• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI. Indonesia pada rubrik SMS 24 Jam Radar Banyumas edisi Januari - Mei 2016.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI. Indonesia pada rubrik SMS 24 Jam Radar Banyumas edisi Januari - Mei 2016."

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Penelitian yang Relevan

Penelitian mengenai interferensi morfologik bahasa Jawa dalam bahasa Indonesia pada rubrik “SMS 24 Jam” Radar Banyumas edisi Januari - Mei 2016. Penelitian yang peneliti lakukan berbeda dengan penelitian yang sudah ada sebelumnya. Untuk membuktikannya, peneliti meninjau dua penelitian di Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Relevan mengenai interferensi morfologik bahasa Jawa dalam bahasa Indonesia pada rubrik “SMS 24 Jam” Radar Banyumas edisi Januari - Mei 2016. Penelitian tersebut dapat dilihat diantaranya sebagai berikut:

1. Penelitian dengan judul “Interferensi Bahasa Jawa Dialek Tegal dalam Pemakaian Bahasa Indonesia di Kalangan para Guru Bahasa Indonesia di MTs Asy-Syafi’iyah Karangasem Margasari Tegal”.

Penelitian tersebut dilakukan oleh Umi Fuadah dari Universitas Muhammadiyah Purwokerto pada tahun 2012. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Umi Fuadah meliputi interferensi fonologi dialek tegal, interferensi morfologi dialek tegal, dan interferensi sintaksis dialek tegal di kalangan guru Bahasa Indonesia. Kemudian, menganalisis interferensi partikel bahasa Jawa. Persamaan penelitian Umi Fuadah dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti adalah terletak pada teori yang akan dibahas. Dalam penelitian relevan, dan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti menggunakan teori tentang interferensi. Penelitian relevan dan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti, sama-sama menganalisis interferensi bahasa Jawa.

(2)

Perbedaan penelitian terdahulu dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti adalah pada teori. Teori yang digunakan oleh Umi Fuadah meliputi interferensi fonologi, interferensi morfologik dan interferensi sintaksis. Pada penelitian yang peneliti lakukan, teorinya dibatasi yaitu hanya menggunakan teori interferensi morfologik saja. Pada penelitian terdahulu data interferensi yang menjadi bahan penelitian berasal dari sebuah tuturan atau dialek tegal sedangkan sumber datanya adalah tuturan seorang guru bahasa Indonesia di MTs. Sedangkan pada penelitian yang peneliti lakukan data interferensinya berasal dari kata dan sumber datanya dari wacana rubrik “SMS 24 Jam” di Radar Banyumas.

2. Penelitian dengan judul “Interferensi Bahasa Pertama terhadap Penggunaan Bahasa Kedua Siswa Kelas V dan VI SD Negeri Tambaksari 03 Kedungreja Cilacap.”

Penelitian tersebut dilakukan oleh Marfungah dari Universitas Muhammadiyah Purwokerto pada tahun 2012. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Marfungahadalah tentang aspek fonologi yang mencakup penggantian fonem (adaptasi). Aspek morfologi yang mencakup pengimbuhan di depan (ater-ater), konfiks atau simulfiks bahasa Jawa, pengulangan bahasa Jawa. Aspek sintaksis yang mencakup pemakaian bahasa Jawa, pemilihan kata yang tidak tepat dalam bahasa Indonesia, pemakaian partikel bahasa Jawa, dan aspek semantik yang mencakup makna kata dan hiponimi. Persamaan penelitian terdahulu dengan penelitian yang peneliti lakukan dan sama-sama menganalisis interferensi bahasa Jawa. Dalam penelitian terdahulu dan penelitian yang peneliti lakukan sama-sama menganalisis interferensi morfologik.

(3)

Perbedaan dari penelitian terdahulu dengan penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Marfungah mengkaji interferensi yang terjadi pada sebuah tuturan atau percakapan pada siswa kelas V dan VI SD Negeri Tambaksari 03 Kedungreja Cilacap. Teori interferensi dalam penelitian Marfungah meliputi interferensi fonologi, interferensi morfologik, interferensi sintaksis, interferensi partikel dan interferensi unsuriah. Sedangkan penelitian yang peneliti lakukan hanya membatasi pada teori interferensi morfologik yang digunakan sebagai acauan. Pada penelitian terdahulu mengkaji interferensi morfologik bahasa Jawa yangdatanya berasal dari tuturan atau dialek sedangkan peneliti datanya berpa kata yang terinterferensi morfologik bahasa Jawa. Sumber datapenelitian terdahulu berupa tuturan siswa sedangkan sumber data peneleiti berasal dari wacana rubrik “SMS 24 Jam” pada surat kabar Radar Banyumas. Berdasarkan kedua penelitian di atas membuktikan bahwa penelitian yang peneliti lakukan benar-benar berbeda dengan penelitian sebelumnya, sehingga penelitian ini perlu dilakukan.

B. Pengertian Bahasa

Menurut Chaer (2007: 30) bahasa adalah satu sistem, sama dengan sistem – sistem lain, yang sekaligus bersifat sistematis dan sistemis. Ciri-ciri bahasa, antara lain adalah bahwa bahasa itu sebuah sistem lambang, berupa bunyi, bersifat arbitrer, produktif, dinamis, beragam, dan manusiawi (Chaer,2004: 11). Bahasa sebagai suatu sistem komunikasi merupakan suatu bagian atau subsistem dari sistem kebudayaan. Bahasa sebagai salah satu kegiatan sosial merupakan bagian dari kebudayaan (Aslinda danLeni Syafyahya 2010: 96). Kridalaksana (2008: 24) menyebutkan bahwa bahasa

(4)

merupakan sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang dipergunakan oleh para anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri.

Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa bahasa adalah sebuah sistem lambang berupa bunyi, bersifat arbitrer, produktif, dinamis, beragam, dan manusiawi. Bahasa merupakan suatu sistem komunikasi sebagai kegiatan sosial bagiandari kebudayaan. Bahasa digunakan oleh para anggota kelompok suatu masyarakat untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasikan diri. Secara tradisional bahasa adalah alat untuk berinteraksi atau alat untuk berkomunikasi, dalam arti alat untuk menyampaikan pikiran, gagasan, konsep atau juga perasaan. Jadi, fungsi bahasa yang paling mendasar adalah sebagai alat komunikasi, yakni sebagai alat pergaulan antarsesama dan alat untuk menyampaikan pikiran.

C. Kedwibahasaan (Bilingualisme)

Chaer dan Leonie Agustina (2004: 85) menjelaskan bahwa kedwibahasaan (bilingualisme) adalah digunakannya dua buah bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian dan menimbulkan sejumlah masalah. Menurut (Suwandi, 2008: 1) kedwibahasaan (bilingualisme) merupakan cara hidup alamiah ratusan juta manusia di bumi ini. Bilingualisme diartikan kebiasaan memakai dua bahasa dalam pergaulan hidup. Menurut Depdiknas, (2008: 349) kedwibahasaan adalah perihal memakai dua bahasa, seperti bahasa daerah di samping bahasa nasional. Aslinda dan Leni Syafyahya (2010: 8) menjelaskan kedwibahasaan sebagai kemampuan atau kebiasaan yang telah dimiliki oleh penutur dalam menggunakan bahasa.

(5)

Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa kedwibahasaan merupakan pemakaian dua buah bahasa oleh penutur secara bergantian sehingga akan menimbulkan masalah. Kedwibahasaan juga disebut dengan bilingualisme yaitu kebiasaan memakai dua bahasa dalam pergaulan hidup misalnya, menggunakan dua bahasa yaitu bahasa daerah di samping bahasa nasional. Kedwibahasaan dapat mengandung arti yaitu kemampuan menggunakan dua bahasa (bilingualitas) dan kebiasaan memakai dua bahasa (bilingualism). Maksudnya, dalam hal kedwibahasaan, seorang dwibahasawan tidak harus menguasai secara aktif dua bahasa, tetapi cukuplah apabila ia mengetahui secara pasif dua bahasa tersebut. Perluasan itu berkaitan dengan pengertian kedwibahasaan yang tadinya dihubungkan dengan penggunaan bahasa diubah menjadi pengetahuan tentang bahasa.

D. Interferensi

1. Pengertian Interferensi

Menurut Weinreich (dalam Chaer dan Leonie Agustina, 2004:120), interferensi yaitu adanya perubahan sistem suatu bahasa sehubungan dengan adanya persentuhan bahasa tersebut dengan unsur-unsur bahasa lain yang dilakukan oleh penutur yang bilingual. Interferensi timbul karena adanya kontak bahasa, sehingga terjadi tutup menutup bagian-bagian bahasa karena seorang dwibahasawan menerapkan dua buah sistem secara serempak pada suatu unsur bahasa. Suwito (dalam Aslinda dan Leni Syafyahya 2010: 67) menyebutkan bahwa interferensi dapat terjadi dalam semua komponen kebahasaan, yaitu bidang tata bunyi, tata kalimat, tata kata, dan tata makna.Alwasilah (dalam Aslinda dan Leni Syafyahya 2010: 66) mengatakan interferensi berarti adanya saling pengaruh antarbahasa. Pengaruh itu dalam bentuk

(6)

yang paling sederhana berupa pengambilan satu unsur dari satu bahasa dan digunakan dalam hubungannya dengan bahasa lain.

Hartman dan Stork (dalam Chaer dan Leonie Agustina 2010: 121) mengatakan bahwa interferensi tidak disebut dengan “pengacauan” atau “kekacauan”, melainkan “kekeliruan”, yang terjadi sebagai akibat terbawanya kebiasaan-kebiasaan ujaran bahasa ibu atau dialek kedalam bahasa atau dialek bahasa.Interferensi menimbulkan kontak bahasa yang terjadi pada diri dwibahasawan yang menimbulkan saling pengaruh antara bahasa pertama dan bahasa kedua. Saling pengaruh atau pengaruh timbal balik tersebut akan menjadi semakin intensif apabila jumlah dwibahasawan yang menggunakan kedua bahasa tersebut semakin besar. Artinya, intensitas saling pengaruh antara bahasa pertama dan bahasa kedua berbanding lurus dengan jumlah dwibahasawan yang menggunakan kedua bahasa itu. Sepanjang sistem bahasa yang digunakan itu mempunyai kesamaaan dalam kedua bahasa tersebut maka belum terjadi kekacauan. Akan tetapi, apabila sistem bahasa yang digunakan berbeda pada kedua bahasa itu maka mulailah timbul kekacauan.Kridalaksana (2008: 95) mengartikan:

(1) interferensi merupakan penggunaan unsur bahasa lain oleh bahasawan yang bilingual secara individual dalam suatu bahasa, ciri-ciri bahasa lain itu masih kentara (berlainan dari integrasi). Interferensi berbeda-beda sesuai dengan medium, gaya, ragam, dan konteks yang dipergunakan oleh orang yang bilingual itu. (2) interferensi merupakan kesalahan bahasa berupa unsur bahasa sendiri yang dibawa ke dalam bahasa atau dialek lain yang dipelajari.

Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa interferensi yaitu adanya perubahan sistem suatu bahasa sehubungan dengan adanya persentuhan bahasa tersebut dengan unsur-unsur bahasa lain yang dilakukan oleh penutur bilingual. Interferensi timbul karena adanya kontak bahasa yang terjadi pada semua komponen

(7)

bahasa yaitu bidang tata bunyi, tata kalimat, tata kata, dan tata makna. Interferensi menyebabkan saling pengaruh, dan menyebabkan kekeliruan. Interferensi menimbulkan kontak bahasa pada dwibahasawan. Interferensi digunakan oleh orang yang bilingual sesuai dengan gaya, ragam dan konteksnya, sehingga dianggap sebagai suatu kesalahan bahasa.

E. Interferensi Morfologik

1. Pengertian Interferensi Morfologik

Menurut Ramlan (2012:21) morfologi ialah bagian dari ilmu bahasa yang membicarakan atau mempelajari seluk-beluk bentuk kata serta pengaruh perubahan-perubahan bentuk kata terhadap golongan dan arti kata. Pembentukan morfem dengan afiks harus disesuaikan dengan kaidah penggunaan bahasa Indonesia. Ramlan (2001:63) menyatakan bahwa afiks suatu bahasa digunakan untuk membentuk kata dalam bahasa lain. Sedangkan afiks adalah morfem imbuhan yang berupa awalan, akhiran, sisipan, serta kombinasi afiks. Afiks bisa memempati posisi depan, belakang, tengah bahkan di antara morfem dasar.

Pembentukan kata bahasa kedua tidak selamanya sesuai dengan kaidah pembentukannya, terkadang pembentukannya terinterferensi afiks bahasa Ibu. Jadi, interferensi morfologik merupakan kekeliruan yang dianggap sebagai suatu kesalahan bahasa pada unsur pembentukan kata. Interferensi morfologik dapat terjadi apabila dalam pembentukan kata suatu bahasa menyerap afiks-afiks bahasa lain. Afiks suatu bahasa digunakan untuk membentuk kata dalam bahasa lain. Sedangkan afiks adalah morfem imbuhan yang berupa awalan, akhiran, sisipan, serta kombinasi afiks.

(8)

Bentukan kata interferensi morfologik berasal dari bentuk dasar bahasa Indonesia + afiks bahasa daerah.

Ada beberapa jenis interferensi. Chaer (2003: 121) membagi interferensi menjadi tiga bagian, yaitu (1) interferensi fonologi, (2) interferensi morfologik, dan (3) interferensi sintaksis. Dari ketiga jenis interferensi tersebut peneliti hanya menggunakan teori interferensi morfologik yang dikhususkan sebagai acuan sesuai dengan data sebagai fenomena yang ditemukan sebelum penelitian. Menurut Chaer dan Leonie Agustina (2004: 123) interferensi dalam bidang morfologik antara lain terdapat dalam pembentukan kata dengan afiks. Afiks-afiks suatu bahasa digunakan untuk membentuk kata dalam bahasa lain. Dalam bahasa Belanda dan Inggris ada sufiks –isasi, maka banyak penutur bahasa Indonesia menggunakannya dalam pembentukan kata bahasa Indonesia seperti neonisasi, aktualisasi, dan globalisasi.

Bentuk-bentuk tersebut merupakan penyimpangan dari sistematik morfologi, dalam bahasa Indonesia ada konfiks pe-an. Jadi, bentuk tersebut seharusnya adalah peneonan, pengaktualan, dan pengglobalan. Penggunaan bentuk-bentuk kata seperti ketabrak, kejebak, kekecilan, dan kemahalan dalam bahasa Indonesia baku juga termasuk interferensi, sebab imbuhan yang digunakan disitu berasal dari bahasa Jawa dan dialek Jakarta. Bentuk yang baku adalah tertabrak, terjebak, terlalu kecil, dan terlalu mahal. Aslinda dan Leni Syafyahya (2010: 75) membagi bentuk interferensi morfologik menjadi tiga: (a) afiksasi, (b) pengulangan, dan (c) pemajemukan.

2. Bentuk Interferensi Morfologik

Interferensi morfologik terjadi penyerapan unusur bahasa Jawa ke dalam pembentukan kata bahasa Indonesia. Misalnya kata yang berafiks bahasa daerah dan

(9)

bentuk dasar bahasa indonesia atau sebaliknya. Bentuk- bentuk Interferensi morfologik meliputi afiksasi, pengulangan dan pemajemukan. Afiksasi dalam bahasa jawa disebut afiksasi. Pengulangan dalam bahasa Jawa disebut tembung rangkep. Pemajemukan dalam bahasa Jawa disebut tembung camboran.

a. Afiksasi

1) Pengertian Afiksasi

Kridalaksana (2007: 28) menjelaskan afiksasi adalah proses yang mengubah leksem menjadi kata yang kompleks. Dalam hal ini bahwa afiks-afiks itu membentuk satu sistem sehingga kata dalam bahasa Indonesia menjadi rangkaian proses yang berkaitan. Afiksasi merupakan peristiwa pembentukan kata dengan jalan membubuhkan afiks pada bentuk dasar (Muslich, 2009: 38). Menurut Ramlan (2012: 56) afiksasi merupakan proses pembubuhan afiks pada sesuatu satuan yang berupa bentuk tunggal maupun bentuk kompleks untuk membentuk kata. Kata yang dibentuk dengan membubuhkan afiks dalam bahasa Jawa disebut tembung andhahan. Tembung andhahan yaitu tembung sing wus owah saka linggane amarga kawuwuhi imbuhan (kata jadian yaitu kata yang sudah berubah dari bentuk dasarnya karena mendapat imbuhan).

2) Jenis Afiks

Jenis afiks atau imbuhan bahasa Jawa wujudnya ada empat. Afiks bahasa Jawa meliputi ater-ater. Dalam bahasa Jawa ater-ater disebut dengan awalan atau prefiks. Dalam bahasa Indonesia seselan disebut dengan sisipan atau infiks. Dalam bahasa

(10)

Indonesia panambang disebut dengan akhiran atau sufiks. imbuhan bebarengan atau konfiks.

a) Ater-Ater (Awalan/ Prefiks)

Menurut Ramlan (2012: 60)afiks-afiks yang terletak di lajur paling depan disebut prefiks, karena selalu melekat di depan bentuk dasar. Prefiks dalam bahasa Jawa disebut ater-ateryaitu sistem pengimbuhan afiks atau imbuhan yang diletakkan di awal morfem. Menurut Sasangka (2008: 41) ater-ateriku imbuhan kang dununge ing kiwaning tembung utawa ing ngarep tembung (awalan yaitu yang terletak di sebelah kiri kata atau di depan kata). Ater-ater dapat ditulis dengan tanda {A-} yang meliputi ater-ater hanuswara {m-, n-, ng-, ny-}. Setiyanto (2007: 54) menjelaskan selain ater-ater hanuswara terdapat juga ater-ater swara irung (suara sengau) yang meliputidak-, ko-, di-, ka-, ke-, sa-, pa-, pi-, pra-, tar-, kuma-, kapi-, a-, ma, pan-, pam-, pang-, dan sebagainya.

Contoh ater-ater hanuswara:

m- + waca maca „membaca‟ n- + jaluk njaluk „meminta‟ ng- + ombe ngombe „meminum‟ ny- + cekel nyekel „memegang‟ Contoh ater-ater swara irung:

dak- + pangan dakpangan „saya makan‟

ko- + jupuk kojupuk „kamu ambil di- + balang dibalang „mereka lempar‟ ka- + utus kautus „diutus‟

ke- + siram kesiram „tidak sengaja menyiram‟

sa- + iji saiji „satu‟

pa- + warta pawarta „berita‟

pi- + wulang piwusang „yang diajarkan‟

pra- + lambang pralambang „merupakan‟

tar- + tamtu tartamtu „tetentu‟

kuma- + ayu kumayu „genit‟

kapi- + lare kapilare „bocah banget‟

(11)

ma- + wetan mangetan „pergi menyembah‟

pam- + priksa pamriksa „pemeriksa‟

pang- + ayom pangayom „pelindung‟

b) Seselan (Sisipan/Infiks)

Menurut Ramlan (2012: 60) afiks-afiks yang terletak di lajur tengah disebut infiks. Infiks selalu melekat di tengah bentuk dasar atau afiks yang dibubuhkan di dalam bentuk dasar. Infiks dalam bahasa Jawa disebut seselan. Seselan yaitu sistem pengimbuhan afiks atau imbuhan yang disisipkan di tengah morfem. Infiks disebut juga sisipan. Menurut Sasangka (2008: 58) seselan atau sisipan (infiks) yaitu imbuhan kang kadunungake ing tengah tembung (imbuhan yang terletak di tengah kata), macam-macam seselan bahasa Jawa terdiri dari -um-, -in-, -er-,dan -el-.

Contoh: ili + (-um-) → umili → mili „mengalir‟ utus + (-in-)ingutus → „diutus‟

gandhul + (-er-)gerandhul →„grandhul‟ titi + (-el-)teliti →„teliti‟

c) Panambang (Akhiran/Sufiks)

Menurut Ramlan (2012: 60) afiks-afiks yang terletak di lajur paling belakang disebut sufiks, karena selalu melekat di belakang bentuk dasar. Sufiks dalam bahaa Jawa disebut panambang. Panambang yaitu sistem pengimbuhan afiks atau imbuhan yang ditambahkan di akhir morfem. Sufiks disebut juga dengan akhiran. Beberapa macam panambang dalam bahasa Jawa i, a, e, en, an, na, ana, ane, ake, ne, -ku, dan –mu (Setiyanto 2007: 54). Menurut Sasangka (2008: 64) panambang atau akhiran (sufiks) yaitu imbuhan sing dumunung ing buri tembung (imbuhan yang terletak di belakang kata), macam-macam panambang bahasa Jawa meliputi: -i, -a, -e, -en, -an, -na, -ana, -ane,dan -ake.

(12)

Contoh: antem + (-i) → antemi „pukuli‟ tukua + (-a) → tukua „supaya beli‟ kembang + (-e) → kembange „bunganya‟

sapu + (-en) → sapunen „supaya menyapu‟ tandur + (-an) → tanduran „tanaman‟

jupuk + (-na) → jupukna „ambilkan‟

gebug + (-ana) → gebugana „supaya memukul‟

silih + (-ake) → silihake „dipinjamkan‟

lirik + (-ne) → lirikane „lirikannya‟ umah + (-ku) → umahku „rumah saya‟ klambi + (-mu) → klambimu „baju kamu‟

d) Imbuhan Bebarengan/Konfiks

Sasangka (2008: 86) menyebutkan bahwa imbuhan bebarengan yaitu imbuhan yang berwujud ater-ater (prefiks) dan panambang (sufiks). Imbuhan bebarengan bisa disebut juga dengan konfiks. Imbuhan bebarengan meliputi {ka-/-an}, {ke-/-en},{pa-/-an}, {paA-{ke-/-en},{pa-/-an}, dan {pra-/-an} , kemudian {A-/-i}, {A- -a}, {A-/-ake}, {A-/ -ana}, {di-/-i}, {di-/-a}, {di-/-ana}, {di-/-ake}, {-in-/-ana}, dan {sa/ -e}. Dalam bahasa Indonesia konfiks disebut dengan imbuhan bebarengan yaitu afiks yang terdiri dari prefiks dan sufiks yang ditempatkan di antara kata dasar. Konfiks merupakan imbuhan tunggal yang terjadi dari perpaduan awalan dan akhiran yang membentuk satu kesatuan.

Contoh:

ka- + pinter + (-an) →kapinteran „kecerdikan‟

ke- + cilik + (-en) → keciliken „terlalu kecil‟

pa- + pring + (-an) →papringan „tempat yang ada bambu‟

paA- + giling + (-an) →panggilingan „tempat untuk menggiling‟

pra- + tapa + (-an) →pratapaan „tempat untuk tapa‟

m- + lumpat + (-i) → mlumpati „melompati‟

ng- + lamar + (-a) →nglamara „memerintah supaya melamar‟ ny- + silih + (-ake) →nyilihake „meminjamkan‟

m- + laku + (-e) →mlakune „jalannya‟ di- + lungguh + (-i) →dilungguhi „diduduki‟

di- + campur + (-a) →dicampura„ meskipun dicampur‟ di- + salin + (-ana) →disalinana„ meskipun digantikan‟

(13)

di- + wales + (-ake) →diwalesake „dibalaskan‟

tulis + (-in-)ana →tinulisana „meskipun ditulisi‟ sa- + cilik + (-e) →sacilike „sampai kecil‟

b. Tembung Rangkep (Pengulangan)

1) Pengertian Tembung Rangkep (pengulangan)

Setiyanto (2007: 81) menjelaskan kata ulang dalam bahasa Jawa disebut juga dengan tembung rangkep. Tembung rangkep ialah kata yang diucapkan dua kali sebagian atau seluruhnya, misalnya: putra-putra, udan-udan. Muslich (2009: 48) menjelaskan proses pengulangan merupakan peristiwa pembentukan kata dengan jalan mengulang bentuk dasar, baik seluruhnya maupun sebagian, baik bervariasi fonem maupun tidak, baik berkombinasi dengan afiks maupun tidak. Menurut Ramlan (2012: 65) proses pengulangan ialah pengulangan suatu gramatik, baik seluruhnya maupun sebagiannya, baik dengan variasi fonem maupun tidak. Sasangka (2010 :103) membagi dalam tiga bentuk pengulangan: (1) dwilingga (pengulangan seluruhnya), (2) dwipurwa (pengulangan dengan mendapat suku kata awal), dan (3) dwiwasana (pengulangan dengan mendapat suku kata akhiran).

2) Jenis Tembung Rangkep (Pengulangan)

a) Dwilingga (Pengulangan Seluruhnya)

Dalam bahasa Jawa pengulangan seluruhnya disebut dengan dwilingga. Tembung dwilingga menurut Setiyanto (2007: 81) ialah kata yang diucapkan dua kali. Bentuknya yaitu lingga+lingga (bentuk dasar + bentuk dasar). Sasangka (2008: 106) menjelaskan dwilingga yaitu tembung lingga kang dirangkep (kata dasar yang diulang). Dwilingga terbagi menjadi dwilingga wutuh dan dwilingga salin swara.

(14)

Dwilingga wutuh yaitu tembung lingga kang karangkep wutuh tanpa ana owah-owahan apa-apa (dwilingga utuh yaitu bentukdasar yang diulang secara utuh tanpa ada perubahan apa-apa). Dwilingga salin swara yaitu tembung lingga kang karangkep mawa owah-owahan swara ( bentuk kata ulang yang diulang dengan perubahan bunyi).

Contoh dwilingga wutuh (pengulangan utuh): udan-udan „hujan-hujan‟

takon-takon „bertanya- tanya‟ celuk-celuk „memanggil-manggil

Contoh dwilingga salinswara (pengulangan dengan berubah bunyi): tokan-takon „ bertanya-tanya‟

celak-celuk „ memanggil-manggil‟ wolak-walik „ bolak- balik

Menurut Sasangka (2008: 108) selain bentuk dwilingga wutuh dan dwilingga salin swara bentuk dwilingga bisa juga dibubuhi imbuhan. Dwilingga yang berwujud ater-ater/prefiks (awalan), seselan/infiks (sisipan), atau panambang (akhiran). Kata ulang berimbuhan yaitu kata ulang dengan mendapat imbuhan, baik pada lingga pertama maupun pada lingga kedua. Kata ulang berimbuhan adalah mengulang kata dasar sekaligus dengan imbuhannya (afiksasi). Jenis kata ulang ini adalah kata-kata yang mengalami reduplikasi dengan mendapat imbuhan pada kata pertama maupun kata kedua.

Contoh: dialon-alonake „dipelan-pelankan‟ dilemes-lemesake „dilemas-lemaskan‟

b) Dwipurwa (Pengulangan dengan Mendapat Suku Kata Awal)

Dalam bahasa Jawa pengulangan dengan mendapat suku kata awaldisebut dengan dwipurwa. Sasangka (2008: 104) menjelaskan dwipurwa yaitu tembung kang dumadi saka pangrangkepe purwane tembung lingga utawa pangrangkepe wanda

(15)

kawitaning tembung (pengulangan dua suku kata atau lebih yang berada di depan). Menurut Setiyanto (2007: 86) menjelaskan bahwa tembung dwipurwa adalah tembung yang diulang purwaning linggane (kata yang diulang berdasarkan suku kata depan bentuk dasarnya). Dwipurwa merupakan proses pengulangan sebagian atau seluruh suku kata awal sebuah kata. Dwipurwa dapat disebut juga dengan pengulangan bagian belakang leksem.

Contoh: bungah→ bubungah→ bebungah „senang‟. gaman → gagaman →gegaman „senjata‟ lara →lalara →lelara „sakit‟

c) Dwiwasana (Pengulangan dengan Mendapat Suku Kata Akhir)

Dalam bahasa Jawa pengulangan dengan mendapat suku kata di akhir disebut dwiwasana. Sasangka (2008: 104) dwiwasana yaitu tembung kang ngrangkep wanda wekasan utawa ngrangkep wasanane tembung (kata yang diulangdi akhir atau pengulangan akhir kata). Menurut Setiyanto (2007: 88) dwiwasana merupakan kata yang direkati suku kata yang belakang. Dwiwasana adalah salah satu bentuk tembung rangkep (kata ulang) dalam bahasa Jawa. Disebut tembung dwiwasana karena proses pembentukannya dengan jalan mengulang bagian akhir dari suku kata bentuk dasarnya.

Contoh: cekik + kik menjadi cekikik „tertawa terbahak-bahak‟ cenges→ cengesnges→ cengenges „tertawa- tawa‟

c. Tembung Camboran (Pemajemukan)

1) Pengertian Tembung Camboran (Pemajemukan)

Dalam bahasa Jawa pemajemukan disebut dengan tembung camboran. Pemajemukan adalah proses pembentukan kata melalui penggabungan morfem dasar yang hasil keseluruhannya berstatus sebagai kata yang mempunyai pola fonologis,

(16)

gramatikal, dan semamntik. Menurut Sasangka (2008: 112) tembung camboran atau kata majemuk (kompositum) yaitu tembung loro utawa luwih sing digandheng dadi siji lan tembung mau dadi tembung anyar kang tegese uga melu anyar (dua kata atau lebih yang disambung menjadi satu dan kata tersebut menjadi kata baru yang mempunyai makna baru). Pemajemukan juga dapat diartikan sebagai dua kata atau lebih yang menjadi satu dengan erat sekali dan menunjuk atau menimbulkan penggantian baru. Setiyanto (2007: 91) berpendapat bahwa tembung camboran (kata majemuk) ialah dua kata atau lebih disambung menjadi satu. Tembung camboran terdiri dari tembung camboran wutuh dan tembung camboran tugel. Tembung camboran wutuh yaitu kata majemuk yang dibentuk dari bentuk dasar yang masih utuh. Tembung camboran tugel yaitu kata majemuk yang dibentuk dari bentuk dasar yang disingkat. Adapun kata-katanya ada yang utuh dan ada juga yang sudah disingkat.

2) Jenis Tembung Camboran (Pemajemukan)

Pada paragraf di bawah ini dijelaskan jenis-jenis tembung camboran. Jenis – jenis tembung camboran meliputi. Pertama (a) tembung Camboran Wutuh, yaitu kata majemuk yang dibentuk dari bentuk dasar yang masih utuh dan runtut. Contoh dari tembung camboran wutuh, yaitu buku gambar, kacamata, mahasiswa. Kedua (b) tembung camboran tugel, yaitu kata majemuk yang dibentuk dari bentuk dasar yang disingkat. Contoh dari tembung camboran tugel, yaitu lareangon yang artinya araning ula‟ dhegus berasal dari gedhe dan bagus. Jadi dalam bahasa Jawa jenis – jenis tembung camboran (pemajemukan) meliputi tembung camboran wutuh yang berarti kata majemuk utuh dan tembung camboran tugel berarti kata majemuk yang disingkat.

(17)

F. Bahasa Jawa

Bahasa Jawa merupakan bahasa pertama penduduk Jawa yang digunakan dan tinggal di Propinsi Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Banten, Lampung, sekitar Medan, daerah-daerah transmigrasi di Indonesia, di antaranya sebagai Provinsi Riau, Jambi, Kalimantan Tengah, dan beberapa tempat di luar negeri, yaitu Suriname, Belanda New Caledonia, dan Pantai Barat Johor. Jumlah penuturnya sekarang 75,5 juta. Di dunia terdapat 6.703 bahasa. Bahasa Jawa urutan ke-11 dalam hal jumlah penutur terbanyak. Bahasa Jawa disebut juga bahasa Jawa Baru/Modern dipakai oleh masyarakat Jawa sejak sekitar abad 16 sampai sekarang (Wedhawati 2006:1). Bahasa Jawa adalah salah satu bahasa komunikasi yang digunakan secara khusus di lingkungan etnis Jawa. Bahasa ini merupakan bahasa pergaulan, yang digunakan untuk berinteraksi antarindividu dan memungkinkan terjadinya komunikasi dan perpindahan informasi sehingga tidak ada individu yang ketinggalan zaman. Bahasa Jawa juga merupakan salah satu warisan budaya Indonesia dan dijaga karena jika tidak bahasa Jawa dapat terkikis dan semakin hilang dari pulau Jawa.

G. Koran

1. Pengertian Koran

Menurut Depdiknas, (2011: 266) menjelaskan koran adalah lembaran – lembaran kertas bertuliskan kabar berita dan sebagainya, terbagi dalam kolom-kolom yang terdiri dari 8-9 kolom, terbit setiap hari atau secara periodik atau bisa disebut dengan surat kabar harian. Koran sejenis media massa yang memberitakan kejadian-kejadian sehari-hari dalam kehidupan manusia. Koran biasanya ditujukan sebagai kegiatan komersil dari penerbit koran yang bersangkutan. Tulisan-tulisan yang

(18)

terdapat dalam sebuah koran dihasilkan oleh para penulis berita yang disebut sebagai wartawan. Wartawan tersebut bertugas untuk menulis kejadian-kejadian menarik yang terjadi di tengah masyarakat. Di dalam sebuah koran, biasanya terdapat banyak wartawan yang disebarkan ke berbagai daerah untuk mengumpulkan dan menulis berita yang menarik yang nantinya akan menjadi isi dari koran tersebut. Wartawan tersebut bertugas secara resmi atas nama koran yang bersangkutan dan mendapatkan bayaran atau gaji dari koran tempat dia mempublikasikan berita atau tulisannya.

Koran dari bahasa Belanda: krant, dari bahasa Perancis courant atau surat kabar adalah suatu penerbitan yang ringan dan mudah dibuang, biasanya dicetak pada kertas berbiaya rendah yang disebut kertas koran, yang berisi berita-berita terkini dalam berbagai topik. Topiknya bisa berupa event politik, kriminalitas, olahraga, tajuk rencana, cuaca. Surat kabar juga biasa berisi karikatur yang biasanya dijadikan bahan sindiran lewat gambar berkenaan dengan masalah-masalah tertentu, komik, TTS dan hiburan lainnya. Ada juga surat kabar yang dikembangkan untuk bidang-bidang tertentu, misalnya berita untuk politik, property, industri tertentu, penggemar olahraga tertentu, penggemar seni atau partisipan kegiatan tertentu. Jenis surat kabar umum biasanya diterbitkan setiap hari, kecuali pada hari-hari libur. Surat kabar sore juga umum di beberapa negara. Selain itu, juga terdapat surat kabar mingguan yang biasanya lebih kecil dan kurang prestisius dibandingkan dengan surat kabar harian dan isinya biasanya lebih bersifat hiburan. Media cetak yang biasanya terbit harian, didalamnya berisi berita-berita terkini dalam berbagai topik.

Sebagai sebuah institusi komersil, koran mendapatkan penghasilannya dari iklan-iklan yang dipasang di koran tersebut. Iklan-iklan tersebut tersebar di berbagai halaman, disisipkan diantara tulisan-tulisan, atau disediakan halaman-halaman

(19)

tersendiri yang khusus menampung iklan-iklan. Pemasang iklan membayar sejumlah tarif tertentu kepada penerbit koran. Koran bermanfaat bagi masyarakat untuk mengetahui kejadian-kejadian yang terjadi di daerahnya atau daerah lain atau negara lain. Tanpa koran, masyarakat tidak akan mengetahui kejadian-kejadian yang terjadi di luar jangkauan pergaulannya. Jadi, koran adalah sarana bagi masyarakat untuk meluaskan pandangannya tanpa harus hadir secara langsung untuk menggali informasi dari kejadian yang bersangkutan.

2. Radar Banyumas

Radar Banyumas adalah sebuah surat kabar harian yang terbit di Banyumas, Jawa Tengah, Indonesia. Surat kabar ini termasuk dalam group Jawa Pos. Koran ini pertama kali terbit pada tahun 1998. Radar Banyumas menyajikan berita-berita yang sedang berkembang di daerah Banyumas. Surat kabar ini terbit setiap hari mulai Senin sampai Minggu. Seperti yang kita ketahui bahwa di dalam koran Radar Banyumas terbagi menjadi beberapa Radar bagian daerah, yang meliputi Radar Purwokerto, Radar Purbalinggaterdapat, dan Radar Cilacap.

3. Rubrik

a. Pengertian Rubrik

Menurut Depdiknas, (2011: 433) menjelaskan rubrik adalah kepala, ruangan untuk karangan dalam surat kabar, majalah dan sebagainya. Rubrik bisa dikatakan karangan yang bertopik. Rubrik berasal dari bahasa Belanda yaitu rubriek, yang artinya ruangan pada halaman surat kabar, majalah atau media cetak lainnya mengenai suatu aspek atau kegiatan dalam kehidupan masyarakat. Isi rubrik ada yang secara

(20)

jelas ditampilkan oleh penulis (tersurat) dan ada yang tidak secara jelas ditampilkan oleh penulis (tersirat). Isi rubrik merupakan pokok masalah yang dibicarakan dalam rubrik. Pada penelitian ini peneliti mengambil rubrik “SMS 24 Jam” pada surat kabar Radar Banyumas.

b. Rubrik “SMS 24 Jam”

Rubrik dalam surat kabar misalnya tajuk rencana, surat pembaca, atau dongeng anak. Jadi, di dalam Radar Banyumas pengertian rubrik “SMS 24 Jam” adalah ruangan pada halaman surat kabar yang letaknya di pojok kiri bagian atas, ada pada halaman pertama dalam Radar Banyumas. Radar Banyumas rubrik “SMS 24 Jam” meliputi Radar Purwokerto yang terdiri dari “SMS 24 Jam”, Radar Purbalingga terdiri dari “Purbalingga 24 Jam” dan Radar Cilacap terdiri dari “Cilacap 24 Jam”. Rubrik memuat isi dan pesan yang ingin disampaikan penulis kepada pembaca. Sementara itu pesan rubrik merupakan anjuran atau nasihat penulis yang terdapat pada rubrik yang ditujukan pembaca. Pada masing – masing radar berisi pesan-pesan dari masyarakat seputar karisidenan Banyumas, dan waktu untuk mengirimkan pesan dibuka selama 24 jam sehingga dinamakan “SMS 24 Jam”.

Referensi

Dokumen terkait

menekankan pada analisis semantik karena banyaknya bahasa Jawa yang masuk dalam bahasa Indonesia. Fenomena ini dapat merubah makna kata serapan bahasa Jawa dalam bahasa

Kata hutanisasi terdapat peristiwa pembentukan dengan bentuk dasar bahasa Indonesia hutandan mendapat afiks dari bahasa asing, yaitu (n)isasi. Kalimat tersebut tergolong

Dengan adanya kata “kadung” yang berasal dari bahasa Jawa yang berarti “terlanjur” Dalam kutipan tersebut terdapat peristiwa campur kode karena campur kode akan