• Tidak ada hasil yang ditemukan

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. kulit yang biasa disebut dengan lemak abdominal. Daging itik dibanding spesies

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II KAJIAN KEPUSTAKAAN. kulit yang biasa disebut dengan lemak abdominal. Daging itik dibanding spesies"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

II

KAJIAN KEPUSTAKAAN

2.1 Itik Cihateup

Itik merupakan salah satu unggas air, ternak ini memiliki kulit yang tebal yang disebabkan oleh adanya lapisan lemak tebal yang terdapat di lapisan bawah kulit yang biasa disebut dengan lemak abdominal. Daging itik dibanding spesies unggas lainnya (itik, ayam, kalkun) mengandung lemak yang lebih tinggi. Lemak unggas, pada umumnya sebagian besar terdiri atas asam lemak tidak jenuh (Pisulewski, 2005).

Klasifikasi itik Cihateup sebagai berikut (Susilorini, 2010): Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Aves Ordo : Anseriformis Famili : Anatidae Genus : Anas

Spesies : Anas platyrhynchos javanica

Itik Cihateup adalah salah satu jenis unggas air lokal yang mempunyai peran penting sebagai penghasil telur dan daging di Indonesia yang berasal dari Desa Cihateup, Kecamatan Rajapolah, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Ternak tersebut sering disebut itik gunung karena tempat hidupnya di dataran tinggi dengan ketinggian 378 m dpl (Wulandari dkk. 2005; Matitaputty, 2012,2014). Karakteristik khas yang dimilikinya adalah warna bulu bagian leher Itik Cihateup jantan didominasi warna penciled dan ekor warna polos, sedangkan

(2)

paruh dan shank didominasi warna hitam. Itik Cihateup betina memiliki warna bulu bagian leher, dada, shank dan ekor yang sedikit berbeda dengan itik jantan yaitu warna laced dan buttercup, sementara pada shank dan paruh tetap didominasi warna hitam (Wulandari dkk., 2005). Produksi telur yang dapat dicapai Itik Cihateup hingga 200 butir/ekor/tahun (Susanti dan Prasetyo, 2007).

Itik Cihateup memiliki beberapa ukuran tubuh seperti ukuran lingkar dada yang lebih besar dibandingkan itik Cirebon dan Mojosari dan itu dapat dijadikan indikasi bahwa itik Cihateup memiliki potensi sebagai penghasil daging (Muzani, 2005). Itik Cihateup jantan umur potong 8 minggu sudah dapat menghasilkan bobot potong 1323,87 g dengan bobot karkas 812,13 g (61,36%). Bagian yang berdaging (paha dan dada) itik Cihateup dapat mencapai 27,14% dan 24,97%, bagian paha itik Cihateup lebih besar dibandingkan dengan itik Alabio (25,22%) (Matitaputty, 2011).

Panjang leher dan panjang tulang sayap merupakan penciri utama untuk ukuran tubuh pada itik Cihateup jantan maupun betina, dengan adanya korelasi positif antara panjang leher, panjang tulang sayap dan ukuran tubuh (Wulandari, 2005). Ciri-Ciri Itik Cihateup Adalah :

a. Warna kombinasi dari coklat, hitam, dan putih b. Tubuh terlihat besar, dan tegak

c. Leher panjang

d. Paruh dan Kaki berwarna hitam e. Telur berwarna putih kehijauan

f. Menghasilkan telur sekitar 200 – 290 butir per tahun g. Bobot telur rata-rata sekitar 70 gram

(3)

2.2 Respon Fisiologis Itik terhadap Kondisi Pemeliharaan Minim Air

Kondisi pemeliharaan minim air adalah kondisi dimana itik dipelihara secara intensif dengan cara dikandangkan dan hanya diberikan air untuk kebutuhan minum saja tetapi tidak diberikan kolam/kubangan untuk berendam. Pemeliharaan sistem intensif yaitu pemeliharaan dimana itik dikandangkan secara terus menerus mulai dari Day Old Duck (DOD) hingga akhir pemeliharaan. Pemeliharaan itik sistem intensif menggunakan kandang biasa tanpa kolam dan efisiensi lahannya tinggi (Wasito dan Siti, 1994).

Itik merupakan jenis hewan yang termasuk homeoterm. Ternak unggas yang tergolong hewan homeothermik (berdarah panas) dengan ciri spesifik tidak memiliki kelenjar keringat serta hampir semua bagian tubuhnya tertutup bulu. Kondisi biologis seperti ini menyebabkan ternak unggas dalam kondisi panas mengalami kesulitan membuang panas tubuhnya ke lingkungan. Akibatnya, ternak unggas yang dipelihara rentan terhadap bahaya stres panas. Setiap makhluk hidup memiliki suatu zona fisiologis yang disebut zona homeostasis (Noor & Seminar, 2009).

Suhu lingkungan yang cocok untuk itik adalah 23-25oC dan mampu meningkatkan pertumbuhan itik. Performa itik akan menurun ketika terjadi peningkatan suhu lingkungan diatas 29oC (El-Badry dkk, 2009). Suhu lingkungan yang berada di bawah thermoneutral zone yaitu di bawah 23°C maka itik akan mengalami stress dingin (cold stress) dan jika suhu lingkungan melebihi batas atas thermoneutral zone maka itik akan mengalami stress panas (heat stress). Stres panas pada itik bisa disebabkan oleh berbagai faktor yang mempengaruhi fisiologi tubuh itik, seperti: kebisingan, kurang air untuk berendam, tempat yang tidak tetap, penggantian komposisi maupun rasio pakan dan masih banyak lagi.

(4)

Stres panas dapat didefinisikan sebagai suatu kondisi pada ternak yang menyebabkan meningkatnya suhu atau stresor lain yang berasal dari luar ataupun dari dalam tubuh ternak (Ewing dkk, 1999).

Apabila terjadi stress panas, maka zona homeostasis ini akan terganggu dan tubuh akan berusaha mengembalikan ke kondisi sebelum terjadi stress panas. Ternak unggas yang menderita stres panas akan memperlihatkan ciri-ciri gelisah, banyak minum, nafsu makan menurun dan mengepak-ngepakan sayap di lantai kandang. Disamping itu, ternak yang menderita stres panas akan mengalami panting dengan frekuensi yang berbanding lurus dengan tingkat stress panas, suhu rektal meningkat yang disertai dengan peningkatan kadar hormon kortikosteron dan ekspresi HSP 70 (Tamzil dkk, 2013b).

Bila pemeliharaan dilakukan di atas kisaran suhu nyaman, ternak akan menderita stress panas karena kesulitan membuang suhu tubuhnya ke lingkungan (Cooper & Washburn 1998; Austic 2000). Pembuangan panas dari dalam tubuh ternak unggas dilakukan melalui dua cara, yaitu secara sensible heat loss dan insensible heat loss (Bird dkk, 2003). Sensible heat loss adalah hilangnya panas tubuh melalui proses radiasi, konduksi dan konveksi, sedangkan secara insensible heat loss adalah hilangnya panas tubuh melalui proses panting. Pada suhu pemeliharaan 23oC. 75% panas tubuh dibuang secara sensible, selebihnya (25%) dikeluarkan secara insensible, sebaliknya bila suhu lingkungan meningkat sampai 35oC sebanyak 75% panas tubuh dibuang melalui proses insensible dan sisanya sebanyak 25% dibuang secara sensible.

Suhu lingkungan dapat mempengaruhi fisiologis secara langsung, yaitu dengan cara memberikan pengaruh terhadap fungsi beberapa organ tubuh seperti jantung dan alat pernafasan, serta dapat mempengaruhi secara tak langsung

(5)

dengan meningkatnya hormon kortikosteron dan kortisol dalam darah. Suhu lingkungan yang tinggi menyebabkan naiknya suhu tubuh. Peningkatan fungsi organ tubuh dan alat pernafasan merupakan gambaran dari aktifitas metabolisme basal pada suhu lingkungan tinggi menjadi naik. Meningkatnya laju metabolisme basal disebabkan karena bertambahnya frekuensi pernafasan, kerja jantung serta bertambahnya sirkulasi darah periferi. Melihat hasil tersebut, nampak bahwa pada suhu lingkungan yang tinggi diatas thermoneutral akan mengakibatkan kebutuhan energi lebih tinggi dan aktifitas metabolisme menjadi berkurang (Fuller dan Rendon, 1977).

Apabila ternak unggas ditempatkan pada suhu lingkungan yang lebih tinggi dari thermoneutral, maka secara langsung terjadi perubahan aktivitas hormonal. Keadaan ini merangsang hypothalamus untuk mensekresikan Corticotropic Realising Hormon (CRH) yang merupakan produk metabolisme asam nukleat. CRH kemudian diteruskan ke pituitary anterior untuk menghasilkan adrenocorticotropin Hormone (ACTH) dan selanjutnya diteruskan ke korteks adrenal. ACTH kemudian akan mengatur sekresi hormon glukokortikoid (Mushawwir, 2014). Hasil akhir aktivitas hormonal ditandai dengan peningkatan hormon kortikosteron dan kortisol dalam darah. Peranan utama kortikosteron dan kortisol terdapat pada peristiwa glukoneogenesis yaitu pembentukan energi yang berasal dari senyawa non karbohidrat. Dalam kondisi stress meningkatkan radikal bebas sehingga produksi asam-asam lemak dari peroksidasi lipid akan meningkat begitu pula dengan penggunaan kolesterol sebagai prekursor hormon kortisol (Ozkan dkk, 2006).

(6)

2.3 Kolesterol

Kolesterol adalah zat menyerupai lemak yang secara alami terdapat di seluruh tubuh. Kolesterol terdapat pada dinding dan membran setiap sel, termasuk sel otak, saraf, otot, kulit, hati, usus dan jantung. Tubuh tidak dapat berfungsi dengan baik tanpa kolesterol (Laurencio, 2002). Kolesterol merupakan sterol utama dalam lipida hewan dan dapat menghasilkan sejumlah produk oksidasi dibawah kondisi tertentu.

Ilustrasi 1. Struktur Kolesterol

Kolesterol merupakan bahan bangun esensial bagi tubuh untuk sintesa zat-zat penting, seperti membrane sel dan bahan isolasi sekitar serat saraf, begitu pula hormon kelamin dan anak-ginjal, vitamin D serta asam empedu (Tjay, 2007). Kolesterol sangat berguna dalam membantu pembentukan hormon, vitamin D, lapisan pelindung sel syaraf, membangun dinding sel, pelarut vitamin (vitamin A, D, E, K) dan mengembangkan jaringan otak pada anak-anak (Silalahi, 2006). Kolesterol adalah lipida struktural (pembentuk struktur sel) yang berfungsi sebagai komponen yang dibutuhkan dalam kebanyakan sel tubuh. Kolesterol merupakan bahan yang menyerupai lilin, sekitar 80% dari kolesterol diproduksi oleh hati dan selebihnya diperoleh dari makanan yang kaya kandungan kolesterol

(7)

seperti daging, telur dan produk berbahan dasar susu. Biosintesis kolesterol dapat dibagi menjadi 5 tahap, yaitu:

a. Sintesis mevalonat dari asetil-CoA.

b. Unit isoprenoid dibentuk dari mevalonat melalui pelepasan CO2.

c. Enam unit isoprenoid mengadakan kondensasi untuk membentuk senyawa antara skualen.

d. Skualen mengalami siklisasi untuk menghasilkan senyawa steroid induk, yaitu lanosterol.

e. Kolesterol dibentuk dari lanosterol setelah melewati beberapa tahap lebih lanjut, termasuk pelepasan tiga gugus metil (Murray, 2003).

Senyawa 3-hydroxy 3-methylglutaryl coenzyme A reductase (HMG-CoA reductase), yang mengubah HMG-CoA menjadi mevalonat, merupakan enzim dengan kecepatan terbatas dalam sintesis kolesterol. Penghambatan yang kompetitif oleh enzim HMG-CoA reductase menurunkan biosintesis kolesterol intraseluler (Anbinder dkk., 2006). Aktivitas enzim HMG-CoA reductase diatur oleh beberapa mekanisme yang melibatkan pengaturan transkripsional, modifikasi pasca transkripsional, pengaturan allosterik dan kadar kolesterol endogenous serta eksogenous (Woo dkk., 2005).

Kolesterol diabsorpsi di usus dan ditransport dalam bentuk kilomikron menuju hati, kolesterol dibawa oleh VLDL (Very Low Density Lipoprotein) untuk membentuk LDL melalui perantara IDL (Intermediate Density Lipoprotein). LDL akan membawa kolesterol ke seluruh jaringan perifer sesuai dengan kebutuhan. Sisa kolesterol di perifer akan berikatan dengan HDL dan dibawa kembali ke hati agar tidak terjadi penumpukan di jaringan. Kolesterol yang ada di hati diekskresikan menjadi asam empedu yang sebagian dikeluarkan melalui feses,

(8)

sebagian asam empedu diabsorpsi oleh usus melalui vena porta hepatik yang disebut dengan siklus enterohepatik (Widman, 1995).

Suhu lingkungan yang tinggi menyebabkan itik mengalami stress sehingga dibutukan energi tambahan untuk melakukan termoregulasi. Salah satu mekanisme yang digunakan adalah dengan melakukan glukoneogenesis. Dalam kondisi seperti ini terjadi peningkatan hormom-hormon steroid yang menstimulasi katabolisme nutrien melalui jalur glukoneogensis (Mushawwir dan Latipudin, 2012). Glukosa hasil perombakan kolesterol selanjutnya diubah menjadi piruvat dan masuk ke dalam siklus kreb, yang pada akhirnya menghasilkan ATP sebagai sumber energi untuk panting. Kebutuhan ATP yang meningkat dalam keadaan suhu tinggi menyebabkan siklus glukoneogenesis meningkat dan terus dipertahankan, sehingga menyebabkan kadar kolesterol darah akan meningkat (Murray dkk, 2003).

Keberadaan kolesterol dalam pembuluh darah yang kadarnya tinggi akan membuat endapan/kristal lempengan yang akan mempersempit/menyumbat pembuluh darah. Apabila melampaui batas normal maka disebut sebagai hiperkolesterolemia (Tjay, 2007). Metabolisme kolesterol yang tidak normal dapat menyebabkan komplikasi pada sejumlah penyakit, termasuk infiltrasi lemak hati yang dapat berkembang menjadi fibrosis dan sirosis serta menyebabkan gagal liver (Woo dkk., 2005).

(9)

2.4 Trigliserida

Ilustrasi 2. Struktur Trigliserida

Trigliserida merupakan jenis lemak yang ditemukan dalam darah. Jenis ini merupakan hasil dari uraian kerja tubuh terhadap makanan yang mengandung lemak dan kolesterol yang telah dikonsumsi dan masuk ketubuh, serta juga dibentuk di hati. Setelah mengalami proses didalam tubuh trigliserida ini diserap oleh usus dan masuk kedalam plasma darah untuk kemudian disalurkan ke jaringan-jaringan tubuh, trigliserida juga merupakan lemak darah yang dibawa oleh serum lipoprotein. Trigliserida adalah penyebab utama penyakit-penyakit arteri dan biasanya dibandingkan dengan kolesterol dengan menggunakan lipoprotein elektroforesis. Bila terjadi peningkatan trigliserida maka terjadi peningkatan VLDL yang menyebabkan hiperlipoproteinemia (Graha, 2010).

Trigliserida mengandung tiga molekul asam lemak sehingga effisien untuk penyimpanan bentukan dari energi metabolik (Burtis, 2006). Trigliserida terdiri dari tiga molekul asam lemak yang diesterifikasi menjadi molekul gliserol. Trigliserida berfungsi untuk menyimpan asam lemak dan membentuk droplet lemak yang besar di jaringan adiposa. Trigliserida yang disimpan di jaringan adiposa merupakan simpanan energi utama tubuh. Ketika trigliserida disimpan di jaringan adiposa maka akan dihidrolisa oleh hormon yang sensitif lipase menjadi asam lemak untuk menjadi tersedia sebagai sebuah substrat energi (Larsen, 2003).

(10)

Triasil gliserol dibutuhkan sebagai sumber asam-asam lemak yang terlibat dalam proses glukonegenesis untuk dihasilkan energy (Jeon dkk, 2000). Trigliserida adalah lemak darah yang dibawa oleh serum lipoprotein. Trigliserida adalah penyebab utama penyakit-penyakit arteri dan biasanya dibandingkan dengan kolesterol dengan menggunakan lipoprotein elektroforesis. Bila terjadi peningkatan trigliserida maka akan terjadi peningkatan VLDL, yang menyebabkan hiperlipoproteinemia (Joyce, 1997). Trigliserida dipakai dalam tubuh terutama untuk menyediakan energi berbagai proses metabolik, suatu fungsi yang hampir sama dengan fungsi karbohidrat. Akan tetapi, beberapa lipid terutama kolesterol, fosfolipid dan sejumlah kecil trigliserida, dipakai untuk membentuk semua membrane sel dan untuk melakukan fungsi sel-sel yang lain (Guyton, 2003).

2.8 Kitosan Iradiasi

Kitosan merupakan turunan dari kitin dengan struktur [β-(1-4)-2-amina -2 deoksi-D-glukosa] merupakan hasil dari deasetilasi kitin (Tao-Lee dkk., 2001). Kitin memiliki struktur molekul β(1-4)-linked 2-acetamido-2-deoxy-β-D-glucose1(N-acetylglucosamine) yang merupakan bahan konstituen organik yang penting dalam penyusunan kulit hewan golongan arthropoda.

(11)

Secara umum pemurnian kitin secara kimiawi terdiri dari dua tahap yaitu tahap demineralisasi dan tahap deproteinisasi (Zakaria, 1997). Mineral dalam kulit udang dapat mencapai sekitar 40-50% tiap berat bahankering (Hargono dkk, 2008). Demineralisasi dilakukan dengan menggunakan larutan asam encer yang bertujuan untuk menghilangkan mineral yang terkandung dalam bahan baku (Kim, 2011). Protein dalam kulit udang mencapai sekitar 25-40% dari bahan keringnya (Hargono dkk, 2008). Deproteinasi dilakukan dengan menggunakan larutan basa encer untuk menghilangkan sisa-sisa protein yang masih terdapat dalam bahan baku.

Proses deasetilasi merupakan proses pembentukan kitosan dari kitin menggunakan NaOH untuk mengganti gugus asetamida dengan gugus amino (Hargono dkk, 2008). Deasetilasi adalah proses pemutusan gugus asetil dari glukosamin, derajat deasetilasi menunjukkan banyaknya gugus asetil yang putus dari gugus glukosamin dan jumlah presentase dari gugus amino pada struktur polimer. Semakin besar derajat deasetilasi maka semakin banyak pula kitosan yang terbentuk dari kitin, sehingga lebih mudah larut dalam asam encer. Deasetilasi kitin akan menghilangkan gugus asetil dan menyisakan gugus amino yang bermuatan positif, sehingga kitosan bersifat polikationik (Shahidi dkk, 1999).

Kitosan merupakan suatu polimer yang bersifat polikationik. Keberadaan gugus hidroksil dan amino sepanjang rantai polimer mengakibatkan kitosan sangat efektif mengikat kation ion logam berat maupun kation dari zat-zat organik (protein dan lemak). Interaksi kation logam dengan kitosan terjadi melalui pembentukan kelat koordinasi oleh atom N gugus amino dan O gugus hidroksil (Tao-Lee dkk, 2001). Penurunan kadar kolesterol ini disebabkan karena kitosan

(12)

menyebabkan penghambatan atau menurunkan laju ß oksidasi sehingga produksi asetil-Koa sebagai prekursor kolesterol menurun (Fang Hsuean dkk, 2007).

Kitosan juga dapat membentuk sebuah membran yang berfungsi sebagai adsorben pada waktu terjadinya pengikatan zat-zat organik maupun anorganik oleh kitosan. Hal ini yang menyebabkan kitosan lebih banyak manfaatnya dibandingkan dengan kitin (Windholz, 1983 dalam Sanjaya dkk, 2007). Kitosan merupakan biopolimer yang bersifat biodegradable dan tidak diserap tubuh. Dalam dunia kesehatan kitosan dikenal sebagai absorben dalam menurunkan kadar lemak (Pagala & Nur 2010). Bahan pangan yang tidak terserap (contoh serat) dapat berpengaruh menurunkan kadar kolesterol dan trigliserida dalam darah (Winarno, 2008).

Kitosan menurunkan aktivitas enzim asil-KoA sintetase (Tang dkk, 2005). Terkait peran enzim ini, asil-KoA sintetase berperan untuk sintesis asil-KoA (Murray dkk, 2014). Kitosan banyak diaplikasikan dalam berbagai bidang. Hal tersebut dikarenakan adanya gugus amino pada posisi C2 dan juga karena gugus

hidroksil primer dan sekunder pada posisi C3 dan C6. Adanya gugus fungsi

tersebut menyebabkan kitosan memiliki reaktivitas kimia yang tinggi (Marganof, 2003).

Kitosan iradiasi adalah kitosan yang mengalami proses iradiasi. Iradiasi adalah suatu teknik yang digunakan untuk pemakaian radiasi secara sengaja dan terarah. Sumber iradiasi yang digunakan dalam proses iradiasi yaitu isotop 60Co. Isotop 60Co dihasilkan dari 59CO dengan menambahkan neutron dalam reaktor nuklir, dan dapat mengemisikan dua jenis sinar gamma dengan energi masing-masing 1,17 MeV dan 1,33 MeV (Utama, 2000).

(13)

Radiasi pada polimer dapat menyebabkan terjadinya degradasi polimer. Secara umum degradasi polimer didefinisikan sebagai kerusakan struktur kimia, fisika atau bentuk dari polimer tersebut. Degradasi polimer juga dapat dijelaskan sebagai suatu perubahan sifat fisik yang disebabkan oleh reaksi kimia yaitu pemutusan ikatan pada rantai utama makro molekul. Polisakarida mengalami pemutusan rantai terutama pada ikatan 1,4-ß-glikosida selama proses iradiasi. Iradiasi yang dilakukan terhadap kitosan bertujuan untuk memperkecil bobot molekul suatu senyawa. Proses ini tidak menyebabkan perubahan struktur utama dari suatu senyawa yang diperkecil berat molekulnya. Proses iradiasi pada kitosan menggunakan sinar gamma 60Co. Radiasi gamma adalah gelombang elektromagnetik, yang sifat penetrasinya paling besar dan dapat dengan mudah menembus jaringan lebih dari 30 cm (Leswara, 2005).

Kitosan iradiasi yang dihasilkan oleh Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) adalah kitosan yang dilakukan penyinaran dengan sinar gamma kobalt-60 pada dosis 75 kGy dan laju dosis 5 kGy/jam. Hal ini sesuai dengan patent BATAN No. IDP 000034713 tahun 2013 No.3. Kitosan yang dihasilkan memiliki berat molekul (Mv) rendah yaitu 7-14 kD dan dapat larut dengan asam organik seperti asam asetat (Badan Tenaga Nuklir Nasional, 2013).

Pada bidang kesehatan kitosan banyak digunakan sebagai penyerap lemak (Singla dkk, 2001; Ueno dkk, 2001), dan hipokolesterolemia (Antoni, 2005). Terikatnya molekul kolesterol oleh kitosan diharapkan dapat mengurangi masuknya kolesterol berlebih ke dalam peredaran darah. Aktivitas hipokolesterolemia dari kitosan menghasilkan efek yang lebih baik ketika derajat deasetilasinya tinggi (90%), sehingga menghasilkan ikatan elektrostatik yang

(14)

lebih kuat antara kitosan dan substansi anion seperti asam lemak dan asam empedu (Liu dkk, 2008).

Kitosan dapat digunakan sebagai obat antikolesterol. Kitosan merupakan polimer glukosamin yang mengandung banyak gugus amino yang bermuatan positif yang mampu mengikat gugus bermuatan negatif seperti asam empedu dan asam lemak (Sugano dkk, 1988). Kitosan mempunyai potensi sebagai hipokolesterolemik dengan lemak membentuk misela atau emulsifikasi lipid pada fase absorbsi (Deuchi dkk, 1991).

Kitosan merupakan senyawa yang tidak beracun sebagai unsur serat makanan dan dapat menurunkan kadar kolesterol (Knor, 1984). Serat kitosan yang telah mengikat lemak menjadi massa yang besar yang mana tubuh tidak dapat menyerap dan meningkatkan ekskresinya dalam bentuk feses (Xu dkk, 2007). Penelitian secara in vitro menunjukan bahwa bila kitosan dicampur dengan kolesterol akan terjadi reaksi pengikatan (interaksi elektrostatik), sehingga kolesterol tidak lagi bebas (Liu, 2008). Hal ini disebabkan oleh gugus amino yang dimiliki oleh kitosan dapat berkaitan dengan molekul kolesterol yang memiliki muatan negatif yaitu hidroksil (OH) (Barraza, 2005).

Gambar

Ilustrasi 1. Struktur Kolesterol
Ilustrasi 3.  Struktur Kitosan

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan Penelitian: Menganalisa hubungan antara frekuensi konsumsi fast food dan aktivitas fisik dengan tebal lemak bawah kulit pada siswi SMA N 6 Yogyakarta.. Metode

Hasil penelitian ini dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan tentang tebal lemak bawah kulit siswi SMA dan hubungan antara frekuensi konsumsi fast food dan aktivitas

Tidak ada hubungan antara frekuensi konsumsi fast food dengan tebal lemak bawah kulit pada penelitian ini dikarenakan terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi

Penambahan lemak ke dalam sie reuboh lebih mampu mempertahankan kandungan air pada daging karena dapat membentuk lapisan lemak yang lebih tebal pada

Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian yang berjudul “ Pengaruh Senam Aerobik Terhadap Penurunan Tebal Lemak Bawah Kulit Pada Wanita” yang sudah dilakukan selama 4

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui kandungan zat gizi dari telur itik asin yang dibuat dengan menggunakan media kulit buah manggis ditinjau dari kadar air, kadar abu, kadar lemak,

derajat dismenore primer. Hasil data uji Chi-Square menyatakan terdapat hubungan antara tebal lipatan lemak bawah kulit dan dismenore primer pada siswi SMA Swasta

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara tebal lipatan lemak bawah kulit (skinfold) dengan kadar asam urat darah pada usia dewasa baik