• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. Kondisi Tempat Tumbuh dan Tanah di Dalam dan di Sekitar Plot Contoh Gambaran Umum Peubah Peubah Tempat Tumbuh dan Tanah di Lokasi Penelitian

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "2. Kondisi Tempat Tumbuh dan Tanah di Dalam dan di Sekitar Plot Contoh Gambaran Umum Peubah Peubah Tempat Tumbuh dan Tanah di Lokasi Penelitian"

Copied!
62
0
0

Teks penuh

(1)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Vegetasi dalam Plot Contoh (Kuadrat)

Didalam 45 plot contoh (kuadrat) yang disebar di seluruh Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, ditemukan 174 spesies tumbuhan berkayu (Lampiran 16). Posisi 45 plot contoh tersebut ditunjukkan pada peta Lampiran 3. Jumlah batang tumbuhan berkayu berdiameter 10 cm untuk tiap plot contoh (kuadrat seluas 900 m2) berkisar dari 26 – 86 batang. Saninten (Castanopsis argentea) ditemukan pada 31 plot contoh dari 45 plot contoh yang diukur. Data kuantitatif saninten untuk tiap plot disajikan pada Lampiran 6, bersama dengan data tanah serta faktor faktor tempat tumbuh lainnya. Spesies berkayu yang mempunyai indeks asosiasi terbesar (berdasarkan indeks Sokal & Sneath, 1963 dalam Dombois & Ellenberg, 1974) terhadap saninten adalah puspa (Schima wallichii). Karena itu, analisis kuantitatif tertentu, selain dilakukan terhadap saninten, juga dilakukan terhadap puspa untuk keperluan analisis perbandingan.

Spesies puspa (Schima wallichii) ini ditemukan pada 36 plot contoh, dari 45 plot contoh yang diambil. Jumlah plot dimana puspa dan saninten ditemukan secara bersama adalah 23 buah. Data kuantitatif puspa untuk tiap plot contoh, disajikan pada Lampiran 7. Plot yang dicantumkan dalam lampiran data untuk puspa ini adalah sama dengan plot yang dicantumkan untuk saninten dalam Lampiran 6.

Permudaan saninten (semai dan pancang) ditemukan pada 8 plot contoh dari 45 plot contoh yang dibuat.

Beberapa marga tumbuhan non kayu yang ditemukan pada plot contoh dan berukuran diameter 5 cm adalah antara lain Arenga, Caryota, Pandanus, Cyathea (pakis purba), Musa (pisang hutan), Pinanga, Plectoconia, dan bambu.

2. Kondisi Tempat Tumbuh dan Tanah di Dalam dan di Sekitar Plot Contoh. 2.1. Gambaran Umum Peubah Peubah Tempat Tumbuh dan Tanah di Lokasi Penelitian

(2)

Gambaran umum mengenai peubah peubah tanah yang diukur dalam studi ini disajikan pada Tabel 1, sedang perinciannya untuk tiap plot contoh disajikan pada Lampiran 6, bersamaan dengan peubah peubah untuk spesies saninten.

Sebagian besar tanah dalam plot contoh mempunyai kerapatan lindak yang rendah (kurang dari 0.7 gram/cm3), yaitu untuk tanah dari jenis Andisol. Tanah yang mempunyai kerapatan lindak agak tinggi (sekitar 1.0 gram/cm3) dalam penelitian ini, umumnya mempunyai tekstur kasar (berpasir atau pasir). Tanah tanah Andisol, atau tanah tanah yang mempunyai sifat Andik, berasal dari abu volkanik dan berumur relatif muda (Wambeke, 1992). Kerapatan lindak yang rendah, yang banyak ditemukan pada tana h dilokasi studi ini disebabkan oleh bahan induk tanah yang berasal dari abu volkan yang sempat melayang di udara dan oleh umur tanah yang relatif muda, sehingga belum cukup waktu yang tersedia untuk pemadatan tanah. Laporan mengenai kerapatan lindak tanah Taman nasional Gunung Gede-Pangrango, juga pernah dikemukakan oleh Kusmana (1989) dan menunjukkan kisaran nilai antara 0.28 sampai 0.59 gram/cm3, dan ini berarti bahwa tanah tanah yang dilaporkan oleh Kusmana (1989) tersebut adalah Andisol. Nilai kerapatan lindak tanah tanah Andisol yang dihimpun oleh Wambeke (1992) menunjukkan kisaran nilai 0.29 – 0.72 gram/cm3 dengan rata rata 0.49 gram/cm3. Nilai kerapatan lindak dalam studi ini relatif lebih tinggi dibanding yang dikemukakan Kusmana (1989) dan Wambeke (1992), yang kemungkinan menunjukkan juga bahwa tanah tanah dalam penelitian ini relatif lebih tua dari yang dilaporkan oleh dua penulis tersebut.

Horizon B pada lokasi studi, semuanya termasuk dalam kategori Bw atau merupakan horizon yang baru menunjukkan perkembangan warna atau struktur, atau kedua duanya. Horizon argilik (penimbunan liat) tidak ditemukan dalam lokasi studi, dan ini disebabkan karena antara lain tanah tanah dalam lokasi studi relatif masih muda.

Struktur tanah umumnya adalah gumpal bersudut, gumpal membulat dan granular. Kegemburan antara horizon A dan horizon B pada umumnya sama, walaupun kadar C organik horizon B selalu lebih rendah dibanding yang pada horizon A. Kadang kadang, horizon B lebih gembur dari horizon A untuk plot plot

(3)

contoh tertentu, tetapi pada seluruh plot contoh dalam penelitian ini, horizon A tidak pernah lebih gembur dari horizon B. Fenomena kegemburan tanah lapisan bawah ini juga dikemukakan oleh Lembaga Penelitian Tanah Bogor (1966) dalam (Kusmana 1989). Disini terlihat bahwa penentu utama kegemburan di horizon B di lokasi studi adalah bukan bahan organik, tapi lebih karena peran akar tanaman hutan yang cenderung dalam, seperti fenomena yang dikemukakan oleh Wilde et. al. (1979) yang menunjukkan bahwa akar pohon hutan lebih banyak aktif pada tanah lapisan bawah (Horizon B).

Tabel 1. Deskripsi seluruh peubah tempat tumbuh di lokasi studi (n = 45 plot contoh) Nilai Peubah Peubah (satuan) Minimum Maksimum Rata-rata Simpangan Baku X1 = Luas Bidang Dasar semua spesies

per plot (m2)

0.90 8.15 3.67 1.59

X2 = Jumlah batang semua spesies per plot

26 86 50 16

X3 = Elevasi (m diatas permukaan laut) 720 2000 1251 295

X4 = Kemiringan lereng (%) 0 214 59 48

X5 = Tebal Horizon O (cm) 0 24 6 5

X6 = Tebal Horizon A (cm) 5 35 16 7

X7 = Kandungan batu (%) 0 80 10 17

X8 = pH horizon A 4.16 5.91 5.10 0.47

X9 = Kadar C organik horizon A (%) 0.82 9.47 4.50 1.72 X10 = Kadar N total horizon A (%) 0.10 0.58 0.37 0.11 X11 = Kadar P horizon A (ppm) 1.60 9.60 4.93 1.95 X12 = Kadar K horizon A (me/100g) 0.05 2.36 0.25 0.35 X13 = KTK horizon A (me/100g) 14.35 40.01 23.99 5.51 X14 = Kadar pasir horizon A (%) 5.12 81.92 41.75 22.84 X15 = Kadar liat horizon A (%) 1.83 68.57 22.86 17.43

X16 = pH horizon B 4.15 6.20 5.24 0.50

X17 = Kadar C organik horizon B (%) 0.22 3.41 1.66 0.91 X18 = Kadar N total horizon B (%) 0.04 0.34 0.15 0.07 X19 = Kadar P horizon B (ppm) 0.30 10.10 4.67 2.32 X20 = Kadar K horizon B (me/100 g) 0.05 1.49 0.17 0.22 X21 = KTK horizon B (me/100g) 9.30 30.29 19.63 5.03 X22 = Kadar pasir horizon B (%) 3.93 93.49 37.68 26.21 X23 = Kadar liat horizon B (%) 2.32 58.73 19.53 15.45

(4)

X24 = Kerapatan lindak horizon A (g/cm3)

0.39 1.01 0.65 0.15

X25 = Kerapatan lindak horizon B 0.37 1.36 0.70 0.21

X26 = pH NaF horizon A 10.60 12.50 11.95 0.57

X27 = pH NaF Horizon B 10.40 12.50 11.75 0.62

Sebagian besar tanah dalam plot contoh memiliki horizon O (gambar 4), kecuali beberapa plot contoh yang ada di elevasi rendah (dibawah 900 m dpl) di Resort Bodogol (plot 22, 32, dan 33). Nampaknya keberadaan dan tebal horizon O ini terkait dengan elevasi (dan karena itu juga terkait dengan temperatur) dan keberadaan hutan alam (sebagai pemasok bahan organik ). Koefisien korelasi antara elevasi dan tebal horizon O (Lampiran 9) adalah positif dan cukup tinggi (0.58). Suhu yang rendah pada elevasi tinggi cenderung menghambat proses dekomposisi bahan organik dan mendukung keberadaan horizon O.

Tebal solum (tebal horizon A dan B) untuk sebagian besar plot contoh, tidak diketahui secara pasti karena penggalian dengan cangkul untuk pengamatan profil tanah, hanya dilakukan sampai kedalaman 70 – 80 cm. Walaupun demikian dapat dikatakan bahwa semua plot contoh mempunyai tanah dengan solum lebih tebal dari 70 cm, kecuali untuk plot 35 (Alic hapludand) di Resot Cimande yang hanya mempunyai solum setebal 57 cm.

Berdasarkan pengamatan dengan bor tanah, tanah dalam lokasi penelitian ini diduga umumnya mempunyai tebal solum lebih dari 120 cm.

Kandungan batu (stoniness) merupakan peubah tanah yang paling erat kaitannya dengan keberadaan saninten. Di lokasi penelitian ini, kandungan batu lebih besar pada lapisan tanah bawah dibanding pada lapisan atas. Ukuran batu yang tergolong besar, berdiameter sekitar 30 cm. Ada kecenderungan (walaupun tidak sepenuhnya konsisten) bahwa keberadaan saninten terkait dengan kandungan batu yang tinggi. Hal ini juga terlihat dari analisa analisa kuantitatif selanjutnya, dimana keberadaan saninten cenderung meningkat dengan meningkatnya kandungan batu. Ini bisa diinterpretasikan sebagai fenomena bahwa saninten toleran terhadap kandungan batu yang tinggi, dimana spesies lain yang kurang toleran terhadap kandungan batu yang tinggi, cenderung tidak hadir, dan ini memberikan peluang lebih besar bagi saninten untuk hadir.

(5)

Gambar 4. Salah satu contoh profil tanah di Resort Cibodas, yang menunjukkan horizon O (teratas, warna hitam, tebal 3 cm), horizon A (warna coklat kemerahan gelap, tebal 13 cm), dan horizon B (dibawah horizon A, warna coklat kemerahan). Buku sebagai pembanding ukuran, berukuran tinggi 21 cm, lebar 14 cm.

Nilai pH NaF yang ditemukan dalam studi ini mempunyai kisaran yang sempit. Untuk semua plot contoh, nilai pH NaF berkisar dari 11.0 sampai 12.5, kecuali untuk plot 27 (Horizon A dan B) dan plot 31 (Horizon B) serta plot 32 (Horizon B), yang mempunyai nilai pH NaF dibawah 11 (Lampiran 6). Dalam hal ini, contoh tanah yang mempunyai pH NaF dibawah 11 tersebut, terrnyata mempunyai kerapatan lindak yang relatif tinggi dibanding contoh tanah lainnya. Koefisien korelasi antara nilai pH NaF dan kerapatan lindak adalah negatif (Lampiran 9). Hal ini nampaknya ada kaitan dengan sifat Andik (salah satu indikator sifat andik adalah kerapatan lindak yang rendah) untuk retensi fosfat, dimana pH NaF dilaporkan oleh Gilkes dan Hughes (1994) sebagai indikator untuk retensi fosfat.

Arah lereng merupakan suatu peubah kualitatif untuk tiap plot contoh, dan dicatat sebagai berikut: Utara, Timur Laut, Timur, Tenggara, Selatan, Barat Daya, Barat, Barat Laut, dan Tanpa Arah (Lampiran 10). Lampiran 10 ini berisi deskripsi profil tanah untuk semua plot contoh. Kategori ”Tanpa Arah” digunakan untuk plot contoh

(6)

yang berada ditempat datar (lereng 0 %). Karena kajian utama studi ini adalah penampilan saninten di hutan alam, maka pengaruh arah lereng ini terhadap penampilan saninten (dominasi relatif saninten) diuji dengan analisis keragaman (ANOVA) memakai program SPSS 10. Deskripsi arah lereng dan rata rata dominasi relatif saninten disajikan pada Tabel 2, bersamaan dengan rata rata dominasi relatif puspa sebagai bahan perbandingan.

Analisis keragaman terhadap arah lereng dan dominasi relatif saninten disajikan pada Tabel 3, bersama dengan hasil uji kehomogenan ragam dari Levene (prosedur dari program SPSS 10). Analisis keragaman yang sama, tetapi untuk puspa, disajikan pada Tabel 4.

Kehomogenan ragam pada Tabel 3 dan 4 bisa diasumsikan pada taraf α = 0.05 untuk Tabel 3, dan pada taraf α = 0.01 untuk Tabel 4. Tabel 3 dan 4 menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata antar arah lereng, dalam hal dominasi relatif saninten ataupun dominasi relatif puspa. Dengan perkataan lain, arah lereng tidak berpengaruh nyata terhadap dominasi relatif saninten ataupun puspa.

Secara teoritis, arah lereng akan mempengaruhi pola penyinaran matahari terhadap tumbuhan, dan selanjutnya mempengaruhi kelimpahan biomassa pohon hutan yang dicerminkan oleh besarnya luas bidang dasar tumbuhan per satuan luas. Deskripsi arah lereng dan luas bidang dasar tumbuhan berkayu per plot, dikemukakan pada Tabel 5.

Tabel 2. Deskripsi arah lereng plot plot contoh, dan dominasi relatif saninten serta puspa

Dominasi relatif saninten (Castanopsis

argentea)

Dominasi relatif puspa (Schima wallichi) Arah lereng Banyaknya

plot contoh Rata-rata (%) Simpangan baku (%) Rata-rata (%) Simpangan baku (%) Utara 3 14.00 20.51 21.06 25.29

(7)

Timur Laut 8 5.80 11.10 35.29 35.34 Timur 2 5.65 7.99 18.25 8.75 Tenggara 3 7.02 2.79 19.56 18.18 Selatan 7 6.71 9.49 24.73 23.14 Barat Daya 10 11.87 14.07 7.95 11.12 Barat 7 14.43 16.70 29.06 30.79 Barat laut 3 14.29 12.41 4.70 4.40 Tanpa Arah 2 16.36 22.32 24.16 17.15 Total banyaknya plot contoh 45

Tabel 3. Analisis keragaman dominasi relatif saninten dan arah lereng. Sumber keragaman Jumlah

kuadrat Derajat bebas Kuadrat tengah Nilai F Signifikansi (P value)

Antar arah lereng 634.379 8 79.297 0.434 0.893

Di dalam arah lereng 6584.099 36 182.892

Total 7218.478 44

Uji kehomogenan ragam Levene: Statistik Levene = 1.434 ; Signifikansi (P value) = 0.216

Tabel 4. Analisis keragaman dominasi relatif puspa dan arah lereng. Sumber keragaman Jumlah

kuadrat Derajat bebas Kuadrat tengah Nilai F Signifikansi (P value) Antar arah lereng 4722.301 8 590.288 1.007 0.448 Di dalam arah lereng 21104.946 36 586.249

Total 25827.248 44

Uji kehomogenan ragam Levene: Statistik Levene = 2.915; Signifikansi (P value) = 0.013 Selanjutnya, analisa keragaman terhadap luas bidang dasar per plot dan arah lereng, disajikan pada Tabel 6, bersama dengan hasil uji kehomogenan ragam dari Levene (prosedur dari program SPSS 10). Kehomogenan ragam pada Tabel 6, berdasarkan uji Levene, bisa diasumsikan pada taraf α = 0.05. Tabel 6 menunjukkan

(8)

bahwa terdapat pengaruh yang nyata dari arah lereng terhadap luas bidang dasar tumbuhan persatuan luas. Arah lereng utara mempunyai luas bidang dasar terbesar atau mempunyai hutan yang paling lebat. Hal ini bisa disebabkan karena Gunung Gede – Pangrango terletak dibelahan bumi selatan, sedang lintasan matahari sepanjang tahun, bergerak disekitar ekuator, dan karena itu untuk belahan bumi Selatan, lereng Utara akan mendapatkan penyinaran matahari yang lebih banyak (lebih baik), sedang untuk belahan bumi Utara, lereng Selatan akan mendapat penyinaran matahari yang lebih banyak (Steenis, 1972).

Tabel 5. Deskripsi arah lereng plot plot contoh, dan luas bidang dasar semua spesies per plot contoh.

Luas bidang dasar semua spesies per plot contoh

Arah lereng

Banyaknya

plot contoh Rata-rata (%) Simpangan baku (%)

Utara 3 6.27 2.35 Timur Laut 8 3.13 1.07 Timur 2 3.46 0.47 Tenggara 3 2.53 0.99 Selatan 7 4.82 1.88 Barat Daya 10 3.69 0.98 Barat 7 3.34 1.58 Barat Laut 3 2.59 1.13 Tanpa arah 2 2.54 0.63 Total banyaknya plot contoh 45

(9)

Tabel 6. Analisis keragaman luas bidang dasar semua spesies per plot dan arah lereng.

Sumber keragaman Jumlah kuadrat Derajat bebas Kuadrat tengah Nilai F Signifikansi (P value)

Antar arah lereng 42.615 8 5.327 2.783 0.017

Di dalam arah lereng 68.915 36 1.914

Total 111.53 44

Uji kehomogenan ragam Levene: Statistik Levene = 1.329; Signifikansi (P value) = 0.261

2.2. Kaitan antara Jenis Tanah dan Keberadaan Spesies Tumbuhan Tertentu. Jenis jenis tanah yang ada dalam plot contoh, yang diklasifikasikan berdasarkan Soil Taxonomy USDA, sampai kategori sub group, disajikan pada Tabel 7, bersama dengan deskripsi kehadiran/ketidak hadiran saninten. Karena dalam pengambilan plot contoh di lapangan, jenis tanah tidak dijadikan pertimbangan untuk pemilihan plot contoh (jenis tanah baru ditentukan setelah data tanah dari lapangan/laboratorium terkumpul dan diolah), maka diasumsikan bahwa munculnya jenis tanah tertentu dalam satu plot contoh tertentu, merupakan peristiwa acak (random). Karena itu, untuk menguji apakah keberadaan saninten tergantung jenis tanah, dilakukan uji hipotesis melalui uji Chi square dan memakai Tabel 7 sebagai tabel kontingensi. Hipotesis yang diuji (Ho) adalah bahwa keberadaan saninten tidak tergantung jenis tanah. Uji Chi square terhadap Tabel 7, memperoleh nilai ÷ 2 hitung sebesar 9.828. Di lain pihak, ÷ 2 tabel untuk á = 0.05 dan derajat bebas 7, adalah 14.07. Karena ÷ 2 hitung < ÷ 2 tabel, maka Ho tidak ditolak. Hal ini mengandung arti bahwa pada tingkat kepercayaan 95 %, keberadaan saninten tidak tergantung pada jenis tanah (pada kategori sub group).

Untuk analisis selanjutnya, jenis jenis tanah yang ada dalam Tabel 7, disederhanakan menjadi tingkat ordo seperti disajikan pada Tabel 8, untuk pengujian yang sama. Dalam hal ini Tabel 8 meruupakan tabel kontingensi untuk uji Chi Square.

(10)

Tabel 8 juga menunjukkan indikasi pada tingkat kepercayaan 95 %, bahwa kehadiran saninten tidak tergantung pada ordo tanah. Uji Chi Square seperti yang dilakukan pada Tabel 8, dilakukan juga terhadap puspa (Schima wallichii), rasamala (Altingia excelsa), pulus (Laportea stimulans), tungurut (Castanopsis tungurut) dan riung anak (Castanopsis javanica) (Lampiran 8). Hasilnya, semua tidak mengindikasi bahwa keberadaan spesies kajian tersebut, tergantung jenis tanah (hasil uji tidak nyata), kecuali untuk jenis puspa (Schima wallichii).

Tabel 7. Jenis tanah yang ditemukan dalam plot contoh, beserta deskripsi kehadiran/ketidak hadiran saninten.

Jenis tanah (Soil Taxonomy USDA)

Jumlah plot dimana ditemukan saninten

Jumlah plot dimana tidak ditemukan saninten Alic Hapludand 5 3 Typic Hapludand 18 5 Vitric Hapludand 1 1 Typic Hydrudand 1 3 Eutric Hydrudand 1 0 Typic Dystrudept 1 1 Humic Dystrudept 0 1 Humic Psammentic Dystrudept 4 0

Tabel 8. Jenis tanah (tingkat ordo) didalam plot contoh dan kehadiran saninten Jenis tanah Jumlah plot dimana

ditemukan saninten

Jumlah plot dimana tidak ditemukan saninten

Andisol 26 12

Inceptisol 5 2

Nilai Chi Square = 0.025; P value = 0.874

Hasil uji yang tidak nyata tersebut, nampaknya disebabkan karena keberadaan spesies kajian tersebut hanya dikaji berdasarkan hadir/tidaknya dalam plot contoh, dan belum mengkaji aspek kelimpahan dan ukuran biomassanya. Penjelasan ini dimunculkan karena pada analisis selanjutnya yang mengkorelasikan antara ukuran biomassa spesies kajian tersebut dengan sifat tanah, beberapa peubah tanah muncul secara nyata terkait dengan penampilan spesies tumbuhan tersebut. Disamping itu, hal ini bisa disebabkan karena sifat sifat tanah yang menjadi pembeda antara Andisol dan

(11)

Inceptisol, bukan merupakan sifat tanah yang berkaitan dengan keberadaan spesies kajian. Sebagai misal, dalam analisis selanjutnya untuk saninten, terungkap bahwa keberadaan saninten terkait terutama dengan kandungan batu dalam tanah, sedang kandungan batu bukan merupakan pembeda antara Andisol dan Inceptisol.

Dilain pihak, Uji Chi Squere yang dilakukan terhadap spesies puspa (Schima wallichii), pada tingkat kepercayaan 99 %, menunjukkan hasil yang sangat nyata (P value = 0.008) (Tabel 9). Jadi, ada indikasi sangat nyata bahwa kehadiran puspa tergantung jenis tanah, yaitu bahwa puspa lebih cenderung ditemukan pada tanah tanah Andisol, dibanding pada Inceptisol.

Tabel 9. Jenis tanah (tingkat ordo) didalam plot contoh dan kehadiran puspa (Schima wallichii).

Jenis tanah Jumlah plot dimana ditemukan puspa

Jumlah plot dimana tidak ditemukan puspa

Andisol 33 5

Inceptisol 3 4

Nilai Chi square = 7.148 ; P value = 0.008

Tanah Inceptisol dan Andisol dalam studi ini memang mempunyai banyak perbedaan dalam hal beberapa peubah tanah, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 10.

Kecenderungan yang ditunjukkan puspa dalam Tabel 9, dan informasi pada Tabel 10, sejalan dengan uji beda peubah tempat tumbuh berdasarkan kehadiran spesies kajian (Tabel 13), dimana puspa cenderung hadir pada tapak dengan kadar C organik horizon A yang relatif tinggi dan kerapatan lindak horizon A yang relatif rendah. Hal ini yang nampaknya menyebabkan puspa cenderung lebih banyak ditemukan pada Andisol, karena Tabel 10 menunjukkan bahwa Andisol cenderung mempunya i kadar N total yang lebih tinggi dan kerapatan lindak yang lebih rendah dibandingkan Inceptisol, sedang N total merupakan peubah yang berkorelasi erat dengan C organik (Tabel 12). Jadi, dalam hal ini ada hubungan antara kecenderungan puspa untuk hadir di Andisol dengan kandungan C organik dan N tanah.

(12)

Tabel 10. Beberapa peubah tempat tumbuh dan nilai tengahnya yang menunjukkan perbedaan nyata (α = 0.05) antara Inceptisol dan Andisol di lokasi studi.1)

Nilai tengah (rata-rata) peubah tempat tumbuh Peubah tempat tumbuh (satuan)

Inceptisol (n = 7) Andisol (n = 38) Signifikansi 2 arah (SPSS)

X10=Kadar N total horizon A (%) 0.28 0.39 0.000

@

X11=Kadar P tersedia horizon A (ppm) 6.79 4.59 0.005

@

X18=Kadar N total horizon B (%) 0.11 0.16 0.001

X21=Kapasitas Tukar kation horizon B

(me/100g)

15.04 20.48 0.007

X24=Kerapatan lindak horizon A (g/cm 3

) 0.89 0.61 0.000

X25=Kerapatn lindak horizon B (g/cm 3

) 1.07 0.63 0.000

Keterangan: 1)Diuji dengan program SPSS 10 (uji beda nilai tengah) dan MINITAB (uji kesamaan ragam dengan Levene’s test)

@

Kesamaan ragam tidak diasumsikan dalam uji beda nilai tengah n = banyaknya plot contoh (ulangan)

Untuk jenis riung anak (Castanopsis javanica), ternyata kehadiran spesies ini dalam plot contoh menunjukkan ketergantungan dengan jenis tanah (pada tingkat kepercayaan 95 % atau taraf α = 0.05), apabila jenis jenis tanah yang ada, dipilah menjadi 2 kelompok dengan cara seperti pada Tabel 11. Pada Tabel 11, kelompok pertama mencakup semua Andisol, kecuali Typic Hydrudand. Dilain pihak, kelompok kedua mencakup semua Inceptisol, ditambah dengan Typic Hydrudand.

Kecenderungan yang ditunjukkan oleh riung anak (Castanopsis javanica) pada Tabel 11 adalah bahwa spesies ini lebih cenderung ditemukan di tanah kelo mpok pertama (semua Andisol kecuali Typic Hydrudand) daripada di tanah dikelompok kedua (Inceptisol ditambah dengan Typic Hydrudand). Hal ini disebabkan antara lain oleh kecenderungan riung anak untuk ditemukan pada tanah yang kandungan liatnya (horizon B) relatif rendah, seperti yang ditunjukkan oleh uji beda peubah tempat tumbuh berdasarkan kehadiran riung anak (Tabel 13). Seperti yang ditunjukkan oleh Tabel 11, riung anak cenderung ditemukan pada tanah kelompok pertama, dan tanah kelompok pertama ini (semua Andisol kecuali Typic hydrudand) mempunyai rata rata kadar liat horizon B (16.8 %) yang lebih rendah dibanding pada tanah kelompok kedua (Inceptisol + Typic hydrudand) yang mempunyai rata rata kadar liat horizon B

(13)

Tabel 11. Jenis tanah dalam plot contoh dan kehadiran riung anak (Castanopsis javanica).

Jenis tanah

Jumlah plot dimana ditemukan riung anak

Jumlah plot dimana tidak ditemukan riung anak Alic Hapludand + Typic Hapludand + Vitric Hapludand + Eutric Hydrudand 16 18 Inceptisol + Typic Hydrudand 1 10

Nilai Chi Square = 5.097; P value = 0.024

3. Hubungan antara Sesama Peubah Tempat Tumbuh/Tanah

Hubungan (korelasi) antara peubah peubah tempat tumbuh yang tercantum dalam Tabel 1, disajikan secara lengkap dalam Lampiran 9, yaitu berupa matrik korelasi antara peubah peubah tersebut. Dari 27 peubah yang dikemukakan dalam Tabel 1, beberapa pasang diantaranya mempunyai keeratan hubungan (koefisien korelasi) yang tinggi ( 0.7). Pasangan pasangan peubah tersebut dikemukakan pada Tabel 12. Tabel 12 menunjukkan bahwa tebal horizon O berkorelasi secara positif dengan pH horizon A. Horizon O yang merupakan lapisan yang didominasi bahan organik, bisa berperan dalam menyimpan/meredam aliran air hujan yang akan masuk ke horizon A dibawahnya, sehingga horizon A lebih terlindung dari proses pencucian (leaching). Dalam hal ini, makin tebal horizon O, maka horizon A makin terlindung dari pencucian, dan karena itu pH nya relatif tinggi. Lokasi penelitian ini merupakan wilayah yang curah hujannya tertinggi di Pulau Jawa (Sunarno & Rugayah, 1992) dan proses pencucian akan cenderung menurunkan pH tanah (Chen & Chiu, 2000).

Korelasi yang erat antara kadar C organik dan N total menunjukkan bahwa nisbah C/N cenderung relatif konstan di dalam tanah, dan sumber utama N di dalam Tanah adalah bahan organik yang kadarnya di dalam tanah direfleksikan oleh kadar C organik, seperti yang dikemukakan oleh Brady (1974).

Beberapa sifat kimia tanah (kadar K dan pH NaF) di tanah lapisan atas (horizon A) dan yang ditanah lapisan bawah (horizon B) berkorelasi erat. Keadaan ini bisa merupakan fenomena tanah di hutan yang sudah stabil dan klimaks dimana sifat

(14)

kimia seluruh profil tanah bisa direfleksikan (direpresentasikan) oleh lapisan tanah atas saja, karena lapisan tanah atas ini secara konstan menerima jatuhan serasah dan hara yang dipompa oleh akar pohon dari lapisan tanah bawah (Wilde et. al., 1979). Tabel 12. Pasangan pasangan peubah tanah yang mempunyai koefisien korelasi 0.7

No Kode dan nama pasangan peubah Koefisien

korelasi 1 X5 (Tebal horizon O) & X8 (pH horizon A) 0.702 2 X9 (Kadar C organik horizon A) & X10 (Kadar N total horizon A) 0.859 3 X12 (Kadar K horizon A) & X20 (Kadar K horizon B) 0.940 4 X14 (Kadar pasir horizon A) & X22 (Kadar pasir horizon B) 0.751 5 X14 (Kadar pasir horizon A) & X15 (Kadar liat horizon A) - 0.728 6 X16 (pH H2O Horizon B) & X27 (pH NaF horizon B) 0.744 7 X17 (Kadar C organik horizon B) & X18 (Kadar N total horizon

B)

0.839 8 X22 (Kadar pasir horizon B) & X23 (Kadar liat horizon B) - 0.712 9 X24 (Kerapatan lindak horizon A) & X25 (Kerapatan lindak

horizon B)

0.829 10 X26 (pH NaF horizon A) & X27 (pH NaF horizon B) 0.722 Dari tiap pasangan pasangan peubah yang berkorelasi erat di Tabel 12, hanya satu yang dipakai dalam analisis regresi antara penampilan spesies kajian dan peubah tempat tumbuh/tanah (untuk menghindari kolinearitas dalam analisis regresi). Karena itu, dari 27 peubah yang dicantumkan dalam Tabel 1, hanya 18 yang digunakan dalam regresi, yaitu X1, X2, X3, X4, X6, X7, X8, X9, X11, X13, X14, X17, X19, X20, X21, X23, X24, dan X27.

Dalam ilmu tanah, secara teoritis, beberapa pasangan peubah tertentu dikenal mempunyai korelasi erat, misalnya antara kadar C organik dan Kapasitas Tukar Kation tanah (Rowell, 1994). Dalam studi ini, kadar C organik di horizon A berkolerasi sangat nyata dan erat dengan Kapasitas Tukar kation (KTK) di horizon A (r = 0.637) (Lampiran 9). Dilain pihak, untuk horizon B, kadar C organik dan KTK berkolerasi secara tidak nyata dan relatif lemah (r = - 0.217) (Lampiran 9). Diduga hal ini ada hubungannya dengan struktur mineral tanah tanah Andisol (tanah di lokasi studi didominasi oleh Andisol) yang amorf atau tak mempunyai struktur yang beraturan (Wambeke, 1992). Struktur mineral yang tak beraturan ini diduga menyebabkan struktur tapak jerapan (adsorbtion sites) yang juga tak beraturan

(15)

sehingga ketika berinteraksi dengan bahan organik, maka korelasi antara kadar bahan organik dan KTK adalah lemah (seperti diketahui, besarnya KTK ditentukan oleh struktur tapak jerapan), terutama pada tanah tanah yang kadar bahan organiknya rendah (horizon B). Pada tanah tanah yang bahan organiknya relatif tinggi (horizon A), korelasi antara kadar bahan organik dan KTK adalah nyata dan kuat, sehingga besarnya KTK diduga ditentukan lebih banyak oleh kadar bahan organiknya sendiri, dan bukan oleh struktur tapak jerapannya.

Argumentasi yang dikemukakan dalam paragraf sebelum ini, yang memang masih bersifat spekulatif, didukung oleh data yang dihimpun oleh Wambeke (1992) yang menunjukkan bahwa pada tanah tanah non Andisol (Paleustalf, Kandiustalf, Kandiudult, Kandiudox, Eutrudox dan Acrustrox), korelasi antara kadar C organik dan KTK adalah sangat nyata dan kuat (r = 0.80; P-value = 0.00; ukuran contoh, n = 58) sedang pada tanah tanah Andisol (Melanudand, Fulvudand dan Hydrudand), korelasi tersebut adalah tidak nyata dan relatif lemah (r = 0.47; P-value = 0.07; ukuran contoh, n = 16). Jadi, fenomena ini nampaknya mendukung spekulasi bahwa rendahnya korelasi antara KTK dan bahan organik pada Andisol adalah karena struktur mineralnya yang amorf (tak beraturan).

5. Keterkaitan antara Penampilan Tumbuhan dengan Faktor Faktor Tempat Tumbuh.

Penampilan tumbuhan untuk spesies kajian tertentu dicerminkan oleh dominasi relatif, kerapatan relatif, atau kerapatan (jumlah batang per plot). Keterkaitan antara penampilan tumbuhan dengan faktor tempat tumbuh dianalisis berdasarkan prosedur regresi bertatar (stepwise regression procedure) dan menggunakan 18 peubah bebas (X1, X2, X3, X4, X6, X7, X8, X9, X11, X13, X14, X17, X19, X20, X21, X23, X24, dan X27) dan makna masing masing peubah X tersebut adalah seperti yang tercantum dalam Tabel 1. Tujuan utama dalam analisis regresi ini adalah mengidentifikasi peubah peubah tempat tumbuh yang terkait secara nyata dengan penampilan spesies kajian, serta mengetahui bentuk (model) hubungan antara kedua macam peubah tersebut. Spesies kajian utama, adalah saninten. Satu jenis lain, yaitu puspa juga dianalisis dengan cara ini untuk keperluan perbandingan.

(16)

4.1. Hubungan antara Penampilan Saninten dengan Faktor Tempat Tumbuh. 4.1.1. Hubungan antara Dominasi Relatif Saninten dengan Faktor Tempat Tumbuh

Hasil analisis regresi bertatar antara Y = Dominasi relatif saninten dengan peubah peubah X (X1, X2, X3, X4, X6, X7, X8, X9, X11, X13, X14, X17, X19, X20, X21, X23, X24, dan X27), dengan menggunakan á 0.05, disajikan pada Lampiran 11. Analisis tersebut menghasilkan model regresi linier berganda terbaik sebagai berikut: Y = 38.3 + 0.354 X7 – 2.58 X11 – 0.0151 X3. (Model 1)

Dimana R2 = 40.9 %

Y = Dominasi relatif saninten (%) X7 = Kandungan batu dalam tanah (%) X11 = Kadar P horizon A (ppm)

X3 = Elevasi, atau ketinggian diatas permukaan laut (m dpl)

Model ini bisa menjelaskan 40.9 % dari keragaman dominansi relatif saninten. Keragaman yang selebihnya (59.1 %) dijelaskan oleh peubah peubah lain yang tidak dicakup dalam model. Model regresi tersebut juga dapat diinterpretasikan sebagai berikut: jika terjadi kenaikan pada X7 (kandungan batu) sebesar satu satuan dan peubah X yang lain tetap, maka hal ini akan cenderung dibarengi dengan kenaikan Y (dominasi relatif) sebesar 0.354 satuan. Begitu juga untuk peubah peubah X11 dan X3 (Kadar P horizon A dan elevasi). Apabila tanda koefisien pada peubah X adalah positif (seperti pada X7) maka perubahan Y akan cenderung searah dengan perubahan X nya. Apabila tanda koefisien tersebut negatif (seperti pada X11 dan X3) maka perubahan Y cenderung berlawanan arah dengan perubahan X nya.

Model ini menunjukkan bahwa dominasi relatif saninten cenderung makin besar sejalan dengan meningkatnya kandungan batu dalam tanah. Dilain pihak, dominasi relatif saninten cenderung makin kecil dengan meningkatnya elevasi serta kadar P horizon A.

Umumnya pertumbuhan pohon akan terhambat bila kandungan batu dalam tanah meningkat karena berkurangnya volume perakaran (Rowell, 1994). Dalam hal kandungan batu yang tinggi, berkurangnya pertumbuhan tanaman, bukan disebabkan secara langsung oleh berkurangnya volume perakaran, tetapi lebih disebabkan oleh

(17)

berkurangnya pasokan air ke tanaman (Armson, 1970). Secara teoritis, tidak ada tumbuhan pohon yang pertumbuhannya menjadi lebih baik karena adanya batu. Dalam penelitian ini, kehadiran dan dominasi relatif saninten meningkat sejalan dengan meningkatnya kandungan batu, karena saninten berada dalam komunitas alami vegetasi, dimana spesies-spesies lain yang kurang toleran terhadap kandungan batu yang tinggi, cenderung tidak hadir atau berkurang kelimpahannya. Oleh karena itu saninten yang nampaknya toleran terhadap kandungan batu yang tinggi, menjadi meningkat kelimpahannya karena berkurang persaingan. Dalam hal ini bisa dikatakan bahwa saninten adalah jenis yang toleran terhadap kandungan batu yang tinggi. Kalau fenomena yang dikemukakan Armson (1970) benar, maka bisa dikatakan bahwa kebutuhan saninten akan air, cenderung lebih rendah dibanding spesies lain.

Respon tumbuhan terhadap kandungan batu dilaporkan dalam suatu studi lain di hutan tanaman murni (sejenis) Pinus sylvestris, oleh Karlsson (2000), yang menunjukkan bahwa peninggi pohon menurun dan kerusakan akar meningkat, sejalan dengan meningkatnya kandungan batu. Dilain pihak, untuk jenis pohon yang sama (Pinus sylvestris), peneliti lain, Mattila et. al (2001) melaporkan bahwa pada tanah dengan kandungan batu yang tinggi atau pada tanah yang miskin, peluang bahwa Pinus sylvestris terserang penyakit karat (Twisting rust) adalah lebih kecil dibanding yang pada tanah tanpa batu atau pada tanah subur. Jadi untuk kasus yang dilaporkan Mattila et. al. (2001), kandungan batu yang tinggi, lebih menguntungkan bagi Pinus sylvestris (lebih terhindar dari penyakit karat). Hal ini diduga karena kandungan batu lebih terkait dengan ketersedian air, seperti yang dikemukakan oleh Armson (1970), karena ketersediaan air yang melimpah, lebih memperbesar peluang munculnya penyakit tertentu pada tumbuhan. Kandungan air yang melimpah dan tanah yang subur (terutama kadar N yang melimpah) memang memperbesar peluang munculnya penyakit tertentu (bahkan juga serangan hama) pada tumbuhan, yaitu penyakit penyakit yang didahului oleh sukulens i pada batangnya (Devlin & Witham, 1983). Dominansi relatif saninten cenderung menurun dengan meningkatnya kadar P di horizon A. Kadar P di horizon A dalam studi ini berkisar dari sangat rendah sampai sedang, berdasarkan kriteria Staf Pusat Penelitian Tanah (1983), dalam Hardjowigeno

(18)

(2003), dengan nilai rata rata pada tingkat rendah (Tabel 1). Kadar P yang diperoleh dalam studi ini sesuai dengan sifat Andisol yang cenderung punya fiksasi yang besar terhadap P sehingga menjadi bentuk yang tak tersedia (Buol et. al, 1989).

Dalam kisaran P dari sangat rendah sampai sedang seperti dalam studi ini, maka kenaikan kadar P tersedia di tanah, umumnya akan dibarengi dengan respon tanaman yang biomassanya meningkat (Russel, 1978). Tetapi penampilan saninten dalam studi ini berlawanan dengan fenomena tersebut, karena dari model yang diperoleh sebelum ini (Model 1), terlihat bahwa dominasi relatif saninten menurun dengan meningkatnya kadar P tersedia di horizon A. Dengan perkataan lain, dominasi relatif saninten meningkat dengan menurunnya kadar P tersedia di horizon A. Hal ini diduga ada hubungannya dengan keberadaan mikoriza pada saninten, atau ketergantungan saninten terhadap mikoriza. Menurut O’Dell et.al (1993) spesies pohon hutan tropika bervariasi dalam hal daya saingnya di komunitas vegetasi karena perbedaan mikoriza, dan ini menyebabkan spesies tertentu menjadi dominan pada tanah yang rendah kadar P tersedianya. Dengan perkataan lain, suatu spesies pohon bisa menjadi dominan di hutan alam pada tanah tanah yang rendah kadar P tersedianya, karena keberadaan mikoriza pada spesies itu. Hal ini disebabkan karena keberadaan mikoriza menyebabkan tumbuhan lebih mampu memanfaatkan bentuk bentuk P yang tidak tersedia (O’Dell et. al, 1993).

Informasi tentang mikoriza pada marga Castanopsis dilaporkan oleh Tam & Griffith (1994) yang mengemukakan bahwa anakan Castanopsis fissa yang diinokulasi dengan ektomokoriza memperlihatkan peningkatan pertumbuhan dan serapan P. Selain itu pada satu pohon Castanopsis trisperma yang tumbuh di Darmaga, Bogor, ditemukan tubuh buah jamur Scleroderma dictyosporum (identifikasi oleh Laboratorium Silvikultur, Fakultas Kehutanan IPB) di permukaan tanah sekitar pohon tersebut, yang menunjukkan kemungkinan adanya mikoriza pada Castanopsis trisperma tersebut. Jadi, fenomena ini mendukung dugaan mengenai keberadaan mikoriza pada Castanopsis argentea, karena ada kecenderungan bahwa keberadaan mikoriza pada suatu genus tumbuhan bisa mengindikasikan bahwa spesies tumbuhan lain dari genus yang sama, juga memiliki mikoriza.

(19)

Studi ini dilakukan pada elevasi antara 720 – 2000 m di atas permukaan laut, dan pada kisaran ini dominasi relatif saninten menurun sejalan dengan meningkatnya elevasi. Hal ini sesuai dengan kategorisasi selama ini yang memasukkan saninten dalam vegetasi sub montana (elevasi antara 1000 – 1500 m di atas permukaan laut) (Sunarno & Rugayah, 1992), sehingga pada elevasi diatas titik tengah kisaran tersebut (kira kira 1250m dpl), dominasi relatif saniniten menur un sejalan dengan peningkatan elevasi, karena hal ini berarti saninten makin menjauhi habitat optimumnya. Selain itu, elevasi keberadaan saninten dikemukakan oleh Heyne (1987) pada kisaran elevasi antara 200 – 1600 m dpl; dan oleh Prosea (1995) pada kisaran antara 150 – 1750 m dpl. Hal ini mengindikasikan bahwa elevasi optimum untuk saninten berada lebih rendah lagi dari 1250 m (perkiraan elevasi rata rata untuk zona sub montana), sehingga hal ini bisa menjelaskan lagi kenapa dalam studi ini, pada kisaran elevasi antara 720 – 2000 m, dominasi relatif saninten menurun sejalan dengan meningkatnya elevasi.

4.1.2. Hubungan antara Kerapatan Saninten dengan Faktor Tempat Tumbuh Hasil analisis regresi bertatar antara Y = Kerapatan saninten (jumlah batang saninten per plot), dengan peubah peubah X (X1, X2, X3, X4, X6, X7, X8, X9, X11, X13, X14, X17, X19, X20, X21, X23, X24, dan X27), dengan menggunakan á = 0.05, disajikan pada Lampiran 12. Peubah Y perlu ditrasformasi menjadi Ln (Y+1) karena bila menggunakan peubah Y yang asli, terdapat heterosedasitas dalam regresi. Analisis tersebut menghasilkan model regresi linier berganda terbaik sebagai berikut: Ln (Y+1) = 1.39 + 0.0167 X7 – 0.122 X11 (Model 2) dimana R2 = 20.9 %

Y = Kerapatan saninten (jumlah batang per plot) X7 = Kandungan batu dalam tanah (%)

X11 = Kadar P horizon A (ppm)

Model ini menunjukkan bahwa kerapatan saninten cenderung makin besar sejalan dengan meningkatnya kandungan batu dalam tanah. Dilain pihak, kerapatan saninten cenderung makin kecil dengan meningkatnya kadar P horizon A. Model

(20)

yang dihasilkan mirip dengan yang untuk dominasi relatif saninten seperti yang dikemukakan sebelum ini, tetapi peubah elevasi tidak masuk kedalam model untuk jumlah batang saninten. Hal ini mengindikasikan bahwa elevasi lebih cenderung berpengaruh terhadap ukuran biomassa saninten daripada terhadap jumlah batang saninten. Fenomena ini sesuai dengan yang sering dilaporkan dalam berbagai literatur, yaitu bahwa pada kisaran elevasi tertentu, ukuran biomassa pohon makin kecil dengan meningkatnya elevasi (Steenis, 1972). Jadi, untuk saninten, pada tempat tumbuh dengan kisaran elevasi antara 720 – 2000 m dpl, sejalan dengan meningkatnya elevasi, yang lebih banyak terjadi adalah penurunan terhadap biomassa daripada terhadap jumlah batang.

4.2. Hubungan antara Penampilan Puspa dengan Faktor Tempat Tumbuh

4.2.1. Hubungan antara Dominasi Relatif Puspa dengan Faktor Tempat Tumbuh.

Hasil analisis regresi bertatar antara Y = Dominasi relatif puspa, dengan peubah peubah X (X1, X2, X3, X4, X6, X7, X8, X9, X11, X13, X14, X17, X19, X20, X21, X23, X24, dan X27), dengan menggunakan á = 0.05, disajikan pada Lampiran 13. Analisis tersebut menghasilkan model regresi linier berganda terbaik sebagai berikut:

Y = -220 + 19.8 X27 + 0.448 X23 (Model 3)

dimana R2 = 26.6 %

Y = Dominasi relatif puspa (%) X27 = pH NaF horizon B

X23 = Kadar liat horizon B (%)

Model ini menunjukkan bahwa dominasi relatif puspa cenderung makin besar sejalan dengan meningkatnya pH NaF horizon B dan meningkatnya kadar liat di horizon B. Peningkatan kadar liat (tekstur tanah) membantu pertumbuhan tanaman melalui dua kemungkinan (Russel, 1978): peningkatan kemampuan tanah memegang air, dan perbaikan sifat tanah yang berkolerasi dengan kadar liat, misalnya Kapasitas Tukar Kation (KTK).

Hasil penelitian Coffin & Lauenroth (1994) menunjukkan bahwa tekstur tanah mempengaruhi pertumbuhan tanaman di daerah semi arid melalui perbaikan kemampuan tanah memegang air. Dilain pihak, studi ini dilakukan di daerah iklim

(21)

basah, sehingga bisa diduga bahwa meningkatnya dominasi relatif puspa sejalan dengan peningkatan kadar liat, lebih disebabkan karena peningkatan KTK. Dugaan ini juga didukung oleh korelasi yang nyata, walaupun tidak terlalu besar (r = 0.314) antara kadar liat dengan KTK dalam penelitian ini.

Antara pH NaF dengan retensi P, ada korelasi yang erat (Gilkes & Hughes 1994). Dalam penelitian ini, peningkatan pH NaF berkolerasi dengan peningkatan dominasi relatif puspa. Ada dua kemungkinan penyebab meningkatnya dominasi relatif puspa, seiring dengan peningkatan pH NaF. Kemungkinan pertama adala h dominasi relatif puspa meningkat karena peningkatan pH H2O (karena pH H2O dan pH NaF berkolerasi erat dengan r = 0.744). Kemungkinan kedua adalah dominasi relatif puspa meningkat sejalan dengan meningkatnya retensi P (retensi P berkolerasi dengan pH NaF) karena puspa ini memiliki mikoriza yang sesuai yang bisa mengatasi peningkatan retensi P, sehingga puspa memiliki keunggulan kompetitif dibanding spesies lain. Dugaan yang kedua ini didukung oleh anggapan selama ini yang mengemukakan bahwa spesies yang mengandung mikoriza cenderung dominan pada tanah tanah dengan retensi P yang tinggi (O’Dell et. al., 1993).

4.2.2. Hubungan antara Kerapatan Relatif Puspa dengan Faktor Tempat Tumbuh

Hasil analisis regresi bertatar antara Y = Kerapatan relatif puspa dengan peubah peubah X (X1, X2, X3, X4, X6, X7, X8, X9, X11, X13, X14, X17, X19, X20, X21, X23, X24, dan X27), dengan menggunakan á = 0.05, disajikan pada Lampiran 14. Dalam hal ini peubah Y perlu ditransformasi menjadi Ln (Y+1) karena bila menggunakan peubah Y yang asli, terdapat ketidak normalan sisaan dan heterosedasitas dalam regresi. Analisis tersebut menghasilkan model regresi linier berganda terbaik sebagai berikut: Ln (Y+1) = 1.92 + 0.00208 X3 – 4.18 X24 + 0.203 X11 – 0.445 X17. (Model 4) Dimana R2 = 44.63 %

Y = Kerapatan relatif puspa X3 = Elevasi (m dpl)

X24 = Kerapatan lindak horizon A (gram/cm3) X11 = Kadar P horizon A (ppm)

(22)

X17 = Kadar C organik horizon B (%)

Model ini menunjukkan bahwa dominasi relatif puspa cenderung makin besar sejalan dengan meningkatnya elevasi dan kadar P horizon A. Dilain pihak, dominasi relatif puspa cenderung menurun dengan meningkatnya kerapatan lindak horizon A dan meningkatnya kadar C organik horizon B. Dalam hal ini saninten dan puspa berbeda dalam hal respon mereka terhadap peningkatan elevasi. Pada kisaran elevasi dalam studi ini, yaitu 720 – 2000 m dpl, kerapatan relatif puspa cenderung meningkat dengan meningkatnya elevasi. Hal ini sesuai dengan kategorisasi selama ini yang memasukkan puspa sebagai anggota vegetasi montana dan/atau submontana (Sunarno & Rugayah 1992). Tipe vegetasi submontana umumnya terletak pada kisaran elevasi antara 1500 – 2500 m, sedangkan kisaran elevasi dalam studi ini adalah 720 – 2000 m. Jadi kalau memang puspa bisa dikategorikan sebagai anggota vegetasi montana, maka hal ini yang menyebabkan meningkatnya kerapatan relatif puspa sejalan dengan meningkatnya elevasi dalam studi ini.

Saninten dan puspa juga berbeda dalam hal respon terhadap peningkatan kadar P tersedia di tanah. Kerapatan relatif puspa cenderung meningkat dengan meningkatnya kadar P tersedia di tanah di horizon A. Dalam hal ini, nampaknya puspa tidak terlalu tergantung kepada mikoriza, karena kelimpahannya meningkat sejalan dengan kenaikan P tersedia. Argumentasi ini didasarkan oleh fenomena bahwa spesies yang kelimpahannya (terutama kelimpahan relatif di komunitas alami) meningkat sejalan dengan menurunnya ketersediaan P, adalah spesies yang mempunyai mikoriza atau tergantung pada mikoriza. Kalau dibandingkan dengan pembahasan untuk model 3 yang mengkaji dua kemungkinan kenapa dominasi relatif puspa cenderung meningkat sejalan dengan meningkatnya pH NaF, maka kemungkinan yang lebih besar adalah bahwa fenomena tersebut disebabkan oleh korelasi yang erat antara pH NaF dengan pH H2O karena ada dugaan (berdasarkan model 4) bahwa puspa cenderung tidak tergantung pada mikoriza.

Kerapatan relatif puspa yang cenderung meningkat dengan menurunnya kerapatan lindak di horizon A adalah merupakan fenomena yang berkaitan dengan

(23)

kecenderungan puspa untuk lebih banyak hadir ditanah tanah Andisol (Tabel 9), sedang tanah Andisol adalah tanah yang mempunyai kerapatan lindak yang rendah.

5. Perbedaan Kondisi Tempat Tumbuh Berdasarkan Kehadiran Spesies Kajian. Untuk masing masing spesies kajian, plot-plot contoh dalam studi ini dipilah menjadi dua kelompok, yaitu plot contoh yang mengandung spesies kajian, dan plot contoh yang tidak mengandung spesies kajian. Selanjutnya diadakan pengujian apakah kedua kelompok tersebut berbeda dalam hal peubah tempat tumbuh tertentu. Sebagai misal, untuk jenis saninten, diadakan pengujian apakah kadar P horizon A kelompok plot contoh yang mengandung saninten, berbeda dibanding kelompok plot contoh yang tidak mengandung saninten. Hasil uji terhadap masing masing dari 18 peubah tempat tumbuh untuk tiap spesies kajian (uji beda nilai tengah), disajikan pada Tabel 13.

Tabel 13 mengindikasikan bahwa dibanding spesies lainnya, saninten dan tungurut kurang selektif dalam memilih tempat tumbuhnya, dan ini ditunjukkan oleh tidak adanya perbedaan nyata antara lokasi yang ditumbuhi dan yang tidak ditumbuhi jenis tersebut.

Puspa memiliki kecenderungan yang berbeda dibanding saninten dalam hal elevasi, dimana puspa cenderung berada pada elevasi yang besar (Tabel 13). Fenomena ini sesuai dengan kategorisasi selama ini yang memasukkan saninten sebagai vegetasi submontana dan puspa sebagai vegetasi montana dan/atau submontana (Sunarno & Rugayah, 1992).

Puspa juga cenderung hadir di lokasi yang memiliki kadar K horizon A relatif rendah (Tabel 13). Fenomena ini sulit diinterpretasikan karena kadar hara di dalam tanah hutan hujan tropika sering tidak mencerminkan kondisi biomassa tumbuhan, dan yang sering terjadi adalah tanah yang miskin mendukung hutan dengan biomassa yang besar, terutama pada tanah tanah yang tua (Jacobs, 1981). Korelasi yang erat antara kandungan hara dengan ukuran biomassa hutan hujan tropika, hanya ditemukan ditanah tanah muda, misalnya deposit volkanik muda (Jacobs, 1981). Tanah di lokasi studi ini bisa dikategorikan sebagai tanah muda. Karena itu, ada

(24)

kemungkinan puspa memang lebih menyukai tanah dengan kadar K horizon A yang rendah, karena kebutuhan puspa yang rendah akan K. Hal ini kemungkinan merupakan feno mena untuk menghindari luxury consumption, yaitu penyerapan unsur hara dalam jumlah melebihi kebutuhan, tanpa menimbulkan pertambahan pertumbuhan (Tisdale et. al., 1990), dan unsur K adalah salah satu unsur yang kadang kadang diserap berlebih kalau memang tersedia melimpah di tanah. Di lokasi studi ini, kadar K horizon A berkisar dari sangat rendah sampai sangat tinggi (Tabel 1) sehingga diduga ada adaptasi puspa untuk menghindari luxury consumption (luxury consumption ini merupakan fenomena ketidak efisienan), sedang tumbuhan di hutan hujan primer terkenal efisien dalam menggunakan hara (Jacobs, 1991).

6. Pengelompokkan Plot Plot Contoh Berdasarkan Kehadiran Spesies Kajian dan Peubah Peubah Tempat Tumbuh (Analisis Diskriminan).

Penelitian ini mengelompokkan plot plot contoh menjadi dua, yaitu plot contoh yang dihadiri spesies kajian tertentu, dan plot contoh yang tidak dihadiri oleh spesies kajian tertentu. Selain itu, studi ini juga mengelompokkan plot plot contoh menjadi dua, berdasarkan jenis tanahnya, yaitu Andisol dan Inceptisol. Selanjutnya, analisis diskriminan (menggunakan MINITAB 13) dengan menggunakan prosedur fungsi diskriminan linier dan cross validation, dilakukan untuk mendapatkan gambaran mengenai sejauh mana peubah peubah tempat tumbuh yang ada, berperan dalam pengelompokan unit unit contoh tersebut. Gambaran ini diperoleh dari proporsi jumlah unit contoh yang dikelompokkan secara benar (sesuai dengan pengelompokan yang sudah diketahui sebelumnya) oleh

(25)

Tabel 13. Peubah tempat tumbuh yang menunjukkan perbedaan nyata (α = 0.05) antara plot yang dihadiri dan yang tidak dihadiri oleh spesies kajian tertentu.1)

Nilai rata rata peubah Spesies

kajian Peubah tempat tumbuh

Plot yang dihadiri

spesies kajian

Plot yang tidak dihadiri spesies kajian Arah perbeda an (+ / -) Saninten (Castanop sis argentea) tn2) tn (n = 31) tn (n = 14) tn

X2=Jumlah batang semua spesies per plot 54 (n = 36) 37 (n = 9) +3) X3=Elevasi (m dpl) 1314 999 +

X9=Kadar C organik horizon A (%) 4.8 3.3 + X12=Kadar K horizon A (me/100 g) 0.20 0.45 - X24=Kerapatan lindak horizon A

(g/cm3) 0.63 0.75 - Puspa (Schima wallichii) X27=pH NaF horizon B 11.9 11.4 +

X1=Luas bidang dasar semua spesies per plot (m2) 4.27 (n = 24) 2.98 (n = 21) + X3=Elevasi (m dpl) 1168 1345 -

X9=Kadar C organic horizon A (%) 3.98 5.09 - Rasamala

(Altingia excelsa)

X21=Kapasitas Tukar Kation horizon B (me/100 g) 21.43 17.58 + Tungurut (Castanop sis tungurut) tn tn (n = 11) tn (n = 34) tn

X2=Jumlah batang semua spesies per Plot 60 (n = 17) 45 (n = 28) + X3=Elevasi (m dpl) 1435 1139 + Riung anak (Castanop sis javanica)

X23=Kadar liat horizon B (%) 14.00 22.89 -

X7=Kandungan batu (%) 20 (n = 10) 7 (n = 35) + Pulus (Laportea

stimulans) X9=Kadar C organik horizon A (%) 3.47 4.79 -

1) Analisa dengan SPSS 10,prosedur Independent sample t test, dengan didahului uji kesamaan ragam, prosedur Levene’s test

2) tn = tidak nyata = tidak ada peubah yang menunjukkan perbedaan nyata

3) + = plot yang mengandung spesies kajian, memiliki nilai rata rata peubah lebih tinggi - = plot yang mengandung spesies kajian , memiliki nilai rata rata peubah lebih rendah n = banyaknya plot contoh (ulangan)

(26)

prosedur analisis diskriminan, berdasarkan peubah peubah tempat tumbuh yang ada (proportion correct). Peubah peubah tempat tumbuh yang digunakan adalah X1, X2, X3, X4, X6, X7, X8, X9, X11, X13, X14, X17, X19, X20, X21, X23, X24, dan X27, dengan arti notasi yang sama seperti pada Tabel 1. Bila diantara sesama 18 peubah peubah tempat tumbuh tersebut di pasang pasangkan satu sama lain, tidak ada pasangan peubah yang memiliki korelasi 0.7. Hasil analisis diskriminan disajikan pada Tabel 14.

Tabel 14. Analisis Diskriminan terhadap pengelompokkan plot plot contoh berdasarkan kehadiran spesies kajian (2 kelompok)1 dan jenis tanah (2 kelompok)2 dengan prediktor 18 peubah tempat tumbuh3.

Dasar Pengelompokkan plot contoh

Proporsi plot contoh yang dikelompokkan secara benar dengan menggunakan peubah tempat tumbuh yang tersedia dan prosedur analisis diskriminan (proportion correct)

Kehadiran saninten 0.556

Kehadiran puspa 0.756

Kehadiran rasamala 0.644

Kehadiran riung anak 0.733

Kehadiran tungurut 0.467

Kehadiran pulus 0.689

Jenis tanah 0.844

1

hadir atau tidak hadir 2

Andisol atau Inceptisol 3

Menggunakan MINITAB 13, fungsi diskriminan linier dan cross validation

Tabel 14 menunjukkan bahwa kehadiran saninten dan tungurut termasuk 2 terendah dalam hal proportion correct. Ini berarti bahwa peubah peubah tempat tumbuh yang dipakai (18 peubah) kurang tepat untuk dijadikan dasar pengelompokkan plot contoh berdasarkan kehadiran 2 spesies tersebut. Hasil analisis diskriminan ini sejalan dengan hasil uji beda tempat tumbuh yang disajikan pada Tabel 13 dimana ditunjukkan bahwa peubah peubah tempat tumbuh yang ada, tidak berbeda nyata antara plot yang dihadiri saninten / tungurut dan plot yang tidak

(27)

dihadiri oleh jenis tersebut. Antara Tabel 13 dan 14 nampak ada hubungan, dimana makin tinggi nilai proportion correct, jumlah peubah yang berbeda nyata di Tabel 13, juga makin banyak. Untuk spesies puspa misalnya, yang nilai proportion correct nya terbesar (untuk kehadiran species kajian), ternyata jumlah peubahnya yang berbeda nyata di Tabel 13, juga paling banyak.

Pengelompokkan plot contoh berdasarkan jenis tanah (Andisol atau Inceptisol) mempunyai nilai proportion correct terbesar pada Tabel 14, karena dari 18 peubah tempat tumbuh yang dipakai, 14 diantaranya adalah peubah tanah.

6. Pengelompokkan Plot plot Contoh Berdasarkan Peubah Tempat Tumbuh (Analisis Gerombol).

Dari masing masing plot contoh, diperoleh antara lain data penampilan spesies saninten dan beberapa spesies pembanding lainnya, serta data peubah tempat tumbuh. Peubah tempat tumbuh dari masing masing plot contoh adalah luas bidang dasar semua spesies per plot (X1), jumlah batang semua spesies per plot (X2), elevasi (X3) serta peubah peubah fisiografi dan tanah lainnya (X4 sampai dengan X27).

Peubah peubah tempat tumbuh tersebut (semuanya ada 18 peubah, yaitu X1, X2, X3, X4, X6, X7, X8, X9, X11, X13, X14, X17, X19, X20, X21, X23, X24, dan X27, dengan makna seperti tertera pada Tabel 1) digunakan untuk mencoba mengelompokkan plot plot contoh dalam penelitian ini (45 plot contoh) dengan menggunakan program MINITAB 13, prosedur cluster analysis, standardized variable, euclidean distance, complete linkage, dan jumlah kelompok (number of cluster) 2.

Jumlah kelompok (number of clusters) yang digunakan adalah dua, karena analisis gerombol ini dicoba dibandingkan dengan analisis analisis lainnya yang memilah plot plot contoh dalam penelitian ini menjadi dua, yaitu berdasarkan kehadiran spesies kajian tertentu (hadir atau tidak hadir) dan berdasarkan jenis tanah (Andisol atau Inceptisol).

Hasil analisis gerombol dengan menggunakan semua peubah tempat tumbuh menghasilkan dendogram seperti pada Gambar 5, yang menunjukkan dua kelompok

(28)

(gerombol) yaitu plot 6, 8, 9, 10, 11, dan 16 sebagai kelompok 1 (cluster 1 beranggotakan 6 plot), dan plot sisanya sebagai kelompok 2 (cluster 2).

Pengelompokan berdasarkan dendogram Gambar 5 tidak menunjukkan konsistensi dengan pengelompokan plot contoh berdasarkan kehadiran saninten, puspa, rasamala, riung anak, tungurut, atau pulus (data kehadiran spesies spesies kajian pada masing masing plot contoh, disajikan pada Lampiran 15). Hal ini bisa disebabkan karena spesies spesies kajian tersebut (terutama saninten) tidak mempunyai hubungan yang terlalu erat dengan tempat tumbuhnya, yang bermakna bahwa antara plo t plot contoh yang mengandung dan yang tidak mengandung spesies kajian, tidak ada perbedaan yang menyolok. Hal ini bisa dilihat pada Tabel 13 sebelum ini, yang menunjukkan bahwa untuk spesies saninten dan tungurut, antara plot yang mengandung spesies kajian tersebut dengan plot yang tidak mengandung spesies kajian, tidak ada perbedaan yang nyata dalam hal peubah tempat tumbuhnya. Spesies kajian yang mempunyai paling banyak peubah tempat tumbuh yang berbeda nyata antara plot yang mengandung spesies kajian, dan plot yang tidak mengandung spesies kajian, adalah puspa (ada 6 peubah tempat tumbuh yang berbeda nyata, pada Tabel 13). Nampaknya untuk spesies puspa inipun, 6 peubah tempat tumbuh yang berbeda nyata ini masih belum cukup untuk menimbulkan pengelompokkan tempat tumbuh berdasarkan kehadiran puspa (dendrogram Gambar 5).

(29)

Gambar 5. Dendogram analisis gerombol dengan menggunakan semua peubah tempat tumbuh (18 peubah) untuk mengelompokkan plot plot contoh. Angka angka pada garis horizontal adalah nomor plot contoh. Dilain pihak, anggota anggota kelompok 1 (plot contoh 6, 8, 9, 10, 11, 16) pada dendrogram Gambar 5, mempunyai atribut yang sama, yaitu semuanya mempunyai tanah dengan jenis Hapludand (Andisol). Hal ini disebabkan karena dari 18 peubah tempat tumbuh yang digunakan untuk dendogram Gambar 5 tersebut, 16 diantaranya adalah peubah fisiografi dan tanah; dan hanya dua peubah (X1 = luas bidang dasar semua spesies per plot, dan X2 = jumlah batang semua spesies per plot) yang merupakan peubah yang bersifat sebagai komponen vegetasi lingkungan tempat tumbuh.

(30)

Gambar 6. Dendrogram analisis gerombol dengan menggunakan semua peubah tempat tumbuh, kecuali X1 dan X2 (X1 = luas bidang dasar semua spesies per plot, X2 = jumlah batang semua spesies per plot) untuk mengelompokkan plot plot contoh. Dalam hal ini, peubah tempat tumbuh yang dipakai hanya peubah fisiografi dan tanah. Angka angka pada garis horizontal adalah nomor plot contoh.

Kalau peubah X1 dan X2 ini tidak dimasukkan dalam analisis gerombol, sehingga yang dipakai hanyalah peubah fisiografi dan tanah, maka dendrogram yang dihasilkan adalah seperti yang pada Gambar 6. Dendrogram pada Gambar 6 menunjukkan bahwa kelompok 1 (cluster 1), anggotanya bertambah menjadi 8 plot (6, 8, 9, 10, 11, 16, 19, 28) yang semuanya masih mempunyai atribut yang sama, yaitu mempunyai tanah Hapludand (Andisol). Selain itu juga terdapat pengelompokkan plot no 4, 12, 13, dan 14 (mempunyai atribut sama yaitu memiliki tanah Humic Psammetic Dystrudept, dan dalam penelitian ini, tanah jenis ini hanya ditemukan pada empat plot contoh tersebut). Plot no 32 dan 33 juga mengelompok (kedua plot memiliki jenis tanah yang sama, yaitu Typic Dystrudept, dan dalam penelitian ini, tanah jenis ini hanya ditemukan pada dua plot tersebut). Disini terlihat

(31)

bahwa ketika peubah tempat tumbuh yang digunakan dalam dendrogram hanyalah peubah fisiografi dan tanah, maka pengelompokkan plot contoh yang terkait dengan jenis tanah, menjadi lebih tajam.

Hal lain yang bisa disoroti dari analisis gerombol ini adalah peranan peubah elevasi (X3 = tinggi tempat diatas permukaan laut). Bila X3 ini tidak dimasukkan dalam analisis gerombol yang hanya menggunakan peubah fisiografi dan tanah, maka hasilnya adalah seperti yang disajikan dalan Gambar 7, dan ini mirip dengan dendrogram pada Gambar 6, dimana kelompok 1 tetap beranggotakan plot 6, 8, 9, 19, 28, 10,11, dan 16 (walaupun untuk kelompok 2 terdapat perbedaan dalam hal tahap tahap amalgamasi plot plot contoh). Hal ini ada hubungannya dengan sifat peubah X3 (elevasi) yang dalam klasifikasi tanah untuk kasus ini, bukan merupakan pembeda jenis tanah sampai kategori sub group.

(32)

Gambar 7. Dendrogram analisis gerombol dengan hanya peubah fisiografi dan tanah, dan tanpa menggunakan elevasi (X3). Angka angka pada garis horizontal adalah nomor plot contoh.

Masih berkaitan dengan peubah elevasi (X3), bila analisis gerombol dilakukan dengan semua peubah tempat tumbuh, kecuali X3, maka konfigurasi pengelompokkan plot contoh berubah total (Gambar 8), dan ini perlu dibandingkan dengan dendrogram pada Gambar 5. Dalam hal ini bisa dikatakan bahwa walaupun elevasi bukan merupakan pembeda jenis tanah (sampai kategori sub group), sehingga dalam pembentukan kelompok 1 di dendrogram Gambar 7, nampak tidak berperan, tapi peubah elevasi ini (X3), bersama sama dengan peubah komponen vegetasi lingkungan (X1 dan X2), sangat berperan dalam pengelompokkan plot contoh.

(33)

Gambar 8. Dendrogram analisis gerombol dengan menggunakan semua peubah tempat tumbuh, kecuali elevasi (X3) untuk mengelompokkan plot plot contoh. Angka angka pada garis horizontal adalah nomor plot contoh.

8. Keberadaan Saninten dan Taksonomi Tanah sampai Kategori Famili (USDA) Menurut analisis regresi, peubah yang berkorelasi secara nyata dengan keberadaan saninten adalah antara lain kandungan batu (stoniness). Kandungan batu ini, merupakan juga peubah yang hampir selalu digunakan dalam taksonomi tanah (USDA) sampai kategori famili, dimana kandungan batu mempengaruhi kelas besar butir (particle-size class) yang menjadi salah satu pembeda jenis tanah dalam kategori famili. Karena itu dalam studi ini, walaupun beberapa info rmasi tidak tersedia secara lengkap, taksonomi tanah dilanjutkan sampai kategori famili, untuk mengkaji sejauh mana keberadaan saninten terkait dengan taksonomi tanah sampai kategori famili. Hasil taksonomi tanah sampai kategori famili tersebut dikemukakan dalam Tabel 15. Selanjutnya, karena beberapa informasi untuk taksonomi tanah sampai kategori famili

(34)

tersebut, tidak tersedia secara lengkap, sehingga perlu dilakukan pendekatan-pendekatan tertentu, maka pendekatan-pendekatan pendekatan-pendekatan tersebut diuraikan pada sub bab 8.1 untuk tiap plot contoh.

Tabel 15. Jenis tanah yang ditemukan pada masing masing plot contoh di Taman Nasional Gunung Gede – Pangrango.

Nomor plot contoh Lokasi (Resort di Taman Nasional)

Jenis tanah (klasifikasi/taksonomi berdasarkan Soil Taxonomy USDA sampai kategori famili)

1 Cibodas Typic Hapludand, medial skeletal, ferihidritik, isotermik 2 Cibodas Typic Hapludand, medial, campuran, superaktif, isotermik 3 Cibodas Typic Hapludand, medial, campuran, superaktif, isotermik 4 Cibodas Humic Psammentic Dystrudept, isotik, isotermik

5 Cibodas Typic Hapludand, medial skeletal, ferihidritik, isotermik 6 Cibodas Alic Hapludand, medial, campuran, superaktif, isotermik 7 Cibodas Typic Hydrudand, medial diatas hidrous, campuran, semiaktif,

isotermik

8 Gunung Putri Typic Hapludand, medial, ferihidritik, isotermik 9 Gunung Putri Vitric Hapludand, medial, ferihidritik, isotermik

10 Selabintana Typic Hapludand, medial, campuran, superaktif, isotermik 11 Selabintana Alic Hapludand, medial, campuran, superaktif, isotermik 12 Selabintana Humic Psammentic Dystrudept, isotik, isotermik

13 Selabintana Humic Psammentic Dystrudept, isotik, isotermik 14 Selabintana Humic Psammentic Dystrudept, isotik, isotermik 15 Selabintana Typic Hapludand, medial, ferihidritik, isotermik

16 Situgunung Typic Hapludand, medial, campuran, superaktif, isotermik 17 Situgunung Typic Hapludand, medial, campuran, superaktif, isotermik 18 Situgunung Typic Hapludand, medial, campuran, superaktif, isotermik 19 Situgunung Typic Hapludand, medial, campuran, superaktif, isotermik ...Lanjutan Tabel 15.

(35)

Nomor plot contoh Lokasi (Resort di Taman Nasional)

Jenis tanah (klasifikasi/ taksonomi berdasarkan Soil Taxonomy USDA sampai kategori famili)

20 Situgunung Typic Hapludand, medial, campuran, superaktif, isotermik 21 Situgunung Typic Hapludand, medial, campuran, superaktif, isotermik 22 Bodogol Alic Hapludand, hidrous, campuran, superaktif, isohipertermik 23 Bodogol Alic Hapludand, medial, campuran, superaktif, isohipertermik 24 Bodogol Typic Hapludand, hidrous, campuran, superaktif,

isohipertermik

25 Bodogol Alic Hapludand, hidrous, ferihidritik, isohipertermik 26 Bodogol Alic Hapludand, hidrous, ferihidritik, isohipertermik 27 Bodogol Humic Dystrudept, halus, ilitik, isohipertermik

28 Bodogol Typic Hapludand, medial, campuran, superaktif, isohipertermik 29 Bodogol Vitric Hapludand, berabu, ferihidritik, isohipertermik

30 Bodogol Typic Hapludand, medial, campuran, superaktif, isohipertermik 31 Bodogol Typic Hapludand, medial, campuran, superaktif, isohipertermik 32 Bodogol Typic Dystrudept, berdebu halus, campuran, superaktif,

isohipertermik

33 Bodogol Typic Dystrudept, berdebu halus, campuran, superaktif, isohipertermik

34 Cimande Typic Hapludand, medial, campuran, superaktif, isotermik 35 Cimande Alic Hapludand, medial, ferihidritik, isotermik

36 Bojongmurni Typic Hapludand, medial, campuran, superaktif, isotermik 37 Bojongmurni Alic Hapludand, medial, campuran, superaktif, isotermik 38 Cisarua Typic Hapludand, medial, campuran, superaktif, isotermik 39 Cisarua, Typic Hapludand, medial, ferihidritik, isotermik

40 Cimungkat Typic Hapludand, medial, ferihidritik, isotermik 41 Cimungkat Typic Hydrudand, hidrous, ferihidritik, isotermik

42 Gedeh Typic Hydrudand, hidrous, campuran, superaktif, isotermik 43 Gedeh Eutric Hydrudand, hidrous. ferihidritik, isotermik

(36)

44 Gedeh Typic Hapludand, medial, ferihidritik, isotermik

45 Gedeh Typic Hydrudand, medial diatas hidrous, campuran, semiaktif, isotermik

8.1. Penjelasan dan Pendekatan dalam Taksonomi Tanah untuk kategori Famili (Soil Taxonomy, USDA) untuk Tiap Plot Contoh

Klasifikasi tanah (Soil Taxonomy, USDA) sampai kategori famili dalam penelitian ini mengikuti petunjuk dari Soil Suvey Staff (1998). Dalam Soil Taxonomy (USDA), untuk kategori famili dibutuhkan beberapa informasi, antara lain mengenai kelas besar butir, kelas mineralogi, kelas aktivitas tukar kation dan kelas suhu tanah. Informasi unt uk kelas mineralogi yang berupa data akurat tentang komposisi mineral di tanah masing masing plot contoh, tidak tersedia secara lengkap dalam penelitian ini. Karena itu untuk menentukan kelas mineralogi dilakukan pendekatan dengan memanfaatkan berbagai data lain yang tersedia untuk menduga jenis jenis mineral yang ada di tanah masing masing plot contoh. Uraian mengenai pendekatatan tersebut, diberikan untuk masing masing plot contoh.

Untuk tanah tanah Andisol digunakan pengganti kelas besar butir, sesuai dengan petunjuk dari Soil Survey Staff (1998). Namun informasi yang akurat untuk pengganti kelas besar butir (pada tanah Andisol) ini juga tidak tersedia secara lengkap dalam penelitian ini, dan karena itu dilakukan juga pendekatan pendekatan tertentu (yang akan diuraikan untuk masing masing plot contoh) untuk menduga pengganti kelas besar butir bagi tanah tanah Andisol di masing masing plot contoh.

Kelas suhu tanah diduga dengan pendekatan berupa pemanfaatan data suhu udara, dimana diasumsikan bahwa suhu udara rata rata tahunan di sekitar Cibodas (elevasi 1440 m diatas permukaan laut) adalah 17o C (FAO, 1978), dan penurunan suhu untuk setiap kenaikan elevasi 100 m, adalah sebesar 0.6oC (Wambeke, 1992). Selain itu juga digunakan pendekatan bahwa untuk daerah tropika (Wambeke, 1992): suhu tanah rata rata tahunan adalah = Suhu udara rata rata tahunan + 2o C.

Selanjutnya, kelas suhu tanah diduga dengan memanfaatkan data elevasi masing masing plot contoh.

(37)

8.1.1. Plot Contoh 1 (Typic Hapludand, medial skeletal, ferihidritik, isotermik) Pengganti kelas besar butir adalah ”medial skeletal” karena tekstur tanah dengan metoda pipet adalah lempung berpasir (horizon A dan B) yang setara kira kira dengan ”medial” untuk tanah tanah Andisol, dan kandungan batu > 35 %.

Kelas mineralogi diduga adalah ”ferihidritik” karena horizon B (horizon paling tebal dan merupakan penggal penentu utama dalam penentuan kelas mineralogi) berwarna merah (10 R 4/8) dalam keadaan lembab, dan menurut Wambeke (1992) serta Schwertman & Taylor (1989), ferihidrit memberi kontribusi warna merah pada tanah.

8.1.2. Plot Contoh 2 (Typic Hapludand, medial, campuran, superaktif, isotermik)

Pengganti kelas besar butir adalah ”medial” karena tekstur tanah dengan metoda pipet adalah lempung debu (horizon A) dan lempung berpasir (horizon B) yang kira kira setara dengan ”medial” untuk tanah tanah Andisol, dan kandungan batu < 35 %. Kelas mineralogi diduga adalah ”campuran” karena warna lembab horizon A (coklat kemerahan gelap, 2.5 YR 2.5/4) dan B (merah agak gelap, 10 R ¾), walaupun bersifat kemerahan dan mengandung warna merah, tapi tidak dikategorikan secara persis sebagai warna merah. Jadi, ”campuran” disini diduga mengandung mineral ferihidirit dalam jumlah yang cukup dominan, bersama dengan mineral amorf yang lain, serta gelas volkan. Kelas aktivitas tukar kation adalah ”super aktif” karena nisbah antara kapasitas tukar kation terhadap kadar liat, adalah > 0.6 untuk horizon A dan B.

8.1.3. Plot Contoh 3 (Typic Hapludand, medial, campuran, superaktif, isotermik)

Pengganti kelas besar butir adalah ”medial” karena tekstur tanah dengan metoda pipet adalah lempung berpasir (horizon A dan B) yang kira kira setara dengan ”medial” untuk tanah tanah Andisol, dan kandungan batu < 35 %.

(38)

Kelas mineralogi diduga adalah ”campuran” karena warna lembab horizon A (coklat kemerahan gelap, 2.5 YR 2.5/4) dan B (merah agak gelap, 10 R ¾), walaupun bersifat kemerahan dan mengandung warna merah, tapi tidak dikategorikan secara persis sebagai warna merah. Jadi, ”campuran” disini diduga mengandung mineral ferihidirit dalam jumlah yang cukup dominan, bersama dengan mineral amorf yang lain, serta gelas volkan. Kelas aktivitas tukar kation adalah ”super aktif” karena nisbah antara kapasitas tukar kation terhadap kadar liat, adalah > 0.6 untuk horizon A dan B.

8.1.4. Plot Contoh 4 (Humic Psammentic Dystrudept, isotik, isotermik)

Kelas besar butir tidak digunakan untuk tanah Humic Psammentic Dystrudept dalam plot contoh ini, karena istilah Psammentic sudah menunjukkan tekstur pasir. Kelas mineralogi adalah ”isotik” karena pH NaF tanah di horizon A dan B jauh lebih besar dari 8.4, dan berdasarkan pengamatan di lapangan, walaupun tanah mengandung pasir dalam jumlah banyak dan liat dalam jumlah sedikit, tapi tanah terlihat mampu memegang air dalam jumlah cukup besar.

8.1.5. Plot Contoh 5 (Typic Hapludand, medial skeletal, ferihidritik, isotermik) Pengganti kelas besar butir adalah ”medial skeletal” karena tekstur tanah dengan metoda pipet adalah lempung berpasir (horizon A dan B) yang setara kira kira dengan ”medial” untuk tanah tanah Andisol, dan kandungan batu > 35 %.

Kelas mineralogi adalah ”ferihidritik” karena horizon B (horizon paling tebal dan merupakan penggal penentu utama dalam penentuan kelas mineralogi) berwarna merah (10 R 4/8) dalam keadaan lembab, dan menurut Wambeke (1992) serta Schwertman & Taylor (1989), ferihidrit memberi kontribusi warna merah pada tanah.

8.1.6. Plot Contoh 6 (Alic Hapludand, medial, campuran, superaktif, isotermik) Pengganti kelas besar butir adalah ”medial” karena tekstur tanah dengan metoda pipet adalah lempung (horizon A dan B) yang kira kira setara dengan ”medial” untuk tanah tanah Andisol, dan kandungan batu < 35 %.

(39)

Kelas mineralogi diduga adalah ”campuran” karena warna lembab horizon A (coklat kemerahan gelap, 2.5 YR 3/4) dan B (merah lemah, 10 R 4/4), walaupun bersifat kemerahan, tapi tidak dikategorikan secara persis sebagai warna merah. Jadi, ”campuran” disini diduga mengandung mineral ferihidirit dalam jumlah yang cukup dominan, bersama dengan mineral amorf yang lain, serta gelas volkan. Kelas aktivitas tukar kation adalah ”super aktif” karena nisbah antara kapasitas tukar kation terhadap kadar liat, adalah > 0.6 untuk horizon A dan B.

8.1.7. Plot Contoh 7 (Typic Hydrudand, medial diatas hidrous, campuran, semiaktif,

isotermik)

Pengganti kelas besar butir adalah ”medial diatas hidrous” karena terdapat perbedaan nyata antara kelas besar butir horizan A (tekstur tanah dengan metoda pipet adalah lempung berpasir, yang kira kira setara dengan ”medial” untuk tanah tanah Andisol) dan kelas besar butir horizon B (tekstur tanah dengan metoda pipet adalah liat, yang kira kira setara dengan ”hidrous” untuk tanah Andisol), serta karena kandungan batu < 35 %.

Kelas mineralogi diduga adalah ”campuran” karena warna lembab horizon A (coklat kemerahan gelap, 2.5 YR 3/4) dan B (merah kekuningan, 5 YR 4/6), walaupun bersifat kemerahan dan mengandung warna merah, tapi tidak dikategorikan secara persis sebagai warna merah. Jadi, ”campuran” disini diduga mengandung mineral ferihidirit dalam jumlah yang cukup dominan, bersama dengan mineral amorf yang lain, serta gelas volkan. Kelas aktivitas tukar kation adalah ”semi aktif” karena nisbah antara kapasitas tukar kation terhadap kadar liat, adalah 0.34 untuk horizon B yang bertekstur liat (mempunyai kadar liat yang lebih besar dari horizon A).

8.1.8. Plot Contoh 8 (Typic Hapludand, medial, ferihidritik, isotermik)

Pengganti kelas besar butir adalah ”medial” karena tekstur tanah dengan metoda pipet adalah lempung liat berpasir (horizon A) dan lempung berpasir (horizon B) yang keduanya setara kira kira dengan ”medial” untuk tanah tanah Andisol, dan kandungan batu < 35 %.

Gambar

Tabel 1. Deskripsi seluruh peubah tempat tumbuh di lokasi studi (n = 45 plot contoh)  Nilai Peubah  Peubah (satuan)  Minimum  Maksimum  Rata-rata  Simpangan Baku  X 1  = Luas Bidang Dasar semua spesies
Gambar 4.  Salah satu contoh profil tanah di Resort Cibodas, yang menunjukkan horizon O  (teratas, warna hitam, tebal 3 cm), horizon A (warna coklat kemerahan gelap,  tebal 13 cm), dan horizon B (dibawah horizon A, warna coklat kemerahan)
Tabel 3. Analisis keragaman dominasi relatif saninten dan arah lereng.
Tabel 5. Deskripsi arah lereng plot plot contoh, dan luas bidang dasar semua spesies                          per plot contoh
+5

Referensi

Dokumen terkait

Sebuah diagram Voronoi adalah metode dekomposisi suatu daerah. Asumsikan ada satu set node N dikerahkan di suatu daerah tanpa hambatan, diagram Voronoi akan

axis frontal : superior, terlihat lead I negatif dan lead AVF juga negatif., sehingga gambarannya seperti gelombang S yang dalam. Baseline yang digunakan untuk menyatakan lead

Untuk mengevaluasi dan mengetahui sejauh mana perusahaan tetap menggunakan metode perhitungan penyusutan aktiva tetap menurut akuntansi keuangan SAK atau akan menerapkan

Bagi kota dengan karakter sebagai jalur transit dan pusat kegiatan bagi Kawasan hinterland seperti Surakarta, penggunaan data aktivitas dari penjualan bahan bakar SPBU

Kesalahan ini terjadi karena pada penulisan aksara Latin, fonem ê, è, dan é hanya dituliskan dengan lambang fonem e saja. Siswa masih belum bisa membedakan kata atau kalimat

Apabila siswa berkomunikasi dalam Bahasa Inggris dengan tata bahasa yang tidak berterima (unacceptable grammar); mereka banyak melakukan kesalah-kesalahan

Perbuatan yang semula ditentukan untuk yang mubah, tidak ditujukan untuk kerusakan, namun biasanya sampai juga kepada kerusakan yang mana kerusakan itu lebih besar dari