• Tidak ada hasil yang ditemukan

HERMENEUTIKA AL-QUR AN HASAN HANAFI ( Dari Teks ke Aksi; Merekomendasikan Tafsir Tematik / Maudlui )

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HERMENEUTIKA AL-QUR AN HASAN HANAFI ( Dari Teks ke Aksi; Merekomendasikan Tafsir Tematik / Maudlui )"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

HERMENEUTIKA AL-

QUR’AN

HASAN HANAFI

( Dari Teks ke Aksi; Merekomendasikan Tafsir Tematik / Maudlui )

Oleh. Muhammad Aji Nugroho

A. Pendahuluan

Al-Quran memerintahkan manusia untuk mempelajari dan memahaminya, melalui pentunjuk-petunjuknya yang tersurat maupun tersirat.1 Interpretasi dan kesadaran manusia untuk merealisasikan pemahamannya akan teks dalam kehidupan konkrit yang menyebabkan sebuah kitab suci menjadi agung dan bermakna, sebagai petunjuk sekaligus pedoman hidup yang tertuang dalam bentuk ajaran akidah, akhlak, hukum, falsafah, siyasah dan ibadah.2 Oleh karena itu, ayat al-Qur’an

tidaklah memadai bila seseorang hanya mampu membaca dan melantunkan dengan baik, tetapi lebih pada kemampuan memahami dan mengungkap isi serta mengetahui prinsip-prinsip yang dikandungnya. Sebagai bentuk realisasi upaya memahami makna teks agar bisa diaplikasikan dalam kehidupan telah melahirkan banyak pendekatan dan metodologi, seperti tahlili, maudlû`i, muqâran, dan berkembang sesuai dengan perkembangan metodologi serta pendekatan kontemporer, salah satu diantaranya adalah hermeneutika yang telah mengilhami para sarjana muslim kontemporer untuk membuka wacana baru, seperti Arkoun, Hasan Hanafi, Farid Esack dan Nasr Hamid Abu Zaid, dalam melakukan interpretasi.

Sebagai sebuah metodologi penafsiran, hermeneutika terdiri atas tiga bentuk atau model, yaitu; Pertama, hermeneutika objektif yang dikembangkan tokoh-tokoh klasik, khususnya Friedrick Schleiermacher (1768-1834), Wilhelm Dilthey (1833-1911) dan Emilio Betti (1890-1968).3Menurut model pertama ini, penafsiran berarti memahami teks sebagaimana yang dipahami pengarangnya, sebab apa yang disebut teks, menurut Schleiermacher, adalah ungkapan jiwa pengarangnya, sehingga seperti juga disebutkan dalam hukum Betti, apa yang disebut makna atau tafsiran atasnya tidak didasarkan atas kesimpulan kita melainkan diturunkan dan bersifat instruktif.4 Penafsir harus keluar dari tradisinya sendiri untuk kemudian masuk kedalam tradisi

1Qs. Shaad 38:29, dan QS. Ibrahim 14:1.

2Yunan Yusuf, Karakteristik Tafsir Al-Qur’an di Indonesia Abad ke-20, dalam Jurnal Ulumul

Qur’an, no. 4 (Jakarta: Aksara Buana, 1992), hlm. 50.

3Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas,terj. Ahsin Muhammad, (Bandung; Pustaka, 1985),

hlm. 9-10. Rahman memasukkan juga Emilio Betti dalam tradisi hermeneutika objektif ini.

4Josef Bleicher, Contemporary Hermeneutics, (London; Routlege & Kegan Paul, 1980), hlm.

29. Baca juga, Nasr Hamid Abu Zaid, Isykâliyât al-Ta`wîl wa Aliyât al-Qirâ’ah, (Kairo; Markaz al-Tsaqafi, tt), hlm. 11, Baca juga, Sumaryono, Hermeneutik, (Yogya, Kanisius, 1996), hlm. 31.

(2)

dimana si penulis teks tersebut hidup, atau paling tidak membayangkan seolah dirinya hadir pada zaman itu. Sedemikian, sehingga dengan masuk pada tradisi pengarang, memahami dan menghayati budaya yang melingkupinya, penafsir akan mendapatkan makna yang objektif sebagaimana yang dimaksudkan si pengarang.5

Kedua, hermeneutika subjektif yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh modern khususnya Hans-Georg Gadamer (1900-2002) dan Jacques Derida (l. 1930).6 Menurut model kedua ini, hermeneutika bukan usaha menemukan makna objektif yang dimaksud si penulis seperti yang diasumsikan model hermeneutika objektif melainkan memahami apa yang tertera dalam teks itu sendiri.7 Stressing mereka adalah isi teks itu sendiri secara mandiri bukan pada ide awal si penulis. Inilah perbedaan mendasar antara hermeneutika objektif dan subjektif. Dalam pandangan hermeneutika subjektif, teks bersifat terbuka dan dapat diinterpretasikan oleh siapapun, sebab begitu sebuah teks dipublikasikan dan dilepas, ia telah menjadi berdiri sendiri dan tidak lagi berkaitan dengan si penulis. Karena itu, sebuah teks tidak harus dipahami berdasarkan ide si pengarang melainkan berdasarkan materi yang tertera dalam teks itu sendiri. Seseorang harus menafsirkan teks berdasarkan apa yang dimiliki saat ini (vorhabe), apa yang dilihat (vorsicht) dan apa yang akan diperoleh kemudian (vorgriff).8 Dalam konteks keagamaan, teori hermeneutika subjektif ini berarti akan merekomendasikan bahwa teks-teks al-Qur`an harus ditafsirkan sesuai dengan konteks dan kebutuhan kekinian, lepas dari bagaimana realitas historis dan asbâl al-nuzûl-nya dimasa lalu.

Ketiga, hermeneutika pembebasan yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh muslim kontemporer khususnya Hasan Hanafi (l. 1935) dan Farid Esack (l. 1959).9 Hermeneutika tidak hanya berarti ilmu interpretasi atau metode pemahaman tetapi lebih dari itu adalah aksi.10 Menurut Hanafi, dalam kaitannya dengan al-Qur`an, hermeneutika adalah ilmu tentang proses wahyu dari huruf sampai kenyataan, dari logos sampai praksis, dan juga tranformasi wahyu dari pikiran Tuhan kepada realitas kehidupan manusia. Hermeneutika sebagai sebuah proses pemahaman hanya

5K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX, I, (Jakarta; Gramedia, 1981), hlm. 230. 6Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas, hlm. 13.

7

K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX, I, hlm. 225.

8Ibid., hlm. 232.

9Nur Ikhwan, “Al-Qur`an Sebagai Teks Hermeneutika Abu Zaid” dalam Abd Mustaqim (ed),

Studi Al-Qur`an Kontemporer, (Yogya; Tiara Wacana, 2002), hlm. 163.

10Hasan Hanafi, Liberalisasi, Revolusi, Hermeneutik, terj. Jajat Firdaus, (Yogya; Prisma,

(3)

menduduki tahap kedua dari keseluruhan proses hermeneutika.11 Hermenutika pembebasan inilah yang menjadi fokus kajian lebih lanjut dalam makalah ini.

B. Pembahasan

1. Biografi dan Karya Hasan Hanafi

Nama lengkap Hasan Hanafi ialah Hassan Hanafi Hassanaein, lahir di Kairo tanggal 13 Februari 1935. Karir pendidikan dimulai dari Sekolah Menegah

Khalil Agha” dan menyelesaikan di tahun 1952, kemudian Hasan Hanafi meraih gelar sarjana muda filsafat di Universitas Kairo pada tahun 1956, kemudian melanjutkan pendidikannya ke jenjang lebih tinggi (magister dan doktor) di Universitas Sorbonne Prancis.12 Di Prancis ini, Hanafi merasakan sangat berarti bagi perkembangan pemikirannya, karena ia dilatih untuk berfikir secara metodologis, baik melalui bangku kuliah ataupun karya-karya orientalis.13 Pada tahun 1966 Hasan Hanafi berhasil menyelesaikan progam Magister dan Doktornya di Universitas Sorbonne dengan mengajukan tesis yang berjudul; Les Methodes d’Exegese, essai sur La science des Fondamen de la Comprehension,

ilm Usul al-Fiqh (Metodologi Penafsiran: Sebuah Upaya Rekonstruksi Ilmu

Ushul Fiqh), kemudian pada universitas yang sama Hasan Hanafi memperoleh gelar Doktoralnya dengan mengajukan desertasi dengan judul. L’Exegese de la Phenomenologie, L’etat actual de la metode phenomenologique et son

application au phenomene religiux (Tafsir Fenomenologis: Status Quo Metode

Fenomenologi dan Aplikasinya dalam Fenomena Keagamaan), keduanya merupakan upaya Hasan Hanafi untuk menghadapkan ilmu Ushul Fiqh (teori hukum Islam) pada mazhab filsafat fenomenologi Edmund Husserl.14

Pada tahun 1988 Hasan Hanafi diserahi jabatan Ketua Jurusan Filsafat di

11Hasan Hanafi, Dialog Agama dan Revolusi, (Jakarta, Pustaka Firdaus, 1994), hlm. 1. 12

Perancis dikenal sebagai tempat lahirnya aliran-aliran filsafat, seperti Rasionalisme Rene Descartes (1596-1650), Positivisme Augus Comte (1798-1897), Dekonstruksionisme Derida (1930). Disamping itu, universitas Sorbonne dikenal sebagai universitas yang maju, terbukti dengan lahirnya pembaharu Islam alumni universitas tersebut, yaitu Taha Husain dan Qosim Amin., Jhon L. Esposito, The Oxford Encyclopedia Of Modern Islamic World, Vol. 3, (New York: Oxford University Press, 1995), hlm. 98.

13Hasan Hanafi mengatakan, selama belajar di Perancis ia mendalami berbagai disiplin ilmu,

diantaranya belajar metode berfikir, pembaharuan dan sejarah filsafat Jean Gitton seorang reformis katolik, belajar fenomenologi dari Paul Ricoeur dan mengenai analisa kesadaran dari Husserl. Pada bidang pembaharuan belajar pada L. Massignon yang juga sekaligus pembimbing dalam menulis disertasinya tentang pembaharuan Ushul Fiqh, baca lebih lanjut dalam Hasan Hanafi, al-Din wa al Tsaurah fi Mishr 1952-1981, vol.VII (Kairo; Maktabah Madbuli, t.th), hlm. 332.

14Abdurahman Wahid,“Hasan Hanafi dan Eksperimennya”, dalam Kazuo Shimogaki, Kiri

(4)

Universitas Kairo.15 Selain itu Hanafi aktif memberikan kuliah di negara lain seperti Prancis (1969), Belgia (1970), Temple University Philadelphia Amerika Serikat (1971-1975), Universitas Kuwait (1979), Universitas Fez Maroko (1982-1985), di Persatuan Emirat Arab ((1982-1985), kemudian diangkat menjadi penasehat progam pada Universitas PBB di Jepang (1985-1987).16

Adapun tulisan dan karya Hasan Hanafi dapat dibagi menjadi tiga periode.

Pertama, tahun 60-an. Kedua, tahun 70-an. Ketiga, tahun 80-90 an. Pada periode

pertama tahun 60an karyanya tertuang dalam tesis dan disertasinya, yang bertujuan untukmengintegrasikan antara warisan masa lalu dengan kenyataan masa sekarang. Upaya-upaya yang dilakukan dapat terlihat dalam buku

Muqaddimah fi ‘Ilm al-Istiqhrab, seperti tersimpulkan sebagai berikut; 1)

metode interpretasi sebagai pembaharuan dalam bidang Ushul Fiqh, 2) Fenomenologi sebagai metode untuk memahami realitas agama, 3) menyesuaikan dengan situasi dan kondisi serta menyederhanakan ilmu ushul fiqh sesuai dengan realitas, 4) keharusan agama berdasarkan realitas kontemporer, 5) bagaimana memahami serta menjelaskan teks-teks masa lalu.17

Sedangkan karya dalam periode kedua tahun 70-an, salah satu tujuan tujuan dari tulisan-tulisan periode ini adalah mencari penyebab kekalahan umat Islam ketika perang melawan Israel tahun 1967, maka pada tahun 1976 menulis Qadlaya Mu’ashirah fi Fikrina al-Mu’ashir; dalam buku ia menggambarkan bagaimana iman seorang pemikir menganalisa realitas dan berusaha merevitalisasi khazanah klasik Islam. Hasan Hanafi mengatakan seorang ilmuan tidak hanya harus duduk, asyik berfikir tetapi juga harus berfikir dan memberikan jalan keluar bagi rakyat yang sedang mengalami kesulitan.18 Kemudian pada tahun 1977, Hasan Hanafi menulis Qadlaya Mu’ashirah fi

Fikrina al-Gharbi. Dalam buku ini Hasan Hanafi memperkenalkan beberapa

pemikir Barat, seperti Spinoza, Kant, Hegel, Max Weber dan Herbert Marcuse, fungsi dari buku ini, supaya pembaca memahami dan dapat mengambil metode

15Jhon L. Esposito, The Oxford Encyclopedia Of Modern Islamic World, hlm. 98.

16Keberangkatan ke Amerika Serikat sebagai dosen tamu itu, sebenarnya dikarenakan

perselisihannya dengan Anwar Sadat yang memaksanya untuk meninggalkan Mesir, pada tahun 1981 Anwar Sadat memasukkannya ke penjara terkait dengan pemikirannya dalam jurnal al-Yasar al-Islami, sementara di Maroko ia diminta untuk merancang berdirinya Universitas Fez, baca selengkapnya dalam Jhon L. Esposito, The Oxford Encyclopedia Of Modern Islamic World, hlm. 98.

17Hasan Hanafi,Muqaddimah fi ‘Ilm al-Istighrab Mauqifuna min Turats al-Gharbi, (Kairo:

Dar al-Fannani, 1992), hlm. 12.

18

(5)

bagaimana tokoh-tokoh diatas dalam memahami persoalan masyarakat kemudian bagaimana mereka mengadakan reformasi.19

Adapun karya pada periode ketiga, tahun 80-an dan awal 90 an, diantaranya

adalah; 1). Ad-Din wa al-Tsaurah fi Mishri 1952-1981, tema buku ini secara keseluruhan membicarakan gerakan-gerakan keagamaan kontemporer dan integritas umat, dan menjelaskan salah satu penyebab konflik berkepanjangan di Mesir adalah tarik menarik antara ideologi Islam dengan Barat.20 2). Dirasat

Islamiyah tahun 1981, yang memuat tentang metode studi keIslaman melalui

Ushul fiqh, Ushuluddin, Filsafat dan bagaimana pembaharuannya.21 3).

At-Turats wa al-Tajdid, buku ini berisi tentang tradisi dan pembaharuan, yang

mendiskusikan sikap yang dibutuhkan umat Islam terhadap tradisi dan Khazanah Barat untuk menjaga supaya tidak teralienasi.22 4). Min Aqidah Ila

al-Tsaurah, tahun 1988, buku ini adalah buah karyanya yang besar dan paling

penting. Isi buku ini adalah bagaimana cara merekonstruksi ilmu kalam dan penjelasan seluruh karya dan aliran ilmu kalam dari aspek isi, metodologi, latarbelakang dan perkembangannya sampai abad 20.23 5) Muqaddimah fi ‘Ilmi

al-Istiqhrab, tahun 1992. Buku ini berisi tentang sikap Hanafi terhadap tradisi

peradaban Barat.24 6) Islam in the Modern World, Tahun 2000, yang terdiri dua bagian; Pertama: Religion, Ideology and Development. Kedua: Tradition,

Revolution and Culture. Buku ini berisi kumpulan artikel yang disampekan pada

seminar-seminar di Amerika, Prancis, Jepang, Indonesia dan Negara timur tengah lainnya. Buku ini hendak mengidiologikan agama dan meletakkan posisi agama serta fungsinya dalam pembangunan di negara dunia ketiga.25

2. Pemikiran Hermeneutika Hasan Hanafi

Pemikiran hermeneutika Hasan Hanafi pertama kali dikemukakan, ketika dia menulis tesis dan desertasinya, dan pemikiran hermeneutika itu

19Hasan Hanafi,Qadlaya Mu’ashirah fi Fikrina al-Gharbi, (Beirut: Dar al-Tanwir, 1990). 20Hasan Hanafi, ad-Din wa al Tsaurah fi Mishr 1952-1981, Vol. I-VII, (Kairo: Maktabah

Madbulli, 1989), buku ini memberikan bukti-bukti munculkan tragedi politik, radikalisme agam islam.

21

Hasan Hanafi, Dirasat Islamiyah, Cet. II, (Kairo: Maktabah Anjilo, 1982). Dalam buku ini, Hasan Hanafi menggunakan metode fenomenologi dan Hermeneutika, dia menjelaskan obyek studi melalui perspektif kesejarahan secara kritis dan melihat sebagaimana adanya.

22Hasan Hanafi, At-Turats wa at-Tajdid Maufiquna min Turats Qadim, (Beirut:

al-Muassasah al-Jamiiyah, 1992).

23Hasan Hanafi, Min al-Aqidah Ila al-Tsaurah, (Kairo: Maktabah Madbuli, 1988).

24Hasan Hanafi,Muqaddimah fi ‘Ilmi al-Istighrab Maufiquna Min Turats al-Gharbi, (Kairo:

Dar al-Fannani, 1992).

25Hasan Hanafi, Islam in The Modern World, 2 Volume, Vol-I, Religion, Ideology and

(6)

terpublikasikan lewat karyanya yang dipublikasikan dalam Religius Dialogue

and Revolution.26 Pembahasan hermeneutika dapat juga ditemui dalam buku

Dirasat Islamiyyah bab Ushul Fiqh dan dalam buku Dirasat Falsafiyyah27

terumata dalam pembahasan “Qira’ah al-Nash”. Dalam desertasinya Hasan Hanafi sengaja menggunakan pendekatan Hermeneutika dalam memahami fenomenologi dan perubahannya menjadi fenomenologi aplikatif serta mengevaluasi penerapannya pada fenomena keberagamaan.28 Kemudian membahas aplikasi metode fenomenologi dalam fenomena tafsir dalam karyanya yang berjudul ‘La Phenomenologie de L’Exegese, esay d’une hermeneutique existentielle a partir du Nueveau Testament’ (Fenomenologi Penafsiran: Risalah Penafsiran Eksistensialisme terhadap Perjanjian Baru) pada tahun 1965-1966. Sebuah upaya dalam tafsir Eksistensialis, kasus kitab Perjanjian Baru sebagai upaya dialog antar agama dan peradaban.29 Ia mengkaji teks-teks Kitab perjanjian baru dengan pendekatan Ushul Fiqh sambil menjadikan komentar-komentar al-Qur’an atas injil sebagai sesuatu yang telah diselewengkan, diubah

dan diganti sebagai hipotesis ilmiah yang masih membutuhkan pembuktian validitasnya dalam sejarah.30

Concern Hasan Hanafi kepada agenda hermeneutika Alquran yang

dibangun atas dua agenda: persoalan metodis atau teori penafsiran dan persoalan filosofis atau matateori penafsiran. Secara metodis, Hanafi menggariskan beberapa langkah baru dalam memahami Alquran dengan tumpuan utama pada dimensi liberasi dan emansipatoris Alquran. Sementara untuk agenda filosofis, Hanafi telah bertindak sebagai komentator, kritikus, bahkan dekonstruktor terhadap teori lama yang dianggap sebagai kebenaran dalam metodologi penafsiran Alquran. Dalam membangun hermeneutika ala Hasan Hanafi, ia 26Buku ini terdiri dari dua bagian yaitu ‘Dialog dan Revolusi’. Pada bagian pertama Hasan

Hanafi diantaranya membahas ‘Hermeneutika sebagai Aksiomatika: sebuah kasus Islam berkaitan

dengan metodologi penafsiran dan aplikasi metode penafsirannya, seperti; Pandangan Al-Qur’an

terhadap kitab-kitab suci, dan Status wanita menurut Al-Qur’an dan Ajaran Yahudi. Bagian kedua, termuat dua bagian. Pertama,dimulai dengan ‘Teologi tentang Tanah’&‘Agama sebagai Perlawanan terhadap Zionisme’. Kedua, “Agama dan Revolusi”, Meskipun terjadi perkembangan krusial tentang perubahan Hasan Hanafi dengan apa yang disebut kesadaran individu (al-Wa’yu al-Fard) pada dekade 1960-1970 kepada dominannya kesadaran kolektif (al-Wa’yu al-Ijtimai) sejak dekade 1980.

27Dalam buku ini Hasan Hanafi membagi dalam dua pembahasan. Pertama, Fi Fikrina

al-Mu’ashir (pemikiran-pemikiran Islam Kontemporer) dan bagian Kedua Fi Fikrina Gharb

al-Mu’ashir(pemikiran barat kontemporer). Dibagian ini ada pembahasan“Qiraah al-Nash”, Lihat lebih lanjut dalam Hasan Hanafi, Dirasat Falsafiyyah, (Kairo: Anjilu Al-Misriyah, 1987), hlm. 523-549.

28Hasan Hanafi, al-Din wa Tsaurah fi Mishr 1952-1981, vol.6, hlm.233. 29Ibid., hlm. 234.

30

(7)

menggunakan beberapa piranti besar, yaitu ushul fiqh, fenomenologi, marxis, dan hermeneutika itu sendiri. Dengan menggunakan empat ingridients tersebut, Hasan Hanafi membangun sebuah teori hermeneutika yang mampu mewadahi gagasan pembebasan dalam Islam; tafsir revolusioner yang mumpuni menjadi landasan normatif-ideologis bagi umat Islam untuk menghadapi segala bentuk represi, eksploitasi, dan ketidakadilan, baik dari dalam maupun luar. Hasan Hanafi mengusung hermeneutika yang lebih bersifat praksis dan mampu menyelesaikan permasalahan-permasalahan kronis umat saat ini.31

Hasan Hanafi menggunakan diskursus ushul fiqh seumpama ketika ia menekankan makna tafsir yang mendunia, praktis, dan menyentuh permasalahan langsung yang dialami masyarakat dengan menjelaskan sebuah tanggung jawab tafsir, yaitu mengungkapkan eksistensi manusia—tidak melulu eksistensi teologis mengenai Tuhan—baik secara individu maupun sosial, dengan menjelaskan berbagai situasinya dalam kaitannya dengan orang lain dan alam. Hal ini sangat penting, menurut Hanafi, karena tujuan dari aspek dogmatis dalam Islam itu sendiri adalah untuk mengungkapkan keberadaan dan posisi manusia di alam dengan lima macam dharuriat: agama, jiwa, akal, harga diri, dan harta, atau yang populer dengan sebutan maqasid al-syari’ah.32

a. Hermeneutika sebagai Aksiomatika

Menurut Hasan Hanafi, Hermeneutika sebagai aksiomatika berarti deskripsi proses hermeneutika sebagai ilmu pengetahuan yang rasional, formal, obyektif, dan universal, yaitu dengan membangun sebuah metode yang bersifat rasional, obyektif dan universal dalam memahami teks-teks Islam.33 Dengan demikian, hermenutika harus dapat memainkan peranan yang sama dengan “teori keseluruhan” dan “teori penjumplahan” dalam matematika, hal ini dikarenakan sebagaimana aksiomatika hermeneutika harus meletakkan semua aksiomanya dimuka dan mencoba lebih dahulu menyelesaikan masalah hermeneutika tanpa mengacu pada data relevata khusus.34 Sehubungan dengan kitab suci, hermeneutika akan menjadi semacam mathesis universal. Aksiomatisasi hermeneutika menurutnya, 31

Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan: Metodologi Tafsir Alquran Menurut Hasan Hanafi (Jakarta: Teraju, 2002), hlm. 8-9.

32Hasan Hanafi, “Qadhaya Mu’ashirahterj. Yudian Wahyudi” dalam Yudian Wahyudi (ed.),

Hermeneutika Al-Quran Dr. Hasan Hanafi? (Yogyakarta: Nawesea Press, 2009), hlm. 8-18.

33Hasan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 2. 34

(8)

tidak membutuhkan perumusan matematis pada ilmu-ilmu tentang manusia, ia hanya perlu menyusun semua masalah yang dikemukakan oleh sebuah kitab suci dan mencoba menyelesaikannya dimuka “in principil” terkahir meletakkan masalah dengan penyelesaian secara bersama-sama dalam bentuk aksiomatis.35 Hal ini bertujuan untuk menciptakan sebuah disiplin penafsiran yang obyektif, rigorus (tepat, akurat) dan universal.

Hasan Hanafi bermaksud, supaya kajian tafsir terhadap Al-Quran bisa menyentuh masyarakat secara luas dan empiris dengan segala permasalahan yang dialami, tidak hanya berada sebatas pada aspek teoritis semata. Artinya, tampak bahwa Hanafi memberikan porsi yang berlebih pada salah satu aspek dari ketiga aspek triadik, yaitu aspek pembaca (reader).36 Ia memberikan stressing pada pentingnya ideologi dan kepentingan untuk dibawa ke dalam proses penafsiran. Hal ini dikarenakan penafsir dalam membaca sebuah teks akan selalu terbawa pra-pemahaman, horizon, wawasan, dan pengaruh-pengaruh intern yang ia miliki. Oleh sebab itu, seorang penafsir (reader) harus melindungi dirinya dari khayalan-khayalan arbitrer dan kebiasaan-kebiasaan pemikiran untuk kemudian mengarahkan pemahaman teks kepada khayalan dan pemikiran itu. Secara sederhana, seorang penafsir, dalam menafsirkan harus mengenal siapa dia. Hasan Hanafi berharap dapat mengeleminasi ke sewenang-wenangan penafsir terhadap teks al-Qur’an. Karena baginya, hermeneutika mengajarkan metode yang bersifat normatif dan bukanlah seni yang bergantung sepenuhnya pada kepandaian pribadi dalam menafsirkannya.37

Sejalan dengan kepentingan fenomenologi yang dirintis Edmund Hurssel, sebagai disiplin sebuah pendekatan yang apodiktis, yang tidak menginginkan keragu-raguan apapun.38 Hasan Hanafi meletakkan kritik sejarah dalam mengkaji teks-teks kitab suci sebagai masalah teoritis yang krusial. Sebab kritik sejarah berfungsi menjamin keaslian firman Tuhan yang disampaikan kepada Nabi dalam sejarah, baik melalui medium lisan

35

Ibid.,

36Metodologi dasar hermeneutika dalam aplikasinya dikenal dengan segitiga triadik.

Hubungan triadik ini menggambarkan tiga variabel pemahaman manusia yang terdiri dari unsur pencipta teks (author), teks itu sendiri, dan pembaca/penafsir (audiens/reader).

37Hasan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution., hlm. 2. 38

(9)

maupun tertulis.39 Sementara dalam proses interpretasi, menurut Hasan Hanafi, penafsiran harus beranjak dari pemikiran yang kosong, seperti tabula rasa, dimana tidak boleh ada yang lain selain analisis linguistik.40 Ia sengaja menekankan ini sebagai anti tesis terhadap raibnya penafsiran

al-Qur’an yang otoritatif, yang didasarkan pada prinsip-prinsip yang memiliki tujuan ilmiah tertentu, sebab menurutnya kebanyakan tafsir al-Qur’an

tradisional terjebak dalam penjelasan tautologis dan repetitif tentang tema-tema yang sama sekali tidak relevan.41

Menurut Hasan Hanafi jika teks bertentangan dengan mashlahat maka mashlahat-lah yang harus didahulukan, karena teks itu hanya sekedar wasilah, sarana dan alat. Sedangkan mashlahat adalah alasan, tujuan, dan kepentingan yang harus diutamakan.42 Hubungan interpretasi dan realitas memang bagi Hasan Hanafi demikian signifikan dalam hermeneutika

al-Qur’an, meskipun tidak pada hermeneutika sebagai aksioma. Hassan Hanafi selalu mengaitkan hermeneutika pada “praktis”, hal ini tidak lepas dari

kuatnya pengaruh Marxisme dalam pikirannya, yang menjadikannya sebagai pisau analisis yang tajam tentang masyarakat dan realitas, seperti dapat melihat kesejajaran antara teks dan realitas. Jika teks memiliki struktur ganda; kaya-miskin, penindasan-tertindas, kekuasaan-oposisi, demikian pula halnya dengan sifat dasar teks.43 Sehingga struktur teks yang

bersifat ganda tersebut kemudian melahirkan hermeneutika “progresif” dan “konservatif” yang berangkat dari teks, mendasarkan diri pada makna literal dan makna otonom, dan aturan yang didasarkan pada realitas pengandaian.44 Melaui Marxisme, Hasan Hanafi mengajak penafsir berangkat dari realitas dan menuju pada praktis, sebagai hermeneutika terapan. Ia

mengklaim jika hermeneutika semacam ini berjalan dengan “fenomenologi

39Hasan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution., hlm. 14.

40Menurut Hasan Hanafi, analisis linguistik terhadap kitab suci inipun bukanlah analisis yang

baik, tetapi merupakan alat sederhana yang akan membawa kepada pemahaman terhadap makna kitab suci, seperti Fonologi adalah cabang ilmu bahasa yang mengawasi pembacaan teks, tetapi masih berada dibawah bidang makna, sedangkan Morfologi, Leksikologi dan sintaksis memperkenalkan langsung kepada masalah makna, lihat Hasan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution., hlm. 14.

41Hasan Hanafi, Qadlaya Muashirah, Vol-2, (Beirut: Dar al-Tanwir, 1983), hlm.176. 42

Menurut Hasan Hanafi, tidak ada perbedaan antara wahyu dan mashlahat, apabila kitab,

sunnah, dan ijma’ bertentnagan dengan mashlahat maka mashlahat harus didahulukan dengan cara takhsish, karena mashlahat merupakan dasar semuanya, lihat lebih lanjut., Hasan Hanafi, Min al-Nash ila al-Waqi’, Juz 2, (Beirut: Dar al-Midar al-Islami, 2005), hlm.573.

43Hasan Hanafi, Islam in The Modern world. Vol-2, (Kairo: Dar Kebaa, 2000), hlm. 206-2013. 44

(10)

dinamis”. Menurutnya dengan hermeneutika terapan dapat menciptakan perubahan, mentransformasikan penafsiran dari sekedar mendukung dogma (agama) menuju kepada gerakan revolusi (massa) dan dari tradisi ke modernisasi, inilah metode transformasi yang kemudian disebut sebagai tindakan“regresif-progesif”.45

b. Teori dan Teknis Hermeneutika Al-Qur’an

Hermeneutika bagi Hasan Hanafi tidak hanya memperbincangkan tentang teknis penafsiran sebagaimana hermenutika metodis, dan hakikat peristiwa penafsiran dalam hermeneutika filosofis, akan tetapi juga memperbincangkan dimensi sejarah teks dan kepentingan praktis dalam kehidupan. Karena menurut Hasan Hanafi, prasyarat pemahaman yang baik terhadap suatu teks kitab suci adalah terlebih dahulu membuktikan keasliannya melalui kritik sejarah. Setelah memperoleh keaslian teks barulah hermeneutika dalam pengertian ilmu pemahaman baru dapat dimulai. Menurutnya, pada titik ini hermeneutika berfungsi sebagai ilmu yang berkenaan dengan bahasa dan keadaan-keadaan sejarah yang melahirkan teks. Setelah mengetahui makna yang tepat dari sebuah teks, segera diikuti dengan proses menyadari teks ini dalam kehidupan manusia. Sebab pada dasarnya tujuan akhir sebuah teks wahyu adalah bagi transformasi kehidupan manusia itu sendiri.46

Dalam bahasa fenomenologis, dapat dikatakan bahwa hermeneutika adalah ilmu yang menentukan hubungan antara kesadaran dan objeknya, yakni kitab-kitab suci.47 Hal ini didapat dari tiga fase analisis yang menjadi langkah operasional hermeneutika tersebut, yaitu; Pertama, kita memiliki kesadaran historis yang menentukan keaslian teks dan tingkat kepastiannya.

Kedua, kita memiliki kesadaran eidetik yang menjelaskan makna teks dan

menjadikannya rasional. Ketiga, kesadaran praktis yang menggunakan makna tersebut sebagai dasar teoritis bagi tindakan dan mengantarkan wahyu pada tujuan akhirnya dalam kehidupan manusia dan di dunia ini sebagai struktur ideal yang mewujudkan kesempurnaan dunia.

45

Metode regresif-progesif dijelaskan Hasan Hanafi bahwa menafsirkan berarti melakukan gerak ganda; dari teks menuju realitas dan dari realitas menuju teks. Pada bagaian pertama diterapkan prinsip-prinsip ampibologis bahasa, sementara bagian kedua digunakan prinsip melalui sensivitas semangat zaman. Baca lebih lanjut dalam, Hasan Hanafi, Islam in The Modern World, hlm. 211.

46Hasan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution., hlm. 1-2. 47

(11)

Dengan tiga fase analisis ini, Hasan Hanafi mengharapkan hermeneutika al-Qur’an dapat bersifat teoritik sekaligus praktis. Penafsiran praktis

berfungsi sebagai analisis filologi murni terhadap, teks yang tidak akan memperbincangkan masalah-masalah prinsipil dalam penafsiran. Sementara dalam itu hermeneutika filosofis, menurutnya sebuah istilah yang digunakan untuk menunjukkan masalah yang terfokus pada problem pembacaan, yang menyerap teks kedalam perbincangannya sendiri. Jika penafsiran praktis bersifat ekstrovert, maka hermeneutika filososfis bersifat introvert.48 Adapun penjelasan dari tiga fase analisis diatas, sebagai berikut;

1) Kritik Historis

Fungsi kritik historis dalam hermeneutika adalah untuk memastikan keaslian teks yang disampaikan Nabi dalam sejarah. Artinya, perhatian Hermeneutik terletak pada dimensi horizontal wahyu yang sifanya historis, dan bukan pada dimensi vertikalnya yang metafisis. Oleh Karena keaslian teks suci hanya bisa dijamin oleh kritik historis, maka kritik historis harus didasarkan aturan objektivitasnya sendiri yang bebas dari intervensi teologis, filosofis, mistis, atau bahkan fenomenologis.49

Untuk menjamin keaslian sebuah teks suci, mengikuti prinsip-prinsip kritik sejarah, Hanafi mematok aturan-aturan sebagai berikut; (1) teks

tersebut tidak ditulis setelah melewati masa pengalihan secara lisan tetapi harus ditulis pada saat pengucapannya, dan ditulis secara in verbatim (persis sama dengan kata-kata yang diucapkan pertama kali). Karena itu, narator harus orang yang hidup pada zaman yang sama dengan saat dituliskannya kejadian-kejadian tersebut dalam teks. (2) Adanya keutuhan teks. Semua yang di sampaikan oleh narator atau nabi harus disimpan dalam bentuk tulisan, tanpa ada yang kurang atau berlebih. (3) Nabi atau malaikat yang menyampaikan teks harus bersikap netral, hanya sekedar sebagai alat komunikasi murni dari Tuhan secara in verbatim kepada manusia, tanpa campur tangan sedikitpun dari fihaknya, baik menyangkut bahasa maupun isi gagasan yang ada di dalamnya. Istilah-istilah dan arti yang ada di dalamnya bersifat ketuhanan yang sinomin dengan bahasa manusia. Teks akan in verbatim jika tidak melewati masa 48Ibid., hlm.3.

49

(12)

pengalihan lisan, dan jika nabi hanya sekedar merupakan alat komunikasi. Jika tidak, teks tidak lagi in verbatim, karena banyak kata yang hilang dan berubah, meski makna dan maksudnya tetap dipertahankan. Dengan kata lain hermeneutika tidak berurusan dengan wahyu in verbatim ketika masih dalam pemikiran Tuhan atau sebelum diturunkan kepada Nabi-Nya.50

Jika sebuah teks memenuhi persyaratan sebagaimana diatas, ia dinilai sebagai teks asli dan sempurna. Dengan kaca mata ini, Hanafi menilai bahwa hanya al-Qur`an yang bisa diyakini sebagai teks asli dan sempurna, karena tidak ada teks suci lain yang ditulis secara in verbatim dan utuh seperti al-Qur`an.

2) Kritik Eidetis

Setelah melalui kritik sejarah seorang penafsir dapat melakukan proses interpretasi atau secara teknis, Hasan Hanafi menyebutnya dengan kritik eidetis, demi menentukan keaslian kitab suci. Hasan Hanafi belum menjelaskan pengertian eidetis ini, kecuali mengaitkannya dengan proses interpretasi.51 Disini penulis menerjemahkannya kritik eidetis sebagai proses pemahaman terhadap teks. Hasan Hanafi menjelaskan bahwa fungsi kesadaran eidetis adalah memahami dan menginterpretasi teks setelah validitasnya dikukuhkan oleh kesadaran historis. Kesadaran eidetik juga merupakan bagian terpenting dalam ilmu ushul fiqh karena melalui mediasinya proses pengambilan ketentuan-ketentuan hukum dari dasar-dasarnya agar menjadi lebih sempurna dan komprehensip.52

Dalam proses kritik eidetik (pemahaman teks), Hanafi mempersyaratkan, (1) penafsir harus melepaskan diri dari dogma atau pemahaman-pemahaman yang ada. Tidak boleh ada keyakinan atau bentuk apapun sebelum menganalisa linguistis terhadap teks dan pencarian arti-arti. Seorang penafsir harus memulai pekerjaannya dengan 50Ibid., hlm. 5-7.

51Saenong mengatakan istilah reduksi eidetik adalah penyaringan fenomena dari eksistensinya

dalam kesadaran kepada eidos (hakikat) yang ada dalam fenomena tersebut. Hal ini berbeda dengan istilah reduksi fenomenologi, yang bermakna menunda afirmasi mengenai ada tidaknya suatu fenomena suatu fenomena atau kebenaran. Baca lebih lanjut dalam Saenong, Hermeneutika Pembebasan, hlm. 117.

52Menurut Hasan Hanafi kritik eidetik ini merupakan bagian yang mempresentasikan

kesungguhan dan kemampuan manusia terhadap pemahaman dan interpretasi alegoris, karena di dalam dasar-dasar itu tidak ada tempat masuk bagi manusia. Hasan Hanafi, Dirasat Islamiyah, hlm.78.

(13)

tabula rasa, tidak boleh ada yang lain, kecuali alat-alat untuk analisa

linguistik. (2) Setiap fase dalam teks, mengingat bahwa teks suci turun

secara bertahap dan mengalami “perkembangan”, harus difahami sebagai

suatu keseluruhan yang berdiri sendiri. Masing-masing harus difahami dan dimengerti dalam kesatuanya, keutuhannya dan intisarinya.53

Kritik eidetis menurut Hasan Hanafi, ada tiga level atau tahap analisis, yaitu; Pertama, analisa bahasa, yaitu dengan menggunakan analisis linguistik dan sintaksis, yang mana keduanya merupakan alat sederhana yang membawa kepada pemahaman terhadap makna kitab suci, dan dapat menyingkap prinsip-prinsip makna ganda dalam teks. Makna inilah yang membuat wahyu sesuai dengan yang dimaksud oleh situasi khusus.54Kedua, analisa konteks sejarah. Penafsir harus memusatkan diri

pada latar belakang sejarah yang melahirkan teks, yang melalui dua jenis

situasi; “situasi saat” dimana teks diturunkan dan “situasi sejarah”

penulisan wahyu oleh para penulis wahyu pada masa berikutnya yang telah menjadi inspirasi.55 Ketiga, generalisasi, yaitu mengangkat makna

dari situasi ”saat” dan situasi sejarahnya agar dapat menimbulkan situasi -situasi lain. Hanafi ingin memperoleh makna baru dari penafsiran untuk menyikapi berbagai kasus spesifik dalam kehidupan masyarakat.56 Bagi Hasan Hanafi, asbab al-nuzul menunjukkan bahwa wahyu tidaklah menentukan realitas, tapi wahyu justru diundang oleh realitas aktual itu sendiri. Berdasarkan hal itu, asbab al-nuzul menunjukkan bahwa penafsir haruslah memilih dari wahyu (al-Qur’an) yang relevan untuk

memecahkan permasalahan aktual yang dihadapi. Dengan kata lain, penafsiran adalah melacak kembali peristiwa perwahyuan, dan asbab al-nuzul tidak lain adalah problem dalam realitas kontemporer.

3) Kritik praktis

Bagi Hasan Hanafi kritik praktis merupakan penyempurnaan kalam Tuhan di dunia mengingat tidak ada kebenaran teoritis dari sebuah dogma atau kepercayaan yang datang begitu saja; dogma lebih merupakan suatu gagasan atau motivasi yang ditujukan untuk praktis. 53Hasan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution., hlm. 13.

54Ibid., hlm. 14-17. 55Ibid., hlm. 21. 56

(14)

Hal ini menurutnya, karena wahyu al-Qur’an sebagai dasar dogma

merupakan motivasi bagi tindakan di samping obek pengetahuan.57 Sebuah dogma, kata Hasan Hanafi hanya dapat diakui eksistensinya jika didasari sifat keduniaannya sebagai sebuah sistem ideal, namun dapat terealisasi dalam tindakan manusia. Karena satu-satunya sumber legitimasi dogma adalah pembuktiannya yang bersifat praktis. Menurutnya realisasi wahyu dalam sejarah melalui perbuatan manusia sama dengan realisasi perbuatan ilahiyyah dan dengan sendirinya, merupakan realisasi kekuasaan (khilafah) Tuhan di atas bumi. Prinsip yang sama menjadi dasar penciptaan dan penerapan hukum-hukum Tuhan (al-ahkam al-syar’iyyah) di dunia. Itulah sebabnya mengapa yurisprudensi (‘ilm ushul fiqh) dianggap‘ilmu al-tanzil’, yang dibedakan dari ‘ilm al-ta’wil’ dalam tradisi sufisme. Sebab yang terakhir ini menginginkan gerak dari manusia kepada Tuhan, sementara yurisprudensi menginginkan transformasi Tuhan kembali menuju kehidupan manusia.58

Generalisasi pada tahap eidetis membuka jalan bagi kritik praksis yang menjadi tujuan hermeneutika aksiomatik. Hermeneutik pembebasan al-Qur’an yang memang merupakan cara baca al-Qur’an dengan maksud -maksud praksis menaruh perhatian besar pada transformasi masyarakat. Karena itu, kebenaran teoritis tidak bisa diperoleh dengan argumentasi tertentu melainkan dari kemampuannya untuk menjadi sebuah motivasi bagi tindakan. Maka, pada tahap terakhir dari proses hermeneutika ini, yang penting adalah bagaimana hasil penafsiran ini bisa diaplikasikan dalam kehidupan manusia, bisa memberi motivasi pada kemajuan dan kesempurnan hidup manusia. Tanpa keberhasilan tahap ketiga ini, betapapun hebatnya hasil interpretasi tidak ada maknanya. Sebab, disinilah memang tujuan akhir dari diturunkannya teks suci.59 Dari sini terlihat tentang fungi hermeneutika al-Qur’an bagi Hasan Hanafi sebagai sarana perjuangan melawan bermacam-macam bentuk ketidak-adilan dan eksploitasi dalam masyarakat, yang kemudian dari fungsi ini 57Ibid., hlm. 18.

58Hasan Hanafi, Dirasat Islamiyah, hlm. 102., baja juga Hasan Hanafi, Humum al-Fikr wa al

Wathan, cet. Ke-2, (Kairo: Dar Quba, 1998), hlm. 17-56.

59

(15)

menghasilkan tafsir perseptif (kesadaran); yakni tafsir berdasarkan kesadaran tentang kemanusian, hubungan manusia dengan yang lainnya, tugasnya di dunia, kedudukan dalam sejarah, dan untuk membangun system sosial dan politik.

c. Langkah Metodis Penafsiran Al-Qur’an Hermeneutika Hanafi

Sebagai langkah praktis dari ketiga metode di atas, dan juga sebagai implikasi dari ciri khas tafsir beliau yang praksis, Hassan Hanafi telah merumuskan langkah-langkah interpretasi sebagai berikut:60 1) Komitmen politik sosial. Mufassir memiliki keprihatinan dan kepedulian atas kondisi kontemporernya karena baginya, mufassir adalah revolusioner, reformis, dan aktor sosial. 2) Mencari sesuatu. Mufassir memiliki “keberpihakan”

berupa kesadaran untuk mencari solusi atas berbagai persoalan yang dihadapi. Di sinilah, Hanafi melihat asbab al-nuzul lebih pada realitas sosial masyarakat saat al-Qur’an diturunkan. 3) Sinopsis ayat-ayat yang terkait pada satu tema. Semua ayat yang terkait pada tema tertentu dikumpulkan secara seksama, dibaca, dipahami berkali-kali hingga orientasi umum ayat menjadi nyata. Ia menegaskan bahwa penafsiran tidak berangkat dari ayat sebagaimana tafsir tahlili, tapi dari kosa kata al-Qur’an. 4) Klasifikasi bentuk-bentuk linguistik, meliputi kata kerja dan kata benda, kata kerja-waktu, kata sifat kepemilikan, dan lain-lain. 5) Membangun struktur makna yang tepat sesuai dengan sasaran yang dituju yang berangkat dari makna menuju objek. Keduanya adalah satu kesatuan. Makna adalah objek yang subjektif, sedang objek adalah subjek yang objektif. 6) Analisis situasi faktual. Setelah membangun tema sebagai struktur yang ideal, penafsir beralih pada realitas faktual seperti kemiskinan, HAM, penindasan, dan lain-lain. 7) Membandingkan yang ideal dengan yang riil. Struktur ideal dideduksikan dengan menggunakan analisis isi terhadap teks dengan situasi faktual yang diinduksikan dengan menggunakan statistik dan ilmu-ilmu sosial. Di sini, penafsir berada di antara teks dan realitas. 8) Deskripsi model-model aksi. Sekali ditemukan kesenjangan antara dunia ideal dengan riil, maka aksi sosial menjadi langkah berikutnya. Transformasi dari teks ke tindakan, teori ke praktik, dan pemahaman ke perubahan.

60Ahmad Baedowi,“Tafsir Tematik Menurut Hasan Hanafi” dalam M. Alfatih Suryadilaga,

(16)

3. Dari Teks ke Aksi; Merekomendasikan TafsirTematik (Maudlu’i)

Hermeneutika al-Qur’an tematik merupakan pengembangan tafsir bil-ma’tsur yang ditulis dengan metode tahlili yang masih menyisakan beberapa kelemahan, antara lain: potongan tema yang sama dalam beberapa surat, pengulangan tema yang sama, tidak ada struktur tema yang bersifat rasional maupun riil, tidak adanya ideology yang konheren, tafsir yang volumenya sangat tebal sehingga membuat lelah dalam membacanya, mengaburkan informasi dengan pengetahuan, berita yang dinformasikan terpisah dengan kebutuhan-kebutuhan jiwa dan masyarakat sekarang.61 Hemerneutika al-Qur’an tematik memiliki karakteristik unggul, dintaranya: mendeduksi dan menginduksikan makna, menjadikan mufasir bukan hanya penerima mana melainkan pemberi makna, tidak hanya menganalisis tetapi mensintesiskan dan melakukan penafsiran untuk menemukan sesuatu.62 Skema Dan Ruang Lingkup Hermeneutika Al-Quran Tematik, didasarkan pada tiga lingkaran yang saling berhubungan dengan satu pusat yang sama, yaitu: pertama, pada ada (being, sein) yang merupakan kesadaran individu sebagai inti dari dunia, kedua, mengada dengan yang lain (being with others), yang menunjukkan dunia manusia, dunia sosial dan intersubyektifitas, relasi individu dengan individu yang lain dalam hubungan yang terikat. Dan ketiga, mengada dalam dunia (being in the word, aussein, in-der-welt-sein) yang menunjukkan adanya hubungan kesadaran individu dengan alam, dunia benda-benda.63

Menurut Hassan Hanafi, hemerneutika al-Qur’an tematik memiliki prinsip

dan aturan, adapun prinsipnya sebagai berikut: Wahyu diletakkan diantara tidak diterima dan juga tidak ditolak, al-Qur’an sebagai subjek penafsiran, tidak ada

penafsiran yang benar atau salah, dalam satu teks terdapat lebih dari satu penafsiran dan konflik dari penafsiran adalah konflik sosio-politik bukan konflik secara teori. Sedangkan aturan yang diterapkan hemerneutika al-Qur’an, adalah

komitmen sosio-politik, mencari sesuatu, membuat outline ayat-ayat yang berkaitan dengan tema-tema dasar tertentu, klasifikasi berdasarkan ilmu bahasa, membangun struktur, perbandingan antara idealitas dan realitas dan penjabaran

61Adang Kuswaya, Metode Tafsir Kontemporer; Model Pendekatan Hermeneutika

Sosio-tematik dalam Tafsir Al-Qur’an Hasan Hanafi,(Salatiga; STAIN Salatiga Press, 2011),hlm. 110.

62Hasan Hanafi, Islam in The Modern World, Vol.I, hlm. 487. 63

(17)

dari model dengan melakukan suatu tindakan.64 Adapun contoh aplikasi penafsiran hermeneutika al-Qur’an tematik Hasan Hanafi, sebagai berikut;

1) Penafsiran tentang Konsep Tanah dalam al-Qur’an

Penafsiran Hanafi terkait tanah ini tak lepas dari peristiwa pengambilalihan/pendudukan tanah yang terjadi pada masa pemerintahan Anwar Sadat yang pro-Barat dan berkolaborasi dengan Israel.65 al-Ard

adalah bentuk mufrad/singular yang jamaknya bisa aradh, uruudh, dan

aradhun.66 Secara etimologis, al-ardh berarti sesuatu yang manusia berada di atasnya. Kata ini disebutkan dalam al-Qur’an sebanyak 462 kali, 454 kali

sebagai kata benda yang berdiri sendiri dan 8 kali dihubungkan dengan kata

ganti kepunyaan, yang mengindikasikan bahwa tanah bukanlah ”objek

kepemilikan”. Tanah ada dalam kategori ’ada’ (makhluk), bukankepunyaan (being not having). Hanya sekali kata al-ardh dihubungkan kepada orang pertama. Ia digunakan dalam hubungan Tuhan, yang berarti bahwa Tuhan adalah satu-satunya pemilik tanah.67

Kata al-ardh memiliki beberapa orientasi makna. (1) Tuhan adalah satu-satunya pemilik tanah dan ahli waris tanah. Di sini, al-ardh berarti bumi, seluruh tanah. Jadi, tak ada seorang pun yang bisa menuntut bahwa tanah adalah miliknya.68 (2) al-Ardh sebagai tanah alam yang subur dan indah. Agrikulture (pertanian) adalah gambaran kreativitas dalam kehidupan manusia. Tanah menjadi tempat tinggal seluruh makhluk hidup. Tanah juga merupakan tanah konflik, sebuah medan perang, sebuah tanah imigrasi dan pengasingan, tanah percobaan dan daya tarik. Jadi, al-ardh adalah di mana sejarah manusia bertempat.69 (3) Tanah adalah tempat aksi bagi manusia sebagai khalifah Tuhan di bumi. (4) Alam patuh dan taat pada manusia sebagaimana ia patuh pada dan taat pada Tuhan. Warisan tanah bukanlah penyerahan untuk selamanya. Tanah adalah untuk dilindungi, bukan dirusak atau dikotori. (5) Sebuah perjanjian universal ditawarkan pada setiap 64Ibid., hlm. 497.

65Lihat penafsiran Hanafi terhadap Qs. az-Zukhruf: 84 dalam ”Apa Arti Kiri Islam” dalam

Kazuo Shimogaki, Kiri Islam: Antara Modernisme dan Posmodernisme, Telaah Kritis Pemikran Hassan Hanafi, terj. M. Imam Aziz & M.Jadul Maula (Jogjakarta: LKIS, 2003), hlm.96.

66Ibn Mandzur, Lisan al-Arob, jilid 7 (Beirut: Daar Shodir, t.th), hlm. 112. 67QS. al-Ankabut: 56

68Hasan Hanafi, Islam in The Modern World, vol1, hlm. 506, Penafsiran yang dikaji hanafi

terdapat dalam Qs. 29: 56, 2: 17, 3:109, 5:40, 5:120, 7:158, 9:116, 39:63, dll.

69

(18)

individu; perjanjian moral, bukan material, unilateral atau sepihak.70

Dengan menggunakan basis langkah interpretasi Hasan Hanafi di atas, maka penafsirannya dapat diidentifikasi bahwa komintmen politik sosial Hanafi sebagai penafsir tidak bisa dilepaskan dari kegelisahannya terhadap kasus penempatan tanah tersebut. Keberpihakan penafsir juga terlihat dari usahanya untuk menjelaskan bahwa penempatan tanah tersebut adalah usaha yang menindas. Sinopsis ayat diperlihatkan dengan usahanya mengumpulkan beberapa ayat yang relevan (Q.s. 29: 56, 2: 17, 3:109, 5:40, 5:120, 7:158, 9:116, 39:63, dan lain-lain). Proses klasifikasi linguistik terlihat pada deskripsinya bahwa al-Ardh disebut 462 kali, 454 kali sebagai kata benda berdiri sendiri, 8 kali dihubungkan dengan kata ganti kepunyaan, dan hanya sekali yang dihubungkan dengan orang pertama yang dalam hal ini adalah Tuhan (al-Ankabut: 56). Ini merupakan salah satu bentuk analisis linguistik untuk mencapai sebuah makna bahwa tanah bukanlah komoditi kepemilikan, ia hanyalah milik Tuhan. Struktur makna yang digunakan Hasan Hanafi terlihat dari kelima orientasi makna. Setelah menganalisis situasi faktual, maka makna yang cocok dan dibutuhkan untuk kasus ini adalah tanah merupakan milik Tuhan, bukan untuk diperebutkan oleh manusia, apalagi melibatkan unsur penindasan. Hasan Hanafi membedakan makna ideal dengan makna riil bahwa makna ideal adalah tanah diartikan sebagai tanah alam, tanah hijau, dan keindahan, sementara untuk makna riil, ia menegaskan bahwa Tuhan satu-satunya pemilik dan ahli waris tanah.71

2) Penafsiran tentang Konsep Harta dalam Al-Qur’an

Harta (Mal) di dalam al-Qur’an tidak bermakna uang dalam arti

harfiahnya, tetapi dalam arti kekayaan atau kepemilikan secara umum. Berkaitan dengan bentuk linguistiknya, kata mal disebutkan di dalam

al-Qur’an sebanyak 86 kali dalam bentuk yang berbeda-beda karena signifikansinya tidak kurang dari kata nabi sebanyak 80 kali atau kata wahyu sebanyak 78 kali.72Kata mal disebutkan al-Qur’an dalam dua bentuk kata benda. Pertama; dalam bentuk tidak disandarkan kepada kata ganti (ghoir mudlof ila dlamir) seperti al-mal, malan, al-anwal dan amwalan 70Ibid.,

71Ibid., 72

(19)

sebanyak 32 kali. Kedua; berkaitan dengan kata sifat kepunyaan seperti

maluhu, maliah, amwalukum dan amwaluhum sebanyak 54 kali yang

menunjukkan bahwa kekayaan dapat saja berada diluar kepemilikan pribadi.73 Kepemilikan adalah hubungan diantara manusia dan kekayaan. Kat ini juga disebutkan dua kali dalam bentuk nominative dan 13 kali dalam accusative, yang menunjukkan bahwa kekayaan lebih merupakan sebab yang menghasilkan. Dengan demikian, ia kemudian hanya menjadi penerima perbuatan manusia dan akibatnya. Kekayaan bukan sebagai subyek dan kata kerja. Dalam bentuk negatif nominative, kata al-mal juga dihubungkan dengan kata sifat kepemilikan. Yaitu dengan orang pertama tunggal (7 kali), orang ketiga plural (47 kali), yang menunjukkan bahwa kekayaan merupakan kepemilikan kolektif atas nama kalangan yang tidak punya, kalangan yang haknya dirampas, orang miskin dan anak yatim. Orang pertama tunggal disebut diatas menunjukkan golongan atas, orang kedua merujuk pada golongan menengah, sedangkan golongan ketiga menunjukkan golongan bawah.

Kata mal merupakan sebuah fungsi, sebuah titipan, sebuah hubungan dan sebuah investasi. Kekayaan tidak boleh dimonopoli atau ditimbun. Secara etimologi, mal bukan sebuah benda, tetapi kata ganti relatif. Kata mal berhubungan dengan kata sandang (li) yang memiliki arti apa yang ada pada saya.74 Mal disebut memakai isim nakiroh 17 kali danisim ma’rifat15 kali, yang berarti bahwa harta bisa diketahui dan bisa tidak diketahui. Dalam bentuk dan kedudukan I’rob Mal dikonotasikan dengan 3 (tiga) makna:

Pertama, celaan kepada manusia yang mengikat diri dengan harta, seperti;

QS. Al-fajr 89:20, al-Humazah 104:2, al-Balad 90:6, Maryam 19:71, at-Taubah 9:69. Al-Kahfi 18:34, Saba 34:35.75 Kedua, larangan mendekati,

apabila mengambil harta orang lain yaitu kaum yang membutuhkan, anak-anak yatim dan manusia umumnya (tidak termasuk didalamnya orang kaya) seperti dalam Qs. Al-An’am 6:34, an-Nisa’ 4:10 dan 161 dan QS. At -Taubah 9:34. Ketiga, memberikan harta kepada pihak-pihak yang membutuhkan, atau jihad fisabilillah seperti dalam QS. Al-Baqarah 2:177,

73Ibid., hlm. 123. 74Ibid., hlm. 130. 75

(20)

dan QS. Hud 11:29.76dst.

Mengenai isi kandungan kata mal, Hasan Hanafi membaginya dalam tiga orientasi makn berikut ini. 1) kekayaan, kepemilikan, dan pewarisan berlaku untuk Tuhan bukan manusia. 2) kekayaan dipercayakan kepada manusia sebagai titipan. Manusia memeliki hak untukmenggunakan bukan untuk menyalahgunakan, untuk berinvestasi bukan untuk menimbun, untuk memanfatkan bukan untuk diboroskan, untuk pembangunan dan pertahanan. 3) kemandirian moral dari kesadaran manusia vis a vis kekayaan membuat kekayaan menjadi alat yang sederhana untuk kesempurnaan manusia. Kekayaan adalah untuk manusia, bukan manusia untuk kekayaan.77

Masih terdapat banyak contoh aplikasi hermeneutika al-Qur’an tematik

seperti penafsiran Hasan Hanafi tentang manusia. Contoh penafsiran inilah yang berfungsi untuk memperlihatkan bagaimana proses membumikan ayat-ayat

al-Qur’an. Min al Sama’ila al Ardl, dari langit turun kebumi. C. Penutup

Penafsiran tradisional yang hanya bertumpu pada teks, hanya memindahkan bunyi teks kepada realita, seolah-olah teks keagamaan itu dapat berbicara sendiri. Dari segi epistemologi penafsiran tradisional memiliki kelemahan, diantaranya: tidak menjadikan realita sebagai teks, tidak menjadikan teks sebagai pembuktian realita nalar, tidak dikaitkan dengan realitas sebagai acuan yang ditunjukinya, tidak menjadikan teks bersifat unilateral, menganggap hanya ada satu pemahaman dari teks, teks tidak diarahkan kepada rasio dan realitas umat dan tidak memperjuangkan muslim sebagai rakyat melainkan memperjuangkan Islam sebagai prinsip serta tidak menjelaskan perhitungan secara kuantitatif. Untuk menyelesaikannya Hanafi memberikan solusi, yaitu tafsir kesadaran (hermeneutika pembebasan) tematik, yang memposisikan al-qur’an agar mendeksripsikan manusia, hubungannya antar sesama,

tugasnya di dunia, kedudukannya dalam sejarah, membangun sistem sosial dan politik dan mengajukan alternatif melalui metode analisis pengalaman yang membawa kepada makna teks bahkan realitas itu sendiri. Dengan menggunakan tiga fase analisis sebagai langkah operasionalnya, yaitu; Pertama, kesadaran historis yang menentukan keaslian teks dan tingkat kepastiannya. Kedua, kesadaran eidetik yang

76Ibid., hlm. 128. 77

(21)

menjelaskan makna teks dan menjadikannya rasional. Ketiga, kesadaran praktis yang menggunakan makna tersebut sebagai dasar teoritis bagi tindakan dan mengantarkan wahyu pada tujuan akhirnya dalam kehidupan manusia.

Penafsiran Hermeneutika al-qur’an yang bersifat parsial, penafsiran yang hanya

mengkaji mengenai hajat hidup manusia kontemporer saja, bukan al-qur’an secara

keseluruhan.Hermeneutika al-qur’an yang bersifat tematik,penafsiran yang

berpegang teguh keada ensiklopedia al-qur’an dan tafsiran ayat-ayat tentang satu tema yang memang dibutuhkan sekarang, ada beberapa yang harus diperhatikan, diantaranya: membangun analisis bentuk berdasarkan unsure kebahasaan dan kalimat, analisis makna, memberikan prioritas terhadap tema-tema yang sejalan dengan kehidupan sekaran, membentuk tema dalam kerangka rasional, kokoh dan terpadu.Hermeneutika al-qur’an yang bersifat temporal, yang hanya sanggup

memberikan visi al-qur’an kepada satu generasi dan satu fase waktu tertentu, bukan seluruh generasi dan waktu.waAllahu a’lam bissowab.

DAFTAR PUSTAKA

Hasan Hanafi, Liberalisasi, Revolusi, Hermeneutik, terj. Jajat Firdaus, Yogya; Prisma, 2003.

______, Dialog Agama dan Revolusi, Jakarta, Pustaka Firdaus, 1994.

______, al-Din wa al Tsaurah fi Mishr 1952-1981, vol.VII .Kairo; Maktabah Madbuli, t.th.

______, Muqaddimah fi ‘Ilm al-Istighrab Mauqifuna min Turats al-Gharbi, Kairo:

Dar al-Fannani, 1992.

______,Qadlaya Mu’ashirah fi Fikrina al Mu’ashir,Beirut: Dar al-Tanwir, 1983. ______,Qadlaya Mu’ashirah fi Fikrina al-Gharbi, Beirut: Dar al-Tanwir, 1990.

______, ad-Din wa al Tsaurah fi Mishr 1952-1981, Kairo: Madbulli, 1989. ______, Dirasat Islamiyah, Cet. II, Kairo: Maktabah Anjilo, 1982.

______, At-Turats wa at-Tajdid Maufiquna min Turats Qadim, Beirut: al-Muassasah al-Jamiiyah, 1992.

______, Min al-Aqidah Ila al-Tsaurah, Kairo: Maktabah Madbuli, 1988.

______, Muqaddimah fi ‘Ilmi al-Istighrab Maufiquna Min Turats al-Gharbi, Kairo:

(22)

______, Islam in The Modern World, 2 Volume, Vol-I, Religion, Ideology and

Development dan Vol-II, Tradition, Revolution and Culture, Cairo: Dar

Kebaa, 2000.

______, Dirasat Falsafiyyah, Kairo: Anjilu Al-Misriyah, 1987. ______, Qadlaya Muashirah, Vol-2, Beirut: Dar al-Tanwir, 1983.

______, Min al-Nash ila al-Waqi’, Juz 2, Beirut: Dar al-Midar al-Islami, 2005. _______, Islam in The Modern world. Vol-2, Kairo: Dar Kebaa, 2000.

_______, Humum al-Fikr wa al Wathan, cet. Ke-2, Kairo: Dar Quba, 1998.

Yudian Wahyudi, Hermeneutika Al-Quran Dr. Hasan Hanafi?, Yogyakarta: Nawesea Press, 2009.

Ahmad Baedowi, “Tafsir Tematik Menurut Hasan Hanafi” dalam M. Alfatih Suryadilaga, Jurnal Studi Ilmu-ilmu Alquran dan Hadis Vol. 10, No. 1,

Januari 2009 .

Adang Kuswaya, Metode Tafsir Kontemporer; Model Pendekatan Hermeneutika

Sosio-tematik dalam Tafsir Al-Qur’an Hasan Hanafi, Salatiga; STAIN

Salatiga Press, 2011.

Abdurahman Wahid,“Hasan Hanafi dan Eksperimennya”, dalam Kazuo Shimogaki,

Kiri Islam, Edisi Indonesia, Yogyakarta: Lkis, 1994.

Kazuo Shimogaki, Kiri Islam: Antara Modernisme dan Posmodernisme, Telaah Kritis

Pemikran Hassan Hanafi, terj. M. Imam Aziz & M.Jadul Maula, Jogjakarta:

LKIS, 2003.

Nur Ikhwan, “Al-Qur`an Sebagai Teks Hermeneutika Abu Zaid” dalam Abd

Mustaqim (ed), Studi Al-Qur`an Kontemporer, Yogya; Tiara Wacana, 2002.

K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX, I, Jakarta; Gramedia, 1981

Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan: Metodologi Tafsir Alquran Menurut

Hasan Hanafi, Jakarta: Teraju, 2002.

Ibn Mandzur, Lisan al-Arob, jilid 7 Beirut: Daar Shodir, t.th.

Jhon L. Esposito, The Oxford Encyclopedia Of Modern Islamic World, New York: Oxford University Press, 1995.

Yunan Yusuf, Karakteristik Tafsir Al-Qur’an di Indonesia Abad ke-20, dalam Jurnal

Ulumul Qur’an, Jakarta: Aksara Buana, 1992.

Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas, terj. Ahsin Muhammad, Bandung; Pustaka, 1985.

Josef Bleicher, Contemporary Hermeneutics, London; Routlege & Kegan Paul, 1980.

Nasr Hamid Abu Zaid, Isykâliyât al-Ta`wîl wa Aliyât al-Qirâ’ah, Kairo; al-Markaz al-Tsaqafi, t.th.

Referensi

Dokumen terkait

Judul : Studi Eksperimen Antara Penggunaan Metode Team Quiz dengan Gallery Walk Terhadap Hasil Belajar Peserta Didik Pada Mata Pelajaran IPS Materi Pokok

memanfaatkan gas yang terionisasi menjadi penghantar listrik dan dialirkan menuju busur wolfram dengan suhu yang sangat tinggi yang digunakan untuk memotong material yang umumnya

Sedangkan gambaran kemampuan manajemen waktu siswa berdasarkan perhitungan analisis deskriptif, dapat diketahui bahwa setelah diberikan layanan penguasaan konten

Kompresibilitas sampah perkotaan (waste settlement) dapat diartikan sebagai penurunan yang terjadi pada lahan tempat pembuangan akhir sampah (TPA) akibat beban yang

Pengelolaan koleksi bahan pustaka adalah kegiatan kerja yang berkenaan dengan koleksi bahan pustaka sejak pustaka masuk ke perpustakaan sampai siap untuk dimanfaatkan atau dipinjam

Keanekaragaman hayati merupakan ungkapan pernyataan, terdapatnya berbagai macam variasi bentuk, penampilan, jumlah dan sifat, yang terlihat pada berbagai tingkatan persekutuan

Kedua informan saat mengalami sakit merasakan adanya tekanan (stres) sehingga setiap mengalami sakit akan melakukan strategi coping stress. Selain itu,