• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. Deskripsi Teori BAB II KAJIAN PUSTAKA. 1. Tinjauan tentang Hak dan Kewajiban Warga Negara. a. Pengertian Warga Negara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "A. Deskripsi Teori BAB II KAJIAN PUSTAKA. 1. Tinjauan tentang Hak dan Kewajiban Warga Negara. a. Pengertian Warga Negara"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Deskripsi Teori

1. Tinjauan tentang Hak dan Kewajiban Warga Negara a. Pengertian Warga Negara

Cholisin (2004: 78) mengemukakan bahwa warga negara merupakan keanggotaan seseorang dari institusi politik yang namanya negara. Ia sebagai subjek sekaligus objek dalam kehidupan negaranya. Oleh karena itu seorang warga negara senantiasa akan berinteraksi dengan negara, dan bertanggung jawab atas keberlangsungan kehidupan negaranya. Aristoteles mengartikan warga negara sebagai orang yang secara aktif ikut ambil bagian dalam kegiatan hidup bernegara, yaitu orang yang bisa berperan sebagai yang diperintah dan orang yang bisa berperan sebagai yang memerintah (Repaar, 1993: 67). Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan Undang-Undang sebagai warga negara (Undang-Undang Dasar Negara Repulik Indonesia Pasal 26 ayat (1))

Berdasarkan penjelas di atas dapat disimpulkan bahwa warga negara merupakan orang bangsa Indonesia yang ikut ambil bagian dalam kehidupan bernegara yang sekaligus sebagai objek dan subjek yang mempunyai tanggung jawab dan senantiasa berinteraksi dengan negara.

Warga negara yang bertanggung jawab adalah warga negara yang tahu akan hak dan kewajibannya sebagai warga negara. Untuk mengemukakan pentingnya pemahaman terhadap warga negara, dapat diperoleh dengan memahami akan hak dan kewajibannya.

(2)

b. Pengertian Hak Warga Negara

Pengertian hak di dalam ilmu hukum terdapat teori untuk menjelaskan apa sebenarnya yang disebut dengan hak, yaitu Belangen theorie (teori kepentingan) menyatakan, bahwa hak adalah kepentingan yang terlindungi. Salah seorang penganutnya adalah Rudolf von Jhering, yang berpendapat bahwa “hak itu sesuatu yang penting bagi seseorang yang dilindungi oleh hukum, atau suatu kepentingan yang terlindungi” (Marwan, 2014: 28). Teori ini merumuskan bahwa hak itu merupakan sesuatu yang penting bagi yang bersangkutan, yang dilindungi oleh hukum.

Hak adalah suatu kewenangan atau kekuasaan yang diberikan oleh hukum. Suatu kepentingan yang dilindungi oleh hukum, baik pribadi maupun umum. Dapat diartikan bahwa hak adalah sesuatu yang patut atau layak diterima (Asikin, 2013: 115).

Selain teori di atas, di bawah ini akan digambarkan berbagai pengertian hak yang dikemukaan oleh sejumlah pakar hukum.

a. Van Apeldoorn menyatakan hak adalah kekuasaan (wewenang) yang oleh hukum diberikan kepada seseorang (atau suatu badan hukum), dan yang menjadi tantangannya adalah kewajiban orang lain (badan hukum lain) untuk mengakui kekuasaan itu.

b. Satjipto Rahardjo (1986: 93) menyatakan hak adalah kekuasaan yang diberikan oleh hukum kepada seseorang dengan maksud untuk melindungi kepentingan seseorang tersebut.

(3)

Berdasarkan beberapa pengertian hak di atas maka dapat disimpulkan bahwa hak merupakan suatu kekuasaan yang diberikan dari hukum untuk melindungi kepentingan yang melekat dalam diri manusia dari lahir hingga mati.

Hak warga negara Indonesia terhadap negara telah diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dan aturan hukum lainnya yang merupakan turunan dari hak-hak umum yang digariskan dalam UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945. Hak warga negara ini adalah sesuatu yang dapat dimiliki oleh warga negara dari negaranya. Hak-hak warga negara diperoleh dari negara seperti hak untuk hidup secara layak, dan aman, pelayanan, dan hal lain yang diatur dalam undang-undang (Srijanti dkk, 2013: 68).

Hak warga negara menurut Undang-Undang Negara Republik Indonesia Dasar tahun 1945, antara lain:

1) Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 berbunyi

Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

2) Pasal 28A

Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.

3) Pasal 28 B

(1) Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.

(2) Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

4) Pasal 28C

(1) Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.

(2) Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya.

5) Pasal 28D

(1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.

(4)

(2) Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.

(3) Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.

(4) Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan. 6) Pasal 28E

(1) Setiap orang berhak memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.

(2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.

(3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.

7) Pasal 28F

Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

8) Pasal 28G

(1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.

(2) Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain.

9) Pasal 28H

(1) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.

(2) Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.

(3) Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat. (4) Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut

tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun. 10) Pasal 28I

(1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.

(5)

(2) Setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.

(3) Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.

11) Pasal 30

(1) Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara.

12) Pasal 31

(1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. 13) Pasal 33

(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.

(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.

(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. (4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi

dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.

14) Pasal 34

(1) Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.

(2) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.

Menurut Cholisin hak-hak warga negara yang substansial pada prinsipnya antara lain meliputi:

1) Hak untuk memilih/ memberikan suara. 2) Hak kebebasan berbicara.

3) Hak kebebasan pers. 4) Hak kebebasan beragama. 5) Hak kebebasan berkumpul.

6) Hak kebebasan dari perlakuan sewenang-wenang oleh sistem politik dan atau hukum.

(6)

Hak-hak di atas dapat dijelaskan sebagai berikut: kebebasan memberikan suara, merupakan hak yang benar-benar harus ditegakkan dalam negara demokrasi sebab hal tersebut merupakan jaminan keluasan individu. Kemudian kebebasan berbicara, pers, beragama dan berkumpul merupakan bidang-bidang pembuatan keputusan individu/pribadi. Sedangkan kebebasan bergarak akan dapat menunjang kebebasan yang lain dan kebebasan dari perlakuan sewenang-wenang oleh sistem politik dan hukum sebagai perlindungan utama bagi kebebasan yang lain (Cholisin, 2004: 89).

Sedangkan CCE (Center for civic education) (dalam Cholisin, 2004: 90) mengajukan hak-hak individu yang perlu dilindungi oleh negara, meliputi: hak pribadi (personal rights), hak-hak politik (political rights), dan hak-hak ekonomi (economic rights). Contoh hak pribadi antara lain adalah:

1) Melaksanakan ajaran agamanya.

2) Berkumpul dengan orang lain yang disukainya.

3) Memlilih suatu tempat untuk dijadikan tempat tinggalnya. 4) Melakukan perjalanan dan kembali kenegaranya.

5) Beremigrasi.

Selanjutnya yang termasuk hak-hak politik antara lain adalah:

1) Memberikan suara, kebebasan berbicara dan mengkritik pemerintahan.

2) Ikut serta/menjadi anggota suatu organisasi untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah.

3) Ikut serta menjadi anggota suatu partai politik. 4) Menjadi aparat pemerintah.

(7)

Sedangkan contoh hak ekonomi antara lain adalah: 1) Hak memiliki.

2) Memiliki pekerjaan.

3) Menjadi anggota/ikut serta dalam suatu serikat kerja. 4) Pindah kerja.

5) Mendirikan suatu usaha bisnis. c. Pengertian Kewajiban Warga Negara

Menurut pendapat Marwan (2014: 32), kewajiban sesungguhnya merupakan beban yang diberikan oleh hukum kepada orang atau badan hukum (subjek hukum), misalnya kewajiban seseorang atau badan hukum untuk membayar pajak dan lahirnya karena ketentuan undang-undang. Sedangkan menurut Saut P. Panjaitan, kewajiban adalah peranan yang harus dilaksanakan (bersifat imperative) (dalam Ishaq, 2008: 82).

Kewajiban adalah suatu beban atau tanggungan yang bersifat kontraktual. Dengan kata lain, kewajiban adalah sesuatu yang sepatutnya diberikan. Beban yang diberikan oleh hukum kepada subjek hukum (Asikin, 2013: 115).

Kewajiban warga negara Indonesia dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 meliputi:

1) Wajib mentaati hukum dan pemerintahan. Pasal 27 ayat (1) yang berbunyi “segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”

(8)

Pasal 27 ayat (3) yang berbunyi “setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara.”

Pasal 30 ayat (1) yang berbunyi “Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara”

3) Wajib mengikuti pendidikan dasar. Pasal 31 ayat (2) yang berbunyi “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.” Selanjutnya dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas dijelaskan kewajiban warga negara dalam Pasal 6 ayat (1) “Setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar.” Pasal 6 ayat (2) “Setiap warga negara bertanggung jawab terhadap keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan”. Pasal 9 “Masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan.”

4) Wajib menghormati hak asasi manusia. Pasal 28J ayat (1) yang berbunyi “Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.”

5) Wajib memeluk agama. Pada pasal 29 ayat (2) “negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap pendudukuntuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya”.

Menurut Cholisin (2004: 92-93) kewajiban warga negara merupakan aspek dari tanggung jawab warga negara (citizen resposibility/ civic responssibilities). Contoh yang termasuk tanggung jawab warga negara antara lain:

1) Melaksanakan aturan hukum, 2) Menghargai hak orang lain,

(9)

3) Memiliki informasi dan perhatian terhadap kebutuhan-kebutuhan masyarakat, 4) Melakukan kontrol terhadap para pemimpin yang dipilihnya dalam melakukan

tugas-tugasnya,

5) Melakukan komunikasi dengan para wakil di sekolah, pemerintah lokal, pemerintah nasional,

6) Memberikan suara dalam suatu pemilihan, 7) Membayar pajak,

8) Menjadi sanksi di pengadilan,

9) Berusaha untuk mengikuti wajib militer, dsb.

Dengan kata lain, tanggung jawab warga negara merupakan pelaksanaan hak (rights) dan kewajibannya (duty) sebagai warga negara yang bersedia menanggung akibat atas apa apa yang dilaksanakannya.

d. Persamaan Warga Negara dalam bidang Hukum

Warga negara mempunyai persamaan di segala bidang, seperti persamaan warga negara dalam bidang politik, sosial, ekonomi, budaya, pertahanan keamanan, serta hukum. Salah satu persamaan warga negara dalam bidang hukum dapat dipahami dari ketentuan Pasal 27 ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945, yang berbunyi: Segala warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan baik tidak ada kecualinya”. Berdasarkan pasal ini ada dua hal yang penting, yaitu (a) jaminan hak warga negara yang berupa persamaan di depan hukum dan pemerintahan. (b) kewajiban yang sama bagi setiap warga negara untuk menjunjung/mematuhi hukum dan pemerintahan. Kedua hal tersebut di uraikan sebagai berikut (Cholisin, 2004:114):

(10)

1) Persamaan di depan hukum

Konsep persamaan di depan hukum atau “equality before the law”, menurut konstitusi 1945 adalah suatu mata rantai antara hak dan kewajiban yang harus berfungsi menurut kedudukannya masing-masing. Persamaan di depan hukum mengharuskan setiap warga negara diperlakukan adil oleh setiap aparat penegak hukum (Polisi, Jaksa, Hakim) dan pemerintah ( Cholisin, 2004: 114-15).

2) Persamaan di hadapan pemerintah

Persamaan di hadapan pemerintah, berarti setiap warga negara memperoleh perlakuan yang sama oleh Pemerintah. Juga berarti sama dalam peraturan pemerintah serta sama haknya untuk menduduki posisi atau jabatan dalam arti sempit (hanya mencakup eksekutif) maupun dalam arti luas (mencakup pula legislatif, yudikatif, dan lembaga pemerintahan yang lain), baik pemerintah pusat maupun daerah atau lokal (Cholisin, 2004: 115).

3) Persamaan dalam menjunjung hukum dan pemerintahan

Persamaan dalam menjunjung hukum dan pemerintahan pada dasarnya merupakan tuntutan atau kewajiban mematuhi hukum dan pemerintahan bagi setiap warga negara. Kepatuhan ini, merupakan peran pasif warga negara. Dengan mematuhi pemerintahan, maka organisasi negara dapat mempertahankan eksistensinya. Mematuhi pemerintahan yang demokratis bagi warga negara berarti mematuhi pemerintahan bentukannya sendiri (Cholisin, 2004:116).

(11)

2. Tinjauan Kewajiban Warga Negara

Kewajiban warga negara merupakan tanggung jawab dari warga negara yang meliputi hak dan kewajiban yang nantinya akan menjadi tanggung jawab warga negara itu sendiri. Beberapa kewajiban warga negara dalam bidang hukum, antara lain: a. Kewajiban warga negara dalam administrasi kependudukan.

Beberapa kewajiban warga negara dalam bidang administrasi kependudukan antara lain:

1) Pasal 27 ayat (1) “Setiap kelahiran wajib dilaporkan oleh Penduduk kepada Instansi Pelaksana setempat paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak kelahiran, (2) “Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pejabat Pencatatan Sipil mencatat pada Register Akta Kelahiran dan menerbitkan Kutipan Akta Kelahiran” (Undang-Undang Nomor 24 tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan).

2) Pasal 44 ayat (1) “Setiap kematian wajib dilaporkan oleh ketua rukun tetangga atau nama lainnya di domisili Penduduk kepada Instansi Pelaksana setempat paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal kematian” (Undang-Undang Nomor 24 tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan).

3) Pasal 63 ayat (1) “Penduduk Warga Negara Indonesia dan Orang Asing yang memiliki Izin Tinggal Tetap yang telah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau telah kawin atau pernah kawin wajib memiliki KTP-el” (Undang-Undang Nomor 24 tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan). 4) Pasal 11 ayat (1) “Penduduk Warga Negara Indonesia wajib melaporkan

susunan keluarganya kepada Instansi Pelaksana melalui Kepala desa/lurah dan camat” (Peraturan Presiden Nomor 25 tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil).

b. Kewajiban warga negara dalam beragama

1) Pasal 28 E ayat 1 dan 2 yang berbunyi, (1) “setiap orang berhak memeluk dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali”, (2) “setiap orang berhak atas kebebasan menyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuatu dengan hati nuraninya” (Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945).

2) Pasal 29 ayat 1 dan 2 yang berbunyi, (1) “Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa”, (2) “negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap

(12)

penduduk untuk memeluk agamanya masing-masingdan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya” (Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945).

B.

Suku Dayak Losarang Indramayu

1. Tinjauan tentang Suku Dayak Losarang Indramayu a. Suku Dayak Losarang Indramayu

Di Kabupaten Indramayu terdapat komunitas/sekelompok masyarakat yang disebut atau dikenal dengan sebutan Suku Dayak Hindu-Budha Bumi Segandu atau orang-orang menyebutnya sebagai Suku Dayak Losarang. Suku Dayak Hindu-Budha Bumi Segandhu merupakan tafsirkan dari Bahasa Jawa Indramayu. Pertama arti Suku, menurut Suku Dayak Losarang Indramayu kata Suku bukanlah etnis, melainkan kaki, maksudnya adalah manusia berjalan dan berdiri di atas kaki mereka sendiri, sesuai kepercayaaan dan keyakinan yang dianut serta mempunyai tujuan masing-masing dalam kehidupannya. Kedua kata Dayak berasal dari kata ngayak yang artinya menyaring berbagai pilihan benar atau salah yang ada di hadapan manusia dalam menjalani kehidupannya. Ketiga arti dari Hindu ialah Rahim atau mengandung. Maksudnya bahwa setiap manusia dilahirkan dari kandungan seorang ibu. Selain itu, mengingatkan setiap manusia akan besarnya peranan ibu atau perempuan dalam mempersiapkan seseorang untuk lahir dan memulai kehidupan. Keempat kata Budha berarti lahir atau dilahirkan tidak memakai apa-apa. Maksudnya bahwa manusia dilahirkan dalam keadaan telanjang yang merupakan hakikat hidup manusia yang seharusnya penuh dengan kejujuran dan menyatu dengan alam. Kelima arti dari Bumi ialah wujud, keenam Segandu yang berarti sewujudnya itu atau sekujur tubuh yang bermakna sebagai kekuatan hidup (aditya, 2015: 14)

(13)

Komunitas ini mengklaim memiliki murid sebanyak 9.000-an sejak awal berdirinya. Namun pada saat ini, jumlah anggota dari komunitas ini memiliki hanya sekitar seribuan murid yang tersebar di berbagai daerah. Jumlah tersebut memang tidak berdasarkan data, karena komunitas ini tidak diatur menggunakan sistem yang modern. Aturannya mengikuti perintah sang guru yang diikuti menjadi kebiasaan komunitas. Sehingga, sentralitas peran seorang guru dalam mengadakan kegiatan dan ritual relatif dominan (Khaerul, 2016: 39).

Berdasarkan penjelasan di atas dapat dijelaskan bahwa Suku Dayak Hindu-Budha Bumi Segandhu merupakan komunitas/sekelompok masyarakat yang disebut atau dikenal dengan sebutan Suku Dayak Losarang yang memiliki makna seseorang yang berjalan di atas kaki masing-masing sesuai dengan kepercayaannya yang dapat menyaring benar atau salah dalam kehidupan yang berawal dari dilahirkan dari rahim seorang ibu yang akan menjadi manusia yang hidup penuh dengan kejujuran serta menyatu dengan alam sebagai sumber kekuatan hidup. b. Anggota Suku Dayak Losarang Indramayu

Masyarakat Suku Dayak Losarang Indramayu mengklaim mempunyai murid 9000-an yang terdapat di berbagai daerah di Jawa Barat. Keanggotaan masyarakat Suku Dayak Losarng Indramayu dibagi dalam 3 (tiga) kelompok yaitu kelompok pertama atau yang biasa disebut dengan Dayak Preman, adalah Suku Dayak Losarang yang menggunakan pakaian layaknya seperti masyarakat umum tanpa perbedaan apapun, namun keyakinan masih tetap seperti masyarakat Suku Dayak Losarang lainnya. Preman yang dimaksud bukan berarti orang yang memiliki kekuasaan, namun preman dalam komunitas ini lebih diartikan dengan

(14)

golongan awam pada komunitas ini. Kedua adalah Dayak Seragam yaitu cara berpakain dengan seragam celana seperempat berwarna hitam dan baju berwarna hitam, biasanya anggota yang mengenakan seragam ini adalah anggota yang sedang dalam prosesi pendalaman ajaran. Pada tingkat dayak seragam ini masing-masing anggota komunitas memperbaiki moral masing-masing secara lebih dalam dan sebagai pertimbangan dari perbuatan terhadap orang lain adalah diri sendiri. Kelompok ketiga dalam komunitas Suku Dayak Losarang Indramayu sering disebut dengan Dayak Losarang, yang tidak menggunakan pakaian atau telanjang dada dan hanya memakai celana yang berwarna hitam putih serta memakai aksesoris gelang dan kalung bagi anggota Suku Dayak Losarang (Aditya, 2015: 47).

C. Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat (PAKEM)

1. Tinjauan tentang pengawasan aliran kepercayaan masyarakat (PAKEM) a. Sejarah Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat (PAKEM)

Pembentukan Pakem/Tim Pakem dimulai pada 1952. Awal tahun 1952, Departemen Agama (Depag) membuat definisi minimum tentang agama yaitu memuat unsur-unsur adanya nabi, adanya kitab suci, dan adanya pengakuan internasional. Definisi minimum tentang agama tersebut membawa konsekuensi terhadap aliran kebatinan/kepercayaan bukan sebagai “ekspresi religius” yang sah. menurut aliran kepercayaan/kebatinan, Tuhan itu ada di dalam hati setiap manusia dan tidak mempunyai perantara baik melalui nabi ataupun kitab sucinya. Definisi ini memperoleh perlawanan dari agama Hindu Bali, dan akhirnya dicabut.

Selanjutnya Departemen Agama (Depag) melaporkan adanya 360 (tiga ratus enam puluh) agama baru dan kebatinan/kepercayaan pada 1953. Atas dasar laporan Depag inilah maka dibentuk Pakem (Pengawasan Aliran Kepercayaan di

(15)

Masyarakat). Di mana pada awalnya fungsi Pakem pada saat itu adalah mengawasi agama-agama baru, kelompok kebatinan/kepercayaan dan kegiatan-kegiatan mereka. Sebenarnya pengawasan terhadap aliran kebatinan/kepercayaan sudah ada sejak masa kolonial, tetapi tujuannya pada waktu itu adalah untuk meredam pemberontakan yang dilakukan oleh para petani (Sihombing, 2008: 25-26).

kemunculan Undang-Undang (UU) tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia No.15/1961, di mana ada pada (Pasal 2 ayat (3)) yang memberikan tugas kepada Kejaksaan untuk mengawasi aliran kepercayaan/ kebatinan yang membahayakan masyarakat dan negara, semakin memperjelas keberadaan Pakem di institusi penegak hukum ini. UU No.15/1961 merupakan produk hukum yang menegaskan tugas kejaksaan untuk mengawasi aliran kepercayaan/kebatinan, dan ini sekaligus menarik institusi Pakem berada di bawah Kejaksaan yang sebelumnya 1961 berada di bawah Depag. UU No.15/1961 menambah tugas kejaksaan di samping untuk melakukan penuntutan atas suatu perkara pidana di pengadilan, juga melakukan pengawasan aliran kepercayaan/kebatinan yang membahayakan masyarakat dan negara. Suatu hal yang tidak lazim ketika kejaksaan dibebani tugas non-penuntutan seperti mengawasi aliran kepercayaan/kebatinan tersebut sebelum terbitnya UU Kejaksaan No.15/1961.

Konsideran UU No.15/1961 menempatkan kejaksaan sebagai alat negara dalam penegakan hukum untuk menyelesaikan revolusi. Inilah yang menjadikan Kejaksaan terbebani untuk mengamankan revolusi, sehingga hal-hal yang mempunyai potensi “mengganggu” atau melanggar revolusi maka Kejaksaan

(16)

mempunyai tugas untuk melakukan penegakan hukum. UU No.15/1961 menafsirkan penegakan hukum untuk pengamanan revolusi tidak hanya penuntutan tetapi juga pengawasan terhadap aliran kepercayaan/kebatinan yang membahayakan masyarakat dan negara.

Kelahiran UU No.1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penodaan dan atau Penyalahgunaan Agama tidak bisa dilepaskan dari perkembangan aliran kepercayaan/kebatinan. Untuk mencegah anarki keagamaan, menurut Mulder, Presiden Sukarno mengamanatkan hanya lima agama yang dianggap resmi dan legal yaitu Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha. Mengacu kepada penjelasan Pasal 1 UU No.1/PNPS/1965 memang menyebutkan enam agama tersebut, meskipun penjelasan tersebut menggunakan istilah agama-agama yang dipeluk oleh penduduk di Indonesia, dan tidak ada perkataan “agama-agama resmi” secara eksplisit. Tetapi penjelasan Pasal 1 UU No.1/PNPS/1965 tetap membatasi agama-agama lain selain enam agama-agama tersebut, karena agama-agama-agama-agama lain tersebut tidak boleh bertentangan dengan UU No.1/PNPS/1965 atau aturan hukum lainnya.

Pemerintah melakukan pembinaan terhadap aliran kepercayaan/kebatinan dimana pada awalnya di lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud) dibentuk Direktorat Pembinaan Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa di bawah pimpinan Direktorat Jenderal Kebudayaan sesuai dengan Keputusan Presiden (Kepres) No.40/1978. Kemudian pemerintah mengeluarkan Kepres No.21/2003 dimana Direktorat Pembinaan Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa berada di lingkungan tugas

(17)

Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, dibawah pimpinan Direktorat Jenderal Nilai Budaya, Seni dan Film.

Kemudian Kejagung mengeluarkan surat keputusan No Kep- 108/J.A/5/1984 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Aliran Kepercayaan Masyarakat. Adapun latar belakang pembentukan Tim Pakem tersebut menurut konsideran SK Kejagung itu adalah untuk pembinaan dan pengawasan aliran kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dengan tujuan adalah:

1) Agar kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa tidak mengarah kepada pembentukan agama baru;

2) Dapat mengambil langkah-langkah atau tindakan terhadap aliran-aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara.

3) Pelaksanaan aliran kepercayaan benar-benar sesuai dengan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusian yang adil dan beradab

Kejaksaan Agung memformalkan Tim Pakem dengan mengeluarkan SK No. Kep-004/J.A/01/1994 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan, yang kemudian mencabut SK Kejagung RI Nomor Kep-108/J.A/5/1984. Kejagung melihat adanya perkembangan dan meningkatnya kehidupan beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Esa, yang menjadi latar belakang pembentukan SK No.Kep-004/J.A/01/J.A/01/1994. Pada 1991 Pemerintah dan DPR membuat UU Kejaksaan No.5/1991 sebagai revisi atas UU Kejaksaan No.15/1961. Pasal 27 ayat (3) UU Kejaksaan No.5/1991 memperluas tugas Kejaksaan yaitu tidak hanya penuntutan kasus-kasus pidana, tetapi juga di

(18)

dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum Kejaksaan mempunyai tugas antara lain:

1) Peningkatan kesadaran hukum masyarakat; 2) Pengamanan kebijakan penegakan hukum; 3) Pengamanan peredaran barang cetakan;

4) Pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan negara dan masyarakat;

5) Pencegahan penyalahgunaan dan atau penodaan agama; 6) Penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal.

Undang-Undang Kejaksaan No.5/1991 memberikan wewenang yang luas kepada Kejaksaan tidak hanya di bidang pidana tetapi juga bidang perdata dan ketertiban dan ketentraman umum. Salah satu tugas kejaksaan di bidang ketentraman dan ketertiban umum adalah pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan negara dan masyarakat. Pasca reformasi 1998, pemerintah dan DPR kembali melakukan revisi terhadap UU No.5/1991. Akan tetapi UU Kejaksaan No.16/2004 khususnya Pasal 30 ayat (3) huruf d dan e tetap mempertahankan tugas Kejaksaan di bidang ketertiban dan ketentraman umum, diantaranya adalah pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan negara dan masyarakat, dan pencegahan penyalahgunaan dan atau penodaan agama. Di sini terlihat kejaksaan masih melihat aliran kepercayaan/kebatinan merupakan potensi yang membahayakan masyarakat dan negara, khususnya untuk pencegahan penyalahgunaan dan atau penodaan agama. Jadi kebijakan

(19)

pemerintahan pasca reformasi terhadap aliran kepercayaan adalah sama dengan orde baru dan orde lama.

Tim Pakem tidak hanya ada di pusat tetapi juga ada di Kajati dan Kajari. Tim Pakem juga dibentuk di tingkat provinsi dan kabupaten/ kota. Tim Pakem pada Kejati dibentuk dengan keputusan Kepala Kajati, sementara Tim Pakem di tingkat kota/kabupaten dibentuk dengan keputusan Kepala Kejari. Tim Pakem juga membuat laporan berkala mengenai pelaksaan tugas Tim Pakem dan saran serta pendapat dalam rangka upaya penanggulangan dan pencegahan terjadinya suatu problem aliran kepercayaan. Ini berarti ada atau tidaknya kasus aliran kepercayaan/kebatinan yang dapat membahayakan negara dan masyarakat, Tim Pakem tetap melakukan pengawasan. Kemudian laporan Tim Pakem tingkat II disampaikan ke Tim Pakem tingkat I, sementara laporan Tim Pakem tingkat I disampaikan ke Tim Pakem pusat, dan laporan Tim Pakem pusat disampaikan ke Jaksa Agung (Sihombing, 2008: 33-51).

Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, dapat di simpulkan bahwa penjelasan konteks historis keberadaan Tim Pakem (Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat) yaitu:

1) Pada periode 1953-1961 Tim Pakem berada di bawah Depag, dan ekspansi aliran kepercayaan/kebatinan khususnya di Pulau Jawa sangat kuat yang dapat mengancam agama-agama ”resmi” negara. Depag sendiri mencatat ada 360 aliran kepercayaan/ kebatinan di Indonesia.

2) Pada periode 1961-1975 Tim Pakem dipindahkan ke Kejaksaan setelah keluarnya UU No.15/1961 tentang Kejaksaan. Pasal 2 ayat (3) UU

(20)

Kejaksaan tersebut menugaskan kejaksaan untuk mengawasi aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara

3) Pada periode 1975-1984 Tim Pakem diformalkan melalui SK Jaksa Agung pada 1984 begitu juga di daerah dibentuk Tim Pakem dari tingkat provinsi sampai dengan kabupaten. Pada periode ini, pemerintah merespon permasalahan status aliran kepercayaan apakah agama atau bukan dengan mengeluarkan TAP MPR No.II/1975 yang menegaskan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa bukan agama, dan pembinaannya tidak ditujukan untuk membentuk agama baru. Ini membawa konsekuensi, Depag tidak lagi melakukan pembinaan aliran kepercayaan/kebatinan, melainkan diserahkan kepada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Yang akhirnya melalui kebijakan baru, pemerintah menyerahkan pembinaan aliran kepercayaan kepada Departemen Pariwisata dan Kebudayaan; 4) Pada periode 1984-1991 Pemerintah dan DPR membuat UU Kejaksaan

No.5/1991, di mana UU Kejaksaan No.5/1991 memperluas wewenang kejaksaan tidak hanya sebagai penuntut dan melakukan sosialisasi hukum kepada masyarakat, tetapi juga tugas di bidang ketertiban dan ketentraman umum salah satu tugas kejaksaan adalah mengawasi aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara, serta mencegah penyalahgunaan dan atau penodaan agama.

5) Pada periode 1994-pasca reformasi, Jaksa Agung merevisi SK Jaksa Agung 1984 dan menyesuaikan dengan UU Kejaksaan No.5/1991 khususnya penegasan tugas kejaksaan di bidang ketertiban dan ketentraman umum

(21)

untuk melakukan pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membayakan masyarakat dan negara. Serta pencegahan penyalahgunaan dan atau penodaan agama. Pada periode ini, pemerintah dan DPR kembali melakukan revisi terhadap UU Kejaksaan No. 5/1991, dengan membuat UU Kejaksaan No.16/1994. UU Kejaksaan No.16/1994 tetap mempertahankan tugas kejaksaan di bidang ketertiban dan keamanan umum, antara lain melakukan pengawasan terhadap aliran kepercayaan yang membahayakan masyarakat dan negara, serta mencegah penyalahgunaan dan atau penodaan agama. Pemerintahan yang berkuasa pasca 1998 tetap membutuhkan Tim Pakem tidak hanya untuk mengawasi aliran kepercayaan/kebatinan saja, tetapi juga untuk mengawasi sekte-sekte di dalam agama ”resmi” yang mempunyai potensi melakukan penyimpangan/ bertentangan dengan mainstream.

b. Landasan Hukum Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat (PAKEM) Landasan hukum yang digunakan pengawasan aliran kepercayaan masyarakat (PAKEM) antara lain:

1) Pasal 30 ayat (3) huruf d dan e UU No.16/2004 tentang Kejaksaan

Pasal 30 ayat (3) UU No.16/2004 tentang Kejaksaan menjelaskan tugas Kejaksaan di bidang ketertiban dan ketentraman umum, diantaranya adalah pengawasan aliran kepercayaan yang membahayakan masyarakat dan negara, serta mencegah penyalahgunaan dan atau penodaan agama. 2) Surat Keputusan Bersama 3 Menteri dalam Pasal 2 No.1/PNPS/1965

(22)

Pasal 2 ayat (1) Surat Keputusan Bersama 3 Menteri No.1/PNPS/1965 memberikan wewenang kepada Menteri/Jaksa Agung, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama dalam suatu keputusan bersama untuk memberikan peringatan keras kepada barang siapa yang melanggar pasal 1 UU No.1/PNPS/1965. SKB 3 Menteri tersebut mengikuti logika hukum yang dibangun oleh Pasal 2 ayat (1) UU No.1/PNPS/1965. Pasal 2 ayat (2) Surat Keputusan Bersama 3 Menteri No.1/PNPS/1965 memberikan wewenang kepada Presiden untuk membubarkan organisasi/aliran terlarang yang melanggar Pasal 2 ayat (1) itu setelah mendengarkan pertimbangan dari Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri. 3) Keputusan Jaksa Agung RI No.Kep-004/J.A/01/1994 tentang Pembentukan

Tim Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat

4) Surat Keputusan Bersama 3 Menteri No.1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama

Kewenangan untuk mengawasi aliran kepercayaan masyarakat dan kewenangan mencegah penodaan/penyalahgunaan agama tidak hanya dimiliki oleh kejaksaan/Jaksa Agung tetapi juga dipunyai oleh departemen/instansi lainnya. Sehingga dipandang perlu adanya koordinasi, maka dibentuk Tim Pakem di pusat dan daerah (Sihombing, 2008: 43-46).

c. Fungsi dan Tujuan Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat (PAKEM) Pengawasan aliran kepercayaan masyarakat (PAKEM) mempuyai fungsi antara lain:

(23)

1) Menyelenggarakan rapat baik secara berkala maupunn sewaktu-waktu sesuai dengan kebutuhan.

2) Menyelenggarakan pertemuan, konsultasi dengan instansi dan badan-badan lainnya yang dipandang perlu, baik lembaga pemerintahan maupun non-pemerintahan sesuai dengan kepentingannya.

3) Mengadakan pertemuan dengan penganut kepercayaan yang dipandang perlu (Surat Keputusan Kepala Kejaksaan Negeri Indramayu Nomor: KEP 08/0.20./Dsp.3/02/2015).

Pengawasan aliran kepercayaan masyarakat (PAKEM) mempunyai tujuan antara lain:

1) Menerima dan menganalisa laporan dana atau informasi tentang aliran kepercayaan masyarakat

2) Meneliti dan menilai secara cermat perkembangan suatu aliran kepercayaan untuk mengetahui dampak-dampaknya bagi ketertiban dan ketertiban umum.

3) Mengajukan laporan dan saran sesuai dengan jenjang wewenang dan tanggung jawab

4) Dapat mengambil langkah-langkah preventif dan represif (Surat Keputusan Kepala Kejaksaan Negeri Indramayu Nomor: KEP 08/0.20./Dsp.3/02/2015).

D. Penelitian yang Relevan

(24)

1. Kajian Fertilisasi Keturunan Asli Kepala Suku Dayak Hindu Budha Bumi Segandu dalam Perkembangannya.

Penelitian oleh Aditya Fajar Setiawan (2015), Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penelitian yang telah dilakukan oleh Aditya Fajar Setiawan adalah penelitian deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik wawancara dan dokumentasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada dasarnya Suku Dayak Hindu Budha Bumi Segandu atau Suku Dayak Losarang mempunyai konsep yang tidak mementingkan akan pendidikan dirinya maupun keturunannya bahkan untuk masa depan sekalipun, karena menurut konsep komunitas ini, seorang manusia bisa berjalan di atas kaki sendiri dan menentukan nasibnya sendiri, yang mana adalah sebuah makna dari kata suku.

Relevansi penelitian yang dilakukan oleh Aditya Fajar Setiawan dengan penelitian ini adalah subjek dan objeknya sama, keduanya sama-sama meneliti mengenai Suku Dayak Losarang Indramayu, tetapi terdapat perbedaan diantara keduanya. Penelitian Aditya Fajar Setiawan spesifik ke kajian fertilisasi keturunan asli kepala Suku Dayak Hindu Budha Bumi Segandu dalam Perkembangannya, sedangkan dalam penelitian ini yang akan diteliti ialah mengenai pelanggaran kewajiban warga negara oleh masyarakat Suku Dayak Losarang Indramayu.

2. Integrasi Sosial Suku Dayak Indramayu

Penelitian oleh Saripuddin (2009), Program Studi Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta dengan judul

(25)

Integrasi Sosial Suku Dayak Indramayu. Penelitian yang dilakukan oleh Saripuddin adalah penelitian deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik wawancara mendalam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada dasarnya kelompok Dayak Indramayu terintegrasi oleh nilai dan norma yang mereka buat dan menjadikannya sebagai general agreement, yang menjadi nilai bersama, membuat mereka merasa mempunyai kesamaan. Nilai dan norma terdapat pada ajaran yang menjadi panutan yang mereka percayai bersama. Nilai tersebut memiliki potensi meningkatkan kerukunan dalam kehidupan bermasyarakat. Secara teori, stuktural fungsional menekankan terjadinya integrasi kelompok Dayak Indramayu disebabkan oleh norma, nilai, dan moral yang menjadi kesadaran dalam individu sehingga hal tersebut mempersatukan mereka. Hal ini menjadi potensi terpeliharanya keseimbangan atau suatu potensi kerukuan. Poin penting hasil penelitian ini, telah mematahkan beberapa anggapan atas pengklaiman Dayak Indramayu sebagai salah satu aliran agama Hindu. Suku Dayak Hindu Budha Bumi Segandu adalah sebuah kata yang hanya bisa ditafsirkan pada Bahasa lokal (Jawa), hindu yang berarti rahim atau kandungan dalam Bahasa jawa bukan merupakan nama agama resmi di Indonesia. Begitu pula dengan pencantuman Budha yang diartikan Wuda atau telanjang yang tidak ada sangkut pautnya dengan ajaran Budha.

Relevansi penelitian yang telah dilakukan oleh Saripuddin dengan penelitian ini adalah keduanya sama-sama meneliti masyarakat Suku Dayak Losarang Indramayu. Tetapi terdapat perbedaan diantara keduanya, penelitian Saripuddin spesifik terhadap integrasi terhadap Suku Dayak Losarang Indramayu. Sedangkan dalam penelitian ini

(26)

yang akan diteliti adalah mengenai pelanggaran kewajiban warga negara oleh Masyarakat Suku Dayak Losarang Indramayu.

3. Makna Simbol Ritual dalam Ritual Agung Sejarah Alam Ngaji Rasa di Komunitas Bumi Segandu Dermayu

Penelitian oleh Abdul Muiz (2009), Jurusan Perbandingan Agama, Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta dengan judul Makna Simbol Ritual dalam Ritual Agung Sejarah Alam Ngaji Rasa di Komunitas Bumi Segandu Dermayu. Penelitian yang dilakuan oleh Abdul Muiz adalah penelitian deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik wawancara, dokumentasi dan observasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Komunitas Suku Dayak Hindhu Budha Bumi Segandu Dermayu mempunyai pedoman ajaran yang mereka namai ajaran Sejarah Alam Ngaji Rasa. Ajaran ini mengajarkan bagaimana manusia mencari pemurnian diri, yaitu manusia yang telah memahami benar dan salah. Konsep ajarannya tidak didasarkan pada kitab suci, aliran kepercayaan agama, maupun akar budaya tertentu, melainkan dengan mengambil teladan sikap dan perilaku tokoh pewayangan Semar dan Pandawa lima yang dianggap sangat bertanggung jawab terhadap keluarga. Dalam Komunitas Bumi Segandu Dermayu dikenal tiga macam ritual dalam rangka ngaji rasa, antara lain: ritual agung sejarah alam ngaji rasa, ritual kungkum dan ritual pepe. Ketiga macam ritual tersebut mempunyai makna dan tatacara tersendiri. Walaupun, ketiganya tidak bersifat mengikat.

Relevansi penelitian yang telah dilakukan oleh Abdul Muiz dengan penelitian ini adalah keduanya sama-sama meneliti Suku Dayak Losarang Indramayu tetapi terdapat

(27)

perbedaan diantara keduanya. Penelitian Abdul Muiz berfokus pada makna simbol ritual dalam ritual agung sejarah alam ngaji rasa di komunitas bumi segandu dermayu, sedangkan dalam penelitian ini berfokus pada pelanggaran kewajiban warga negara yang dilakukan oleh masyarakat Suku Dayak Losarang Indramayu.

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Acara ini dimaksudkan untuk memberikan pema- haman kepada anak-anak binaan Tangan Pengharapan tentang pentingnya mem- perhatikan pergaulan serta menjaga dan

Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan pada bulan Juli – Agustus 2011 ini adalah hutan kerangas, dengan judul Komposisi Vegetasi dan Potensi Tumbuhan Obat

Kualitas air pada dua sistem pengelolaan air bersih berbasis masyarakat diKampung Bale Atu dan Hakim Tunggul Naru, ditinjau dari parameter fisika, kimia dan

Kalau dari komite ya sepengetahuan komite dalam rangka untuk mempertahankan daya saing sekolah saya tak cerita dulu .di pondok panggung ini yang ada dulu aliyah

Pelaksanaan (eksekusi) pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun

Oleh sebab itu, penelitian ini mencoba untuk mengukur diantara tiga variabel tersebut, variabel mana yang memiliki pengaruh dalam menjelaskan variabel penjualan perusahaan dan

Pada pertemuan kedua kelas eksperimen, dalam kategori sedang siswa paham konsep persamaan linear satu variabel dengan bantuan alat peraga kartu persamaan, sebagian besar