44 REVITALISASI AWIG-AWIG UNTUK
PEMBERDAYAAN DESA PAKRAMAN DI BALI Oleh:
I Wayan Sudika & I Putu Ariyasa Darmawan
Abstrak
Dahulu kehidupan di desa pakraman bersifat komunal dan homogen dengan permasalahan adat dan agama yang tidak begitu rumit sehingga dapat di selesaikan dengan awig-awig yang ada secara musyawarah. Namun dewasa ini penduduk desa pakraman sangat heterogin, tidak hanya krama desa, juga ada krama tamiu dan juga tamiu. Permasalahan yang ada juga semakin banyak dan kompleks, yang membutuhkan kemampuan, kekuatan (power) yang lebih besar untuk mengatasinya. Awig-awig sebagai hukum adat yang ada di desa pakraman dewasa ini belum mampu menyelesaikan dan memutus semua permasalahan yang terjadi ataupun yang berpotensi terjadi di wilayah desa pakraman, karena substansi awig-awig belum jelas dan tegas mengaturnya serta beberapa permasalahan yang memang belum di atur. Banyak permasalahan dalam kehidupan sosial masyarakat dewasa ini seperti masalah peredaran minuman beralkohol, masalah peredaran narkotika juga masalah korupsi yang merupakan masalah bangsa, namun berpotensi juga mengganggu ketentraman kehidupan warga masyarakat di desa pakraman. Oleh sebab itu, maka desa pakraman sebagai benteng budaya dan agama Hindu perlu diberdayakan, agar dapat ikut berpartisipasi dalam mengantisipasi dan mengatasi permasalahan yang ada. Salah satu upaya yang dibutuhkan untuk memberi kekuatan yang lebih besar kepada desa pakraman adalah dengan melakukan penyempurnaan atau revitalisasi awig-awig yang sudah ada, sehingga desa pakraman mampu menjalankan tanggung jawab dalam menjaga ketertiban dan kenyamanan krama desa secara keseluruhan dengan lebih baik.
Kata kunci : awig-awig, desa pakraman, revitalisasi I. PENDAHULUAN
Penduduk atau masyarakat desa pakraman di Bali pada masa lalu merupakan masyarakat yang homogen, yaitu masyarakat yang sebagian besar merupakan masyarakat etnis Bali yang beragama Hindu. Sebagai masyarakat homogen dengan keyakinan yang sebagaian besar beragama Hindu, maka masyarakat Bali dikenal sebagai masyarakat komunal yang menempatkan kepentingan masyarakat yang lebih banyak di atas kepentingan pribadi atau golongan (Darmawan, 2020). Dahulu memang orang Bali (masyarakat Bali) dikenal sebagai masyarakat yang jujur, ramah, sopan, sederhana, lugu dan religius, serta dalam setiap tindakannya pada umumnya selalu dipedomani nilai-nilai dan norma-norma ajaran agama Hindu. Kehidupan masyarakatnya yang rukun, sederhana,
toleran dengan berlandaskan ajaran agama, menyebabkan tidak banyak konflik yang terjadi, baik antar individu, antar individu dengan kelompok ataupun antar kelompok dengan kelompok yang ada di masyarakat. Jika pun ada permasalahan yang terjadi, pada umumnya masalah-masalah kecil yang dapat diselesaikan secara kekeluargaan ataupun diselesaikan berdasarkan ketentuan yang ada dalam awig-awig desa pakraman (Gunawijaya, 2020).
Namun, sejalan dengan
perkembangan jaman, maka pola kehidupan masyarakat di Bali khususnya di Desa Pakraman-pun mengalami perubahan. Pola kehidupan masyarakat di era globalisasi dewasa ini tidak lepas dari adanya pengaruh kemajuan sektor pariwisata serta kemajuan teknologi informasi. Hal ini menyebabkan pola
45 kehidupan masyarakat di desa pakraman
yang semula bergerak di sektor pertanian banyak yang beralih ke sektor jasa khususnya jasa pariwisata (Kariarta, 2019). Kemajuan sektor pariwisata sudah pasti memberi dampak bagi kehidupan masyarakat baik dampak positif maupun dampak negatif. Dampak positif dari kemajuan sektor pariwisata dibarengi dengan kemajuan teknologi informasi, salah satunya adalah adanya peningkatan kehidupan ekonomi masyarakat. Memang kemajuan teknologi di era globalisasi dewasa ini dapat melahirkan manusia-manusia modern dengan ciri-ciri menurut Alex Inkeles (dalam Sukrawati, 2011: 121), yaitu:
1. Terbuka dan bersedia menerima hal-hal baru dan inovasi serta perubahan,
2. Berorientasi demokratis dan mampu memiliki pendapat yang tidak selalu sama dari lingkungannya sendiri,
3. Berpijak pada masa kini, mendatang, menghargai waktu, konsisten dan sistematik dalam setiap urusan,
4. Selalu terlibat pada perencanaan dan pengorganisasian,
5. Mampu belajar lebih lanjut untuk menguasai lingkungan,
6. Memiliki keyakinan bahwa segalanya dapat diperhitungkan,
7. Menyadari dan menghargai harkat dan pendapat orang lain,
8. Percaya kepada kemampuan iptek, 9. Menjunjung tinggi keadilan berdasarkan
prestasi kontribusi dan kebutuhan, 10Berorientasi kepada produktivitas, efektifitas dan efisiensi.
Secara umum memang kemajuan teknologi menjanjikan kemudahan, keamanan dan kenyamanan hidup masyarakat. ”Kehidupan manusia di era global mengacu ke kehidupan kosmopolitan (warga dunia). Batas geografis negara seakan melebur menjadi
kawasan global (dunia yang satu). Demikian pula dengan rasa kebangsaan kian menipis” (Jalaluddin, 2002:194). Kehidupan masyarakat di Desa Pakraman yang tidak lagi bersifat homogen, tetapi sudah bersifat heterogen tidak lepas dari dampak globalisasi dan kemajuan teknologi khususnya teknologi informasi serta kepariwisataan. Ada beberapa dampak negatif dari kemajuan kepariwisataan antara lain:
(a) Terjadi pergeseran nilai dari yang sakral ke nilai profan dengan menempatkan nilai material diatas nilai spritual, (b) Nilai-nilai kebudayaan yang bersumber kepada ajaran agama beralih menjadi nilai-nilai sosial, (c) Terjadinya pelunturan norma-norma dan nilai-nilai keagamaan, (d) Tradisi keagamaan cenderung ditanggapi tanpa disertai emosi dan rasio keagamaan, (e) Fenomena kebudayaan mengarah kepada nilai-nilai sekuler yang mempengaruhi perkembangan jiwa keagamaan khususnya generasi muda, (f) Dapat melahirkan pandangan yang serba boleh (permissiveness) (Jalaluddin, 2002:192-194)
Ketidak siapan mental masyarakat Bali pada umumnya dalam mengantisipasi perubahan yang terjadi dengan begitu cepat, berpengaruh terhadap terjadinya perubahan watak orang Bali, seperti dikemukakan oleh Triguna (dalam Fakultas Sastra Unud, 2005:22) bahwa ”watak orang Bali tidak lagi diidentifikasi sebagai orang yang lugu, sabar, ramah dan jujur sebagaimana pernah digambarkan oleh penulis asing. Demikian pula orang Bali tidak dapat lagi dikatagorikan sebagai komunitas yang inklusif, melainkan orang Bali telah dipersepsikan oleh outsider sebagai orang yang temperamental, egoistik, sensitif, dan cenderung menjadi human ekonomikus”. Perubahan terhadap kehidupan masyarakat dalam berbagai aspek, baik perubahan yang positif maupun
46 perubahan yang negatif, menimbulkan
berbagai konflik dalam kehidupan sosial, seperti konflik batas desa, konflik kuburan dan lain sebagainya. Untuk mengantisipasi terjadinya berbagai pertentangan atau konflik dalam masyarakat khususnya di Desa Pakraman, maka pranata hukum yang ada yaitu awig-awig perlu direvitalisasi sehingga mampu untuk menyelesaikan berbagai konflik yang terjadi di masa sekarang serta dapat mengantisipasi terjadinya konflik diwaktu mendatang (Suadnyana, 2019).
II. PEMBAHASAN. 2.1 Awig-awig
Awig-awig merupakan salah satu pranata sosial untuk mengatur perilaku kehidupan warga (krama) di Desa Pakraman. Awig-awig merupakan peraturan hukum adat yang zaman dahulu dikenal dengan berbagai istilah, seperti dikemukakan oleh Windia (dalam Fakultas Sastra Unud, 2005:114) ”ada yang menyebutnya sima, dresta, adat, hukum adat, gama, perarem, pengeling-eling, tunggul, geguet, dan lain-lain. Keberadaan istilah awig-awig di hukum adat”. Sebagai peraturan hukum adat, awig-awig di jaman dulu pada umumnya tidak tertulis, seperti dikemukakan oleh Soekanto (dalam Mustari Pide, 2017:5) bahwa ”hukum adat itu merupakan keseluruhan adat (yang tidak tertulis) dan hidup dalam masyarakat berupa kesusilaan, kebiasaan, dan kelaziman yang mempunyai akibat hukum”. Namun dewasa ini awig-awig yang ada di Desa Pakraman di seluruh Bali sebagian besar sudah tertulis.
Awig-awig menurut Perda Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman, adalah ”aturan yang dibuat oleh krama desa pakraman dan atau krama banjar pakraman yang dipakai sebagai pedoman dalam pelaksanaan tri hita
karana, sesuai dengan desa mawecara dan dharma agama desa pakraman/banjar pakraman masing-masing” (Pasal 1 nomor urut 11). Menurut Dharana (1989:120) ”awig-awig merupakan bagian dari hukum adat yang diakui hak hidupnya dalam peraturan perundang-undangan Negara Republik Indonesia”. Hal ini tertuang pula dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, Pasal 103 huruf d, yang menyebutkan bahwa ”penyelesaian sengketa adat berdasarkan hukum adat yang berlaku di Desa Adat dalam wilayah yang selaras dengan prinsip hak asasi manusia dengan mengutamakan penyelesaian secara musyawarah”. Selanjutnya Pasal 103 huruf f, menyatakan bahwa ”pemeliharaan ketenteraman dan ketertiban masyarakat Desa Adat berdasarkan hukum adat yang berlaku di Desa Adat”.
Awig-awig desa pakraman menurut Sirtha (dalam Fakultas Sastra Unud, 2005:153) mempunyai fungsi ”mengatur perilaku warga desa berkaitan dengan kegiatan adat dan agama dalam bidang parhyangan, pawongan, dan pelemahan”. Wiana (2004:158) menyatakan bahwa ”awig-awig itu adalah bersumber dari tradisi pengamalan Agama Hindu”. Hal ini menunjukkan bahwa awig-awig sebagai peraturan hukum adat selama ini hanya mengatur warga desa (krama desa) pakraman, dan belum banyak mengatur tentang warga tamiu, seperti dikemukakan Windia (dalam Fakultas Sastra Unud, 2005:116) bahwa ”belum ada ketentuan yang mengatur mengenai tamiu di desa pakraman. Awig-awig dibuat untuk mengatur pelaksanaan kehidupan beragama Hindu dan pelaksanaan adat istiadat di desa pakraman tertentu, sehingga nuansa desa mawecara (ketentuan desa) sangat kental”. Adapun aparat penegak awig-awig yaitu Bendesa Pakraman atau Kelian Adat dibantu aparat keamanan desa yang disebut
47 pecalang. Penegakan awig-awig sebagai
peraturan hukum adat tentunya guna menegakkan cita hukum dalam mewujudkan kehidupan sosial yang konform, yaitu kehidupan masyarakat yang sesuai dengan nilai dan norma-norma yang diharapkan (Untara, 2019). Oleh sebab itu kedepan substansi awig-awig tentu sangat perlu untuk direvitalisasi menyesuaikan dengan kebutuhan sebagai akibat dari perkembangan jaman, sehingga keberadaan awig-awig tidak hanya ketat ke-dalam tetapi juga ketat keluar. Artinya tidak hanya mengatur warga desa pakraman tetapi juga warga tamiu, tamiu serta permasalahan lainnya.
2.2 Desa Pakraman
Di Bali sejak dahulu sampai sekarang dikenal ada 2 jenis desa, yang dikenal dengan Desa Dinas dan Desa Pakraman (Adat). Secara umum perbedaan kedua jenis desa dimaksud yaitu desa dinas merupakan desa yang dibentuk oleh pemerintah, sedangkan desa adat (desa pakraman) merupakan desa yang ada berdasarkan hak asal usulnya. Dherana (dalam Wiana, 2004:158) merumuskan ”Desa Pakraman atau Desa Adat itu sebagai unit sosial religius hinduistis”, yang artinya desa pakraman merupakan lembaga umat Hindu yang fungsinya mengurus hal-hal berkenaan dengan keumatan dan keagamaan Hindu. Wiana (2004:156) mengatakan bahwa ”menurut Lontar Mpu Kuturan, Desa Pakraman itu didirikan oleh Sang Catur Varna (Brahmana, Ksatriya, Waisya dan Sudra Varna). Pendirian Desa Pakraman itupun didirikan manut lingging Sang Hyang Aji, artinya menurut ajaran agama Hindu”. Menurut Sirtha (dalam Fakultas Sastra Unud, 2005:154) ”Desa Pakraman merupakan persekutuan masyarakat hukum adat yang diakui keberadaannya dalam peraturan perundang-undangan sesuai dengan hak asal usulnya”. Peraturan
Daerah (Perda) Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman, Pasal 1 Nomor urut 4, menyebutkan bahwa ”Desa Pakraman adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Provinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan kahyangan tiga atau kahyangan desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri”.
Keberadaan Desa Pakraman sebagai desa adat di Bali diakui pemerintah, seperti disebutkan dalam Undang-Undang R.I Nomor 6 Tahun 2014 tentang desa, yakni ”status desa dapat diubah menjadi desa adat, kelurahan dapat diubah menjadi desa adat, desa adat dapat diubah menjadi desa, dan desa adat dapat diubah menjadi kelurahan berdasarkan prakarsa masyarakat yang bersangkutan melalui musyawarah desa dan disetujui oleh pemerintah daerah kabupaten/kota” (Pasal 100 ayat 1). Hal ini menunjukkan bahwa landasan bagi para prajuru desa dalam menjalankan tugas dan fungsinya adalah asas otonomi dan musyawarah. Asas musyawarah dimaksud dengan jelas tertuang dalam Perda Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang desa Pasal 5 huruf e, yang menyebutkan bahwa ”membina dan mengembangkan nilai-nilai budaya Bali dalam rangka memperkaya, melestarikan dan mengembangkan kebudayaan nasional pada umumnya dan kebudayaan daerah pada khususnya, berdasarkan paras-paros, sagilik-saguluk,
salunglung-sabayantaka
(musyawarah-mufakat)”.
2.3. Pemberdayaan Desa Pakraman
Menurut Pranaka (dalam
Sedarmayanti. 2003:113) bahwa, ”konsep pemberdayaan pada awalnya, menekankan kepada proses memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan
48 atau kemampuan (power) kepada
masyarakat, organisasi atau individu agar menjadi lebih berdaya. Ronald Nangoi (2004:3) menyatakan ”pemberdayaan berarti pemberian kekuasaan (power) dan tanggung jawab yang lebih besar”. Dengan demikian pemberdayaan desa pakraman berarti mengupayakan agar desa pakraman memiliki power (kemampuan) yang lebih besar lagi dari sebelumnya, sehingga mampu melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya di era global dewasa ini. Salah satu tugas desa pakraman adalah ”mengayomi krama desa” (Perda Prov.Bali No.3 Tahun 2001, Pasal 5 huruf f). Sedangkan wewenang desa pakraman menurut Perda Prov.Bali No.3 Tahun 2001, Pasal 6 huruf a, salah satunya adalah ”menyelesaikan sengketa adat dan agama dalam lingkungan wilayahnya dengan tetap membina kerukunan dan toleransi antar krama desa sesuai dengan awig-awig dan adat kebiasaan setempat”. Namun dengan kehidupan masyarakat di desa pakraman yang semakin heterogin serta permasalahan kehidupan sosial yang semakin kompleks, maka tugas dan tanggung jawab desa pakraman dalam mengayomi warganya menjadi semakin berat dan kompleks pula. Permasalahan yang ada di desa pakraman dewasa ini tidak saja sengketa adat dan agama, tetapi berbagai permasalahan yang dapat mengganggu ketertiban dan ketentraman warga, seperti masalah minuman keras, narkoba, bentrok antar kelompok warga, korupsi dan lain sebagainya. Walaupun berbagai permasalahan dimaksud penanganannya merupakan domain pemerintah, namun karena kejadiannya sering berada di wilayah desa pakraman dan sering pula pelakunya ada hubungan dengan desa pakraman, maka desa pakraman sangat perlu untuk mengantisipasinya.
Merumuskan aturan yang dapat mengantisipasi berbagai persoalan seperti
tersebut di atas, merupakan upaya yang sangat perlu dilakukan, karena sudah merupakan kebutuhan dewasa ini. Selain karena kebutuhan dan tuntutan jaman, berbagai permasalahan di atas memang belum di atur dalam sebagian besar awig-awig desa pakraman. Hal ini tentu bertujuan agar keberadaan desa pakraman yang sering dikatakan sebagai benteng terakhir budaya dan agama Hindu di Bali, menjadi lebih kokoh. Untuk itu maka awig-awig yang ada selama ini perlu dilakukan revitalisasi sehingga hal-hal yang belum jelas menjadi lebih jelas, sedangkan yang belum diatur dan berpotensi menimbulkan ketidak tertiban dan ketidak tentraman agar dirumuskan aturannya dalam awig-awig. Menurut Windia (dalam Fakultas Sastra Unud, 2005:126-129) ada beberapa hal yang harus dievaluasi untuk selanjutnya direvitalisasi, antara lain: (a) Awig-awig yang hanya mengatur krama desa pakraman, perlu dievaluasi mengingat dewasa ini masyarakat yang tinggal di wilayah desa pakraman ada krama tamiu dan juga ada tamiu. Hak dan kewajiban krama tamiu dan tamiu sangat perlu dicantumkan dalam awig-awig, sebagai bagian dari unsur pawongan, sehingga awig-awig tidak hanya mengatur krama desa tapi dapat memberi kesejukaan bagi semua penduduk di desa pakraman. (b) Sanksi yang masih sumir perlu dievaluasi dan dicantumkan sanksi yang jelas, karena awig-awig merupakan hukum adat sehingga tidak dapat dipisahkan dari sanksi. (c) Hal yang masih samar diatur dalam awig-awig agar dievaluasi dan dicantumkan dengan tegas agar tidak menjadi potensi konflik, seperti batas desa pakraman dan lain sebagainya. (d) Perlu dirumuskan awig-awig yang menganut falsafah Bali mawecara disamping desa
mawecara, sehingga desa pakraman
memiliki kesamaan gerak dalam menjaga eksistensinya dari berbagai permasalahan.
49 Selain hal-hal tersebut di atas,
berdasarkan pengamatan dan wawancara dengan beberapa prajuru desa Pakraman Samsaman Kerambitan Tabanan, ada beberapa masalah sosial masyarakat yang berpotensi menimbulkan ketidak nyamanan kehidupan krama desa pakraman, antara lain: (a) minum minuman keras yang sering sampai mabok dan tidak jarang menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan. Selain dapat menimbulkan keributan juga sudah banyak memakan korban jiwa sampai meninggal. Dalam batas-batas tertentu permasalahan minuman keras tentu dapat diatur melalui awig-awig, seperti memberikan sanksi kepada mereka yang minum sampai mabok dan menimbulkan keributan atau ketidak nyamanan krama desa, memberi sanksi adat kepada mereka yang menyediakan minuman keras atau yang menyediakan tempat untuk minum-minum sampai mabok, dan sebagainya (somawati, 2020). Pengaturan ini tentu dengan tetap memperhatikan batas-batas alkohol yang dikandung dan diperbolehkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang mengatur peredaran minuman beralkohol. (b) Peredaran narkoba, yang sudah sampai kepelosok desa dan melibatkan berbagai golongan masyarakat, serta sering menimbulkan keresahan dalam kehidupan masyarakat. Desa pakraman tentu dapat mengambil peran dalam mengantisipasinya melalui awig-awig, seperti memberi sanksi kepada mereka yang terlibat peredaran narkoba, atau sanksi adat kepada keluarganya. Memberi sanksi kepada mereka yang mengetahui dan tidak melaporkan adanya peredaran narkoba di wilayah desa pakraman, dan sebagainya. (c) masalah korupsi, yang marak terjadi perlu juga diatur dalam awig-awig untuk mengantisipasi agar krama desa tidak sengaja melakukan korupsi, seperti memberi sanksi kepada keluarga dari krama desa yang terbukti melakukan
korupsi dan dihukum lebih dari 1 (satu) tahun, dan sebagainya. (d) terhadap masalah terorisme, desa pakraman dapat berpartisipasi dalam pencegahan melalui pengawasan yang ketat terhadap warga tamiu ataupun tamiu yang menghuni rumah-rumah cost. Untuk itu perlu dirumuskan aturan dalam awig-awig yang mengatur rumah cost, agar desa pakraman mempunyai kekuatan (power) untuk melakukan pengawasan dan penertiban. Mewajibkan pemilik rumah cost untuk selektif dalam menerima orang cost dan memberi sanksi jika terbukti rumah cost mereka dijadikan tempat tinggal teroris.
Banyak lagi permasalahan yang berpotensi menimbulkan konflik dan ketidak nyamanan krama desa pakraman yang segera harus diantisipasi melalui revitalisasi awig –awig tentunya dengan tetap memperhatikan hak asasi manusia dan tidak bertentangan dengan peraturan hukum nasional.
III. Kesimpulan
Berdasarkan paparan di atas dapat disimpulkan yaitu:
1) Penduduk Desa pakraman dahulu bersifat homogen, namun dewasa ini sudah sangat heterogen dengan permasalahan yang sangat kompleks. Permasalahan yang terjadi tidak saja masalah adat ataupun agama, melainkan berbagai permasalahan sosial masyarakat yang berpotensi menimbulkan konflik dan ketidak nyamanan kehidupan krama desa pakraman secara keseluruhan.
2) Awig-awig sebagai hukum adat yang ada di desa pakraman belum mampu menyelesaikan dan memutus semua permasalahan yang terjadi maupun yang berpotensi terjadi dan menimbulkan konflik serta ketidak tertiban dalam kehidupan krama desa, karena substansi awig-awig masih banyak yang belum
50 jelas dan belum tegas serta banyak
permasalahan yang belum diatur di dalamnya.
3) Revitalisasi awig-awig sangat berarti dalam pemberdayaan desa pakraman, karena dengan memberi kekuatan (power) yang lebih besar melalui awig-awig, maka desa pakraman akan lebih mampu melaksanakan kewajiban yang lebih berat dalam menyelesaikan dan memutus berbagai permasalahan yang ada dewasa ini.
Daftar Pustaka
Darmawan, I. P. A. (2020). ANIMISME DALAM PEMUJAAN BARONG BULU GAGAK DI BALI. Genta Hredaya, 4(1).
Dherana, Tjokorda Raka, 1989, Desa adat
dan awig-awig dalam struktur
pemerintahan Bali. Denpasar: Upada Sastra
Fakultas Sastra Unud. 2005. Kompetensi Budaya dalam Globalisasi. Kuta: Pustaka Larasan.
Gunawijaya, I. W. T. (2020). KONSEP
TEOLOGI HINDU DALAM
GEGURITAN GUNATAMA
(Tattwa, Susila, dan
Acara). Jñānasiddhânta: Jurnal Teologi Hindu, 2(1).
Jalaluddin, H. 2002. Psikologi Agama. Jakarta: Raja Grafindo Persada Kariarta, I. W. (2019). KONTEMPLASI
DIANTARA MITOS DAN
REALITAS (CONTEMPLATION
BETWEEN MYTHS AND
REALITIES). Jñānasiddhânta: Jurnal Teologi Hindu, 1(1).
Mustari Pide,A Suriyaman. 2017. Hukum Adat dahulu, kini dan akan datang. Jakarta: Kencana.
Ronald Nangoi. 2004. Pemberdayaan di Era Ekonomi Pengetahuan. Jakarta: PT. Grasindo.
Sedarmayanti. 2003. Good Governance (Kepemerintahan yang Baik) Dalam
Rangka Otonomi Daerah. Bandung : CV. Mandar Maju.
Somawati, A. V. (2020). FILSAFAT KETUHANAN MENURUT PLATO
DALAM PERSPEKTIF
HINDU. Genta Hredaya, 4(1).
Suadnyana, I. B. P. E. (2020). Ajaran Agama Hindu Dalam Geguritan Kunjarakarna. Genta Hredaya, 3(1). Sukrawati, Ni Made. 2011. Dasar-Dasar
Psikologi Agama. Surabaya: Paramita Untara, I. M. G. S. (2019). KOSMOLOGI
HINDU DALAM
BHAGAVADGĪTĀ. Jñānasiddhânta : Jurnal Teologi Hindu, 1(1).
Wiana, I Ketut. 2004. Mengapa Bali disebut Bali?. Surabaya: Paramita. ... Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. ... Perda Provinsi Bali No. 3 Tahun 2001