• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN PELATIHAN MITIGASI KONFLIK GAJAH-MANUSIA DI BENER MERIAH & BIREUEN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LAPORAN PELATIHAN MITIGASI KONFLIK GAJAH-MANUSIA DI BENER MERIAH & BIREUEN"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN

PELATIHAN MITIGASI KONFLIK

GAJAH-MANUSIA

DI BENER MERIAH & BIREUEN

DESA MUSARAPAKAT, KECAMATAN PINTU RIME GAYO, KABUPATEN BENER MERIAH 28-29 NOV 2015 HOTEL MEULIGO DAN DESA ALUE

LIMENG, KECAMATAN JULI, KABUPATEN BIREUEN 1-2 DES 2015 PELATIH : TIM FLYING SQUAD WWF INDONESIA

[You Have Room

for Another One

Here!]

DILAPORKAN OLEH: CHIK RINI WWF INDONESIA

(2)

LATAR BELAKANG

Bener Meriah dan Bireuen merupakan 2 kabupaten yang berbatasan administrasi dalam lansekap Daerah Aliran Sungai (DAS Peusangan). Masyarakat melaporkan gajah dengan kawanan lebih dari 40 ekor hidup menjelajah wilayah yang mengikuti kawasan lembah sungai Peusangan mulai dari daerah Bireueun yang berada di dataran rendah bagian utara Aceh, lalu bergerak ke Bener Meriah dan Aceh Tengah yang merupakan daerah dataran tinggi.

Gajah-gajah daerah ini termasuk gajah dataran tinggi dengan kekuatan menjelajah di medan yang terjal. Mereka terbagi dalam grup besar dengan jumlah

anggota 40 ekor lebih yang menjelajah lembah sungai peusangan mulai dari Pante Peusangan-Pintu Rime Gayo-Ketol-hutan Panton Lah. Lalu ada gajah tunggal terdiri dari 2 jantan muda menjelajah dari bagian Salah Sirong Jaya hingga Peudada di Bireuen. Kelompok gajah ini dapat ditandai dengan gajah dominan yang menjadi pimpinan kelompok : Si Magna (gajah jantan), si Eka (gajah betina) dan Si Bongkok. DAS Peusangan merupakan kantong penting populasi gajah sumatera di Aceh. WWF

Indonesia sejak 2014 telah membuat kajian dan analisis terkait koridor gajah di DAS Peusangan. Kajian ini mencoba mendesain dan menata kembali koridor gajah dan satwa sehingga dampak kerugian dari konflik bisa ditekan. Salah satu upaya WWF mendorong kebijakan penataan koridor gajah di DAS Peusangan,

WWF juga berperan dalam memberikan pelatihan pengusiran gajah yang efektif, aman dan berbiaya murah bagi masyarakat yang desanya kerap dimasuki gajah. Pelatihan ini merupakan salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk mengurangi dampak dari konflik gajah dan manusia yang besar di Aceh. Pelatihan ini sudah dilakukan pada Februari dan April 2015 di Pintu Rime Gayo, Bireuen dan Krueng Sabee dan dilanjutkan pada Desember 2015 di Pintu Rime Gayo, Bireuen dan Aceh Timur,

Parit gajah dibuat pemerintah di pintu masuk gajah di Desa Musarapakat. Di kejauhan adalah lembah sungai Peusangan yang sering dipakai gajah untuk menjelajah cari makan

(3)

mengingat konflik kembali terjadi di wilayah tersebut. Tercatat lebih dari 110 petani dan LSM serta 20 polhut yang sudah mendapat pelatihan selama 2015.

Sebulan sebelum kegiatan pelatihan dilaksanakan, konflik gajah-manusia terjadi di Pintu Rime Gayo dengan dampak yang lebih parah dibanding waktu sebelumnya. Sebuah kampung masyarakatnya terpaksa mengungis karena warga ketakutan gajah masuk ke pemukiman dan tak keluar sampai seminggu lamanya. Akibatnya masyarakat mengungsi ke kantor camat.

Pintu Rime Gayo merupakan kecamatan di Bener Meriah, yang berbatasan dengan Kabupaten Bireuen dimana warga Desa Pante Peusangan di wilayah itu juga menghadapi masalah serupa. Konflik gajah dan manusia terjadi setiap tahun bahkan frekuensinya semakin meningkat. Tercatat sudah 5 warga Pintu Rime Gayo tewas karena diserang gajah.

Konflik gajah dengan masyarakat tak pernah usai. WWF Indonesia berkeyakinan, salah satu yang solusi yang bisa dilakukan adalah meningkatkan peran dan memperkuat kemampuan masyarakat agar mereka bisa melakukan mitigasi konflik gajah - manusia secara mandiri, efektif dan aman. Aman untuk manusia dan aman untuk gajah. Ini salah satu upaya agar cara-cara yang tidak aman dalam mengusir gajah bisa dihindarkan sehingga korban jiwa di kedua belah pihak bisa dihindarkan.

SIAPA YANG DILATIH?

Target peserta yang dilatih adalah petani-petani yang tinggal di desa-desa yang rawan konflik dengan gajah di Kabupaten Bener Meriah dan Bireuen. WWF juga mengundang perwakilan masyarakat dan polhut dari Aceh Timur, Kabupaten yang juga rawan konflik gajah supaya bisa menjadi pembelajaran yang bisa diadopsi oleh masyarakat Aceh Timur. Jumlah petani yang dilatih dalam pelatihan ini berjumlah total 60 orang.

A. Pelatihan di Pintu Rime Gayo

Dilaksanakan pada 28-29 November 2015 di Desa Musarapakat, ia merupakan desa yang menjadi pintu masuk kawanan gajah di Pintu Rime Gayo. Desa ini termasuk yang mengalami konflik parah karena sudah ada 2 warga tewas di daerah ini.

Pelaksanaan praktek dilaksanakan di ujung desa yang menghadap ke Lembah Sungai Peusangan dimana dari sinilah awal gajah masuk ke kawasan pemukiman. Pelatihan ini sekaligus menjadi diskusi tukar pikiran dan melihat langsung kondisi bentang alam tempat gajah

(4)

Ada 26 orang peserta yang mewakil petani, keuchik dari 4 desa yakni Musarapakat, Alur Gading, Lubuk Cengkeh dan Desa Sejahtera. Juga ikut serta petugas babinsa dari koramil, wakil kapolsek dan Camat Pintu Rime GayoTurut diundang 4 anggota LSM Penyelamat Satwa Bener Meriah yang merupakan tim masyarakat yang awal sekali mendapat pelatihan ini untuk membantu mereka melakukan analisis dan mereview kembali tentang strategi yang mereka lakukan dalam pengusiran gajah sebelumnya.

Hampir 80 persen perserta pelatihan belum pernah mendapat pelatihan ini sebelumnya dari

manapun. Sehingga pelatihan ini dipandang penting untuk menyiapkan masyarakat yang paham dan memiliki strategi secara mandiri jika gajah masuk ke wilayah pemukiman mereka.

Desa Musarapakat dusun Teladan merupakan wilayah yang berada di perbatasan dengan koridor gajah dan dari sinilah gajah masuk dan menyebar ke pemukiman lainnya. Diharapkan dengan memperkuat kemampuan warga desa-desa ini dalam membatasi ruang gerak gajah untuk tidak sampai masuk ke wilayah pemukiman dan peladangan, maka konflik gajah dan manusia dapat dihindari.

B. Pelatihan di Bireueun

Dilaksanakan pada 1-2 Desember 2015. Pelatihan ini diikuti oleh 32 orang petani dan keuchik dari Bireuen dan Aceh Timur termasuk 2 orang polhut dari Dishut Aceh Timur serta satu orang polisi dari Polsek Juli. Ada 3 orang perempuan ikut dalam pelatihan ini mereka dari Desa Salah Sirong Jaya. Mereka berasal dari desa-desa yang rawan konflik dengan gajah. Dari Bireuen ada 7 desa yakni : Pante Peusangan, Alue Limeng, Pulo Harapan, Salah Sirong Jaya (Kecamatan Juli), Beunot, Bunin, Blangpaya (Kecamatan Peudada). Sementara dari Aceh Timur ada 2 desa yakni Serbajadi dan Seumanah Jaya.

Pelatihan hari pertama berupa teori dilaksanakan di Hotel Meuligo Bireuen. Sedang praktek pembuatan alat dan simulasi pengusiran dilakukan di Desa Alue Limeng Kecamatan Juli.

(5)

PROSES PELATIHAN

Pelatihan Teknik Mitigasi Konflik Gajah-Manusia ini disampaikan oleh Syamsuardi, Koordinator Mitigasi Konflik Satwa WWF Indonesia di Riau, serta Ruswanto seorang mahout dari tim Flying Squad WWF Indonesia di Taman Nasional Tesso Nilo, Riau.

Pelatihan dilaksanakan selama dua hari. Hari pertama adalah teori dan hari kedua adalah praktek pembuatan meriam karbit dan praktek cara penggunaannya serta simulasi bagaimana teknik menggiring gajah.

TEORI :

1. Pengenalan sifat gajah. Materi ini menjadi sangat penting mengingat banyak kasus terjadinya kecelakaan yang menimbulkan korban jiwa dalam pengusiran gajah karena

ketidaktahuan soal sifat-sifat gajah sebagai satwa liar.

Beberapa catatan penting yang harus diketahui tentang sifat gajah yang ada hubungannya dengan teknik pengusiran gajah : a. Gajah group terdiri dari

kawanan gajah dalam jumlah lebih dari 20 ekor biasanya terdiri dari beberapa keluarga. Gajah ini terdiri dari gajah dominan yang merupakan betina paling besar yang menjadi pimpinan rombongan diikuti oleh gajah-gajah tua, gajah betina dewasa, gajah jantan dan betina muda serta anak dan bayi. Gajah group akan selalu memakai jalur jelajah yang permanen yang diwariskan nenek moyangnya secara turun temurun.

Sehingga dalam melakukan pengusiran gajah yang harus diperhatikan adalah

mengeluarkan kelompok gajah yang dominan ke jalurnya. b. Gajah tunggal merupakan gajah jantan dewasa yang memang secara alami akan berpisah dari gajah group. Ia

(6)

baru akan bergabung dengan gajah group saat musim kawin. Gajah tunggal tidak punya jalur permanen sehingga cara mengusirnya juga berbeda dengan gajah grup.

c. Gajah memiliki penciuman yang tajam melalui belalainya. Sehingga sebelum melakukan pengusiran warga diminta melihat tanda-tanda kapan gajah mulai bisa diusir. Ketika pertama kali bertemu gajah, orang diminta tenang dan tidak membuat gerakan yang membahayakan dan mengejutkan gajah. Perlu memberi kesempatan gajah mengenali seberapa besar ancaman manusia terhadap gajah. Ketika gajah sudah merasa manusia di depannya tidak mengancamnya, gajah akan mengibas-ngibaskan telinganya, saat itulah kita mulai bisa mengusirnya dengan bunyi meriam, mercon dan teriakan.

d. Saat melakukan pengusiran hindari gajah yang sedang masa birahi, baru melahirkan anak, atau terluka. Karena dalam kondisi ini gajah sangat sensitif dan cenderung agresif.

e. Gajah memiliki pendengaran dan penciuman yang tajam. Ia bisa mendeteksi ada gajah lain sejauh 5 kilometer. Sehingga warga dilarang memainkan meriam, mercon jika tidak ada gajah di wilayahnya. Ini yang membuat gajah tidak mempan lagi jika diusir dengan bunyi-bunyian. Alat-alat itu dipakai bukan untuk menakut-nakuti gajah tapi sebagai alat

komunikasi kita dengan gajah agar gajah menjauh dari suara.

f. Jika ada kelompok gajah berada lama di suatu wilayah harus dicek ada masalah apa yang membuat gajah jadi lamban bergerak. Kemungkinan ada gajah yang sakit kena jerat atau ada yang melahirkan. Karena gajah memiliki sifat akan bergerak terus mencari tempat-tempat baru dengan memperhitungkan ketersediaan pakan. Jika ada gajah yang sakit maka harus dibantu untuk disembuhkan terlebih dahulu, baru kemudian dilakukan pengusiran. Jika kondisi ini terjadi maka perlu bantuan gajah jinak dari CRU.

Ruswanto mengarahkan pengarahkan peserta bagaimana teknik merakit meriam karbit di Desa Alue Limeng, Bireuen

(7)

2. Teknik Mitigasi Konflik Gajah-Manusia

Ada beberapa cara penanganan konflik gajah-manusia yakni cara pasif dan aktif. a. Cara pasif antara lain

dengan membuat alat-alat bantu untuk

mencegah gajah masuk juga sebagai alat

pemberitahuan dini jika gajah mendekat ke kebun. Alat-alat yang mencegah gajah masuk antara lain :

 boly bakar. Alat ini diadopsi dari Afrika. Boly bakar terbuat dari serbuk kayu atau sekam, lem kanji, cabe merah yang dihancurkan dan kotoran gajah. Boly ini dicetak lalu dikeringkan. Ia diletakkan di

pagar-pagar kebun dan dibakar jika ada gajah. Asapnya memedihkan mata gajah sehingga gajah akan menjauh. Namun tidak efisien karena tergantung arah angin.

 Pagar listrik. Alat ini dianjurkan dengan spek yang sudah didesain untuk gajah sehingga tidak membahayakan nyawa manusia atau gajah yang terkena sengatannya.

 Parit gajah. Parit ini didesain bukan seperti parit irigasi. Tapi parit yang

memungkinkan gajah masih bisa masuk ke dalam lubang tapi tidak sampai terjebak di dalamnya. Salah satu sisi tingginya harus mencapai 5 meter, sementara sisi lain dibiarkan landai.

 Bunyi-bunyian dari kaleng yang dipasang di sepanjang pintu masuk gajah ini untuk mendeteksi jika gajah mendekat ke kampung. Agar warga bisa segera berjaga-jaga dan mendegah gajah masuk.

b. Cara aktif :

 Melakukan penjagaan di pintu masuk gajah. Sehingga perlu dibuat menara pemantau untuk memudahkan warga berjaga-jaga.

 Melakukan pengusiran jika gajah sudah terlanjur masuk ke pemukiman. Dianjurkan warga memiliki tim minimal 15 orang yang terbagi dalam 3 kelompok yang

dimpimpin oleh satu orang ketua yang dipercayai dan memiliki kemampuan berkoordinasi.

 Melakukan penggiringan. Jika gajah tidak bisa diusir dalam waktu yang lama maka perlu ada bantuan gajah jinak dari CRU untuk melakukan pengusiran secara paksa.

Peserta memperhatikan pelatih memperagakan bagaimana tanda-tanda gajah yang siap untuk diusir pada praktik di pintu masuk gajah Desa Musarapakat

(8)

PRAKTEK PEMBUATAN ALAT DAN SIMULASI :

Pembuatan alat meriam karbit menjadi salah satu alat yang direkomendasikan WWF Indonesia dalam pengusiran gajah. Meriam karbit ini didesain melalui uji coba berkali-kali dan sudah dipakai selama 10 tahun terakhir di Riau dan mulai menyebar ke berbagai wilayah di Sumatera dimana WWF Indonesia melakukan pelatihan untuk masyarakat. Meriam karbit direkomendasikan terutama

harganya murah, bisa dikontrol pemakaiannya dan suaranya efektif untuk menggiring gajah menjauh dari suara. Di sarankan dalam tim perlu ada 10 meriam yang akan dipakai di tiga kelompok yang mengusir gajah.

Peserta pelatihan diperkenalkan bagaimana merakit alat meriam karbit yang terbuat dari pipa paralon diameter 3 inci dengan panjang 1 meter kemudiandihubungkan dengan tabung besi yang dibuat dengan diameter 3 inci dan panjang 18 centimeter. Para peserta sudah pernah membuat meriam karbit, tapi speknya berbeda dengan desain WWF yang dijamin memiliki ketahanan hingga 5 tahun lebih. Meriam karbit yang dibuat oleh masyarakat biasanya menggunakan kaleng-kaleng bekas dari

kaleng oli atau parfum dan pipa paralon yang kurang kuat sehingga daya tahannya hanya satu atau dua tahun saja. Semua peserta wajib membuat sendiri meriam kabitnya sehingga mereka tahu persis dan dapat mengajarkan warga lainnya di kampung masing-masing.

Peserta perempuan dari Desa Salah Sirong Jaya merakit meriam karbit pada pelatihan di Desa Alue Limeng, Bireuen

(9)

Para peserta yang selesai merakit meriam kemudian diajarkan bagaimana cara menggunakannya. Penggunaan meriam karbit ini harus melalui proses pelatihan berkali-kali sehingga peserta bisa menggunakan alat ini dengan terlatih.

Praktik terakhir adalah praktik simulasi. Ada pembagian tim dan mereka diinta untuk mensimulasikan bagaimana mengusir gajah. Gajah yang dipakai adalah salah satu peserta yang ditutup matanya. Peserta harus menggiringnya menuju tempat yang ditentukan. Dari sini peserta belajar bagaimana melakukan koordinasi atar tim dan mempraktekan bagaimana teknik pengusiran gajah yang benar dan aman.

Peserta pelatihan ini adalah anak-anak muda dari desa Pante Peusnagan, mereka mempraktekan menggunakan meriam karbit di Desa Alue Limeng, Bireuen

(10)

HASIL DAN TESTIMONI PESERTA

WWF Indonesia memberikan bantuan meriam karbit yang dirakit dalam praktek kepada masyarakat, koramil dan polsek dari hasil rakitan saat praktik. Tiap desa mendapatkan rata-rata 4 unit meriam karbit untuk bisa menjadi alat yang bisa disiapkan dalam menghadapi situasi jika gajah mendekati pemukiman. Jumlah meriam karbit yang diserahkan untuk Bener Meriah adalah 28 unit. Untuk peserta Bireuen 34 unit dan Aceh Timur 8 unit.

Di Bireuen hasil pelatihan ini akan dilanjutkan oleh Forum DAS Krueng Peusangan dengan melakukan rapat lanjutan dengan desa-desa yang berkonflik dengan gajah untuk menguatkan koordinasi dan kerjasama antara masyarakat dengan membuat forum bersama.

Di Aceh Timur, pelatihan seperti ini diharapkan bisa dilakukan juga mengingat banyak hal baru didapat dan peserta mengatakan mereka belum mendapatkan pelatihan seperti ini dari manapun.

(11)

Berikut adalah testimoni dari peserta pelatihan :

Suherry, Ketua Yayasan Penyelamat Satwa Bener Meriah :

“Sebelum ada pelatihan kami mengusir gajah dengan mengikuti kemana jalur dia bergerak. Tapi kami tidak memperhatikan tingkah laku gajah. Setelah ada pelatihan yang dibuat WWF ini kami tahu mana gajah kelompok mana gajah yang tunggal. Manfaat terbesar pelatihan ini bisa terhindari kecelakaan. Kami dulu jaraknya terlalu dekat dekat dengan gajah, tapi setelah ada pelatihan ini kami tahu harus jarak minimal 50 meter. Yang penting dari pelatihan ini adalah teknik penggiringan dan tahu sifat gajah. Kami berharap tim kami mendapat kepercayaan dari pemerintah dan masyarakat.”

Saifuddin, Keuchik Musarapakat, Kecamatan Pintu Rime Gayo :

“Dulu kami melakukan penggiringan secara manual dengan kemampuan yang terbatas. Dulu kami elalu berharap ada bantuan mercon. Pelatihan ini pengalaman yang cukup baik. Selama ini kami tidak memikirkan resiko. Ke depan kami bisa mendapat masukan bagaimana menghalau gajah. Minimal masyarakat sudah mengerti cara menggiring gajah yang aman.”

Bukhari Muslem, Ketua Kelompok Tani Kecamatan Serbajadi Aceh Timur :

“Sebelumnya kami menggiring gajah malam hari tapi tidak memakai stretagi dengan formasi bentuk U. Setelah mendapat pelatihan ini kami jadi tahu bahwa mengusir gajah harus punya strategi . Dan Yang penting harus kompak dan saling menjaga keamanan agar tidak timbul korban jiwa.”

Referensi

Dokumen terkait

dan sejumlah LSM. Dalam pernyataan sikap, diantaranya GBN meminta DPR, MPR dan pemerintah mempertahankan TAP MPRS No XXV tahun 1966 tentang larangan Ajaran

Operasional dan Etika Pergaulan Mahasiswa KKN-PPM Ahmad Agus Setiawan, ST, M.Sc.,

Untuk bahasa pemrograman yang penulis gunakan yaitu bahasa pemrograman Java dan MySQL, lalu metode pendekatan sistem yang penulis gunakan yaitu pendekatan

Menimbang : bahwa dalam rangka melaksanakan Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2020 tentang Peningkatan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan Dalam

Proporsi teh hijau: bubuk daun kering stevia dan suhu penyimpanan yang berbeda pada minuman teh hijau stevia berpengaruh pada kemampuan menangkal radikal bebas

Jika nyawanya masih banyak (melebihi batas yang ditetapkan, dalam hal ini 20 atau 40% dari nyawa maksimum pemabuk) dan pemabuk masih menggunakan tangan kosong,

Pusat Pengembangan Profesi Pendidik Tenaga Kependidikan dan Non Kependidikan (P4TKN) Gedung LPPMP Lantai 3 Sayap Timur Telp./Fax... PESERTA NAMA ALAMAT SEKOLAH NAMA KELAS TANGGAL

Selain itu, penting juga dilakukan pemeriksaan kadar TSH ( Thyroid Stimulating Hormone ) setelah 3 – 4 bulan terdiagnosis dengan sindrom dapson karena dapat terjadi