• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keanekaragaman Tumbuhan Obat .1 Karakteristik responden .1 Karakteristik responden

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.2 Keanekaragaman Tumbuhan Obat .1 Karakteristik responden .1 Karakteristik responden

Jumlah responden yang diwawancarai terkait hasil analisis vegetasi yang diperoleh yaitu sebanyak 25 orang. Wawancara dihentikan ketika sudah tidak ada lagi perbedaan khasiat obat yang diperoleh. Karakteristik responden dalam penelitian ini yaitu didominasi oleh masyarakat yang berusia di atas 50 tahun yaitu sebanyak 68% (Gambar 18), berlatar pendidikan sekolah dasar sebanyak 84% (Gambar 19) dan memiliki pekerjaan utama sebagai buruh harian sebanyak

38

84% (Gambar 20). Beberapa responden yang bekerja sebagai buruh harian juga merangkap pekerjaan lain, misalnya sebagai dukun kampung dan peramu obat tradisional. Namun pekerjaan ini bersifat sosial dan sukarela, bukan mata pencaharian. Jumlah responden didominasi oleh responden laki-laki yaitu 68% dan responden wanita sebanyak 32% dengan nama responden terlampir (Lampiran 12).

Gambar 18 Persentase usia responden.

Masyarakat peramu obat masih mengambil tumbuhan obat langsung dari hutan. Pekerjaan ini dijalankan turun-temurun sesuai dengan pengetahuan yang telah diwariskan. Responden yang diklasifikasikan sebagai peramu adalah orang yang bermata pencaharian sebagai penjual obat tradisional dengan memanfaatkan tumbuhan obat. Pada kenyataannya kemampuan meramu obat juga dimiliki oleh beberapa responden lainnya yang bermata pencaharian sebagai buruh harian. Sebagian besar responden bermata pencaharian sebagai buruh harian perkebunan kelapa sawit dan karet yang ada di sekitar hutan.

Masuknya perkebunan kelapa sawit dan karet selain mengurangi ketersediaan hutan, juga mengubah pola kehidupan masyarakat sekitar. Sebelum masuknya perkebunan sawit, masyarakat masih menggantungkan hidup dari kawasan hutan. Jam harian masyarakat banyak dihabiskan di rumah atau di hutan. Setelah masuknya perkebunan kelapa sawit, masyarakat menjadi buruh harian dengan pekerjaan yang beragam seperti menebas, mengisi polibag, mendangir,

4% 24% 4% 68% 20-29 tahun 30-39 tahun 40-49 tahun 50 tahun ke atas

memupuk dan lainnya. Gambar 19 menunjukkan persentase pekerjaan responden yang diperoleh saat pengambilan data.

Gambar 19 Persentase pekerjaan responden.

Tingkat pendidikan terakhir responden didominasi oleh tingkat SD. Responden mengaku bahwa bukan hanya karena ketidakmampuan ekonomi untuk sekolah, tetapi juga karena kurangnya motivasi untuk melanjutkan sekolah. Tempat tinggal yang jauh dari sekolah lanjutan juga semakin mengurungkan keinginan mereka untuk bersekolah.

Pada saat seperti ini, masyarakat hanya melihat kekayaan perkebunan yang sudah merusak hutan mereka. Aksesibilitas menuju lokasi penelitian sudah diaspal. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa di sana belum ada aliran listrik dari PLN sehingga masyarakat tetap mempersiapkan genset di rumah-rumah mereka.

Gambar 20 Persentase pendidikan terakhir responden. 84%

8% 4% 4%

Buruh harian Peramu

Ibu rumah tangga Wiraswasta 84% 8% 8% SD SMP/MTs SMA

40

5.2.2 Keanekaragaman tumbuhan obat berdasarkan famili

Spesies tumbuhan obat yang diperoleh dari 224 spesies tumbuhan yang ditemukan yaitu sebanyak 101 spesies. Sebanyak 83,17% spesies tumbuhan obat dari Rimba, 69,31% dari Bebak dan 9,90% dari Padang. Tumbuhan obat tersebutdiklasifikasikan ke dalam 50 famili yang dapat dilihat pada Lampiran 13.Enam famili tersebut diantaranyayaitu Myrtaceae (11 spesies), Rubiaceae (10 spesies), Clusiaceae (6 spesies), Fabaceae (5 spesies), Euphorbiaceae (5 spesies) dan Apocynaceae (5 spesies) (Gambar 21).

Gambar 21 Jumlah tumbuhan obat berdasarkan enam famili tertinggi. Myrtaceae merupakan famili yang memiliki berbagai macam spesies tumbuhan yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan obat, seperti jemang (Rhodamnia cinerea), gelam (Malaleuca leucadendron), keremuntingan (Rhodomyrtus tomentosa), keleta’an (Melastoma polyanthum) dan sekudong pelandok (Syzygium buxifolium).

Secara ekologi, beberapa spesies Myrtaceae merupakan spesies pionir sehingga lebih cepat tumbuh di daerah kritis. Salah satunya yaitu keremuntingan (Rhodomyrtus tomentosa) yang memiliki manfaat sebagai obat dan fungsi ekologis yang tinggi. Spesies ini dapat tumbuh di areal bekas tambang timah (Gambar 22). Menurut Pratiwi (2010) keberadaan keremuntingan di lahan bekas tambang timah dapat dijadikan sebagai pionir untuk meningkatkan unsur hara tanah dan pencegah erosi. Keremuntingan juga telah terbukti memiliki kandungan antioksidan yang berguna bagi tubuh (Putra et al., 2009). Keremuntingan dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai obat sakit perut dan penurun tekanan darah

0 2 4 6 8 10 12 Myrtaceae Rubiaceae Clusiaceae Fabaceae Euphorbiaceae Apocynaceae Jumlah spesies F a m ili

tinggi. Daun keremuntingan diseduh dan diminum airnya. Heyne (1987a) menyebutkan bahwa daun keremuntingan yang ditumbuk berguna untuk menyembuhkan luka-luka.

Gambar 22 Keremuntingan di lahan bekas tambang timah.

Keleta’an (Melastoma polyanthum) berguna sebagai obat sakit gigi dan gusi bengkak. Penggunaannya yaitu dengan merebus daun keleta’an kemudian airnya digunakan untuk berkumur. Manfaat lain dari spesies ini yaitu sebagai obat luka bakar dan menyembuhkan buang air berdarah (Heyne 1987a).

Spesies dari famili Rubiaceae biasa dikenal kopi-kopian yang memiliki ciri khas yaitu pada buahnya terdapat aroma yang nikmat (Lubis 2008). Pada kondisi habitat yang ekstrim, tumbuhan akan memproduksi metabolit sekunder yang lebih tinggi dibandingkan pada kondisi yang subur. Spesies dari famili ini di antara, yaitu meleman (Psychotria malayana), akar rurutan (Gynochtodes

coriacea), akar segendai (Coptosapelta tomentosa), tempala (Timonius flavescens) dan sereting (Prismatomeris tetrandra).

Potensi tumbuhan obat di hutan kerangas belum banyak diungkapkan oleh peneliti-peneliti. Menurut Nurrohman (2011) diperoleh 38 spesies tumbuhan berguna di HCV PT Agro Lestari Mandiri Kalimantan Barat dengan tipe hutan kerangas. Menurut Widyaninggar (2011) diperoleh 152 spesies tumbuhan berguna di HCV PT Sawit Kapuas Kencana dengan tipe hutan kerangas. Hasil yang didapat keduanya menyebutkan bahwa spesies yang diperoleh di hutan kerangas lebih sedikit daripada hutan dataran rendah.

Menurut Ditjen POM (1991) diacu dalam Zuhud et al. (1994), persentase penyebaran tumbuhan obat di Indonesia diperoleh dari 6 tipe hutan di Indonesia,

42

antara lain hutan hujan dataran rendah (49,4%), hutan mangrove (3,9%), hutan pantai (5,6%), hutan savana (6,1%), hutan musim (13,9%) dan hutan hujan pegunungan (21,1%). Sebanyak 16 spesies tumbuhan obat di hutan kerangas yang diperoleh dalam penelitian ini sudah terdokumentasi sebagai tumbuhan obat menurut Zuhud et al. (1994), misalnya Baeckea frutescens, Cratoxylon formosum,

Curculigo latifolia dan Rhodamnia cinerea.

5.2.3 Keanekaragaman tumbuhan obat berdasarkan habitus

Persentase keanekaragaman tumbuhan obat berdasarkan habitus yaitu sebanyak 45% pohon, 30% liana dan 14% perdu (Gambar 23). Salah satu spesies pohon yang berkhasiat sebagai obat diantaranya yaitu pohon butun (Cratoxylon

formosum). Pohon ini memiliki duri pada batangnya yang masih muda (Gambar

24a). Daun yang menempel di ujung duri batang tersebut berkhasiat sebagai obat bisul dan sasak isi (koreng di badan). Kegunaan lain dari spesies ini yaitu kulit batangnya sebagai obat sakit perut, getahnya sebagai obat kudis dan daunnya untuk obat luka bakar (Adriyanti et al. 2003).

Gambar 23 Persentase tumbuhan obat berdasarkan habitus.

Potensi liana yang sering digunakan sebagai obat oleh masyarakat, diantaranya akar kayu bau (Artabotrys suaveolens) sebagai obat masuk angin,

panas dalam dan salah satu dari 44 ramuan setelah melahirkan; akar sariawan (Connarus semidecandrus) sebagai obat sariawan; dan akar banar (Smilax

barbata) sebagai obat maag dan salah satu dari 44 ramuan setelah melahirkan 30% 14% 45% 3% 8% Liana Perdu Pohon Semak Herba

(Gambar 24b). Sesuai dengan potensi liana yang diperoleh yaitu terbanyak kedua setelah pohon. Masyarakat mengenal liana berkayu maupun liana yang tidak berkayu dengan sebutan akar.

Pada habitus herba, semak dan perdu digunakan dalam jumlah yang lebih sedikit daripada pohon dan liana. Hal ini dapat disebabkan karena potensi habitus ini memang tidak mendominasi dalam komunitas hutan.

Gambar 24 Beberapa spesies tumbuhan obat: (a) Butun (Cratoxylon formosum), (b) Akar banar (Smilax barbata).

5.2.4 Keanekaragaman tumbuhan obat berdasarkan bagian yang digunakan

Bagian tumbuhan obat yang banyak digunakan adalah akar dan daun. Sebanyak 49 spesies dimanfaatkan bagian akarnya sebagai obat atau sekitar 45% dan 35 spesies dimanfaatkan daunnya sebagai obat atau sekitar 35% (Gambar 25). Potensi lainnya yaitu bunga, buah, batang, air kantung dan herba. Hal ini sesuai dengan potensi habitus yang ada disana, yaitu liana atau akar dalam bahasa setempat.

Gambar 25 Persentase tumbuhan obat berdasarkan bagian yang dimanfaatkan. Akar 45% Daun 32% Bunga 2% Buah 3% Batang 13% Air kantung 3% Herba 2% A B

44

Beberapa spesies tumbuhan dimanfaatkan akarnya yaitu akar banar (Smilax barbata), akar kayu bau (Artabortrys suaveolens) dan akar ketumpu (Maesa ramentacea). Masyarakat setempat sering menggunakan akar kayu bau (Artabortrys suaveolens) sebagai obat masuk angin dan panas dalam dengan cara meminum air rebusan akarnya. Kegunaan lain spesies ini juga disampaikan Heyne (1987b), yaitu sebagai obat kolera. Bagian yang digunakan adalah ekstrak daunnya yang memberikan cairan aromatis yang hangat.

Daun juga merupakan bagian tumbuhan yang banyak digunakan sebagai obat. Salah satunya yaitu daun medang belilin (Cryptocarya densiflora) sebagai obat sakit kepala dan penurun demam panas. Penggunaannya yaitu dengan merendam beberapa helai daun medang belilin di mangkok, kemudian remas daunnya. Remasan daun akan menghasilkan lendir yang bersifat dingin dan tidak lengket, kemudian usapkan pada bagian kepala atau bagian badan lainnya. Cara seperti ini biasa dikenal masyarakat dengan sebutan uras.

Pemanfaatan bagian batang meliputi air batang, getah batang, kulit batang. Air dari batang gelam (Malaleuca leucadendron) dapat digunakan sebagai obat panas dalam atau batuk dengan cara meminum air batangnya langsung. Menurut Heyne (1987b) bagian yang digunakan sebagai obat dari spesies ini yaitu bagian daun-daun dan bunganya, yaitu dapat dijadikan minyak rambut. Cara pembuatannya yaitu merendam dan mengasap daun serta bunganya dengan kemenyan.

Manfaat bagian batang lainnya, yaitu getah batang betor padi (Calophyllum depressinervosum) dapat dibuat minyak oles untuk menghilangkan gatal-gatal. Menurut Purnawan (2003) spesies ini dimanfaatkan oleh masyarakat Dayak sebagai obat tradisional dalam mengobati penyakit kencing berdarah. Seluruh bagian tumbuhan Calophyllum baik akar, buah, daun, batang, kulit kayu maupun kayunya dipergunakan dalam terapi penyembuhan beberapa penyakit, misalnya penyakit kulit dan nyeri encok.

5.2.5 Keanekaragaman tumbuhan obat berdasarkan jenis penyakit

Hasil wawancara masyarakat diperoleh 24 spesies tumbuhan obat digunakan sebagai ramuan sehabis melahirkan, 29 spesies tumbuhan digunakan untuk mengobati kelompok penyakit sistem ketahanan tubuh, misalnya demam,

masuk angin dan panas dalam. Penyakit kulit, telinga, mata dan wajah (25 spesies), sistem syaraf (5 spesies), sistem peredaran darah (1 spesies), sistem reproduksi (3 spesies), sistem pernapasan (6 spesies), sistem pencernaan (26 spesies), sistem kerangka dan otot (7 spesies) dan kelompok penyakit lain-lain (23spesies) (Gambar 26).

Gambar 26 Jumlah spesies tumbuhan obat berdasarkan kelompok penyakit. Salah satu jenis kelompok penyakit sistem pencernaan yaitu lever atau biasa dikenal dengan sakit kuning. Sengkelut (Lycopodium cernuum) diketahui seluruh bagian tumbuhan ini sebagai obat sakit kuning dengan cara direbus dan diminum airnya. Zuhud et al. (2003) menyebutkan bahwa spesies ini berkhasiat sebagai penyegar, penurun tekanan darah dan peluruh air seni.

Kelompok jenis penyakit lain-lain meliputi penawar racun binatang, cacing kremi, pemanis kecapan, menghilangkan kebiasaan buang air kecil saat tidur, pusar besar, koreng gana, anak kecil sering nguliat dan lainnya. Keanekaragaman jenis penyakit ini sesuai dengan kearifan lokal masyarakat dalam menggunakan tumbuhan obat dari hutan. Beberapa spesies kantong semar (Nepenthes spp.) dimanfaatkan sebagai obat mata dan menghentikan kebiasaan mengompol pada anak kecil. Keliangauan (Curculigo latifolia) biasa digunakan untuk menghilangkan rasa pahit di lidah ketika sakit (pahit kecapan) dengan memakan buahnya yang sudah matang karena rasanya yang sangat manis dan tetap melekat rasa manisnya.

0 5 10 15 20 25 30 35

Lain-lain Sistem kerangka dan otot

Sistem pencernaan Sistem pernafasan Sistem reproduksi Sistem peredaran darah Sistem syaraf Kulit, telinga, mata dan wajah Sistem ketahanan tubuh Ramuan jamu setelah melahirkan

Jumlah spesies K elo m po k peny a k it

46

5.2.6 Pemanfaatan tumbuhan obat

Pemanfaatan tumbuhan obat oleh masyarakat Desa Kelubi sudah dilakukan secara turun temurun. Hal ini masih dipegang oleh masyarakat sekitar hutan. Beberapa penyakit yang sering diderita oleh mereka yaitu pegal, sakit kepala dan panas dalam. Spesies tumbuhan obat yang digunakan ada yang diambil langsung dari hutan dan ada juga yang diambil dari pekarangan.

Tumbuhan obat dapat digunakan dalam bentuk segar maupun yang sudah dikeringkan. Penyimpanan bagian tumbuhan obat yang biasa digunakan dilakukan dengan cara pengeringan. Salah satu bagian tumbuhan obat yang biasa disimpan dalam bentuk kering yaitu akar.

Cara pengawetan akar tumbuhan obat dilakukan dengan memotong kecil akar dan kemudian dijemur di bawah sinar matahari. Setelah kering, akar tersebut disimpan dalam kardus, plastik, karung atau keranjang yang terbuat dari pandan lais (Pandanus furcatus). Menurut Prayetno (2010) bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang belum mengalami pengolahan apa pun juga, berupa bahan yang dikeringkan disebut simplisia.

Pemanfaatan tumbuhan obat tidak hanya untuk kebutuhan pribadi, namun juga diperjualbelikan. Penjualan simplisia dilakukan oleh beberapa orang yang memang bekerja sebagai penjual obat tradisional. Semua jenis simplisia dijual dengan harga Rp10.000 per bungkus (Gambar 27). Simplisia tersebut dijual kepada orang-orang yang sudah menjadi langganan dan sebagian disimpan untuk pembeli yang datang ke rumah.

BAB VI

Dokumen terkait