• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pada negara- negara berkembang, HIV/AIDS merupakan salah satu ancaman

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pada negara- negara berkembang, HIV/AIDS merupakan salah satu ancaman"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

1

A. Latar Belakang

Human immunodeficiency virus atau Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS) merupakan salah satu penyebab utama kematian global

(Saraceni et. al., 2014). Banyak Negara miskin yang sangat dipengaruhi oleh epidemi HIV/AIDS ditinjau dari jumlah infeksi dan dampak yang ditimbulkan. Pada negara- negara berkembang, HIV/AIDS merupakan salah satu ancaman terbesar terhadap pembangunan sosial ekonomi, stabilitas dan keamanan (Anonim, 2007). Oleh karena itu, WHO memberi perhatian khusus pada kasus-kasus HIV/AIDS di dunia dan diperlukan penelitian berkelanjutan mengenai HIV/AIDS dan antiretroviral (Depnakertrans RI, 2005).

Data terakhir mengenai jumlah prevalensi kasus HIV di Indonesia sampai dengan September 2014 adalah sebanyak 150.296 kasus dengan jumlah kematian AIDS sebanyak 9.796 kasus (Ditjen PP&PL, 2014b). Prevalensi HIV di Indonesia secara kumulatif masih relatif rendah yaitu sebesar 0,3% dari populasi penduduk, akan tetapi data UNAIDS, UNICEF, WHO dan ADB (2011) menunjukkan bahwa Indonesia merupakan Negara dengan pertumbuhan epidemik HIV yang tercepat di Asia. Dalam kurun waktu 7 tahun yaitu tahun 2005 hingga 2012, peningkatan kasus HIV di Indonesia mencapai 25 kali lipat (Ditjen PP&PL, 2012b). Faktor-faktor penyebab peningkatan kasus HIV/AIDS antara lain adalah resistensi

(2)

terhadap obat anti retroviral (ARV) lini pertama, surveilans ARV belum berjalan baik, dan penyediaan ARV lini kedua belum mencukupi (Anonim, 2007).

Antiretroviral mampu membuat orang yang terinfeksi HIV/AIDS dapat hidup secara aktif dengan sedikit atau bahkan tanpa gejala (Pinsky and Douglas, 2009). Meskipun ARV telah terbukti dapat meningkatkan kelangsungan hidup dan meminimalkan Resiko perkembangan infeksi oportunistik, namun ARV memiliki efek yang tidak diinginkan (adverse effect) dalam penggunaannya (Dumond dan Kashuba, 2009). Keberhasilan pengobatan HIV/AIDS salah satunya ditentukan oleh ketepatan dalam penggunaan Antiretroviral. Penggunaan obat tidak tepat dapat menyebabkan timbulnya reaksi obat tidak diinginkan, memperparah penyakit hingga kematian serta biaya yang semakin mahal (Kemenkes RI, 2011).

Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr.Sardjito Yogyakarta merupakan salah satu rumah sakit rujukan yang melayani pasien HIV/AIDS untuk Daerah Istimewa Yogyakarta. Hal inilah yang menjadi dasar peneliti untuk melakukan evaluasi penggunaan obat antiretroviral pasien rawat jalan di RSUP Dr.Sardjito periode Januari 2014- Desember 2014.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut maka dapat diuraikan perumusan masalah sebagai berikut:

1. Obat antiretroviral (ARV) apa saja yang digunakan pasien rawat jalan di RSUP Dr. Sardjito periode Januari 2014 - Desember 2014?

(3)

2. Bagaimana ketepatan penggunaan obat antiretroviral pada pasien rawat jalan RSUP Dr. Sardjito periode Januari 2014 - Desember 2014 berdasarkan Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis HIV/AIDS dan Terapi Antiretroviral pada Orang Dewasa?

3. Bagaimana gambaran kepatuhan, respon terapi dan infeksi oportunistik pasien HIV/AIDS yang dirawat di RSUP Dr. Sardjito periode Januari 2014 - Desember 2014?

C. Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mengetahui obat antiretroviral (ARV) yang digunakan pasien rawat jalan di RSUP Dr. Sardjito periode Januari 2014 - Desember 2014.

2. Mengetahui ketepatan penggunaan antiretroviral pada pasien rawat jalan peserta RSUP Dr. Sardjito periode Januari 2014 - Desember 2014 Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis HIV/AIDS dan Terapi Antiretroviral pada Orang Dewasa. 3. Mengetahui gambaran kepatuhan, respon terapi dan infeksi oportunistik pasien

HIV/AIDS yang dirawat di RSUP Dr. Sardjito periode Januari 2014 - Desember 2014.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan:

1. Sebagai informasi bagi tenaga kesehatan yang berhubungan dengan peresepan antiretroviral di RSUP Dr.Sardjito.

(4)

2. Sebagai masukan untuk meningkatkan ketepatan pengobatan HIV/AIDS di RSUP Dr.Sardjito.

3. Meningkatkan pengetahuan dan wawasan bagi peneliti.

4. Sebagai data pembanding maupun sumber pustaka untuk penelitian selanjutnya.

E. Tinjauan Pustaka

1. Human Immunodeficiency Virus / Acquired Immunodeficiency Syndrome a. Definisi HIV/AIDS

Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang menyebar melalui

cairan tubuh yang menyerang sel-sel tertentu dari sistem imun tubuh yaitu sel CD4 atau sel-T. Seiring waktu, HIV dapat menghancurkan sel-sel pada tubuh sehingga sistem imun tubuh tidak mampu melawan infeksi dan penyakit. (CDC,2014). Sistem imun tubuh yang lemah memungkinkan perkembangan infeksi dan kanker sehingga timbul Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) yaitu kumpulan gejala penyakit defisiensi imunitas seluler (Pinsky and Douglas, 2009).

b. Etiologi

Human Immunodeficiency Virus (HIV) termasuk dalam genus retrovirus dan

tergolong ke dalam famili lentivirus. Infeksi dari famili ini memiliki karakteristik yang ditandai dengan sifat latennya yang lama, masa inkubasi yang lama, replikasi virus persisten dan melibatkan susunan saraf pusat (SSP). Ciri khas untuk jenis retrovirus yaitu dikelilingi oleh membran lipid, mempunyai variasi genetik yang

(5)

tinggi, mempunyai cara yang unik untuk replikasi serta dapat menginfeksi seluruh jenis vertebrata (Dirjen Binfar dan Alkes, 2006).

Human Immunodeficiency Virus (HIV) dapat menyerang dan berikatan

dengan sel-sel spesifik pada sistem imun, seperti monosit, makrofag, dan sel-T limfosit. Sel-sel tersebut memiliki protein reseptor spesifik yang dikenal dengan reseptor CD4, HIV memiliki kemampuan berikatan dengan reseptor ini. HIV juga mampu menghambat pembentukan sel CD4 yang baru, sehingga ekspresi sel CD4 akan menurun.

Setiap berikatan dengan reseptor CD4, dibutuhkan protein pendukung untuk melakukan fusi (CCR-5 dan CXCR-4). CCR-5 ditemukan pada monosit dan limfosit T, jumlahnya meningkat tajam pada pasien yang baru terinfeksi HIV. CXCR-4 banyak ditemukan pada limfosit dan jumlahnya meningkat dalam jumlah yang berlebihan pada pasien yang telah menerima terapi ARV dalam jangka waktu yang cukup lama. HIV mengalami fusi dengan sel dan melepaskan RNA virus serta enzim-enzim replikasi ke sitoplasma sel inang. HIV kemudian menggunakan sel yang terinfeksi untuk bertranslasi, bertranskripsi, dan memproduksi virion muda yang dapat keluar dari sel inang.Virion yang sudah dewasa dapat dengan bebas menginfeksi sel lain dan kemudian memproduksi lebih banyak virus (Dumond dan Kashuba,2009). Defisiensi sistem imun akibat HIV menyebabkan timbulnya AIDS yaitu sindrom berupa kumpulan beberapa gejala akibat timbulnya infeksi oportunistik.

(6)

c. Manifestasi klinik

Manifestasi klinik yang terjadi pada pasien AIDS adalah akibat dari infeksi HIV yang menyerang sistem imun tubuh, akibatnya pasien menjadi rentan terhadap berbagai infeksi oportunistik akibat bakteri, virus, protozoa, dan jamur pathogen. Gejala nonspesifik yang umum meliputi demam, keringat dingin, dan penurunan berat badan. Penurunan berat badan dapat disebabkan oleh nausea, muntah, anoreksia, atau diare yang dialami oleh pasien (McPhee dan Hammer, 2010).

Infeksi oportunistik yang paling sering terjadi (75% pasien) adalah infeksi paru-paru akibat Pneumocytis jiroveci. Pasien mengalami demam, batuk, nafas pendek, dan sesak nafas dengan tingkat keparahan bervariasi mulai ringan hingga parah. Selain itu pasien juga beresiko mengalami infeksi paru-paru akibat bakteri S.

pneumonia, H. influenza, atau M. tubercolosis dan infeksi fun C. neoformans, H. capsulatum, atau C. immitis (McPhee dan Hammer, 2010).

d. Stadium Klinis HIV/AIDS

Infeksi HIV memiliki sifat progresif. Bila tidak dilakukan pengobatan, HIV akan menguasasi sistem kekebalan tubuh dan menjadi AIDS. Progresivitas HIV/AIDS dapat dilihat melalui stadium klinik pada tabel I.

(7)

Tabel I. Stadium Klinis Infeksi HIV untuk Dewasa dan Remaja Stadium 1 Asimptomatik

Tidak ada gejala

Limfadenopati Generalisata Persisten Stadium 2 Sakit ringan

Penurunan berat badan bersifat sedang yang tak diketahui penyebabnya (<10% dari perkiraan berat badan atau berat badan sebelumnya)

Infeksi saluran pernapasan yang berulang (sinusitis, tonsillitis, otitis media, faringitis)

Herpes zoster

Kelitis Angularis

Ulkus mulut yang berulang Ruam kulit berupa papel yang gatal Dermatitis seboroik

Infeksi jamur pada kuku Stadium 3 Sakit sedang

Penurunan berat badan bersifat berat yang tak diketahui penyebabnya (lebih dari 10% dari perkiraan berat badan atau berat badan sebelumnya)

Diare kronis yang tidak diketahui penyebabnya lebih dari 1 bulan Demam menetap yang tidak diketahui penyebabnya

Kandidiasis pada mulut yang menetap Oral hairy leukoplakia

Tuberkolosis paru

Infeksi bakteri yang berat (contoh: pneumonia, empiema, meningitis, piomiositis, infeksi tulang atau sendi, bakteraemia, penyakit inflamasi panggul yang berat )

Stomatitis nekrotikans ulserative akut, gingivitis atau periodontitis

Anemi yang tak diketahui penyebabnya (<8g/dl), netropeni (<0.5 x 109/l) dan/atau trombositopeni kronis (<50 x 109/l)

Stadium 4 Sakit berat (AIDS) Sindrom wasting HIV

Pneumonia Pneumocystis jiroveci Pneumonia bakteri berat yang berulang

Infeksi herpes simplex kronis (orolabial, genital atau anorektal selama lebih dari 1 bulan atau visceral dibagian manapun)

Kandidiasis esophageal (kandidiasis trakea, bronkus atau paru) Tuberkulosis ekstra paru

Sarkoma Kaposi

Penyakot Cytomegalovirus (retinitis atau infeksi organ lain, tidak termasuk hati, limpa dan kelenjar getah bening)

Toksoplasmosis di system saraf pusat Ensefalopati HIV*

Pneumonia Kriptokokus ekstrapulmoner, termasuk meningitis Infeksi mycobacteria nontuberculosis yang menyebar Leukoencephalopathy multifocal progresif

Cryptospridiosis kronis Isosporiasis kronis

Mikosis diseminata (histoplasmosis, coccidomycosis) Septikemi yang berulang (termausuk Salmonella non tifoid) Limfoma (serebral atau sel B Hodgkin)

Karsinoma serviks invasif Leishmaniasis diseminata atipikal

Nefropati atau kardiomiopati terkait HIV yang simtomatis Keterangan:P

*Ensefalopati HIV: Gangguan kognitif dan atau disufungsi motoric yang mengganggu aktivitas hidup sehari-hari dan bertambah buruk dalam beberapa minggu atau bulan yang tidak disertai penyakit penyerta lain selain HIV.

(8)

2. Terapi Antiretroviral

a. Prinsip terapi antiretroviral

Prinsip dalam pemberian ARV yang akan diresepkan oleh dokter kepada pasien adalah (Ditjen PP&PL, 2011):

1) Paduan Obat ARV harus menggunakan 3 jenis obat yang terserap berada dalam dosis teraupetik. Prinsip tersebut untuk menjamin efektivitas penggunaan obat,

2) Membantu pasien agar patuh minum obat antara lain dengan mendekatkan askses pelayanan ARV.

3) Menjaga kesinambungan ketersediaan obat ARV dengan menerapkan manajemen logistik yang baik.

Tujuan utama dari ARV adalah (Anonim, 2012a):

1) Mengurangi morbiditas terkait HIV dan memperpanjang durasi dan kualitas hidup.

2) Mengembalikan dan menjaga fungsi imunologi. 3) Mengoptimalkan penekanan viral load HIV plasma 4) Mencegah penularan HIV.

Infeksi oportunistik tidak akan berkembang apabila virus HIV dapat dikontrol dengan baik oleh terapi ARV dan sistem imun dapat berfungsi dengan baik (Pinsky and Douglas, 2009). HIV biasanya menjadi resisten terhadap obat ARV ketika mereka digunakan sendiri setelah beberapa hari sampai beberapa tahun, tergantung pada jenis obat dan individu. Penggunaan kombinasi ARV diperlukan untuk

(9)

menekan replikasi HIV dan mencegah resistensi virus terhadap obat ARV (Pinsky and Douglas, 2009).

b. Golongan obat antiretroviral

Pedoman Pelayanan Kefarmasian untuk Orang dengan HIV/AIDS (2006) menyebutkan bahwa dikenal tiga macam jenis obat antiretroviral di Indonesia berdasarkan mekanisme kerjanya, antara lain:

1) Penghambat masuknya virus

Bekerja dengan cara berikatan dengan subunit Gp 41 selubung glikoprotein virus sehingga fusi virus ke target sel dihambat. Satu-satunya obat penghambat fusi ini adalah enfuvirtid.

2) Penghambat enzim reverse transcriptase

a) Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NRTI)

Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NRTI) diubah secara

intraseluler dalam tiga tahap penambahan tiga gugus fosfat dan selanjutnya berkompetisi dengan natural nukleotida menghambat reverse transcriptase (RT) sehingga perubahan RNA menjadi DNA terhambat. Selain itu NRTI juga menghentikan pemanjangan DNA.

- Analog thymin : zidovudin (ZDV/AZT) dan stavudin (d4T) - Analog cytosine: lamivudine (3TC) dan zalcitabin (ddC) - Analog adenine : didanosine (ddI)

- Analog guanine : abacavir (ABC)

(10)

b) Non-Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NNRTI)

Mekanisme kerjanya tidak melalui tahapan fosforilasi intraseluler tetapi berikatan langsung dengan reseptor pada reverse trancriptase dan tidak berkompetisi dengan nukleotida natural. Aktivitas antiviral terhadap HIV-2 tidak kuat. Contohnya nevirapine (NVP) dan efavirenz (EFV). 3) Penghambat enzim protease/protease inhibitor (PI)

Protease Inhibitor berikatan secara reversible dengan enzim protease yang

mengkatalisa pembentukan protein yang dibutuhkan untuk proses akhir pematangan virus. Akibatnya virus yang terbentuk tidak masuk dan tidak mampu menginfeksi sel lain. PI adalah ARV yang potensial. Contohnya saquinavur (SQV), indinavir (IDV), dan nelfinavir (NFV).

c. Regimen lini pertama antiretroviral (ARV)

Penggunaan obat dikatakan rasional jika pasien menerima obat sesuai dengan kebutuhannya untuk periode waktu yang cukup dengan harga yang sesuai untuknya dan masyarakat (Ditjen Binfar dan Alkes,2006). Pemerintah menetapkan panduan yang digunakan dalam pengobatan ARV berdasrakan lima aspek yaitu efektivitas, efek samping/toksisitas, interaksi obat, kepatuhan dan harga obat.

Anjuran pemilihan ARV lini pertama dapat dilihat pada tabel II.

(11)

Tabel II. Anjuran Pemilihan Obat ARV Lini Pertama

AZT +3TC + NVP (Zidovudine + Lamivudine + Nevirapine)

ATAU

AZT + 3TC + EFV (Zidovudine + Lamivudine + Efavirenz)

ATAU

TDF + 3TC (atau FTC) + NVP

(Tenofovir + Lamivudine (atau Emtricitabine) + Nevirapine)

ATAU

TDF + 3TC (atau FTC) + EFV

(Tenofovir + Lamivudine (atau Emtricitabine) + Efavirenz) Sumber: Ditjen PP&PL, 2011

Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis HIV/AIDS untuk Orang Dewasa dan Terapi Antiretroviral (2011) menyebutkan bahwa prinsip pemilihan Obat ARV yang dianjurkan adalah :

1) Pilih lamivudine (3TC) atau emcitarabine (FTC).

2) Dua golongan dari Nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NRTI) dan zidovudin (AZT).

Berikut adalah panduan lini pertama yang perlu diperhatikan untuk penderita HIV/AIDS yang belum pernah diterapi ARV dapat dilihat pada tabel III.

(12)

Tabel III. Panduan Lini Pertama yang Perlu Diperhatikan untuk Penderita HIV/AIDS yang Belum Pernah Mendapat Terapi ARV

Populasi Target Pilihan yang direkomendasikan Catatan Dewasa dan anak

AZT atau TDF + 3TC (atau FTC) + EFV atau NVP

Merupakan pilihan panduan yang sesuai untuk sebagian besar pasien. Gunakan FDC jika tersedia. Perempuan

hamil

AZT + 3TC + EFV atau NVP Tidak boleh menggunakan EFV pada trimester pertama. TDF bisa merupakan pilihan.

Ko-infeksi HIV/TB

AZT atau TDF +3TC (FTC) + EFV

Mulai terapi ARV segera setelah terapi TB dapat ditoleransi (antara 2 minggu hingga 8 minggu). Gunakan NVP atau triple NRTI bila EFV tidak dapat digunakan Ko-infeksi HIV/Hepati tis B kronik aktif TDF + 3TC (FTC) + EFV atau NVP Pertimbangkan pemeriksaan HBsAg terutama bila TDF merupakan panduan lini pertama. Diperlukan penggunaan 2 ARV yang memiliki aktivitas anti HBV Sumber: Ditjen PP&PL, 2011

Keterangan: ARV: antiretroviral FDC: Fixed-dose Combination (kombinasi obat antiretroviral dengan dosis yang telah ditetapkan).

d. Regimen Lini Kedua

Obat ARV golongan PI tidak dianjurkan untuk terapi lini pertama, hanya digunakan untuk lini kedua. Penggunaan pada lini pertama hanya bila pasien benar-benar mengalami intoleransi terhadap golongan NNRTI (Ditjen PP&PL,2011).

Rekomendasi panduan lini kedua (Ditjen PP & PL, 2011):

Boosted-PI adalah satu obat dari golongan Protease Inhibitor yang sudah ditambahi (booster) dengan ritonavir sehingga obat tersebut ditulis dengan kode …/r (misal LVP/r = Lopinavir/ritonavir). Penambahan (booster) dengan ritonavir ini dimaksudkan untuk mnegurangi dosis dari obat protease inhibitor (PI) karena

(13)

tanpa ritonavir maka dosis yang diperlukan akan semakin tinggi. Pilihan terapi ARV lini kedua dapat dilihat pada tabel IV.

Tabel IV. Pilihan Terapi Lini Kedua

Populasi target dan ARV yang digunakan

Pilihan Paduan ARV pengganti yang direkomendasikan

Dewasa (termasuk paerempuan hamil) Bila menggunakan AZT sebagai lini pertama TDF+3TC atau FTC+LVP/r Bila menggunakan TDF sebagai lini pertama AZT+3TC+LVP/r Ko-infeksi TB/HIV

Mengingat rifampisin tidak dapat digunakan bersama dengan LVP/r paduan OAT tanpa rifampisin. Jika rifampisin perlu diberikan maka pilihan lain adalah menggunakan LVP/r dengan dosis 800mg/ 2 kali sehari. Perlu evaluasi fungsi hati ketat jika menggunakan rifampisin dengan dosis ganda

LVP/r Ko-infeksi

HIV/HIV

AZT+TDF+3TC+(FTC)+LVP/r

(TDF+(3TC+atau FTC) tetap digunakan meski sudah gagal di lini pertama karena pertimbangan efek anti-HBV.

Sumber: Ditjen PP&PL, 2011

3. Pemantauan Pasien dalam Terapi Antiretroviral

a. Pemantauan Klinis

Frekuensi Pemantauan klinis tergantung dari respon terapi ARV. Sebagai batasan minimal, Pemantauan klinis perlu dilakukan pada minggu 2, 4, 8, 12 dan 24 minggu sejak memulai terapi ARV dan kemudian setiap 6 bulan bila pasien telah mencapai keadaan stabil.

Pada setiap kunjungan perlu dilakukan penilaian klinis termasuk tanda dan gejala efek samping obat atau gagal terapi dan frekuensi infeksi (infeksi bakterial, kandidiasis dan atau infeksi oportunirtik lainnya) ditambah konseling untuk

(14)

membantu pasien memahami terapi ARV dan dukungan kepatuhan (Ditjen PP&PL, 2011).

b. Pemantauan Laboratoris

Rekomendasi pemeriksaan di laboratorium secara berkala:

1) Direkomendasikan untuk melakukan pemantauan CD4 secara rutin setiap 6 bulan, atau lebih sering bila ada indikasi klinis.

2) Untuk pasien yang akan memulai terapi dengan AZT maka perlu dilakukan pengukuran kadar Hemoglobin (Hb) sebelum memulai terapi dan pada minggu ke 4, 8 dan 12 sejak mulai terapi atau ada indikasi tanda dan gejala anemia. 3) Pengukuran ALT (SGPT) dan kimia darah lainnya perlu dilakukan bila ada

tanda dan gejala dan bukan berdasarkan sesuatu yang rutin.

4) Evaluasi fungsi ginjal perlu dilakukan untuk pasien yang mendapatkan TDF. 5) Keadaan hiperlaktatemia dan asidosis laktat dapat terjadi pada beberapa pasien

yang mendapatkan NRTI, terutama d4T atau ddI.

6) Penggunaan Protease Inhibitor (PI) dapat mempengaruhi metabolisme glukosa dan lipid. Beberapa ahli menganjurkan pemeriksaan gula darah dan profil lipid secara reguler tetapi lebih diutamakan untuk dilakukan atas dasar tanda dan gejala.

7) Pengukuran Viral Load (VL) sampai sekarang tidak dianjurkan untuk memantau pasien dalam terapi ARV dalam keadaan terbatas fasilitas dan kemampuan pasien. Pemeriksaan VL digunakan untuk membantu diagnosis gagal terapi (Ditjen PP&PL, 2011).

(15)

4. Toksisitas Antiretroviral

Efek samping atau toksisitas merupakan salah satu aspek yang perlu diperhatikan dalam pemberian ARV. Selain itu, efek samping atau toksisitas ini sering menjadi alasan medis untuk mengganti (substitusi) dan/atau menghentikan pengobatan ARV. Tanda dan gejala yang terjadi pada toksisitas tertera pada tabel V.

Tabel V. Tingkat Toksisitas Obat ARV

Derajat Keadaan Tanda dan Gejala Tatalaksana 1 Reaksi Ringan Suatu perasaan tidak

enak yang tidak menetap; tidak ada keterbatasan gerak

Tidak perlu perubahan terapi

2 Reaksi Sedang Sedikit ada

keterbatasan bergerak kadang-kadang memerlukan sedikit bantuan dan perawatan

Tidak perlu intervensi medis, kalau perlu sangat minimal

3 Reaksi Berat Pasien tidak lagi bebas bergerk, biasanya perlu bantuan dan perawatan

Perlu intervensi medis dan perawatan di rumah sakit. Substitusi obat penyebabnya tanpa menghentikan terapi ARV.

4 Reaksi Berat yang

mengancam jiwa

Pasien terbaring tidak dapat bergerak; jelas memerlukan intervensi medis dan perawatan di rumah sakit

Segera hentikan terapi ARV dan tatalaksana kelainan yang ada (terapi simtomatik dan suportif) dan terapi ARV kembali diberikan dengan mengganti paduan pada salah satu obat yang menjadi penyebabnya pada saat pasien sudah mulai tenang kembali.

Sumber: Ditjen PP&PL, 2011

Golongan NRTI yang paling banyak digunakan adalah zidovudin, lamivudine, emcitrabine, dan tenofovir. Efek samping zidovudine yaitu penekanan sum-sum tulang belakang, mual, muntah, sakit kepala, dan lelah. Lamivudine dan

(16)

emcitarabine masih memiliki efek samping yang rendah. Tenofovir memiliki efek samping yang berhubungan dengan disfungsi ginjal (Reust, 2011).

Golongan NNRTI (nevirapine dan efavirenz) memiliki efek samping ruam dan gangguan pada lipid. Nevirapine dapat menimbulkan efek samping hepatotoksisitas, sedangkan efavirenz memiliki efek samping pada sistem saraf pusat (SSP) seperti gangguan tidur dan kognitif.

Efavirenz juga menyebabkan hyperlipidemia, toksisitas hati, dan tidak direkomendasikan untuk ibu hamil. Efek samping yang terjadi pada penggunaan ARV golongan PI yaitu intoleransi GI, lipohipertrofi, intoleransi glukosa atau diabetes mellitus, dan gangguan pada lipid (Reust, 2011). Tanda dan gejala yang terjadi tertera pada Tabel VI.

(17)

Tabel VI. Subtitusi Obat ARV Indvidual pada Kejadian Toksisitas dan Intoleransi

Obat (ARV)

Toksisitas yang Sering Terjadi Anjuran Subtitusi

AZT Anemia berat atau neutropenia Intoleransi GI yang persisten

TDF d4T Asidosis laktat Lipoatrofi/ sindrom metabolik, neuropati perifer TDF, AZT

TDF Toksisitas renal (disfungsi tubuler)

AZT EFV Toksisitas SSP persisten dan

berat

NVP. Jika NVP tidak dapat diberikan karena adanya riwayat hepatotoksik atau hipersensitifitas berat, dapat dipertimbangkan disubstitusi dengan PI Potensi teratogenik (pada

kehamilan

trimester pertama atau perempuan

tanpa kontrasepsi yang memadai)

NVP Hepatitis EFV. Jika EFV tidak dapat diberikan

karena tetap menyebabkan

hepatotoksikt, dapat dipertimbangkan disubstitusi dengan PI

Reaksi hipersensitif tidak berat

(derajat 1-2)

Jika memburuk dengan diteruskannya NVP, substitusi dengan EFV. Jika tetap memberikan reaksi

hipersensitivitas, dapat dipertimbangkan disubstitusi dengan PI

Ruam kulit berat yang mengancam

jiwa (Stevens-Johnson syndrome)

Hentikan NVP dahulu, lalu NRTI dihentikan 7 hari kemudian. Substitusi dengan PI

Sumber: Ditjen PP&PL, 2011

5. Kepatuhan dan Respon Terapi Pasien HIV/AIDS

a. Kepatuhan

Kepatuhan dalam menggunakan antiretroviral menjadi salah satu penentu kegagalan atau keberhasilan dalam terapi HIV/AIDS. Ketidakpatuhan dapat menyebabkan kegagalan dalam pencegahan replikasi virus dan meningkatkan resiko berkembangnya resistensi virus. Kepatuhan dapat diukur dengan beberapa

(18)

metode antara lain berdasarkan laporan pasien sendiri, pendekatan berbasis apoteker, penghitungan pil, dan monitor secara elektronik (Turner, 2002).

Semua pasien yang menerima antiretroviral harus dipersiapkan secara matang dengan konseling kepatuhan karena penggunaan antiretroviral akan berlangsung seumur hidupnya. Untuk mencapai supresi virologis yang baik diperlukan tingkat kepatuhan terapi ARV yang sangat tinggi. Penelitian menunjukkan bahwa untuk mencapai tingkat supresi virus yang optimal, setidaknya 95% dari semua dosis tidak boleh terlupakan. Resiko kegagalan terapi timbul jika pasien sering lupa minum obat. Kerjasama yang baik antara tenaga kesehatan dengan pasien serta komunikasi dan suasana pengobatan yang konstruktif akan membantu pasien untuk patuh minum obat (Ditjen PP&PL, 2011).

Obat antiretroviral harus digunakan secara rutin dan pada waktu yang tepat. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya ketidakpatuhan. ODHA harus menjadikan penggunaan antiretroviral sebagai aktivitas rutin yang harus dilakukan setiap hari. ODHA yang lupa minum obat lebih dari 5% pegobatannya beresiko meningkatkan kegagalan terapi (Pinsky and Douglas, 2009).

b. Respon Terapi

Keberhasilan terapi dapat dilihat dari tanda-tanda klinis pasien yang membaik setelah terapi, salah satunya dengan infeksi opurtunistik tidak terjadi. Ukuran jumlah sel CD4+ menjadi prediktor terkuat terjadinya komplikasi HIV. Namun jumlah CD4+ di bawah 100 sel/mm3 menunjukan resiko yang signifikan untuk terjadinya penyakit HIV yang progresif. Selain itu, uji viral load merupakan

(19)

cara yang informatif dan sensitif untuk mengidentifikasikan keberhasilan terapi. Pengobatan dikatakan sukses secara virulogik jika tingkat RNA plasma HIV-1 berada di bawah 400 kopi/ml atau 50 kopi/ml setelah 6 bulan terapi (Djoerban, 2006).

Hubungan antara jumlah CD4 dengan Resiko kematian adalah bahwa pasien dengan HAART yang mempunyai jumlah CD4 < 50 sel/mm3 dan 50- 199 sel/mm3 berturut-turut mempunyai resiko kematian 6,67 dan 3,41 kali dibandingkan pasien yang mempunyai jumlah CD4 paling sedikit 200 sel/mm3 (Hogg, dkk., 2001).

6. Pengobatan Rasional

Menurut WHO penggunaan obat rasional bila sesuai dengan kondisi klinis pasien, durasi pengobatan yang adekuat dan dengan harga yang terjangkau. Kriteria pemakaian obat yang rasional, antara lain (Depkes RI, 2008):

a. Tepat diagnosis

Obat yang diberikan sesuai dengan diagnosis yang ditegakkan. Apabila diagnosis tidak ditegakkan dengan benar maka pemilihan obat akan salah.

b. Tepat indikasi

Pengobatan didasarkan atas keluhan individual dan hasil pemeriksaan fisik yang akurat.

c. Tepat pemilihan Obat

Obat yang dipilih harus memiliki efek terapi sesuai dengan penyakit atau merupakan obat pilihan untuk diagnose penyakit yang ditegakkan.

(20)

d. Tepat dosis

Pemberian obat memperhitungkan usia, berat badan dan kronologis penyakit. Apabila salah satu dari empat hal tersebut tidak dipenuhi menyebabkan efek terapi tidak tercapai. Kriteria tepat dosis antara lain:

1) Tepat jumlah yaitu jumlah obat yang diberikan harus dalam jumlah yang cukup.

2) Cara pemberian yang tepat. Sebaiknya rute pemberian obat dilakukan dengan tepat sesuai dengan kondisi pasien.

3) Tepat interval pemberian. Jarak minum obat sesuai dengan aturan pemakaian yang telah ditentukan. Cara pemberian obat hendaknya dibuat sesederhana mungkin dan praktis agar mudah ditaati oleh pasien.

4) Lama pemberian yang tepat. Pada kasus tertentu memerlukan pemberian obat dalam jangka waktu tertentu. Lama pemberian obat ahrus tepat sesuai penyakitnya masing-masing.

e. Tepat penilaian kondisi pasien

Penggunaan obat disesuaikan dengan kondisi pasien, antara lain memperhatikan: kontraindikasi obat, komplikasi, kehamilan, menyusui, lanjut usia, dan bayi.

(21)

F. Keterangan Empirik

Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi penggunaan obat antiretroviral (ARV) pada pasien rawat jalan di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta pada periode Januari 2014 - Desember 2014. Evaluasi penggunaan obat antiretroviral (ARV) pada pasien rawat jalan diperoleh berdasarkan rekam medik pasien kemudian dilihat ketepatannya dengan menggunakan Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis HIV/AIDS dan Terapi Antiretroviral pada Orang Dewasa.

Gambar

Tabel I. Stadium Klinis Infeksi HIV untuk Dewasa dan Remaja
Tabel II. Anjuran Pemilihan Obat ARV Lini Pertama  AZT +3TC + NVP  (Zidovudine  +  Lamivudine  +
Tabel III. Panduan Lini Pertama yang Perlu Diperhatikan untuk Penderita  HIV/AIDS yang Belum Pernah Mendapat Terapi ARV
Tabel IV. Pilihan Terapi Lini Kedua  Populasi  target
+3

Referensi

Dokumen terkait

Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 1 Tahun 2012 tentang Penilaian Mandiri Pelaksanaan Reformasi Birokrasi (Berita Negara Republik

Untuk pengawasan dan pembinaan dari pemerintah terhadap kegiatan usaha pertambangan di wilayah masyarakat hukum adat, perlu penggembangan instrumen- instrumen

Jenis penelitian adalah operational research untuk mengetahui nilai pemakaian dan investasi obat, mengetahui jumlah pemesanan optimum dan waktu pemesanan kembali

Subjek dari penelitian ini adalah perangkat perkuliahan inovatif berdasarkan tingkat otonomi pebelajar yang dikembangkan oleh peneliti dan selanjutnya mahasiswa yang

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 1999/2000, yang merupakan APBN tahun awal era reformasi pembangunan, merupakan proses kelanjutan, peningkatan, perluasan,

Pengukuran kadar kalsium tulang tikus putih (Rattus norvegicus) model ovariektomi dengan terapi pemberian tepung tulang ikan tuna madidihang (Thunnus albacares) pada 4

Peresmian kedua lembaga ini bukan saja perubahan nomenklatur atau pembentukan organisasi baru namun lebih pada perwujudan transformasi penanganan terhadap Anak yang

mengembangkan aspek fisik, keseimbangan antara bermain aktif dan pasif, tidak berbahaya, memiliki nilai kebaikan, memiliki aturan dan tujuan yang jelas [14]. Jumlah