BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Setiap penelitian sosial membutuhkan teori, karena salah satu unsur yang paling besar peranannya dalam penelitian adalah teori (Singarimbun, 1995: 40). Fungsi teori dalam suatu riset penelitian adalah membantu peneliti dalam menerangkan fenomena sosial atau fenomena alami yang menjadi pusat perhatiannya (Kristayanto, 2008: 43).
Teori berguna untuk menjelaskan titik tolak atau landasan berpikir dalam memecahkan masalah. Untuk itu perlu disusun kerangka teori yang memuat pokok-pokok likiran yang menggambarkan dari sudut mana masalah penelitian yang akan disoroti (Nawawi, 1995: 40). Ketika suatu masalah penelitian telah ditemukan, maka peneliti mencoba membahas masalah tersebut dengan teori-teori yang dipilihnya yang dianggap mampu menjawab penelitian (Bungin, 2008: 31). Teori yang relevan dalam penelitian ini adalah :
II.1 Paradigma
Paradigma adalah salah satu cara pandang untuk memahami kompleksitas dunia nyata. Paradigma tertanam kuat dalam sosialisasi para penganut dan praktisinya. Paradigma menunjukkan pada mereka apa yang penting, absah, dan masuk akal. Paradigma juga bersifat normatif, menunjukkan, kepada praktisinya apa yang harus dilakukan tanpa perlu melakukan pertimbangan eksistensial atau epitemologis yang panjang (Mulyana, 2003: 9).
Paradigma yang dipakai dalam penelitian ini adalah paradigma konstruktivis. Paradigma konstruktivis yaitu paradigma yang hampir merupakan antitesis dari paham yang meletakkan pengamatan dan objekstivitas dalam menemukan suatu realitas atau ilmu pengetahuan. Paradigma ini memandang ilmu sosial sebagai analisis sistematis terhadap socially meaningful action melalui pengamatan secara langsung dan terperinci terhadap pelaku sosial yang bersangkutan menciptakan dan memelihara / mengelola dunia sosial mereka (Hidayat, 2003: 3)
Menurut Patton, para peneliti konstrkutivis mempelajari beragam realita yang terkonstruksi oleh individu dan implikasi dari konstruksi tersebut bagi kehidupan mereka dengan yang lain. Dalam konstruktivis, setiap individu memiliki pengalaman yang unik. Dengan demikian, penelitian dengan strategi seperti ini menyarankan bahwa setiap cara yang diambil individu dalam memandang dunia adalah valid, dan perlu adanya rasa menghargai atas pandangan tersebut (Patton, 2002: 96 – 97).
Paradigma konstruktivis memiliki beberapa kriteria yang membedakannya dengan paradigma lainnya, yaitu ontologi, epistemologi, dan metodologi. Level ontologi , paradigma konstruktivis melihat kenyataan sebagai hal yang ada tetapi bersifat majemuk, dan maknanya berbeda bagi tiap orang. Dalam epistemologi, peneliti menggunakan pendekatan subjektif karena dengan cara itu bisa menjabarkan pengkonstruksian makna oleh individu. Dalam metodologi, paradigma ini menggunakan berbagai macam jenis pengkonstruksian dan menggabungkannya dalam sebuah konsensus.
II.2 Teori Fenomenologi
Pertama kali dicetuskan oleh filsuf Jerman Edmund H. Husserl (1859 - 1938). Perhatiannya pada cara mengatur gejala yang dialami sedemikian rupa sehingga dapat memahami dunia sekitarnya, dan sambil mengembangkan suatu pandangan dunia. Tak ada realitas yang terpisah (atau objektif) bagi orang. Yang ada hanyalah apa yang diketahui tentang pengalaman dan maknanya. Pengalaman subjektif sekaligus mengandung benda atau hal objektif dan realitas seseorang (Suyanto, 2005: 178 - 179).
Fenomenologi berpandangan bahwa apa yang tampak dipermukaan, termasuk pola perilaku manusia sehari-hari adalah gejala atau fenomena dari apa yang tersembunyi di “kepala” si pelaku. Sebab, realitas itu bergantung pada persepsi, pemahaman, pengertian, dan anggapan-anggapan seseorang. Itu terbenam sebagai suatu kompleks gramatika kesadaran di dalam diri manusia. Di situlah letak kunci jawaban terhadap apa yang terekspresi atau menggejala di tingkat perilaku. (Bungin, 2003).
Fenomenologi menunjuk banyak hal dasar yang penting bagi pemikiran interpretif. Maka fenomenologi sosial mempunyai sebuah pendekatan dan pembendaharaan kata untuk menginterpretasikan kehidupan dunia dan menjadi sebuah pemahaman bagaimana sikap alamiah kehidupan sehari-hari dimainkan (Ardianto, 2007: 129)
Dalam proses memproduksi berita, Eriyanto (2002: 106) menuliskan bahwa pemahaman wartawan erat kaitannya dengan pengertian dan anggapan persepktif wartawan dalam melihat beragam fenomena yang terjadi pada masyarakat. Ada semacam standar yang harus ditaati wartawan agar laporan yang ia berikan mempunyai nilai yang akan diinformasikan kepada masyarakat. Nilai tersebut tidaklah bersifat personal melainkan dihayati bersama dengan lembaga-lembaga yang dipercaya dalam mengontrol kerja wartawan.
II.3 Media Massa dan Konstruksi Realitas Sosial
Realitas Sosial adalah hasil kostruksi sosial dalam proses komunikasi tertentu. Membahas teori konstruksi sosial (social construction), tentu tidak terlepas dari bangunan teoritik yang telah dikemukakan oleh Peter L Beger dan Thomas Luckman. Berawal dari istilah konstruktivisme, konstruksi realitas sosial terkenal sejak diperkenalkan oleh Peter L Berger dan Thomas Luckman melalui bukunya yang berjudul The Social Construction of Reality : A Treatise in The Sociological of Knowledge tahun 1966. Menurut mereka, realitas sosial dikonstruksi melalui proses eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Konstruksi sosial tidak berlangsung dalam ruang hampa, namun sarat dengan kepentingan-kepentingan (Bungin, 2008: 192).
Bagi kaum konstruktivis, realitas (berita) itu hadir dalam keadaan subjektif. Realitas tercipta lewat konstruksi, sudut pandang dan ideologi wartawan. Secara singkat, manusialah yang membentuk imaji dunia. Sebuah teks dalam berita tidak dapat disamakan sebagai cerminan dari realitas, tetapi ia harus dipandang sebagai konstruksi atas realitas.
Substansi teori konstruksi sosial media massa adalah pada sirkulasi informasi yang cepat dan luas sehingga konstruksi sosial berlangsung dengan sangat cepat dan sebenarnya merata. Realitas yang terkonstruksi itu juga
membentuk opini massa, massa cenderung apriori dan opini massa cenderung sinis (Bungin, 2008: 203). Menurut persepektif ini tahapan-tahapan dalam proses konstruksi sosial media massa itu terjadi melalui: tahap menyiapkan materi konstruksi ; tahap sebaran kostruksi; tahap pembentukan konstruksi (Bungin, 2008: 188). Penjelasannya adalah sebagai berikut:
1. Tahap meyiapkan materi konstruksi: Ada tiga hal penting dalam tahapan ini yakni: keberpihakan media massa kepada kapitalisme, keberpihakan semu kepada masyarakat, keberpihakan kepada kepentingan umum.
2. Tahap sebaran konstruksi: Prinsip dasar dari sebaran konstruksi sosial media massa adalah semua informasi harus sampai pada khalayak secara tepat berdasarkan agenda media. Apa yang dipandang penting oleh media massa, menjadi penting pula bagi pemirsa atau pembaca.
3. Tahap pembentukan konstruksi realitas. Pembentukan konstruksi berlangsung melalui (1) konstruksi realitas pembenaran; (2) kedua kesediaan dikonstruksi oleh media massa; (3) sebagai pilihan konsumtif. 4. Tahap konfirmasi. Konfirmasi adalah tahapan ketika media massa maupun
penonton memberi argumentasi dan akuntabilitas terhadap pilihannya untuk terlibat dalam pembentukan kontruksi.
Pada kenyataanya, realitas sosial itu berdiri sendiri tanpa kehadiran individu baik di dalam maupun di luar realitas tersebut. Realitas sosial memiliki makna, manakala realitas sosial dikonstruksi dan dimaknai secara subjektif oleh individu lain sehingga memantapkan realitas itu secara objektif. Individu mengkonstruksi realitas sosial dan merekonstrusinya dalam dunia realitas, memantapkan realitas itu berdasarkan subjektivitas individu lain dalam institusi sosialnya. Melalui konstruksi sosial media, dapat dijelaskan bagaimana media massa membuat gambaran tentang realitas.
Konstruksi realitas terjadi ketika wartawan atau media melakukan proses pembingkaian (framing) berita setelah nilai berita (news values) dan unsur kelayakan berita (news worthy) dipenuhi. Wartawan tidak melakukan pembingkaian dalam keseluruhan teks berita. Hanya di beberapa bagian saja dalam struktur berita yang dibingkai dan selanjutnya menentukan wacana yang dikonstruksi oleh wartawan.
Ada empat teknik framing yang biasa dipakai wartawan untuk membingkai ketiga bagian tersebut, yaitu : (1) Cognitive dissonance
(ketidaksesuaian sikap dan perilaku) ; (2) Emphaty (membentuk pribadi khayal) ; (3) Packing (daya tarik yang melahirkan ketidakberdayaan) ; dan (4) Association
(menggabungkan kondisi, kebijakan dan objek yang sedang aktual dengan fokus berita).
Proses Konstruksi Sosial Media Massa
Gambar 1. Proses Konstruksi Sosial Media Massa
II.4 Faktor-Faktor yang Membentuk Isi Media
Apa yang disajikan media, pada dasarnya adalah akumulasi dari pengaruh yang beragam. Pamela J. Shoemaker dan Stephen D. Reese (1996), dalam
Mediating The Message: Theories of Influences on Mass Media Content,
menyusun berbagai faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan dalam ruang ruang pemberitaan. Mereka mengidentifikasikan ada lima faktor yang mempengaruhi kebijakan redaksi dalam menentukan isi media, seperti dalam bagan berikut:
Gambar 2. Model Hierarki Teori Pengaruh Isi Media
II.4.1 Level Individual
Terdapat tiga faktor instrinstik pada pekerja media yang dapat mempengaruhi isi media. Pertama ialah karakteristik pekerja, personaliti dan latar belakang pekerja. Kedua, ialah pertimbangan sikap, nilai, dan keyakinan pekerja. Contohnya ialah keperpihakan politik jurnalis atau keyakinan agama jurnalis. Ketiga ialah orientasi dan peran konsep profesi yang disosialisasikan kepada mereka. Sebagai contoh apakah jurnalis akan mempersepsikan diri mereka sebagai penyimpan kejadian yang netral, ataukah sebagai partisipan yang aktif dalam membangun cerita (Shoemaker, 1996: 64)
Pada AtjehPost tulisan yang dimuat merupakan hasil produksi anggotanya. Anggota yang notabanenya adalah reporter mereka terdiri dari orang-orang dengan latar belakang yang berbeda. Hal tersebut turut mempengaruhi mereka dalam memproduksi berita tentang Putri.
Gambar 3. Cara Kerja Faktor Instrinstik Pekerja Media Mempengaruhi Isi Media
Gambar di atas menunjukkan hubungan diantara faktor-faktor instrinstik jurnalis yang melatarbelakangi isi media. Karakteristik, latar belakang dan pengalaman individu mempengaruhi sikap, nilai dan keyakinan yang dimiliki jurnalis dan juga mempenagruhi pengalaman dan latar belakang dalam profesinya. Sebagai contoh, pendidikan terakhir, lingkungan tempat jurnalis dibesarkan, dan karakter pribadi jurnalis akan mempengaruhi sikap, nilai, dan keyakinan yang dipegangnya selama menjadi seorang jurnalis dan juga akan mempenagruhi pengalaman dan dedikasinya sebagai seorang jurnalis. Pengalaman dan dedikasi selama menjadi jurnalis kemudian membentuk bagaimana peranan dan etika jurnalis yang secara langsung mempengaruhi isi media. Sedangkan sikap, nilai dan keyakinan jurnalis secara tidak langsung mempengaruhi isi media sebatas wewenang jurnalis tersebut dalam organisasi media (Shoemaker, 1996: 65).
II.4.2 Level Rutinitas Media
Karl Manheim, sosiolog Jerman, mengatakan bahwa tiap individu tidak berfikir dengan sendirinya. Seseorang hanya berpartisipasi dalam memikirkan
lebig jauh apa yang telah dipikirkan oleh orang lain sebelumnya. Mereka berbicara dalam bahasa kelompoknya, dan berfikir dengan cara pikir kelompoknya. Hal tersebut serupa dengan rutinitas yang terdapat pada organisasi media massa. Rutinitas telah menciptakan pola sedemikian rupa yang terus diulang oleh para pekerjanya. Rutinitas juga menciptakan sistem dalam media sehingga media tersebut bekerja dengan cara yang dapat diprediksi dan tidak mudah untuk dikacaukan. Hal-hal yang mempengaruhi rutinitas media ialah organisasi media itu sendiri (processor), sumber (supplier), dan target khalayak
(consumer) (Shoemaker, 1996: 105-108).
Gambar 4. Hubungan Tiga Sumber yang Mempengaruhi Rutinitas Media
II.4.3 Level Organisasi
Menurut Turow (1984), sebuah organisasi media dapat didefinisikan sebagai entitas sosial, formal atau ekonomi yang mempekerjakan pekerja media dalam usaha untuk memproduksi isi media. Organisasi tersebut memiliki ikatan yang jelas dan dapat diketahui dengan mudah mana yang menjadi anggotanya dan mana yang bukan. Terdapat tujuan yang jelas yang menciptakan kesalingtergantungan antara bagian-bagiannya dan struktur yang birokratis. Anggota-anggotanya memiliki spesialisasi fungsi yang jelas dan peran yang terstandarisasi. Bagan struktur organisasi yang dimiliki sebuah organsasi media
massa membantu menjelaskan empat pertanyaan penting, yaitu: Apa peran organisasi; Bagaimana organisasi terstruktur; Apa saja kebijakan yang ada dan bagaimana kebijakan tersebut diimplementasikan; dan bagaimana kebijakan tersebut dijalankan (Shoemaker, 1996: 142-144).
Dalam organisasi media terdapat tiga tingkatan posisi. Pertama ialah pekerja garda depan seperti penulis, reporter, staf kreatif yang bertugas mengumpulkan dan mengemas bahan mentah. Kedua ialah tingkat menengah, yaitu manajer, editor, produser, dan lainnya yang bertugas mengkoordinasikan proses dan menjembatani komunikasi antara posisi atas dan bawah dalam organisasi. Ketiga ialah posisi tingkat atas dalam perusahaan yang bertugas membuat kebijakan organisasi, membuat anggaran, mengambil keputusan-keputusan penting, melindungi perusahaan dari kepentingan politik dan komersial, dan saat dibutuhkan melindungi pekerjanya dari tekanan luar (Shoemaker, 1996: 151).
II.4.4 Level Ekstra Media
Selain faktor individu dan karakteristik organisasi media tersebut, isi media juga dipengaruhi oleh faktor di luar media tersebut. Faktor-faktor di luar organisasi media yaitu:
a. Sumber informasi berita. Sumber berita disini dipandang bukanlah sebagai pihak yang netral yang memberikan informasi apa adanya, ia juga mempunyai kepentingan untuk mempengaruhi media dengan berbagai alasan: memenangkan opini publik, atau memberi citra tertentu kepada khalayak dan seterusnya. Sebagai pihak yang mempunyai kepentingan, sumber berita tentu memberlakukan politik pemberitaan. Ia akan memberikan informasi yang sekiranya baik bagi dirinya, dan mengembargo informasi yang tidak baik bagi dirinya. Kepentingan sumber berita ini sering kali tidak disadari oleh media. b. Sumber pendapatan, seperti pemasangan iklan dan audiens, bisa juga
berupa pelanggan/ pembeli media. Media harus survive, dan untuk bertahan hidup kadangkala media harus berkompromi dengan sumber daya yang menghidupi mereka. Misalnya media tertentu tidak
memberitakan kasus yang berhubungan dengan pengiklan. Pihak pengiklan juga mempunyai strategi untuk memaksakan versinya pada media. Ia tentu saja ingin kepentingannya dipenuhi, itu dilakukan diantaranya dengan cara memaksa media mengembargo berita yang buruk bagi mereka. Pelanggan dalam banyak hal juga ikut mewarnai pemberitaan media. Tema yang menarik dan terbukti mendongkrak penjualan, akan terus-menerus diliput oleh media. Media tidak akan menyia-nyiakan momentum peristiwa yang disenangi oleh khalayak. c. Pihak eksternal seperti institusi sosial lain yang meliputi organisasi
bisnis dan pemerintah, lingkungan ekonomi dan teknologi. Pengaruh ini sangat ditentukan oleh corak dari masing-masing lingkungan eksternal media. Dalam negara yang otoriter misalnya, pengaruh pemerintah menjadi faktor yang dominan dalammenentukan berita apa yang disajikan. Keadaan ini tentu saja berbeda di negara yang demokratis dan menganut sistem liberalisme. Campur tangan negara praktis tidak ada, justru pengaruh yang besar terletak pada lingkungan pasar dan bisnis.
II.4.5 Level Ideologi
Menurut Samuel Becker (1984), ideologi menentukan cara kita mempersiapkan dunia kita dan diri kita sendiri. Sebuah ideologi adalah seperangkat kerangka pikir yang menentukan cara pandang kita terhadap dunia dan bagaimana kita harus bertindak. Level ideologi adalah level yang paling besar dalam model hierarki pengaruh isi media (Shoemaker, 1996: 222).
Raymond William (dalam Eriyanto, 2001) mengklasifikasikan penggunaan ideologi tersebut dalam tiga ranah.
a. Sebuah sistem kepercayaan yang dimiliki oleh sekelompok atau kelas tertentu. Definisi ini terutama dipakai oleh kalangan psikologi yang melihat ideologi sebagai seperangkat sikap yang dibentuk dan diorganisasikan dalambentuk yag koheren. Sebagai misal, seseorang mungkin mempunyai seperangkat sikap tertentu mengenai demonstrasi buruh. Ia percaya bahwa buruh yang berdemonstrasi mengganggu
kelangsungan produksi. Oleh karenanya, demonstrasi tidak boleh ada, karena hanya akan menyusahkan orang lain, membuat keresahan, mengganggu kemacetan lalu lintas, dan membuat perusahaan mengalami kerugian besar. Jika bisa memprediksikan sikap seseorang semacam itu, kita dapat mengatakan bahwa orang itu mempunyai ideologi kapitalis atau borjuis. Meskipun ideologi disini terlihat sebagai sikap seseorang, tetapi ideologi disini tidak dipahami sebagai sesuatu yang ada dalam diri individu sendiri, melainkan diterima dari masyarakat.
b. Sebuah sistem kepercayaan yang dibuat -ide palsu atau kesadaran palsu- yang biasa dilawankan dengan pengetahuan ilmiah. Ideologi dalam pengertian ini adalah seperangkat kategori yang dibuat dan kesadaran palsu dimana kelompok yang berkuasa atau dominan menggunakannya untuk mendominasi kelompok lain. Karena kelompok yang dominan mengontrol kelompok lain dengan menggunakan perangkat ideologi yang disebarkan ke dalam masyarakat akan membuat kelompok yang didominasi melihat hubungan itu nampak natural dan diterima sebagai kebenaran. Disini, ideologi disebarkan lewat berbagai instrumen dari pendidikan politik sampai media massa.
c. Proses umum produksi makna dan ide. Ideologi disini adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan produksi makna.
II.5 Analisis Framing
Analisis wacana adalah istilah umum yang dipakai dalam beberapa disiplin ilmu dan berbagai pengertian. Titik singgung dari setiap pengertian tersebut adalah analisis wacana berhubungan dengan studi mengenai bahasa atau pemakaian bahasa. Kalau analisis isi kuantitatif lebih menekankan pada pertanyaan ‘apa’ (what), analisis wacana lebih melihat ‘bagaimana’ (how). Lewat analisis wacana, kita bukan hanya mengetahui isi teks berita, tetapi juga bagaimana pesan itu disampaikan. Dengan melihat bagaimana bangunan struktur
kebahasaan tersebut, analisis wacana lebih bisa melihat makna yang tersembunyi dari suatu teks (Eriyanto, 200: xv)
Salah satu pandangan mengenai bahasa dalam analisis wacana adalah analisis framing yang tergolong dalam pandangan konstruktivisme. Aliran ini menolak pandangan positivis – empiris yang memisahkan subjek dan objek bahasa. Konstruktivisme justru menganggap subjek sebaga faktor sentral dalam kegiatan wacana serta hubungan-hubungan sosialnya.
Gagasan mengenai framing, pertama kali dilontarkan oleh Beterson pada tahun 1955 (Sobur, 2004: 161). Mulanya frame dimaknai sebagai struktur konseptual atau perangkat kepercayaan yang mengorganisasi pandangan politik, kebijakan dan wacana serta yang menyediakan kategori-kategori standar untuk mengapresiasi realitas. Tetapi akhir-akhir ini konsep framing telah digunakan secara luas dalam literatur ilmu komunikasi untuk menggambarkan proses penyeleksian dan penyorotan aspek-aspek khusus sebuah realitas oleh media massa.
Framing secara sederhana adalah membingkai sebuah peristiwa. Framing
adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana persepektif atau cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika meyeleksi isu dan menulis berita. Cara pandang tersebut yang pada akhirnya menentukan fakta apa yang diambil, bagian mana yang ditonjolkan dan bagian mana yang dihilangkan, serta hendak dibawa kemana berita tersebut (Sobur, 2004: 162).
Menurut Imawan (dalam Sobur, 2004: 162) pada dasarnya framing adalah pendekatan untuk melihat bagaimana media mengkonstruksi realitas. Untuk melihat bagaimana cara media memaknai, memahami dan membingkai kasus atau peristiwa yang diberitakan. Sebab media bukanlah cerminan realitas yang memberitakan apa adanya. Namun, media mengkonstruksi realitas sedemikian rupa, ada fakta-fakta yang diangkat ke permukaan, ada kelompok-kelompok yang diangkat dan dijatuhkan, ada berita yang dianggap penting dan tidak penting. Karenanya berita menjadi manipulatif dan bertujuan untuk mendominasi keberadaan subek sebagai sesuatu yang legitimate, objektif, alamiah, wajar, atau tak terelakkan.
Membuat frame adalah menyeleksi beberapa aspek dari suatu pemahaman atas realitas dan membuatnya lebih menonjol dalam suatu teks yang dikomunikasikan sedemikian rupa hingga mempromosikan sebuah definisi permasalahan yang khusus, interpretasi kausal, evaluasi moral dan merekomendasi penanganannya (Entman, 1993: 52). Framing secara esensial, menurut Robert M Entman meliputi penyeleksian dan penonjolan. Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa fungsi frame adalah mendefinisikan masalah, mendiagnosis penyebab, memberikan penilaian moral dan menawarkan penyelesaian masalah dengan tujuan memberi penekanan tertentu terhadap apa yang diwacanakan.
Ada dua aspek penting dalam framing. Pertama, memilih fakta atau realitas. Proses memilih fakta ini didasarkan kepada asumsi, wartawan tidak mungkin melihat peristiwa tanpa perspektif. Dalam memilih fakta ini selalu terkandung dua kemungkinan, yaitu apa yang dipilih (include) dan apa yang dibuang (exclude). Penekanan aspek tertentu itu dilakukan dengan memilih angle
tertentu, memilih fakta tertentu dan melupakan fakta yang lain, memberitakan aspek tertentu dan melupakan aspek lainnya. Media yang menekankan aspek tertentu, memilih fakta tertentu akan menghasilkan berita yang bisa jadi berbeda kalau media menekankan aspek atau peristiwa yang lain.
Kedua, menuliskan fakta. Proses ini berhubungan dengan bagaimana fakta yang dipilih itu disajikan kepada khalayak. Bagaimana fakta yang sudah dipilih tersebut ditekankan dengan pemakaian perangkat tertentu, penempatan yang menyolok, pengulangan, pemakaian grafis untuk mendukung dan memperkuat penonjolan, pemakaian label tertentu ketika menggambarkan orang atau peristiwa yang diberitakan, asosiasi terhadap simbol budaya, generalisasi simplifikasi dan sebagainya. Elemen menulis fakta ini berhubungan dengan penonjolan realitas.
Prinsip analisis framing menyatakan bahwa pada fakta yang diberitakan dalam media terjadi proses seleksi dan penajaman terhadap dimensi-dimensi tertentu. Fakta tidak ditampilkan secara apa adanya, namun diberi bingkai (framing) sehingga menghasilkan konstruksi yang spesifik.
Model analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah model analisis
Zhongdang Pan dan Gerald M Kosicki adalah salah satu model analisis yang banyak dipakai dalam menganalisis teks media. Bagi Pan dan Kosicki, analisis
framing dilihat sebagaimana wacana publik tentang semua isu atau kebijakan dikonstruksi dan denegosiasikan. Framing didefinisikan sebagai proses membuat suatu pesan lebih menonjol , menempatkan informasi lebih daripada yang lain sehingga khalayak lebih tertuju pada pesan itu (Eriyanto, 2002: 252).
Menurut Pan dan Kosicki ada dua konsepsi framing yang saling berkaitan yaitu konsepsi psikologi (internal individu) dan konsepsi sosiologis (sosial). Bagaiman kedua konsepsi yang berlainan tersebut dapat digabungkan dalam suatu model dijelaskan dan dilihat dari bagaimana suatu berita diproduksi dan peristiwa dikonstruksi oleh wartawan. Model Pan dan Kosicki ini berasumsi bahwa setiap mempunyai frame yang berfungsi sebagai pusat dari organisasi ide.
Zhongdang Pan dan Gerald M Kosicki melalui tulisan mereka “framing Analysis: An Aproach to News Discourse” mengoperasikan empat dimensi struktural teks berita sebagai perangkat framing: sintaksis, skrip, tematik, dan retoris. Keempat dimensi struktural ini membentuk semacam tema yang mempertautkan elemen-elemen semantik narasi berita dalam suatu koherensi global (Sobur, 2004: 175).
Selanjutnya perangkat framing Pan dan Kosicki ini dibagi menjadi empat struktur besar (Eriyanto, 2002: 225):
1. Sintaksis
Dalam wacana berita, sintaksis menunjuk pada pengertian susunan bagan berita yaitu headline, lead, latar informasi, sumber, penutup, dalam suatu kesatuan teks berita secara keseluruhan.
a. Headline
Berita yang menjadi topik utama media.
b. Lead
Alinea pembuka atau alinea pertama suatu berita. Lead atau teras berita berisi pokok-pokok penting yang dapat mewakili isi berita.
c. Latar informasi
Merupakan bagian berita yang dapat mempengaruhi makna yang ingin ditampilkan wartawan. Wartawan ketika menulis berita biasanya
mengemukakan latar belakang atas peristiwa yang dirulis. Latar yang dipilih menentukan arah mana pandangan khalayak hendak dibawa.
d. Kutipan sumber berita
Orang atau hal-hal yang dijadikan sumber berita. Dimaksudkan untuk membangun objektivitas prinsip keseimbangan dan tidak memihak. e. Pernyataan
Merupakan kalimat-kalimat yang dibuat untuk mendukung isi berita.
f. Penutup
Bagian akhir berita.
2. Skrip
Skrip berhubungan dengan bagaimana strategi cara bercerita atau bertutur wartawan dalam mengisahkan/ menceritakan peristiwa ke dalam bentuk berita.
Bentuk umumdari struktur skrip ini adalah unsur kelengkapan berita, yaitu:
a. Who (siapa), siapa yang terlibat
b. What (apa), apa peristiwa yang diberikan
c. When (kapan), waktu terjadinya peristiwa
d. Where (dimana), lokasi peristiwa
e. Why (mengapa), mengapa bisa terjadi
f. How (bagaimana), bagaimana terjadinya peristiwa
3. Tematik
Struktur tematik berhubungan dengan bagaimana fakta itu ditulis, bagaimana wartawan mengungkapkan pandangannya atas peristiwa ke dalam preposisi, kalimat, atau hubungan antarkalimat yang membentuk teks secara keseluruhan.
Tematik memiliki perangkat framing:
Elemen detail berhubungan dengan kontrol informasi yang ditampilkan seseorang. Komunikator akan menampilkan secara berlebihan informasi yang menguntungkan dirinya atau citra yang baik. Sebaliknya, ia akan menampilkan informasi yang tidak menguntungkan dirinya dalam jumlah sedikit (bahkan kalau perlu tidak disampaikan).
b. Koherensi
Merupakan elemen untuk melihat bagaimana seseorang secara strategis menggunakan perangkat bahasa untuk menjelaskan fakta atau peristiwa. Apakah peristiwa itu dipandang saling terpisah, berhubungan, atau sebab akibat.
c. Bentuk kalimat
Bentuk kalimat dipakai untuk menjelaskan fakta yang ada, berhubungan dengan kalimat pasif atau kalimat aktif dan kalimat deduktif atau kalimat induktif.
d. Kata Ganti
Kata pengganti subjek atau objek dalam suatu kalimat, misalnya: aku, dia, mereka, itu, dan lain-lain.
4. Retoris
Struktur retoris suatu wacana berita menggambarkan pilihan gaya atau kata yang dipilih oleh wartawan untuk menekankan arti yang ingin ditonjolkan. Struktur ini akan melihat bagaimana wartawan memaknai pilihan kata, idiom, gafik, dan gambar yang dipakai bukan hanya mendukung tulisan, melainkan menekankan arti tertentu kepada pembaca.
Retoris memiliki perangkat sebagai berikut: a. Leksikon
Pemilihan dan pemakaian kata-kata tertentu untuk menandai atau menggambarkan peristiwa.
b. Grafis
Biasanya muncul lewat bagian tulisan yang dibuat lain dibandingkan tulisan yang lain. Pemakaian huruf tebal, huruf miring, pemakaian garis bawah, huruf yang dibuat dengan ukuran yang lebih
besar, termasuk di dalamnya adalah pemakaian caption, raster, grafik, gambar, dan tabel untuk mendukung arti penting suatu pesan.
c. Metafora
Kalimat pengandaian atau perumpamaan.
II.6 Wilayatul Hisbah
Dalam qanun 2001 Pasal 1 Angka 7, disebutkan wilayatul hisbah adalah lembaga yang bertugas mengawasi, membina, dan melakukan advokasi terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan bidang syari`at Islam dalam rangka melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar.
Untuk menunjang pelaksanaan aktivitas syariat islam yang diatur dalam
qanun-qanun yang telah disepakati itu, maka dibentuklah lembaga ini. Lembaga ini bekerja sebagai penindak awal perilaku masyarakat Aceh yang menyimpang dari syariat.
Sebagaimana aparat kepolisian, WH juga memiliki wewenang yang diatur dalam qanun khusus WH. Wewenang ini berkaitan dengan pelanggaran syariat Islam seperti khamr (miras), judi, khalwat (mesum), busana islami dan lainnya. Apabila pelanggaran masuk ke ranah kejahatan, maka akan ditransfer ke aparat kepolisian.
Lembaga ini berwenang mengingatkan anggota masyarakat tentang aturan-aturan yang ada yang harus diikuti, cara menggunakan dan menaati peraturan serta tindakan yang harus dihindari karena bertentangan dengan peraturan.
Diantara contoh kongkrit yang sering disebut sebagai tugas dan kewenangan lembaga ini pada masa lalu adalah mengawasi, memeriksa dan mengingatkan penggunaan alat-alat ukur (takaran dan timbangan) di pasar-pasar untuk kepentingan perdagangan. Untuk ini mereka juga berwenang menegur, mencegah dan melarang orang-orang agar terhindar dari perbuatan atau kegiatan yang dianggap salah, yang melanggar peraturan agar mereka terhindar dari hukuman.
Lembaga ini di samping bertugas menegakkan aturan yang ada di dalam hukum juga bertugas mengingatkan dan menegur orang-orang agar mereka
mengikuti aturan moral (akhlak) yang baik, yang sangat dianjurkan di dalam syari`at Islam yaitu perbuatan haram dan tercela, tetapi tidak sampai dijatuhi hukuman sekiranya seseorang melakukannya.
Keberadaan lembaga ini telah dicantumkan di dalam beberapa qanun, pertama sekali dalam PERDA Nomor 5 Tahun 2000, dalam pasal 20 (Bab VI, Pengawasan dan Penyidikan) yang berbunyi: (1) Pemerintah Daerah berkewajiban membentuk badan yang berwenang mengontrol/ mengawasi (wilayatul hisbah) pelaksanaan ketentuan-ketentuan dalam peraturan daerah ini sehingga dapat berjalan dengan sebaik-baiknya.
Setelah kehadiran UU No 11/06 kedudukan WH menjadi lebih jelas. Kalau sebelumnya keberadaan WH hanya berdasarkan qanun Aceh, maka dalam undang-undang ini WH dianggap sebagai bagian dari SATPOL PP dan diberi nama polisi wilayatul hisbah. Pengaturan tentang kewenangan, tugas, dan jenjang kepangkatan mengikuti peraturan perundang-undangan yang berlaku secara nasional. Dengan demikian Polisi WH hanya berwenang melakukan sosialisasi, pengawasan dan pembinaan Qanun syari’at Islam dan tidak berwenang melakukan penyidikan.
1. Tugas-tugas Wilayatul Hisbah
Sebagai salah satu badan pengawas yang bertindak sebagai polisi syariah waliyatul hisbah mempunyai tiga kelompok tugas.
a. Tugas pokok Wilayatul Hisbah yaitu :
1. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan dan pelanggaran peraturan perundang undangan di bidang syariat Islam.
2. Melakukan pembinaan dan advokasi spritual terhadap setiap orang yang berdasarkan bukti permulaan patut diduga telah melakukan pelanggaran terhadap peraturan Perundang-undangan di bidang syariat Islam.
3. Pada saat tugas pembinaan mulai dilakukan Muhtasib (sebutan WH) perlu memberitahukan hal itu kepada penyidik terdekat atau kepada Keuchik/ Kepala Gampong dan keluarga pelaku.
4. Melimpahkan perkara pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang syariat Islam kepada penyidik.
b. Tugas yang berhubungan dengan pengawasan meliputi :
1. Memberitahukan kepada masyarakat tentang adanya peraturan perundang- undangan di bidang syariat Islam
2. Menemukan adanya perbuatan pelanggaran terhadap ketentuan syariat Islam
c. Tugas yang berhubungan dengan pembinaan meliputi :
1. Menegur memperingatkan dan menasehati seseorang yang patut di duga telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan syariat Islam
2. Berupaya untuk menghentikan kegiatan/perbuatan yang patut diduga telah melanggar peraturan perundangan di bidang syariat Islam
3. Menyelesaikan perkara pelanggaran tersebut melalui rapat adat Gampong
4. Memberitahukan pihak terkait tentang adanya dugaan telah terjadi penyalahgunaan izin penggunaan suatu tempat atau saranaa.
2. Fungsi Wilayatul Hisbah
Fungsi wilayatul hisbah yaitu diantaranya : a. Sosialisasi
b. Pengawasan c. Pembinaan d. Penyidikan
e. Pelaksanaan hukuman
3. Wewenang Wilayatul Hisbah
Wilayatul Hisbah mempunyai kewenangan :
1. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan dan Perundang-undangan di bidang syariat Islam.
2. Menegur, menasehati, mencegah dan melarang setiap orang yang patut diduga telah sedang atau akan melakukan pelanggaran terhadap Peraturan Perundang-undangan di bidang syariat Islam.
3. Menerima laporan pengaduan dari masyarakat.
4. Menyuruh berhenti seseorang yang patut diduga sebagai pelaku pelanggaran.
5. Meminta keterangan identitas setiap orang yang patut diduga telah dan sedang melakukan pelanggaran.
6. Menghentikan kegiatan yang patut diduga melanggar peraturan Perundang-undangan.
7. Dalam proses pembinaan, Muhtasib berwenang meminta bantuan kepada Keuchik dan Tuha Peut setempat.
8. Muhtasib dalam menjalankan tugas pembinaan terhadap seseorang yang diduga melakukan pelanggaran diberi kesampatan maksimal 3 kali dalam masa tertentu.
9. Setiap orang yang pernah mendapat pembinaan petugas Muhtasib, tetapi masih melanggar diajukan kepada penyidik.
Dari uraian di atas terlihat bahwa berdasarkan Keputusan Gubernur, petugas atau Pejabat Wilayatul Hisbah mempunyai kewenangan untuk :
1. Masuk ke tempat tertentu yang diduga menjadi tempat terjadinya maksiat atau pelanggaran syari’at Islam.
2. Mencegah orang-orang tertentu untuk melakukan perbuatan tertentu, melarang mereka masuk ketempat tertentu, atau melarangmereka keluar dari tempat tertentu.
3. Meminta dan mencatat identitas orang-orang tertentu dan 4. Mengambil foto sekiranya diperlukan
5. Menghubungi polisi atau geuchik (tuha peut) gampong tertentu guna menyampaikan laporan atau memohon bantuan dalam upaya melakukan pembinaan atau menghentikan perbuatan (kegiatan) yang diduga merupakan pelanggaran atas qanun dibidang syariat Islam.