• Tidak ada hasil yang ditemukan

KOMPOSISI VEGETASI DAN POTENSI TUMBUHAN OBAT DI HUTAN KERANGAS KABUPATEN BELITUNG TIMUR PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG DINA OKTAVIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KOMPOSISI VEGETASI DAN POTENSI TUMBUHAN OBAT DI HUTAN KERANGAS KABUPATEN BELITUNG TIMUR PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG DINA OKTAVIA"

Copied!
114
0
0

Teks penuh

(1)

KOMPOSISI VEGETASI DAN POTENSI TUMBUHAN OBAT

DI HUTAN KERANGAS KABUPATEN BELITUNG TIMUR

PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG

DINA OKTAVIA

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2012

(2)

RINGKASAN

DINA OKTAVIA. Komposisi Vegetasi dan Potensi Tumbuhan Obat di Hutan Kerangas Kabupaten Belitung Timur Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Dibimbing oleh AGUS HIKMAT dan IWAN HILWAN

Hutan kerangas di Belitung Timur diduga mempunyai keanekaragaman spesies tumbuhan yang dapat dimanfaatkan untuk pengobatan. Namun informasi tentang hal tersebut belum banyak diungkapkan. Oleh karena itu diperlukan penelitian tentang komposisi vegetasi dan potensi tumbuhan di hutan kerangas yang bermanfaat sebagai bahan obat.

Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli – Agustus 2011. Lokasi pengambilan data yaitu di hutan kerangas primer (Rimba), hutan kerangas sekunder (Bebak) dan hutan kerangas khusus (Padang). Jenis data yang diambil meliputi spesies tumbuhan (nama lokal dan nama ilmiah), spesies tumbuhan yang digunakan sebagai obat dan bagian tumbuhan obat yang digunakan. Metode pengambilan data yang digunakan adalah analisis vegetasi dan wawancara. Analisis vegetasi dilakukan dengan menggunakan metode kombinasi jalur dan garis berpetak. Jumlah jalur di setiap tipe hutan kerangas sebanyak 10 jalur dengan ukuran jalur 10 m × 100 m dan jarak antar jalur adalah 50 m.

Hasil penelitian diperoleh 224 spesies tumbuhan di hutan kerangas yang didapat dari berbagai habitus dan tingkat pertumbuhan. Spesies dengan nilai penting tertinggi tingkat semai, semak/perdu, herba, liana, rotan dan pandan adalah samak (Syzygium lepidocarpa) sebesar 20,2% di Rimba, pulas (Guioa

pleuropteris) sebesar 12,57% di Bebak dan kucai padang (Fimbristylis sp.)

sebesar 51,14% di Padang. Spesies dengan nilai penting tertinggi tingkat pancang adalah betor belulang (Calophyllum lanigerum) sebesar 17,27% di Rimba, kiras (Garcinia hombroniana) sebesar 21,50% di Bebak dan sekuncong (Leptospermum

flavescens) sebesar 88,46% di Padang. Spesies dengan nilai penting tertinggi

tingkat pohon adalah seru (Schima wallichii) sebesar 53,36% di Rimba, seru (Schima wallichii) sebesar 103% di Bebak dan sekuncong (Leptospermum

flavescens) sebesar 180,2% di Padang

Jumlah spesies tumbuhan obat yang teridentifikasi berdasarkan pengetahuan masyarakat lokal sebanyak 101 spesies. Famili tumbuhan yang anggotanya paling banyak dimanfaatkan sebagai obat adalah Myrtaceae. Habitus tumbuhan obat yang paling banyak digunakan adalah pohon. Bagian tumbuhan yang paling banyak digunakan adalah akar. Kelompok penyakit yang paling banyak disembuhkan dengan pemanfaatan tumbuhan obat adalah kelompok penyakit sistem ketahanan tubuh (demam, panas dalam dan masuk angin).

Komposisi vegetasi di hutan kerangas berpotensi sebagai cadangan plasma nutfah tumbuhan obat indonesia. Konservasi sumberdaya hutan kerangas dapat mendukung kelestarian spesies tumbuhan dan manfaat bagi masyarakat sekitar hutan.

Kata kunci: Hutan kerangas, vegetasi, tumbuhan obat, keanekaragaman spesies.

(3)

SUMMARY

DINA OKTAVIA. The Composition of Vegetation and The Potential Medicinal Plants in Heath Forest East Belitung Regency Province of Bangka-Belitung. Under Supervision of AGUS HIKMAT and IWAN HILWAN

Heath forest on East Belitung is thought to have a diversity of plant species that can be used for medications. However, the information about it has not been revealed yet. Therefore, research about composition of vegetation and potential medicinal plants in the heath forest is necessary.

This research was conducted in the primay heath forest (Rimba), secondary heath forest (Bebak) and particular heath forest (Padang) at East Belitung on July to Agustus 2011. The collected data includes species of plants (local name and scientific name), species of plants used medicine and part of plants that is used for medicine. Methods that is used to collect the data is the analysis of vegetation and interview method. Analysis vegetation was done by using combination of line and compartment method. The number of lines in each forest type are 10 with each line size is 10 m × 100 m and the distance between the lines is 50 m.

The research results 224 species of plants in the heath forest obtained from different habitus and growth rates. Species with the highest value of importance on seedling, bush/shrub, herbaceous, liana, rattan and pandan is the samak (Syzygium lepidocarpa) amounted to 20.2% in the primary heath forest, pulas (Guioa pleuropteris) amounted to 12.57% in the secondary heath forest and kucai padang (Fimbristylis sp.) amounted to 51.14% in the particular heath forest. Species with the highest value of important on sapling is betor belulang (Calophyllum lanigerum) amounted to 17.27% in the primary heath forest, kiras (Garcinia hombroniana) amounted to 21.50% in the secondary heath forest and sekuncong (Leptospermum flavescens) amounted to 88.46% in the particular heath forest. Species with the highest value of important on tree is seru (Schima

wallichii) amounted to 53.36% in primary heath forest, seru (Schima wallichii)

amounted to 103% in secondary heath forest and sekuncong (Leptospermum

flavescens) amounted to 180.2% in the particular heath forest.

The number of medicinal plant species are identified based on knowledge of local communities as much as 101 species. Plant family which were most widely utilized is Myrtaceae. Tree is the most common habitus of medicinal plant to be used. The part of plants which is widely used is root and the most numerous group of diseases cured with medicinal plant is diseases of body resilience system (fever).

Composition of vegetation in heath forest is potential as a germ plasm reserve of medicinal plants in Indonesia. Heath forest resources conservation can support sustainability of species and benefits to community around the forest.

(4)

KOMPOSISI VEGETASI DAN POTENSI TUMBUHAN OBAT DI HUTAN KERANGAS KABUPATEN BELITUNG TIMUR PROVINSI

KEPULAUAN BANGKA BELITUNG

DINA OKTAVIA

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata

Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

(5)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Komposisi Vegetasi dan Potensi Tumbuhan Obat di Hutan Kerangas Kabupaten Belitung Timur Provinsi Kepulauan Bangka Belitung adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Juni 2012

Dina Oktavia E34080092

(6)

Judul Skripsi : Komposisi Vegetasi dan Potensi Tumbuhan Obat di Hutan Kerangas Kabupaten Belitung Timur Provinsi Kepulauan Bangka Belitung

Nama : Dina Oktavia

NIM : E34080092

Menyetujui: Pembimbing I,

Dr. Ir. Agus Hikmat, M.Sc.F NIP 19620918 198903 1 002

Pembimbing II,

Ir. Iwan Hilwan, MS NIP 19600204 198601 1 002

Mengetahui:

Ketua Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS NIP 19580915 198403 1 003

(7)

KATA PENGANTAR

Penulis memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT atas segala curahan rahmat dan kasih sayang-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan pada bulan Juli – Agustus 2011 ini adalah hutan kerangas, dengan judul Komposisi Vegetasi dan Potensi Tumbuhan Obat di Hutan Kerangas Kabupaten Belitung Timur Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Agus Hikmat, M.Sc.F dan Bapak Ir. Iwan Hilwan, MS selaku pembimbing. Selain itu, penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Pemerintah Kabupaten Belitung Timur selaku Donatur Utama perkuliahan penulis di IPB. Hasil penelitian ini akan penulis dedikasikan untuk kemajuan pengelolaan sumberdaya hutan dan pemberdayaan masyarakat di Kabupaten Belitung Timur.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juni 2012

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Manggar, Belitung Timur pada tanggal 15 Maret 1991 sebagai anak kedua dari dua bersaudara pasangan Rahmat Kurniawan dan Emma Kusjana. Jenjang pendidikan formal yang ditempuh penulis, yaitu SDN 1 Manggar (2002), SMPN 1 Manggar (2005) dan pada tahun 2008 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Manggar. Pada tahun yang sama, penulis memperoleh Beasiswa Utusan Daerah dari Pemerintah Kabupaten Belitung Timur untuk melanjutkan pendidikan di Institut Pertanian Bogor dan memilih jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan.

Selama menuntut ilmu di IPB, penulis juga mengikuti sejumlah organisasi kemahasiswaan yakni sebagai anggota Kelompok Pemerhati Flora (KPF) Himpunan Mahasiswa Konservasi (HIMAKOVA) tahun 2009-2010, anggota Kajian dan Strategi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Kehutanan tahun 2009-2010, pengurus Departemen Environment Dewan Keluarga Mushola (DKM) Ibaadurrahman, panitia Gebyar HIMAKOVA tahun 2010 dan pengurus Forum Lingkar Pena (FLP) Bogor tahun 2010-2011.

Pada tahun 2010 penulis mengikuti Praktik Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) jalur Cilacap – Baturaden. Pada tahun 2011 penulis melaksanakan Praktik Pengelolaan Hutan (PPH) di Hutan Pendidikan Gunung Walat. Penulis juga sudah melaksanakan Praktik Kerja Lapang Profesi (PKLP) di Taman Nasional Kelimutu Nusa Tenggara Timur.

Skripsi yang bejudul “Komposisi Vegetasi dan Potensi Tumbuhan Obat di Hutan Kerangas Kabupaten Belitung Timur Provinsi Kepulauan Bangka Belitung” diselesaikan oleh penulis selama 1 tahun dibimbing oleh Dr. Ir. Agus Hikmat, M.Sc.F dan Ir. Iwan Hilwan, MS.

(9)

UCAPAN TERIMA KASIH

Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas curahan rahmat dan ridho-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada:

1. Ayahku Rahmat Kurniawan dan ibuku Emma Kusjana yang selalu menjadi penyemangat dalam kehidupanku, sosok pekerja keras yang selalu berdoa untuk keberhasilanku.

2. Pemerintah Kabupaten Belitung Timur yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk menjadi salah satu penerima Beasiswa Utusan Daerah Belitung Timur.

3. Bapak Dr. Ir. Agus Hikmat, M.Sc.F dan Bapak Ir. Iwan Hilwan, MS selaku pembimbing skripsi, atas kesediaan membimbing, memberikan ilmu dan semangat dalam menyelesaikan skripsi ini.

4. Bapak Dr. Ir. Dede Hermawan, M.Sc selaku dosen penguji sidang komprehensif dan Ibu Resti Meilani, S.Hut, M.Si selaku ketua sidang komprehensif atas masukan dan dukungannya.

5. Bapak Ali Imron selaku Kadin Pendidikan Belitung Timur, Bapak Sarjono yang saat ini sebagai Kadin Lingkungan Hidup Belitung Timur, Bapak Hartoyo yang saat ini sebagai Kepala Badan Kepegawaian Daerah Belitung Timur, Bapak Khaidir Luthfi selaku Kadin Pertanian Kehutanan dan Perkebunan Belitung Timur dan Bapak Hendani selaku Kabid Kehutanan serta rekan-rekan lainnya di Pemkab Belitung Timur yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu atas dukungannya.

6. Kakakku Dini Kurniati dan semua anggota keluarga besar ayah dan ibu lainnya atas motivasi dan doa yang selalu menyertaiku.

7. Teman karibku Santi Dwi Pratiwi, ST yang menjadi semangat agar aku memberikan yang terbaik untuk keluargaku dan selalu mendoakanku.

8. Seluruh Dosen, Staf dan Pegawai Fakultas Kehutanan, khususnya Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata yang telah mengajar, mendidikku, dan membantuku selama berkuliah di IPB.

9. Bapak Yulian Fakhrurrazi, Bapak Ismail Rachman dan Bapak Kissinger atas segala bantuan yang telah mendukung penyelesaian skripsi ini.

(10)

10. Pak Muhammad sekeluarga atas doa dan nasehat-nasehat yang diberikan. 11. Siti Munawaroh (Muum) teman seperjuangan saat penelitian dan orang-orang

yang telah meluangkan waktu serta tenaga untuk menemani saya dan Muum di lapangan Pak Sairin, Pak Hamidi, Pak Rahiman, Pak Rahman, Mak Mah, Busu Ii serta seluruh responden yang telah berbagi data dan informasi kepada saya.

12. Seluruh guruku di SDN 1 Manggar (1998 – 2002), SMPN 1 Manggar (2002 – 2005) dan SMAN 1 Manggar (2005 – 2008) atas pengajaran dan didikan yang telah diberikan kepada saya.

13. Keluarga Wisma “Marhamah” Kak Caca, Kak Dini, Kak Nia, Kak Ayes, Kak Dya, Kak Fitri, Kak Mila, Kak Isti, Kak Danis dan Kak Karimah atas semangat yang diberikan.

14. Rei, Rizka, Septi, Ajeng, Fitri, Hani, Adit, Tantri, Erlinda, Ayu W, Hapriza, Uun, Tiara, Lela, Ana, Indira, Dwi, Febiola, Ike, Eko, Kuspri, Davi, Ina, Qory, Dina Azwar, Waode, Via, Siti, Fella, Uut dan Trisna (Almh) atas kebersamaan dan dukungan yang telah kalian berikan.

15. Rekan-rekan lainnya yang tak bisa saya sebutkan satu per satu, terima kasih atas dukungan dan doanya.

(11)

DAFTAR ISI ... i DAFTAR TABEL ... iv DAFTAR GAMBAR ... v DAFTAR LAMPIRAN ... vi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Tujuan ... 2 1.3 Manfaat ... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Kerangas ... 3

2.2 Tanah Hutan Kerangas ... 3

2.3 Vegetasi Hutan Kerangas ... 5

2.4 Perlindungan Hutan Kerangas ... 6

2.5 Tumbuhan Obat ... 7

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ... 8

3.2 Bahan dan Alat ... 8

3.3 Jenis Data yang Dikumpulkan ... 9

3.4 Teknik Pengumpulan Data ... 9

3.4.1 Data primer ... 9

3.4.2 Data sekunder ... 11

3.5 Analisis Data ... 11

3.5.1 Komposisi vegetasi ... 11

3.5.2 Indeks keanekaragaman spesies ... 12

3.5.3 Indeks kekayaan spesies ... 12

3.5.4 Indeks kemerataan spesies ... 13

3.5.5 Indeks kesamaan komunitas ... 13

3.5.6 Karakteristik responden ... 13

3.5.7 Keanekaragaman tumbuhan obat ... 13

(12)

ii

3.5.7.2 Persen habitus tumbuhan obat ... 14

3.5.7.3 Persen bagian yang digunakan ... 14

3.5.7.4 Klasifikasi tumbuhan obat berdasarkan kelompok penyakit ... 14

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak dan Luas ... 16

4.2 Kondisi Fisik ... 16 4.2.1 Topografi ... 16 4.2.2 Kondisi geologi ... 17 4.2.3 Iklim ... 18 4.3 Kondisi Biologi ... 18 4.3.1 Flora ... 18 4.3.2 Fauna ... 18

4.4 Kondisi Sosial Budaya Masyarakat Sekitar... 19

4.4.1 Jumlah penduduk ... 19

4.4.2 Tingkat pendidikan ... 19

4.4.3 Mata pencaharian... 19

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Komposisi Vegetasi ... 20

5.1.1 Komposisi semai, semak/perdu, herba, liana, rotan dan pandan ... 22

5.1.2 Komposisi pancang ... 26

5.1.3 Komposisi pohon ... 29

5.1.4 Keanekaragaman spesies tumbuhan (H’) ... 33

5.1.5 Kekayaan spesies tumbuhan (R) ... 34

5.1.6 Kemerataan spesies tumbuhan (E) ... 35

5.1.7 Kesamaan komunitas tumbuhan (IS)... 36

5.1.8 Status konservasi ... 36

5.2 Keanekaragaman Tumbuhan Obat ... 37

5.2.1 Karakteristik responden ... 37

5.2.2 Keanekaragaman tumbuhan obat berdasarkan famili ... 40

(13)

5.2.4 Keanekaragaman tumbuhan obat berdasarkan bagian

yang digunakan ... 43

5.2.5 Keanekaragaman tumbuhan obat berdasarkan jenis penyakit ... 44

5.2.6 Pemanfaatan tumbuhan obat... 46

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ... 47

6.2 Saran ... 47

DAFTAR PUSTAKA ... 48

(14)

iv

DAFTAR TABEL

No Halaman

1. Deskripsi podsol dari Pulau Bangka ... 4

2. Kelompok fisiologi manusia dan jenis penyakit ... 14

3. Klasifikasi bentang alam Kabupaten Belitung Timur ... 17

4. Unit SKL kesuburan tanah Belitung Timur ... 17

5. Indeks nilai penting semai, semak/ perdu, herba, liana, rotan dan pandan di Rimba ... 22

6. Indeks nilai penting semai, semak/ perdu, herba, liana, rotan dan pandan di Bebak ... 23

7. Indeks nilai penting semai, semak/ perdu, herba, liana, rotan dan pandan di Padang ... 23

8. Indeks nilai penting pancang di Rimba ... 27

9. Indeks nilai penting pancang di Bebak ... 28

10. Indeks nilai penting pancang di Padang ... 29

11. Indeks nilai penting pohon di Rimba ... 30

12. Indeks nilai penting pohon di Bebak ... 31

(15)

DAFTAR GAMBAR

No Halaman

1. Lokasi penelitian ... 8

2. Desain petak-petak contoh di lapangan... 10

3. Jumlah spesies di tiga tipe ekosistem hutan kerangas ... 20

4. Plot ditemukannya spesies tumbuhan terbanyak... 23

5. Drosera burmanii yang sudah berbunga (a), Nepenthes gracilis yang tumbuh berkelompok di Padang (b) ... 24

6. Drosera burmanii yang tumbuh berkelompok di Padang ... 25

7. Ekosistem padang... 26

8. Buah sekudong pelandok (a), buah kedindiman (b)... 26

9. Pelawan kiring (a), kondisi rimba yang didominasi pancang ... 27

10. Hutan kerangas sekunder (Bebak) yang relatif terbuka ... 29

11. Sebaran pohon di Rimba yang jarang ... 30

12. Bunga seru (Schima wallichiii) ... 31

13. Kondisi batang pohon sekuncong (Leptospermum falvescens) yang keras dan kering ... 32

14. Indeks keanekaragaman spesies tumbuhan di hutan kerangas ... 33

15. Indeks kekayaan spesies tumbuhan di hutan kerangas ... 35

16. Indeks kemerataan spesies tumbuhan di hutan kerangas ... 35

17. Nilai kesamaan komunitas tumbuhan ... 36

18. Persentase usia responden ... 38

19. Persentase pekerjaan responden ... 39

20. Persentase pendidikan terakhir responden ... 39

21. Jumlah tumbuhan obat berdasarkan enam famili tertinggi ... 40

22. Keremuntingan di lahan bekas tambang timah ... 41

23. Peresentase tumbuhan obat berdasarkan habitus ... 42

24. Beberapa spesies tumbuhan obat: (a) Butun (Cratoxylon formosum), (b) Akar banar (Smilax barbata) ... 43

25. Persentase tumbuhan obat berdasarkan bagian yang dimanfaatkan ... 43

26. Jumlah tumbuhan obat berdasarkan kelompok penyakit ... 45

(16)

vi

DAFTAR LAMPIRAN

No Halaman

1. Data keanekaragaman spesies tumbuhan di hutan kerangas Belitung

Timur ... 53

2. Rekapitulasi jumlah anggota famili tumbuhan di hutan kerangas Belitung Timur ... 63

3. Indeks nilai penting semai, semak/ perdu, herba, liana, rotan dan pandan di Rimba ... 64

4. Indeks nilai penting semai, semak/ perdu, herba, liana, rotan dan pandan di Bebak ... 69

5. Indeks nilai penting semai, semak/ perdu, herba, liana, rotan dan pandan di Padang ... 74

6. Indeks nilai penting pancang di Rimba ... 76

7. Indeks nilai penting pancang di Bebak ... 80

8. Indeks nilai penting pancang di Padang ... 84

9. Indeks nilai penting pohon di Rimba ... 85

10. Indeks nilai penting pohon di Bebak ... 89

11. Indeks nilai penting pohon di Padang ... 90

12. Daftar data karakteristik responden ... 91

(17)

1.1 Latar Belakang

Hutan kerangas merupakan salah satu tipe ekosistem di Indonesia yang dilindungi karena kekhasan ekosistem dan fungsi ekologisnya. Hutan kerangas yaitu hutan yang tumbuh di atas tanah podsol, tanah pasir kuarsa, miskin hara dan pH rendah (Whitmore 1984). Hal ini menyebabkan hutan kerangas rentan terhadap gangguan (Hilwan 1996 diacu dalam Onrizal et al. 2005). Hutan kerangas juga kurang mendapat perhatian serius dalam pelestarian komponen ekosistem karena kondisi fisik yang memberi kesan tidak produktif pada hutan kerangas.

Salah satu wilayah Indonesia yang memiliki hutan kerangas adalah Pulau Belitung. Spesies tumbuhan yang tercatat di Pulau Belitung hanya 174 spesies (Dinperhut 2009). Secara perlahan tutupan hutan yang ada di Belitung semakin berkurang. Hal ini disebabkan oleh semakin berkembangnya perkebunan karet dan kelapa sawit, penambangan timah dan pasir kuarsa, illegal logging, serta pembangunan daerah. Khususnya di Kabupaten Belitung Timur yang merupakan kabupaten pemekaran sejak tahun 2003.

Lantai hutan kerangas yang kering memengaruhi spesies tumbuhan yang tumbuh di atasnya. Menurut Zuhud (2009), setiap individu dari populasi tumbuhan yang tumbuh secara alami di masing-masing tipe ekosistem hutan merupakan suatu unit terkecil dari pabrik alami yang melakukan proses metabolis sekunder yang menghasilkan beranekaragam bahan bioaktif yang khas dan berpotensi sebagai obat.

Dewasa ini, kecenderungan penggunaan obat herbal semakin meningkat. Namun hal tersebut belum diimbangi dengan kesadaran akan potensi tumbuhan obat lokal yang ada. Penggalian pengetahuan lokal terkait khasiat tumbuhan di hutan kerangas sebagai obat-obatan perlu dilakukan sebagai dasar pengelolaan dan pemanfaatan tumbuhan secara lestari. Sumberdaya alam yang ada saat ini merupakan modal potensial bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Modal

(18)

2

potensial tidak akan bermanfaat secara optimum apabila tidak dikelola dengan baik (Soenjoto 2007).

Salah satu contoh masyarakat yang masih memanfaatkan tumbuhan untuk pengobatan tradisional adalah masyarakat Melayu Belitung. Pemanfaatan tumbuhan obat oleh masyarakat Melayu Belitung sudah dilakukan secara turun temurun. Pemanfaatan tumbuhan obat yang dilakukan salah satunya, yaitu pembuatan ramuan tradisional untuk wanita setelah melahirkan, sekurangnya membutuhkan 44 spesies tumbuhan obat (Fakhrurrazi 2001).

Maraknya pengembangan sektor perkebunan, penambangan, pariwisata, pertanian, perikanan, pertambangan dan jasa publik lainnya diharapkan tidak mengesampingkan sektor kehutanan sebagai penyangga ekosistem. Kenyataan ini menuntut upaya keras pengelolaan hutan kolaboratif dan tersistem untuk menyelamatkan sumberdaya hutan yang masih tersisa (Nurrochmat et al. 2009). Sebelum kehilangan kekayaan alam di hutan kerangas dan kearifan lokal masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya alam, maka penting dilakukan penelitian terkait komposisi vegetasi dan potensi tumbuhan obat. Masyarakat sudah semestinya diberi kesempatan untuk mandiri dan mengembangkan potensi yang ada.

1.2 Tujuan

Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk: 1. Mengidentifikasi komposisi vegetasi hutan kerangas.

2. Mengidentifikasi potensi tumbuhan obat di hutan kerangas berdasarkan pengetahuan masyarakat lokal.

1.3 Manfaat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat melengkapi data flora Belitung Timur dan menjadi masukan bagi pemerintah dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Belitung Timur. Dokumentasi data dan informasi terkait potensi tumbuhan obat diharapkan dapat menjadi modal pengembangan masyarakat lokal khususnya dan masyarakat Belitung pada umumnya.

(19)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hutan Kerangas

Hutan kerangas merupakan salah satu ekosistem di Sumatera yang dikelompokkan ke dalam uncommon lowland forest bersama 2 tipe ekosistem lainnya yaitu hutan kayu ulin (ironwood forest) dan ekosistem karst (forest on

limestone) (Whitten et al. 1984). Hutan kerangas di Sumatera hanya dapat

dijumpai di pulau Bangka dan Belitung, namun dalam area yang kecil juga dapat dijumpai di kepulauan Natuna (Whitten et al. 1984). Hilwan (1996) diacu dalam Onrizal et al. (2005) menyebutkan bahwa selain di Belitung, hutan kerangas juga ditemukan di Sumatera dan Singkep.

MacKinnon et al. (1996) menyebutkan bahwa hutan kerangas adalah ekosistem khusus dan mudah dikenali di seluruh formasi hutan hujan dataran rendah. Kalimantan memiliki areal hutan kerangas yang paling luas di Indonesia. Hutan kerangas diberi nama heath forest oleh Richard (1996) yang merupakan vegetasi khusus di Sarawak. Deskripsi ilmiah terkait hutan kerangas Kalimantan pertama kali disampaikan oleh Beccari (1904) diacu dalam MacKinnon et al. (1996).

Secara umum, hutan kerangas tumbuh di daerah dataran rendah beriklim selalu basah. Di daerah Malesia, hutan kerangas tersebar secara terbatas di Kalimantan (Indonesia), Sarawak dan Sabah (Malaysia), dan Brunei.Biasanya, banyak ditemukan di daerah yang berbukit-bukit (Whitmore 1984).

Pulau Belitung didominasi oleh tanah podsol. Hal ini menyebabkan hutan kerangas dan vegetasi padang sebagai ekosistem paling umum dan khas. Sistem perladangan masyarakat asli dalam mengolah tanah, memengaruhi ekosistem setempat. Ekosistem di belitung meliputi ekosistem alami (Ai, Rimba, Padang, Pesisir dan Bakau), buatan (Ume dan Pekarangan) dan suksesi (Bebak, Bebak usang, Kelekak dan Kelekak usang) (Fakhrurrazi 2001).

2.2 Tanah Hutan Kerangas

Hutan kerangas merupakan salah satu hutan penting Indonesia yang tumbuh di atas tanah podsol, tanah pasir kuarsa yang sarang, miskin hara dan pH

(20)

4

rendah. Hal ini menyebabkan, hutan kerangas rentan terhadap gangguan (Hilwan 1996diacu dalam Onrizal et al. 2005). Kondisi fisik yang berpasir, kering dan gersang memberi kesan tidak produktif pada hutan kerangas. Kegiatan pertanian tidak dapat berlangsung di lahan hutan kerangas. Ekosistemnya mudah rusak dan sulit dikembalikan lagi jika sudah terganggu. Keterbukaan hutan kerangas akan mengakibatkan timbulnya padang savana yang gersang (MacKinnonet al.1996).

Biasanya tanah di hutan kerangas berasal dari material mineral silika yang tak terpisahkan dengan tekstur yang kasar. Tanah yang terikat di hutan kerangas atau di bawah semak-semak berwarna hitam kecokelatan, hal ini disebabkan oleh dekomposisi bahan organik. Sedangkan di padang terbuka, umumnya berwarna putih dengan ketebalan sekitar 0,5 – 5 cm di sekitar lapisan yang lebih gelap. Tanah di hutan kerangas dikenal dengan nama white-sand soils. White-sand soils terbentuk akibat erosi pantai dan adanya pengangkatan dasar laut ke permukaan. Keadaan yang berlangsung terus-menerus ini akan membangun lapisan yang keras (podsol). Deskripsi podsol tropika pertama kali dikemukakan oleh Hardon (1937) diacu dalam Whitten et al. (1984) dari sebuah tanah padang di Pulau Bangka (Tabel 1).

Tabel 1 Deskripsi podsol dari Pulau Bangka

Horizon Kedalaman (cm) pH Deskripsi

A0 0-10 2.7 Sebagian hitam, terdekomposisi material organik

yang bercampur dengan kuarsa

A1 10-25 3.9 Lapisan pasir kuarsa yang sudah lepas lapisan

hitam keabuan

A2 25-40 6.1 Lapisan pasir kuarsa yang sudah lepas lapisan

putih keabuan

B1 40-70 3.9 Cokelat tua yang kompok dengan pasir kuarsa

B2 70-100 4.6 Lapisan pasir kuarsa yang sudah lepas warna

cokelatnya Sumber: Hardon (1937) diacu dalam Whitten et al. (1984)

Tingkat porositas, pencucian tanah dapat dikatakan tinggi dan cepat sehingga rendah dalam penyimpanan hara. Oleh karena itu, white-sand soils mungkin di antara tanah-tanah yang miskin haranya, tanah ini termasuk yang paling miskin haranya di dunia (Mohr et al. 1954 diacu dalam Whitten et al. 1984)

Hutan kerangas di Belitung, tumbuh di atastanah teraja’, yaitu lahan dengan jenis tanah podsol (pasir putih, batuan kuarsa) dengan lapisan batuan

(21)

bawahnya kedap air, seperti tanah liat, batu granit dan tanah kaolin. Pada musim hujan sering tergenang dan biasanya air genangan berwarna hitam. Hal ini disebabkan karena adanya lapisan tanah berwarna hitam yang mudah larut (Fakhrurrazi 2001). Whitten et al. (1984) juga menyebutkan bahwa air yang mengalir dari hutan kerangas umumnya berwarna kehitaman.

2.3Vegetasi Hutan Kerangas

Belum ada survei mendetail terkait hutan kerangas yang diselenggarakan di Bangka ataupun Belitung, sehingga banyak yang mengikuti kajian yang dilakukan di Sarawak dan Brunei. Beberapa aspek hutan kerangas memberi kesan dalam terbatasnya produktivitas karena rendahnya kandungan nutrisi di tanah. Pertama, biomassa hutan kerangas lebih rendah daripada hutan dataran rendah yang tumbuh di atas tanah latosol. Kedua, tumbuhan dengan sumber nutrisi tambahan menunjukkan keadaan yang biasa, misalnya myrmecophytes dan insektivora. Ketiga, hutan kerangas sangat mudah rusak menjadi padang jika dibakar atau ditinggalkan setelah dilakukan ladang berpindah. Spesies yang banyak dijumpai pada ekosistem ini antara lain Calophyllum sp., Garcinia sp., dan Syzygium sp. (Whitten et al. 1984).

Kissinger (2002) menyebutkan bahwa dari sampel hutan kerangas yang diamatinya, hutan kerangas yang tingkat gangguannya paling tinggi memiliki keanekaragaman tumbuhan yang rendah, karena sebarannya cenderung berkelompok. Menurut Hilwan (1996) diacu dalam Onrizal et al. (2005) spesies-spesies yang sering dijumpai terutama Dacrydium elatum, Agathis borneensis,

Tristania dan Casuarina sumatrana. Umumnya keanekaragaman tumbuhan di

hutan kerangas lebih sedikit jika dibadingkan dengan hutan hujan dataran rendah lainnya (Proctor et al. 1983). Satu hal keistimewaan hutan kerangas yang harus diperhatikan yaitu spesiesnya merupakan yang paling menonjol di genus yang ada di Australia. Keterwakilan famili Myrtaceae yang paling jelas di hutan kerangas, khususnya Tritaniopsissp. dan Syzygiumsp.. Spesies lain yang dapat dijumpai yaitu dari famili Rubiaceae, dan Melastomaceae (Whitmore 1984).

Beberapa spesies tumbuhan yang dapat dimakan hidup di lahan hutan kerangas Belitung yaitu sebagian besar anggota dari famili Myrtaceae, seperti jemang (Rhodamia cinerea), keremuntingan (Rhodomyrtus tomentosa), keleta’en

(22)

6

(Melastoma polyanthum) dan simpor bini (Dillenia suffruticosa), kemudian dari jenis Syzygium dan lainnya dari Ericaceae yaitu perai laki (Vaccinium

bancanum), perai bini (V. bracteatum), dari Clusiaceae seperti melak (Garcinia bancana), kiras (G.hombroniana) dan kandis (G.parvifolia), serta dari jenis

Rubiaceae antara lain tenam (Psychotria viridiflora) dan tempala’en (Timonius

sp.). Kesemua spesies ini amat toleran atau telah teradaptasi dengan baik pada

kondisi ekosistem padangan, seperti lahan hutan kerangas yang kurang menguntungkan (Fakhrurrazi 2001).

Hutan kerangas memiliki karakteristik komposisi vegetasi yang khusus, berbeda dengan hutan campuran dataran rendah pada umumnya. Pohon-pohon tampak pendek dan kurus-kurus. Spesies yang sering dijumpai di Sarawak antara lain Casuarina nobilis, Dacrydium dan Podocarpus (Jacob 1988 diacu dalam MacKinnon et al.1996). Berdasarkan penelitian Onrizal (2004), komposisi spesies di hutan kerangas Taman Nasional Danau Sentarum didominasi oleh tingkat pertumbuhan pancang dan sebagian besar anggota famili Dipterocarpaceae.

Pada kondisi lantai hutan yang berpasir dan miskin hara, air hujan terserap dengan cepat, sehingga kapasitas tumbuhan mengikat air di akar relatif kecil. Namun tumbuhan di hutan kerangas teradaptasi secara fisiologis yaitu dengan adaptasi morfologi vegetasi hutan kerangas yang kecil dan seragam, daun yang berkilat dan kecil-kecil, hal ini untuk mengurangi besarnya penguapan yang dilakukan (Whitmore 1990 diacu dalam MacKinnon et al. 1996). Regenerasi hutan kerangas yang telah terganggu sulit dilakukan karena rendahnya nutrisi dan pH tanah yang terlalu asam. Semaian yang bertahan sangat sedikit, kecuali spesies yang sudah teradaptasi seperti Hoya multiflora, Schizaea dichotoma dan

Nepenthes spp. (Riswan & Kartawinata 1988).

2.4Perlindungan Hutan Kerangas

Keberadaan hutan kerangas saat ini dinilai sangat penting. Dalam hal ini, bukan hanya untuk melindungi tumbuhannya lalu diambil kayunya, karena manfaat terpenting hutan kerangas adalah manfaat yang tidak langsung, seperti penyerapan karbon, perlindungan tata air, habitat satwaliar, ekowisata dan lainnya (Onrizal 2004). Menurut masyarakat Belitung, lahan dengan jenis tanah

(23)

amat rawan dan perlu daerah penyangganya yaitu teraja’ malangen. Jenis-jenis tumbuhan buah-buahan liar edibel yang tumbuh di tana teraja’ berperan penting dalam menjaga kerawanan lahan ini. Kerusakan di lingkungan teraja’, kemudian hari tak bisa dikembalikan seperti semula (Fakhrurrazi 2001)

Konsorsium Revisi High Conservation ValueForest (HCVF) Toolkit Indonesia (2008) menyebutkan bahwa hutan kerangas harus dipertahankan dalam kondisi alami dengan ditambah zona penyangga minimal satu kilometer dimana kegiatan pemanfaatan harus seminimal mungkin.

Area hutan kerangas yang utuh ataupun yang telah terganggu saat ini tidak diketahui, tapi mungkin akan terus berkurang. Ini mungkin merupakan ekosistem Sumatera yang paling berbahaya dan harus ditangani sesegera mungkin (Whitten

et al. 1984).

2.5 Tumbuhan Obat

Pengetahuan masyarakat tentang potensi dari tumbuhan obat yang ada disekitar hutan sering diangap sebagai pengetahuan yang kuno, ketinggalan jaman, kolot dan hanya sebagai takhayul semata. Padahal pengetahuan inilah yang akan mengikat manusia untuk menumbuhkan sikap memiliki terhadap sumberdaya alam yang ada di sekitar mereka. Menurut Zuhud et al. (1994), tumbuhan obat digolongkan ke dalam tiga kelompok, yaitu;

1. Tumbuhan obat tradisional, yaitu spesies tumbuhan yang diketahui atau dipercaya memiliki obat dan telah digunakan sebagai bahan obat tradisional. 2. Tumbuhan obat modern, yaitu spesies tumbuhan yang secara ilmiah telah

dibuktikan mengandung senyawa atau bahan bioaktif yang berkhasiat obat dan penggunaannya dapat dipertanggungjawabkan secara medis.

3. Tumbuhan obat potensial, yaitu spesies tumbuhan yang diduga mengandung atau memiliki khasiat obat tetapi belum dapat dibuktikan secara medis.

(24)

8

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

Pengambilan data dilakukan pada bulan Juli – Agustus 2011 di Kabupaten Belitung Timur. Lokasi pengambilan data pada 3 tipe hutan kerangas di Kabupaten Belitung Timur yaitu;hutan kerangas primer (Rimba) di Hutan Lindung Gunung Sepang Desa Kelubi Kecamatan Manggar, hutan kerangas sekunder (Bebak) di Bebak milik masyarakat Desa Kelubi Kecamatan Manggar dan hutan kerangas khusus (Padang) di Hutan Lindung Gunung Sepang Kecamatan Kelapa Kampit (Gambar 1).

Gambar 1 Lokasi penelitian di hutan kerangas. 3.2 Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain data dan informasi terkait hutan kerangas setempat dan sampel tumbuhan yang digunakan untuk pembuatan herbarium. Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu:

1. Peralatan analisis vegetasi: kompas, pita meter (1,5m), meteran (20m), tambang plastik (20m), tali rafia, parang, dan buku identifikasi tumbuhan. 2. Peralatan pembuatan herbarium: kertas koran, alkohol 70%, gunting dan

(25)

3. Peralatan dokumentasi: GPS, alat tulis, tallysheet, label dan kamera. 3.3 Jenis Data yang Dikumpulkan

Jenis data dan informasi yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder.

a. Data primer

Data primer yang dikumpulkan terdiri dari spesies tumbuhan (nama lokal, ilmiah, dan famili), jumlah individu, spesies tumbuhan yang digunakan sebagai obat oleh masyarakat sekitar, bagian tumbuhan obat yang digunakan dan cara penggunaan.

b. Data sekunder

Data sekunder yang dikumpulkan berupa informasi terkait kondisi umum lapangan yang meliputi sejarah kawasan, letak, luas, kondisi tanah, topografi, iklim, kondisi vegetasi, satwa, dan masyarakat sekitar kawasan.

3.4 Teknik Pengumpulan Data 3.4.1 Data primer

Pengumpulan data primer dilakukan dengan metode analisis vegetasi dan pembuatan herbarium.

1.Analisis vegetasi

Analisis vegetasi yang digunakan yaitu metode kombinasi jalur dan garis berpetak (Kusmana 1997) Dalam metode ini, risalah pohon dilakukan dengan metode jalur, yaitu pada jalur yang lebarnya 10 m dan panjangnya 100 m, sebanyak 10 jalur di setiap tipe hutan kerangas. Jarak antar jalur yang digunakan adalah 50 m. Penempatan jalur menggunakan metode systematic sampling (Gambar 2).

Dalam setiap jalur dibuat petak contoh berukuran 10 x 10 m2 dan minimal terdiri dari 10 petak contoh. Selanjutnya petak contoh tersebut dibagi lagi menjadi sub petak sesuai tingkat pertumbuhan vegetasinya, yaitu:

a. Petak ukur semai(2 x 2) m2, yaitu anakan dengan tinggi ≤ 1,5 m dan semak/ perdu, tumbuhan bawah dan liana/ rotan/ pandan.

b. Petak ukur pancang (5 x5) m2, yaitu anakan dengan tinggi > 1,5 m dan diameter batang setinggi dada< 10 cm.

(26)

10

c. Petak ukur pohon (10 x 10) m2, yaitu diameter batang setinggi dada ≥ 10 cm.

Keterangan: petak ukur (2x2) m2 untuk semai, semak/perdu, herba, liana, rotan dan pandan (a), petak ukur (5x5) m2 untuk pancang (b) dan petak ukur (10x10) m2 untuk pohon.

Gambar 2 Desain petak-petak contoh di lapangan. 2. Pembuatan herbarium

Pembuatan herbarium dilakukan pada semua spesies tumbuhan yang ditemukan di plot pengamatan (Onrizal 2005). Tahapan-tahapan dalam pembuatan herbarium yaitu:

a. Mengambil contoh herbarium berupa ranting yang lengkap dengan daunnya, pengambilan contoh herbarium dilakukan bersamaan dengan kegiatan analisis vegetasi.

b. Contoh herbarium yang diperoleh dipotong dengan menggunakan gunting dengan panjang sekitar 40 cm.

c. Contoh herbarium yang telah dipotong diberikan label berukuran 3x5 cm. Label ini berisi informasi tentang nomor plot, nomor spesies, nama lokal, lokasi pengumpulan data dan nama pengumpul.

d. Setelah diberikan label, masukan ke dalam kertas koran dan disusun dalam sasak yang terbuat dari bambu.

e. Masukkan sasak tersebut ke dalam kantong plastik dan basahkan kertas koran dengan alkohol 70% hingga rata dan agak terendam untuk penyimpanan.

f. Herbarium yang akan diidentifikasi dioven pada suhu 50 – 700C.

g. Herbarium yang sudah kering, diidentifikasi nama ilmiahnya berdasarkan ciri morfologi maupun keterangan yang tertera pada label.

(27)

3. Wawancara

Data dan infornasi terkait khasiat sebagai obat diperoleh melalui wawancara masyarakat sekitar kawasan hutan kerangas dengan teknik in depth

interview. Penetapan responden pertama secara purposive sampling (memilih

informan kunci) kemudian dilakukan dengan teknik snowball, yaitu memilih unit-unit yang mempunyai karakteristik langka dan unit-unit-unit-unit tambahan yang ditunjukkan oleh responden sebelumnya (Sarwono 2011). Jumlah seluruh responden yang diambil yaitu sebanyak 25 orang.

3.4.2 Data sekunder

Data sekunder diperoleh dengan melakukan studi literatur dan wawancara. Literatur yang digunakan meliputi buku, laporan penelitian, skripsi, tesis dan jurnal ilmiah lainnya.

3.5Analisis Data

3.5.1 Komposisi vegetasi

Data yang diperoleh dari hasil analisis vegetasi akan dianalisis secara kuantitatif dengan menghitung Indeks Nilai Penting setiap spesies yang ditemukan.

Kerapatan (K) :

Kerapatan Relatif (KR) :

Dominansi (D) :

Dominansi Relatif (DR) :

 Frekuensi (F) :  Frekuensi Relatif (FR) :

 Indeks Nilai Penting (INP) :

INP = KR + FR (untuk semai dan pancang) INP = KR + FR + DR (untuk pohon)

(28)

12

Nilai penting merupakan penjumlahan dari kerapatan relatif, frekuensi relatif dan dominansi relatif, yang berkisar antara 0 dan 300 (Mueller-Dombois & Ellenberg 1974). Untuk tingkat pertumbuhan sapihan dan semai merupakan penjumlahan kerapatan relatif dan frekuensi relatif, sehingga maksimum nilai penting adalah 200.

3.5.2 Indeks keanekaragaman spesies (H’)

Keanekaragaman spesies tumbuhan ditentukan dengan menggunakan Indeks Keanekaragaman Shannon (Ludwig & Reynolds 1988) dengan rumus:

Keterangan:

H’ = Indeks Keanekaragaman spesies ni = Nilai penting spesies ke-i

N = Total nilai penting semua spesies

Makin besar H’ suatu komunitas maka semakin mantap pula komunitas tersebut. Nilai H’ = 0 dapat terjadi bila hanya satu spesies dalam satu contoh (sampel) dan H maksimal bila semua spesies mempunyai jumlah individu yang sama dan ini menunjukkan kelimpahan terdistribusi secara sempurna (Ludwig & Reynolds 1988).

3.5.3 Indeks kekayaan spesies (R)

Kekayaan spesies diukur dengan menggunakan Indeks Margalef (1958) diacu dalam Ludwig dan Reynolds (1988), yaitu:

Keterangan :

S = Jumlah spesies N = Jumlah individu

(29)

3.5.4Indeks kemerataan spesies (E)

Untuk kemerataan spesies digunakan untuk mengetahui gejala dominansi diantara setiap spesies dalam suatu lokasi. Rumus yang digunakan untuk menghitung nilai Evennes (Ludwig & Reynolds 1988) adalah:

Keterangan:

E = Indeks kemerataan spesies H’= Indeks Shannon-Wiener S = Jumlah spesies

3.5.5 Indeks kesamaan komunitas (IS)

Indeks kesamaan komunitas dihitung untuk membandingkan keanekaragaman spesies antara dua komunitas yang berbeda. Nilai IS teringgi 100% dan terendah 0%, semakin mendekati 100% komunitas tumbuhan yang dibandingkan semakin identik (Mueller-Dombois & Ellenberg 1974)

Keterangan:

IS = Indeks Kesamaan Komunitas (%)

C = Jumlah nilai penting yang terkecil dari jenis-jenis yang sama terdapat pada kedua komunitas yang diperbandingkan

a = Jumlah nilai penting semua jenis pada salah satu komunitas b = Jumlah nilai penting semua jenis pada komunitas lainnya

3.5.6 Karakteristik responden

Karakteristik responden yang dianalisis meliputi persentase usia, jenis kelamin, pekerjaan dan pendidikan terakhir responden.

3.5.7 Keanekaragaman tumbuhan obat

Persen tumbuhan obat adalah persentase dari tumbuhan obat terhadap jumlah tumbuhan yang diperoleh dari hasil analisis vegetasi. Persen tumbuhan obat ini untuk mengetahui potensi tumbuhan yang ada di hutan kerangas.

(30)

14

3.5.7.1 Persen famili tumbuhan obat

Persen famili adalah persentase dari famili tumbuhan obat yang dimanfaatkan masyarakat. Persen famili tersebut dapat diperoleh dari :

3.5.7.2 Persen habitus tumbuhan obat

Persentase habitus merupakan telaah tentang besarnya suatu habitus yang digunakan tehadap seluruh habitus yang ada. Habitus tersebut meliputi pohon, semak, perdu, liana dan herba. Adapun rumus yang digunakan adalah:

3.5.7.3 Persen bagian yang digunakan

Bagian tumbuhan yang digunakan meliputi daun, akar, buah, bunga, batang, kulit kayu, rimpang dan umbi. Persen bagian yang digunakan diperoleh melalui perhitungan berikut ini:

3.5.7.4 Klasifikasi tumbuhan obat berdasarkan kelompok penyakit

Tumbuhan obat yang diperoleh dari hasil analisis vegetasi diklasifikasikan berdasarkan kelompok penyakit menurut fisiologi manusia (Lukaningsih 2011) serta berdasarkan klasifikasi penyakit menular dan infeksi (Novel 2010).

Tabel 2 Kelompok fisiologi manusia dan jenis penyakit

No Fisologi Manusia Jenis Penyakit

1. Sistem kerangka dan otot Pegal, kejang, kram, turun berok, patah tulang,

keselo, dan lain-lain

2. Sistem pencernaan Gusi bengkak, gigi berlubang, sariawan, magh, diare,

tipus, hepatitis, lever, Buang Air Besar (BAB) berlendir, BAB berdarah, kondtipasi, kolik, keracunan makanan, apendisitis dan lain-lain

(31)

No Fisologi Manusia Jenis Penyakit

(CO), pilek, kanker paru-paru, asma, TBC, radang paru-paru, sinus dan lain-lain

4. Sistem urinaria Diabetes, beser, kencing batu dan lain-lain

5. Sistem reproduksi Tumor payudara, keputihan, impotensi, gonorea,

prostat, inferlitilisasi, kanker serviks, sifilis, herpes, nyeri haid, dan lain-lain

6. Sitem peredaran darah Stroke, hipertensi, hipotensi, anemia dan lain-lain

7. Sistem syaraf Kurang daya pikir dan lain-lain

8. Kulit, telinga, mata dan wajah Panu, kadas, kurap, koreng, congek, jerawat, sakit

mata,

9. Sistem ketahanan tubuh Demam, masuk angin, panas dalam dan lain-lain

10. Lain-lain Malaria, demam berdarah, cacar, campak, tetanus,

kutil, AIDS dan lain-lain yang tidak tercantum Sumber: Lukaningsih (2011),Novel (2010)

(32)

16

BAB IV

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Letak dan Luas

Kabupaten Belitung Timur merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang berdiri pada tahun 2005 dan beribukota di Manggar. Kabupaten Belitung Timur adalah satu kesatuan wilayah daratan dengan kabupaten Belitung Induk. Secara geografis kabupaten Belitung Timur terletak antara 107045’ BT sampai 108018’ BT dan 02030’ LS sampai 03015’ LS dengan luas daratan mencapai 250.691 Ha atau kurang lebih 2.506,91 km2 (BAPPEDA 2007). Batas-batas wilayah kabupaten Belitung Timur adalah sebagai berikut:

 Sebelah Utara berbatasan dengan Laut Cina Selatan,

 Sebelah Timur berbatasan dengan Selat Karimata,

 Sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Jawa dan

 Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Belitung.

Lokasi pengambilan data yaitu di hutan kerangas primer (Rimba), hutan kerangas sekunder (Bebak) dan hutan kerangas khusus (Padang). Letak Rimba dan Padang yaitu di dalam kawasan Hutan Lindung Gunung Sepang Kecamatan Manggar dan Kelapa Kampit Kabupaten Belitung Timur. Menurut Dinas Pertanian Kabupaten Belitung Timur, luas kawasan ini adalah 19.433,26 Ha (Dinperhut 2009). Sedangkan letak hutan kerangas sekunder (Bebak) yaitu di lahan milik masyarakat Desa Kelubi Kecamatan Manggar.

4.2 Kondisi Fisik 4.2.1Topografi

Keadaan alam Kabupaten Belitung Timur sebagian besar merupakan dataran tinggi dengan ketinggian 20 – 49 meter di atas permukaan laut dan sisanya merupakan dataran rendah, dan perbukitan (Tabel 3). Dataran rendah di Belitung Timur dibagi menjadi dua yaitu dataran rendah dan dataran pantai (Pratiwi 2010).

(33)

Tabel 3 Klasifikasi bentang alam Kabupaten Belitung Timur

Satuan Relief Kelerengan

(%)

Beda Tinggi (mdpl)

Persentase dari total wilayah studi (%)

Perbukitan agak curam 30 – 40 600 – 1400 12

Perbukitan bergelombang 15 – 29 50 – 600 8

Dataran tinggi 8 – 14 20 – 49 63

Dataran rendah/ dataran pantai < 8 < 20 17

Sumber: Pratiwi (2010) 4.2.2 Kondisi geologi

Pulau Belitung merupakan pulau yang memiliki geomorfologi perbukitan dengan ketinggian berkisar antara 0 – 1400 mdpl. Perbukitan dialiri oleh sungai dengan pola dendritik (Suwarna et al. 1994 diacu dalam Pratiwi 2010). Menurut Pratiwi (2010) unit Satuan Kemampuan Lahan (SKL) kesuburan tanah di Belitung Timur 87% termasuk dalam kelas buruk. Hal ini dicirikan dari tingginya kandungan pasir kuarsa, keasaman yang tinggi, pertukaran kation yang rendah, peka terhadap erosi dan sangat kering.

Tabel 4 Unit SKL kesuburan tanah Belitung Timur Tingkat

Kesuburan Tanah

Luas (Ha) Deskripsi Sebaran

Baik ± 10.027 Berupa batupasir, tanah relatif berwarna

coklat kehitaman, pasir lepas kuarsa dan lumpur, jenis tanah Lisotol, tanpa/ sedikit perkembangan profil tanah, memiliki batuan induk sedimen keras.

Ds. Bentayan, Ds. Kelubi, Bukit Samak.

Cukup Baik ± 22.562 Berupa batupasir, granodiorit, batupasir

kuarsa, jenis tanah Regosol, tanah muda dan belum mengalami diferensiasi horizon,

konsistensi lepas-lepas, bahan induk

material vulkanik, pH umumnya netral

Sebagian kecil daerah Gantung, Ds. Burung Mandi, Ds. Air Lanci

Buruk ± 281.101 Berupa batupasir, batubesi, batuserpih,

batulempung, lumpur dan endapan alluvial, jenis tanah Podsol, tanah tua dan telah mengalami perkembangan profil tanah, kondisi fisik tanah kering dan gersang.

Kec. Kelapa Kampit bagian tengah dan sebagian besar Kec. Gantung Sumber: Pratiwi (2010) 4.2.3 Iklim

Kabupaten Belitung Timur mempunyai iklim tropis dan basah dengan variasi curah hujan bulanan pada tahun 2008 antara 70,0 mm sampai 401,3 mm dengan jumlah hari hujan antara 9 sampai 26 hari setiap bulannya (BAPPEDA 2007).

(34)

18

4.3 Kondisi Biologi 4.3.1 Flora

Jumlah flora yang terdapat di Belitung Timur adalah 174 spesies yang sudah teridentifikasi nama ilmiahnya (Dinperhut 2009). Tumbuhan yang diperoleh berasal dari semua tipe hutan, misalnya hutan Dipterocarpaceae campuran, hutan pantai, hutan mangrove, dan lainnya. Spesies-spesies tumbuhan tingkat pohon atau jenis kayu yang diperoleh antara lain, Litsea sp., Syzygium sp.

Shorea sp., Calopyhllum sp., dan Tristaniopsis sp. Selain jenis kayu juga

diperoleh spesies perdu, palem, pandan dan tanaman air. Beberapa spesies tersebut yaitu Baeckea frutescens dan Leptospermum flavescens.

Mengacu pada Peraturan Pemerintah RI Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, terdapat 34 spesies tumbuhan dan satwa yang dilindungi di seluruh Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Beberapa tumbuhan yang dilindungi diantaranya pohon gaharu (Aquilaria malaccensis), pohon ramin (Gonystylus bancanus), anggrek tebu (Grammatophyllum

speciosum).

4.3.2 Fauna

Jumlah fauna yang terdapat di Belitung Timur adalah 46 spesies satwa darat, 16 satwa air tawar dan 46 satwa air lautyang belum teridentifikasi nama ilmiahnya. Keanekaragaman aves lebih tinggi dibandingkan kelas mamalia, reptil dan amfibi. Beberapa jenis burung yang terdapat disana yaitu bangau, bayan, murai batu, pelintang, elang, berebak, rangkong, tiong dan peregam (Dinperhut 2009).

Beberapa spesies satwa dilindungi dalam PP No. 7 Tahun 1999 yang terdapat di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung antara lain kukang (Nycticebus

coucang), rusa bawean (Axis kuhlii), duyung (Dugong dugong), buaya muara

(Crocodillus porosus). Spesies lainnya termasuk dalam Appendix II CITES diantaranya salah satu spesies elang laut (Haliaeetus leucogaster), mentilin (Tarsius bancanus), trenggiling (Manis javanica), musang congkok (Prinodon

linsang), biawak (Varanus salvator), monyet (Macaca tonkeana), burung hantu

(Otus angelinae), burung betet (Psittacula alexandri) dan burung beo (Gracula

(35)

4.4 Kondisi Sosial Budaya Masyarakat Sekitar 4.4.1 Jumlah penduduk

Jumlah penduduk Kabupaten Belitung Timur tahun 2007 berjumlah 98.194 jiwa. Hal ini menunjukkan telah terjadi pertambahan jumlah penduduk dibanding tahun sebelumnya sebanyak 6.492 orang atau 7,08 persen. Penduduk di Kabupaten Belitung Timur lebih banyak berjenis kelamin laki-laki dibandingkan perempuan, dimana 50.743 jiwa atau 51,67% laki-laki dan sisanya 47.451 jiwa atau 48,32% adalah perempuan. Khusus di kecamatan Gantung, penduduknya berjumlah 25.257 jiwa (BAPPEDA 2007).

4.4.2 Tingkat pendidikan

Peningkatan sumberdaya manusia sekarang ini lebih diutamakan dengan memberikan kesempatan kepada penduduk untuk mengecap pendidikan seluas-luasnya, terutama penduduk pada kelompok umur 7 – 24 tahun yang merupakan kelompok usia sekolah. Jika dilihat dari angka kelulusan Sekolah Menengah Atas terdapat sepertiga dari peserta ujian nasional yang tidak lulus di tahun 2006 (BAPPEDA 2007).

4.4.3 Mata pencaharian

Sebagian besar penduduk Belitung Timur memiliki mata pencaharian di sektor perkebunan, terutama perkebunan kelapa sawit. Tidak kurang dari 3000 orang yang bekerja di perusahaan perkebunan sawit. Selain di sektor perkebunan, pertambangan pun menjadi pilihan mata pencaharian penduduk Belitung Timur, diantanya penambangan pasir, pasir kuarsa, timah, batu besi dan Golongan C lainnya (BAPPEDA 2007).

(36)

20

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Komposisi Vegetasi

Komunitas tumbuhan terdiri dari sekelompok tumbuh-tumbuhan yang masing-masing individu mempertahankan sifatnya (Mueller-Dombois& Ellenberg 1974). Komposisi vegetasi dalam suatu ekosistem akan menjadi satu fungsi dari beberapa faktor, seperti habitat, waktu dan tumbuhan setempat. Perbedaan komposisi vegetasi berdasarkatan tipe habitat dapat dilihat pada hasil analisis vegetasi yang dilakukan di tiga tipe hutan kerangas (Gambar 3). Hasil rekapitulasi spesies dari ketiga tipe hutan kerangas tersebut diperoleh sebanyak 224 spesies dan 72 famili tumbuhan dari berbagai habitus dan tingkat pertumbuhan pohon (semai, pancang dan pohon).

Gambar 3 Jumlah spesies di tiga lokasi hutan kerangas.

Famili tumbuhan yang anggotanya banyak ditemukan yaitu Myrtaceae (27 spesies), Clusiaceae (15 spesies), Rubiaceae (13 spesies), Euphorbiaceae (14 spesies) dan Fabaceae (8 spesies). Spesies-spesies dari Myrtaceae cenderung teradaptasi dengan baik di lahan yang kritis seperti di hutan kerangas sehingga mendominasi komunitas (MacKinnon et al. 1996). Beberapa spesies dari Myrtaceae juga sebagai tumbuhan pionir, misalnya keremuntingan (Rhodomyrtus

tomentosa), jemang (Rhodamnia cinerea) dan sekudong pelandok (Syzygium buxifolium). Selain kelima famili di atas, juga ditemukan Annonaceae,

0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 J um la h spes ies Lokasi Rimba Bebak padang 157 31 135

(37)

Nepenthaceae, Droseraceae, Sapotaceae dan famili lainnya dapat dilihat pada Lampiran 1 dan Lampiran 2.

Perbedaan tipe ekosistem memengaruhi jumlah spesies dan individu yang ditemukan. Rimba merupakan ekosistem alami yang tumbuh di atas tana darat, yaitu lahan dengan jenis tanah podsol (tana teraja) dan letaknya relatif lebih tinggi atau di lingkungan lembab/basah (tana amau) (Fakhrurrazi 2001). Lokasi Rimba terletak pada 02046.833’ LS dan 108007.761’ BT. Spesies tumbuhan di Rimba didominasi oleh spesies klimaks dan nomaden. Sedikitnya spesies pionir disebabkan oleh tingginya mortalitas pionir-pionir akhir dan berangsur digantikan oleh spesies-spesies yang tahan naungan yang dapat tumbuh di bawah tajuk pionir akhir (Irwanto 2006). Beberapa spesies pionir yang diperoleh di Rimba yaitu keremuntingan (Rhodomyrtus tomentosa), keleta’an (Melastoma polyanthum) dan sengkelut (Lycopodium cernuum).

Spesies tumbuhan yang ditemukan di Bebak didominasi oleh spesies nomaden, yaitu spesies yang dapat tumbuh pada ekosistem yang baru terbuka dan subklimaks seperti singkang (Syzygium lineatum) dan kabal (Lithocarpus

blumeanus). Posisi Bebak terletak tidak berjauhan dengan Rimba yaitu pada

02050.274’ LS dan 108009.450’ BT. Bebak merupakan hutan suksesi yang tumbuh di atas lahan milik masyarakat, bekas perladangan sahang (Piper nigrum). Jumlah spesies penyusun Bebak lebih sedikit daripada Rimba karena faktor umur ekosistem yang lebih muda daripada Rimba. Menurut Odum (1993) semakin tua umur sebuah ekosistem, maka keanekaragaman spesiesnya semakin tinggi dan lebih stabil.

Komposisi vegetasi penyusun Padang paling sedikit diantara Rimba dna Bebak. Hal ini disebabkan oleh kondisi fisik Padang yang ekstrim dan sangat terbuka, sehingga hanya spesies yang toleran terhadap sinar matahari dan mampu beradaptasi pada kondisi miskin unsur hara yang dapat hidup disana. Spesies-spesies pionir banyak dijumpai di Padang, seperti kucai padang (Fimbrystilis sp.), kerupit padang (Panicum sp.) dan sengkelut (Lycopodium cernuum). Namun, juga ditemukan satu spesies klimaks yaitu belangeran (Shorea belangeran) pada tingkat semai. Hal ini disebabkan karena ekosistem Padang berbatasan langsung dengan Rimba dengan posisi 02050.282’ LS dan 108009.208’ BT, sehingga

(38)

22

dimungkinkan adanya penyebaran biji oleh angin. Menurut Whitten et al. (1984), di ekosistem padang Bangka dan Belitung didominasi oleh pohon kecil seperti

Baeckia frutescens dan Malaleuca cajuputi. Pada lokasi penelitian, sapu padang

(Baeckia frutescens) tidak mendominasi. Hal ini dapat disebabkan oleh tingginya kepadatan rumput di Padang, sehingga persaingan unsur hara cukup tinggi baik

intraspecies maupun interspecies.

5.1.1 Komposisi semai, semak/perdu, herba , liana, rotan dan pandan

Hasil analisis vegetasi semai, semak/perdu, herba, liana, rotan dan pandan yang dilakukan pada 100 plot pengamatan di Rimba, diperoleh 119 spesies tumbuhan yang terdiri dari 72 spesies semai, 6 spesies semak/perdu, 12 spesies herba, 27 spesies liana dan 2 spesies rotan. Spesies tumbuhan yang paling dominan di Rimba yaitu samak (Syzygium lepidocarpa) dengan INP 20,20% dan kerapatan 13.475 ind/ha (Tabel 5).

Tabel 5 Indeks Nilai Penting semai, semak/perdu, herba, liana, rotan dan pandan di Rimba

No Nama Lokal Nama Ilmiah Famili INP (%)

1. Samak Syzygium lepidocarpa Myrtaceae 20,20

2. Betor Padi Calophyllum depressinervosum Clusiaceae 16,23

3. Singkang Syzygium lineatum Myrtaceae 11,24

4. Kelebantuian Syzygium euneura Myrtaceae 10,20

5. Sisilan Syzygium rostratum Myrtaceae 7,95

Dominasi spesies dari famili Myrtaceae terlihat pada tabel di atas. Hal ini disebabkan oleh kemampuan adaptasi beberapa anggota famili Myrtaceae pada lahan hutan kerangas yang miskin hara. Dalam penelitian Brunig (1974) yang meneliti hutan kerangas di Sarawak, juga diperoleh anggota famili Myrtaceae yang relatif banyak. Kelima spesies diatas merupakan spesies dari tingkat semai. Keberadaan semak/perdu, herba sebagai spesies pionir tidak mendominasi, karena kondisi ekosistem di Rimba relatif sudah mencapai klimaks.

Spesies tumbuhan dengan INP terendah terdiri dari beberapa spesies diantaranya girak (Symplocos adenophylla), menterasan (Memecylon

olygoneurum) dan libut (Edospermum diadenum) yaitu 0,14%. Rentang nilai INP

tertinggi dan terendah cukup besar, dan hal ini menunjukkan penguasaan spesies dengan INP teringgi di Rimba relatif tinggi dari 119 spesies yang ada disana.

(39)

Tingginya heterogenitas spesies di Rimba ditunjukkan dengan ditemukannya 23 spesies dalam satu plot berukuran 2 x 2 m2 (Gambar 4). Data seluruh nilai penting semai, semak/ perdu, herba, liana, rotan dan pandan di Rimba dapat dilihat pada Lampiran 3

Gambar 4 Plot ditemukannya jumlah spesies tumbuhan terbanyak.

Hasil analisis vegetasi di Bebak diperoleh 110 spesies tumbuhan yang terdiri dari 61 spesies semai, 9 spesies semak/perdu, 16 spesies herba, 22 spesies liana, 1 spesies rotan dan 1 spesies pandan. Nilai penting tertinggi yaitu pulas (Guioa pleuropteris) sebesar 12,57% dengan kerapatan 3.600 ind/ha dan kelebantuian (Syzygium euneura) sebesar 12,09% dengan kerapatan 3.025 ind/ha (Tabel 6). Salah satu spesies dengan nilai penting terkecil yaitu pansi (Elaeocarpus palembanicus) 0,15% dan kerapatan 25 ind/ha. Beberapa liana yang ditemukan yaitu akar ibu (Lygodium microphyllum), akar kuaya (Dalbergia

rostrata) dan akar geruntang tangga (Salacia oblongifolia). Data seluruh nilai

penting semai, semak/perdu, herba, liana, rotan dan pandan di Bebak dapat dilihat pada Lampiran 4.

Tabel 6 Indeks Nilai Penting semai, semak/perdu, herba, liana, rotan dan pandan di Bebak

No Nama Lokal Nama Ilmiah Famili INP (%)

1. Pulas Guioa pleuropteris Sapindaceae 12,57

2. Kelebantuian Syzygium euneura Myrtaceae 12,09

3. Tenam Psychotria viridiflora Rubiaceae 11,21

4. Jemang Rhodamnia cinerea Myrtaceae 10,28

5. Seru Schima wallichii Theaceae 9,42

Hasil analisis vegetasi di Padang diperoleh 31 spesies tumbuhan yang terdiri dari 8 spesies semai, 3 spesies semak/perdu, 16 spesies herba dan 2 spesies

(40)

24

liana. Nilai penting tertinggi sebesar 51,14% yaitu kucai padang (Fimbristylis sp.) dengan kerapatan 85.250 ind/ha (Tabel 7) dan seluruh data nilai penting semai, semak/ perdu, herba dan liana, rotan dan pandan di Padang dapat dilihat pada Lampiran 5.

Tabel 7 Indeks Nilai Penting semai, semak/perdu, herba, liana, rotan dan pandan di Padang

No Nama Lokal Nama Ilmiah Famili INP (%)

1. Kucai Padang Fimbristylis sp. Cyperaceae 51,14

2. Jenis C Eriocaulon sp. Eriocaulaceae 32,67

3. Kerupit Padang Panicum sp. Poaceae 27,53

4. Drosera Drocera burmanii Droceraceae 19,71

5. Rumput Padang bola Rhynchospora aurea Cyperaceae 15,23

Pada plot pengamatan ditemukan salah satu insentivora unik yaitu drosera dengan INP 19,71%. Spesies ini seringkali terabaikan dan sangat jarang ditemukan di tempat lain, berwarna merah menyala di lantai Padang (Gambar 5a). Selain drosera juga ditemukan salah satu spesies Nepenthes yaitu Nepenthes

gracilis yang tumbuh di lantai Padang maupun merambat di semak (Gambar 5b).

Spesies ini seringkali ditemukan di lahan-lahan teraja seperti di Padang. Ekosistem Padang memang merupakan habitat dari Nepenthes sp. dan Drosera sp. (Whitmore 1984). Mansur (2007) menyebutkan bahwa spesies ini memiliki toleransi tinggi terhadap intensitas cahaya tinggi dan dapat juga tumbuh pada tempat-tempat yang terlindungi.

Gambar 5 Drosera burmanii yang sudah berbunga (a), Nepenthes gracilis yang tumbuh berkelompok di lantai Padang (b).

Pada saat pengamatan, kondisi tanah yang kering tidak membatasi kehidupan Drosera burmanii. Drosera burmanii tumbuh secara berkelompok di Padang (Gambar 6). Pada kondisi tanah yang lembab dan berair pun, drosera

(41)

dapat hidup dengan baik (LIPI 2002). Sesuai dengan asas minimun Liebig yang dinyatakan tahun 1840 (Odum 1993) dijelaskan bahwa kemampuan hidup suatu spesies pada satu keadaan ekosistem tertentu dipengaruhi oleh kecukupan minimum bahan-bahan penting yang diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan.

Gambar 6 Drosera burmanii yang tumbuh berkelompok.

Jumlah spesies dan individu semai, semak/perdu, herba, liana, rotan dan pandan di tiga tipe hutan kerangas relatif bervariasi. Khusus di Rimba dan Bebak, jumlah spesies yang diperoleh cukup tinggi. Hal ini dapat disebabkan oleh letak Rimba yang berbatasan langsung dengan Bebak, sehingga penyebaran biji-biji beberapa spesies tumbuhan di Bebak dapat tumbuh di Rimba dan sebaliknya untuk spesies yang bersifat nomaden. Sedangkan di Padang, jumlah spesies relatif sedikit, namun nilai INP dari 31 speises yang diperoleh sangat tinggi dibandingkan Rimba dan Bebak.

Pertumbuhan kucai padang (Fimbristylis sp.) hampir menutupi seluruh lantai Padang. Spesies ini merupakan pionir yang sudah sangat lama hidup di Padang. Menurut masyarakat sekitar, asal terbentuknya Padang yaitu akibat proses kebakaran hebat yang terjadi pada zaman dahulu (ratusan tahun yang lalu). Kebakaran tersebut disebabkan oleh api yang dihasilkan akibat gesekan pohon-pohon di hutan kerangas yang sangat rapat akibat hembusan angin musim kemarau panjang. Sisa kebakaran hutan yaitu berupa hamparan padang rumput yang tidak dapat dikembalikan menjadi hutan lagi (Gambar 7).

(42)

26

Gambar 7 Ekosistem padang.

Padang sebagai satu kesatuan ekosistem juga dijadikan lokasi bagi pelanduk untuk mencari makan, saat tumbuhan hutan berbuah (musim bua utan). Salah satu buah yang digemari pelanduk yaitu sekudong pelandok (Syzygium

buxifolium) (Gambar 8a). Rasa buahnya seperti rasa jambu air, namun agak sepat

dan kering. Selain sekudong pelandok, Gambar 8b juga merupakan spesies tumbuhan yang buahnya enak dimakan yaitu kedindiman (Syzygium incarnatum).

Gambar 8 Buah sekudong pelandok (a), buah kedindiman (b). 5.1.2 Komposisi pancang

Hasil analisis vegetasi tingkat pancang pada 100 plot di Rimba diperoleh 93 spesies tumbuhan. Jumlah pancang yang diperoleh lebih banyak dari pada jumlah semai. Hal ini menunjukkan piramida penambahan spesies yang terbalik, sehingga dimungkinkan terjadi kepunahan beberapa spesies di Rimba. Berkurangnya spesies pada tingkat pancang dapat disebabkan oleh tergantinya spesies-spesies pionir yang sudah tidak tahan naungan, sehingga tidak mampu tumbuh hingga tingkat pancang.

(43)

Spesies tingkat pancang di Rimba yang memiliki nilai penting tertinggi yaitu betor belulang (Calophyllum lanigerum) sebesar 17,27% dengan kerapatan 900 ind/ha. Spesies tingkat pancang dengan INP terkecil yaitu mendaran (Palaquium ridleyi) 0,15% dengan kerapatan 4 ind/ha (Tabel 8). Total kerapatan pancang di Rimba lebih tinggi dari pada di Bebak yaitu 8.804 ind/ha, sedangkan di Bebak 7.932 ind/ha. Data nilai penting pancang di Rimba dapat dilihat pada Lampiran 6.

Tabel 8 Nilai penting tingkat pancang di Rimba

No Nama Lokal Nama Ilmiah Famili INP (%)

1. Betor Belulang Calophyllum lanigerum Clusiaceae 17,27

2. Kelebantuian Syzygium euneura Myrtaceae 10,82

3. Meleman Psychotria malayana Rubiaceae 10,76

4. Jemang Rhodamnia cinerea Myrtaceae 10,75

5. Pelawan Kiring Tristaniopsis obovata Myrtaceae 10,59

Lima nilai penting tertinggi tingkat pancang yang diperoleh relatif merata. Hal ini menunjukkan dominasi lima spesies tersebut di Rimba relatif seimbang dan rapat. Jumlah spesies yang cukup banyak juga didukung dengan jumlah individu yang banyak. Hal inilah yang memberikan kenampakan Rimba relatif rapat dan didominasi tegakan yang kurus-kurus. Ciri-ciri hutan kerangas menurut MacKinnon et al. (1996) yaitu memiliki pohon-pohon yang kecil dan kurus.

Salah satu spesies tingkat pancang tersebut adalah pelawan kiring (Tristaniopsis obovata). Spesies ini sangat mudah dikenali di lokasi penelitian, karena memiliki batang yang berwarna merah dan kulit batang yang mengelupas (Gambar 9a). Kayu pelawan kiring cukup keras dan sering dimanfaatkan sebagai kayu pagar (Gambar 9b).

Gambar 9 Pelawan kiring (a), kondisi rimba yang didominasi pancang (b).

Gambar

Gambar 1  Lokasi penelitian di hutan kerangas.
Gambar 2  Desain petak-petak contoh di lapangan.
Tabel 3  Klasifikasi bentang alam Kabupaten Belitung Timur
Gambar 3  Jumlah spesies di tiga lokasi hutan kerangas.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Komposisi vegetasi antara tegakan tidak terbakar dan tegakan setelah terbakar di Hutan Pendidikan Gunung Walat memiliki perbedaan yang cukup tinggi pada jenis

Penelitian tentang Struktur dan Komposisi Vegetasi Pohon dan Potensi Karbon Tersimpan di Kawasan Hutan Gunung Sibuatan Kecamatan Merek Kabupaten Karo Provinsi

Penelitian tentang Struktur dan Komposisi Vegetasi Pohon dan Potensi Karbon Tersimpan di Kawasan Hutan Gunung Sibuatan Kecamatan Merek Kabupaten Karo Provinsi

Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai informasi kepada peneliti selanjutnya mengenai struktur dan komposisi vegetasi pohon serta potensi karbon tersimpan di Kawasan

POTENSI TUMBUHAN BERKHASIAT OBAT DI HUTAN WISATA ALAM PREVAB TAMAN NASIONAL KUTAI KALIMANTAN TIMUR.. Nanang Sasmita, Yohanes Barung

Indeks Kekayaan Jenis (R) maupun Indeks Keanekaragaman Jenis (H) hutan kerangas yang telah 15 tahun ditambang pasir kuarsa lebih tinggi dibandingkan dengan yang baru 5

Komposisi vegetasi antara tegakan tidak terbakar dan tegakan setelah terbakar di Hutan Pendidikan Gunung Walat memiliki perbedaan yang cukup tinggi pada jenis

Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mengetahui :Struktur dan komposisi vegetasi Hutan Mangrove Desa Tagalaya serta Hubungan antara kerapatan vegetasi (Pohon dan