• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU KAYU DAN INTERFERON GAMA (IFN-γ) SERUM PADA PEKERJA INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU KAYU DAN INTERFERON GAMA (IFN-γ) SERUM PADA PEKERJA INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU"

Copied!
103
0
0

Teks penuh

(1)

1

TESIS

HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU

KAYU DAN INTERFERON GAMA (IFN-γ) SERUM

PADA PEKERJA INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU

I GEDE YASA ASMARA NIM: 0914048205

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(2)

HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU

KAYU DAN INTERFERON GAMA (IFN-γ) SERUM

PADA PEKERJA INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU

Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik,

Program Pascasarjana Universitas Udayana

I GEDE YASA ASMARA NIM: 0914048205

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(3)

Lembar Pengesahan

TESIS INI TELAH DISETUJUI TANGGAL 4 PEBRUARI 2014

Mengetahui Pembimbing I,

Prof. Dr. dr. Ida Bagus Ngurah Rai, SpP (K) NIP 195311201980121001

Pembimbing II,

dr. I Made Bagiada, SpPD-KP NIP 195601251986011001

Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana

Universitas Udayana,

Prof. Dr.dr.Wimpie Pangkahila, Sp.And. FAACS NIP 194612131971071001

Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana,

Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, SpS (K) NIP 195902151985102001

(4)

Tesis Ini Telah Diuji pada Tanggal 4 Pebruari 2014

Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor

Universitas Udayana, No.: 0200/UN14.4/HK/2014, Tanggal 27 Januari 2014

Ketua : Prof. DR. dr. Ida Bagus Ngurah Rai, SpP (K)

Anggota :

1. dr. I Made Bagiada, SpPD-KP 2. Prof. DR. dr. N. Adiputra, M.OH 3. Prof. dr. N. Tigeh Suryadhi, MPH, PhD 4. DR. dr. Ida Sri Iswari, SpMK, M.Kes

(5)

UCAPAN TERIMA KASIH

Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, karena atas karunia-Nya, tesis ini dapat diselesaikan.

Pada kesempatan ini ijinkanlah penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. DR. dr. Ida Bagus Ngurah Rai, SpP (K), pembimbing utama yang telah memberikan dorongan, semangat, bimbingan, dan saran dalam penyelesaian tesis ini. Terima kasih yang sebesar-besarnya pula penulis sampaikan kepada dr. I Made Bagiada, SpPD-KP, pembimbing II yang dengan penuh perhatian dan kesabaran telah memberikan bimbingan dan saran kepada penulis.

Ucapan yang sama juga ditujukan kepada Rektor Universitas Udayana Prof. DR. dr. Ketut Suastika, SpPD-KEMD atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister di Universitas Udayana. Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada Direktur Program Pascasarjana yang dijabat Prof. DR. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K) serta Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Prof. DR. dr. Wimpie Pangkahila, Sp.And. FAACS atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa Program Magister pada Program Pascasarjana Universitas Udayana. Tidak lupa penulis pula penulis mengucapkan terima kasih pada Prof. DR. dr. Putu Astawa, M.Kes, SpOT (K) Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana atas ijin yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan Program Magister. Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Ida Bagus Suta, SpP; dr. Dewa Made Artika, SpP; dr. Putu Andrika, SpPD-KIC; dr. Gde Ketut Sajinadiyasa, SpPD; dr. IGNB Artana, SpPD, staf Divisi Paru, Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unud/RSUP Sanglah atas masukan, bimbingan, dorongan, dan bantuannya dalam penyusunan tesis ini. Ungkapan terima kasih penulis sampaikan pula kepada para penguji tesis, yaitu Prof. DR. dr. N. Adiputra, M.OH; Prof. dr. N. Tigeh Suryadhi, MPH, PhD; DR. dr. Ida Sri Iswari, SpMK, M.Kes,

(6)

yang telah memberikan masukan, saran, sanggahan, dan koreksi sehingga tesis ini dapat terwujud seperti ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada CV. Mertanadi, baik kepada Ibu Direktur beserta seluruh jajaran dan karyawannya yang telah memberikan ijin sekaligus kesempatan untuk melakukan penelitian di perusahaan tersebut.

Pada kesempatan ini penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus disertai penghargaan kepada seluruh guru-guru yang telah membimbing penulis, mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Juga penulis ucapkan terima kasih kepada Ayah dan Ibu yang telah mengasuh dan membesarkan penulis. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada istri dr. Ni Made Ayu Suria Mariati, SpAn, putri pertama Putu Delinda Asmara dan putri kedua Kadek Delvina Asmara atas segala dukungan moril dan materiil kepada penulis sehingga berhasil menyelesaikan tesis ini dengan baik. Seluruh Keluarga Besar Residen Interna juga disampaikan ucapan terima kasih atas kerjasama yang baik selama ini.

Semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa selalu melimpahkan rahmat-Nya kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan dan penyelesaian tesis ini.

Denpasar, Januari 2014

(7)

ABSTRAK

HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU KAYU DAN INTERFERON GAMA (IFN-γ) SERUM PADA PEKERJA

INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU

Debu merupakan salah satu sumber gangguan kesehatan akibat lingkungan kerja. Pajanan debu kayu telah lama dikaitkan dengan berbagai gangguan paru seperti rinitis alergika, bronkitis kronis, asma kerja, penurunan fungsi paru dan penyakit fibrosis paru. Suatu meta-analisis menunjukkan bahwa pajanan debu kayu memiliki risiko 1,9 kali untuk terjadinya fibrosis paru. Pajanan debu kayu ditandai dengan kelebihan sitokin profibrotik dan penurunan kadar IFN-γ diduga oleh karena debu kayu yang merupakan benda asing dalam tubuh akan mengaktivasi makrofag dan selanjutnya mengganggu keseimbangan antara aktivasi sitokin Th1 dan Th2. Sitokin Th2 akan dirangsang sedangkan sitokin Th1 yaitu IFN-γ akan dihambat.

Penelitian ini merupakan studi potong lintang pada pekerja industri pengolahan kayu Perusahaan X, Badung, Bali yang dilakukan dari bulan Mei sampai Oktober 2013 untuk mengetahui hubungan antara pajanan debu kayu dan IFN-γ serum. Pajanan debu kayu dihitung dengan mengukur kadar debu terhirup menggunakan Personal Dust Sampler. Kadar IFN-γ serum diukur dengan teknik ELISA. Untuk mengetahui korelasi antara pajanan debu kayu dan IFN-γ serum digunakan uji korelasi Pearson. Untuk mengetahui perbedaan kadar pajanan debu kayu dan kadar IFN-γ serum pada pekerja yang bekerja di bagian yang berbeda digunakan uji one-way Anova. Nilai p < 0,05 dikatakan signifikan.

Didapatkan 60 pekerja sebagai sampel yang terbagi sama rata dalam 4 bagian yaitu penggergajian, perakitan, pengamplasan dan administrasi. Rerata usia pekerja 40,6 tahun, masa kerja 15,7 tahun dan IMT 21,8 kg/m2. Sepertiga jumlah pekerja merokok dengan rerata 11,9 packyear dan 66,7% selalu menggunakan alat pelindung diri. Secara umum, rerata pajanan debu kayu di perusahaan X adalah 81,7 mg/m3/tahun dan rerata kadar IFN-γ serum pekerja 6,7 pg/ml. Didapatkan korelasi negatif yang signifikan antara pajanan debu kayu dan IFNγ serum (r = -0,324; p= 0,011). Terdapat perbedaan rerata pajanan debu kayu yang bermakna antara tiap-tiap bagian dan perbedaan IFN-γ serum yang bermakna antara bagian administrasi dengan tiga bagian lainnya (p < 0,05).

Penelitian ini menunjukkan bahwa jelas terdapat hubungan negatif di antara pekerja industri pengolahan kayu Perusahaan X, Badung, Bali yaitu, semakin tinggi pajanan debu kayu maka semakin rendah IFN-γ serum.

(8)

ABSTRACT

NEGATIVE RELATIONSHIP BETWEEN WOOD DUST EXPOSURE AND SERUM INTERFERON GAMMA (IFN-γ) IN WORKERS OF

WOOD PROCESSING INDUSTRY

Dust as one of health problem sources due to working environment. Exposure to wood dust has long been associated with a variety of pulmonary disorders such as allergic rhinitis, chronic bronchitis, occupational asthma, decreased lung function and pulmonary fibrosis. A meta-analysis showed that exposure to wood dust had 1,9 times risk for the occurrence of pulmonary fibrosis. Exposure to wood dust is characterized by excess of profibrotic cytokines and decreased levels of IFN-γ serum. Wood dust which is recognised as a foreign object by the body could activates macrophages and further disrupt the balance between Th1 and Th2 cytokine activation. Th2 cytokines are stimulated whereas Th1 cytokine IFN-γ are inhibited.

This research was a cross-sectional study in workers of wood processing industry Company X, Badung, Bali carried out from May to October 2013 in order to determine the relationship between wood dust exposure and IFN-γ serum. Wood dust exposure is calculated by measuring the levels of respirable dust using Personal Dust Sampler. Interferon-γ serum levels were measured by ELISA. The correlation between wood dust exposure and IFN-γ serum was analysed using Pearson correlation test. In order to determine the difference in the levels of wood dust exposure and IFN-γ serum levels in workers who work in different sections, one-way ANOVA test was used. p value < 0,05 was considered significant.

There were 60 workers recruited as sample which were subdivided in equal number into 4 sections namely sawing, assembly, sanding and administration. The mean age was 40,6 years, mean job tenure of 15,7 years and mean BMI of 21,8 kg/m2. One third of the workers smoke around 11,9 packyear cigarettes and 66,7% reported always use masker. In general, the mean level of wood dust exposure in Company X was 81,7 mg/m3/year and the mean level of IFN-γ serum was 6,7 pg/ml. There was a significant negative correlation between wood dust exposure and IFN-γ serum (r = -0,324, p = 0,011). There were significant differences in wood dust exposure between each section and IFN-γ serum between the administration and other sections (p < 0,05).

This study clearly showed that there is a negative relationship in workers of wood processing industry Company X, Badung, Bali i.e. the higher the wood dust exposure, the lower the level of IFN-γ serum.

(9)

RINGKASAN

HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU KAYU DAN INTERFERON GAMA (IFN-γ) SERUM PADA PEKERJA

INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU

Debu merupakan salah satu sumber gangguan kesehatan akibat lingkungan kerja. Interaksi faktor agen, inang, dan lingkungan mempengaruhi timbulnya gangguan paru akibat debu kayu. Faktor agen (debu kayu) meliputi ukuran partikel, bentuk dan konsentrasi. Faktor inang (pekerja) meliputi umur, jenis kelamin, status gizi, mekanisme pertahanan paru dan status imunologis serta kebiasaan merokok. Faktor lingkungan yaitu jenis pabrik, lamanya pajanan, penggunaan alat pelindung diri (APD) dan lain sebagainya. Pajanan debu kayu telah lama dikaitkan dengan berbagai gangguan paru seperti rinitis alergika, bronkitis kronis, asma kerja, penurunan fungsi paru dan penyakit fibrosis paru. Suatu meta-analisis menunjukkan bahwa pajanan debu kayu memiliki risiko 1,9 kali untuk terjadinya fibrosis paru. Studi pada binatang menunjukkan bahwa pajanan debu kayu berulang terhadap paru menimbulkan proses inflamasi yang diikuti dengan aktivasi sitokin proinflamasi dan kemokin. Interferon gama (IFN-γ) adalah sitokin endogen yang memiliki multifungsi baik sebagai fibrotik, anti-infektif, anti-proliperatif atau imunomodulator. Kadar IFN-γ secara teori dipengaruhi oleh umur, status gizi, kebiasaan merokok, penyakit tuberkulosis, diabetes, dan keganasan. Pajanan debu kayu ditandai dengan kelebihan sitokin pro-fibrotik dan penurunan kadar IFN-γ diduga oleh karena debu kayu yang merupakan benda asing oleh tubuh akan mengaktivasi makrofag dan selanjutnya mengganggu keseimbangan antara aktivasi sitokin Th1 dan Th2. Sitokin Th2 akan dirangsang sedangkan sitokin Th1 yaitu IFN-γ akan dihambat.

Perusahaan X merupakan industri pengolahan kayu terbesar di Bali yang terletak di Desa Lukluk, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung. Perusahaan X didirikan dalam rangka mendukung penyerapan tenaga kerja informal dengan total 150 karyawan yang terbagi menjadi 30 staf dan 120 pekerja. Perusahaan X mengolah kayu yang masih kasar menjadi mebel siap pakai dan furniture yang sudah jadi. Kayu yang digunakan sebagai bahan produksi di Perusahaan X adalah Merbau dan Bangkirai yang merupakan jenis kayu keras (hardwoods). Sebagian besar pekerja terpajan dengan debu kayu karena tidak semua pekerja menggunakan masker.

Penelitian ini merupakan studi observasional dengan metode potong lintang analitik pada pekerja industri pengolahan kayu Perusahaan X, Badung, Bali yang dilakukan dari bulan Mei sampai Oktober 2013 untuk mengetahui hubungan antara pajanan debu kayu dan IFN-γ serum. Sekitar 60 pekerja digunakan sebagai sampel dengan teknik cluster purposif random sampling, untuk selanjutnya masuk dalam salah satu dari 4 bagian yaitu penggergajian, perakitan, pengamplasan dan administrasi. Kriteria inklusi meliputi umur 18-60 tahun, telah bekerja di satu bagian minimal 10 tahun dan setuju mengikuti penelitian dengan menandatangani inform concent. Kriteria eksklusi meliputi pekerja dengan

(10)

riwayat penyakit tuberkulosis, kencing manis atau keganasan dan riwayat penyakit ini didapatkan secara subjektif hanya dengan melakukan wawancara terhadap pekerja dan pekerja yang bekerja di bagian VI (pengecatan dan

finishing). Pajanan debu kayu dihitung dengan mengukur kadar debu terhirup

menggunakan Personal Dust Sampler. Dosis pajanan merupakan perkalian antara kadar debu terhirup dan lama bekerja/lama pajanan. Kadar IFN-γ serum diukur dengan teknik ELISA. Data yang terkumpul dianalisis secara deskriptif. Uji normalitas menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov. Untuk mengetahui korelasi antara pajanan debu kayu dan IFN-γ serum digunakan uji korelasi Pearson. Untuk mengetahui perbedaan kadar pajanan debu kayu dan kadar IFN-γ serum pada pekerja yang bekerja di bagian yang berbeda digunakan uji one-way Anova. Nilai p < 0,05 dikatakan signifikan.

Didapatkan 60 pekerja sebagai sampel yang terbagi sama rata dalam 4 bagian yaitu penggergajian, perakitan, pengamplasan dan administrasi. Hasilnya menunjukkan sebagian besar subjek penelitian berjenis kelamin laki-laki (53,3%) dan bekerja pada bagian perakitan. Pekerja perempuan sebagian besar bekerja di bagian pengamplasan. Rerata usia pekerja 40,6 tahun, masa kerja 15,7 tahun dan IMT 21,8 kg/m2. Sepertiga jumlah pekerja merokok dengan rerata 11,9 packyear dan proporsi yang hampir berimbang pada tiap bagian kecuali tidak ada pekerja pada bagian pengamplasan yang merokok. Untuk status gizi, terlihat bahwa 60% subjek penelitian dengan status gizi normal, 31,7% pekerja dengan berat badan berlebih dan 8,3% dengan status gizi kurang. Mengenai penggunaan Alat Pelindung Diri (APD), 66,7% pekerja selalu menggunakan APD bila sedang bekerja, 11,7% pekerja sering, 16,7% pekerja jarang, dan 5% pekerja tidak pernah menggunakan APD.

Secara umum, rerata pajanan debu kayu di Perusahaan X 81,7 mg/m3/tahun dan rerata kadar IFN-γ serum pekerja 6,7 pg/ml. Uji normalitas semua data menunjukkan sebaran yang normal, kecuali data penggunaan APD dan IFN-γ serum. Transformasi data kemudian dilakukan terhadap dua data tersebut dan didapatkan sebaran data IFN-γ serum yang normal. Terdapat korelasi negatif yang signifikan antara pajanan debu kayu dan IFN-γ serum (r = -0,324; p= 0,011). Terdapat perbedaan rerata pajanan debu kayu yang bermakna antara tiap-tiap bagian (p < 0,05) dan perbedaan IFN-γ serum yang bermakna antara bagian administrasi dengan tiga bagian lainnya (p < 0,05). Penelitian ini menunjukkan bahwa jelas terdapat hubungan negatif di antara pekerja industri pengolahan kayu Perusahaan X, Badung, Bali yaitu, semakin tinggi pajanan debu kayu maka semakin rendah IFN-γ serum.

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

PRASYARAT GELAR………ii

LEMBAR PERSETUJUAN……….………iii

PENETAPAN PANITIA PENGUJI….………iv

UCAPAN TERIMA KASIH………v

ABSTRAK……….…………...vii

ABSTRACT………...viii

RINGKASAN………...ix

DAFTAR ISI………xi

DAFTAR TABEL……… xiv

DAFTAR GAMBAR……… xv

DAFTAR SINGKATAN ATAU TANDA………xvi

DAFTAR LAMPIRAN……….xix BAB I PENDAHULUAN……….... 1 1.1 Latar Belakang ……….. 1 1.2 Rumusan Masalah……….. 5 1.3 Tujuan Penelitian………... 6 1.4 Manfaat Penelitian………. 6 1.4.1 Manfaat Akademik………. 6

1.4.2 Manfaat Klinik Praktis……… 6

(12)

2.1 Debu Kayu dan Industri Pengolahan Kayu……… 7

2.1.1 Debu Kayu……….. 7

2.1.2 Cara Pengukuran Debu……… 9

2.1.3 Nilai Ambang Batas Debu di Udara……… 10

2.1.4 Jenis Kayu dan Industri Pengolahan Kayu...………... 11

2.2 Mekanisme Pajanan Debu Kayu dan Efeknya terhadap Paru…… 15

2.3 Interferon Gama………. 20

2.3.1 Peran Interferon Gama dalam Fungsi Paru………. 20

2.3.2 Efek Pajanan Debu Kayu terhadap Kadar Interferon Gama.. 24

2.3.3 Peran Interferon Gama dalam Fibrosis Paru……….. 26

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN………. 29

3.1 Kerangka Berpikir………... 29

3.2 Konsep Penelitian..………... 30

3.3 Hipotesis Penelitian……… 31

BAB IV METODE PENELITIAN……….. 32

4.1 Rancangan Penelitian………. 32

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian………. 32

4.3 Subjek dan Sampel………. 32

4.3.1 Populasi……….. 32

(13)

4.3.3 Besaran Sampel……….. 33

4.4 Variabel……….. 33

4.4.1 Identifikasi Variabel……… 33

4.4.2 Klasifikasi Variabel……… 33

4.4.3 Definisi Operasional Variabel……… 34

4.5 Bahan dan Instrumen Penelitian………. 36

4.6 Prosedur Penelitian………. 36

4.7 Analisis Data……….. 39

BAB V HASIL PENELITIAN………... 42

BAB VI PEMBAHASAN………...………... 56

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN………... 71

DAFTAR PUSTAKA……… 72

(14)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 5.1 Karakteristik subjek penelitian………..…… 43

Tabel 5.2 Distribusi frekuensi berdasarkan jenis kelamin dan bagian...44

Tabel 5.3 Distribusi frekuensi berdasarkan status gizi dan bagian... 45

Tabel 5.4 Distribusi frekuensi berdasarkan merokok dan bagian... 45

Tabel 5.5 Distribusi frekuensi berdasarkan penggunaan APD dan bagian.... 46

Tabel 5.6 Kadar debu terhirup di Perusahaan X berdasarkan bagian... 47

Tabel 5.7 Koefisien korelasi antara pajanan debu kayu dengan IFN-γ serum...48

Tabel 5.8 Koefisien korelasi antara umur dengan IFN-γ serum... 49

Tabel 5.9 Koefisien korelasi antara status nutrisi dengan IFN-γ serum... 50

Tabel 5.10 Koefisien korelasi antara kebiasaan merokok dengan IFN-γ serum... 51

Tabel 5.11 Koefisien korelasi antara penggunaan APD dengan IFN-γ serum...52

Tabel 5.12 Hasil analisis one-way Anova Pajanan debu kayu di Perusahaan X...53

Tabel 5.13 Hasil analisis Post-hoc LSD Pajanan debu kayu di Perusahaan X...53

Tabel 5.14 Hasil analisis one-way Anova IFN-γ serum di Perusahaan X....54

Tabel 5.15 Hasil analisis Post-hoc LSD IFN-γ serum di Perusahaan X...55

(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Jalur masuknya debu kayu sampai ke dalam paru……… 20

Gambar 2.2 Mekanisme kerja IFN-γ di dalam sel...23

Gambar 2.3 Keseimbangan Th1 dan Th2 dalam patogenesis terjadinya fibrosis paru...26

Gambar 3.1 Kerangka Berpikir Penelitian………. 30

Gambar 3.2 Konsep Penelitian………….………. 30

Gambar 4.1 Alur Penelitian………..………. 39

Gambar 5.1 Diagram korelasi antara pajanan debu kayu dengan IFN-γ serum .………. 48

Gambar 5.2 Diagram korelasi antara umur dengan IFN-γ serum .………… 49

Gambar 5.3 Diagram korelasi antara status nutrisi dengan IFN-γ serum .… 50 Gambar 5.4 Diagram korelasi antara kebiasaan merokok dengan IFN-γ serum … ………51

Gambar 5.5 Diagram korelasi antara penggunaan APD dengan IFN-γ serum .………... 52

Gambar 6.1 Mekanisme asap rokok menimbulkan penyakit pada saluran nafas………. 66

(16)

DAFTAR SINGKATAN ATAU TANDA

α tingkat kemaknaan

µm mikrometer

APC Antigen Presenting Cell APD Alat Pelindung Diri

ATS American Thoracic Society CD Cluster of Differentiation

ELISA Enzim Linked Immunosorbent Assay FEV1 Force Expiratory Volume in 1 second HVAS High Volume Air Sampler

Hg Merkuri

IARC The International Agency for Research on Cancer IFN-α Interferon alfa

IFN-β Interferon beta IFN-e Interferon eta IFN-δ Interferon delta IFN-γ Interferon gamma IFN-γ1b Interferon Gamma 1 beta IFN-k Interferon kappa

IFN-o Interferon omega IFN-t Interferon teta

(17)

IMT Indeks Massa Tubuh IRF-1 IFN-γ regulatory factor-1 IU International Unit

kDa kilo Dalton

LVAS Low Volume Air Sampler

mg miligram

ml mililiter

mm milimeter

m3 meter kubik

My88 Myeloid differentiation factor 88 NAB Nilai Ambang Batas

NADPH Nicotinamide Adenine Dinucleotide Phosphate NK Natural Killer

NOS Nitrit Oksida Sintetase

Pb Timbal

PDGF Platelet Derived Growth Factor PDS Personal Dust Sampler

PM10 Particulate Matter dengan diameter <10 mikron PM2,5 Particulate Matter dengan diameter < 2,5 mikron RNI Reactive Nitrogen Intermediate

SGPT Serum Glutamic Piruvic Transaminase SiO2 Silikon Dioksida

(18)

SPM Suspended Particulate Matter

SPSS Statistical Packages for Social Sciences TGF-β Tumor Growth Factor beta

Th1 T helper 1

Th2 T helper 2

TNF-α Tumor Necrosis Factor alfa TSP Total Suspended Particulate WHO World Health Organisation

(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Persetujuan setelah penjelasan……….. 78

Lampiran 2 Formulir persetujuan tertulis……….………. 80

Lampiran 3 Prosedur pemeriksaan Interferon gama serum………... 81

Lampiran 4 Formulir pengumpulan data………... 84

Lampiran 5 Data sheet SPSS………..……….. 85

Lampiran 6 Output analisis data SPSS...………... 87

Lampiran 7 Surat Keterangan Laik Etik (ethical clearance)..……….. 104

(20)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Debu merupakan salah satu sumber gangguan kesehatan akibat lingkungan kerja yang tidak dapat diabaikan. Tempat kerja yang prosesnya mengeluarkan debu, dapat menyebabkan pengurangan kenyamanan kerja, gangguan penglihatan, gangguan fungsi faal paru bahkan kelainan patologis yang ireversibel.

Kayu merupakan sumber daya alam yang sangat penting yang bersumber dari hutan. Sepertiga wilayah daratan di dunia terdiri dari hutan tanaman industri. Industri pengolahan kayu merupakan salah satu jenis industri yang menghasilkan debu kayu dalam jumlah besar yang berpotensi menimbulkan berbagai gangguan kesehatan khususnya kelainan fungsi paru baik yang bersifat sementara maupun permanen (Kauppinen dkk., 2006).

Debu adalah partikel padat yang dapat dihasilkan oleh manusia dan alam melalui proses pemecahan suatu bahan seperti grinding (penggerendaan), blasting (penghancuran), drilling (pengeboran), dan puverizing (peledakan). Partikel debu melayang adalah suatu kumpulan senyawa dalam bentuk padatan yang tersebar di udara dengan diameter sangat kecil 1-500 mikron sedangkan debu yang membahayakan kesehatan umumnya berdiameter 0,1-10 mikron (Syahriany, 2002; Kauppinen dkk., 2006).

Debu kayu dapat dihasilkan melalui proses mekanik seperti penggergajian, penyerutan dan penghalusan (pengamplasan). Debu kayu di udara dapat terhirup dan mengendap dalam organ pernapasan tergantung dari diameter dan bentuk

(21)

partikel melalui mekanisme antara lain sedimentasi, impaksi, inersial dan difusi. Departemen Tenaga Kerja telah menetapkan bahwa untuk debu kayu, nilai ambang batas di udara lingkungan kerja adalah 1 mg/m3. Nilai ambang batas menunjukkan kadar suatu zat yang menimbulkan reaksi fisiologis manusia (ATS, 1996; Khumaidah, 2009).

Badung merupakan salah satu kabupaten di Bali yang memiliki sentra industri pengolahan kayu dan penghasil mebel. Banyak tenaga kerja yang terserap dari industri ini baik dalam industri formal dan informal. Mereka merupakan kelompok risiko tinggi terkena gangguan fungsi paru. Perusahaan X merupakan industri pengolahan kayu terbesar di Bali yang terletak di Desa Lukluk, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung. Perusahaan X didirikan dalam rangka mendukung penyerapan tenaga kerja informal dengan total 150 karyawan yang terbagi menjadi 30 staf dan 120 pekerja. Bahan baku yang diperlukan sebagian besar berasal dari jenis kayu keras seperti kayu merbau dan bangkirai. Perusahaan X mengolah kayu yang masih kasar menjadi mebel siap pakai dan furniture yang sudah jadi. Sebagian besar pekerja terpajan dengan debu kayu karena tidak semua pekerja menggunakan masker. Walaupun perusahaan mewajibkan semua pekerja untuk memakai masker yang dibuat perusahaan sendiri (terbuat dari kain katun), tidak semua pekerja mau menggunakannya dengan alasan sulit bernafas dan alasan lain. Melihat dampak yang ditimbulkan dari pajanan debu kayu cukup besar maka perlu suatu penanganan yang tepat akan hal ini.

Interaksi faktor agen, inang dan lingkungan mempengaruhi timbulnya gangguan paru akibat debu kayu. Faktor agen (debu kayu) meliputi ukuran partikel, bentuk dan konsentrasi. Faktor inang (pekerja) meliputi umur, jenis kelamin, status gizi, mekanisme pertahanan paru dan status imunologis serta

(22)

kebiasaan merokok. Faktor lingkungan yaitu jenis pabrik, lamanya pajanan, penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) dan lain sebagainya (Yulaekah, 2007).

Pajanan debu kayu telah lama dikaitkan dengan berbagai gangguan paru seperti rinitis alergika, bronkitis kronis, asma kerja, penurunan fungsi paru dan penyakit fibrosis paru (Baran & Teul, 2007; Jacobsen dkk., 2010a). The

International Agency for Research on Cancer (IARC) mengklasifikasikan debu

kayu sebagai karsinogen kelas I pada manusia (WHO, 1995). Respon inflamasi dan imunologi yang terjadi akibat pajanan debu kayu belum begitu jelas. Suatu meta-analisis menunjukkan bahwa pajanan debu kayu memiliki risiko 1,9 kali untuk terjadinya fibrosis paru (Baumgartner dkk., 2000; Taskar & Coultas, 2006). Studi binatang menunjukkan bahwa pajanan debu kayu berulang terhadap paru menimbulkan proses inflamasi yang diikuti dengan aktivasi sitokin proinflamasi dan kemokin (Maatta dkk., 2006).

Penelitian yang dilakukan terhadap pekerja industri permebelan kayu di Kabupaten Jepara menunjukkan bahwa prevalensi gangguan fungsi paru sebesar 43,2% dari seluruh populasi pekerja perusahaan tersebut. Terdapat perbedaan prevalensi gangguan fungsi paru antara karyawan yang bekerja pada lingkungan yang kadar debu yang rendah dan kadar debu yang tinggi (Khumaidah, 2009).

Penelitian lain menunjukkan bahwa pekerja yang terpapar debu kayu secara kontinyu terjadi penurunan kemampuan kerja pada usia 15-25 tahun, keluhan batuk produktif dan penurunan Force Expiratory Volume 1 second (FEV 1) pada usia 25-35 tahun, terjadi sesak dan hipoksemia pada usia 45-55 tahun, dan akhirnya gagal jantung kanan, kegagalan pernapasan dan kematian pada usia 55-65 tahun (Meo, 2006; Triatmo dkk., 2006).

(23)

Respon imun terhadap debu kayu meliputi pengenalan (recognition), pengerahan (recruitment), penghancuran (removal) dan perbaikan (repair). Partikel debu yang masuk ke dalam paru awalnya akan diinternalisasi oleh sel dendritik (makrofag, neutrofil, limfosit dan sel natural killer (NK). Proses

recognition ini akan meningkatkan molekul adhesi lokal dan merangsang proses

recruitment sel radang lain. Sel dendritik juga akan mempresentasikan antigen

debu kayu tersebut kepada sel T sehingga sel T menjadi aktif. Tahap selanjutnya adalah removal dan repair yang ditandai dengan aktivasi sel T menjadi sel T spesifik yaitu Th1 dan Th2. Produk utama sitokin Th1 adalah interferon gama (IFN-γ) yang akan meningkatkan imunitas seluler, menghancurkan antigen, menurunkan proliferasi fibroblast, angiogenesis dan ekspresi Tumor Growth

Factor beta (TGF-β). Produk sitokin Th2 seperti IL-4 dan IL-13 akan merangsang imunitas humoral, merangsang produksi antibodi, merangsang fibroblast, pembentukan kolagen dan fibrosis. Pajanan debu kayu menyebabkan aktivitas sitokin Th1 menurun tetapi sitokin Th2 meningkat (Hubbard, 2001; Sharma dkk., 2003).

Interferon gama adalah sitokin endogen yang memiliki multifungsi baik sebagai anti-fibrotik, anti-infektif, anti-proliperatif atau imunomodulator. Kadar IFN-γ di dalam serum dapat diperiksa dengan metode Enzym Linked

Immunosorbent Assay (ELISA) dengan kadar normal 0,145-168 pg/ml, rata-rata

10,4 pg/ml dan standar deviasi ± 40 pg/ml. Kadar IFN-γ secara teori dipengaruhi oleh umur, status gizi, kebiasaan merokok, penyakit tuberkulosis, diabetes dan keganasan (Gardner & Murasco, 2002; Modestou dkk., 2010; Zaidi & Merlino,

(24)

2011). Saat ini masih sedikit hasil penelitian mengenai hubungan antara pajanan debu kayu dengan IFN-γ. Pajanan debu kayu ditandai dengan kelebihan sitokin profibrotik dan penurunan kadar IFN-γ (Raghu dkk., 2004). Debu kayu yang merupakan benda asing oleh tubuh akan mengaktivasi makrofag dan selanjutnya mengganggu keseimbangan antara aktivasi sitokin Th1 dan Th2. Sitokin Th2 akan dirangsang sedangkan sitokin Th1 yaitu IFN-γ akan dihambat (Elias dkk., 1990; Lesur dkk., 1994; Maatta dkk., 2006). IFN-γ dikatakan mampu menurunkan produksi kolagen tipe 1 dan 3 yang banyak terdapat di dalam paru (Elias dkk., 1990; Narayanan dkk.,1992). Hal tersebut di atas yang mendasari pengembangan IFN-γ sebagai salah satu terapi penyakit fibrosis paru. IFN-γ mampu menghambat proliferasi fibroblas, sintesis kolagen dan deposisi serta ekspresi sitokin profibrotik. Suatu metaanalisis menunjukkan bahwa terapi IFN-γ1b dapat menurunkan angka kematian pada penyakit fibsosis paru (Davis dkk., 2000; Chen dkk., 2001; Bajwa dkk., 2005; Chung, 2006).

Pada penelitian ini dilakukan studi potong lintang pada pekerja industri pengolahan kayu Perusahaan X, Badung, Bali untuk mengetahui hubungan antara pajanan debu kayu dan IFN-γ serum. Bila benar terdapat hubungan antara tingginya pajanan debu kayu dengan rendahnya kadar IFN-γ serum maka usaha pencegahan dampak buruk debu kayu terhadap paru pekerja industri pengolahan kayu menjadi sangat penting.

1.2 Rumusan masalah

Apakah terdapat hubungan negatif antara pajanan debu kayu dan IFN-γ serum pada pekerja industri pengolahan kayu Perusahaan X, Badung, Bali?

(25)

1.3 Tujuan penelitian

Untuk mengetahui adanya hubungan negatif antara pajanan debu kayu dan IFN-γ serum pada pekerja industri pengolahan kayu Perusahaan X, Badung, Bali.

1.4 Manfaat penelitian

1.4.1 Manfaat akademik

Penelitian ini merupakan penelitian analitik yang hasilnya dapat dipakai sebagai data dasar dan juga dapat bermanfaat untuk menambah pengetahuan kita mengenai pengaruh pajanan debu kayu terhadap IFN-γ serum pada pekerja industri pengolahan kayu.

1.4.2 Manfaat klinik praktis

a. Memberikan informasi dan menambah pengetahuan serta masukan tentang efek pajanan debu kayu terhadap IFN-γ serum kepada pengusaha dan pekerja Perusahaan X, Badung, Bali.

b. Pengendalian dini pencemaran udara di lingkungan kerja industri pengolahan kayu untuk mencegah dampak kesehatan yang merugikan kalangan pekerja.

c. Memberikan manfaat bagi program kesehatan sebagai dasar untuk penelitian lebih lanjut pada industri pengolahan kayu di tempat lain.

(26)

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1 Debu Kayu dan Industri Pengolahan Kayu

Industri pengolahan kayu merupakan industri yang pertumbuhannya sangat pesat di Indonesia. Industri tersebut mampu menyerap tenaga kerja dan menghasilkan devisa negara. Di lain pihak, industri tersebut berpotensi menimbulkan kontaminasi udara di tempat kerja berupa debu kayu. Partikel adalah pencemar udara yang dapat berada bersama-sama dengan bahan atau bentuk pencemar lainnya. Sumber pencemaran partikel dapat berasal dari peristiwa alami dan dapat juga berasal dari aktivitas manusia. Sumber pencemaran partikel akibat aktivitas manusia sebagian besar berasal dari pembakaran batubara, proses industri, kebakaran hutan dan gas buangan alat transportasi (Huff, 2001; Triatmo dkk., 2006).

2.1.1 Debu Kayu

Debu ialah partikel-partikel kecil yang dihasilkan oleh proses alami atau mekanis. Debu adalah zat padat berukuran 0,1-10 mikron yang dapat dihasilkan oleh manusia atau alam dan merupakan hasil dari proses pemecahan suatu bahan. Sifat debu meliputi pengendapan, permukaan basah, penggumpalan, listrik statis dan sifat optis. Partikel debu dapat dibagi atas 3 jenis, yaitu debu organik (debu kapas, debu daun-daunan, debu kayu), debu mineral (merupakan senyawa kompleks: SiO2, SiO3, dan arang batu) dan debu metal (debu yang mengandung unsur logam: Pb, Hg, Cd, Arsen, dll). Partikel debu dipengaruhi oleh daya tarik

(27)

bumi sehingga cenderung untuk mengendap di permukaan bumi (Depkes RI, 1996; Wardhana, 2001).

Ukuran debu sangat berpengaruh terhadap terjadinya penyakit pada saluran pernapasan. Dari hasil penelitian ukuran tersebut dapat mencapai target organ sebagai berikut (Depkes RI, 1996):

1. 5-10 mikron, akan tertahan oleh saluran pernapasan bagian atas. 2. 3-5 mikron, akan tertahan oleh saluran pernapasan bagian tengah. 3. 1-3 mikron, sampai di permukaan alveoli.

4. 0,5-1 mikron, hinggap di permukaan alveoli/selaput lendir sehingga dapat menyebabkan fibrosis pada paru-paru.

5. 0,1-0,5 mikron, melayang di permukaan alveoli.

Berdasarkan lamanya partikel tersuspensi di udara dan rentang ukurannya, partikel dapat dibedakan menjadi 2 macam yaitu dust fall (setteable particulate) yang berbentuk lebih besar dari 10 µm dan Suspended Particulate Matter (SPM) yang ukurannya lebih kecil dari 10 µm. Kategori lain adalah partikel padat Total

Suspended Particulate (TSP) dengan diameter maksimum sekitar 45 mikron,

Particulate Matter-10 (PM10) dengan diameter kurang dari 10 mikron dan PM2,5

dengan diameter kurang dari 2,5 mikron. Partikel-partikel tersebut diyakini oleh para pakar lingkungan dan kesehatan masyarakat sebagai pemicu timbulnya infeksi saluran pernapasan, karena partikel padat PM10 dan PM2,5 dapat mengendap pada saluran pernapasan daerah bronki dan alveoli, sedang TSP tidak dapat terhirup ke dalam paru, tetapi hanya sampai pada bagian saluran pernapasan atas (Wardhana, 2001).

(28)

2.1.2 Cara Pengukuran Debu

Kuantitas pajanan terhadap debu kayu didefinisikan menjadi beberapa istilah yaitu kadar debu total (total dust), kadar debu yang terhirup (respirable

dust) dan kadar debu dosis kumulatif. Total dust dihitung dengan dengan

menggunakan pengumpul debu pasif. Debu total ini kurang berpengaruh terhadap kesehatan karena ukuran debunya tidak spesifik. Respirable dust adalah partikel debu dengan diameter aerodinamik rata-rata 4 mikron (0-10 mikron) yang ditangkap oleh filter nylon cyclone diameter 10 mm dengan kecepatan 1,7 liter/menit. Sedangkan kadar debu dosis kumulatif adalah perkalian antara

respirable dust dengan lama pajanan. Ada 3 cara pengukuran kadar debu di udara

yang semuanya mempunyai metode yang sama. Metode yang digunakan gravimetri yaitu dengan melewatkan udara dalam volume tertentu melalui serat glass/glass fiber/kertas saring (Lange, 2008).

a. High Volume Air Sampler (HVAS)

Cara ini dikembangkan sejak tahun 1948 menggunakan filter berbentuk segi empat seukuran kertas A4 yang mempunyai porositas 0,3-0,45 µm. Prosedur kerja alat ini adalah udara ambien dihisap dengan pompa hisap berkecepatan 1000-1500 lpm. Partikel debu dengan diameter 0,1 sampai 100 mikron akan masuk bersamaan aliran udara dan terkumpul pada permukaan saringan serat gelas. Metode ini dapat digunakan untuk mengambil contoh udara selama 24 jam. Pengukuran metoda ini untuk penentuan sebagai Total Suspended Particulate (TSP).

(29)

b. Low Volume Air Sampler (LVAS)

Cara ini menggunakan filter berbentuk lingkaran (bulat) dengan porositas 0,3-0,45 µm. Prosedur kerja alat ini adalah udara ambien dihisap dengan pompa hisap berkecepatan 10-30 lpm untuk penangkapan

Suspensi Particulate Matter (SPM). Dengan mengetahui berat kertas

saring sebelum dan sesudah pengukuran maka berat debu dapat dihitung. c. Personal Dust Sampler (PDS)

Personal Dust Sampler adalah suatu alat yang biasa digunakan

untuk menentukan banyaknya Respirable Dust di udara atau debu yang dapat lolos melalui filter bulu hidung manusia selama bernafas. Metodenya adalah gravimetri atau melewatkan udara melalui kertas saring dengan cara mengatur flow rate. Untuk rate 2 liter/menit dapat menangkap partikel debu yang ukurannya lebih kecil dari 10 mikron. Alat ini biasanya digunakan pada lingkungan kerja dan dipasangkan pada pinggang tenaga kerja. Alatnya berukuran kecil.

2.1.3 Nilai Ambang Batas (NAB) Debu Kayu di Udara

Nilai Ambang Batas adalah parameter yang banyak digunakan untuk mengukur keadaan udara di dalam lingkungan kerja. Nilai Ambang batas adalah konsentrasi dari zat, uap dan gas dalam udara yang dapat dihirup dalam 8 jam sehari atau 40 jam seminggu yang hampir semua tenaga kerja dapat terpajan berulang kali sehari-hari dalam melakukan pekerjaan tanpa gangguan kesehatan yang berarti. Nilai Ambang Batas hanya merupakan alat atau pedoman yang mengikat untuk diperhatikan dari segi kesehatan dan keselamatan kerja. Namun

(30)

bila NAB sudah diterapkan, bukan berarti para pekerja tersebut terbebas dari semua resiko yang mungkin timbul di lingkungan kerja. Nilai ambang batas kualitas udara di lingkungan kerja khususnya kadar debu kayu keras pada industri pengolahan kayu berdasarkan Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja No. 01/MENNAKER/1997 adalah 1 mg/m3 (Menteri Tenaga Kerja, 1997).

Partikel debu selain memiliki dampak terhadap kesehatan juga dapat menyebabkan gangguan sebagai berikut:

a. Gangguan aestetik dan fisik seperti terganggunya pemandangan dan pelunturan warna bangunan dan pengotoran

b. Merusak kehidupan tumbuhan yang terjadi akibat adanya penutupan pori pori tumbuhan sehingga mengganggu jalannya fotosintesis

c. Merubah iklim global regional maupun internasional

d. Menganggu perhubungan/penerbangan yang akhirnya menganggu kegiatan sosial ekonomi di masyarakat

2.1.4 Jenis Kayu dan Industri Pengolahan Kayu

Terdapat begitu banyak jenis kayu yang diolah menjadi bahan industri maupun bahan bakar. Walaupun tiap jenis kayu tersebut memiliki karakteristik tertentu, kayu dibagi menjadi dua kelompok besar secara botani yaitu

gymnosperms atau kayu lunak (softwoods) dan angiosperms atau kayu keras

(hardwoods). Perbedaan utama kedua jenis kayu tersebut adalah struktur benih dan anatomi batangnya. Namun bagian batang dari ke dua jenis kayu tersebut memiliki pembagian yang sama yaitu bagian pinggir dan bagian tengah. Bagian pinggir banyak terdapat sel-sel yang aktif mensintesis dan menyimpan bahan metabolik sekunder. Sedangkan bagian tengah terdiri dari sel yang kurang aktif

(31)

secara metabolik dan bertugas hanya sebagai tempat menyimpan ekstrak kayu dalam jangka waktu yang panjang. Bagian tengah ini yang bertanggung jawab terhadap daya tahan dan stabilitas kayu, menentukan kualitas kayu serta lebih dihargai secara ekonomi. Sekitar dua pertiga kayu di dunia yang digunakan sebagai bahan industri adalah jenis kayu lunak (Lange, 2008). Kayu merbau dan bangkirai yang paling sering digunakan oleh Perusahaan X termasuk ke dalam jenis kayu keras (hardwoods).

Merbau dan Bangkirai adalah nama sejenis pohon penghasil kayu keras berkualitas tinggi. Kayu ini memiliki tekstur kayu yang kasar dan merata, dengan arah serat yang kebanyakan lurus. Kayu yang telah diolah memiliki permukaan yang licin dan mengkilap indah. Kayu ini memiliki penyusutan yang sangat rendah, sehingga tidak mudah menimbulkan cacat apabila dikeringkan, memiliki daya tahan terhadap jamur pelapuk kayu, rayap kayu kering dan penggerek laut sehingga acap digunakan pula dalam pekerjaan konstruksi perairan. Kayu keras jenis ini terutama dimanfaatkan dalam konstruksi berat seperti balok-balok, tiang dan bantalan, di bangunan rumah maupun jembatan. Oleh karena kekuatan, keawetan dan penampilannya yang menarik, sekarang kayu merbau dan bangkirai juga dimanfaatkan secara luas untuk pembuatan kusen, pintu dan jendela, lantai parket (parquet flooring), papan-papan dan panel, mebel, badan truk, ukiran dan lain-lain.

Secara umum jenis kayu keras lebih berpotensi menimbulkan kelainan ireversibel pada paru berupa fibrosis paru dibandingkan dengan kayu lunak. Beberapa jenis kayu dapat menimbulkan reaksi inflamasi yang kemudian berakibat pada pembentukan jaringan fibrosis. Mekanisme inflamasi yang diinduksi oleh debu kayu ini coba dipelajari dengan media kultur sel. Kayu beech,

(32)

oak, birch, teak, pine dan spruce mampu menginduksi reaksi inflamasi yang

berakibat cedera sel dan fibrosis. Kayu pine dan birch juga mampu menginduksi pembentukan ROS oleh sel makrofag, yang selanjutnya berujung pada kematian sel dan fibrosis. Berbeda dengan pine dan birch, kayu beech tidak menginduksi peningkatan produksi ROS (Maatta dkk., 2006).

Secara umum industri pengolahan kayu mengolah kayu gelondongan menjadi kayu bahan bangunan sampai mebel siap jadi. Terdapat beberapa bagian pada setiap industri pengolahan kayu yang berimplikasi pada kadar debu kayu yang berbeda yang dihasilkan oleh masing-masing bagian. Ada 6 bagian utama di dalam produksi kayu di Perusahaan X, Badung yaitu:

1. Bagian I yaitu penggergajian kayu

Bahan baku kayu tersedia dalam bentuk kayu gelondong, sehingga masih perlu mengalami penggergajian agar ukurannya menjadi lebih kecil seperti balok dan papan. Pada umumnya, pembuatan balok dan papan dikerjakan dengan menggunakan gergaji secara mekanis.

2. Bagian II yaitu pengelompokan dan penyimpanan bahan baku

Pada bagian ini dilakukan penyiapan bahan baku pertama, menyiapkan papan dan balok kayu yang sudah digergaji dan dipotong menurut ukuran komponen untuk diproses menjadi mebel.

3. Bagian III yaitu perakitan dan pembentukan

Komponen mebel yang sudah jadi, dipasang dan dihubungkan satu sama lain sama lain hingga membentuk mebel sesuai pesanan. Pemasangan ini dilakukan dengan menggunakan peralatan manual maupun mekanik serta lem untuk merekatkan hubungan antar komponen.

(33)

4. Bagian IV yang terdiri atas:

a. Bagian Log Yard, yaitu bagian penerimaan, penyimpanan dan pendistribusian bahan baku mebel yang sudah dirakit tapi belum di

finishing.

b. Bagian Kill Dry, yaitu bagian pengeringan mebel dari kadar air kurang lebih dari 60% menjadi kadar air < 14%.

5. Bagian V yaitu pengamplasan, yang terdiri dari:

a. Bagian pengamplasan kasar, yaitu bagian yang memperhalus mebel dengan amplas yang kasar. Proses ini menghasilkan debu yang kasar. b. Bagian pengamplasan halus, yaitu bagian yang melakukan penghalusan

mebel yang sudah dihaluskan dengan amplas kasar yang kemudian dihaluskan dengan amplas halus. Bagian ini juga menghasilkan debu halus.

6. Bagian VI yaitu Furniture Component

Pada bagian ini dilakukan proses pengecatan dan finishing dari komponen furniture yang telah jadi.

Secara umum bagian II dan IV tidak menghasilkan kadar debu yang berbahaya karena tidak menghasilkan limbah debu. Sedangkan bagian I, III, V dan VI menghasilkan limbah berupa debu yang berasal dari proses penggergajian, pemotongan, pengamplasan kasar dan halus, pengecatan dan finishing.

(34)

2.2 Mekanisme Pajanan Debu Kayu dan Efeknya terhadap Paru

Paru merupakan salah satu organ sistem respirasi yang berfungsi sebagai tempat penampungan udara, sekaligus merupakan tempat berlangsungnya pengikatan oksigen oleh hemoglobin. Interaksi udara dengan paru berlangsung setiap saat, oleh karena itu kualitas yang terinhalasi sangat berpengaruh terhadap faal paru. Udara dalam keadaan tercemar, partikel polutan terinhalasi dan sebagian akan masuk ke dalam paru. Selanjutnya, sebagian partikel akan mengendap di alveoli. Adanya pengendapan partikel dalam alveoli, ada kemungkinan fungsi paru akan mengalami penurunan. Adanya debu di alveolus akan menyebabkan terjadinya statis partikel debu dan dapat menyebabkan kerusakan dinding alveolus, selanjutnya merupakan salah satu faktor predisposisi gangguan fungsi paru baik reversibel maupun ireversibel (Antarudin, 2000).

Partikel debu dapat masuk ke dalam tubuh melalui berbagai rute yaitu Inhalasi adalah jalan yang paling signifikan dimana substansi yang berbahaya masuk dalam tubuh melalui pernapasan dan dapat menyebabkan penyakit baik akut maupun kronis. Absorpsi adalah pajanan debu masuk ke dalam tubuh melalui absorpsi kulit di mana dapat menyebabkan perubahan ringan maupun kerusakan serius pada kulit. Ingesti adalah jalan masuk yang melalui saluran pencernaan.

Faktor yang dapat berpengaruh pada inhasi bahan pencemar ke dalam paru adalah faktor komponen fisik, faktor komponen kimiawi dan faktor penderita itu sendiri. Aspek komponen fisik yang pertama adalah keadaan dari bahan yang diinhalasi (gas, debu, uap). Ukuran dan bentuk akan berpengaruh dalam proses penimbunan di paru, demikian pula kelarutan dan nilai higroskopinya. Komponen kimia yang berpengaruh antara lain kecenderungan untuk bereaksi dengan

(35)

jaringan di sekitar dan tingkat keasamannya (dapat merusak silia dan sistem enzim). Faktor manusia sangat perlu diperhatikan terutama yang berkaitan dengan sistem pertahanan paru, baik secara anatomis maupun fisiologis, lamanya pajanan dan kerentanan individu (Kauppinen dkk., 2006).

Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya pengendapan partikel debu di paru antara lain jenis debu, ukuran partikel debu, konsentrasi partikel dan lama pajanan, pertahanan tubuh (Yunus, 2000).

a. Jenis debu.

Jenis debu terkait daya larut sifat kimianya. Adanya perbedaan daya larut dan sifat kimiawi ini, maka kemampuan mengendapnya juga akan berbeda pula. Demikian juga tingkat kerusakan yang ditimbulkannya juga akan berbeda pula. Terdapat dua partikel debu menjadi dua yaitu debu organik dan anorganik.

b. Ukuran Partikel

Tidak semua partikel dalam udara yang terinhalasi akan mencapai paru. Partikel yang berukuran besar pada umumnya telah tersaring di hidung. Partikel dengan diameter 0,5-6μm yang disebut partikel terhisap yang dapat mencapai alveoli, mengendap disana dan menyebabkan terjadinya pneumokoniosis.

c. Konsentrasi pertikel debu dan lama pajanan

Semakin tinggi konsentrasi partikel debu dalam udara dan semakin lama pajanan berlangsung, jumlah partikel yang mengendap di paru juga semakin banyak. Setiap inhalasi 500 partikel per millimeter kubik udara, maka setiap alveoli paling sedikit menerima 1 partikel dan apabila konsentrasi mencapai

(36)

1000 partikel per millimeter kubik, maka 10% dari jumlah tersebut akan tertimbun di paru. Konsentrasi yang melebihi 5000 partikel per millimeter kubik sering dihubungkan dengan terjadinya pneumokoniosis. Pneumokoniosis akibat debu akan timbul setelah penderita mengalami kontak lama dengan debu. Jarang ditemui kelainan bila pajanan kurang dari 10 tahun. Dengan demikian lama pajanan mempunyai pengaruh besar terhadap kejadian gangguan fungsi paru.

d. Pertahanan tubuh terhadap paparan partikel debu yang terinhalasi

Beberapa orang yang mengalami pajanan debu yang sama baik jenis maupun ukuran partikel, konsentrasi maupun lamanya pajanan berlangsung, tidak selalu menunjukkan akibat yang sama. Sebagian ada yang mengalami gangguan paru berat, namun ada yang ringan bahkan mungkin ada yang tidak mengalami gangguan sama sekali. Hal ini diperkirakan berhubungan dengan perbedaan kemampuan sistem pertahanan tubuh terhadap pajanan partikel debu terinhalasi. Sistem pertahanan paru dan saluran nafas melalui beberapa cara yaitu:

a. Secara mekanik yaitu pertahanan yang dilakukan dengan menyaring partikel yang ikut terinhalasi bersama udara dan masuk saluran pernafasan. Penyaringan berlangsung di hidung, nasofaring dan saluran nafas bagian bawah yaitu bronkus dan bronkiolus. Di hidung penyaringan dilakukan oleh bulu-bulu silia yang terdapat di lubang hidung, sedangkan di bronkus dilakukan reseptor yang terdapat pada otot polos dapat berkonstraksi apabila ada iritasi. Apabila rangsangan yang terjadi berlebihan, maka tubuh akan memberikan reaksi berupa bersin atau batuk yang dapat

(37)

mengeluarkan benda asing termasuk partikel debu dari saluran nafas bagian atas maupun bronkus.

b. Secara kimia yaitu cairan dan silia dalam saluran nafas secara fisik dapat memindahkan partikel yang melekat di saluran nafas, dengan gerakan silia yang mucociliary escalator ke laring. Cairan tersebut bersifat detoksikasi dan bakterisid. Pada paru bagian perifer terjadi ekskresi cairan secara terus menerus dan perlahan-lahan dari bronkus ke alveoli melalui limfatik. Selanjutnya makrofag alveolar menfagosit partikel yang ada di permukaan alveoli.

c. Secara imunitas yaitu melalui proses biokimiawi yaitu humoral dan seluler. Ketiga sistem tersebut saling berkait dan berkoordinasi dengan baik sehingga partikel yang terinhalasi disaring berdasarkan pengendapan kemudian terjadi mekanisme perpindahan partikel.

Mekanisme pengendapan partikel debu di paru berlangsung dengan cara (Yulaekah, 2007):

a. Gravitation yaitu sedimentasi partikel yang masuk saluran napas karena gaya gravitasi.

b. Impaction yaitu terbentur dan jatuhnya partikel di percabangan bronkus dan brokiolus.

c. Brown difusion yaitu mengendapnya partikel dengan diameter lebih besar dari dua micron yang disebabkan oleh terjadinya gerakan keliling (gerakan Brown) dari partikel oleh energi kinetik.

d. Elektrostatic yaitu pengendapan akibat mukus, yang merupakan konduktor yang baik secara elektrostatik.

(38)

e. Interception yaitu pengendapan yang berhubungan dengan sifat fisik partikel berupa ukuran panjang/besar partikel hal ini penting untuk mengetahui di mana terjadi pengendapan.

Begitu masuk ke dalam saluran nafas, partikel debu kayu awalnya akan dibawa oleh sistem tranport mukosilier hidung ke bagian posterior kemudian ke nasofaring. Kecepatan rata-rata transport ini 5 mm/menit sehingga total waktu yang dibutuhkan sekitar 20 menit. Partikel debu kayu yang berada di bagian anterior hidung relatif mudah dikeluarkan dengan mekanisme bersin, usap atau tiup. Partikel yang sangat kecil (<0,1 mikron) dan larut akan mudah diabsorpsi, dimetabolisme oleh epitel saluran nafas atau ditranslokasi ke dalam pembuluh darah.

Pada daerah trakeobronkial, debu kayu akan dikeluarkan oleh mekanisme mukosilier ke arah faring lalu ditelan ke saluran cerna. Kecepatan pengeluaran ini semakin ke distal semakin lambat. Kecepatan transport rata-rata di trakea 4,3-5,7 mm/menit sedangkan di brokus 0,2-1,3 mm/menit. Selanjutnya, partikel debu yang masuk ke dalam alveoli akan difagositosis oleh makrofag baru maksimal 24 jam setelah terdeposisi. Makrofag yang telah dipenuhi partikel debu akan bermigrasi ke bagian distal lapisan mukus untuk dikeluarkan oleh sistem mukosilier atau bertranslokasi ke dalam saluran limfe dan darah untuk bersirkulasi. Bila jumlah partikel debu kayu begitu banyak terdeposisi, maka makrofag mengalami overload, terjadi akumulasi partikel debu kayu pada bagian interstisial dan tercetuslah proses inflamasi (Lange, 2008). Pembentukan dan destruksi makrofag yang terus-menerus berperan penting pada pembentukan jaringan ikat kolagen dan pengendapan hialin pada jaringan tersebut. Fibrosis terjadi pada parenkim paru, yaitu pada dinding alveoli dan jaringan ikat

(39)

interstisial. Akibat fibrosis paru akan terjadi penurunan elastisitas jaringan paru (pengerasan jaringan paru) dan menimbulkan gangguan pengembangan paru. Bila pengerasan alveoli mencapai 10% akan terjadi penurunan elastisitas paru menyebabkan kapasitas vital paru akan menurun dan dapat mengakibatkan berkurangnya suplai oksigen ke dalam jaringan otak, jantung dan bagian-bagian tubuh lainnya (Michaels, 1967; Jacobsen dkk., 2010b).

Gambar 2.1. Jalur masuknya debu kayu sampai ke dalam paru (Lange, 2008)

2.3. Interferon Gama

2.3.1 Peran Interferon Gama dalam Fungsi Paru

Respon imun terhadap patogen atau benda asing yang masuk ke dalam paru dibagi menjadi imunitas alamiah dan imunitas didapat. Imunitas alamiah tidak spesifik dan bereaksi cepat terhadap benda asing yang meliputi fagositosis makrofag alveoler dan stimulasi produksi sitokin proinflamasi. Sitokin dan kemokin yang dihasilkan menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan

(40)

permeabilitas pembuluh darah, peningkatan aliran darah, panas, pembengkakan jaringan, ekspresi dari molekul adhesi dan perekrutan neutrofil pada tempat yang mengalami inflamasi. Benda asing yang tidak mampu diatasi oleh imunitas alamiah akan mencetuskan timbulnya imunitas didapat. Sel dendritik, neutrofil dan makrofag yang mampu memfagositois benda asing dan kemudian mempresentasikan antigennya kepada sel T yang bersirkulasi disebut dengan

Antigen Presenting Cells (APC). Proses ini yang pertama kali muncul pada proses

terbentuknya imunitas didapat. Presentasi antigen oleh APC akan mengaktivasi sel T menjadi sel T efektor selanjutnya juga sel B menjadi sel plasma yang menghasilkan antibodi. Imunitas didapat jauh lebih spesifik, memiliki memori dan lebih kuat. Sel T efektor ada dalam dua bentuk yaitu sel T CD4 dan sel T CD8, di mana sel T CD4 dikelompokan lagi menjadi sel Th1 dan sel Th2. Aktivitas sel T efektor diperantari oleh sitokin yang diproduksinya. Sitokin adalah protein dengan berat molekul kecil 8-40 kDa yang meregulasi respon penjamu terhadap infeksi, inflamasi, trauma dan benda asing. Sitokin yang utama dalam respon imun antara lain IL-1, IL-6 dan TNF-α yang dihasilkan makrofag, IFN-γ yang dihasilkan Th1 dan TGF-β yang dihasilkan Th2. Sel Th1 memproduksi sitokin IFN-γ, membantu makrofag dalam menghancurkan benda asing sedangkan sel Th2 memproduksi IL-4, IL-5 dan TGF-β yang membantu sel plasma dalam memproduksi antibodi. Dalam hal pembentukan jaringan fibrosis pada paru, IFN-γ memiliki peran sentral. Jaringan fibrosis diakibatkan oleh aktivitas proliferasi fibroblast dan pembentukan kolagen serta matriks jaringan ikat. Sitokin Th1 IFN-γ bersifat menghambat pembentukan kolagen sedangkan sitokin Th2 bersifat merangsang pembentukan kolagen dan jaringan fibrosis (Maatta dkk., 2006).

(41)

Pada tahun 1957, Isaacs dan Lindenmann menemukan suatu zat yang dapat melindungi suatu sel dari infeksi virus yang kemudian mereka namakan Interferon (IFN). IFN merupakan suatu protein yang disekresikan oleh sel akibat dari berbagai macam stimuli. IFN adalah sitokin pertama yang ditemukan dan diteliti lebih dalam sehingga kita bisa mengetahui fungsi, jalur produksi, struktur dan evolusi dari sitokin kelas II lainnya. Pada umumnya terdapat dua jenis IFN yaitu tipe I dan tipe II serta sitokin mirip IFN. IFN tipe I terdiri dari tujuh kelas yaitu IFN-α, IFN-β, IFN-e, IFN-k, IFN-o, IFN-d dan IFN-t. Sedangkan IFN tipe II hanya terdiri dari satu kelas yaitu IFN-γ. IFN-α, IFN-β, IFN-e, IFN-k, IFN-o, IL-28A, IL-28B dan IL-29 ditemukan pada manusia sedangkan IFN-d, IFN-t dan limitin tidak (Petska dkk., 2004; Schroder dkk., 2004; Platanias, 2005).

Interferon gama adalah sitokin pro-inflamasi yang disekresikan oleh sel Th1 CD-4 yang berfungsi meningkatkan aktivitas makrofag dalam mengeradikasi antigen/benda asing. IFN-γ bekerja dengan mengaktifkan dan memperkuat efek RNI dan NOS-2 (Boehm dkk., 1997). Beberapa studi genetik menunjukkan bahwa adanya defek genetik gen penyandi IFN-γ atau reseptornya berakibat meningkatnya kerentanan individu tersebut terhadap infeksi bakteri. Suatu studi yang menggunakan terapi antibodi monoklonal anti-interferon gama pada sekelompok mencit menunjukkan hasil infeksi TB berat pada kelompok mencit tersebut (Reljic, 2007).

Ada beberapa mekanisme bagaimana IFN-γ dapat meningkatkan fungsi makrofag. Pertama, IFN-γ dapat berikatan dengan Myeloid differentiation factor

88 (MyD88) kemudian mengaktivasi IFN-γ regulatory factor-1 (IRF-1) yang

(42)

benda asing. Kedua, IRF-1 mampu meningkatkan ekspresi iNOS dan enzim NADPH yang diperlukan dalam fagositosis oksidasi. Ketiga, IRF-1 bisa mengaktivasi TNF-α via faktor nukleus kappa beta. Sinergi antara sitokin TNF-α dan IFN-γ sangat diperlukan dalam aktivasi makrofag. Terakhir, IFN-γ mampu menginduksi ekspresi dari IL-12 oleh makrofag dan monosit sehingga menimbulkan umpan balik positif ke arah respon Th1. Dalam kenyataannya mekanisme IFN-γ dalam meningkatkan aktivitas makrofag memerlukan kombinasi beberapa mekanisme di atas secara simultan (Reljic, 2007)

(43)

2.3.2 Efek Pajanan Debu Kayu terhadap Kadar Interferon Gama

Pajanan debu kayu secara terus menerus menyebabkan cedera epitel alveoli yang kontinyu, aktivasi fibroblast dengan penumpukan matriks protein yang berlebihan, serta terbentuknya jaringan parut dan fibrosis (Brody dkk., 1993). Patogenesis dari fibrosis paru belum diketahui secara pasti, tetapi faktor lingkungan seperti debu kayu telah dibuktikan pengaruhnya terhadap timbulnya fibrosis paru pada suatu studi meta-analisis dengan risiko relatif 1,9 kali (Taskar & Coultas, 2006). Inhalasi debu kayu dalam jangka waktu tertentu dan berulang-ulang akan menyebabkan cedera sel epitel alveoli. Cedera sel ini akan mengaktivasi reaksi inflamasi, respon abnormal perbaikan jaringan yang rusak dan remodeling jaringan interstisial alveoli. Respon inflamasi alamiah meliputi aktivasi sitokin pro-inflamasi dan aktivasi sel limfosit T. Aktivasi limfosit T akan berakibat diferensiasi ke arah Th1 dengan produksi sitokin IFN-γ dan ke arah Th2 dengan produksi sitokin TGF-β (King dkk., 2000; Sharma dkk., 2003).

Pada prinsipnya terdapat ketidakseimbangan antara sitokin Th1 interferon gama dan sitokin Th2 pada patogenesis terjadinya fibrosis paru. Fibrosis paru diakibatkan oleh produksi kolagen oleh sel fibroblas yang teraktivasi. Proses fibrosis ini dirangsang oleh sitokin Th2 akan tetapi ditekan oleh sitokin IFN-γ. Respon imunologi yang terjadi pada fibrosis paru lebih cenderung kepada sitokin Th2 seperti IL-4 dan IL-13, eosinofil dan sel mast. Studi pada tikus menunjukkan fibrosis paru terjadi bila sitokin Th1 menurun (Meyer, 2003; Taskar & Coultas, 2006). Pajanan debu kayu akan menyebabkan penurunan kadar IFN-γ sehingga mempermudah terjadinya fibrosis paru. Peran inflamasi dominan pada fase awal

(44)

fibrosis dan dikatakan kurang begitu penting dalam terjadinya fibrosis paru. Ketika terjadi cedera epitel, mikrovaskuler akan rusak sehingga komposisi plasma seperti fibronektin dan komponen koagulasi lain akan berusaha untuk menyediakan matriks ekstraseluler demi keberlangsungan perbaikan jaringan. Tetapi adanya ketidakseimbangan antara proses koagulasi dan fibrinolisis akan menghambat reepitelisasi luka dan perbaikan arsitektur paru. Hal ini dibuktikan dengan studi binatang yang menunjukkan adanya gangguan fibrinolisis pada gangguan penyembuhan cedera (Fernandez, 2006; Barnes, 2008).

Berdasarkan atas pentingnya peran fibroblas atau miofibroblas dalam deposisi matriks yang berlebihan, gangguan arsitektur paru dan gangguan pertukaran gas, maka diperlukan agen seperti IFN-γ yang dapat memodulasi fungsi fibroblas dan menghambat deposisi matriks tersebut. Sehingga progresivitas penyakit fibrosis paru nantinya dapat dihambat. IFN-γ adalah interferon tipe 2 dan sitokin Th1 yang memiliki efek menghambat produksi

growth factor profibrotic, ekspresi gen kolagen. Sitokin ini memegang peranan

yang penting juga dalam pembentukan granuloma dan telah disetujui untuk terapi osteopetrosis dan penyakit granuloma kronik (Zhou dkk., 1999; Fruchter, 2004; Nathan dkk., 2004)

(45)

Gambar 2.3. Keseimbangan Th1 dan Th2 dalam patogenesis terjadinya fibrosis paru (Wynn, 2004)

2.3.3 Peran Interferon Gama dalam Fibrosis Paru

Saat ini banyak perhatian ditujukan pada penggunaan IFN-γ sebagai terapi penyakit fibrosis paru. Dasar pemikirannya adalah properti IFN-γ dalam menghambat proliferasi fibroblast, sintesis dan deposisi kolagen serta ekspresi dari sitokin pro-fibrotik. Secara histologis penyakit fibrosis paru ditandai oleh spektrum dari paru yang normal sampai honey-combing tahap lanjut. Gambaran ini sesuai dengan hipotesis proses cedera berulang yang berakhir dengan fibrosis. Proliferasi fibroblas yang terjadi diakibatkan oleh ketidakseimbangan antara sitokin Th1 dan Th2 (Nathan dkk., 2004). IFN-γ adalah sitokin utama yang diproduksi oleh sel T dan sel NK yang memiliki efek antiviral, anti proliferasi, imunomodulasi dan antifibrotik. Selama bertahun-tahun IFN-γ telah lama dikenal sebagai sitokin proinflamasi, kadang dikaitkan dengan patogenesis inflamasi dan

(46)

autoimun. Tetapi saat ini telah banyak bukti yang mendukung efek anti-inflamasi IFN-γ melalui rangsangannya terhadap Interleukin 1 receptor antagonist (IL-1Ra) atau IL-18 binding protein (IL-18BP). IFN-γ berefek langsung terhadap sintesis kolagen, menghambat kolagenase dan menghambat TGF-β. IFN-γ juga memiliki peran perbaikan jaringan dan remodeling. Terjadinya fibrosis paru tidak selalu melalui inflamasi, sehingga terapi dengan anti inflamasi seringkali tidak memberikan respon yang baik (Borg & Isenberg, 2007; Bouros & Tzouvelekis, 2009).

Terapi dengan IFN-γ ditoleransi dengan baik. Efek samping yang mungkin muncul antara lain flu-like syndrome, mialgia, demam, penurunan berat badan, peningkatan SGPT dan nyeri di tempat suntikan (Dauber dkk., 2004; O’Connor, 2004). Studi uji klinik terandomisasi yang melibatkan 18 pasien dengan fibrosis paru menunjukkan adanya perbaikan parameter fisiologis yang lebih baik pada pasien yang mendapatkan IFN-γ1b dan prednisolon dibandingkan dengan prednisolon dan plasebo. Studi lain dengan jumlah sampel yang lebih besar ternyata gagal menunjukkan efek yang lebih baik dari terapi IFN-γ1b. Justru, terdapat efek yang berpotensi merugikan. Memang masih terdapat kontroversi mengenai efektivitas penggunaan IFN-γ sebagai terapi fibrosis paru. Suatu meta-analisis membuktikan bahwa terapi fibrosis paru dengan IFN-γ1b menurunkan angka kematian (Bajwa dkk., 2005). Penyakit fibrosis paru merupakan penyakit paru interstitial yang memiliki angka kematian yang tinggi. Separuh jumlah pasien akan meninggal dalam 4-5 tahun dan hanya sekitar 20% yang bertahan setelah 10 tahun. Terapi fibrosis paru selama ini dengan kortikosteroid dan imunosupresan tidak banyak membawa perubahan dalam hal progresivitas

(47)

penyakit. IFN-γ memiliki efek yang modulasi respon inflamasi dan anti fibrotik. Efek hambatan IFN-γ bersifat tergantung dosis dan tidak hanya pada sintesis kolagen tetapi juga sitokin fibrogenik TGF-β (Cayon dkk., 2010).

Untuk dapat aktif, IFN-γ harus mencapai sel target, berikatan dengan reseptor spesifik dan mengaktivasi jalur sinyal transduksi untuk menimbulkan respon seluler. IFN-γ merupakan protein yang sangat pleiotrofik sehingga dosis, cara, jalur dan waktu pemberiannya harus didesain dengan cermat untuk menghindari efek samping bahkan toksisitas (Reljic, 2007). Sejumlah studi pada binatang jelas menunjukkan efek positif dari pemberian IFN-γ pada fibrosis paru. Mekanisme fibrosis paru yang diinduksi oleh partikel debu disebabkan oleh interaksi makrofag dengan fibroblas. Studi binatang menunjukkan bahwa makrofag memproduksi platelet-derived growth factor (PDGF) yang merangsang proliferasi dan kemotaksis fibroblast. IFN-γ yang dihasilkan oleh sel T menghambat PDGF ini (Brody dkk., 1993; Segel dkk., 2003).

Efek debu kayu yang lama dan berulang berpotensi menimbulkan kerusakan paru yang reversibel maupun ireversibel seperti fibrosis paru. Peran IFN-γ sebagai terapi dengan meningkatkan kadarnya didalam serum mungkin dapat menurunkan proses inflamasi dan fibrosis yang diperantarai oleh sitokin Th2. Sehingga efek buruk dari debu kayu dapat dicegah (Nathan dkk., 2004).

(48)

BAB III

KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Berpikir

Proses perbaikan cedera yang normal akan mengembalikan histologi dan fungsi jaringan kembali normal. Akan tetapi, pajanan debu kayu pada individu yang suseptibel akan berpotensi menimbulkan keadaan abnormal seperti gangguan obstruksi dan fibrosis paru. Pajanan debu kayu dalam jangka waktu tertentu dan berulang-ulang akan menyebabkan cedera sel epitel alveoli.

Cedera sel epitel alveoli akan mengaktivasi reaksi inflamasi sehingga mengakibatkan limfosit T yang tidak aktif menjadi limfosit T aktif dan berdiferensiasi. Proses aktivasi dan diferensiasi limfosit T bisa ke arah Th1 (IFN-γ) dan ke arah Th2. Aktivitas Th1 mampu menekan aktivitas Th2 begitu juga sebaliknya.

Pajanan debu kayu berakibat pada ketidakseimbangan antara respon inflamasi Th1 dan Th2 dimana produksi sitokin Th1 (IFN-γ) akan menurun dan aktivitas sitokin Th2 akan meningkat. Prinsip ketidakseimbangan antara sitokin Th1 IFN-γ dan sitokin Th2 ini pula yang mendasari patogenesis terjadinya fibrosis paru. Pajanan debu kayu memiliki hubungan negatif dengan kadar IFN-γ serum sehingga mempermudah terjadinya fibrosis paru seperti yang terlihat pada Gambar 3.1.

(49)

Gambar 3.1. Kerangka berpikir penelitian 3.2 Konsep Penelitian

(50)

3.3 Hipotesis Penelitian

Terdapat hubungan negatif antara pajanan debu kayu dan IFN-γ serum pada pekerja industri pengolahan kayu Perusahaan X, Badung, Bali.

(51)

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan studi observasional dengan rancangan potong lintang analitik.

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Perusahaan X, Badung, Bali pada bulan Mei - Oktober 2013.

4.3 Subjek dan Sampel 4.3.1 Populasi

Populasi target penelitian adalah semua pekerja industri pengolahan kayu. Populasi terjangkau penelitian adalah semua pekerja industri pengolahan kayu Perusahaan X, Badung, Bali selama periode penelitian dilakukan.

4.3.2 Kriteria Subjek

Subjek tersebut harus memenuhi kriteria pemilihan sebagai berikut: 4.3.2.1 Kriteria inklusi:

a. Pekerja industri pengolahan kayu Perusahaan X, Badung, Bali. b. Usia 18-60 tahun.

c. Telah bekerja di Perusahaan X, Badung, Bali selama minimal 10 tahun. d. Setuju mengikuti penelitian setelah menandatangani informed consent. 4.3.2.2 Kriteria eksklusi:

a. Pekerja dengan riwayat penyakit tuberkulosis, kencing manis atau keganasan. Riwayat penyakit ini didapatkan secara subjektif hanya

Gambar

Gambar 2.1. Jalur masuknya debu kayu sampai ke dalam paru (Lange, 2008)
Gambar 2.2. Mekanisme kerja IFN-γ di dalam sel (Medestou, 2010)
Gambar 2.3. Keseimbangan Th1 dan Th2 dalam patogenesis terjadinya fibrosis  paru (Wynn, 2004)
Gambar 3.1. Kerangka berpikir penelitian  3.2   Konsep Penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Untuk mendapatkan kurva biodegradasi yang sesuai dengan kriteria OECD, konsentrasi senyawa uji yang disarankan pada prosedur operasional standar botol tertutup adalah 2−10

(1) Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral sebagaimana dimaksud dalam lampiran IIA Angka (8) Peraturan

b) Compositional analysis of separator gas and liquid up to heptanes plus fraction, including determination of nitrogen and carbon dioxide fractions as well as calculation

Sibawaihi, Lc mengenai Manajemen kelas VIII di MTs Muallimin Univa Medan sebagai berikut “Manajemen kelas menurut saya adalah usaha yang dilakukan bagaimana kami seorang

Feature Codes module : Modul Kode Fitur digunakan untuk mengaktifkan dan menonaktifkan fitur-fitur tertentu yang tersedia di PBX dan Asterisk Anda, dan untuk mengatur kode yang

Dalam penelitian ini digunakan istilah jangjawokan nyadarkeun, istilah ini digunakan oleh kelompok seni tradisi reak helaran sebagai sebutan untuk mantra menyadarkan

Aqidah tidak boleh hanya dipahami sebagai keyakinan pada Rukun Iman saja, yaitu iman pada Allah, malaikat Allah, Kitab-kitab Allah, nabi, hari akhir, dan

Distribusi frekuensi responden berdasarkan karakteristik umur, jenis kelamin, berat badan pada pasien diare anak dengan dehidrasi.. Variabel Mean Median Min Max SD Frekuensi