• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. karbohidrat, dan beberapa senyawa metabolit sekunder (Oduje et al., 2015).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. karbohidrat, dan beberapa senyawa metabolit sekunder (Oduje et al., 2015)."

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pohon pisang ambon (Musa paradisiaca L.) merupakan salah satu jenis tanaman obat yang tersedia di Indonesia. Selain berguna sebagai makanan, tanaman dari famili Musaceae ini juga memiliki berbagai manfaat. Pisang memiliki banyak kandungan fitokimia diantaranya vitamin, mineral, protein, karbohidrat, dan beberapa senyawa metabolit sekunder (Oduje et al., 2015).

Setiap bagian dari pohon ini memiliki manfaat, mulai dari akar hingga daunnya. Walaupun jarang dimanfaatkan, kulit pisang pun memiliki banyak kandungan senyawa aktif. Seperti halnya buah pisang, kulitnya juga mengandung beberapa metabolit sekunder seperti flavonoid, tanin, saponin, dan steroid (Akpuaka dan Ezem, 2011).

Penggunaan kulit pisang terutama kulit pisang ambon dalam penelitian ini karena pisang ambon merupakan tanaman yang tersebar luas dengan jumlah yang tinggi di Indonesia, sehingga mudah didapat. Selain itu, juga untuk memanfaatkan limbah kulit pisang yang biasanya terbuang sehingga akan meningkatkan nilai ekonomi kulit pisang. Salah satu fungsi kulit pisang untuk kesehatan yakni perawatan kulit dari berbagai jenis penyakit dan penyembuh luka (Supriadi, 2012).

(2)

Luka adalah kerusakan kontinuitas kulit maupun organ tubuh lain (Kozier, 2000) akibat proses patologis internal maupun eksternal yang menyebabkan terganggunya struktur dan fungsi anatomis normal (Potter dan Perry, 2013) sehingga mengganggu aktivitas sehari-hari. Salah satu bentuk perawatan luka adalah dengan mempercepat proses penyembuhan luka tersebut. Saponin dapat berfungsi sebagai pembersih luka, sedangkan flavonoid, fenol, dan tanin berfungsi sebagai antiseptik yang dapat mencegah bakteri penyebab infeksi (Harborne, 1987). Hal ini menyebabkan kulit pisang dapat digunakan untuk membantu mempercepat proses penyembuhan luka karena mengandung kombinasi senyawa-senyawa tersebut.

Secara tradisional aplikasi kulit pisang untuk pengobatan luka yakni hanya dengan mengupas lalu menggosok-gosokkan bagian dalam dari kulit pisang ke kulit yang cedera. Cara ini dinilai kurang praktis dan tidak nyaman bila hendak diterapkan dengan segera. Pada penelitian ini dilakukan optimasi formula ekstrak kulit pisang menjadi krim sehingga lebih mudah, nyaman dan acceptable untuk digunakan pasien.

Optimasi formula dilakukan dengan memvariasi kadar cetaceum dan cera alba dengan SLD. Menurut Rowe et al. (2009) cera alba dapat meningkatkan konsistensi krim dan dapat menstabilkan emulsi air dalam minyak (w/o). Sedangkan cetaceum berfungsi sebagai emolien dan stiffening agent. Kombinasi dari kedua bahan ini akan membentuk konsistensi krim yang setengah padat dan tidak cair. Konsistensi ini nantinya akan berpengaruh pada viskositas, daya sebar dan daya lekat krim, sehingga harus diketahui berapa kadar optimum yang

(3)

digunakan. Konsentrasi kedua bahan ini divariasikan menggunakan software Design Expert® dengan metode SLD (Simplex Lattice Design).

Pada penelitian sebelumnya telah dilakukan studi secara in vivo terhadap ekstrak kulit pisang. Ekstrak etanolik kulit pisang ambon memiliki efek yang dapat mempercepat penyembuhan luka insisi pada konsentrasi 10% (Supriadi, 2012). Berdasarkan penelitian sebelumnya dapat diasumsikan bahwa ekstrak ini mempunyai potensi untuk diformulasikan sebagai alternatif pengobatan luka. Oleh karena itu, pada penelitian ini ekstrak kulit pisang ambon diformulasikan dalam bentuk sediaan krim.

B. Rumusan Masalah

1. Apakah terjadi interaksi antara cetaceum dan cera alba yang berpengaruh pada sifat fisik krim ekstrak kulit pisang ambon?

2. Berapakah komposisi cetaceum dan cera alba yang menghasilkan formula optimum krim w/o ekstrak kulit pisang ambon?

C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui interaksi antara cetaceum dan cera alba dan pengaruhnya pada sifat fisik krim ekstrak kulit pisang ambon.

2. Mengetahui komposisi cetaceum dan cera alba yang menghasilkan formula optimum krim w/o ekstrak kulit pisang ambon.

(4)

D. Tinjauan Pustaka 1. Pisang ambon

a. Klasifikasi

Gambar 1. Pisang ambon

Klasifikasi tanaman pisang ambon adalah sebagai berikut :

Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Kelas : Monocotyledonae Bangsa : Scitamineae Suku : Musaceae Marga : Musa

Jenis : Musa paradisiaca var. sapientum (L.) Kunt.

(Tjitrosoepomo, 1997) b. Deskripsi

Pisang adalah tanaman terna yang memiliki penyebaran yang luas dan sudah ditanam di banyak negara. Tanaman ini diperkirakan pertama kali dikenal di Papua Nugini (Nelson et al, 2006). Pisang merupakan tanaman asli Indomalaya dan Australia yang selanjutnya menyebar ke benua Afrika dan Amerika.

(5)

Pohon pisang dapat tumbuh setinggi 2 sampai 9 meter. Daun pisang yang dewasa berbentuk lonjong dengan ukuran 150-400 cm x 70-100 cm dan memiliki tulang daun menyirip sedangkan daun mudanya menggulung. Pisang memiliki batang semu yang disebut pseudostem. Buah pisang merupakan buah yang tidak berbiji, berukuran 6-35 cm x 2,5-5 cm, bentuknya melengkung, dan berwarna hijau, kuning atau kemerahan (Espino et al., 1991).

c. Kandungan kimia dan manfaat

Akar pisang mengandung serotonin, norepinefrin, tanin, hidroksitriptamin, dopamin, vitamin A, B, dan C. Daun pisang mengandung selulosa dan polifenol (Chu et al., 1993), sedangkan batangnya kaya akan selulosa dan juga mengandung tanin, asam askorbat, saponin, flavonoid dan alkaloid (Apriasari et al., 2014). Senyawa yang terdapat dalam buah pisang diantaranya yakni flavonoid, saponin, glukosa, fruktosa, sukrosa, tepung, lemak, protein, vitamin (A, B, C, dan E), mineral (kalium, kalsium, fosfor, besi), pektin, serotonin, dopamin, dan noradrenalin.

Kulit pisang memiliki kandungan senyawa-senyawa seperti tanin, flavonoid, saponin dan steroid (Akpuaka dan Ezem, 2011). Tanin dengan kadar tinggi diperoleh pada pisang muda. Kandungan senyawa-senyawa ini jumlahnya bervariasi tergantung jenis pisang.

Kulit pisang bermanfaat baik bagi hewan maupun manusia. Untuk hewan, kulit pisang digunakan sebagai makanan tambahan bagi beberapa

(6)

spesies ternak. Hewan ternak tersebut seperti sapi, kambing, kelinci, unggas dan lain-lain (Heuze et al, 2015).

Kulit pisang yang belum matang mengandung tanin dalam jumlah yang paling tinggi. Saat sudah matang tanin ini akan terdegradasi oleh enzim polifenol oksidase dan peroksidase (Happi et al, 2011). Banyak manfaat yang dimiliki oleh tanin diantaranya sebagai antiseptik dan sebagai astringen kulit. Tanin dapat mengendapkan protein pada jaringan yang luka sehingga membentuk lapisan pelindung dan antiseptik untuk melindungi proses regenerasi jaringan di bawahnya (Robbers et al., 1996).

Senyawa lain yang terkandung dalam kulit pisang adalah flavonoid, saponin dan steroid. Beberapa manfaat flavonoid adalah untuk menjaga struktur sel, anti inflamasi dan antibakteri. Flavonoid dapat mempercepat penyembuhan luka dengan menurunkan lipid peroksidase serta meningkatkan kecepatan epitelialisasi. Menurunnya tingkat lipid peroksidase dapat mencegah nekrosis, memperbaiki vaskularisasi, dan meningkatkan kekuatan anyaman serabut kolagen sehingga viabilitas serabut kolagen meningkat (Agarwal et al., 2008).

Saponin juga terdapat dalam kulit pisang. Fungsinya adalah sebagai antioksidan, antiinflamasi (antiradang), serta dapat memperbaiki dan menguatkan sel-sel kulit. Kandungan kolagen kulit dan peningkatan kecepatan epitelialisasi juga dipengaruhi oleh adanya saponin (Sachin et al., 2009). Metabolit sekunder yang telah disebutkan di atas memiliki manfaat yang baik bagi kesehatan terutama kesehatan kulit.

(7)

2. Ekstrak

Ekstrak merupakan sediaan pekat yang didapatkan melalui penyarian zat aktif dari simplisia nabati maupun simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, selanjutnya semua atau sebagian besar pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan. Tujuan ekstraksi adalah untuk menarik komponen-komponen kimia yang terdapat dalam simplisia. Ada beberapa macam ekstrak yang dikelompokkan berdasarkan sifat-sifatnya yakni ekstrak kering (extractum siccum), ekstrak encer (extractum tenue), dan ekstrak kental (extractum spissum) (Voigt, 1984).

Prinsip ekstraksi didasarkan pada perpindahan massa komponen zat padat ke dalam pelarut dimana perpindahan mulai terjadi pada lapisan antar muka, kemudian berdifusi masuk ke dalam pelarut. Berikut adalah beberapa metode ekstraksi yang umum digunakan menurut Handa et al. (2008) :

a. Maserasi

Maserasi berasal dari bahasa Latin macerare yang artinya merendam, mengairi atau melunakkan. Maserasi adalah proses mengekstraksi bahan nabati dengan direndam menggunakan pelarut nonpolar seperti petroleum eter atau semi polar misalnya etanol selama minimal tiga hari. Perendaman serbuk simplisia dilakukan dalam cairan penyari yang sesuai pada temperatur kamar dan terlindung dari cahaya. Cairan penyari akan masuk ke dalam sel melewati dinding sel. Isi sel akan larut karena perbedaan konsentrasi antara larutan di dalam dengan di luar

(8)

sel. Larutan yang konsentrasinya tinggi akan terdesak keluar dan diganti oleh cairan penyari dengan konsentrasi rendah (proses difusi). Peristiwa tersebut berulang sampai terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar dan di dalam sel.

Selama proses maserasi dilakukan pengadukan untuk menjaga perbedaan konsentrasi antara larutan di dalam dan di luar sel. Endapan yang diperoleh dipisahkan dan filtratnya dipekatkan. Cara pengerjaannya yang mudah, dan hanya membutuhkan peralatan sederhana menjadi keuntungan dari metode ini. Metode maserasi memiliki beberapa kelemahan yakni membutuhkan waktu lama serta penyariannya kurang sempurna (Anonim, 1986).

b. Infusa

Ekstraksi dengan metode infusa dilakukan dengan merendam bahan obat dengan jangka waktu yang pendek menggunakan air dingin ataupun panas. Digunakan untuk menyari senyawa yang mudah terlarut.

c. Digesti

Pada penyarian digesti ini digunakan panas yang rendah. Proses ini digunakan jika zat aktif yang terkandung tahan pemanasan. Akibatnya, efisiensi pelarut akan meningkat.

d. Dekokta

Bahan obat disari menggunakan air mendidih dengan volume tertentu dan selama jangka waktu yang ditentukan. Dekokta bisa digunakan

(9)

bila zat yang disari larut dalam air dan stabil dalam pemanasan. Perbandingan bahan obat dan air yang umum digunakan yakni 1:4 atau 1:6. e. Soxhletasi

Serbuk simplisia ditempatkan dalam kantung ekstraksi yang telah dilapisi kertas saring sedemikian rupa. Cairan penyari dipanaskan dalam labu alas bulat sehingga menguap dan dikondensasikan oleh kondensor menjadi molekul-molekul cairan penyari. Cairan penyari yang jatuh akan menyari zat aktif di dalam simplisia. Jika cairan penyari telah mencapai permukaan sifon, seluruh cairan akan turun kembali ke labu alas bulat melalui pipa kapiler hingga terjadi sirkulasi.

f. Perkolasi

Perkolasi adalah cara penyarian yang dilakukan dengan mengalirkan cairan penyari melalui serbuk simplisia yang telah dibasahi. Prinsip perkolasi adalah serbuk simplisia ditempatkan dalam suatu bejana silinder yang bagian bawahnya diberi sekat berpori. Cairan penyari dialirkan dari atas ke bawah melalui serbuk tersebut, cairan penyari akan melarutkan zat aktif dalam sel-sel simplisia yang dilalui sampai keadaan jenuh. Gerakan ke bawah disebabkan oleh gaya gravitasi, kohesi, dan berat cairan di atas dikurangi gaya kapiler yang menahan gerakan ke bawah. Perkolat yang diperoleh dikumpulkan, lalu dipekatkan.

(10)

Ekstraksi dipengaruhi oleh beberapa faktor (Anonim, 1986), diantaranya :

a. Ukuran partikel simplisia

Semakin kecil ukuran partikel simplisia, semakin besar luas permukaan yang kontak dengan penyari, sehingga laju perpindahan zatnya menjadi semakin besar dan lebih banyak zat yang tersari ke cairan penyari. b. Perbedaan konsentrasi

Perbedaan konsentrasi yang terdapat mulai dari butir serbuk simplisia sampai ke permukaanya, maupun perbedaan konsentrasi yang terdapat pada lapisan batas. Makin besar perbedaan konsentrasi akan semakin besar daya dorong untuk melanjutkan pemindahan massa sehingga penyarian berlangsung makin cepat.

c. Pelarut (solven)

Pelarut harus memiliki viskositas yang cukup rendah agar dapat bersikulasi dengan mudah. Setelah proses ekstraksi berakhir, konsentrasi zat terlarut akan naik dan laju ekstraksinya turun. Hal ini disebabkan karena gradien konsentrasi akan berkurang dan zat terlarutnya menjadi lebih kental. d. Temperatur

Kelarutan zat terlarut (pada partikel yang diekstraksi) di dalam pelarut akan naik bersamaan dengan kenaikan temperatur untuk memberikan laju ekstraksi yang lebih tinggi. Namun perlu diperhatikan, suhu yang tinggi dapat mengakibatkan kerusakan pada beberapa bahan.

(11)

e. Pengadukan

Pengadukan akan meningkatkan proses difusi, sehingga meningkatkan perpindahan material dari permukaan partikel menuju pelarut. 3. Luka

Luka adalah kerusakan kontinuitas kulit maupun organ tubuh lain (Kozier, 2000) akibat proses patologis internal maupun eksternal yang menyebabkan terganggunya struktur dan fungsi anatomis normal (Potter dan Perry, 2013). Luka juga dapat menyebabkan efek hilang atau rusaknya sebagian maupun keseluruhan jaringan tubuh (Sjamsuhidajat et al., 2007) Ada bermacam-macam jenis luka terbuka berdasarkan mekanisme terjadinya yakni: a. Luka insisi (incised wounds), terjadi karena teriris oleh benda tajam seperti

yang terjadi akibat pembedahan. Luka insisi memiliki ciri-ciri pendarahan yang banyak dalam waktu singkat.

b. Luka memar (contusion wound), terjadi akibat benturan oleh tekanan sehingga menghasilkan perdarahan, cedera jaringan lunak, maupun bengkak.

c. Luka lecet (abraded wound), terjadi akibat kulit bergesekan dengan benda lain yang biasanya tidak tajam.

d. Luka tusuk (punctured wound), terjadi akibat adanya benda tajam seperti pisau yang masuk ke dalam kulit dengan diameter yang kecil.

e. Luka gores (lacerated wound), terjadi akibat benda yang tajam seperti kaca atau kawat.

(12)

f. Luka tembus (penetrating wound), yaitu luka yang menembus organ tubuh dimana biasanya pada awal luka masuk diameternya kecil tetapi pada bagian ujung akan melebar (Roddick, 2012).

4. Penyembuhan luka

Prinsip dasar penyembuhan luka adalah untuk meminimalkan kerusakan jaringan dengan menyediakan perfusi jaringan serta oksigenasi yang cukup, pemberian nutrisi yang tepat untuk mengembalikan kontinuitas anatomi dan fungsi jaringan yang rusak dalam waktu singkat (Gadekar et al., 2012). Tubuh secara alami dapat melakukan regenerasi kerusakan jaringan kulit, namun tingkat penyembuhannya sangat lambat dan mungkin terjadi infeksi mikroba (Sabale et al., 2012). Penyembuhan luka melibatkan pembentukan sel-sel secara terus menerus dalam tiga fase yang tumpang tindih. Fase normal dalam penyembuhan luka meliputi fase inflamasi, fase regenerasi, dan fase remodeling (Gadekar et al., 2012).

a. Fase inflamasi

Fase ini berlangsung segera sampai hari ke tujuh. Pada awal luka terbentuk, akan terjadi pendarahan. Platelet keluar dan menyebabkan terbentuknya clot dari trombosit dan fibrin yang saling menempel untuk menutup luka. Akibatnya akan terjadi vasokonstriksi dan hemostasis. b. Fase regenerasi (proliferasi)

Pada fase ini luka dipenuhi oleh fibroblas dan kolagen. Jaringan menjadi berwarna kemerahan dengan permukaan yang menonjol halus (jaringan granulasi). Fase regenerasi berlangsung dari hari ke-3 sampai 24.

(13)

Dengan tertutupnya permukaan luka, pembentukan jaringan granulasi juga akan berhenti dan mulailah fase remodelling (Sjamsuhidajat, 2007).

c. Fase remodeling

Fase ini berlangsung selama 3 sampai 6 bulan, sedangkan luka tulang membutuhkan waktu 12 bulan atau lebih. Tubuh berusaha menormalkan kembali jaringan-jaringan yang abnormal seperti melakukan penyerapan jaringan yang berlebih, pengerutan dan membentuk jaringan yang baru. Pada fase ini dihasilkan jaringan parut yang pucat, tipis dan mudah digerakkan.

5. Krim

Krim (cremores) adalah sediaan setengah padat yang mengandung minimal satu zat obat yang terdispersi dalam basis yang sesuai (Anonim, 1995). Krim digunakan secara topikal untuk mengatasi masalah kulit maupun membran mukosa. Ada dua jenis krim yaitu :

a. Krim minyak dalam air (m/a) atau oil in water (o/w)

Pada krim ini, droplet-droplet kecil minyak terdispersi dalam fase air. Krim o/w lebih nyaman digunakan karena lebih tidak berminyak dibanding krim w/o. Selain itu juga mudah dibilas karena sebagian besar merupakan fase air. Vanishing cream adalah salah satu contoh krim o/w. b. Krim air dalam minyak (a/m) atau water in oil (w/o)

Krim w/o memiliki droplet-droplet kecil air yang terdispersi dalam fase minyak. Krim ini memiliki efek melembabkan yang lebih baik dibanding krim o/w. Hal ini dikarenakan adanya lapisan lemak yang

(14)

menghalangi hilangnya air dari stratum korneum. Salah satu contoh krim w/o adalah cold cream. Ciri-ciri cold krim yaitu memiliki konsentrasi minyak yang tinggi (Ansel et al., 2011).

Sediaan krim memiliki baik kelebihan maupun kekurangan. Kelebihan dari sediaan krim diantaranya mudah digunakan, tidak toksik karena sedikit yang diabsorpsi, memiliki efek lokal dan bekerja langsung pada jaringan tersebut. Beberapa kekurangan yang dimiliki sediaan krim yaitu formulasinya relatif sulit karena memerlukan suhu tinggi untuk peleburan basis serta bisa terjadi cracking (pecah).

6. Metode pembuatan krim

Pembuatan krim tergantung dari sifat bahannya. Secara umum ada dua metode pembuatan krim yaitu metode pencampuran dan metode peleburan (Ansel et al., 2011).

a. Metode pencampuran

Bahan-bahan krim dicampur bersama sampai terbentuk sediaan yang homogen. Pencampuran dapat dilakukan dengan bantuan mortir dan stamper. Bahan-bahan krim digerus sampai halus dan merata dengan gerakan terus menerus sampai didapatkan salep yang tercampur secara homogen.

b. Metode peleburan

Bahan yang larut dalam fase air dicampurkan dengan akuades. Bahan yang larut dalam fase minyak dicampurkan pada fase minyak. Masing-masing fase dilebur di atas penangas air pada suhu 70oC dalam

(15)

wadah yang berbeda. Pencampuran dilakukan setelah kedua fase melebur sempurna. Selanjutnya dilakukan pengadukan secara konstan sampai membentuk krim.

7. Metode Simplex Lattice Design (SLD)

Simplex Lattice Design merupakan metode untuk menentukan optimasi formula pada berbagai variasi jumlah komposisi bahan (dinyatakan dengan berbagai bagian) yang jumlah totalnya dibuat sama yakni satu bagian. Profil respon selanjutnya ditentukan melalui persamaan yang didapat melalui Simplex Lattice Design (Bolton, 2004).

Diperlukan korelasi respon yang tinggi agar optimasi respon tersebut dapat tercapai. Penentuan kisaran yang dapat diterima untuk tiap respon diperlukan sebagai tindakan untuk mengatasi hal tersebut. Bagian dimana nilai tiap respon dapat diterima merupakan daerah yang terbaik (Lewis, 1999).

Sebuah formula dapat terdiri dari beberapa komponen. Komposisi dari komponen tersebut memiliki kadar yang berbeda-beda. Hubungan fungsional antara respon (variabel tergantung) dan komposisi (variabel bebas) dapat dilihat pada persamaan berikut :

Y=β1A + β2B + β1.2AB Keterangan:

Y : respon

A dan B : fraksi dari tiap komponen β1 dan β2 : koefisien regresi dari A,B

(16)

Koefisien diperoleh melalui perhitungan regresi. Penentuan formula optimum ditentukan dengan menghitung respon (R) yang paling besar dengan cara :

R total = R1 + R2 + R3 +Rn

R1, R2, dan R3 merupakan respon dari masing-masing sifat fisik krim. Dari persamaan ini akan diperoleh respon total dan formula optimum. Selanjutnya dilakukan verifikasi pada tiap formula yang memiliki respon paling optimum pada setiap uji sifat fisik (Armstrong & James, 1996).

8. Design Expert® versi 9.0.4

Design Expert® merupakan software (perangkat lunak) yang dapat digunakan untuk mengoptimasi proses maupun produk. Optimasi tersebut dilakukan dengan mendesain percobaan, menganalisis data, dan menampilkan hasil analisis data dalam bentuk grafik. Berbagai statistik yang diberikan oleh software Design Expert® yaitu:

a. Two-level factorial screening designs

Two-level factorial screening designs digunakan untuk

mengidentifikasi faktor vital yang dapat mempengaruhi proses ataupun produk.

b. General factorial studies

General factorial studies dapat menemukan kombinasi faktor kategoris terbaik, seperti sumber dengan tipe bahan material.

(17)

c. Response Surface Methods (RSM)

Response surface methods digunakan untuk menemukan proses optimum untuk memperoleh kinerja ataupun hasil terbaik.

d. Mixture design techniques

Teknik ini digunakan untuk menemukan formula ideal untuk suatu optimasi produk.

e. Combinations of process factors, mixture components, dan categorical factors

Digunakan untuk mengidentifikasi faktor yang berbeda untuk tiap proses maupun produk, menentukan pengaturan proses yang ideal serta menentukan formula optimum (Anonim, 2015).

9. Monografi bahan tambahan a. Cetaceum

Cetaceum atau spermaseti berbentuk massa hablur bening, putih mutiara yang licin serta memiliki bau dan rasa yang lemah (Anonim, 1979). Titik leburnya antara 44oC sampai 52oC. Cetaceum diperoleh dari kepala paus. Fungsinya adalah sebagai emolien dan untuk meningkatkan konsistensi. Cetaceum larut dalam etanol mendidih dan kloroform, tidak larut dalam air. Biasanya cetaceum digunakan pada konsentrasi 1-15% dalam krim (Rowe et al., 2009).

b. Cera alba (white wax)

Cera alba atau malam putih merupakan hasil pemurnian dari cera flava yang diperoleh dari lebah madu (Apis mellifera Linne). Cera alba

(18)

berwarna putih kekuningan dan tidak berbau tengik. Kelarutannya rendah dalam etanol dingin, etanol panas serta tidak larut dalam air. Cera alba larut sempurna dalam kloroform, eter atau minyak campuran, dan minyak mudah menguap, larut sebagian dalam benzen dingin atau karbon, larut sempurna pada cairan tersebut di suhu 36oC. Titik leburnya antara 62oC-65oC, dan memiliki bobot jenis sekitar 0,95. Cera alba disimpan dalam wadah tertutup baik (Anonim, 1995).

Fungsi dari cera alba adalah sebagai stabilisator emulsi air dalam minyak, agen pengeras dan meningkatkan konsistensi krim. Untuk krim, cera alba biasa digunakan pada konsentrasi 5-19%. Cera alba merupakan bahan yang tidak toksik dan tidak mengiritasi. Cera alba memiliki inkompatibilitas dengan agen pengoksidasi (Rowe et al., 2009).

c. Mineral oil

Nama lain dari mineral oil adalah paraffin cair, petrolatum cair, petrolatum cair berat, atau minyak mineral putih. Mineral oil adalah campuran dari minyak rantai alifatik jenuh (C14-C18) dan hidrokarbon siklik

yang diperoleh dari petrolatum. Ciri-ciri fisik dari mineral oil yakni tidak berwarna, tidak berasa, berbau lemah dan tidak berbau saat dingin. Viskositasnya tidak kurang dari 38,7 cps pada suhu 37,8oC dan memiliki

bobot jenis 0,860-0,905. Mineral oil larut dalam minyak menguap, dapat campur dengan kebanyakan minyak kecuali minyak kastor, dan tidak larut dalam air maupun alkohol.

(19)

Mineral oil memiliki inkompatibilitas dengan oksidator kuat. Fungsi mineral oil yakni sebagai pelarut, pembawa, fase minyak, pelicin, humektan dan emolien dalam krim. Penggunaanya pada ointment topikal yakni dari konsentrasi 0,1% hingga 95% (Rowe et al., 2009).

d. Natrium borat (Sodium borat)

Boraks atau natrium borat memiliki ciri-ciri fisik berwarna putih, tidak berasa, memiliki struktur kristal padat atau granul. Fungsinya adalah sebagai zat antimikroba, dan agen penyangga (buffer). Sodium borat memiliki inkompatibilitas dengan asam. Harus disimpan dalam wadah tertutup rapat di tempat yang kering dan sejuk (Rowe et al., 2009).

e. Akuades

Akuades merupakan cairan jernih yang tidak berwarna, tidak berasa dan tidak berbau (Anonim, 1995). Akuades merupakan pelarut ideal yang digunakan dalam sebagian besar preparat farmasi. Keuntungan dalam penggunaan pelarut akuades adalah harganya relatif murah, ketersediaannya yang melimpah, tidak toksik dan tidak mengiritasi pada penggunaan eksternal (Winfield & Richards, 2004).

E. Landasan Teori

Kulit pisang ambon (Musa paradisiaca L.) memiliki khasiat untuk menjaga kesehatan salah satunya kesehatan kulit. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Supriadi (2012), ekstrak kulit pisang memiliki aktivitas menyembuhkan luka pada kadar 10%. Kulit pisang memiliki kandungan tanin,

(20)

flavonoid dan saponin yang diduga bermanfaat sebagai agen yang membantu proses penyembuhan luka (Akpuaka dan Ezem, 2011). Kandungan flavonoid dan saponin dalam pisang ambon dapat menjaga serta menguatkan struktur sel-sel kulit. Selain itu, flavonoid juga dapat berfungsi sebagai agen antiinflamasi (Harborne, 1987).

Pada penelitian ini dibuat krim air dalam minyak (a/m) atau water in oil (w/o) dari ekstrak etanolik kulit pisang ambon. Formulasi dalam bentuk krim ditujukan agar penggunaan kulit pisang sebagai alternatif pengobatan luka menjadi lebih praktis. Selain lebih praktis, keuntungan lain dari sediaan krim adalah memiliki efek lokal dan dapat bekerja langsung pada jaringan tersebut. Krim yang dibuat memiliki tipe w/o (water in oil) atau a/m (air dalam minyak), dimaksudkan agar krim lebih bertahan lama di kulit dan dapat melembabkan kulit. Untuk mendapatkan sifat fisik yang optimum, dilakukan variasi kadar cetaceum dan cera alba yang merupakan bahan penting dalam formulasi ini dengan metode SLD (Simplex Lattice Design). Cetaceum berfungsi sebagai emolien dan stiffening agent, sedangkan cera alba dapat meningkatkan konsistensi krim dan dapat menstabilkan emulsi air dalam minyak (a/m) (Rowe et al., 2009). Kombinasi dari kedua bahan ini akan membentuk konsistensi krim yang setengah padat. Konsistensi krim berpengaruh pada viskositas, daya sebar dan daya lekat krim. Kombinasi cetaceum dan cera alba yang tepat akan menghasilkan sifat fisik krim yang optimum.

(21)

F. Hipotesis

1. Tidak terjadi interaksi antara cetaceum dan cera alba yang dapat mempengaruhi sifat fisik krim ekstrak kulit pisang ambon.

2. Variasi komposisi cetaceum dan cera alba dalam krim w/o ekstrak kulit pisang ambon yang dikombinasi menggunakan Simplex Lattice Design (SLD) dapat menghasilkan formula krim yang optimum.

Gambar

Gambar 1. Pisang ambon

Referensi

Dokumen terkait

Untuk lebih jelasnya lihat dibawah ini : Jaringan Trayek yang ada tidak melayani kantung kantung perumahan, lokasi sekolah secara menyeluruh, Tidak adanya Halte

Pemilihan torsi maksimum didasarkan pada harga paling tinggi antara torsi maksimum yang diperoleh dari data spesifikasi dengan harga torsi maksimum (statik) yang diperoleh

Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi dalam melaksanakan pelayanan informasi publik kepada pemohon/ pengguna informasi publik dibantu oleh Petugas informasi

Faktor intern bank yang dapat menyebabkan pembiayaan bermasalah dapat berupa analisis yang dilakukan oleh pejabat bank kurang tepat, sehingga tidak dapat memprediksi

Iklan menghad irkan atau mencip takan simbol dari suatu produk yang memiliki mak na didalamnya. Perkemba n gan iklan yang sudah mengemas suatu makna – makna atau p esan yan g ada d

Menyatakan Pasal 16 ayat (3) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005, Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara

Dalam hal memperkerjakan pekerja dengan sistem kontrak ini pekerja diikat dengan suatu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) atau umumnya dikenal juga dengan perjanjian kerja

Bapak Poniran merupakan pemilik dari industri gula merah yang sudah 3 tahun didirikan tersebut, dulunya beliau bekerja serabutan bahkan dari usia 8 tahun sudah