultur supernatant (Ali, 2015). Puncak IAA terdeteksi pada waktu penyimpanan 345,8 detik. Konsentrasi IAA yang dihasilkan cukup tertinggi dibandingkan dengan metabolit sekunder lainnya, karena hampir menyamai puncak tertinggi (anthranilic acid). Hasil penelitian Iqbal dan Hasnain (2013) juga menunjukkan hal yang sama, bahwa produksi metabolit sekunder dari Pseudomonas adalah auksin.

(8)

kontrol (Tabel 1, dalam Ali, 2015). Pada mutan tipe aux1-7, terjadi pertumbuhan yang kurang baik, walaupun pada Bacillus subtilis TpP-1 dan Pseudomonas aeruginosa As-17 terjadi sedikit peningkatan. Hal tersebut karena pertumbuhan tanaman memang memerlukan sinyal auksin dan etilen. Peningkatan pada kedua spesies tersebut terjadi karena spesies tersebut memiliki kemampuan untuk merespon kehadiran L-TRP walaupun insensitif auksin-etilen. Begitupun halnya pada mutan axr4-1 (Pseudomonas sp. AvH-4, Micrococcus sp. AvR-5, dan Staphylococcus saprophyticus CdR-1) dan eir1-1 (B. subtillus TpP-1, Pseudomonas sp. AvH-4, P. aeruginosa As-17, Escherichia hermannii SnR-1, S. saprophyticus CdR-1).

Hasil berat basah akar menunjukkan perbedaan signifikan pada Col-0 dan aux1-7 dibandingkan dengan kontrol, namun tidak pada axr4-1 (Tabel 2, dalam Ali, 2015). Pada eir1-1 terjadi perbedaan yang beragam, yaitu meningkat pada B. subtillus TpP-1, Pseudomonas sp. AvH-4, P. aeruginosa As-17, dan Escherichia hermannii SnR-1. Begitupun halnya pada pengaruh rizobakteri terhadap jumlah siliqua A. thaliana (Tabel 3, dalam Ali, 2015). Jumlah siliqua menunjukkan perbedaan signifikan seluruh bakteri pada Col-0 dan aux1-7 dibandingkan dengan kontrol. Akan tetapi, pada aux1-7, hanya B. subtillus TpP-1 yang berbeda signifikan dan hanya terjadi sedikit perbedaan pada axr4-1 yaitu pada bakteri S. saprophyticus CdR-1. Pada eir1-1 terjadi perbedaan cukup signifikan dibandingkan dengan kontrol yaitu pada B. subtillus TpP-1, Pseudomonas sp. AvH-4, P. aeruginosa As-17, dan Escherichia hermannii SnR-1.

Hasil penelitian pengaruh rizobakteri pada Triticum aestivum menunjukkan peningkatan lebih tinggi pada perkecambahan biji pada kondisi ambient daripada axenic. Hal tersebut terjadi karena tanah yang digunakan pada kondisi ambient adalah tanah liar yang sesuai dengan lingkungannya dan tidak diberikan perlakuan apapun serta memiliki kandungan organik, sedangkan pada axenic, tanahnya merupakan tanah yang bisa digunakan sebagai pembakar (panas), sehingga kurang baik bagi bakteri untuk mensintesis auksin. Begitupun halnya pada pengaruh produksi auksin oleh bakteri terhadap panjang tunas dan berat basah akar. Inokulasi bakteri membantu pembentukan auksin walaupun dalam keadaan axenic daripada kontrol.

(9)

Pada beberapa penelitian, hasil sama juga terjadi, dimana terjadi perbedaan konsentrasi baik lebih rendah atau lebih tinggi dari kontrol. Hal tersebut terjadi karena rizobakteri mungkin memiliki karakter dan perilaku yang berbeda (Lins et al., 2014). Selain itu, efisiensi PGPR bergantung pada diversifikasi kondisi lingkungan (Iqbal & Hasnain, 2013). Kondisi lingkungan yang liar (tanpa perlakuan) memiliki diversifikasi yang lebih tinggi. Akan tetapi terkadang kondisi natural belum tentu sesuai bagi bakteri untuk mendukung pertumbuhan tanaman dengan memproduksi auksin, karena terdapat beberapa faktor lingkungan yang kurang sesuai bagi aktivitas bakteri tersebut.

E. Kesimpulan

Kesimpulan penelitian ini adalah respon pertumbuhan tipe liar (Col-0) yang dibandingkan dengan tipe mutan (aux1-7, axr4-1, eir1-1) dari tanaman Arabidopsis thaliana diindikasikan dengan lebih dari satu jalur tansduksi, dalam hal ini adalah auksin dan etilen yang juga dipromotori oleh inokulasi bakteri. Begitupun halnya dengan Triticum aestivum. Produksi auksin oleh bakteri yang diinokulasi pada T. aestivum meningkat signifikan pada parameter vegetatif dan hasil. Dengan demikian, stimulasi pertumbuhan yang cenderung selalu tinggi oleh Bacillus subtilis TpP-1, Pseudomonas sp. AvH-4, dan P. aeruginoasa As-17 dihubungkan dengan sinyal auksin bakteri. Hasil penelitian ini juga menyimpulkan bahwa interaksi PGPR-Arabidospsis merupakan model yang baik untuk memahami pengaruh rizobakteri dalam pertumbuhan agronomi tanaman sereal.

F. Kekurangan dan kelebihan

Penelitian ini memiliki beberapa kekurangan, yaitu:

- Tidak menjelaskan kontrol pada perlakuan tanaman Triticum aestivum.

- Kurva pertumbuhan bakteri dan produksi auksin kurang lengkap (Figure 1), sedangkan data yang lainnya lengkap. Kesepuluh kurva bakteri masih bisa disertakan dengan ukuran gambar yang lebih kecil.

- Gambar hasil colorimtric tidak dicantumkan serta tidak dijelaskan indikasi positif atau negatif untuk colorimetric tersebut.

- Pembahasan kurang mendalam, sebab akibatnya kurang dimunculkan.

Penelitian ini juga memiliki beberapa kelebihan, yaitu:

- Penelitian ini merupakan penelitian yang kompleks, menyertakan perbandingan dua percobaan dengan cukup banyak parameter yang diukur.

- Penyertaan mutan dapat lebih menunjukkan pengaruh perbedaan produksi auksin oleh bakteri. Demikian halnya dengan kondisi axenic dan ambient.

(10)

DAFTAR PUSTAKA

Jurnal utama:

Ali, B. (2015). Bacterial Auxin Signalling: Comparative Study of Growth Induction in Arabidopsis thaliana and Triticum aestivum. Turkish Journal of Botany. [Online], 39, 1-9. Tersedia: http://journals.tubitak.gov.tr/botany/ [20 Maret 2015]

Jurnal pendukung:

Imtiaz, A. & Ali, B. (2014). Auxin Production by Phyllospheric Bacteria and Their Growth Promoting Effects on Cicer arietinum L. Global Journal of Scientific Research. [Online], 2, (1), 1-6. Tersedia: gjsr.blue-ap.org [20 Maret 2015]

Iqbal, A. & Hasnain, S. (2013). Auxin Producing Pseudomonas Strains: Biological Candidates to Modulate the Growth of Triticum aestivum Benefically. American Journal of Plants Sciences. [Online], 4, 1693-1700. Tersedia: http://dx.doi.org/10.4236/ajps.2013.49206 [20 Maret 2015]

(11)

Lins, M.R.d.C.B., et al. (2014). Plant Growth Promoting Potential of Endophytic Bacteria Isolated from Cashew Leaves. African Journal of Biotechnology. [Online], 13, (33), 3360-3365. Tersedia: http://www.academicjournals.org/AJB [20 Maret 2015]

Referensi

Dokumen terkait

Tabel tersebut menunjukkan bahwa terdapat perbedaan frekuensi untuk setiap atribut tentang pengalaman negatif yang dialami oleh pengguna angkutan publik di ketiga kota..

Penelitian pengembangan ini menggunakan model pengembangan 4-D Thiagarajan yang terdiri dari tiga tahap, yaitu (1) pendefinisian (define), (2) perancangan (desaign), (3)

Secara lebih filosofi, hal kecil sebagai pembeda dengan sekolah nampaknya merupakan bentuk perwujudan dari tujuan pendidikan Islam yang telah ditetapkan dalam konferensi Internasional

Model transshipment adalah model transportasi yang memungkinkan dilakukan pengirim (komoditas) dengan cara tidak langsung, di mana komoditas dari suatu sumber dapat

Hasil penelitian menunjukan bahwa (1) larutan penyemprot (jeruk nipis dan gula) pada dosis yang berbeda berpengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap mortalitas, lama tetas,

Pada hasil tersebut peningkatan nilai keuntungan yang diharapkan terbesar terjadi pada peningkatan frekuensi penyemprotan F3 (10 hari) menjadi F2 (7 hari)

a. Hak menerima pembayaran atas tarif yang sudah disepakati akan sangat mengurangi pihutang yang tidak terbayar. Hal ini juga akan mencegah penderita menggunakan kelas perawatan

Penurunan kekuatan tarik ini disebabkan oleh rusaknya kondisi permukaan serat rami yang terkikis oleh perlakuan NaOH dan terurainya serat tunggal akibat pelarutan hemiselulosa,