IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL IMIGRASI NOMOR : IMI.1917-OT.02.01 TAHUN 2013 TENTANG STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR RUMAH DETENSI IMIGRASI
(Studi Pada Pelayanan Deteni Rumah Detensi Imigrasi (RUDENIM) Pusat Tanjungpinang)
NASKAH PUBLIKASI
Oleh :
ANDRI DWI PUTRA NIM : 080565201007
PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA HAJI TANJUNGPINANG
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL IMIGRASI NOMOR : IMI.1917-OT.02.01 TAHUN 2013 TENTANG STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR RUMAH DETENSI IMIGRASI
(Studi Pada Pelayanan Deteni Rumah Detensi Imigrasi (RUDENIM) Pusat Tanjungpinang)
ANDRI DWI PUTRA
Program Studi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Maritim Raja Ali Haji
A B S T R A K
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia mengeluarkan Peraturan Direktur Jenderal Imigrasi NO IMI. 1917-OT. 02. 01 TAHUN 2013 tentang Standar Operasional Prosedur (SOP) RUDENIM. Salah satu yang diatur dalam standar operasional prosedur tersebut adalah pelayanan deteni. Namun kenyataannya saat ini pelayanan deteni sangat minim, banyak fasilitas yang harusnya disediakan namun tidak disediakan oleh pihak rudenim, sehingga banyak Deteni yang harus keluar untuk mencari makan atau kebutuhannya sendiri. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui untuk mengetahui Implementasi Kebijakan Peraturan Direktur Jenderal Imigrasi Nomor : IMI.1917-OT.02.01 Tahun 2013 Tentang Standar Operasional Prosedur Rumah Detensi Imigrasi (Studi Pada Pelayanan Deteni Rumah Detensi Imigrasi (RUDENIM)
Pusat Tanjungpinang Rumah Detensi Imigrasi (RUDENIM) Pusat
Tanjungpinang). Pada penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian Deskriptif Kualitatif. Dalam penelitian ini sampel berjumlah 5 orang. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis data deskriptif kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian maka dapat diambil kesimpulan bahwa Implementasi Kebijakan Peraturan Direktur Jenderal Imigrasi Nomor : Imi.1917-Ot.02.01 Tahun 2013 Tentang Standar Operasional Prosedur Rumah Detensi Imigrasi pada Pelayanan Deteni Rumah Detensi Imigrasi (RUDENIM) Pusat Tanjungpinang Rumah Detensi Imigrasi (RUDENIM) Pusat Tanjungpinang sudah berjalan sesuai dengan aturan yang berlaku. Namun permasalahan adalah Sarana prasarana pada Rumha deteni masih belum memadai. Keterbatasan tersebut yang akan menimbulkan masalah tidak hanya untuk deteni tetapi juga untuk pegawai.
A B S T R A C T
Ministry of Justice and human rights issue the Regulations the Director General of Immigration NO IMI. 1917-OT. 02.01 2013 on standard Operational Procedure (SOP) RUDENIM. One of the standard operational procedures set forth in the service of deteni. But in fact the current deteni service was minimal, many facilities should be provided but are not provided by the rudenim, so many Deteni that should be looking out for a meal or its needs on its own.
The purpose of this research is to know to know the implementation of the Regulations the Director General of Immigration Policy number: IMI. 1917-OT. 02 2013 Operational Procedures on standard Home Immigration Detensi (study on the Services Deteni Home Detensi Immigration (RUDENIM) Central Detensi House Immigration Tanjungpinang (RUDENIM) Central Tanjungpinang). In this study the author uses Descriptive types of Qualitative research. In this study the sample numbered 5 people. Data analysis techniques used in this research is descriptive qualitative data analysis techniques.
Based on the research results then can be drawn the conclusion that the implementation of the Regulations the Director General of Immigration Policy number: Imi. 1917-Ot. 02 2013 Operational Procedures on standard Home Detensi Home Deteni Service on Immigration Detensi Immigration (RUDENIM) Central Detensi House Immigration Tanjungpinang (RUDENIM) Central Tanjung Pinang has been running in accordance with the applicable rules. But the problem is the infrastructure on the Rumha deteni is still not adequate. The limitations that will cause problems not only for deteni but also for the employees.
LATAR BELAKANG
Negara Indonesia adalah
negara yang memiliki posisi strategis dalam pergaulan internasional, baik
dari geografis maupun potensi
sumber daya alam dan sumber daya manusia yang mengakibatkan arus lalu lintas orang masuk dan keluar
wilayah Indonesia semakin
meningkat dan mudah untuk di akses. Semakin terbuka lebarnya jalur lalu lintas antar negara pada saat ini menyebabkan meningkatnya pula mobilitas barang dan manusia antar satu negara ke negara lain.
Dalam memenuhi
kebutuhannya, secara tidak langsung negara membuka lebar pintu masuk dan akses ke dalam ruang lingkup batasan Negara. Dalam memasuki
globalisasi di seluruh sektor
kehidupan masyarakat dunia dan berkembangnya teknologi di bidang informasi dan komunikasi yang
menembus batas wilayah
kenegaraan, aspek hubungan
kemanusiaan yang selama ini bersifat
nasional berkembang menjadi
bersifat internasional yang
bersamaan dengan tumbuh dan
berkembangnya tuntutan
terwujudnya tingkat kesetaraan
dalam aspek kehidupan kemanusiaan dan mendorong adanya kewajiban untuk menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia sebagai bagian kehidupan universal.
Para pengungsi adalah
orang-orang tidak dapat mencari
penghidupan serta memperbaiki taraf kehidupan mereka tanpa adanya bantuan perlindungan dari negara dimana mereka berada. Kepergian
mereka juga karena terpaksa,
akibatnya mereka tidak dapat
mengurus dokumen-dokumen
(suratsurat) perjalanan yang sangat dibutuhkan sewaktu mereka berjalan melintasi batas negara mereka untuk pergi mengungsi ke negara lain.
Salah satu fungsi pemerintah selain untuk memberikan pelayanan terhadap masyarakat juga berfungsi
dalam pelaksanakan pengawasan
terhadap jalannya pelayanan
masyarakat, agar penyelenggaraan pemerintah daerah berjalan sesuai dengan rencana dan perundang– undangan yang berlaku serta agar
pelaksanaan pekerjaan diperoleh
secara efektif dan efisien sesuai
dengan rencana yang telah
ditentukan sebelumnya, sehingga dengan adanya pengawasan dapat menjamin bahwa semua kegiatan yang diselenggarakan dalam suatu organisasi didasarkan pada suatu rencana termasuk suatu strategi yang telah ditetapkan sebelumnya tanpa perlu mempersoalkan pada tingkat manajerial mana rencana tersebut disusun dan ditetapkan.
Dengan bertambahnya
jumlah pengungsi maka Majelis Umum PBB melihat bahwa upaya internasional sangat diperlukan yaitu membentuk badan khusus untuk menangani masalah pengungsi dan
peraturan internasional yang
mengatur khusus mengenai
pengungsi. Sesuai resolusi 319A (IV) pada tanggal 3 Desember 1949, Majelis umum memutuskan untuk mendirikan kantor Komisi Tinggi untuk Pengungsi PBB di Jenewa. Komisi tinggi tersebut, yaitu United Nation High Commissioner for Refugee (UNHCR) didirikan pada tahun 1950 dan baru menjalankan mandat pada tahun 1951 setelah International Refugee Organization
(IRO) dibubarkan.
Tanggung jawab utama
UNHCR yang lebih dikenal sebagai perlindungan internasional adalah untuk menjamin kehormatan hak dasar asasi manusia bagi pengungsi, termasuk haknya pencari suaka dan menjamin bahwa tak seorangpun boleh dipulangkan secara paksa ke suatu negara dimana ia mempunyai
alasan untuk takut akan
penganiayaan. Selain itu juga, pada
tanggal 14 November 1989
dibentuklah International
Organization for Migration (IOM)
berdasarkan amandemen dan
ratifikasi konstitusi pada tahun 1953
yang mempunyai tugas untuk
membantu kehidupan sehari-hari.
Dalam penanganan
pelanggaran keimigrasian dan untuk menampung para pencari suaka tersebut maka dibentuklah Rumah Detensi Imigrasi yang bertujuan
untuk menangani pelanggaran
prosedural keimigrasian yang
dilakukan oleh warga negara asing termasuk para pencari suaka, dan juga melindungi hak asasi manusia dari warga negara asing sehingga dengan demikian maka dampak dari
pelanggaran prosedural yang
dilakukan oleh warga negara asing dapat di netralisir melalui Rumah
Detensi Imigrasi sekaligus
melindungi hak asasi manusia warga negara asing yang berada di wilayah Negara Republik Indonesia. Menurut Pasal 1 ayat (1) Peraturan Menteri Hukum dan HAM R. I No. M. 05. IL. 02. 01 Tahun 2006, RUDENIM
yang selanjutnya disingkat
RUDENIM adalah tempat
penampungan sementara orang asing
yang melanggar peraturan
perundang-undangan yang dikenakan
tindakan keimigrasian dan menunggu proses pemulangan ke negaranya.
Semakin meningkatnya arus
kedatangan imigran ilegal (Pencari
Suaka/Pengungsi) di Indonesia,
pemerintah Indonesia memandang perlu didirikan sebuah Rudenim yang berkapasitas besar. dan pada tahun 2008 dibangunlah gedung Rumah Detensi Imigrasi terbesar di Indonesia yang terletak di Kota Tanjungpinang Provinsi Kepulauan Riau. Pada Awalnya Rudenim di Tanjungpinang ini mulai beroperasi pada bulan April tahun 2009 dengan
menunjuk Pejabat dari Kanwil
Depkumham RI Kepulauan Riau,
sebagai penanggung jawab
sementara dengan dibantu oleh
pegawai dari Kantor Imigrasi
Tanjungpinang dan beberapa CPNS dari beberapa UPT di seluruh wilayah Kepulauan Riau.
Kementerian Hukum dan Hak
Asasi Manusia mengeluarkan
Peraturan Direktur Jenderal Imigrasi NO IMI. 1917-OT. 02. 01 TAHUN 2013 tentang Standar Operasional Prosedur (SOP) RUDENIM. Ada 6 SOP yang diatur yaitu :
1. Prosedur, pendetensian
meliputi penerimaan dan
registrasi, kemudian
perawatan, penempatan dan pengamanan.
2. Pelayanan Deteni meliputi
persediaan air bersih,
penyediaan kebutuhan
makanan dan minuman,
kesehatan dan kebersihan,
ibadah, kunjungna,
penyegaran dan hiburan.
3. Penjatuhan sanaksi
pelanggaran tata tertib yaitu teguran secara lisan, terguran secara tertulis.
4. Pemindahan deteni yaitu
pemindahan antar kamar,
antar rudenim, dari rudenim
ketempat lain, dan dari
rudenim ke direktorat jendral imigrasi
5. Penanganan kelahiran,
kematian, pelanggaran,
mogok makan,
pemeriksanaan kesehatan,
dan melarikan diri.
6. Pemulangan dan Deportasi yaitu persiapan, pelaksanaan dan pelaporan dan usulan penangkalan
Salah satu yang diatur dalam standar operasional prosedur tersebut
adalah pelayanan deteni.
Berdasarkan pelayanan deteni dalam SOP tersebut dijelaskan bahwa pihak detensi berkewajibn memberikan pelayanan kepeda deteni seperti dalam penyediaan air bersih, dimana Kepala bidang registrasi, perawatan dan kesehatan atau seksi perawatan
dan kesehatan bertugas untuk
mengupayakan tersedianya air bersih yang cukup. Kemudian Penyediaan kebutuhan Makanan dan minuman Kepala bidang registrasi, perawatan dan kesehatan atau seksi perawatan
dan kesehatan bertugas
menyediakan: 1) makanan dan
minuman yang layak sebanyak 3 (tiga) kali sehari; 2) makanan tambahan untuk kesehatan atau daya tahan tubuh Deteni (extra fooding);
pengaturan pemberian makanan,
seperti cara pembagian, jadwal
makan bagi Deteni yang
menjalankan ibadah keagamaan,
seperti puasa, disesuaikan dengan
waktu sahur dan berbuka; 4)
pemberian jenis makanan dan
minuman tertentu bagi Deteni
berdasarkan rekomendasi petugas
kesehatan; 5) pemberian makanan dan minuman bagi Deteni baru yang
datang untuk ditempatkan di
Rudenim diluar jam makan,
berdasarkan rekomendasi Kepala Rudenim.
Tidak hanya itu pihak rudenim
juga berkewajiban memberikan
Kesehatan dan Kebersihan. Kepala bidang registrasi, perawatan dan kesehatan atau seksi perawatan dan kesehatan bertugas mengupayakan kesehatan dan kebersihan dengan melakukan: pemeriksaan kesehatan Deteni secara rutin; dalam hal kondisi kesehatan Deteni tidak dapat ditangani oleh petugas kesehatan
rudenim, pemeriksaan kesehatan
Deteni dapat dilakukan di klinik, puskesmas, atau rumah sakit untuk
mendapatkan penanganan lebih
lanjut bagi Deteni dalam kondisi kesehatan kritis, dapat diberikan fasilitas
pemeriksaan kesehatan di Unit
Gawat Darurat (UGD) rumah sakit; Deteni yang mengidap penyakit akut, dapat dirawat di rumah sakit.
Kemudian meyediakan atau
memfasilitasi agar Deteni dapat
beribadah menurut agama dan
kepercayaannya disesuaikan dengan
kondisi Rudenim, kemudian
memberikan waktu kunjungan, dan memberikan Deteni diberikan waktu untuk kegiatan penyegaran/hiburan dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi antara jumlah Deteni dan fasilitas yang tersedia.
Namun kenyataannya saat ini pelayanan deteni sangat minim,
banyak fasilitas yang harusnya
disediakan namun tidak disediakan oleh pihak rudenim, sehingga banyak Deteni yang harus keluar untuk
mencari makan atau kebutuhannya sendiri. Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk memilih judul penelitian sebagai berikut : “IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
PERATURAN DIREKTUR
JENDERAL IMIGRASI NOMOR : IMI.1917-OT.02.01 TAHUN 2013
TENTANG STANDAR
OPERASIONAL PROSEDUR
RUMAH DETENSI IMIGRASI (Studi Pada Pelayanan Deteni Rumah Detensi Imigrasi
(RUDENIM) Pusat
Tanjungpinang)”. Perumusan Masalah
Dari uraian latar belakang
masalah di atas maka penulis mencoba menarik suatu perumusan masalah yaitu :
Bagaimana Implementasi Kebijakan Peraturan Direktur Jenderal Imigrasi Nomor : IMI.1917-OT.02.01 Tahun 2013 Tentang Standar Operasional Prosedur Rumah Detensi Imigrasi
(Studi Pada Pelayanan Deteni
Rumah Detensi Imigrasi
(RUDENIM) Pusat Tanjungpinang)?
Tujuan dan Kegunaan 1. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi
tujuan dalam penelitian ini pada dasarnya yaitu untuk mengetahui
Implementasi Kebijakan
Peraturan Direktur Jenderal
Imigrasi Nomor : IMI.1917-OT.02.01 Tahun 2013 Tentang Standar Operasional Prosedur Rumah Detensi Imigrasi (Studi Pada Pelayanan Deteni Rumah Detensi Imigrasi (RUDENIM) Pusat Tanjungpinang Rumah Detensi Imigrasi (RUDENIM) Pusat Tanjungpinang)
2. Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Penelitian ini diharapkan
dapat memberikan
informasi sebagai bahan
masukan bagi Pegawai
Rumah Detensi Imigrasi Tanjungpinang khususnya dalam penerapan Standar
Operasional Prosedur
Rumah Detensi Imigrasi. b. Dijadikan bahan masukan
bagi pihak yang
berkepentingan terutama
bagi para peneliti yang sama.
c. Menambah wawasan dan pengetahuan dalam bidang Ilmu Pemerintahan
Konsep Operasional
Konsep operasional adalah
upaya mendefinisikan atau
membatasi ruang lingkup masalah penelitian sesuai dengan variabel dan indikator yang telah ditetapkan berdasarkan teori yang nantinya akan
diterapkan dalam melaksanakan
pengukuran di lapangan, sehingga tidak terjadi perbedaan penafsiran dalam menganalisa penelitian ini.
Konsep-konsep tersebut
dioperasionalkan agar hasil dari penelitian yang akan dilakukan dapat lebih mencapai tujuan, maka penulis membuat batasan pembahasan atau konsep operasional, maka penulis
mengacu pada pendapat yaitu
pendapat Edward III
(Winarno:2007:177). Dalam hal ini peneliti mengambil beberapa dimensi yang akan dapat melihat dari dimensi sebagi berikut :
1. Komunikasi
berjalan dengan baik apabila ukuran-ukuran dan tujuan-tujuan
kebijakan dipahami oleh
individu-individu yang
bertanggungjawab dalam
pencapaian tujuan kebijakan.
Kejelasan ukuran dan tujuan kebijakan dengan demikian perlu dikomunikasikan secara tepat dengan para pelaksana. Hal ini
dapat dilihat dari indikator
sebagai berikut : Transmisi kebijakan
2. Sumber daya
Untuk mengimplementasikan
kebijakan sangat dibutuhkan
sumber-sumber terkait dalam
pelaksanaan kebijakan, adanya
sumber daya manusia yang
menjamin bahwa kebijakan dapat diarahkan kepada sebagaimana yamg diharapkan, serta adanya fasilitas-fasilitas pendukung yang
dapat dipakai untuk
melaksanakan kebijakan.
ketersediaan sumber daya ini dapat di ukur dari indikator sebagai berikut:
a. Sumber daya manusia seperti kepala pegawai memfasilitasi kunjungan, penasehat hukum kepada rudenim
b. Sarana dan Prasarana yaitu
menyediakan air bersih,
penyediaan kebutuhan
makanan dan minuman,
kesehatan, kebersihan,
kunjungan serta hiburan.
3. Sikap Pelaksana
Salah satu faktor yang
mempengaruhi efektifitas
implementasi kebijakan adalah
sikap implementor. Jika
implemetor setuju dengan
bagian-bagian isi dari kebijakan maka mereka akan melaksanakan
dengan senang hati tetapi jika
pandangan mereka berbeda
dengan pembuat kebijakan maka
proses implementasi akan
mengalami banyak masalah.
Dalam hal ini dapat dilihat dari indikator : Adanya kesadaran
pegawai selaku pelaksana
kebijakan
4. Struktur Birokrasi
Struktur birokrasi adalah
karakteristik, norma-norma, dan pola-pola hubungan yang terjadi
berulang-ulang dalam
badan-badan eksekutif yang mempunyai hubungan baik potensial maupun nyata dengan apa yang mereka
miliki dalam menjalankan
kebijakan. Adanya Standar
Operating Prosedures (SOP),
seperti dalam SOP bahwa Kepala Bidang Penempatan, Keamanaan, Pemulangan, dan deportasi serta kepala seksi keamanan ketertiban bertugas dengan baik sesuai fungsinya.
Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian
Pada penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian Deskriptif kualitatif. Menurut Moleong (2002 : 6) deskriptif adalah data dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah
dan dengan memanfaatkan
berbagai metode alamiah.
Sedangkan kualitatif adalah
penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek
penelitian misalnya perilaku,
persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain secara holistik.
Yang menjadi lokasi penelitian penulis adalah Rumah Detensi Imigrasi (RUDENIM) Pusat Tanjungpinang.
3. Informan
Teknik penentuan dalam penelitian ini adalah dilakukan
dengan teknik purposive
sampling, yaitu teknik penentuan
sampel dengan pertimbangan tertentu. Pertimbangan tertentu
yang dimaksudkan adalah
dengan mengambil orang-orang yang telah diketahui mempunya pengetahuan, pengalaman, dan
memahami permasalahan.
Informan dalam penelitian ini
adalah Informan dalam
penelitian ini adalah pegawai
Rumah Detensi Imigrasi
Tanjungpinang yang mengetahui secara jelas mengenai Standar Operasional Prosedur Rumah Detensi Imigrasi (RUDENIM). Jumlah informan adalah 4 orang.
4. Sumber Data a. Data Primer
Data primer merupakan data yang dikumpulkan dan
diolah sendiri yang
berhubungan dengan
penelitian. Data ini diperoleh dari responden meliputi data
mengenai Implementasi
Kebijakan Peraturan Direktur Jenderal Imigrasi Nomor :
IMI.1917-OT.02.01 Tahun
2013 Tentang Standar
Operasional Prosedur Rumah Detensi Imigrasi (Studi Pada
Rumah Detensi Imigrasi
(RUDENIM) Pusat
Tanjungpinang).
b. Data Sekunder
Yaitu data yang diperoleh dalam bentuk yang sudah
jadi, sudah dikumpulkan dan
diolah dalam bentuk
publikasi, seperti data lokasi penelitian, gambaran umum,
sarana dan prasarana,
penjabaran tugas pokok,
struktur organisasi, serta data
mengenai pengelolaan
RUDENIM.
5. Teknik Dan Alat Pengumpul Data
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan beberapa teknik pengumpulan data yaitu :
a. Observasi
Teknik pengumpulan
data secara observasi
mempunyai ciri-ciri yang
spesifik bila dibandingkan
dengan teknik lain. Hal ini
sejalan dengan pendapat
Sugiyono (2005:166) yang
mengemukakan bahwa “ tehnik
observasi merupakan suatu
proses yang komplek dan sulit,
yang tersusun dari berbagai
proses biologis dan proses
psikologis diantaranya yang
terpenting adalah pengamatan dan ingatan”. Dalam penelitian
yang dilakukan ini,
observasi yang peneliti gunakan yaitu observasi terstruktur yang telah dirancang secara sistematis, tentang apa yang diamati, kapan dan dimana tempatnya, dengan alat pengumpul data yaitu Check list.
b. Wawancara / Interview
Wawancara adalah
metode pengumpulan data
dengan melakukan tanya jawab
terhadap informan. Menurut
Hasan (2002:85) “ wawancara adalah teknik pengumpulan data dengan mengajukan pertanyaan
langsung oleh pewawancara kepada informan, dan jawaban-jawaban informan dicatat atau direkam”. Teknik pengumpulan data ini merupakan proses tanya jawab antara dua orang atau lebih. Bertatap muka secara langsung dengan menggunakan pedoman wawancara sebagai
acuan dalam pengajuan
pertanyaan.
c. Dokumentasi
Menurut Arikunto
(2006:158) “Dalam
melaksanakan dokumentasi
peneliti menyelidiki benda-benda
tertulis seperti buku-buku,
majalah, dokumen, peraturan-peraturan, notulen rapat, catatan harian dan sebagainya”. Adapun dokumentasi dalam hal ini dapat
dilakukan dengan
mengumpulkan yang
berhubungan dengan penelitian, membuat catatan-catatan yang
ditemui dilapangan serta
mengambil beberapa gambar
yang berhubungan dengan
pengelolaan hutan mangrove. Alat yang digunakan dalam metode ini yaitu catatan harian serta kamera yang digunakan untuk mengambil gambar.
Teknik Analisa Data
Analisis data yang digunakan untuk menganalisa data-data yang didapat dari penelitian ini adalah analisis deskriptif kualitatif, yaitu upaya yang dilakukan dengan jalan
bekerja dengan data,
mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang
dipelajari dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain. (Moleong, 2002:248)
LANDASAN TEORITIS 1. Kebijakan
Kebijakan pada dasarnya
merupakan ketentuan-ketentuan yang harus dijadikan pedoman, pegangan atau petunjuk bagi setiap usaha dan
kegiatan dari aparatur
pemerintah/pegawai. Kebijakan
merupakan hasil keputusan
manajemen puncak yang dibuat dengan hati-hati yang intinya berupa tujuan-tujuan, prinsip-prinsip dan
aturan-aturan yang mengarahkan
organisasi melangkah kemasa depan. Kebijakan publik adalah hasil
pengambilan keputusan oleh
manajemen puncak baik berupa tujuan, prinsip, maupun aturan yang berkaitan dengan hal-hal strategis untuk mengarahkan manajer dan personel dalam menentukan masa depan organisasi yang berimplikasi bagi kehidupan masyarakat. Suatu kebijakan publik yang telah diterima dan disahkan (adapted) tidaklah akan
ada artinya apabila tidak
dilaksanakan. Untuk itu
implementasi kebijakan publik
haruslah berhasil, malahan tidak hanya implementasinya saja yang berhasil, akan tetapi tujuan (goal) yang terkandung dalam kebijakan publik itu haruslah tercapai yaitu
terpenuhinya kepentingan
masyarakat (public inters).
Kebijakan publik adalah sebagai kebijakan yang dibuat oleh badan-badan pemerintah dan para aktor
politik yang bertujuan untuk
menyelesaikan masalah publik.
Menurut Dye (Subarsono:2008:2) kebijakan publik adalah apapun
pilihan pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan.
Dari pendapat diatas dijelaskan bahwa kebijakan publik mencakup sesuatu yang tidak dilakukakn oleh
pemerintah disamping yang
dilakukan oleh pemerintah ketika
pemerintah menghadapi suatu
masalah publik.
Suatu kebijakan yang telah diterima dan disahkan tidaklah akan
ada artinya apabila tidak
dilaksanakan. Menurut Merilee S. Grindle(Nugroho 2003:174) isi dari kebijakan mencakup :
1. kepentingan yang
terpengaruhi oleh kebijakan, 2. jenis manfaat yang akan dihasilkan
3. derajat perubahan yang
diinginkan ,
4. kedudukan pembuat
kebijakan,
5. (siapa) pelaksana program,
6. Semberdaya yang
dikerahkan,
Sementara itu konteks
implementasinya adalah :
1. kekuasaan, kepentingan dan strategi actor yang terlibat 2. karakteristik lembaga dan
penguasa
3. kepatuhan dan daya tanggap
Kebijakan itu merupakan
rumusan suatu tindakan yang
dikembangkan dan diputuskan oleh instansi atau pejabat pemerintah
guna mengatasi atau
mempertahankan suatu kondisi.
Menurut Friedich (Agustino:2006:7)
kebijakan adalah serangkaian
tindakan atau kegiatan yang
diusulkan oleh seseorang, kelompok,
atau pemerintah, dalam suatu
lingkungan tertentu dimana terdapat hambatan-hambatan atau
kesulitan-kesulitan dan
kemungkinan-kemungkinan dimana kebijakan itu
diusulkan agar berguna dalam
mengatasinya untuk mencapai tujuan yang dimaksud.
Maka dapat disimpulkan bahwa kebijakan itu merupakan serangkaian
tindakan atau kegiatan yang
diusulkan oleh seseorang atau
pemerintah, untuk mengatasi suatu persoalan atau permasalahan yang terdapat dalam masyarakat, sehingga dengan kebijakan ini diharapkan akan dapat mengatasi permasalahan yang terdapat dalam masyarakat,
sehingga dengan kebijakan ini
diharapkan akan dapat mengatasi permasalahan tersebut.
2. Implementasi Kebijakan
Abidin (2002:186) menyatakan
bahwa: “Implementasi atau
pelaksanaan kebijakan terkait dengan identifikasi permasalahan dan tujuan serta formulasi kebijakan sebagai langkah awal dan monitoring serta evaluasi sebagai langkah akhir”.
Winarno (2007:144)
Implementasi dipandang secara luas
mempunyai makna pelaksanaan
undang-undang dimana berbagai
aktor, organisasi, prosedur dan
teknik bekerja bersama-sama
menjalankan kebijakan dalam upaya
untuk meraih tujuan-tujuan
kebijakan. Implementasi pada sisi yang lain merupakan fenomena yang
kompleks yang mungkin dapat
dipahami sebagai suatu proses, suatu keluaran (output) maupun sebagai suatu dampak (outcome).
Implementasi kebijakan
merupakan tahap kedua setelah
pembuatan atau pengembangan
kebijakan. Nugroho (2003:158)
mengemukakan bahwa:
prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya”
Meter dan Horn (dalam
Subarsono, 2008;99) mengemukakan bahwa terdapat enam variabel yang mempengaruhi kinerja implementasi, yakni;
1) Standar dan sasaran
kebijakan, di mana standar dan sasaran kebijakan harus jelas dan terukur sehingga
dapat direalisir apabila
standar dan sasaran
kebijakan kabur,
2) Sumberdaya, dimana
implementasi kebijakan
perlu dukungan sumberdaya, baik sumber daya manusia maupun sumber daya non manusia.
3) Hubungan antar organisasi,
yaitu dalam benyak
program, implementor
sebuah program perlu
dukungan dan koordinasi
dengan instansi lain,
sehingga diperlukan
koordinasi dan kerja sama
antar instansi bagi
keberhasilan suatu program. 4) Karakteristik agen pelaksana
yaitu mencakup stuktur
birokrasi, norma-norma dan pola-pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi yang
semuanya itu akan
mempengaruhi implementasi suatu program.
5) Kondisi sosial, politik, dan
ekonomi. Variable ini
mencakup sumberdaya
ekonomi lingkungan yang
dapat mendukung
keberhasilan implementasi
kebijakan, sejauh mana
kelompok-kelompok
kepentingan memberikan
dukungan bagi implementasi kebijakan, karakteristik para partisipan, yakni mendukung atau menolak, bagaimana sifat opini public yang ada di lingkungan, serta apakah
elite politik mendukung
implementasi kebijakan. 6) Disposisi implementor yang
mencakup tiga hal yang
penting, yaitu respon
implementor terhadap
kebijakan, yang akan
mempengaruhi kemauannya
untuk melaksanakan
kebijakan, kognisi yaitu
pemahaman terhadap
kebijakan, intensitas
disposisi implementor, yaitu preferensi nilai yang dimiliki oleh implementor.
Nugroho (2003:158)
mengemukakan bahwa implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya. Dari kedua
pendapat ahli ini yang perlu
ditekankan adalah bahwa tahap implementasi kebijakan tidak akan dimulai sebelum tujuan-tujuan dan
sasaran-sasaran ditetapkan atau
diidentifikasikan oleh
keputusan-keputusan kebijaksanaan.
Keberhasilan implementasi
kebijakan akan ditentukan oleh banyak variabel dan faktor dan variabel tersebut saling berhubungan satu sama lain, menurut Edwards III (Subarsono 2008:90-92) ada empat
variabel dalam implementasi
kebijakan publik yaitu : 1. Komunikasi
Keberhasilan Implementasi
Kebijakan mensyaratkan agar implementor mengetahui apa
yang harus dilakukan. Apa yang menjadi tujuan dan
sasaarn kebijakan harus
ditransmisikan kepada
kelompok sasaran (target
group) sehingga akan
mengurangi distorsi
implementasi. 2. Sumber Daya
Sumber daya dapat berwujud sumber daya manusia, yakni kompetensi implementor dan
sumber daya financial,
sumber daya adalah factor
penting untuk
mengimplementasi kebijakan agar efektif.
3. Disposisi
Disposisi adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh implementor, seperti komitmen, kejujuran, sifat demokratis
4. Struktur Birokrasi
Birokrasi merupakan salah satu badan yang paling sering bahkan secara keseluruhan menjadi pelaksana kebijakan. Kerja sama yang baik dalam birokrasi dan struktur yang
kondusif akan membuat
pelaksanaan kebijakan
efektif.
Dari pendapat diatas dapat
disimpulkan bahwa agar kebijakan
itu berhasil dalam pencapaian
tujuannya, maka serangkaian usaha perlu dilakukan diantaranya perlu
dikomunikasikan secara terbuka,
jelas, dan transparan kepada sasaran.
Perlunya sumber daya yang
berkualitas untuk pelaksanaannya dan perlunya dirampungkan struktur pelaksana kebijakan.
Van Meter dan Van Horn (dalam
Winarno 2007:146) mengatakan
bahwa : “implementasi kebijakan
sebagai tindakan-tindakan yang
dilakukan oleh individu-individu
(atau kelompok-kelompok)
pemerintah maupun swasta yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam
keputusan-keputusan kebijakan
sebelumnya. Tindakan-tindakan ini
mencakup usaha-usaha untuk
mengubah keputusan-keputusan
menjadi tindakan-tindakan
operasional dalam kurun waktu
tertentu maupun dalam rangka
melanjutkan usaha-usaha untuk
mencapai perubahan-perubahan
besar dan kecil yang ditetapkan oleh keputusan-keputusan kebijakan”.
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut diatas, dapat disimpulkan
implementasi kebijakan publik
adalah suatu tindakan pejabat
pemerintah atau lembaga pemerintah dalam menyediakan sarana untuk melaksanakan progam yang telah ditetapkan sehingga program tersebut
dampak menimbulkan dampak
terhadap tercapainya tujuan.
Mazmanian dan Sabatier
(Wahab, 1997:68-69) merumuskan “Proses implementasi kebijaksanaan
negara dengan lebih rinci:
“Implementasi adalah pelaksanaan keputusan kebijakan dasar, biasanya dalam bentuk undang-undang namun
dapat pula berbentuk
perintah-perintah atau keputusan keputusan
eksekutif yang penting atas
keputusan badan peradilan.
Lazimnya keputusan tersebut
mengidentifikasi masalah yang ingin
diatasi, menyebut secara tegas
tujuan/sasaran yang ingin dicapai
dan berbagai cara untuk
implementasinya”. Secara khusus Wahab (1997:5-10) mengemukakan tentang ciri-ciri yang melekat pada kebijakan yaitu:
a. “Kebijakan itu dirumuskan
oleh orang-orang yang
memiliki wewenang dalam sistem politik seperti ketua adat, ketua suku, eksekutif,
legislator, hakim,
administrator, monarkhie,
dan sebagainya.
b. Kebijakan merupakan
tindakan yang mengarah pada
tujuan melalui
tindakan-tindakan yang direncanakan secara matang.
c. Kebijakan itu hakekatnya
terdiri atas tindakan-tindakan yang berkait dan berpola yang mengarah pada tujuan tertentu yang dilakukan oleh
pejabat pemerintah.
Kebijakan tidak hanya
mencakup keputusan untuk
membuat undang-undang
dalam bidang tertentu tapi
juga diikuti dengan
keputusan-keputusan yang
bersangkutan dengan
implementasi dan pemaksaan pemberlakuannya
d. Kebijakan bersangkutan
dengan apa yang senyatanya dilakukan pemerintah dalam bidang-bidang tertentu baik
berbentuk positif atau
negatif”.
Implementasi kebijakan
merupakan aspek yang penting dalam keseluruhan proses kebijakan dan merupakan suatu upaya untuk mencapai tujuan tertentu dengan sarana tertentu dan dalam urutan
waktu tertentu. Pada dasarnya
implementasi kebijakan adalah upaya
untuk mencapai tujuan yang sudah ditentukan dengan mempergunakan sarana dan menurut waktu tertentu, agar dapat mencapai output/outcome dan agar policy demands dapat terpenuhi maka kebijakan harus dilaksanakan, pelaksanaan kebijakan dapat pula dirumuskan sebagai pengguna sarana yang ditentukan terlebih dahulu.
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Rumah Detensi Imigrasi
Pusat Tanjungpinang merupakan
Unit Pelaksana Teknis Direktorat Jenderal Imigrasi yang melaksanakan sebagian tugas pokok dan fungsi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia di bidang pendetensian
orang asing yang melanggar
peraturan perundang-undangan yang
dikenakan tindakan keimigrasian
yang telah mendapatkan keputusan
pendetensian dalam rangka
pemulangan atau deportasi. Rumah
Detensi Imigrasi Pusat
Tanjungpinang memiliki wilayah
kerja seluruh wilayah negara
Republik Indonesia. Sedangkan
keberadaan letak posisinya berada di Pulau Bintan Provinsi Kepulauan Riau.
Rudenim Pusat mempunyai tugas melaksanakan sebagian tugas
pokok dan fungsi Departemen
Hukum dan Hak Asasi Manusia dibidang pendetensian orang asing
yang melanggar peraturan
perundang-undangan yang dikenakan tindakan keimigrasian yang telah
mendapatkan keputusan
pendetensian dalm rangka
pemulangan dan deportasi.
tugas tersebut, Rudenim Pusat mempunyai fungsi: Pelaksanakan tugas pendetensian, pengisolasian
dan pendeortasian; Pelaksanaan
tugas pemulangan dan pengusulan penangkalan; Pelaksanaan fasilitasi penempatan orang asing kenegara ketiga; dan. Pelaksanaan pengelolaan tata usaha.
PEMBAHASAN
Salah satu fungsi pemerintah selain untuk memberikan pelayanan terhadap masyarakat juga berfungsi
dalam pelaksanakan pengawasan
terhadap jalannya pelayanan
masyarakat, agar penyelenggaraan pemerintah daerah berjalan sesuai dengan rencana dan perundang– undangan yang berlaku serta agar
pelaksanaan pekerjaan diperoleh
secara efektif dan efisien sesuai
dengan rencana yang telah
ditentukan sebelumnya, sehingga dengan adanya pengawasan dapat menjamin bahwa semua kegiatan yang diselenggarakan dalam suatu organisasi didasarkan pada suatu rencana termasuk suatu strategi yang telah ditetapkan sebelumnya tanpa perlu mempersoalkan pada tingkat manajerial mana rencana tersebut disusun dan ditetapkan.
Dalam penanganan pelanggaran keimigrasian dan untuk menampung para pencari suaka tersebut maka dibentuklah Rumah Detensi Imigrasi yang bertujuan untuk menangani pelanggaran prosedural keimigrasian yang dilakukan oleh warga negara asing termasuk para pencari suaka, dan juga melindungi hak asasi manusia dari warga negara asing sehingga dengan demikian maka dampak dari pelanggaran prosedural
yang dilakukan oleh warga negara asing dapat di netralisir melalui Rumah Detensi Imigrasi sekaligus melindungi hak asasi manusia warga negara asing yang berada di wilayah Negara Republik Indonesia. Menurut Pasal 1 ayat (1) Peraturan Menteri Hukum dan HAM R. I No. M. 05. IL. 02. 01 Tahun 2006, RUDENIM
yang selanjutnya disingkat
RUDENIM adalah tempat
penampungan sementara orang asing
yang melanggar peraturan
perundang-undangan yang dikenakan tindakan keimigrasian dan menunggu proses pemulangan ke negaranya.
Kementerian Hukum dan Hak
Asasi Manusia mengeluarkan
Peraturan Direktur Jenderal Imigrasi NO IMI. 1917-OT. 02. 01 TAHUN 2013 tentang Standar Operasional Prosedur (SOP) RUDENIM. Salah satu yang diatur dalam standar operasional prosedur tersebut adalah pelayanan deteni.
1. Komunikasi
Pelaksanaan kebijakan akan berjalan dengan baik apabila ukuran-ukuran dan tujuan-tujuan kebijakan
dipahami oleh individu-individu
yang bertanggungjawab dalam
pencapaian tujuan kebijakan.
Kejelasan ukuran dan tujuan
kebijakan dengan demikian perlu dikomunikasikan secara tepat dengan para pelaksana. Hal ini dapat dilihat dari indikator sebagai berikut : Transmisi kebijakan.
Transmisi kebijakan merupakan pengiriman atau penerusan, dengan adanya pengiriman dan penerusan informasi yang baik dari pemerintah
melalui Implementasi Kebijakan
Peraturan Direktur Jenderal Imigrasi Nomor : Imi.1917-Ot.02.01 Tahun 2013 Tentang Standar Operasional
Prosedur Rumah Detensi Imigrasi.
Berdasarkan hasil penelitian
maka dapat dianalisa bahwa pernah
dilakukan sosialisasi, namun
sosialisasi yang dilakukan tidak sampai ke tahapan manfaat yang didapatkan dalam Peraturan Direktur Jenderal Imigrasi Nomor :
Imi.1917-Ot.02.01 Tahun 2013 Tentang
Standar Operasional Prosedur
Rumah Detensi Imigrasi.
Komunikasi dalam pelaksanaan
kebijakan sangat penting untuk dilaksanakan. Hal ini bertujuan agar
dapat memberikan informasi
berkenaan dengan kebijakan yang telah dibuat. Hal ini juga sangat penting bagi para implementor untuk
melaksanakan sebuah kebijakan
dimana kebijakan akan dapat
diketahui isi dan tujuannya jika sudah dikomunikasi dengan baik kepada para pelaksana kebijakan tersebut.
2. Sumber daya
Untuk mengimplementasikan kebijakan sangat dibutuhkan sumber-sumber terkait dalam pelaksanaan kebijakan, adanya sumber daya manusia yang menjamin bahwa kebijakan dapat diarahkan kepada sebagaimana yamg diharapkan, serta adanya fasilitas-fasilitas pendukung
yang dapat dipakai untuk
melaksanakan kebijakan.
ketersediaan sumber daya ini dapat di ukur dari indikator sebagai berikut:
a. Sumber daya manusia
Dimana implementasi
kebijakan perlu dukungan
sumberdaya, baik sumber daya manusia maupun sumber daya non manusia. Dalam mewujudkan sebuah kebijakan dibutuhkan sumber daya yang baik agar kebijakan dapat
mencapai tujuannya termasuk dalam pelayanan yang diadakan rumah detensi.
Berdasarkan hasil
wawancara dengan informan maka dapat dianalisa bahwa sumber daya manusia yang ada yang menjalankan pelaksanaan pelayanan ini sudah
cukup baik karena walaupun
jumlahnya tidak sebanding dengan deteni namun mereka sudah di berikan pelatihan maupun sosialisasi bagaimana menghadapi deteni yang ada di Kota Tanjungpinang, namun hingga saat ini belum mendukung khususnya dalam fasilitas-fasilitas
yang ada. Pemerintah pada
hakekatnya ialah pada pelayan bagi masyarakat, pemerintah terwujud untuk memberikan pelayanan bagi masyarakat bukan masyarakat yang melayani pemerintah,. Pelayanan
publik yang profisional dapat
diwujutkan oleh pemerintah jika
adanya akuntabilitas dan
respontabilitas pemberi layanan
dalam hal ini aparatur pemerintah sediri. Salah satu tugas pemerintah yang terpenting adalah memberikan pelayanan umum kepada masyarakat sebagus mungkin. namun tak jara pula khhususnya di Indonesia dalam kenyataannya, belum semua aparat
pemerintah menyadari arti
pentingnya pelayanan. Layanan
diberikan oleh pemerintah melalui
aparatnya Abdi dalem
(pegawai/petugas) untuk memenuhi kepentingan umum atau kepentingan perorangan, yang bertumpu pada hak
dasar sebagai warga negara.
bentuknya adalah bisa dalam layanan lisan, layanan dalam bentuk tulisan dan layanan dalam bentuk perbuatan. Ketiga bentuk layanan ini saling terkait, yang hasilnya diharapkan
dapat memenuhi kebutuhan dan
memuaskan bagi mereka yang
dilayani (Moenir,2000 : 204)
b. Sarana dan Prasarana
Fasilitas yang dimaksud pada penelitian ini adalah sarana dan prasarana penunjang yang digunakan
dalam pelaksanaan Peraturan
Direktur Jenderal Imigrasi Nomor :
Imi.1917-Ot.02.01 Tahun 2013
Tentang Standar Operasional
Prosedur Rumah Detensi Imigrasi
telah berjalan, apa saja yang
dilibatkan. Sarana dan Prasarana yang memadai guna menunjang
pelaksanaan pelayanan kepada
deteni.
Dapat diketahui dari hasil
waancara bahwa sarana prasarana pada Rumah deteni masih belum memadai. Ini akan menjadi kurang optimalnya pelaksanaan Peraturan Direktur Jenderal Imigrasi Nomor :
Imi.1917-Ot.02.01 Tahun 2013
Tentang Standar Operasional
Prosedur Rumah Detensi Imigrasi. Keterbatasan tersebut yang akan menimbulkan masalah tidak hanya untuk deteni tetapi juga untuk pegawai. Saat ini penangangan masalah imigran illegal dan pencari suaka masih sangat parsial dan terbatas. Keterbatasan ini termasuk dalam hal sumber daya manusia, anggaran, sarana & prasarana pada
lembaga-lembaga terkait serta
melemahnya pengawasan pada jalur
darat, laut dan udara.Imigrasi
memang merupakan institusi yang
menjaga pintu gerbang keluar
masuknya warga Negara asing di wilayah Republik Indonesia. Namun hal tersebut tidak lantas membuat
keberadaan pencari suaka ini
menjadi tanggung jawab penuh Imigrasi semata, tetapi juga menjadi
tanggung jawab kita semua,
termasuk masyarakat. Penanganan imigran illegal juga memerlukan kerjasama dengan instansi terkait
lainnya seperti Kepolisian,
Pemerintah Daerah, dan
Kementerian Luar Negeri, juga pihak internasional seperti International
Organization of Migration
(IOM)danUnited Nation High
Commisioner of Refugees
(UNHCR). Apalagi secara umum, pihak Imigrasi tidak bisa serta merta mendeportasi para pencari suaka, karena mereka bukan termasuk imigran illegal biasa, terutama bagi para pencari suaka yang sudah memegang surat keterangan sebagai pencari suaka atau pengungsi dari UNHCR.
3. Sikap Pelaksana
Salah satu faktor yang
mempengaruhi efektifitas
implementasi kebijakan adalah sikap implementor. Jika implemetor setuju
dengan bagian-bagian isi dari
kebijakan maka mereka akan
melaksanakan dengan senang hati
tetapi jika pandangan mereka
berbeda dengan pembuat kebijakan maka proses implementasi akan mengalami banyak masalah. Dalam hal ini dapat dilihat dari indikator : Adanya komitmen pegawai selaku
pelaksana kebijakan. Komitmen
Rudenim Tanjungpinang dilakukan
melalui dukungan terhadap
keberhasilan pelayanan. Berdasarkan observasi yang dilakukan berkaitan dengan dukungan yang diberikan terhadap program pemerintah seluruh
implementor dan stakeholder
umumnya sudah mengetahui tentang kebijakan ini dan sudah terdapat masalah yang ditampung untuk diselesaikan. Hal ini menunjukkan
bahwa pegawai sudah memberikan
dukungan dan memberikan
komitmen yang tinggi terhadap kebijakan ini
4. Struktur Birokrasi
Struktur birokrasi adalah
karakteristik, norma-norma, dan
pola-pola hubungan yang terjadi berulang-ulang dalam badan-badan eksekutif yang mempunyai hubungan baik potensial maupun nyata dengan apa yang mereka miliki dalam
menjalankan kebijakan. Adanya
Standar Operating Prosedures (SOP)
Membahas badan pelaksana
suatu kebijakan, tidak dapat
dilepaskan dari struktur birokrasi.
Struktur birokrasi adalah
karakteristik, norma-norma, dan
pola-pola hubungan yang terjadi berulang-ulang dalam badan-badan eksekutif yang mempunyai hubungan baik potensial maupun nyata dengan apa yang mereka miliki dalam
menjalankan kebijakan. Bila
sumberdaya cukup untuk
melaksanakan suatu kebijakan dan para implementor mengetahui apa yang harus dilakukan, implementasi
masih gagal apabila struktur
birokrasi yang ada menghalangi koordinasi yang diperlukan dalam melaksanakan kebijakan hal ini seperti harus adanya pembagian tugas yang jelas serta adanya standar
operasional prosedur dalam
melaksanakan kebijakan tersebut. Dalam pelaksanaan kebijakan Standar Operasional Prosedur atau prosedur kerja sangatlah penting untuk diperhatikan untuk mencapai
tujuan dari kebijakan tersebut.
Dengan SOP para pelaksana dapat mengoptimalkan waktu yang tersedia
dan dapat berfungsi untuk
melaksanakan tindakan-tindakan
dengan benar sesuai dengan prosedur
yang ada, sehingga dapat
menimbulkan dampak yang baik
dalam pelaksanaan kebijakan.
Adanya standar yang menjadi
pedoman dalam memberikan
pelayanan yaitu adanya pedoman dalam memberikan pelayanan.
Seluruh pegawai dianggap para deteni sudah bekerja sesuai dengan standar nya. Karena setiap pelayanan
yang diberikan selalu melalui
prosedur yang telah ada. Dan dijelaskan secara rinci. Para pegawai tidak pernah bekerja sesuka hati tetapi semua sudah ada aturan dalam bekerja. Seperti tidak ada pungutan liar karena sudah ada peraturan,
proses pengajuan permohonan
bantuan juga menjalani beberapa
prosedur terlebih dahulu dan
pegawai tidak boleh mempercepat atau memberikan prosedur yang
berbelit-belit dalam pengurusan
tersebut karena semua sudah ada standarnya. Dengan bekerja sesuai standar operasional tersebut pegawai merasa cukup baik. Karena merasa
pegawai bekerja sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
Standard Operating Prosedures
(SOP) menunjukan adanya
pengaturan jabatan dan wewenang
(hierarki authority) bagi setiap
aparatur sumber daya demi
kelancaran pelaksanaan tugas dan fungsi masing-masing bagian yang diatur berdasarkan garis koordinasi dan alur instruksi organisasi sebagai landasan formal maupun landasan
operasional. Pembatasan
kewenangan ini dimaksudkan untuk
mendorong munculnya tanggung
jawab personil dan kolektif secara
antisipasi terjadinya penumpukan wewenang dan tanggung jawab pada suatu posisi atau bidang tertentu. Hal ini memungkinkan terciptanya iklim kerja yang kondusif, kerjasama yang sehat dan pelayanan publik yang
optimal sesuai dengan tujuan
implementasi kebijakan Peraturan Direktur Jenderal Imigrasi Nomor :
Imi.1917-Ot.02.01 Tahun 2013
Tentang Standar Operasional
Prosedur Rumah Detensi Imigrasi.
Selain itu menjadi fokus
perhatian untuk tersusunnya standar operasional prosedur kerja di Rumah Detensi Imigrasi utamanya terkait dengan penanganan Deteni baik karena masalah imigratoir maupun
karena masalah non imigratoir
seperti imigran illegal subyek
pencari suaka dan pengungsi. Kedua hal ini juga menjadi salah satu target yang dapat diselesaikan. Selain
pembahasan dan perumusan
kebijakan penanganan orang asing pencari suaka dan pengungsi ini. Disamping itu, untuk mewujudkan reformasi birokrasi, dalam waktu dekat Direktorat Jenderal Imigrasi
akan menerapkan Standar
Operasional Prosedur mengenai
pelayanan keimigrasian, sehingga
masyarakat dapat memperoleh
pelayanan maksimal, Dan kinerja
keimigrasian menjadi lebih
transparan, dan terukur
akuntabilitasnya.
PENUTUP 1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian maka dapat diambil kesimpulan
bahwa Implementasi Kebijakan
Peraturan Direktur Jenderal Imigrasi Nomor : Imi.1917-Ot.02.01 Tahun 2013 Tentang Standar Operasional
Prosedur Rumah Detensi Imigrasi
pada Pelayanan Deteni Rumah
Detensi Imigrasi (RUDENIM) Pusat
Tanjungpinang Rumah Detensi
Imigrasi (RUDENIM) Pusat
Tanjungpinang sudah berjalan sesuai dengan aturan yang berlaku, hal ini dapat dilihat dari :
Sosialisasi yang dilakukan sudah
menyeluruh kepada pegawai
mengenai isi dan tujuan dari
Kebijakan Peraturan Direktur
Jenderal Imigrasi Nomor :
Imi.1917-Ot.02.01 Tahun 2013 Tentang
Standar Operasional Prosedur
Rumah Detensi Imigrasi. Sebelum dapat mengimplementasikan suatu
kebijakan implementor harus
menyadari bahwa suatu keputusan telah dikeluarkan, seringkali terjadi kesalahpahaman terhadap keputusan yang telah dikeluarkan agar tidak
terjadi kesalahpahaman harus
dilakukan sosialisasi baik kepada masyarakat terlebih lagi kepada
pegawai selaku implementor.
Sumber daya manusia sudah
dipersiapkan oleh Rudenim
Tanjungpinang dalam membangun pelayanan yang baik bagi deteni. Program merupakan rencana yang bersifat komprehensif yang sudah menggambarkan sumber daya yang akan digunakan dan terpadu dalam satu kesatuan. sumber daya manusia
yang ada yang menjalankan
pelaksanaan pelayanan ini sudah
cukup baik karena walaupun
jumlahnya tidak sebanding dengan deteni namun mereka sudah di berikan pelatihan maupun sosialisasi bagaimana menghadapi deteni yang ada di Kota Tanjungpinang.
Berdasarkan observasi yang
dilakukan berkaitan dengan
program pemerintah seluruh
implementor dan stakeholder
umumnya sudah mengetahui tentang kebijakan ini dan sudah terdapat masalah yang ditampung untuk diselesaikan. Hal ini menunjukkan bahwa pegawai sudah memberikan
dukungan dan memberikan
komitmen yang tinggi terhadap
kebijakan ini. Kemudian telah
adanya standar operasional pegawai
Deteni dalam melaksanakan
Peraturan Direktur Jenderal Imigrasi Nomor : Imi.1917-Ot.02.01 Tahun 2013 Tentang Standar Operasional Prosedur Rumah Detensi Imigrasi.
Namun permasalahan adalah Sarana prasarana pada Rumha deteni masih belum memadai. Ini akan
menjadi kurang optimalnya
pelaksanaan Peraturan Direktur
Jenderal Imigrasi Nomor :
Imi.1917-Ot.02.01 Tahun 2013 Tentang
Standar Operasional Prosedur
Rumah Detensi Imigrasi.
Keterbatasan tersebut yang akan menimbulkan masalah tidak hanya untuk deteni tetapi juga untuk pegawai.
2. Saran
Adapun saran yang dapat
disampaikan adalah sebagai berikut : 1. Sebaiknya ada penambahan
fasilitas sarana prasarana
khususnya dalam fasilitas hiburan sehingga deteni yang ada di dalam rudenim merasa nyaman dan tidak mengalami stress.
2. Sebaiknya ada pengawasan
yang dilakukan pihak
Rudenim pusat sehingga
mengetahui hambatan dalam pemberian pelayanan deteni
di rumah detensi
Tanjungpinang.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Said Zainal. 2002. Kebijakan
Publik. Jakarta : Yayasan
Pancur Siwah.
Agustino, Leo. 2006. Dasar-dasar
Kebijakan Publik. Bandung :
CV Alfabetha
Arikunto. Suharsini. 2006. Prosedur
Penelitian suatu pendekatan praktek. Jakarta: Rineka Cipta
Colemen M, Bush TjiptoF. 2003.
Total Quality Management.
Yogyakarta : Andi Offset
Ermaya Suradinata. 1998.
Manajemen Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Bandung : Ramadan
Iqbal Hasan, 2002, Pokok-pokok
Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya, Jakarta: Ghalia Indonesia.
Nugroho, Riant D. 2003. Kebijakan
Publik Formulasi Implementasi dan Evaluasi. Jakarta : PT.Elex
Media Komputindo
______________. 2011. Poblic
Policy. Jakarta : PT.Elex Media
Komputindo
_______________. 2012. Poblic
Policy. Jakarta : PT.Elex Media Komputindo
Moleong, Lexy J. 2002. Metodologi
Penelitian Kualitatif.
Bandung. Remaja
Rosdakarya.
Rasyid, Rias. 2000. Pokok-pokok
pemerintahan. Jakarta : Raja
Grafindo Persada
Subarsono. 2008. Analisis Kebijakan
Publik. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Sugiyono. .2005. Memahami
Penelitian Kualitatif. Bandung:
ALFABET
Kebijakan Publik. Yogyakarta :
UNY Press.
Syafarudin. 2008.Manajemen
Sumber Daya Manusia. Edisi
kedua. Yogyakarta: BPFE
Yogyakarta.
Thoha, Miftah. 1995. Perilaku
Organisasi Konsep Dasar Dan Aplikasinya, Jakarta :
Raja Grafindo Persada.
Wahab. Solichin Abdul. 1997.
Analisis Kebijaksanaan: dari Formula ke Implementasi Kebijaksanaan Negara.
Jakarta: Bumi Aksara.
Winarno, Budi. 2007. Kebijakan
Publik, Teori dan Proses.