• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ratifakasi Perjanjian Internasional di N

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Ratifakasi Perjanjian Internasional di N"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL

NEGARA VIETNAM

Oleh : Irawan Suharto

Pendahuluan

Perjanjian internasional merupakan satu bagian yang sangatlah penting dalam hukum internasional. Hal ini timbul sebagai konsekuensi dari adanya hubungan antar negara-negara di dunia, yang berkembang pada era globalisasi ini sehingga mencakup hubungan antar negara dengan organisasi internasional,maupun antara organisasi internasional dengan organisasi ternasional lainnya. Sekarang ini terdapat dua konvensi yang mengatur tentang perjanjian internasional, yaitu Konvensi Wina Tahun 1969 tentang Perjanjian Internasional yang dibuat antar negara (Vienna Convention on The Law of Treaties) dan Konvensi Wina Tahun 1986 tentang Perjanjian Internasional antara Negara dan Organisasi Internasional atau antar Organisasi Internasional (Vienna Convention on The Law of Treaties between States and International Organizations or between International Organizations). Dalam tulisan ini yang akan digunakan adalah Konvensi Wina Tahun 1969 karena pembahasannya terkait dengan Perjanjian Internasional dengan negara sebagai subjek dari pembuat perjanjian internasional itu sendiri.

Terminologi treaty yang digunakan dalam Konvensi Wina 1969 menunjuk pada perjanjian internasional secara umum dan bukan hanya menunjuk pada definisi sempit dari treaty atau traktat sebagai jenis dari suatu perjanjian internasional.1 Merujuk pada Konvensi Wina 1969,

pengertian perjanjian internasional sebagaimana yang dikemukakan oleh Ian Brownlie2

1 ILC Draft Articles with Commentaries, Sidang ke-18, 1966, Yearbook of The International Law Commission, Vol. III, hlm. 189; Public International Law, Edisi ke-3, Alina Kaczorowska, Old Bailey Press, 2005, hlm. 231

2 Ian Brownlie, Principles of Public International Law, (Oxford University Press, 3rdedition, 1979), hlm. 602. Lihat

(2)

“Treaty as an international agreement concluded between states in written form and governed by international law, whether embodied in a single instrument or in two or more related instruments and what ever its particular designation”.

adalah :

Yang berarti perjanjian sebagai suatu persetujuan yang dibuat antar negara dalam bentuk tertulis dan diatur oleh hukum internasional, apakah dalam instrumen tunggal atau dua atau lebih instrumen yang berkaitan apapun nama yang diberikan padanya.

Pada kerangka teoritis Mochtar Kusumaatmadja merumuskan perjanjian internasional dengan rumusan yang lebih luas3, yaitu:

“Perjanjian Internasional adalah perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa yang bertujuan untuk mengakibatkan akibat-akibat hukum tertentu dan karena itu untuk dapat dinamakan perjanjian internasional, perjanjian itu harus diadakan oleh subjek-subjek hokum internasional yang menjadi anggota masyarakat internasional”.

Rumusan Masalah

1. Bagaimana ketentuan ratifikasi perjanjian internasional menurut konvensi wina ? 2. Bagaimana proses dan pelaksanaan ratifikasi perjanjian internasional di negara vietnam?

Kerangka Teoritik

Hubungan antara hukum internasional dan hukum dalam negeri dapat dijelaskan oleh dari membandingkan teori monisme dan dualisme. Teori monisme berpendapat bahwa hukum internasional dan hukum nasional merupakan bagian dari sistem hukum yang sama, yang dapat diberlakukan dalam hukum nasional atau internasional, dan internasional akan berlaku di mana ada konflik. Sebaliknya, teori dualisme berpendapat bahwa hukum internasional dan hukum dalam negeri beroperasi di berbagai bidang dan mengatur sistem hukum yang berbeda (Fitzmaurice 1957). Berdasarkan teori dualisme, hukum nasional mengatur kegiatan internal

(3)

negara dan konstituennya dan hukum internasional mengatur hubungan antara negara-negara. Hukum internasional harus diratifikasi ke dalam hukum nasional sebelum membuat 4

Sehubungan dengan status perjanjian internasional dalam hukum nasional, doktrin inkorporasi dan transformasi mencerminkan penerapan masing-masing antara teori monoisme dan dualisme.

Doktrin inkorporasi, yang mencerminkan teori monoisme, berpendapat bahwa aturan hukum internasional menjadi bagian dari hukum nasional tanpa tegas diadopsi oleh badan legislatif atau pengadilan negari (Shaw 1997) -yang Hasil di penggabungan ke dalam sistem hukum nasional. Hukum internasional dikatakan self-excuting. Sehubungan dengan perjanjian, perjanjian diratifikasi oleh negara akan dimasukkan ke dalam hukum nasional segera di berlakunya.

Sebaliknya, doktrin transformasi, yang mencerminkan teori dualis, berpendapat bahwa aturan hukum internasional tidak menjadi bagian dari hukum nasional sampai mereka telah tegas dan sengaja diberlakukan dalam hukum nasional dengan menggunakan konstitusional yang sesuai, misalnya, oleh bagian hukum melalui badan legislatif negara (Shaw 1997). Tanpa transformasi, hak dan kewajiban dalam perjanjian internasional tidak dapat diberlakukan di ranah nasional; mereka beroperasi hanya dalam mekanisme sengketa internasional5

Sebagian besar dunia, dengan pengecualian dari sejumlah wilayah saat ini dan mantan dari Kerajaan Inggris dan koleksi negara lain, mengambil pendekatan penggabungan perjanjian keputusan. Ini sebagian besar merupakan hasil dari doktrin fundamental pacta sund servanda. Prinsipnya diberi kekuatan perjanjian dalam Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian tahun

4 Balkin, R., 1997. ‘Chapter 5: International law and domestic law’, in S. Blay, R. Piotrowicz and B.M. Tsamenyi, Public International Law: an Australian perspective, Oxford University Press, Melbourne:119–45.

(4)

1969, Pasal 26 yang mengatur bahwa "setiap perjanjian internasional yang ada akan mengikat semua Pihak Negara dan dilaksanakan secara sukarela oleh mereka '(Vu Duc Long, akan datang).

Pembahasan

Ketentuan Ratifikasi Perjanjian Internasional Menurut Konvensi Wina

Konvensi Wina, yang disebut dengan Vienna Convention on the Law of Treaties 1969, mengatur tentang perjanjian internasional publik antar negara sebagai subjek utama hukum internasional. Konvensi Wina merupakan induk perjanjian internasional bagi negara-negara yang menandatangani konvensi tersebut. Konvensi ini telah menjadi hukum internasional positif.6

Konvensi Wina mengatur ketentuan tentang ratifikasi pada Pasal 14 ayat 1 yang menyatakan sebagai berikut :

1. The consent of a state to be bound by a treaty is expressed by ratification when : a. the treaty provides for such consent to be expressed by means of ratification;

b. it is otherwise established that the negotiating states were agreed that ratification should be required;

c. the representative of the state has signed the treaty subject to ratification; or

d. the intention of the state to sign the treaty subject to ratification appears from the full powers of its representative or was expressed during the negotiation.7

1. (Persetujuan suatu negara terikat pada suatu perjanjian dinyatakan dengan cara ratifikasi, apabila:

a. perjanjian itu sendiri menentukan bahwa persetujuan untuk terikat pada perjanjian itu dinyatakan dengan cara ratifikasi;

b. ditentukan sebaliknya bahwa negara-negara yang melakukan perundingan menyepakati bahwa dibutuhkan adanya ratifikasi;

c. wakil dari negara yang telah mendatangani perjanjian tunduk pada tindakan ratifikasi; atau

d. maksud dari negara yang menandatangani perjanjian tunduk pada tindakan ratifikasi yang tampak dari kuasa penuh dari wakilnya itu atau dinyatakan selama dalam perundingan).

6 Boer Mauna, Hukum Internasional Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika

Global, PT. Alumni, Bandung, 2005, hal. 83.

7 Vienna Convention On The Law of Treaties, done at Vienna, on 23 May 1969, Come into

(5)

Meskipun Konvensi Wina 1969 secara substansial mencantumkan ratifikasi, namun secara detail bagaimana ratifikasi tersebut harus dilakukan oleh sebuah negara, Konvensi Wina tidak mengatur.

Kenyataannya prosedur ratifikasi ditentukan oleh hukum nasional sesuai dengan konstitusi masing-masing negara.8 Dengan adanya perumusan tentang ratifikasi sebagai “the international act so named by a state establishes on the international plane its consent to be bound by a

treaty”, Kovensi Wina menghindari perumusan prosedur ratifikasi. Karena praktik dari berbagai negara menunjukan proses atau cara ratifikasi yang berbeda-beda, seperti telah dikemukakan oleh Gerhard von Glahn “Virtually every state has developed detailed domestic regulations spelling out the process of treaty ratification”. Di Amerika Serikat misalnya, seperti juga di Indonesia, ratifikasi oleh badan legislatif dan eksekutif. Di Inggris, ratifikasi dilakukan oleh takhta atas nasihat menteri yang bersangkutan. Di negara-negara tertentu lainya ratifikasi dilakukan oleh kabinet atas saran menteri yang bersangkutan.9

Proses Ratifikasi Perjanjian

Dalam sudut pandang negara Vietnam ratifikasi perjanjian internasional sendiri diatur dalam Undang-undang tahun 1998 yang menggantikan Undang-undang 1989 yang sudah, dimana peraturan ini lebih luas dan mengatasi beberapa kekurangan dari pendahulunya. Khususnya, ia menetapkan tahu lebih jelas aturan yang akan diterapkan oleh Vietnam dalam negosiasi perjanjian, tanda tangan dan ratifikasi dan efek perjanjian hukum nasional . Tujuan dari peraturan ini adalah untuk menentukan aturan yang berkaitan dengan praktek perjanjian di Vietnam dan

8 Harjono, Politik Hukum Perjanjian Internasional, PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1999, hal. 131. 9 Budiono Kusumohamidjojo, Suatu Studi Terhadap Aspek Operasional Konvensi Wina Tahun

(6)

memberikan rinci untuk pelaksanaan kekuasaan konstitusional. Peraturan ini terdiri dari enam bab, yang kemudian dibagi lagi menjadi 35 pasal.

Pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan peraturan jika berkenaan dengan (pasal 4) :

1. Keamanan nasional, perbatasan, territorial dan kedaulatan negara (pasal 4 (2)(b)) 2. hak dan kewajiban warga negara (Pasal 4 (2) (b ))

3. organisasi regional dan internasional penting yang universal (Pasal 4 (2) (isi c)) 4. kesepakatan yang lain yang disetujui 0leh para penandatangan (Pasal 4 (2) (d)).

Negara dengan sistem perjanjian incorporation biasanya membutuhkan persetujuan parlemen dari perjanjian yang berisi ketentuan bertentangan dengan, atau belum dinyatakan dalam, hukum yang ada. Meskipun Majelis Nasional tidak kompeten untuk memutuskan apakah atau tidak untuk memulai negosiasi dan menandatangani perjanjian internasional,10 proses evaluasi dan

pertimbangan oleh pemerintah dan Majelis Nasional merupakan langkah pertama di Vietnam menuju suatu proses persetujuan parlemen.

Undang-undang memberikan Majelis Nasional untuk menerima informasi yang luas untuk membantu pertimbangannya perjanjian. Pasal 5 (4) menyatakan bahwa laporan mengusulkan negosiasi dan penandatanganan perjanjian internasional harus disertakan :

• tujuan perjanjian, terutama dampaknya pada hak dan kewajiban Vietnam

• evaluasi politik, ekonomi dan dampak keuangan sosial

• evaluasi ketaatan Pasal 3 peraturan dan ketentuan-ketentuan lain dari hukum

• pendapat dari Kementerian Luar Negeri dan departemen terkait lainnya

• judul perjanjian, nama yang ditandatangani, dan jangka waktu yang untuk penerapan

• masalah yang memerlukan komentar.

(7)

Kemudian dalam Pasal 6 berisi rincian lembaga yang kompeten untuk memutuskan apakah Vietnam akan bernegosiasi dan menandatangani perjanjian setelah proposal untuk negosiasi dan tanda tangan telah dipertimbangkan sesuai dengan Pasal 5. Yaitu :

• presiden, yang akan melakukannya atas nama negara

• Pemerintah atas nama pemerintah

• Komite Tetap Majelis Nasional, dalam konsultasi dengan pemerintah, yang memutuskan

negosiasi dan penandatanganan perjanjian internasional oleh Mahkamah Agung Rakyat dan Rakyat Agung procuracy

• kepala departemen, dengan izin dari Perdana Menteri, atas nama kementerian

masing-masing.

Proses ratifikasi dan persetujuan perjanjian diatur dalam Pasal 9-11,10 Pasal 9 menyatakan bahwa lembaga mengusulkan perjanjian internasional harus melaporkan kepada pemerintah dalam waktu 15 hari dari penandatanganan, menyediakan ringkasan dari isi perjanjian dan proposal untuk ratifikasi atau approval.11

Pasal 9 (2) menyatakan bahwa dokumen-dokumen mengusulkan ratifikasi harus menyertakan

• evaluasi dampak perjanjian pada Vietnam

• proposal yang diperlukan pada ratifikasi atau persetujuan

• pendapat dari kementerian yang bersangkutan

• isi setiap reservasi.

Pasal 10 menyatakan bahwa perjanjian yang membutuhkan ratifikasi adalah mereka

• diatur dalam Pasal 4 (2) (a) dan 4 (2) (b)

• yang berisi ketentuan-ketentuan yang bertentangan dengan, atau belum diatur dalam,

hukum Vietnam

(8)

Dalam proses ratifikasi sendiri pemerintah harus mengusulkan kesimpulan dan perjanjian berkoordinasi dengan departemen luar negeri untuk menyerahkan menyerahkan kepada presiden proposal untuk ratifikasi. Presiden memiliki 30 hari untuk memberikan pendapat atas pengajuan. Setelah keputusan untuk meratifikasi telah dibuat, Departemen Luar Negeri memiliki 15 hari untuk menempatkan prosedur diplomatik yang diperlukan untuk menyelesaikan perjanjian, termasuk memberitahukan instansi terkait efek perjanjian itu.

Proses persetujuan perjanjian internasional diatur dalam Pasal 11.12 pasal tersebut

menyatakan bahwa perjanjian internasional yang ditandatangani atas nama pemerintah atau kementerian dan yang berisi ketentuan tentang persetujuan atau ketentuan yang bertentangan dengan atau belum diatur oleh dokumen hukum dari Pemerintah memerlukan persetujuan dari pemerintah. pasal 11 (3) dan 11 (4) detail proses persetujuan, yang mirip dengan proses ratifikasi yang diuraikan di atas.

Bahasa yang digunakan dalam ratifikasi ialah Bahasa asing yang harus diterjemahkan dalam Bahasa Vietnam sebagaimana yang sudah diatur dalam pasal 13. Pasal 17 berkaitan dengan efek perjanjian internasional dan menyatakan bahwa perjanjian internasional akan mulai berlaku di Vietnam sesuai dengan ketentuan perjanjian atau di bawah pengaturan lain yang dibuat antara pihak penandatanganan. Pasal tersebut juga menyatakan bahwa perjanjian mungkin berlaku sementara dalam keadaan di mana kesimpulan penuh perjanjian adalah tergantung pada terjadinya peristiwa kemudian di bawah kendali negara.

Pelaksanaan perjanjian internasional

(9)

Pasal 23 mengatur bahwa Vietnam harus teliti dalam mengamati perjanjian internasional yang telah diratifikasi . Pasal 24 menjamin pelaksanaan perjanjian internasional harus sesuai syarat berikut :

• Instansi yang mengusulkan kesimpulan dari perjanjian internasional tunduk kepada rencana

pemerintah tentang pelaksanaan perjanjian tersebut, jelas menyatakan jadwal pelaksanaan, langkah-langkah organisasi, manajerial dan keuangan dan saran lain untuk menjamin pelaksanaan perjanjian.

• Kementerian dan / atau kementerian yang terkait wajib, dalam fungsi mereka, tugas dan kekuasaan, melaksanakan perjanjian internasional yang sudah diratifikasi oleh Vietnam.

• dalam kasus di mana sebuah perjanjian internasional dilanggar, lembaga yang mengusulkan

ratifikasi dari perjanjian atau lembaga negara yang bersangkutan akan berkoordinasi dengan Departemen Luar Negeri dalam mengusulkan langkah-langkah pemerintah yang diperlukan untuk melindungi hak-hak dan kepentingan Vietnam yang sah.

• setiap tahun, dan ketika diminta, lembaga yang mengusulkan ratifikasi dari perjanjian

internasional dan lembaga negara terkait harus menyampaikan kepada pemerintah dan laporan presiden tentang pelaksanaan perjanjian internasional menyimpulkan. Laporan tersebut juga harus disampaikan ke Kementerian Luar Negeri untuk monitoring.

(10)

KESIMPULAN

Meskipun undang memberikan aturan rinci tentang prosedur mengenai kesimpulan, proses dan pelaksanaan perjanjian di Vietnam, namun tidak secara jelas menentukan apakah perjanjian yang telah diratifikasi adalah self-executing atau membutuhkan berlakunya undang-undang untuk memasukkan kewajiban perjanjian dalam hukum nasional Vietnam. Pertanyaan apakah proses pembuatan perjanjian-mencerminkan penggabungan atau transformasi pendekatan adalah salah satu yang penting. Karena Vietnam jarang menetapkan undang-undang untuk 'mengubah' ketentuan perjanjian internasional ke dalam hukum nasional, jika peraturan dan praktek di Vietnam mencerminkan pendekatan transformasi, maka kekuasaan hukum yang dibentuk dalam perjanjian internasional tidak akan menggantikan hukum nasional di Vietnam, mereka tidak akan dapat dilaksanakan dan Vietnam tidak akan memenuhi kewajiban internasionalnya.

(11)

DAFTAR PUSTAKA

Balkin, R., 1997. ‘Chapter 5: International law and domestic law’, in S. Blay, R. Piotrowicz and B.M. Tsamenyi, Public International Law: an Australian perspective, Oxford University Press, Melbourne:119–45.

Boer Mauna, Hukum Internasional Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, PT. Alumni, Bandung, 2005

Budiono Kusumohamidjojo, Suatu Studi Terhadap Aspek Operasional Konvensi Wina Tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional, Binacipta, Bandung, 1986.

Harjono, Politik Hukum Perjanjian Internasional, PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1999.

Ian Brownlie, Principles of Public International Law, (Oxford University Press, 3rd edition,

1979), hlm. 602. Lihat pula pasal 2 (1) Konvensi Wina Tahun 1969.

Referensi

Dokumen terkait

Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui kondisi optimum parameter-parameter yang mempengaruhi proses ekstraksi oleoresin jahe

Berdasarkan hasil penelitian Mega Iswari (Thesis S2 1998), tantang sistem layanan dalam birnbingan belajar terhadap anak tuna netra di Seko!ch Luar Biasa Tunan netra

Hijab adalah selembar kain yang menutupi aurat rambut wanita dari pandangan yang bukan mukhrimnya, dan pemakaian hijab merupakan salah satu ketentuan yang berlaku dalam

Hal inilah yang mungkin terjadi pada penelitian ini, dimana seluruh subyek dengan asupan rendah namun kadar hemoglobin darah normal, sehingga tidak terdapat hubungan antara

Menurut Komalasari (2010: 62) terdapat beberapa tipe dalam cooperative learning diantaranya, (1) Number Head Togther (Kepala Bernomor) model pembelajaran dimana

1,2,3 Menurut United States National Center for Health Statistic, kematian janin atau fetal death dibagi menjadi Early Fetal Death, kematian janin yang terjadi

Dari hasil penelitian yang telah dianalisa menggunakan Uji Pearson untuk melihat hubungan yang bermakna antara variabel independen dengan dependen yakni ; adanya

Pengembangan kurikulum prodi pendidikan IPA FIP Unhasy yang dibuat oleh penulis sudah memuat capaian pembelajaran tersebut mencakup empat aspek yaitu sikap, pengetahuan,