• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Isi Memorandum Kebijakan Ekonom

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Analisis Isi Memorandum Kebijakan Ekonom"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

Analisis Isi Memorandum Kebijakan Ekonomi dan Keuangan Indonesia-IMF 1997 dalam Kerangka Krimnologi Marxis sebagai Crimes of Domination

Anendya Niervana 1206227043

ABSTRAK – Pinjaman yang datang dari IMF harus ditukar dengan sejumlah persyaratan di dalam naskah tertulis bernama Letter of Intent (LoI) dan harus dipatuhi negara peminjam dalam kurun waktu yang telah ditentukan. Studi-studi terdahulu menemukan bahwa kebijakan yang tercantum dalam LoI IMF bukanlah cara terbaik untuk membantu negara peminjam keluar dari krisis dan sering kali bias kepentingan. Kebijakan IMF dalam LoI justru kerap kali memperparah krisis, termasuk kebijakan dalam mengatasi krisis di Indonesia. Sebagai negara dengan dampak krisis Asia 1997 terlama, tulisan ini menganalisis naskah LoI IMF-Indonesia pertama dalam terjemahan bahasa Indonesia yang disebut Memorandum Kebijakan Ekonomi dan Keuangan (MKEK) Indonesia. Tujuan dari tulisan ini adalah menggali kebaruan analisis isi naskah LoI dengan menggunakan pendekatan Kriminologi Marxis tentang crimes of domination. Sebagian besar isi kebijakan MKEK mengindikasikan kepentingan kelas tertentu, tepatnya kelas yang menguasai produksi.

ABSTRACT - Loans from IMF must be exchanged with set of conditionalities in the written text called Letter of Intent (LoI) and must be complied within specific time by the borrowing country. Earlier studies have found that the policies listed on the IMF's LoI are not the best way to help the borrowing country get out of the crisis and often has interests bias. The IMF's policy in LoI usually worsened the crisis, including the policy of overcoming the crisis in Indonesia. As the country with the longest-lasting effects of the 1997 Asian monetary crisis, this paper analyzes the first IMF-Indonesia LoI in bahasa called Indonesian Memorandum of Economic and Financial Policy (MKEK). The purpose of this paper is to explore the novelty of the content analysis of the LoI script by using the Marxist Criminology approach on the crime of domination. Most of the MKEK policies content indicated the interests of a particular class, the class that controls production.

Keyword(s): Marxist, International Monetary Fund, Indonesia monetary crisis, Letter of Intent, conditionality, power relation, class domination

PENDAHULUAN

(2)

Berawal dari devaluasi mata uang Baht oleh pemerintah Thailand, krisis melanda di sejumlah negara Asia termasuk Indonesia yang sebelumnya disebut salah satu negara

"Keajaiban Ekonomi Asia Timur" oleh Bank Dunia. Dalam enam bulan, pasar saham Indonesia menurun sebesar 50%, rupiah merosot lebih dari 70% (Bullard, Bello, & Mallhotra, 1998), dan 75% usaha di Indonesia mengalami kesulitan (Siglitz, 2003). Tidak hanya kontraksi ekonomi terparah, Indonesia juga mengalami krisis politik terburuk, yaitu selain berakhirnya pemerintahan 32 tahun Presiden Soeharto, sistem politik satu partai yang otoriter juga runtuh (Diaz, 2006: 395).

Berbagai kekacauan ekonomi, sosial maupun politik yang terjadi di Indonesia selama krisis membuat pemerintah menandatangani persetujuan dengan Dana Moneter Internasional (IMF) melalui naskah Letter of Intent (LoI) yang disebut "Indonesia - Memorandum of Economic and Financial Policies". Naskah itu ditukar dengan pinjaman sebesar US$ 43 miliar. Memorandum Kebijakan Ekonomi dan Keuangan (MKEK) Indonesia tersebut berisi 50 paragraf terjemahan dari LoI yang memuat langkah-langkah kebijakan ekonomi dan keuangan apa saja yang harus dilakukan pemerintah untuk mempertahankan stabilitas perekonomian negara.

Kebijakan ekonomi yang merupakan adopsi dari LoI 1997 pada waktu itu menimbulkan dampak yang luar biasa pada kehidupan—terutama—perekonomian masyarakat Indonesia. Persyaratan-persyaratan berdasarkan perjanjian yang ditandatangani Soeharto sangatlah rumit dengan lebih dari seratus reformasi

 Devaluasi mata uang adalah penurunan yang disengaja dalam nilai mata uang suatu negara dalam kaitannya dengan mata uang mitra dagangnya (Leonard, 2006: 422). Pada dasarnya penurunan suatu mata uang terhadap mata uang asing tidak terjadi serta merta namun merupakan kebiajakan pemerintah. Meskipun begitu, kebijakan pemerintah tersebut juga dilatarbelakangi oleh faktor lain seperti pada krisis Baht 1997 (lihat Cyrillus Harinowo, IMF: Penanganan Krisis & Indonesia Pasca-IMF, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004), hal. 22-23).

(3)

kebijakan terkait dengan tenggat waktu tertentu dan pemantauan ekstensif dilakukan di setiap tahapan (Pant, 2002). Pada akhir Desember, terbukti tidak hanya bahwa program yang didukung IMF telah gagal, namun juga bahwa krisis di Indonesia jauh

lebih buruk daripada di tempat lain di Asia karena depresiasi rupiah telah melampaui

mata uang Asia Timur yang mengalami penularan regional hingga 53 persen dari nilai eksternalnya, yang jatuh dari sekitar Rp3.700,00 per dolar AS ke sekitar Rp8.000,00 per dolar AS bahkan pada Juni 1998 mencapai Rp.15.250 per dolar AS (IMF, 2003). Merosotnya rupiah menjadi penyebab utama meningkatnya pengangguran karena banyak industri memberhentikan pekerja, dan diperkirakan separuh penduduk Indonesia pada akhir 1998 berada di bawah garis kemiskinan. Bank Dunia

memperkirakan GNP per kapita yang sebelumnya sekitar US $ 1.200 per tahun menyusut menjadi US $ 450 (Sadli, 1998). Hampir 15 persen pria yang bekerja pada tahun 1997 kehilangan pekerjaan mereka pada bulan Agustus 1998, dan kehancuran ekonomi bahkan lebih buruk di daerah-daerah pedesaan di pulau utama, Jawa (Stiglitz, 2003). Saat Soeharto menaikkan harga BBM pada 4 Mei 1998 protes ribuan mahasiswa melanda kota-kota di Indonesia dan akhirnya kerusuhan pun pecah mengakibatkan ratusan orang meninggal, ribuan orang terluka dan ratusan bangunan dan ribuan kendaraan hancur (Ramli dan Nuryadin, 2007: 83). Atas saran IMF untuk menyelamatkan bank melalui Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), pemerintah

 Depresiasi merupakan penurunan mata uang dalam negeri terhadap mata uang asing, namun bukan disebabkan oleh kebijakan pemerintah melainkan hasil kekuatan penawaran dan permintaan atau mekanisme pasar (lihat Thomas M. Leonard, Encyclopedia of the Developing World, (New York: Routledge, 2006), hal. 422).

(4)

mengeluarkan obligasi bersama bunganya—menjadi Rp.600 triliun lebih—yang akhirnya mengubah utang swasta menjadi utang publik dan menyebabkan berkurangnya dana pembangunan karena APBN dialokasikan untuk melunasi bunga utang tersebut (Rafick, 2008: 306).

Sekarang krisis tersebut telah berakhir, tetapi negara seperti Indonesia merasakan dampaknya selama bertahun-tahun (Stiglitz, 2003: 125). Selain mengalami dampak krisis terparah, Indonesia juga menjadi negara yang paling lama pulih dari krisis dibandingkan negara-negara Asia Timur lainnya. Para akademisi berpendapat bahwa selain kondisi ekonomi yang diperparah kondisi politik, lamanya pemulihan Indonesia dari krisis dikarenakan implementasi kebijakan yang terlalu patuh terhadap IMF. Reformasi ekonomi negara Asia Timur lain tidak sepenuhnya memenuhi saran dari IMF sehingga dinilai pulih lebih cepat. Tidak seperti negara yang sudah merdeka, IMF melakukan banyak campur tangan melalui kebijakan-kebijakan ekonomi yang tercantum dalam LoI seolah negara yang bersangkutan tidak dapat menentukan nasibnya sendiri.

Nooruddin dan Simmons (2006) menemukan bahwa program pemotongan anggaran IMF mengecilkan peran yang dimainkan oleh politik dalam negeri. Nooruddin dan Simmons menekankan bahwa mengurangi defisit anggaran tetap harus mengutamakan layanan publik. Nooruddin dan Simmons justru menemukan upaya mengurangi defisit anggaran dalam program IMF memiliki sistem tekanan yang bias kelas atas sehingga menghasilkan kebijakan yang menguntungkan bagi kelompok-kelompok yang dapat mengatur secara efektif kepentingan mereka.

Biersteker (1990) mengidentifikasi rekomendasi IMF dan Bank Dunia sebagai bentuk intervensi ekonomi. Rincian Letter of Intent yang spesifik menggambarkan dengan sangat jelas cara-cara di mana Bank Dunia dan IMF berusaha mengubah

(5)

peran negara dalam perekonomian. Menurutnya, rekomendasi kebijakan IMF tidak netral dan dirancang untuk mengarahkan kembali intervensi negara dari strategi pembangunan yang disusun oleh IMF. Dalih IMF bahwa perlunya mengurangi peran negara karena inefisiensi merupakan pengalihan intervensi kebijakan atas nama sektor swasta. Sektor swasta bergantung pada kontrak negara untuk dapat menyerap modal, baik melalui penyediaan barang atau jasa kepada negara atau dari pengadaan sub-kontrak produksi darinya yang dimobilisasi melalui program IMF.

Aluko dan Arowolo menganalisis fenomena bantuan luar negeri dan krisis utang yang dialami negara-negara dunia ketiga khusunya Nigeria dengan teori ketergantungan yang menyatakan bahwa kemiskinan negara-negara di pinggiran terjadi bukan karena mereka tidak terintegrasi atau terintegrasi ke dalam sistem dunia, tetapi karena bagaimana mereka diintegrasikan ke dalam sistem (Aluko dan Arowolo, 2010). Teori ketergatungan berkembang melalui dua pertentangan aliran yakni, dari kaum bourjois dan kaum Neo Marxis. Bagi kaum borjuis, keterbelakangan dan ketergantungan dari kebanyakan negara dunia ketiga adalah akibat dari kontradiksi internal mereka (Aluko dan Arowolo, 2010: 122) seperti korupsi, tata kelola pemerintahan yang buruk, pengelolaan sumber daya yang tidak tepat sehingga menginspirasi negara-negara maju untuk melakukan perluasan kekuasaan. Menurut kaum Neo-Marxis, keterbelakangan ekonomi negara dunia ketiga muncul karena negara-negara yang menyebabkan ketergantungan bantuan luar negeri tidak hentinya melakukan ekspansi kapitalisme. Lembaga keuangan internasional menghasilkan produk dari krisis yaitu kontrol eksternal dan manipulasi ekonomi domestik melalui pelaksanaan persyaratan-persyaratan, “serangan” dan pengambilalihan kebijakan ekonomi dan sistem administrasi perbankan dan keuangan negara debitur.

(6)

kepada Amerika Serikat secara sistematis menerima pinjaman IMF dengan persyaratan yang lebih sedikit. Penelitian Dreher, Sturm, dan Vreeland ini menunjukkan bahwa IMF menunjukkan keberpihakannya kepada beberapa negara khususnya negara DK PBB dan negara yang dekat dengan Amerika Serikat. Alhasil negara-negara yang tergabung dalam kelompok tersebut menerima pinjaman IMF dengan persyaratan tidak sebanyak negara-negara yang bukan kelompok tersebut. Akhirnya persyaratan IMF pun tidak hanya menunjukkan bukan usaha terbaik untuk membantu negara peminjam, namun juga menggambarkan kepentingan IMF berkaitan relasinya dengan kelompok negara tersebut.

Bernal (1984) menganalisis perjuangan kelas sebagai akibat implementasi program IMF di Jamaica 1977-1980. Menurutnya, IMF memastikan sebuah negara dengan ketidakseimbangan neraca pembayaran tidak menetapkan kebijakan yang akan menjadi hambatan nasional terhadap pergerakan modal dan komoditas internasional. Hal ini dimaksudkan agar kelas kapitalis yang dilindungi oleh IMF dapat tetap menyerap modal di negara yang sedang mengalami defisit neraca tersebut. Apa yang baik bagi kapitalis di tingkat dunia sering menghambat pembangunan di negara-negara terbelakang. Alasan tersebut menunjukkan program IMF dibuat berdasarkan kepentingan kelas pemilik modal. Masyarakat kelas bawah Jamaica yang marah karena pelaksanaan program IMF ini mengakibatkan kekalahan (pada pemilihan selanjutnya) bagi People’s National Party yang waktu itu melaksanakan program IMF.

(7)

IMF bagi negara peminjam menunjukkan keberpihakan pada kelas atau mengindikasikan kepentingan tertentu dan kerap kali merugikan masyarakat kelas bawah. Maka dari itu penulis berasumsi bahwa MKEK IMF-Indonesia 1997 ini merupakan bentuk dari crimes of domination.

Tulisan ini akan memberikan penjelasan mengenai bagaimana MKEK IMF-Indonesia 1997 sebagai crimes of domination. Melalui kerangka globalisasi, kapitalisme global, dan lembaga keuangan internasional dalam perspektif Principal-Agent penulis mencoba mengungkapkan alur yang menjelaskan elemen-elemen tersebut mendukung crimes of domination dalam MKEK IMF-Indonesia 1997. Penulis mencoba menjawab pertanyaan yang lebih spesifik dalam tulisan ini: bagaimana crimes of domination dilakukan dalam Memorandum Kebijakan Ekonomi dan Keuangan (MKEK) IMF-Indonesia 1997?

Crimes of Domination

Apabila kita berbicara tentang pemikiran Marxis, maka inti dari bahasannya adalah mengenai kelompok mana yang menguasai dan tidak menguasai produksi. Produksi adalah kebutuhan eksistensi yang diperlukan. Dengan demikian, semua kehidupan sosial, termasuk segala sesuatu yang berhubungan dengan kejahatan, harus dipahami dalam hal kondisi ekonomi obyektif produksi dan pertarungan subyektif antara kelas yang terkait produksi (Quinney, 1978). Dasar pemikiran inilah yang kemudian melatarbelakangi setiap perkembangan Krimonologi Marxis.

(8)

(crimes of domination) dan kejahatan akomodasi (crimes of accommodation) (Barak, Leighton, & Flavin, 2010: 11).

Kejahatan dominasi yang paling mencerminkan karakter dari dominasi kapitalis adalah kejahatan yang terjadi dalam rangka mengamankan tatanan ekonomi yang ada (Quinney, 2000: 163). Kejahatan dominasi timbul dari kontradiksi yang melekat: beberapa hukum kapitalisme harus “dirusak” untuk mempertahankan eksistensinya (Larson & Garrett, 1996: 215). Dalam hal ini hukum diproduksi untuk mempertahankan sistem kapitalisme meskipun harus meminggirkan aspek “justice” atau keadilan kepada masyarakat. Ada empat jenis kejahatan dominasi: (1) kejahatan kontrol (crimes of control); (2) kejahatan pemerintah (crimes of government); (3) kejahatan dominasi ekonomi (crimes of economic domination); dan (4) kejahatan yang merugikan secara sosial (social injuries) (Larson & Garrett, 1996: 215).

Kejahatan kontrol adalah kejahatan dominasi yang terjadi dalam perjalanan kontrol negara. Kejahatan kontrol berupa tindak pidana berat dan pelanggaran ringan oleh aparat penegak hukum terhadap orang yang dituduh melakukan kejahatan. Kekerasan dan kebrutalan telah menjadi bagian pekerjaan polisi yang diakui. Ada kejahatan kontrol yang sifatnya lebih halus dimana agen hukum melanggar kebebasan sipil warga negara, seperti dalam berbagai bentuk pengawasan, penggunaan provokator, dan penyangkalan ilegal atas proses hukum (Quinney, 2000: 163).

Crimes of government adalah tindakan yang dilakukan oleh pejabat terpilih dan diangkat dari negara kapitalis untuk mempertahankan kontrol politik atas orang lain. Ada juga pelanggaran yang dilakukan oleh pemerintah terhadap orang dan kelompok yang tampaknya mengancam keamanan nasional. Termasuk di sini adalah kejahatan peperangan dan pembunuhan politis para pemimpin asing dan domestik (Quinney, 2000: 163).

(9)

pengusaha perorangan dan profesional. Selain itu, kejahatan kelas kapitalis dan negara kapitalis tergabung dalam kejahatan terorganisir. Operasi kriminal kejahatan terorganisir yang lebih konvensional terkait dengan negara pada tahap perkembangan kapitalis sekarang. Operasi kejahatan terorganisir dan operasi kriminal negara disatukan dalam usaha untuk menjamin kelangsungan sistem kapitalis (Quinney, 2000: 163).

Terkahir adalah social injuries biasanya melibatkan penolakan hak asasi manusia (mengakibatkan seksisme, rasisme, dan eksploitasi ekonomi) yang dilakukan oleh kelas kapitalis dan negara kapitalis tetapi tidak didefinisikan sebagai kejahatan dalam kode hukum negara. Tindakan sistematis ini merupakan bagian integral dari kapitalisme dan penting untuk kelangsungan hidupnya.

Marx sendiri menjelaskan negara adalah instrumen bagi dominasi kelas (Harvey, 1976) karena negara adalah tempat bagi individu-individu dari kelas penguasa menegaskan kepentingan bersama mereka. Jessop (2012: 6-7) menjelaskan mengapa negara menjadi instrumen penting bagi kelas kapitalis karena negara adalah satu-satunya lembaga yang menyentuh secara langsung maupun tidak kepentingan masyarakat luas. Hal tersebut membuat kelas kapitalis memanfaatkan peran negara— seperti yang terlihat dalam kejahatan dominasi Quinney—untuk menegakkan dominasi mereka.

(10)

dan mengelola perusahaan-perusahaan transnasional (Transnational Corporation (TNC)) dan lembaga keuangan yang mendorong ekonomi global.

IMF dan Persyaratannya dalam Perspektif Principal-Agent

Penulis menyoroti kehadiran lembaga keuangan internasional sebagai penegak dominasi kelas kapitalis khususnya kehadiran International Monetary Fund (IMF) dalam kasus Memorandum Kebijakan Ekonomi dan Keuangan ini. Menjelang akhir perang dunia II, 44 negara berkumpul melaksanakan konferensi keuangan internasional di sebuah desa kecil di Amerika Serikat, Bretton Woods. Setelah terjadinya Great Depression yang melanda negara-negara barat, keinginan untuk menciptakan sistem keuangan internasional yang stabil pun muncul. Dari konferensi tersebut disepakati untuk mendirikan tiga lembaga keuangan internasional yaitu Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF), International Bank for Reconstruction and Development (IBRD atau lebih dikenal sebagai World Bank),

dan lembaga perdagangan internasional (Harinowo, 2004: 74)—yang kemudian ketiganya sering disebut sebagai Bretton Woods Institutions.

Awalnya IMF hanyalah lembaga yang fokus menangani negara-negara yang mengalami kelesuan ekonomi pasca perang dengan mempertahankan nilai tukar dan merumuskan berbagai macam sistem keuangan untuk mendukung kehidupan ekonomi Eropa dan AS pasca perang dunia II. Selain itu IMF juga menciptakan bantuan bagi negara yang mengalami defisit neraca pembayaran. Sekarang ini program bantuan IMF menyasar negara berkembang yang biasanya mengalami masalah neraca pembayaran. Banyak yang berpendapat bahwa pada saat ini—selama tahun 1970—IMF bergeser perhatiannya dari dunia industri ke negara berkembang, sebagai lembaga yang mencari tujuan baru (Vreeland, 2007: 9).

(11)

Transisi prioritas IMF tersebut membuat arus utama penjelasan mengenai IMF sekarang ini dilihat melalui principal-agent theory. Teori principal-agent menunjukan bahwa fungsi dari otonomi agen dalam kasus common agency merupakan intensitas (kekuatan) dan keheterogenan (keberagaman) pilihan dari principal (Copelovitch: 2010, 57). Dalam teori common agency, dua pelaku utama IMF—negara anggota terbesar IMF (sebagai collective principal) dan staf birokrasi IMF (sebagai agen)— bersama-sama menentukan keputusan pemberian kredit (Copelovitch: 2010, 29). Layaknya hubungan pemegang saham dan manajemen (agen) maka IMF (agen) pun bertindak atas kepentingan pemegang saham atau pemilik modal atau pendonor.

Perubahan IMF menjadi negara yang mengubah perhatiannya kepada negara-negara berkembang berkaitan erat dengan pelaksanaan persyaratan-persyaratan IMF yang tercantum dalam LoI. Harinowo (2004: 104) menyebutkan:

Penetapan persyaratan tertentu bagi negara yang bersangkutan, yang dikenal sebagai conditionalities. Persyaratan ini secara formal termuat dalam dokumen yang disebut Letter of Intent (LoI), yang resminya merupakan kesanggupan pemerintah untuk melakukan langkah-langkah yang termuat dalam dokumen tersebut sesuai jangka waktu yang ditetapkan.

Vreeland menjabarkan LoI secara terperinci:

(12)

IMF (2007: 32) .…secara resmi dikirim dari negara cabang eksekutif—yang diakui sebagai negara dengan “otoritas yang tepat” perihal ekonomi—kepada Direktur Pelaksana IMF. Direktur Pelaksana kemudian mengajukan kepada Dewan Eksekutif IMF untuk disetujui. Setelah Dewan menyetujui Letter of Intent, negara yang bersangkutan berada di bawah program IMF (2007: 64).

Studi tentang LoI mengindikasikan bahwa LoI tidak dibuat untuk membantu negara peminjam keluar dari krisis. Sebaliknya LoI disusun untuk mendukung kepentingan dari negara-negara donor IMF. Hal ini disebabkan karena penekanan LoI sendiri dalam Articles of Agreement IMF bahwa LoI bertujuan sebagai jaminan pinjaman agar kembali dalam jumlah dan kurun waktu yang telah disepakati.

Senada dengan hal itu Killick melihat bahwa persyaratan IMF mengindikasikan permasalahan klasik principal-agent: yaitu perbedaan tujuan dan kepentingan antara principal (IMF dalam hal ini) dan agen (pemerintah yang menjalankan persyaratan); dorongan timpang bagi pemerintah peminjam untuk mempromosikan tujuan IMF dan informasi yang asimetris serta penerapan biaya yang tinggi (Killick, 1995: 168-169). Pokok permasalahan ini membuat penulis menyetujui bahwa memang sesungguhnya LoI berisi persyaratan yang ditetapkan IMF bagi negara pinjaman sebagai jaminan pengembalian pinjaman namun memuat kepentingan negara pendonor IMF untuk menegakkan dominasinya. Maka dalam menjelaskan kerangka crimes of domination Quinney, kaum kapitalis dalam tulisan ini direpresentasikan oleh IMF terutama negara-negara pendonornya juga negara Indonesia (dalam sedikit kasus), dan pengusaha Indonesia maupun internasional yang bermain dalam mengintervensi MKEK.

(13)

“Pertama, globalisasi adalah penyebaran global dari sistem ekonomi kapitalisme. Didukung oleh ideologi neoliberalisme, tujuannya adalah deregulasi keseluruhan masyarakat pasar global. Kedua, globalisasi adalah konstruksi sosial-politik yang diperebutkan oleh berbagai aktor. Ketiga, manfaat dari globalisasi dikelola dan didistribusikan secara tidak merata. Keempat, bahwa sementara mungkin ada kompatibilitas antara kapitalisme dan demokrasi, ada ketidakcocokan yang mendalam.” (Litonjua, 2008: 54)

Menegaskan kembali pernyataan Litonjua tentang globalisasi adalah bagaimana dunia diarahkan pada sistem ekonomi kapitalisme yang didukung ideologi neoliberalisme. Neoliberalisme dipahami sebagai seperangkat gagasan dan praktik yang berpusat pada peningkatan peran pasar bebas, fleksibilitas di pasar tenaga kerja dan membentuk ulang kegiatan kesejahteraan negara (Smith, Stenning & Willis, 2008). Pada dasarnya neoliberalisme ekonomi menekankan pada kebebasan pesar yang diyakini akan lebih efektif tanpa campur tangan pemerintah dan menitikber-atkan pada peran swasta. Hal inilah yang membuat ekonomi neoliberal dianggap pal-ing tepat untuk dijalankan di era kapitalistik karena palpal-ing menguntungkan kelas kap-italis.

METODE PENULISAN

Tulisan ini mengolah data sekunder. Data sekunder sekaligus sumber utama yang akan dianalisis dalam tulisan ini adalah naskah LOI IMF-Indonesia 1997 yang telah diterjemahkan langsung dalam Bahasa Indonesia atau lebih tepatnya dimuat dalam Memorandum Kebijakan Ekonomi dan Keuangan (MKEK) Indonesia 1997. Untuk menunjang analisis, penulis memperoleh data lain pendukung data utama yaitu buku, artikel berita, artikel jurnal ilmiah melalui studi literatur (kepustakaan).

(14)

elektronik (Bowen, 2009: 27). Analisis dokumen melibatkan metode pembacaan skimming (membaca secara sepintas), membaca (membaca secara menyeluruh), dan interpretasi. Dalam proses menganalisis dokumen tersebut, penulis menggunakan metode analisis isi. Analisis isi adalah proses mengorganisir informasi ke dalam kategori yang terkait dengan pertanyaan sentral penelitian (ibid., 32). Unit analisis isi dalam tulisan ini adalah struktur kebijakan yang terdapat dalam naskah Memorandum Kebijakan Ekonomi dan Keuangan kemudian yang akan dianalisis sesuai dengan pertanyaan tulisan.

DATA DAN ANALISIS

Ada 50 poin yang tercantum dalam Memorandum Kebijakan Ekonomi dan Keuangan Indonesia 1997. Lima puluh poin tersebut merupakan terjemahan langsung dari LoI IMF kepada Indonesia tahun 1997. Kelima puluh poin tersebut kemudian diimplementasikan pemerintah menjadi puluhan butir kebijakan dalam bentuk Program Paket Pemulihan Ekonomi yang secara ringkas sebagai berikut:

Tabel 1 Program Pemulihan MKEK Indonesia-IMF 1997

(15)
(16)
(17)
(18)

Program dibidang fiskal menargetkan surplus penerimaan domestik bruto

(PDB) sebesar satu persen dan mengurangi defisit berjalan. Rangkuman kebijakan

fiskal dimuat dalam prinsip anggaran berimbang yang implementasinya adalah

penggenjotan pendapatan dari sektor pajak dan penghematan anggaran melalui pengurangan subsidi. Singkatnya, kebijakan fiskal yang sangat ketat di saat kondisi krisis ini telah menekan perekonomian masyarakat sampai meningkatkan jumlah pengangguran karena kegiatan ekonomi tidak produktif. Peningkatan pendapatan sukses diraih melalui pendapatan cukai alkohol dan tembakau.

Tidak jauh berbeda dengan program fiskal, kebijakan moneter juga menyebabkan perusahaan atau usaha mengalami kelesuan produksi karena sulit

mendapatkan kredit akibat pengetatan likuiditas. Suku bunga yang tinggi juga mustahil diberlakukan bagi perusahaan yang mengalami kredit macet. Akhirnya bank pun ikut kesulitan mendapatkan likuiditas.

Sementara restrukturisasi sektor keuangan dalam MKEK 1997 hanya berfokus pada sektor perbankan. Program restrukturisasi perbankan waktu itu sangat menonjol

pada langkah likuidasi perbankan yang tanpa persiapan sehingga menghilangkan

kepercayaan masyarakat. Fenomena rush money pun tak dapat dihindari.

 PDB mencerminkan output yang dihasilkan di dalam perbatasan negara, baik oleh perusahaan domestik maupun luar negeri (lihat Corona Brezina, Understanding the Gross Domestic Product and the Gross National Product, (New York: The Rosen Publishing Group, 2012), hal. 12).  Menurut Kongres Washington, anggaran berimbang adalah kondisi saat jumlah uang yang keluar sama dengan jumlah uang yang masuk.

 Menurut KBBI (Kamus besar Bahasa Indonesia), likuiditas adalah kemampuan untuk memenuhi kewajiban membayar hutang tepat waktu. Pengetatan likuiditas berkaitan dengan pengendalian suku bunga (lihat Robert Hendrik Liembono, Analisis Fundamental, (Jakarta: MIC, 2016))  Likuidasi bank adalah tindakan penyelesaian seluruh aset dan kewajiban bank sebagai akibat pencabutan izin usaha dan pembubaran badan hukum bank (lihat Soetanto Hadinoto, Bank Strategy on funding and Liability Management, (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2008), hal. 203).

(19)

Sedangkan program penyesuaian struktural yang cenderung mendukung impor membuat kesenjangan sosial antara produsen kecil dan pengekspor kebutuhan pangan ke Indonesia semakin terlihat. Impor terhadap kebutuhan pangan semakin marak waktu itu karena harga produk dalam negeri lebih murah sehingga produk impor peminatnya lebih banyak. Privatisasi BUMN yang masuk dalam program penyesuaian struktural pun membuat Indonesia hingga saat ini kehilangan kendalinya akan sektor krusial kebutuhan publik.

Banyak yang berpendapat bahwa program ini mengharuskan Indonesia untuk memenuhi persyaratan yang terlalu banyak—dan mungkin salah—sebagai imbalan atas pencairan pinjaman IMF (Gould, 2006: 144). Kebanyakan dari kebijakan tersebut mengandung kepentingan kelas tertentu. Penulis akan menganalisis beberapa isi kebijakan dalam MKEK Indonesia-IMF 1997 yang mengindikasikan crimes of domination paling kuat.

Kebijakan Fiskal

Kebijakan yang dimaksudkan untuk mempertahankan anggaran surplus 1 persen dari GDP ini menyangkut hajat hidup orang banyak terutama rakyat Indonesia yang waktu itu mengalami kesulitan perekonomian. Penulis akan memilih kebijakan penghapusan subsidi energi sebagai kebijakan fiskal yang menimbulkan gejolak ekonomi, politik, dan sosial terbesar di masyarakat hingga berakhir pada kerusuhan. LoI mengharuskan pemerintah mencabut subsidi energi yaitu listrik dan BBM sehingga dilakukan penyesuaian harga.

(20)

pemerintah bermaksud menghilangkan subsidi-subsidi ini secara berangsur-angsur selama pelaksanaan program. Ini diawali dengan penyesuaian awal yang cukup besar pada 1 April 1998 terhadap harga bahan bakar dan listrik, kecuali harga minyak tanah dan solar yang kenaikannya akan dijaga serendah mungkin untuk melindungi rakyat kecil.” (MKEK poin 9)

Pada 4 Mei 1998 Soeharto menaikkan BBM yang semula Rp.700 per liter menjadi Rp.1200 per liter dan tarif dasar listrik (TDL) sebesar 20% (merdeka.com, 2014). Menurut Kuntoro Mangkusubroto, yang kala itu menjabat Menteri Pertambangan dan Energi, peningkatan harga BBM dilakukan tanpa formula dan kalkulasi yang jelas seperti yang umum dipakai oleh Kementerian-nya (cnnindonesia.com, 2015).

Satu hari kemudian setelah pengumuman kebijakan ini, ribuan mahasiswa yang tersebar di kota-kota di Indonesia memprotes kenaikan harga yang menyebabkan ratusan bangunan dan ribuan kendaraan hancur (Ramli & Nuryadin, 2007). Krisis memuncak hingga berbau etnis ketika toko-toko milik Tionghoa dijarah,

orang-orang Tionghoa dan yang dianggap mirip dengan suku Tionghoa pun diburu, dibakar, dan yang perempuan diperkosa. Pengunduran diri Soeharto dari jabatan presiden pada 12 Mei 1998 mulai meredakan kerusuhan.

Quinney menjelaskan tipe kejahatan yang dilakukan oleh kelas bawah sebagai respon atas sistem kapitalis yang sedang berlangsung yaitu crimes of accommodation. Saat kebijakan penghapusan subsidi diterapkan, terjadi jenis kejahatan akomodasi yaitu crime of resistance yang merupakan reaksi atas kesadaran politik (Jeffrey & Maahs, 2017). Demonstrasi dan penjarahan yang dilakukan masyarakat Indonesia merupakan kesadaran akan situasi politik yang saat itu semakin menyulitkan kelas bawah. Penyerangan terhadap kaum Tionghoa pun mencerminkan perlawanan terhadap kelas kapitalis.

(21)

Sulhin (2006) menjelaskan mengenai kontroversi pengurangan subsidi BBM. Melalui pendekatan kapitalisme, LPEM FEUI mengatakan bahwa pengurangan subsidi BBM yang disertai kompensasi tertentu berdampak positif dalam mengurangi kemiskinan. Sedangkan dari sisi sosialisme, hal tersebut dianggap akan semakin menggerus penederitaan rakyat. Alasan dan imbalan dibalik pengurangan subsidi BBM, melakukannya di saat krisis 1997 justru melumpuhkan aktivitas perekonomian.

Peningkatan harga BBM yang cukup drastis sebanyak 71% tersebut merupakan kebijakan yang tidak peka terhadap kelas bawah. Pasalnya kebijakan tersebut semakin mempersulit rakyat karena kenaikan harga energi membuat harga kebutuhan dasar ikut melonjak, padahal di saat yang bersamaan pendapatan masyarakat berkurang. Kebijakan fiskal yang selain mengendalikan pengeluaran negara, juga mengontrol pendapatan negara melalui pajak. Kenaikan pada beberapa nilai pajak pun diberlakukan. Dalam kasus kenaikan harga energi, IMF melalui LoI memastikan pemerintah menghemat anggaran negara dengan memotong atau memangkas pengeluaran yang dianggap “tidak perlu” seperti subsidi harga energi. Memang penghilangan subsidi energi yang dilakukan IMF ini sesuai dengan gaya kebijakannya yaitu mengembalikan pertumbuhan ekonomi sesegera mungkin. Senada dengan pernyataan Nooruddin dan Simmons (2006) bahwa pemangkasan anggaran negara yang dilakukan IMF cenderung merugikan masyarakat kelas bawah.

Meski pencabutan subsidi energi bertujuan—seperti yang dikatakan IMF— untuk mengurangi distorsi ekonomi dan memperkuat posisi fiskal, hal tersebut mustahil dilakukan disaat daya beli masyarakat sedang menurun. Justru sebaliknya kebijakan tersebut semakin menekan perekonomian rakyat. Penyesuaian harga energi ini merupakan satu dari banyaknya implementasi pengetatan kebijakan fiskal. Pengetatan kebijakan fiskal adalah salah satu pilar dari Konsensus Washington yaitu kesepahaman mengenai kebijakan-kebiajakan ekonomi yang menandai awal kemunculan ekonomi neoliberal (Sulhin, 2008: 69).

(22)

IMF akan krisis yang dinilai lemah karena program pemulihan ekonomi IMF yang semakin memperburuk krisis disebabkan pemahaman yang ditanamkan kaum kapitalis mengenai krisis, yaitu krisis akan baik diselesaikan melalui kebijakan ekonomi neoliberal karena meningkatkan pendapatan negara dengan cepat salah satunya melalui pengetatan kebijakan fiskal. Neoliberalisasi sebagai sebuah proses bukannya teori, memang menciptakan keberhasilan yang sangat besar jika dilihat dari sudut pandang kelas elit. Proses neoliberalisasi memungkinkan terbangunnya kembali kekuasaan kelas dari elit-elit yang berkuasa atau memungkinkan terciptanya kondisi-kondisi bagi terbangunnya kelas kapitalis baru (Harvey, 2009: 264-265). Pada kenyataannya, pengetatan fiskal semakin memperburuk kondisi negara yang sedang krisis terutama masyarakat kelas bawah.

Deregulasi dan Swastanisasi

Deregulasi merupakan tahapan mengurangi atau menghilangkan suatu peraturan. IMF menyatakan tujuan program ini adalah untuk memunjang kompetisi dalam negeri sehingga cakupan sektor swasta diperluas.

“Tujuan utama….dari strategi reformasi struktural adalah.…untuk menunjang kompetisi dalam negeri dan memperluas cakupan sektor swasta.” (MKEK poin 40)

(23)

terhadap perdagangan pun dilakukan. Dalam kebijakan ini dominasi kelas kapitalis sangatlah bermain untuk menguasai produksi.

Penulis memilih kebijakan deregulasi terhadap produksi dan perdagangan gula dan beras yang pada saat itu paling berdampak pada ketahanan pangan Indonesia. IMF membebaskan petani dari kewajiban menanam tebu, namun kebebasan ini memiliki maksud lain.

“Hal ini akan meningkatkan produksi beras karena petani beralih dari menanam tebu di tanah irigasi menjadi memproduksi padi yang memiliki lebih banyak nilai tambah. Dan ini akan meningkatkan efisiensi dan daya saing industri yang menggunakan gula, seperti proses makanan.”

Tujuan dari kebijakan tersebut adalah agar petani gula beralih menjadi petani beras. Bukannya untuk menjamin ketersediaan beras, kebijakan ini justru meminggirkan arti penting komoditas gula sebagai salah satu elemen krusial dalam ketahanan pangan. Produksi beras pun tidak terbukti meningkat namun impor beras melonjak lebih dari dua kali lipat dari periode 1995-1997 sesaat setelah implementasi LoI yaitu periode 1998-2000, hingga menembus angka 3.000.727 ton. Sedangkan dilihat dari Harga Eceran Beras (HEB), implementasi LoI menaikkan HEB secara konsisten (Andriyanto, 2012). Jaminan ketahanan pangan yang sempat digaungkan oleh IMF melalui kebijakan ini tidak terlaksana. Penyebab lainnya adalah kebijakan menerapkan tarif impor 0% bagi gula dan beras. Akhirnya gula lokal yang biaya produksinya lebih mahal dibandingkan gula impor tidak mampu bersaing (Lema, 2004). Harga produksi gula internasional yang lebih murah diakibatkan oleh keunggulan kepemilikan sarana produksi oleh kelas kapitalis.

(24)

Penulis menyimpulkan kebijakan yang dibuat untuk memfasilitasi para produsen gula luar negeri ini menunjukkan crimes of economic domination yang tujuannya untuk melindungi dan meningkatkan akumulasi modal. Pengusaha gula dan beras luar negeri menerima keuntungan karena dengan deregulasi mengenai impor beras dan gula, kehadiran beras dan gula impor tidak dapat dihindari. Gula impor pun lebih dipilih oleh masyarakat karena harganya yang lebih murah dibandingkan produk dalam negeri yang mencirikan salah satu dominasi kelas kapitalis yaitu keunggulan mode produksi gula mereka sehingga harga gula bisa lebih murah. Dalam prinsip ekonomi sederhana jelas konsumen memilih komoditas sama dengan harga murah dibandingkan yang mahal.

Dalam penjelasan sosioekonomi Marx dalam menganalisis masyarakat yang dinamis, ia mengemukakannya dalam kerangka mode produksi yaitu terdiri dari hubungan produksi dan kekuatan produksi. Kekuatan produksi terdiri dari bahan baku, sarana produksi, pembagian teknis kerja sesuai dengan bahan baku dan sarana produksi yang diberikan, dan hubungan saling ketergantungan dan kerjasama antara produsen langsung dalam menetapkan alat-alat produksi untuk bekerja. Hubungan sosial produksi terdiri dari kontrol sosial atas alokasi sumber daya untuk berbagai kegiatan produktif dan pengalokasian surplus yang dihasilkan; pembagian kerja sosial (atau alokasi pekerja ke berbagai kegiatan di berbagai unit produksi yang berbeda); dan hubungan kelas yang didasarkan pada hubungan properti, kepemilikan sarana produksi, dan bentuk eksploitasi ekonomi (Jessop, 2012: 5-6).

(25)

atas, mode produksi gula dikuasai dengan baik oleh pengusaha transnasional sehingga harganya bisa terjangkau serta regulasi yang menguntungkan dari MKEK membuat crimes of economic domination dapat terjadi.

Berbeda dengan harga gula impor yang murah, harga beras justru mengalami kenaikan. Ini juga membuktikan salah satu contoh crimes of economic domination yaitu penetapan harga oleh pengusaha yang cenderung melambung. Apabila pada kasus impor gula pengusaha cenderung terlindungi, pada kasus impor beras pengusaha semakin meningkatkan perolehan modalnya.

Kebijakan pembebasan tarif impor gula dan beras ini tentu menguntungkan bagi kelas kapitalis. Hal ini terbukti dari meningkatnya impor gula dan beras. Melalui kebijakan deregulasi yang dijalankan melalui LoI IMF ini, kaum kapitalis telah berhasil mengamankan produksinya. Pembebasan tarif impor gula dan beras jelas membuat kelas kapitalis pemroduksi gula dan beras semakin “jaya” di saat petani gula dan beras harus menyerah dan tunduk pada model produksi yang telah dikontrol kelas kapitalis.

“Sejalan dengan upaya-upaya untuk meningkatkan produktivitas sektor swasta, pemerintah sedang melakukan review pengeluaran dan investasi sektor publik untuk memajukan penggunaan sumber daya pemerintah yang lebih efesien. Review ini juga akan menjadi dasar program percepatan swastanisasi.” (MKEK poin 44 & 45)

(26)

“Dalam kerangka ini, pemerintah bermaksud mempercepat swastanisasi dan melakukan tindakan tegas untuk merestrukturisasi atau menutup perusahaan yang memiliki kinerja buruk.” (MKEK poin 46)

Poin-poin mengenai manajemen dan program swastanisasi dibuat hanya untuk

mempercepat dan memperlancar proses swastanisasi. Swastanisasi tujuh BUMN

setelah implementasi LoI menyisakan banyak penyesalan di benak masyarakat. Pasalnya swastanisasi tersebut dinilai terlalu terburu-buru. Padahal bila diserahkan

pada tangan seorang ahli penataan BUMN, seperti Tanri Abeng, masih dapat membuatnya menjadi produktif. Selain itu BUMN di Indonesia yang di swastanisasi karena saran IMF tidak dijual dengan perhitungan nilai dan harga aset serta investasi yang sesuai sehingga menguntungkan pembeli swasta. Dalam tesisnya, Kamasan (2012) mengungkap swastanisasi PT. Indosat menunjukkan banyak kejanggalan seperti harganya yang sangat jatuh dan proses tawar-menawar yang tidak transparan.

Selain itu monopoli yang dilakukan setelah swastanisasi BUMN ini menunjukkan crimes of economic domination melalui penetapan harga yang mahal kepada konsumen untuk mencapai tujuan yaitu meningkatkan penyerapan modal. Contohnya adalah Temasek Holding, pemilik 100% saham BUMN Singapura, Singapore Technologies Telemedia, yang memiliki saham di Indosat maupun Telkomsel ini telah menguasai 83% pasar seluler Indonesia dan mencatat laba yang signifikan setiap tahunnya karena penetapan tarif percakapan yang kelewat mahal (Kamasan, 2012). Dengan monopoli tersebut kelas kapitalis kembali menegaskan

 Tujuh BUMN tersebut adalah Semen Gresik, Pelindo II, Pelindo III, Telkom, Indo Farma, Kimia Farma, Indosat. Beberapa BUMN tidak di swastanisasi penuh, namun semua BUMN tersebut mayoritas sahamnya sudah dimiliki swasta (lihat tesis Agung Kamasan, Privatisasi BUMN di Indonesia: Kasus Pengambilalihan Saham PT. Indosat Tbk. oleh Temasek Holding pada Tahun 2002. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Program Magister Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Indonesia, 2009.)

(27)

dominasinya atas Indonesia yang kehilangan kedaulatan karena tidak mampu melakukan proteksi kepada rakyatnya sendiri.

Secara sederhana Lenin (1999) menjelaskan imperialisme sebagai tahap monopoli kapitalisme. Menurut Lenin, kapitalisme adalah konsep dari sebuah persaingan bebas dalam pasar. Di sisi lain, imperialisme menekankan pada monopoli yang merupakan kebalikan dari persaingan bebas. Maka pada tahap terbaru kapitalisme, Lenin mengungkapkan bahwa imperialisme telah terjadi di mana modal bisa didapatkan secara bebas melewati lintas batas negara namun kepemilikan modal sifatnya tetap monopoli seperti monopoli yang dilakukan oleh Temasek Holding terhadap bisnis telekomunikasi di Indonesia.

Masuknya para investor asing dalam swastanisasi BUMN ini juga menunjukkan keberlangsungan salah satu unsur kapitalisme global yang dijelaskan oleh Robinson (2015) yakni transnasionalisasi negara. Negara mulai menjembatani penyerapan modal para pengusaha asing yang ingin menanamkan modal di dalam negeri. Pengusaha asing ini pun merupakan kemunculan dari kelas kapitalis transnasional.

(28)

krisis yang tidak pernah berubah sejak dulu bahkan saat tahun 1966 IMF datang ke Indonesia merupakan konsekuensi dari kontrol kelas kapitalis yaitu negara pendonor IMF terhadap perumusan conditionalities IMF karena Konsensus Washington terbukti memfasilitasi dengan baik penyerapan modal transnasional.

Quinney (2006) juga menjelaskan mengenai investasi laba dari kegiatan bisnis yang dilakukan oleh kelas kapitalis sebagai salah satu elemen yang dituju dalam crimes of economic domination. IMF mengutamakan pembeli BUMN Indonesia adalah negara-negara pendonornya (Rafick, 2008). Hal ini kembali menjadi keuntungan bagi kelas kapitalis dengan membeli obralan BUMN Indonesia, mereka telah melakukan investasi jangka panjang.

Investasi dan Perdagangan Asing

Investasi dan perdagangan asing merupakan kebijakan yang tercantum dalam program restukturisasi perdagangan MKEK Indonesia 1997. Melalui program restrukturisasi perdagangan ini, IMF memiliki tujuan:

“….untuk memastikan bahwa persediaan makanan yang cukup akan tersedia bagi penduduk pada tingkat harga yang wajar, pemerintah telah memutuskan untuk melampaui strategi program semula.…” (MKEK poin 35)

Dengan tujuan tersebut, MKEK memutuskan untuk memangkas tarif berbagai jenis makanan dan produk pertanian maksimum lima persen. Tujuan tersebut menjadi sia-sia karena kebijakan lainnya yang tidak turut mendukung seperti penetapan tarif impor gula dan beras sebesar 0%. Indonesia yang waktu itu turut dilanda El-Nino membuat pertanian menjadi tidak produktif sehingga mengalami kekurangan ketersediaan pangan. Harga beras dalam negeri yang melambung serta produksinya yang menurun membuat impor menjadi pilihan yang lebih baik.

(29)

Penghapusan batasan ekspor tersebut ditekankan pada minyak goreng sawit dan kayu. Pada waktu itu kelangkaan minyak goreng sawit dunia membuat harganya melambung tinggi. Penghapusan batasan ekspor pada minyak goreng sawit yang diganti menjadi pajak ekspor yang tidak lebih dari 20 persen tersebut tetap tak mampu mencegah kelangkaan di dalam negeri. Ekspor illegal waktu itu marak ditemukan. Kebijakan menghapus batasan ekspor minyak sawit memang dari awal bukan untuk menjamin ketersediaan pangan nasional melainkan menstabilkan harga dan ketersediaan minyak goreng sawit di pasar internasional. Lagi-lagi kelas yang berkepentingan telah mengamankan dominasinya dengan mengontrol pasar melalui kebijakan IMF. MKEK juga melarang pembatasan ekspor minyak goreng sawit di Indonesia sehingga ketidakberpihakan kepada kelas bawah kembali terjadi. Minyak goreng sawit dalam negeri menjadi langka dan mau tak mau harganya meroket. Hal ini kembali menunjukkan crimes of economic domination yang menyebabkan harga minyak goreng sawit dalam negeri mengalami kenaikan karena pasokan minyak goreng sawit mulai diekspor untuk menstabilkan harga internasional. Pada kasus ini, tujuan crimes of economic domination yang hendak dicapai adalah melindungi kelas kapitalis yaitu konsumen minyak goreng sawit internasional.

(30)

mengalami kerusakan sehingga kejahatan dominasi ekonomi kembali terjadi. Sampai saat ini kasus pelanggaran berat terhadap hutan Indonesia yaitu pembakaran hutan untuk persiapan penanaman sawit hingga menewaskan warga merupakan dampak implementasi LoI yang mempermudah izin pengelolaan perkebunan sawit.

Investasi asing yang lain adalah di bidang perdagangan grosir dan eceran. Masuknya retail asing seperti Hypermart, Carefour, di Indonesia pun tidak dapat dicegah lagi. Inilah yang disebut Harvey (2010) penyerapan modal dengan membuka pasar baru melewati batas geografis dan teritorial yaitu meraup keuntungan dari kondisi krisis di Indonesia dengan melegalkan retail asing. Dalam skripsinya Irawan (2014) menemukan bahwa pedagang tradisional yang berada paling dekat dengan retail asing mengalami perubahan pendapatan yang paling besar dibandingkan pedagang yang berada jauh dari retail asing. Tujuan dari crimes of economic domination untuk meningkatkan akumulasi modal dicapai melalui dilegalkannya retail asing ini.

Retail asing yang dilegalkan di Indonesia semakin merajarela dan terus bertambah jumlahnya tanpa pembatasan. Retail asing ini pada akhirnya kian mempertajam kesenjangan sosial dengan pedagang kecil. Kebijakan IMF kembali mengorbankan rakyat kecil atau perdagang kecil karena segala pembatasan mengenai investasi asing telah dicabut yang membuat mekanisme pasar dikendalikan kelas kapitalis.

(31)

Kebijakan investasi dan perdagangan asing telah menguntungkan kaum kapital dengan dibukanya investasi asing pada perkebunan sawit dan pembebasan biaya ekspor terhadap kayu serta dicabutnya larangan investasi asing pada perdagangan grosir dan eceran. Kelas bawah terutama masyarakat Indonesia harus menerima opresi ini karena selain bersaing dengan asing dalam produksi minyak goreng sawit, kerusakan hutan yang terus merajalela menyebabkan bencana alam, mengganggu keamanan dan kenyamanan hidup masyarakat Indonesia untuk waktu yang panjang. Selain itu persaingan dengan retail asing yang jumlahnya semakin tak terhindari pun turut merugikan pedagang kecil.

Restrukturisasi Sektor Keuangan

Kebijakan restrukturisasi sektor keuangan yang tercantum dalam MKEK hanya berfokus pada sektor perbankan. Penulis memilih kebijakan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia sebagai kebijakan yang paling mengindikasikan crimes of domination. IMF menyediakan dana bantuan—yang kemudian disebut Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI)—bagi bank yang kondisinya membaik.

“Bank sentral akan memberi bantuan likuiditas sesuai dengan kondisi yang meningkat, sementara itu memastikan bahwa bantuan likuiditas yang diperluas pada bank-bank akan tetap konsisten dengan program target pertumbuhan moneter.” (MKEK poin 25)

(32)

Grup Salim (BCA) yang hanya mengembalikan sekitar 30% dari dana BLBI yang diterimanya juga pengusaha-pengusaha lainnya.

Dana BLBI sebesar Rp.144,5 triliun yang disalurkan hingga Januari 1999 itu ditemukan oleh BPK diselewengkan sebesar Rp.138,4 triliun atau sekitar 95% (Baswir, 2003: 88). Temuan ini mempertegas pernyataan Stiglitz (2003: 56) yaitu sebagian besar uang pinjaman dari IMF disebut Stiglitz (2003: 56) digunakan bukan untuk menolong Indonesia tetapi untuk menalangi para kreditor sektor swasta milik “kekuatan penjajah”, jelas membuat masyarakat geram. Kebijakan mengenai BLBI sangat melindungi para kreditor dan swasta selain karena hutangnya ditalangi pemerintah, hutang tersebut juga dijamin pengembaliannya oleh pemerintah. Selain itu perlindungan kepada kreditor swasta juga terlihat ketika kejaksaan menyatakan bahwa tidak ada indikasi korupsi yang ditemukan dalam penerimaan, penyerahan, dan pengembalian dana BLBI melainkan hanya kasus perbankan biasa saat publik menekan untuk membawa kasus ini ke jalur hukum (Rachmawidyadini, 2012). Hal ini senada dengan penjelasan Burke (2009) mengenai kejahatan melalui pendekatan kritis yaitu idenya tentang crimes of the powerful (kejahatan oleh yang berkuasa) yaitu saat kapitalis melakukan kejahatan tetapi dilindungi oleh negara dengan tidak didefinisikan sebagai tindak pidana oleh hukum namun hanya dianggap aktivitas ekonomi atau bisnis belaka. Menurut Burke fenomena ini terjadi karena karena negara-negara seperti ini bergantung pada penanaman modal dari para kapitalis sehingga rentan terhadap penyuapan dan korupsi. Penjelasan Burke sangat erat kaitannya saat kasus BLBI tidak dinyatakan sebagai tindak pidana oleh kejaksaan karena pelaku atau kreditor penerima BLBI memiliki kuasa untuk melindungi aktivitas kejahatan dirinya sendiri dari hukuman. Menurut pandangan ahli kriminologi Marxis, tujuan peradilan pidana kapitalis adalah untuk melindungi dan memperkuat sistem kapitalis (Quinney, 1979: 28).

(33)

(2012) menyatakan bahwa sulitnya membawa kasus BLBI ke ranah hukum karena rumitnya konspirasi yang telah dilakukan pemerintah dan non pemerintah. Meskipun IMF bukan pelaku korupsi dalam kasus BLBI ini, namun IMF memberi jalan bagi terjadinya penyelewangan dana terkait dengan lepasnya IMF dari pengawasan terhadap instruksi kebijakan yang dibuat oleh IMF sendiri padahal menurut perintah IMF juga pengawasan BI dibantu oleh ahli perbankan internasional. Semua temuan di atas membuktikan bahwa kebijakan mengenai BLBI ini hanya menguntungkan kelas kapitalis dalam hal ini kreditor swasta yang pada akhirnya bisa memiliki bank-bank aset mereka lagi yang sebelumnya sudah dimiliki pemerintah.

IMF membuat pemerintah mengubah utang swasta menjadi utang publik. Setelah krisis 1997, Indonesia harus mengalihkan sekitar 40 persen PDBnya ke dalam industri perbankan yang ambruk untuk menyelamatkan kreditor dan investor (Altvater, 2006: 91). Alokasi dana APBN yang harusnya untuk pembangunan dikurangi untuk melunasi utang pokok dan bunga utang luar negeri. Kebijakan BLBI menunjukkan kesenjangan di mana perlindungan terhadap kreditor swasta dilakukan melalui uang rakyat dengan membebankannya pada dana pembangunan APBN.

Lingkungan

Kebijakan lingkungan adalah peraturan yang menyasar sektor lingkungan. IMF menyampaikan bahwa tujuan dari penerapan kebijakan lingkungan adalah untuk memperkuat lingkungan. Hal itu disampaikan pada MKEK poin 50. Namun keny-ataannya hanya sedikit dari sekian banyak kebijakan berbasis lingkungan tersebut yang memperhatikan amdal.

(34)

bulan Juni 1998, dan akan menerapkan jaminan pelaksanaan (performance bond) dan menurunkan target konversi lahan hingga tingkat yang berkelanjutan dari segi lingkungan menjelang akhir tahun 1998. Untuk memperbaiki kualitas udara, pemerintah mempercepat program konversi ke bahan bakar yang lebih bersih, termasuk bensin-bersih-timbal, untuk memenuhi tenggat waktu presiden tahun 1999.” (MKEK poin 50)

Menyebut sebagian ada kebijakan lingkungan positif yang diinstruksikan IMF seperti naiknya biaya penebangan, penerapan performance bond, serta konversi bahan bakar yang lebih bersih (konversi bahan bakar yang lebih bersih tidak pernah terlaksana hingga saat ini). Meskipun begitu kebijakan lingkungan yang positif tersebut tidak semuanya terlaksana dan setelah ditekan oleh para pemerhati lingkungan, IMF berdalih lebih fokus pada kebijakan ekonomi.

Marinova menemukan (1999: 77) paket reformasi IMF yang menekankan pemulihan ekonomi seperti liberalisasi perdagangan dan investasi asing mengabaikan lingkungan. Kebijakan yang paling merusak hutan Indonesia adalah kebijakan men-genai konsesi. IMF memaksa Indonesia untuk mengadakan dan mengizinkan lelang HPH, memperjualbelikan konsesi, dan memperpanjang konsesi yang sudah lama mati. Hutan Indonesia ditemukan mengalami kerusakan dua kali lipat dari sebelum-nya sejak pelaksanaan LoI menunjukkan bahwa usaha ini bukan usaha terbaik yang dapat dilakukan IMF untuk memperkuat lingkungan. Konsesi atau izin mengelola hutan merupakan kebijakan yang mencerminkan crimes of economic domination, karena bukan hanya merusak hutan Indonesia, eksploitasi hutan Indonesia jelas men-guntungkan kelas kapitalis di mana akumulasi modal yang sifatnya lintas negara da-pat mereka raih yang pada akhirnya menyebabkan industri hilir berbahan kayu men-galami kelangkaan bahan baku.

(35)

lem-baga donor yang ada di dalam CGI tersebut menunjukkan unsur kapitalisme global yang dijelaskan oleh Robinson (2015) dimana kelas kapitalis transnasional atau pe-rusahaan multinasional mulai muncul dan mulai melakukan transnasionalisasi modal dalam kasus ini melalui pendanaan terhadap proyek sektor kehutanan Indonesia. Sedangkan kebijakan pengurangan konversi lahan jelas tidak terlaksana saat (lihat penjelasan mengenai investasi asing) izin investasi asing terhadap perkebunan sawit diberikan. Kebijakan ini menunjukkan hal yang dijelaskan oleh Wibowo (2011: 93) saat kelas borjuis dengan kemampuan finansial yang besar dapat “membeli negara” dan menjadikan negara tidak ubah sebagai panitia yang menjalankan perintah dan ke-hendak borjuis.

KESIMPULAN

Merumuskan kebijakan memang bukan hal yang mudah. Seperti yang dikatakan Stiglitz (2003: 156) bahwa manfaat dari suatu kebijakan tidak bisa dirasakan enam atau delapan bulan ke depan namun kerusakan yang besar dari suatu kebijakan terjadi hanya dalam waktu yang singkat. Jelas terlihat meski tidak semua kebijakan IMF buruk, kebanyakan program IMF memperburuk krisis di Indonesia dan membuat rakyat sengsara selama bertahun-tahun karena utang publik yang dibebankan pada APBN. Garis besar kebijakan yang disarankan (disyaratkan) oleh IMF justru memunculkan ketergantungan ekonomi Indonesia pada hutang luar negeri dan investasi asing (Baswir, 2003).

(36)

dirumuskan untuk kepentingan terbaik Indonesia keluar dari krisis, namun mengandung kepentingan kelas tertentu.

Marx mengatakan bahwa sesungguhnya modal tidak bersifat personal melainkan sebuah kekuatan sosial (Marx & Engels, 1948) maka akumulasi modal mustahil dilakukan oleh kaum kapitalis sendiri melainkan membutuhkan hubungan sosial produksi misalnya kontrol sosial atas alokasi sumber daya melalui negara yang dijalankan lewat tangan IMF. Perkembangan globalisasi yang menekankan pada prinsip ekonomi neoliberal sejalan dengan kemunculan lembaga internasional seperti IMF sebagai efek dari globalisasi. Untuk melindungi diri dari apa-apa yang mereka takutkan, kaum neoliberal menetapkan pembatasan-pembatasan yang kaku terhadap tata kelola pemerintahan yang demokratis, dan sebagai gantinya memberikan kewenangan pada pranata-pranata tak demokratis dan tak akuntabel (seperti bank sentral atau IMF) untuk mengambil keputusan-keputusan kunci (Harvey, 2009: 116). Melalui prinsip principal-agent, peran IMF dalam kebijakan ini terlihat sangat jelas di mana persyaratan IMF—sebagai timbal balik atas pinjaman—yang tercantum dalam LoI memuat kepentingan kelas kapitalis transnasional tepatnya negara pendonor IMF. Negara pendonor menegaskan dominasinya melalui implemetasi kebijakan dalam LoI. Negara sebagai satu-satunya agen yang dapat memperbaiki “ketidaksempurnaan pasar”, menjelaskan posisi Indonesia yang digunakan oleh kelas kapitalis dalam menyerap modal sesuai dengan tujuan dari crimes of economic domination yaitu untuk melindungi dan meningkatkan modal.

Dalam penjelasannya mengenai posisi kriminologi dalam analisis Marxist, Quinney (1978) menekankan pada pentingnya kesadaran kelas, bagaimana seorang kriminolog memahami posisi kelas mereka. Setelah menyadari posisi kelas tersebut, Quinney mengharapkan bahwa kriminolog dapat memunculkan pemikiran untuk menentang dominasi kelas kapitalis. Quinney mengusulkan pemikiran Kriminologi Sosialis yang lebih baik untuk mendukung kesejahteraan sosial.

(37)

kelompok yang kuasa terhadap kelompok yang tidak punya kuasa. Maka dari itu kriminologi perlu menegaskan peran negara sebagai kekuatan netral yang melebihi kekuatan individu atau kelompok-kelompok individu dalam masyarakat dan mampu mengendalikan persaingan kelompok-kelompok yang ada demi mendorong kesejahteraan sosial. Negara harus merumuskan kebijakan sosial atau publik yang mengutamakan kepentingan terbaik bersama bukan menjadi agen yang justru mempromosikan keberpihakan pada kelas tertentu.

(38)

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Altvater, E. (2006). International Conflicts and Asia at the end of the Fossil Energy Regime. dalam V. R. Hadiz, Empire and Neoliberalism in Asia (pp. 83-102). London & New York: Routledge.

Adler, M. J., & Doren, C. V. (1972). How to Read a Book: The Classic Guide to Intelligent Reading. New York: Simon and Schuster, Inc.

Barak, G., Leighton, P., & Flavin, J. (2010). Class, Race, Gender, and Crime: The Social Realities of Justice in America (Third Edition). Maryland: Rowman & Littlefield Publishers.

Baswir, R. (2003). Di Bawah Ancaman IMF. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

(2003). Terjajah di Negeri Sendiri: IMF dan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Jakarta: Elsam.

Brezina, C. (2012). Understanding the Gross Domestic Product and the Gross National Product. New York: The Rosen Publishing Group.

Burke, R. H. (2009). An Introduction to Criminological Theory Third Edition. UK: Willan Publishing.

Copelovitch, M. S. (2010). The International Monetary Fund in the Global Economy: Banks, Bonds, and Bailouts. Cambridge: Cambridge University Press.

Gould, E. R. (2006). Money Talks: Supplementary Financiers and IMF Conditionality. dalam G. Ranis, J. R. Vreeland, & S. Kosack, Globalization and the Nation State: The impact of the IMF and the World Bank (hal. 143-180). New York: Routledge.

(39)

Harinowo, C. (2004). IMF: Penanganan Krisis & Indonesia Pasca-IMF. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Harvey, D. (2010). Imperialisme Baru: Genealogi dan Logika Kapitalisme Kontemporer. Yogyakarta & Jakarta: Resist Book & Insititute for Global Justice.

(2009). Neoliberalisme dan Restorasi Kelas Kapitalis. Yogyakarta: Resist Book.

Jessop, B. (2012). Marxist Approaches to Power. dalam E. Amenta, K. Nash, & A. Scott (eds), The Wiley-Blackwell Companion to Political Sociology (hal. 2-14). Oxford: Wiley Blackwell.

Killick, T. (1995). IMF Programmes in Developing Countries: Design and Impact. New York: Routledge.

Larson, C. J., & Garrett, G. R. (1996). Crime, Justice, and Society. California: Altamira Press.

Lenin, V. I. (1999). Imperialism: The Highest Stage of Capitalism. Chippendale Resistance Books

Leonard, T. M. (2006). Encyclopedia of the Developing World. New York: Routledge.

Liembono, R. H. (2016). Analisis Fundamental. Jakarta: MIC.

Marx, K., & Engels, F. (1998). The German Ideology: Including Theses on Feuerbach and Introduction to The Critique of Political Economy. New York: Prometheus Books.

(1948). The Communist Manifesto. New York: International Publishers.

(40)

Parsons, W. (2005). Public Policy: Pengantar Teori Praktik Analisis Kebijakan. Jakasrta: Kencana Prenada Media Group.

Quinney, R. (1979). Criminology: Second Edition. USA: Scott Foresman.

(2000). Bearing Witness to Crime and Social Justice. Albany: State University of New York Press.

Rafick, I. (2008). Catatan Hitam Lima Presiden Indonesia: Sebuah Investigasi 1997-2007, Mafia Ekonomi, dan Jalan Baru Membangun Indonesia. Jakarta: Ufuk Publishing House.

Smith, A., Stenning, A., & Willis, K. (2008). Social Justice and Neoliberalism: Global Perspectives. London: Zed Books.

Sulhin, I. (2008). Kapitalisme dan Masa Depan Kebijakan Anti Kemiskinan di Indonesia. Depok: FISIP UI Press.

Sutherland, E. H., Cressey, D. R., & Luckenbill, D. F. (1992). Principles of Criminology: 11th Edition. Lanham: General Hall.

Suyatno, T., dkk. (2007). Kelembagaan Perbankan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Stiglitz, J. E. (2003). Globalisasi dan Kegagalan Lembaga-lembaga Keuangan Internasional. Jakarta: Ina Publikatama.

Vito, G. F., & Maahs, J. R. (2017). Criminology: Theory, Research, and Policy. Burlington: Jones & Bartlett Learning.

Vreeland, J. R. (2007). The International Monetary Fund: Politics of Conditional Lending. New York: Routledge.

Wibowo, I. (2011). Negara dan Para Bandit Demokrasi. Jakarta: Kompas.

(41)

Aluko, F., & Arowolo, D. (2010). Foreign Aid, the Third World’s Debt Crisis and the Implication for Economic Development: The Nigerian Experience. African Journal of Political Science and International Relations , 4(4), 120-127.

Biersteker, Thomas J. (1990). Reducing the Role of the State in the Economy: A Conceptual Exploration of IMF and World Bank Prescriptions. International Studies Quarterly, 34(4), 477-492.

Bullard, N., Bello, W., & Mallhotra, K. (1998). Taming the Tigers: The IMF and the Asian Crisis. Third World Quarterly, 19(3), 505-555.

Copelovitch, M. S. (2010). Master or Servant? Common Agency and the Political Economy of IMF Lending. International Studies Quarterly, 54, 49-77.

Dreher, A., Sturm, J. E., & Vreeland, J. R. (2015). Politics and IMF Conditionality. Journal of Conflict Resolution, 59(1), 120-148.

Dreher, A., & Jensen, N. M. (2007). Independent Actor or Agent? An Empirical Analysis of the Impact of U.S. Interests on International Monetary Fund Conditions. The Journal of Law & Economics, 50(1), 105-124.

Harvey, D. (1976). The Marxian Theory of the State. A Radical Journal of Geogra-phy, 8(2), 174-181.

Litonjua, M. D. (2008). The Socio-Political Construction of Globalization. International Review of Modern Sociology, 34(2), 253-278.

Marinova, N. (1999). Indonesia’s Fiery Crises. Journal of Environment & Development, 8(1), 70-81.

Martinez-Diaz, L. (2006). Pathways Through Financial Crisis: Indonesia. Global Governance, 12(4), 395-412.

(42)

Nooruddin, I., & Simmons, Joel W. (2006). The Politics of Hard Choices: IMF Programs and Government Spending. International Organization, 60(4), 1001-1033.

Quinney, R. (1978). The Production of A Marxist Criminology. Contemporary Crises, 2(3), 277-292.

Ramli, R., & Nuryadin, P. (2007). Ten Years after: Impact of Monetarist and Neoliberal Solutions in Indonesia. Economic and Political Weekly, 42(50), 79-88.

Robinson, W. I. (2015). The Transnational State and the BRICS: A Global Capitalism Perspective. Third World Quarterly, 36(1), 1-21.

Tahirou, Y. S. (2013). The Role of the International Monetary Funds (IMF) in the East Asian Debt Crisis of 1997. Journal of Undergraduate Research at Minnesota State University, Mankato, 13(9), 1-25.

Berita Online

Wisnoe Moerti, Sejarah Panjang Kenaikan Harga BBM dari Soeharto hingga Jokowi

diakses dari https://www.merdeka.com/uang/sejarah-panjang-kenaikan-harga-bbm-dari-soeharto-hingga-jokowi.html pada 23 April 2017 pukul 12.31 WIB.

Diemas Kresna Duta, Kuntoro: Kenaikan BBM 1998 Kebijakan Sepihak Soeharto, diakses dari

http://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20150521231024-85-54918/kuntoro-kenaikan-bbm-1998-kebijakan-sepihak-soeharto/ pada 23

April 2017 pukul 12.51 WIB.

(43)

Independent Evaluation Office (IEO) of the IMF. (2003). The IMF and Recent Capital Account Crises: Indonesia, Korea, Brazil (Evaluation Report). New York: International Monetary Fund.

Chidley, Liz. (2002). Forests, People and Rights: A Down to Earth Special Report. London: Down to Earth (DTE)

Tesis

Handiko, Kafi. (2005). Realisasi Program Pemulihan Ekonomi Indonesia di bawah Arahan IMF/LOI (Letter of Intent) 1997-1998. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Program Magister Ilmu Hubungan Internasional. Universitas Indone-sia. Depok.

Kamasan, Agung. (2009). Privatisasi BUMN di Indonesia: Kasus Pengambilalihan Saham PT. Indosat Tbk. oleh Temasek Holding pada Tahun 2002. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Program Magister Ilmu Hubungan Internasional. Universitas Indonesia. Depok.

Lema, Yohanis Fransiskus. (2004). Implikasi Agreement on Agriculture WTO dan Letter of Intent IMF terhadap Produsen Gula Indonesia Periode 1995 – 2003. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Program Magister Ilmu Hubungan In-ternasional. Universitas Indonesia. Depok.

Mashuri. (2004). Analisa Pelaksanaan Letter of Intent (LoI) RI-IMF di Era Pemerin-tahan Soeharto, Habibie, dan Abdurrahman Wahid. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Program Magister Ilmu Hubungan Internasional. Universitas In-donesia. Depok.

(44)

Vinita, Tia. (2012). Implikasi Letter of Intent dalam Kebijakan Impor Beras Indone-sia (2004-2010). Fakultas Ilmu SoIndone-sial dan Ilmu Politik Program Magister Ilmu Hubungan Internasional. Universitas Indonesia. Depok.

Skripsi

Andriyanto, Tri. (2012). Pengaruh Letter of Intent IMF terhadap Pelemahan Keta-hanan Pangan Beras Indonesia 1995-2009. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik program studi Hubungan Internasional. Universitas Indonesia. Depok. Rachmawidyadini, Atika. (2012). Studi Komparatif Kasus BLBI pada Masa Orde

Gambar

Tabel 1 Program Pemulihan MKEK Indonesia-IMF 1997
Tabel diolah penulis dari berbagai sumber.

Referensi

Dokumen terkait