• Tidak ada hasil yang ditemukan

Made Agustus STIP Bunga Bangsa, Palangka Raya, Jl. Pangeran Samudra, No. 8, Palangka Raya, Kalimantan Tengah,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Made Agustus STIP Bunga Bangsa, Palangka Raya, Jl. Pangeran Samudra, No. 8, Palangka Raya, Kalimantan Tengah,"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

TUTUR RITUAL MANENUNG PADA MASYARAKAT DAYAK HINDU

KAHARINGAN PALANGKA RAYA: ANALISIS WACANA KRITIS VAN DIJK

(RITUAL SPEECH MANENUNG IN THE DAYAK HINDU KAHARINGAN PALANGKA

RAYA: A STUDY OF VAN DIJK CRITICAL DISCOURSE)

Made Agustus

STIP Bunga Bangsa, Palangka Raya, Jl. Pangeran Samudra, No. 8, Palangka Raya, Kalimantan Tengah, e-mail made29agustus@yahoo.co.id

Abstract

Ritual Speech Manenung In the Dayak Hindu Kaharingan Palangka Raya: A Study of Van Dijk Critical Discourse. In this study aim to describe and identify

the structures that form the textual TRM. TRM research uses qualitative methods or interpretive method also called for more research data regarding the interpretation of the data found in the field. The results are found, namely (1) the level of superstructure find the introduction, the core and cover, (2) revealed the macro level of application to the spirit of the rice theme to convey the request to the dawn of human parapah "god", and (3) the level of the microstructure of the review of the parallelism found a parallelism, namely (a) phonological parallelism found asonansi sound, alliteration, and rhyme; (b) lexico-gramamtical parallelism found a number of elements of the dyadic pairs at most amount to ten words in the clause and there is also a single device that does not have dyadic partner. Parallelism is also found that word-class pairs, namely, nouns, verbs, adjectives, adverbs, prepositions, pronouns, and numeralia and (c) the lexico-semantics parallelism find synonymous words more than the antithesis and synthesis.

Keywords: ritual speech manenung, textual structure, discourse analysis

Abstrak

Ritual Pidato Manenung dalam Dayak Hindu Kaharingan Palangka Raya: Analisis Wacana Kritis Van Dijk. Penelitian ini bertujuan untuk

mendeskripsikan dan mengidentifikasi struktur yang membentuk TRM tekstual. TRM penelitian menggunakan metode kualitatif atau metode penafsiran juga menyerukan data penelitian lebih lanjut mengenai interpretasi data yang ditemukan di lapangan. Hasilnya ditemukan, yaitu (1) tingkat suprastruktur menemukan pengenalan, inti dan penutup, (2) mengungkapkan tingkat makro aplikasi dengan semangat tema beras untuk menyampaikan permintaan ke fajar manusia parapah "god", dan (3) tingkat mikro review paralelisme menemukan paralelisme, yaitu (a) paralelisme fonologis menemukan suara asonansi, aliterasi, dan sajak, (b) lexico-gramatical paralelisme menemukan sejumlah elemen pasang dyadic sebesar jumlah paling sepuluh kata dalam klausa dan ada juga satu perangkat yang tidak memiliki pasangan dyadic. Paralelisme juga menemukan bahwa kata-kelas pasangan, yaitu kata benda, kata kerja, kata sifat, kata keterangan, preposisi, kata ganti, dan numeralia, dan (c) paralelisme Lexico-semantik menemukan kata-kata sinonim lebih dari antitesis dan sintesis.

(2)

PENDAHULUAN

Upacara manenung di Palangka Raya digunakan sebagai media untuk “mencari” sesuatu, melalui balian atau basir dengan keahlian khusus dan ketulusan batin. Balian atau basir inilah yang memanggil roh (leluhur) atau “tokoh” yang berada di alam niskala sesuai dengan lingkungan di sekitar. Dalam tutur ritual manenung yang dilakukan masyarakat Dayak Hindu Kaharingan menggunakan bentuk bahasa Sangiang (BS), yaitu bahasa ritual yang hanya digunakan dalam upacara tersebut. Bahasa Sangiang (BS) ini hanya bertahan dalam tuturan ritual, seperti Manenung atau Manajah Antang (memohon petunjuk), Nyadiri (tolak bala), Pakanan Sahur (syukuran), Mampakanan Pali (tolak roh jahat), dan Tiwah (ritual kematian). Bahasa Sangiang (BS) ini hanya digunakan oleh kalangan basir, sedangkan masyarakat umum, lebih-lebih kalangan generasi muda Dayak tidak dapat menggunakan bahasa Sangiang (BS). Menurut Riwut (2003: 117), BS disebut juga bahasa Sangen, yaitu bahasa sakral dan kuno yang bertahan dalam ritual-ritual keagamaan Hindu Kaharingan.

Bahasa Sangiang (BS) merupakan warisan dari nenek moyang Masyarakat Dayak Hindu Kaharingan (MDHK). Keberadaan BS ini tentunya memiliki fenomena lingual dan budaya yang khas serta mencerminkan kehidupan masyarakat pendukungnya. Nilai dan makna realitas sangat dipengaruhi oleh cara mempertahankan diri. Cara beraktivitas masyarakat dalam mengembangkan diri demi mencapai kehidupan yang lebih baik. Tutur ritual manenung ini, hanya dapat dilakukan oleh basir yang memiliki kemampuan untuk melaksanakan upacara itu dan menguasai BS. Pada upacara manenung, basir tidak dapat secara langsung berkomunikasi dengan Ranying Hatalla Langit „Tuhan‟, tetapi melalui para Sangiang.

Pada upacara manenung, salah satu tahapan yang dilakukan oleh basir adalah tawur. Tahapan tawur ini bermaksud untuk “memanggil” para Sangiang agar hadir dan menyertai upacara manenung yang akan dilaksanakan. Upacara manenung merupakan keyakinan terhadap kekuatan gaib yang bersumber dari roh-roh penguasa sebagai manifestasi Ranying Hatalla Langit dan Jatha Bala Wang Bulau. Kekuatan gaib dan roh-roh itu dipanggil. Secara tersirat dikatakan pada Kitab Panaturan pasal 42, yaitu ”Ehem-ehem behas”, artinya ucapan Ehem-”Ehem-ehem, yaitu ucapan Garing Nganderang memberitahukan, bahwa “IA” dan “IA” adalah kuasa, “IA” Mahapencipta, Mahakuat, Mahaagung, dan sebagainya. “IA” membuka dan membangunkan segala kekuatan dan kekuasaan yang terkandung pada beras, merupakan wujud nyata dari kekuatan, kemakmuran Ranying Hatalla Langit dan Jatha Wang Bulau.

Tutur Ritual Manenung (TRM) dilakukan dalam tiga tahap, yaitu (1) tahap awal menimang-menimang beras bermaksud untuk pemberian nama behas tawur terhadap jenis upacara yang akan dilaksanakan. Pada saat ini, tukang tenung (basir) menyebutkan behas tawur digunakan upacara manenung; (2) tahap inti, yaitu ”pemanggilan” kekuatan gaib yang bersumber dari roh-roh penguasa sebagai manifestasi Ranying Hatalla Langit dan Jatha Bala Wang Bulau yang bernama Putir Santang Sintung Uju. Tahap ini bertujuan untuk meminta petunjuk; dan (3) tahap terakhir, yaitu ucapan terima kasih atas berkenan kekuatan gaib sebagai manifestasi Ranying Hatalla hadir memberikan petunjuk pada saat manenung. Upacara selesai kemudian mempersilakan mereka kembali ke tempat masing-masing seperti semula.

Fenomena bahasa dalam wacana budaya terdapat dalam TRM di atas termasuk ranah kajian ilmiah linguistik interdisipliner. Seperti yang diungkapkan oleh Goody

(3)

(dalam Sastriadi, 2006: 10) bahwa nilai pemakaian bahasa untuk menyampaikan informasi kuat-kuat tertanam dalam mitologi budaya kita. Dengan kemampuan berbahasa, memungkinkan seorang manusia untuk mengembangkan berbagai kebudayaan, dengan adat kebiasaan, religi yang dianut, hukum, tradisi lisan, pola perdagangan, dan sebagainya. Dalam mengkaji fenomena kebahasaan dalam wacana budaya, dalam hal ini, TRM, peneliti menerapkan model penelitian linguistik seperti yang diungkapkan oleh Pastika (2005: 108-110) bahwa peneliti dianjurkan untuk menafsirkan makna-makna budaya melalui penggunaan bahasa dalam wacana yang telah dijadikan korpus (data dalam penelitian).

Pada penelitian ini, ada sejumlah hasil penelitian terdahalu yang dijadikan acuan, yakni (a) Bahasa, Sastra, dan Sejarah Kumpulan Karangan Mengenai Masyarakat Pulau Roti” oleh Fox (1986). Hasil penelitian itu menyatakan bahwa fenomena kebahasaan yang terdapat pada bahasa ritual di Pulau Roti ini sangat unik dan keunikannya tersebut mirip dengan fenomena yang terdapat dalam bahasa ritual bahasa Sangiang; (b) Ungkapan Paralelisme Bahasa Manggarai dan Dinamikanya dalam Realitas Sosial Budaya oleh Erom (2004). Penelitian Erom ini lebih terfokus pada unsur kebahasaan bahasa Manggarai, terutama tentang paralelisme, yaitu penggunaan bentuk sintaksis berupa kesejajaran, kemiripan, atau kepadanan; dan (c) Wacana Kebudayaan Tudak dalam Ritual Penti pada Kelompok Etnik Manggarai di Flores Besar oleh Bustan (2004). Analisis yang dilakukan oleh Bustan mengacu pada model analisis Van Dijk, yang menelaah struktur makro, superstruktur, dan struktur mikro. Relevansi penelitian Bustan terhadap kajian terletak pada analisis wacana van Dijk, yang dijadikan model dalam penelitian ini.

Sesuai dengan karakteristik data dan permasalahan penelitian, ada sejumlah teori yang digunakan, yang memiliki keterkaitan. Penelitian ini mencakup dua aspek, yaitu linguistik dan nonlinguistik yang meliputi konteks budaya yang tercermin dalam konteks situasi, karena kedua hal ini membentuk integritas, kesetalian makna, dan keutuhan suatu bahasa. Berhubungan dengan ritual, Dhavamony (1995: 175) menyatakan bahwa ritual adalah pola-pola pikiran yang dihubungkan dengan gejala yang mempunyai ciri mistis. Dia membedakan ritus atas empat macam, yaitu (1) tindakan magis berkaitan dengan menggunakan bahan-bahan yang bekerja karena daya-daya mistis; (2) tindakan religius, kultus para leluhur; (3) ritual konstitutif, yang mengungkapkan atau mengubah hubungan sosial dengan merujuk pada pengertian-pengertian mistis, dengan cara ini upacara-upacara kehidupan menjadi khas; dan (4) ritual fiktif, yang meningkatkan produktivitas atau kekuatan pemurnian dan perlindungan dengan cara lain meningkatkan kesejahteraan materi suatu kelompok.

Hadi (2006: 31) menyatakan bahwa ritual merupakan suatu bentuk upacara atau perayaan (celebration) yang berhubungan dengan beberapa kepercayaan atau agama dengan ditandai oleh sifat khusus yang menimbulkan rasa hormat yang luhur dalam arti suatu pengalaman yang suci. Pengalaman itu mencakup segala sesuatu yang dibuat atau dipergunakan oleh manusia untuk menyatakan hubungan dengan ‟yang tertinggi‟, dan hubungan atau perjumpaan itu bukan sesuatu yang bersifat biasa atau umum, tetapi sesuatu yang bersifat khusus atau istimewa, sehingga manusia mampu membuat suatu cara yang pantas digunakan untuk melaksanakan pertemuan itu.

Djajasudarma (1993: 28) menyatakan bahwa bahasa (linguistik) sebagai materi (objek) penelitian dapat ditentukan, baik dari strukturnya maupun dari bagian-bagian sebagai unsurnya. Bahasa dapat pula diteliti dari sudut hubungannya dengan ilmu lain (interdisipliner), atau bahasa dapat diteliti dari kebahasaan itu sendiri maupun bahasa sebagai dari kebudayaan. Sebagai materi penelitian, bahasa dapat diteliti pula dari segi

(4)

tatarannya. Fairclough (1994: 4) menyatakan kategori-kategori yang membangun sebuah teks pada dasarnya tidak bisa dianalisis secara terpisah, sebab sebuah wacana atau teks dibangun oleh bentuk-bentuk bahasa yang memiliki orientasi makna, baik makna budaya maupun makna linguistik. Adapun aspek-aspek yang dikaji meliputi bentuk, struktur, dan organisasi teks mulai dari tataran terendah fonologi (fonem), gramatika (morfem, kata, frasa, klausa, dan kalimat), leksikon (kosa kata), sampai tataran yang lebih tinggi seperti sistem pergantian percakapan, struktur argumentasi, dan jenis-jenis aktivitas. Oleh sebab itu, menganalisis seluruh bagaian-bagian sebuah teks atau wacana harus dilakukan secara simultan agar didapatkan sebuah pemahaman makna yang sesuai, baik linguistik maupun secara budaya.

Penelitian ini mencakup dua aspek, yaitu aspek linguistik dan nonlinguistik yang meliputi konteks kebudayaan yang tercermin dalam konteks situasi, karena kedua hal ini yang membentuk integritas, kesetalian makna dan keutuhan suatu bahasa. Hal ini berdasarkan pada pandangan bahwa sebuah teks selalu terkait dengan tataran: (1) tataran ekstralinguistik yang mencakupi tautan, budaya, dan situasi; (2) tataran intralinguistik yang mencakup segi semantik dan leksikogramtikal dan ekspresi yang mencakupi sistem pembunyian (Suteja, 2005: 64).

Analisis wacana adalah suatu kajian linguistik yang didasarkan pada satuan gramatikal yang lebih luas atau lebih besar daripada kalimat dengan tujuan untuk menemukan urutan ungkapan semirip mungkin dengan lingkungannya dan kemantapan distribusi pemakaiannya, atau untuk mencapai suatu makna yang mendekati makna yang dimaksudkan oleh pembicara dalam wacana lisan atau oleh penulis (Passandaran, 2000:16). Analisis wacana adalah analisis atas bahasa yang digunakan. Analisis wacana tidak dapat dibatasi pada deskripsi bentuk bahasa yang tidak terikat pada tujuan dan fungsi yang dirancang untuk menggunakan bentuk itu dalam urusan-urusan manusia. Hal yang mendasar diungkapkan oleh Yule (dalam Jumadi, 2006: 115—116), analisis wacana terfokus pada rekaman atau catatan proses untuk menggunakan bahasa dalam suatu konteks tertentu untuk mengekspresikan maksud. Di samping itu, Brown dan Yule (1996:1) mengungkapkan kalau ada ahli linguistik yang memusatkan perhatian pada penentuan sifat-sifat bahasa, penganalisis wacana berkewajiban untuk menyelidiki tujuan apa bahasa itu dipakai.

Pada penelitian ini analisis struktur TRM dikembangkan menggunakan model analisis wacana Van Dijk (1985: 103—133). Dengan mengacu pada model analisis Van Dijk, struktur TRM dibagi ke dalam tiga tataran, yaitu superstruktur, struktur makro, dan struktur mikro. Ketiga tataran tersebut saling mendukung dalam pembentukan sebuah makna yang utuh pada sebuah teks. Model Van Dijk juga diungkapkan oleh (Eriyanto, 2009: 227-236; Sobur, 2006:73-75). Superstruktur mengamati bagaimana bagian dan urutan dalam TRM diskemakan dalam teks wacana yang utuh. Teks umumnya mempunyai skema atau alur dari pendahuluan sampai akhir. Alur itu menunjukkan bagaimana bagian-bagian dalam teks disusun dan diurutkan sehingga membentuk kesatuan arti. Menurut Van Dijk (1985: 107-112), suprastruktur merupakan satu kesatuan yang koheren dan padu. Gagasan apa yang diungkapkan dalam bagian suprastruktur terdahulu akan diikuti oleh gagasan lain pada bagian berikutnya hingga bagian akhir secara koheren.

Struktur makro pada makna umum teks yang dapat diamati dari tema atau topik yang dikedepankan dalam suatu wacana, dalam hal ini, TRM. Elemen ini mengacu pada gambaran umum dari suatu teks, bisa juga disebut sebagai gagasan inti, ringkasan, atau yang utama dari suatu teks. Struktur mikro adalah pengkajian pada tataran kebahasaan yang digunakan dalam sebuah teks, diantaranya adalah pada tataran morfologi, sintaksis,

(5)

dan struktur leksikal kalimat. Elemen-elemen ini menurut Van Dijk mesti memenuhi persyaratan koherensi suatu wacana diekspresikan dengan pemilihan unsur-unsur kebahasaan yang tepat dalam sebuah wacana, seperti tataran klausa, urutan klausa, urutan kalimat, penghubung, pronomina, abverbia, verba, unsur leksikal, parafrase, dan lain-lain (Eriyanto, 2001: 229).

Paralelisme merupakan salah satu sondre (gaya) berbahasa. Menurut Bakhtin (dalam Foley, 1997: 359), sondre (genre) terdiri atas kerangka yang secara relatif stabil dan diturunkan secara historis untuk mengadakan produk wacana. Sondre-sondre ini secara kuat berkonvensi dan berakar dalam praktik produksi dan pemahaman bahasa masyarakat dalam suatu komunikasi, tetapi tetap fleksibel dan terbuka terhadap manipulasi atau peniruan yang kreatif oleh para pelakunya. Istilah paralelisme diartikan oleh Kridalaksana (2001: 154) sebagai pemakaian yang berulang-ulang ujaran yang sama dalam bunyi, tata bahasa, atau makna, atau gabungan dari kesemuanya; ciri khas dari bahasa puitis. Roberth Lowth (dalam Fox, 1986) memberikan sejumlah konsep tentang paralelisme berdasarkan pengamatan yang dilakukan pada sejumlah bahasa. Ia mengemukakan lima konsep tentang paralelisme, yakni (1) istilah paralelisme adalah kata-kata atau kalimat yang saling bersahutan dalam larik yang berkaitan, (2) paralelisme merupakan penyesuaian puitis kalimat, terutama atas persamaan derajat, kemiripan antara unsur dari tiap periode sehingga dalam dua baris benda pada umumnya dikaitkan dengan benda dan kata dengan kata, (3) paralelisme merupakan kesesuaian atau kecocokan suatu bait (baris) dengan bait (baris) yang lain, (4) paralelisme merupakan suatu kumpulan pasangan kata baku secara konvensional sudah tetap, yang digunakan untuk menyusun bentuk sajak, dan (5) paralelisme merupakan keterkaitan antara preposisi-preposisi yang maknanya serupa atau berbeda dan konstruksi gramatikalnya sama.

Jakobson (dalam Fox, 1986: 280—292) menyebutkan bahwa paralelisme merupakan semantik ganda dan juga kesepadanan metaforis. Bahasa puistis merupakan suatu kejadian sederhana, yang menyatukan dua unsur, yakni unsur semantis dan harmonis. Unsur semantis (varian semantis) meliputi paralelisme, perbandingan, dan harmonis (varian harmonis) meliputi sajak, asonansi, dan aliterasi atau repetisi. Paralelisme juga merupakan ekuivalen atau kesepadanan linguistik dalam tataran fonologis, gramatikal, dan leksikosementris. Paralelisme merupakan penyepasangan unsur dalam urutan yang sepadan.

Berkenaan dengan analisis struktur mikro TRM ini peneliti terfokus pada kajian paralelisme. Hal ini didasari atas pertimbangan bahwa bahasa yang digunakan dalam TRM adalah bahasa ritual BS. Bahasa Sangiang (BS) dalam TRM lebih menekankan pada nilai-nilai estetis puistis, penggunaan bahasa kias, unsur kesetaraan bunyi, dan irama juga sangat dominan. Di samping pertimbangan di atas juga sesuai dengan tujuan penelitian, yaitu untuk memaparkan dan mengidentifikasi struktur tekstual yang membentuk TRM dan mengidentifikasi dan menganalisis paralelisme yang terdapat dalam TRM.

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang TRM. Gambaran umum yang dimaksudkan, yakni gambaran tentang latar belakang, tujuan, dan saat kapan TRM itu dilaksanakan. Pada penelitian ini, tujuan yang ingin diungkapkan secara langsung, yaitu memaparkan dan mengidentifikasi struktur tekstual yang membentuk TRM. Struktur tekstual yang dimaksudkan pada (1) tataran superstruktur bertujuan untuk mengungkapkan tahapan-tahapan dalam TRM, (2) tataran makro bertujuan untuk mengungkapkan tema-tema yang tersirat dalam TRM, (3) tataran mikro bertujuan untuk mengungkapkan kebahasaan, khususnya menganalisis paralelisme yang terdapat dalam TRM.

(6)

METODE

Penelitian TRM ini menggunakan metode kualitatif atau disebut juga sebagai metode interpretive karena data hasil penelitian lebih berkenaan dengan interpretasi terhadap data yang ditemukan di lapangan (Sugiyono, 2008: 14). Jenis penelitian TRM termasuk penelitian linguistik karena penelitian ini dilakukan melalui pengamatan pada fenomena yang terdapat pada TRM, yaitu fenomena kebahasaan yang terkandung di dalam TRM. Penelitian ini juga termasuk kategori penelitian deskriptif, yaitu bahwa data yang dikumpulkan adalah data yang ada pada saat ini dan selanjutnya data itu dianalisis apa adanya.

Berkaitan dengan metode yang digunakan sebagai usaha untuk mencari dan menemukan tentang sesuatu kejadian yang terjadi di masyarakat. Temuan yang diperoleh merupakan suatu jawaban dari masalah yang telah ditetapkan. Agar memperoleh jawaban terhadap permasalahan itu, perlu dilakukan penelitian. Penelitian harus memenuhi kriteria, yaitu logis, sistematis, rasional, dan empiris. Sugiyono (2008:3) mengemukakan bahwa kriteria penelitian, yaitu rasional berarti masuk akal dan terjangkau oleh alam pikiran manusia; empiris berarti dapat teramati oleh indra dan teruji; dan sistematis berarti mengikuti prosedur secara logis.

Penelitian ini mengambil lokasi di Kalimantan Tengah, yaitu Kota Palangka Raya, yang masih melaksanakan ritual-ritual keagamaan Kaharingan, yaitu masyarakat yang memeluk agama Hindu Kaharingan, sedangkan agama lainnya dalam konteks manenung sebagian masih mempercayai, hanya saja pelaksananya oleh pemeluk agama Hindu Kaharingan (basir), sedangkan agama lain hanya sebagai meminta ”petunjuk”. Jenis data yang digunakan, yaitu data lisan dan tertulis. Data lisan diperoleh dari Tutur Ritual Manenung (TRM) yang dilaksanakan di Palangka Raya. Informan kunci yang dijadikan sumber data lisan, yaitu basir dan penggalian data dilakukan dalam ruang dan waktu yang terpisah, sedangkan data tertulis diperoleh dari bahan-bahan tertulis.

Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling utama dalam penelitian, karena dalam tujuan penelitian untuk mendapatkan data (Sugiyono, 2008: 308). Pengumpulan data di lapangan, peneliti melakukan beberapa tahap, yaitu pengamatan lapangan, (2) wawancara, dan (3) perekaman dan pencatatan. Pengamatan lapangan bertujuan untuk memperoleh gambaran secara utuh dan menyeluruh tentang TRM. Teknik yang digunakan adalah pengamatan terlibat. Peneliti ikut berperan secara langsung dalam rangkaian kegiatan ritual TRM. Selama melakukan penelitian, peneliti melakukan pencatatan secara deskriptif maupun refleksi tentang kerangka berpikir, ide atau komentar peneliti tentang hasil pengamatan tersebut untuk mencegah terjadinya kealpaan (Muhadjir, 2007: 179—180). Untuk melengkapi dokumentasi data-data di lapangan, peneliti juga melakukan pengambilan gambar dengan kamera digital pada poin-poin penting ritual manenung serta media yang digunakan dalam ritual TRM. Wawancara diarahkan kepada pengetahuan informan tentang TRM. Penggalian ini dilakukan untuk memperoleh data yang menyeluruh tentang TRM, baik secara tekstual maupun kontekstual, kemudian dilakukan interpretasi tentang fungsi dan makna TRM secara detail. Peneliti merekam ritual TRM bertujuan untuk memperoleh data konkret di lapangan. Setelah dilakukan perekaman secara audio, kemudian dilakukan pencatatan tertulis tuturan-tuturan dalam ritual TRM. Dalam perekaman dan pencatatan, peneliti meminta bantuan kepada basir guna memperoleh hasil yang maksimal serta penulisan BS dalam TRM secara benar.

Data yang diperoleh dianalisis secara kualitatif. Prosedur analisis data ditempuh secara bertahap dengan urutan kegiatan (1) penerjemahan, peneliti menerjemahkan semua

(7)

data TRM dalam dua cara, yakni terjemahan lurus dan terjemahan bebas. Dengan terjemahan ini akan ditemukan poin-poin penting yang mengandung unsur paralelisme dan makna budaya yang terkandung dalam teks tersebut. Terjemahan lurus dilakukan untuk menemukan unsur-unsur paralelisme dalam TRM, sedangkan terjemahan bebas dilakukan untuk mendeskripsikan makna yang tersirat di dalam teks dan (2) tahap analisis yang dilakukan berdasarkan masalah utama dalam penelitian, yaitu mengacu pada model analisis Van Dijk. Pada tataran struktur makro mengacu pada analisis global teks yang dapat diamati dari tema atau topik yang dikedepankan dalam suatu wacana. Dalam hal ini, wacana atau teks manenung dianalisis dengan mengamati tema inti dalam wacana. Selanjutnya, analisis superstruktur mengamati bagaimana bagian dan urutan dalam manenung diskemakan dalam teks wacana utuh, sedangkan struktur mikro mengamati makna yang ingin ditekankan dalam sebuah teks dengan mengamati pilihan kata, kalimat, dan gaya bahasa yang dipakai dalam suatu teks. Struktur mikro yang dikaji dalam penelitian ini adalah unsur-unsur paralelisme yang terdapat dalam wacana TRM.

Analisis struktur mikro ini mengacu pada analisis bentuk fonologis, yang dilakukan untuk mendapatkan gambaran tentang konfigurasi serta harmonisasi bunyi-bunyi indah, yang membuat menjadi unik dan berbeda dari dari bahasa sehari-hari. Analisis ini mencakup asonansi, aliterasi, dan rima. Metode analisis yang digunakan adalah teknik padan artikulatoris (Sudaryanto, 1993: 13—15). Analisis paralelisme leksikogramatikal wacana atau teks TRM dilakukan untuk memperoleh gambaran tentang pasangan perangkat diad dan ekuivalen kelas kata. Panduan teoritis untuk memandu analisis adalah teori linguistik. Metode analisis yang digunakan adalah metode referensial (Sudaryanto, 1993: 14—15) dan teknik ganti (Sudaryanto, 1993: 48—54). Selanjutnya dilakukan analisis kelas kata perangkat diad dalam TRM.

Analisis pada bentuk leksikosemantis dilakukan untuk memperoleh gambaran tentang sifat hubungan semantis antara pasangan diad kata, frasa, dan kalimat dalam wacana TRM. Analisis ini mengacu pada kriteria semantis, yaitu hubungan antarmakna pasangan diad paralelisme yang dikemukakan oleh Lowth (dalam Fox, 1986: 388--389), yaitu (1) pasangan bersinonim, (2) pasangan antonim, dan (3) pasangan bersintesis. Metode analisis yang digunakan adalah teknik ganti (Sudaryanto, 1993: 48--54).

Hasil analisis data disajikan dengan menggunakan metode formal dan informal (Sudaryanto, 1993: 145). Penerapan metode formal terlihat dalam penggunaan tabel. Penggunaan metode ini umumnya dimaksudkan untuk meringkas hasil kajian. Pada penelitian ini, sesuai dengan karakter data dan analisis data disampaikan secara informal, artinya tiap karakter data diuraikan dan dijelaskan secara rinci dengan kata-kata, seperti menjelaskan bentuk fonologis dan bentuk leksikogramatikal dalam TRM.

HASIL

Hasil penelitian tentang tutur ritual manenung dengan pendekatan model analisis wacana kritis Van Dijk, yaitu (1) dalam tataran superstruktur terungkap skema atau alur yang menunjukkan bagian-bagian teks TRM disusun dan diurutkan sehingga membentuk kesatuan arti. Alur-alur TRM dapat dirinci dalam tiga bagian, yakni pendahuluan, inti, dan penutup. Pendahuluan berisi salam pembuka, persiapan, puji-puji kepada roh beras, dan penyampaian maksud dan tujuan. Inti berisi persiapan manawur yang harus disampaikan oleh roh beras, penyampaian pesan atau permohonan dalam ritual manenung. Penutup, bagian ini memuat informasi tentang berakhirnya tugas Putir Santang Bawi Sintung Uju memberikan petunjuk kepada umat manusia, kemudian kembali ke alamnya. Tataran makro terungkap topik atau tema yang dikedepankan dalam TRM, yaitu (1) tema permohonan kepada roh beras untuk memanggil Putir Santang Bawi

(8)

Sintung Uju, (2) tema penyambutan, dan (3) tema penganugrahan. Tataran mikro adalah tataran kebahasaan yang dianalisis terungkap bentuk-bentuk paralelisme atau penyepasangan yang terdapat dalam TRM, yaitu (1) paralelisme-paralelisme tataran fonologis, (2) leksikogramatikal, dan (3) leksikosemantis.

PEMBAHASAN

1. Tataran superstruktur dalam teks TRM (Tutur Ritual Manenung) 1.1 Bagian pendahuluan Teks TRM

Pada bagian pendahuluan adalah pembuka atas dimulai Tutur Ritual Manenung (TRM) diawali sebuah tuturan. Bagian pendahuluan dalam memuat beberapa rangkaian informasi, yaitu pengutaraan maksud dan tujuan penggunaan beras yang ditaburkan (tawur) dalam upacara itu. Informasi yang terkandung adalah salam pembuka yang ditujukan roh beras. Persiapan roh beras dengan melakukan puji-pujian berupa mantra kepada roh beras yang berisi informasi yang menceritakan asal-usul diturunkan beras atau padi oleh Ranying Hatalla „Tuhan‟ ke bumi. Pada konteks TRM ini, puji-pujian terhadap roh beras digunakan untuk “membangunkan atau memanggil” Putir Santang Bawi Sintung Ujud sebagai pemberi petunjuk. Berikut ini adalah rincian informasi superstruktur TRM.

1.1.1 Salam Pembuka

Salam pembuka memuat informasi tentang proses awal dilaksanakannya ritual manenung, yaitu membangkitkan kekuasaan beras yang diyakini memiliki roh yang telah diberikan oleh Ranying Hatalla Langit „Tuhan‟ kepadanya sehingga akhirnya roh itu menjadi sarana bagi penyampaian permohonan umat manusia kepada Ranying Hatalla Langit „Tuhan‟. Pada awal tuturan ini ditandai dengan pengucapan kata “ehem-ehem”, bunyi ini memiliki makna sebagai salam pembuka yang selalu diucapkan oleh basir atau tukang tenung pada setiap melakukan ritual manenung, seperti kalimat berikut.

1.1.2 Persiapan

Pada tahap persiapan memuat informasi tentang persiapan roh beras sebelum mendengarkan puji-pujian yang berupa sanjungan yang dituturkan oleh basir terhadap roh beras. Informasi tentang persiapan awal yang dilakukan basir, sebelum melantunkan puji-pujian kepada roh beras yang digunakan dalam ritual manenung. Tuturan tersebut menyatakan bahwa mengeluarkan beras dari tempatnya, yaitu Siam Hai Sandehen parung „guci‟ dan Gusi Renteng Bapampang Palu „guci‟, kemudian ditempatkan dalam mangkuk kecil. Mangkuk kecil yang berisi beras inilah nantinya yang akan dimantrai oleh basir sehingga memiliki kekuatan magis sebagai perantaraan hubungan antara manusia dengan Ranying Hatalla Langit „Tuhan‟. Pada tahap persiapan ini mempunyai tujuan utama, yakni sebagai pemberitahuan kepada roh beras agar bersedia mendengarkan mantra yang akan dituturkan tentang riwayat awal keberadaannya di bumi ini.

(9)

1.1.3 Puji-Puji kepada Roh Beras

Puji-puji kepada roh beras merupakan sanjungan yang dilakukan oleh basir atas kekuasaan yang dimiliki oleh roh beras. Pujian yang dituturkan ini sebagai basa-basi atau ungkapan tata krama yang dilakukan secara sopan santun dan tidak untuk menyampaikan informasi utama dalam komunikasi. Puji-puji terhadap roh beras ini dibedakan menjadi dua, yaitu (1) pujian yang dilakukan dengan menuturkan riwayat keberadaan beras di dunia dan (2) pujian dilakukan dengan menuturkan upaya pengembangan beras oleh manusia.

Pada puji-puji ini terungkap tiga kekuasaan roh beras, yakni (1) akan Jatha tuntung tahaseng pantai danum kalunen „untuk menyambung nafas atau hidup umat manusia‟ merupakan fungsi beras secara umum, yaitu sebagai bahan makanan umat manusia, (2) tau bitim belum mangkar manyiwuh „bisa ditanam dan tumbuh subur‟, menyatakan bahwa beras adalah jenis tumbuhan yang bisa berkembang baik, dan (3) tau injam duhung luang rawei „bisa sebagai perantaraan atau penghubung antara manusia dengan Mahakuasa‟, merupakan kekuasaan secara magis yang dimiliki oleh roh beras, selain sebagai bahan makanan dan tumbuhan juga sebagai perantara atau penghubungan antara manusia dengan Sang Pencipta.

1.1.4 Penyampaian Maksud dan Tujuan

Pada bagian ini memuat informasi tentang penegasan atas maksud yang hendak disampaikan oleh basir (penenung) terhadap roh beras yang ditaburkan dalam ritual manenung menegaskan bahwa penggunaan abverbia limitatif baya „hanya‟, makna pembatasan yang dimaksudkan bukan digunakan sebagai makanan, bukan pula untuk ditanam, melainkan digunakan sebagai indu duhung luang rawei Danum Kalunen//balitam bunu bamba panyuruhan tisui Luwuk kampungan „penyampaian pesan umat manusia‟ sebagaimana kekuasaan yang telah diamanahkan Tuhan kepadanya.

1.2 Bagian Inti Teks TRM

1.2.1 Persiapan Manawur yang Harus Disampaikan oleh Roh Beras Informasi yang mengungkapkan tentang manawur atau proses penyampaian permohonan diawali dengan mempersiapkan roh beras ditabur sebelum menjadi Putir Santang Bawi Sintung Uju dan menyampaikan pesan kepada para Sangiang bahwa ada umat manusia mengadakan ritual manenung. Pada ritual manenung agar Putir Santang Bawi Sintung Uju berkenan hadir dan memberikan berkah dan petunjuk yang diperlukan oleh orang yang sedang mengadakan ritual manenung saat itu.

Pada tahap persiapan terungkap informasi menimang-menimang beras, menghiasi atau mendandani, dan pujian. Aktivitas ini oleh roh beras kepada sahur parapah sebagai media untuk “memanggil” Putir Santang Bawi Sintung Uju. Selanjutnya, terungkap juga informasi bahwa pada taburan beras merupakan pemanggilan terhadap Putir Santang Bawi Sintung Uju melalui Putir Bawi Tawur.

(10)

1.2.2 Penyampaian Pesan atau Permohonan dalam Ritual Manenung Informasi permohonan terhadap Putir Santang Bawi Sintung Uju melalui media beras dan beliung (alat petunjuk) agar berkenan hadir memberikan petunjuk dan pesan terhadap apa yang ditanya. Dalam permohonan itu juga disiapkan sesajen sebagai “upah” agar saat pemanggilan itu dikabulkan. Pada klausa Awi tege taluh ije isek awi Pantai kalunen „karena ada yang ingin ditanya karena pantai manusia‟ dan gilingan pinang berhelatan rokok yang ditengahi beras bungkusan „gilingan pinang berhelatan rokok yang ditengahi beras bungkusan‟ kedua klausa ini terdapat hubungan timbal balik, yaitu pada saat pemanggilan atau permohonan kepada sang pemberi petunjuk (Putir Santang Bawi Sintung Uju) juga harus disiapkan sesajen atau syarat. 1.3 Bagian Penutup Teks TRM

Bagian penutup merupakan bagian yang mengakhiri dari tuturan atau pelaksanaan TRM. Dalam bagian ini terungkap informasi tentang berakhirnya tugas Putir Santang Bawi Sintung Uju memberikan petunjuk kepada umat manusia, kemudian kembali ke alamnya. Dengan kembalinya Putir Santang Bawi Sintung Uju, kembalinya mereka dalam bentuk beras biasa. Ciri khas berakhirnya TRM adanya fenomena kebahasaan yang berupa pengucapan kata-kata kuruk bara-kuruk yang bersinonim dengan kata kuriu bara-kuriu, pengucapan kata yang tidak memiliki arti ini juga selalu muncul pada akhir mantra-mantra MDHK. Tujuan pengucapan kata-kata itu untuk mengembalikan segala anugrah dan petunjuk atau informasi telah diperoleh dari dewa (sahur parapah) agar masuk ke beras itu, kemudian memberikan tanda berupa perubahan beras yang berjumlah tujuh butir beras (hambaruan) yang telah disiapkan sebelum TRM dilaksanakan.

Pada bagian penutup TRM kembali basir mengucapkan frasa kuruk hambaruan „kembali roh‟ yang menandai berakhirnya ritual manenung secara keseluruhan. Pengucapan frasa tersebut bermakna untuk mengembalikan roh basir ke badannya seperti semula agar tidak tersesat dan dirasuki oleh roh jahat, karena pada saat melakukan ritual manenung, basir dalam keadaan trans yang membuatnya mampu berkomunikasi dengan roh beras. Walaupun basir dalam keadaan trans, tetapi selama ritual manenung berlangsung masih dalam keadaan stabil dan masih bisa berkomunikasi dengan manusia yang ada di dekatnya. Basir mengucapkan frasa kuruk hambaruan sebanyak tiga kali, komunikasi antara dirinya dengan roh beras juga berakhir dan beras yang ditabur itu pun kembali menjadi beras biasa.

2. Struktur Makro

2.1 Tema permohonan

Informasi yang memuat tentang tema permohonan kepada roh beras untuk memanggil Putir Santang Bawi Sintung Uju agar datang menyertai dan memberikan petunjuk kepada yang melaksanakan ritual manenung saat itu. Tema menyampaikan permohonan agar mereka datang ke tempat orang yang mengadakan ritual manenung karena ada hal yang ingin ditanyakan. Pada konteks ini yang dimaksudkan adalah Putir Santang Bawi Sintung Uju. Penyampaian permohonan agar

(11)

memberikan petunjuk terhadap pertanyaan yang disampaikan oleh orang yang mengadakan manenung melalui roh beras.

2.2 Tema Penyambutan

Tema penyambutan mengungkapkan makna penyambutan, pesan atau permohonan manusia yang disampaikan oleh basir melalui beras agar pesan itu tidak diabaikan. Pada kata manusia berjenis nominal yang dimaksudkan bukan manusia secara keseluruhan, melainkan orang yang melakukan ritual.

2.3 Tema Penganugrahan

Tema penganugrahan terungkap makna memohon petunjuk agar diberikan keselamatan. Topik penganugrahan pada konteks ini bermakna “hasil”. Dari identifikasi dan penafsiran topik atau tema tersebut, topik atau tema utama, yaitu menyatakan tentang maksud dan tujuan TRM manenung muncul pada bagian inti, yaitu pada persiapan manawur yang harus disampaikan oleh roh beras yang berupa sanjungan dan penyampai pesan atau permohonan.

3. Struktur Mikro

Analisis pada tataran struktur mikro pada TRM adalah analisis terhadap fenomena kebahasaan yang terdapat di dalamnya. Pada tataran kebahasaan ini pengkajian tataran kebahasaan yang digunakan dalam sebuah teks. Pada penelitian ini, tataran kebahasaan yang dianalisis adalah bentuk-bentuk paralelisme yang terdapat dalam TRM, hal ini didasarkan atas pertimbangan bahwa salah satu gaya bahasa yang paling menonjol dalam bahasa ritual BS yang digunakan dalam ritual TRM adalah penggunaan bahasa puitis yang di dalamnya terdapat paralelisme atau penyepasangan. Dalam analisis paralelisme ini mengacu pada teori Jacobson (dalam Fox, 1986: 330) yang meliputi paralelisme tataran fonologis, leksikogramatika, dan leksikosemantis.

3.1 Paralelisme Fonologi 3.1.1 Asonansi

Pada tataran fonologis fenomena seperti ini adalah hal yang umum terjadi dalam bahasa ritual, termasuk TRM. Kata-kata berasonansi terkadang memiliki relasi secara makna, kesetalian bunyi tersebut semata-mata hanya untuk memperindah bunyi. Penyajian data-data yang mengandung bunyi asonansi dibagi menjadi dua macam, yakni asonansi sempurna dan asonansi tidak sempurna.

(a) Asonansi sempurna

Asonansi sempurna dalam TRM dapat terjadi pada kedua perangkat diad dan juga hanya pada salah satu perangkat diadnya.

(b) Asonansi Tidak Sempurna

Asonansi tidak sempurna yang dimaksudkan pada TRM ini adalah terjadinya pengulangan sebagian bunyi vokal pada dua kata atau lebih dan pada posisi bunyi tersebut tertukar (asimetris) dalam kata yang berdekatan.

3.1.2 Aliterasi

Aliterasi adalah pengulangan bunyi konsonan atau kelompok konsonan pada awal suku kata atau awal kata secara berurutan,

(12)

seperti halnya dengan asonansi. Dalam TRM ditemukan aliterasi sempurna dan aliterasi tidak sempurna. Aliterasi sempurna adalah pengulangan bunyi konsonan pada kedua perangkat, sedangkan aliterasi tidak sempurna pengulangan bunyi konsonan hanya pada salah satu perangkat diad.

3.1.3 Rima

Rima adalah gaya bahasa yang mementingkan keselarasan bunyi bahasa, baik kesepadanan bunyi, kekontrasan, maupun kesamaan bunyi. Pada TRM terungkap kalimat yang memiliki jenis rima, yaitu rima sempurna, tidak sempurna, dan rima mutlak. Rima sempurna adalah pengulangan bunyi pada suku kata terakhir, sedangkan rima tidak sempurna adalah pengulangan sebagian suku kata terakhir terhadap kata, dan mutlak adalah adalah pengulangan bunyi pada seluruh kata.

4.1 Paralelisme Leksikogramatikal

Dalam pengklasifikasi kelas kata dalam TRM dilakukan analisis terhadap jumlah unsur perangkat diadnya. Hal ini untuk mengetahui seberapa banyak unsur kata yang berulang dalam klausa atau kalimat TRM.

4.1.1 Jumlah Unsur Perangkat Diad

Dari hasil analisis terhadap data kalimat dalam TRM ditemukan jumlah unsur perangkat diad sebagai berikut.

(a) Jumlah unsur perangkat diad yang tertinggi dalam klausa mencapai sepuluh unsur yang berpasangan.

(b) Unsur berpasangan antarperangkat diad yang berjumlah delapan unsur.

(c) Unsur berpasangan perangkat diad yang berjumlah tujuh unsur. (d) Unsur perangkat diad yang berjumlah enam.

(e) Unsur perangkat diad yang berjumlah lima juga dominan dalam TRM yang sepadan.

(f) Unsur perangkat diad yang berjumlah empat yang dominan dalam TRM.

(g) Perangkat diad yang berjumlah tiga unsur yang berpasangan. (h) Perangkat diad yang berjumlah dua unsur yang berpasangan. 4.1.2 Ekuivalensi Kelas Kata

Di samping berdasarkan hasil analisis terhadap unsur kesepadanan perangkat diad juga dikemukakan ekuivalensi kelas kata yang ditemukan dalam TRM. Ekuivalensi kelas kata yang bersepadan terdapat dalam TRM, yaitu kelas kata nomina, verba, adjektiva, adverbia, pronomina, preposisi, konjungsi, dan numeralia.

4.1.3 Paralelisme Leksikosemantis

Berdasarkan analisis paralelisme leksikosemantis ditemukan bentuk penyepasangan makna antarperangkat diad dalam tataran kata, frasa, dan kalimat. Dalam analisis paralelisme leksikosemantis mencakup: (a) sinonim adalah bentuk bahasa yang maknanya mirip atau sama dengan bentuk lain. Kesamaan itu berlaku pada kata, kelompok kata atau kalimat; (b) antitesis, yaitu penggunaan kata atau frasa yang bermakna berlawanan, hanya saja jumlahnya sangat terbatas; dan (c)

(13)

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa struktur tekstual dalam Tutur Ritual Manenung (TRM) terdapat tiga tataran sebagai berikut.

(a) Tataran superstruktur TRM yang terdiri atas bagian pendahuluan diawali dengan salam pembukaan, bagian inti memuat informasi tentang proses penyampaian pesan atau permohonan umat manusia melalui “roh beras” yang menjelma menjadi Putir Santang Bawi Sintung Uju; dan bagian penutup, bagian ini memuat informasi tentang berakhirnya tugas Putir Santang Bawi Sintung Uju memberikan petunjuk kepada umat manusia, kemudian kembali ke alamnya.

(b) Tataran struktur makro, yaitu itu berupa kajian topik atau tema utama yang terdapat pada teks TRM. Dalam teks TRM, tema dikedepankan tentang permohonan kepada roh beras untuk memanggil sahur parapah (Putir Santang Bawi Sintung Uju) agar datang menyertai dan memberikan petunjuk kepada yang melaksanakan ritual manenung pada saat itu.

(c) Tataran struktur mikro TRM adalah kajian kebahasaan yang terdapat dalam TRM, dalam konteks ini, yakni kajian tentang paralelisme. Paralelisme yang dikaji mencakup paralelisme fonologis, leksikogramatikal, dan leksikosemantis. Pada tataran fonologis ditemukan bunyi asonansi, bunyi aliterasi, dan bunyi berima. Pada tataran leksikogramatikal ditemukan perangkat diad yang berpasangan maksimal berjumlah sepuluh dan yang minimal berjumlah dua, sedangkan perangkat diad yang berjumlah sembilan tidak ditemukan dalam data TRM. Di samping itu juga ditemukan kalimat tunggal yang tidak berpasangan. Pasangan menurut kelas kata yang berpasangan dalam TRM adalah nominal, verbal, adjektiva, adverbial, pronomina, preposisi, konjungsi, dan numeralia. Pada tataran leksikosemantis, ditemukan pasangan bersinonim lebih dominan dibandingkan pasangan berantitesis dan bersintesis. Penyepasangan kalimat dengan kata-kata bersinonim ini merupakan ciri utama dalam bahasa Sangiang (BS). Secara keseluruhan, BS yang digunakan dalam TRM menunjukkan bahwa kesepadanan makna sinonim adalah hal yang paling utama daripada kesepadanan bunyi. Konteks ini bukan berarti mengabaikan kesepadanan, tetapi terdapat kesepadanan makna lebih didahulukan dan jika tidak terdapat kesepadanan makna bersinonim, akan disepadankan dengan kata yang berbunyi sepadan. Kesepadanan makna bersinonim tampak pada penggunaan kata-kata dengan makna yang berulang. Kesepadanan bunyi ini tampak pada penggunaan kata-kata dengan bunyi bersepadan atau bunyi harmonis meskipun tidak memiliki relasi makna.

sintesis adalah penggabungan unsur-unsur untuk membentuk ujaran dengan menggunakan alat bahasa yang ada. Jadi, penggabungan kata itu sama sekali tidak memiliki relasi makna sinonim atau antonim. Keberadaan sintesis dapat memberikan sebuah makna yang utuh. Dari analisis paralelisme leksikosemantis, ternyata penyepasangan sinonim lebih dominan dibandingkan antitesis dan sintesis.

(14)

Saran

Berdasarkan temuan penelitian di atas, dikemukakan sejumlah saran sebagai berikut.

a. Kajian lebih lanjut pada tataran linguistik makro dan mikro terhadap bahasa ritual, khususnya bahasa Sangiang sangat diperlukan sebagai pengkajian terhadap budaya yang lebih mendalam lagi.

b. TRM merupakan salah satu dari tuturan ritual yang ada pada Masyarakat Dayak Hindu Kaharingan yang ada di Palangka Raya, khususnya dan Kalimantan Tengah umumnya, sehingga masih banyak tuturan ritual lain yang bisa diteliti oleh peneliti linguistik, terutama bidang mikro dan mikro. c. Sebagai upaya pelestarian budaya lokal MDHK di Palangka Raya, khususnya

dan Kalimantan Tengah Umumnya, mengingat semakin derasnya arus globalisasi sehingga bisa berdampak negatif terhadap keberadaan budaya lokal MDHK. Oleh sebab itu, diharapkan peran pemerintah setempat untuk melakukan revitalisasi terhadap kebudayaan lokal melalui lembaga adat, lembaga agama, dan lembaga masyarakat lain.

(15)

DAFTAR RUJUKAN

Brown, Gillian & Yule, George. 1996. Analisis Wacana. Terjemahan oleh I. Soetikno. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Bustan, Fransiskus. 2004. Wacana Kebudayaan Tudak dalam Ritual Penti pada Kelompok Etnik Manggarai di Flores Barat. Disertasi tidak diterbitkan. Denpasar: Program Doktor Unud. Dhavamony, Mariasusai. 1995. Fenomenologi Agama. Yogyakarta: Kanisius.

Djajasudarma, Fatimah T. 1993. Metode Linguistik Ancangan Model Penelitian dan Kajian. Bandung: PT Eresco.

Erom, Kletus. 2004. Ungkapan Paralelisme Bahasa Manggarai dan Dinamikanya dalam Realitas Sosial Budaya Manggarai. Tesis tidak diterbitkan. Denpasar: Program Pascasarjana Unud. Eriyanto. 2009. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: PT LKIS Printing

Cemerlang.

Fairclough, Norman. 1994. Language and Power. New York: Longman Inc. (Online),

http://books.google.co.id/books/about/Language_and_power. html?id=5RJxAAAAIAAJ&redir_esc=y, diakses 14 Oktober 2011.

Foley, William A. 1997. Anthopological Linguistics. An Introduction. Malden USA: Blackwell. Fox, J. James. 1986. Bahasa, Sastra, dan Sejarah: Kumpulan Karangan mengenai Masyarakat

Pulau Roti. Jakarta: Djambatan.

Hadi, Sumandiyo Y. 2006. Seni dalam Ritual Agama. Yogyakarta: Pustaka

Jumadi. 2010. Wacana: Kajian Kekuasaan Berdasarkan Ancangan Etnografi Komunikasi dan Pragmatik. Yogyakarta: Pustaka Prisma.

Kridalaksana, Harimurti. 2001. Kelas Kata dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Muhadjir, Noeng. 2007. Metodologi Keilmuan, Paradigma Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed. Yogyakarta: Rake Sarasin.

Passandaran, Joko. 2000. Struktur Informasi dalam Teras Berita Majalah Berita Indonesia. Tesis tidak diterbitkan. Malang: IKIP Malang.

Pastika, I Wayan. 2005. Linguistik Kebudayaan: Konsep dan Model. Linguistik Vol.12 No. 22. Denpasar Program Studi Magister dan Doktor: Udayana.

Riwut, Nila. 2003. Menyelami Kekayaan Leluhur. Palangka Raya: Pustaka Lima.

Sastriadi. 2006. Manawur: Kajian Bentuk, Fungsi, dan Makna. Tesis tidak diterbitkan. Denpasar: Program Pascasarjana Universitas Udayana.

(16)

Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa, Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan Secara Linguistik. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.

Sobur, Alex. 2006. Analisis Teks Media, Pengantar untuk Analisis Wacana Semiotik dan Framing. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kualitatif, Kuantitif, dan R&D. Bandung: Alfabet.

Suteja, I Gusti Made. 2005. Teks dan Rekayasa Teks. Linguistik. Vol. 12, No. 22 Denpasar: Universitas Udayana.

Van Dijk, Teun A. 1985. Semantic Discourse Analysis. Dalam Teun A. Van Dijk A, (Ed.), Handbook of Discourse Analysis. Vol. 2 Demensions of Discourse. London: Academic Press, Inc. Ltd.

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi proses bisnis yang berjalan pada sistem ERP (Enterprise Resource Planning), terutama pada departemen terkait yang berhubungan dengan

Penulis akhirnya dapat menyelesaikan tugas akhir yang berjudul ”Rancang Bangun Pembuat Makanan Otomatis Berbasis PLC ( Programmable Logic Controller ) Toshiba Prosec

Kesimpulan: Dapat disimpulkan bahwa pasien rawat jalan peserta BPJS Kesehatan merasa lebih puas terhadap pelayanan kefarmasian yang diberikan oleh petugas ruang

Strategi yang dapat dilakukan dalam meningkatkan pendapatan dari Pajak Hotel dan Pajak Restoran adalah dengan meningkatkan promosi pariwisata serta keberadaan hotel

Cooperative Professional Development Dalam Meningkatkan Kinerja Guru di Mi Ma’arif Nu Porodeso Sekaran Lamongan. Imam Bawani, MA. dan Dosen pembimbing II Dr. Penerapan model

Terjadinya interaksi pada kombinasi perlakuan dosis pupuk hayati dan pupuk fosfat pada parameter pengamatan berat biji per tanaman di saat panen umur 95 hst di

Faktor – faktor yang mempengaruhi konflik keluarga – pekerjaan terhadap kepuasan kerja yaitu (1) Jenis Pekerjaan karena pekerjaan sebagai dosen awalnya bukan merupakan

Menyusun daftar pertanyaan atas hal-hal yang belum dapat dipahami dari kegiatan mengmati dan membaca yang akan diajukan kepada guru berkaitan dengan materi Pengaruh nasionalisme