• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Komposisi Vegetasi

5.1.1 Komposisi semai, semak/perdu, herba , liana, rotan dan pandan

Hasil analisis vegetasi semai, semak/perdu, herba, liana, rotan dan pandan yang dilakukan pada 100 plot pengamatan di Rimba, diperoleh 119 spesies tumbuhan yang terdiri dari 72 spesies semai, 6 spesies semak/perdu, 12 spesies herba, 27 spesies liana dan 2 spesies rotan. Spesies tumbuhan yang paling dominan di Rimba yaitu samak (Syzygium lepidocarpa) dengan INP 20,20% dan kerapatan 13.475 ind/ha (Tabel 5).

Tabel 5 Indeks Nilai Penting semai, semak/perdu, herba, liana, rotan dan pandan di Rimba

No Nama Lokal Nama Ilmiah Famili INP (%)

1. Samak Syzygium lepidocarpa Myrtaceae 20,20

2. Betor Padi Calophyllum depressinervosum Clusiaceae 16,23

3. Singkang Syzygium lineatum Myrtaceae 11,24

4. Kelebantuian Syzygium euneura Myrtaceae 10,20

5. Sisilan Syzygium rostratum Myrtaceae 7,95

Dominasi spesies dari famili Myrtaceae terlihat pada tabel di atas. Hal ini disebabkan oleh kemampuan adaptasi beberapa anggota famili Myrtaceae pada lahan hutan kerangas yang miskin hara. Dalam penelitian Brunig (1974) yang meneliti hutan kerangas di Sarawak, juga diperoleh anggota famili Myrtaceae yang relatif banyak. Kelima spesies diatas merupakan spesies dari tingkat semai. Keberadaan semak/perdu, herba sebagai spesies pionir tidak mendominasi, karena kondisi ekosistem di Rimba relatif sudah mencapai klimaks.

Spesies tumbuhan dengan INP terendah terdiri dari beberapa spesies diantaranya girak (Symplocos adenophylla), menterasan (Memecylon

olygoneurum) dan libut (Edospermum diadenum) yaitu 0,14%. Rentang nilai INP

tertinggi dan terendah cukup besar, dan hal ini menunjukkan penguasaan spesies dengan INP teringgi di Rimba relatif tinggi dari 119 spesies yang ada disana.

Tingginya heterogenitas spesies di Rimba ditunjukkan dengan ditemukannya 23 spesies dalam satu plot berukuran 2 x 2 m2 (Gambar 4). Data seluruh nilai penting semai, semak/ perdu, herba, liana, rotan dan pandan di Rimba dapat dilihat pada Lampiran 3

Gambar 4 Plot ditemukannya jumlah spesies tumbuhan terbanyak.

Hasil analisis vegetasi di Bebak diperoleh 110 spesies tumbuhan yang terdiri dari 61 spesies semai, 9 spesies semak/perdu, 16 spesies herba, 22 spesies liana, 1 spesies rotan dan 1 spesies pandan. Nilai penting tertinggi yaitu pulas (Guioa pleuropteris) sebesar 12,57% dengan kerapatan 3.600 ind/ha dan kelebantuian (Syzygium euneura) sebesar 12,09% dengan kerapatan 3.025 ind/ha (Tabel 6). Salah satu spesies dengan nilai penting terkecil yaitu pansi (Elaeocarpus palembanicus) 0,15% dan kerapatan 25 ind/ha. Beberapa liana yang ditemukan yaitu akar ibu (Lygodium microphyllum), akar kuaya (Dalbergia

rostrata) dan akar geruntang tangga (Salacia oblongifolia). Data seluruh nilai

penting semai, semak/perdu, herba, liana, rotan dan pandan di Bebak dapat dilihat pada Lampiran 4.

Tabel 6 Indeks Nilai Penting semai, semak/perdu, herba, liana, rotan dan pandan di Bebak

No Nama Lokal Nama Ilmiah Famili INP (%)

1. Pulas Guioa pleuropteris Sapindaceae 12,57

2. Kelebantuian Syzygium euneura Myrtaceae 12,09

3. Tenam Psychotria viridiflora Rubiaceae 11,21

4. Jemang Rhodamnia cinerea Myrtaceae 10,28

5. Seru Schima wallichii Theaceae 9,42

Hasil analisis vegetasi di Padang diperoleh 31 spesies tumbuhan yang terdiri dari 8 spesies semai, 3 spesies semak/perdu, 16 spesies herba dan 2 spesies

24

liana. Nilai penting tertinggi sebesar 51,14% yaitu kucai padang (Fimbristylis sp.) dengan kerapatan 85.250 ind/ha (Tabel 7) dan seluruh data nilai penting semai, semak/ perdu, herba dan liana, rotan dan pandan di Padang dapat dilihat pada Lampiran 5.

Tabel 7 Indeks Nilai Penting semai, semak/perdu, herba, liana, rotan dan pandan di Padang

No Nama Lokal Nama Ilmiah Famili INP (%)

1. Kucai Padang Fimbristylis sp. Cyperaceae 51,14

2. Jenis C Eriocaulon sp. Eriocaulaceae 32,67

3. Kerupit Padang Panicum sp. Poaceae 27,53

4. Drosera Drocera burmanii Droceraceae 19,71

5. Rumput Padang bola Rhynchospora aurea Cyperaceae 15,23

Pada plot pengamatan ditemukan salah satu insentivora unik yaitu drosera dengan INP 19,71%. Spesies ini seringkali terabaikan dan sangat jarang ditemukan di tempat lain, berwarna merah menyala di lantai Padang (Gambar 5a). Selain drosera juga ditemukan salah satu spesies Nepenthes yaitu Nepenthes

gracilis yang tumbuh di lantai Padang maupun merambat di semak (Gambar 5b).

Spesies ini seringkali ditemukan di lahan-lahan teraja seperti di Padang. Ekosistem Padang memang merupakan habitat dari Nepenthes sp. dan Drosera sp. (Whitmore 1984). Mansur (2007) menyebutkan bahwa spesies ini memiliki toleransi tinggi terhadap intensitas cahaya tinggi dan dapat juga tumbuh pada tempat-tempat yang terlindungi.

Gambar 5 Drosera burmanii yang sudah berbunga (a), Nepenthes gracilis yang tumbuh berkelompok di lantai Padang (b).

Pada saat pengamatan, kondisi tanah yang kering tidak membatasi kehidupan Drosera burmanii. Drosera burmanii tumbuh secara berkelompok di Padang (Gambar 6). Pada kondisi tanah yang lembab dan berair pun, drosera

dapat hidup dengan baik (LIPI 2002). Sesuai dengan asas minimun Liebig yang dinyatakan tahun 1840 (Odum 1993) dijelaskan bahwa kemampuan hidup suatu spesies pada satu keadaan ekosistem tertentu dipengaruhi oleh kecukupan minimum bahan-bahan penting yang diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan.

Gambar 6 Drosera burmanii yang tumbuh berkelompok.

Jumlah spesies dan individu semai, semak/perdu, herba, liana, rotan dan pandan di tiga tipe hutan kerangas relatif bervariasi. Khusus di Rimba dan Bebak, jumlah spesies yang diperoleh cukup tinggi. Hal ini dapat disebabkan oleh letak Rimba yang berbatasan langsung dengan Bebak, sehingga penyebaran biji-biji beberapa spesies tumbuhan di Bebak dapat tumbuh di Rimba dan sebaliknya untuk spesies yang bersifat nomaden. Sedangkan di Padang, jumlah spesies relatif sedikit, namun nilai INP dari 31 speises yang diperoleh sangat tinggi dibandingkan Rimba dan Bebak.

Pertumbuhan kucai padang (Fimbristylis sp.) hampir menutupi seluruh lantai Padang. Spesies ini merupakan pionir yang sudah sangat lama hidup di Padang. Menurut masyarakat sekitar, asal terbentuknya Padang yaitu akibat proses kebakaran hebat yang terjadi pada zaman dahulu (ratusan tahun yang lalu). Kebakaran tersebut disebabkan oleh api yang dihasilkan akibat gesekan pohon-pohon di hutan kerangas yang sangat rapat akibat hembusan angin musim kemarau panjang. Sisa kebakaran hutan yaitu berupa hamparan padang rumput yang tidak dapat dikembalikan menjadi hutan lagi (Gambar 7).

26

Gambar 7 Ekosistem padang.

Padang sebagai satu kesatuan ekosistem juga dijadikan lokasi bagi pelanduk untuk mencari makan, saat tumbuhan hutan berbuah (musim bua utan). Salah satu buah yang digemari pelanduk yaitu sekudong pelandok (Syzygium

buxifolium) (Gambar 8a). Rasa buahnya seperti rasa jambu air, namun agak sepat

dan kering. Selain sekudong pelandok, Gambar 8b juga merupakan spesies tumbuhan yang buahnya enak dimakan yaitu kedindiman (Syzygium incarnatum).

Gambar 8 Buah sekudong pelandok (a), buah kedindiman (b). 5.1.2 Komposisi pancang

Hasil analisis vegetasi tingkat pancang pada 100 plot di Rimba diperoleh 93 spesies tumbuhan. Jumlah pancang yang diperoleh lebih banyak dari pada jumlah semai. Hal ini menunjukkan piramida penambahan spesies yang terbalik, sehingga dimungkinkan terjadi kepunahan beberapa spesies di Rimba. Berkurangnya spesies pada tingkat pancang dapat disebabkan oleh tergantinya spesies-spesies pionir yang sudah tidak tahan naungan, sehingga tidak mampu tumbuh hingga tingkat pancang.

Spesies tingkat pancang di Rimba yang memiliki nilai penting tertinggi yaitu betor belulang (Calophyllum lanigerum) sebesar 17,27% dengan kerapatan 900 ind/ha. Spesies tingkat pancang dengan INP terkecil yaitu mendaran (Palaquium ridleyi) 0,15% dengan kerapatan 4 ind/ha (Tabel 8). Total kerapatan pancang di Rimba lebih tinggi dari pada di Bebak yaitu 8.804 ind/ha, sedangkan di Bebak 7.932 ind/ha. Data nilai penting pancang di Rimba dapat dilihat pada Lampiran 6.

Tabel 8 Nilai penting tingkat pancang di Rimba

No Nama Lokal Nama Ilmiah Famili INP (%)

1. Betor Belulang Calophyllum lanigerum Clusiaceae 17,27

2. Kelebantuian Syzygium euneura Myrtaceae 10,82

3. Meleman Psychotria malayana Rubiaceae 10,76

4. Jemang Rhodamnia cinerea Myrtaceae 10,75

5. Pelawan Kiring Tristaniopsis obovata Myrtaceae 10,59

Lima nilai penting tertinggi tingkat pancang yang diperoleh relatif merata. Hal ini menunjukkan dominasi lima spesies tersebut di Rimba relatif seimbang dan rapat. Jumlah spesies yang cukup banyak juga didukung dengan jumlah individu yang banyak. Hal inilah yang memberikan kenampakan Rimba relatif rapat dan didominasi tegakan yang kurus-kurus. Ciri-ciri hutan kerangas menurut MacKinnon et al. (1996) yaitu memiliki pohon-pohon yang kecil dan kurus.

Salah satu spesies tingkat pancang tersebut adalah pelawan kiring (Tristaniopsis obovata). Spesies ini sangat mudah dikenali di lokasi penelitian, karena memiliki batang yang berwarna merah dan kulit batang yang mengelupas (Gambar 9a). Kayu pelawan kiring cukup keras dan sering dimanfaatkan sebagai kayu pagar (Gambar 9b).

Gambar 9 Pelawan kiring (a), kondisi rimba yang didominasi pancang (b).

28

Hasil analisis vegetasi tingkat pancang di Bebak diperoleh 76 spesies. Jumlah pancang yang diperoleh lebih banyak dari pada jumlah semai. Hal ini juga menunjukkan piramida penambahan spesies yang terbalik, sehingga dimungkinkan terjadi kepunahan beberapa spesies di Bebak. Spesies tingkat pancang yang memiliki nilai penting tertinggi yaitu kiras (Garcinia hombroniana) sebesar 21,50% dengan kerapatan 1.292 ind/ha, jemang (Rhodamnia cinerea) dengan INP 18,11% dengan kerapatan 800 ind/ha (Tabel 9). Data nilai penting pancang di Bebak dapat dilihat pada Lampiran 7.

Beberapa spesies tingkat semai masih tetap ditemukan hingga tingkat pancang, seperti kelebantuian (Syzygium euneura), jemang (Rhodamnia cinerea) dan seru (Schima wallichii). Spesies tumbuhan atau pohon tahunan juga mulai ditemukan misalnya durian (Durio zibethinus), cempedak (Artocarpus integer) dan jering (Archidendron pauciflorum). Menurut McNaughton dan Wolf(1990) menyebutkan bahwa suksesi sekunder pada lahan bekas pertanian akan didominasi oleh spesies tumbuhan semusim selama satu atau dua tahun sampai mereka digantikan oleh tumbuhan yang memiliki siklus hidupnya lebih panjang. Tabel 9 Nilai penting tingkat pancang di Bebak

No Nama Lokal Nama Ilmiah Famili INP (%)

1. Kiras Garcinia hombroniana Clusiaceae 21,50

2. Jemang Rhodamnia cinerea Myrtaceae 18,11

3. Kelebantuian Syzygium euneura Myrtaceae 11,05

4. Samak Syzygium lepidocarpa Myrtaceae 10,86

5. Seru Schima wallichii Theaceae 10,81

Tutupan vegetasi di Bebak relatif lebih terbuka dibandingkan Rimba (Gambar 10). Hal ini juga disebabkan oleh jumlah pancang Bebak lebih sedikit dari pada di Rimba. Selain itu juga disebabkan oleh pemilihan Bebak yang digunakan adalah Bebak yang baru berumur 10 tahun, sehingga proses suksesi masih berlangsung. Berdasarkan observasi di lapangan, Bebak yang berumur 30 tahun sudah hampir mirip dengan Rimba, baik dari spesies maupun kenampakan formasi yang relatif rapat. Namun belum dilakukan kajian lebih lanjut terkait Bebak berumur selain 10 tahun.

Gambar 10 Hutan kerangas sekunder (Bebak) yang relatif terbuka.

Hasil analisis vegetasi tingkat pancang di Padang diperoleh 3 spesies tumbuhan. Spesies tingkat pancang yang memiliki nilai penting tertinggi yaitu sekuncong (Leptospermum flavescens) sebesar 88,46% (Tabel 10) dengan kerapatan 20 ind/ha sama dengan kerapatan pelawan kiring (Tristaniopsis

obovata). Nilai kerapatan spesies lainnya dapat dilihat pada Lampiran 8.

Ekosistem padang memang didominasi oleh tumbuhan bawah. Kondisi tumbuhan di Padang relatif kurus dan kering karena kurangnya unsur hara.

Tabel 10 Nilai penting tingkat pancang di Padang

No Nama Lokal Nama Ilmiah Famili INP (%)

1. Pelawan kiring Tristaniopsis obovata Myrtaceae 55,13

2. Gelam Malaleuca leucadendron Myrtaceae 56,41

3. Sekuncong Leptospermum flavescens Myrtaceae 88,46

Sekuncong (Leptospermum flavescens) merupakan jenis pohon kecil di Padang yang ditemukan pada tingkat pancang. Spesies ini cocok dijadikan tanaman bonsai karena tidak terlalu besar. Daunnya yang kecil-kecil dan agak tajam merupakan bentuk adaptasi morfologi terhadap kondisi ekosistem yang ekstrim untuk mengurangi penguapan.

Dokumen terkait