• Tidak ada hasil yang ditemukan

SOPT(Sindrom Obstruksi Pasca TB)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SOPT(Sindrom Obstruksi Pasca TB)"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Sindrom Obstruksi Post Tuberkulosis yang disebabkan karena Destroyed Lung

Dextra dengan Gastroesofageal Refluks Disease pada Wanita 44 Tahun

Andre Prasetyo Mahesya

Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung

Abstrak

Destroyed lung adalah kerusakan pada parenkim paru yang diakibatkan oleh gejala sisa dari Tuberkulosis pulmonal berupa sindrom obstruksi pasca tuberkulosis yang terjadi selama bertahun-tahun. Pada 83,3 % kasus destroyed lung ditemukan riwayat Tuberkulosis pulmonal. Data primer dan skunder diperoleh dari autoanamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Nyonya E, wanita, 43 tahun, dengan keluhan sesak, batuk berdahak, mual, nyeri ulu hati, regurgitasi asam, post pengobatan tuberkulosis, penurunan berat bdan, ditemukan kerusakan pada paru kanan dan pemeriksaan basil tahan asam (BTA) negatif. Masalah pada pasien ini adalah destroyed lung dan gastroesofageal refluks disease (GERD). Penatalaksanan pada destroyed lung dengan medikamentosa hanya bersifat kuratif dan pada GERD bersifat kuratif dan kausatif.

Kata kunci:destroyed lung, gastroesofageal refluks disease, tuberkulosis

Syndrome Obstructive Post Tuberculosis et cause Destroyed Lung Dextra with

Gastroesofageal Refluks Disease on Woman 44 Years

Abstract

Destroyed lung is damage to the lung parenchyma caused by pulmonary tuberculosis sequele in the form of post tubercular obstructive airway syndrome that occur over the years. In 83,3% cases of destroyed lung found a history of pulmonary tuberculosis. Primary and secondary data were obtained from autoanamnesis, physical examination, and support examination. Mis E, woman, 44 years, with shortness, cough with plegm, nausea, heartburn, acid regurgitation, post tuberculosis treatment, weight loss, found damage to the right lung, and bacille acid resistance examination negative. Problem in these patients is destroyed lung and gastroesofageal refluks disease (GERD). The medical management of destroyed lung with only curative and at GERD curative and causative.

Keywords: destroyed lung, gastroesofageal refluks disease, tuberculosis.

Korespondensi: Andre Prasetyo Mahesya, S.Ked, alamat Lk Totokaton RT 032/RW 012 Adipuro Trimurjo Lampung Tengah, HP 085279355317, e-mail andreprasetyomahesya@gmail.com

Pendahuluan

Tuberkulosis (TB) merupakan suatu penyakit infeksi global yang banyak menimbulkan kematian di dunia ini. Laporan World Health Organization (WHO) tahun 2010 menyatakan bahwa terdapat lebih dari 2 miliar penduduk dunia yang terinfeksi Mycobacterium tuberculosis.1-3 Dilaporkan bahwa pada tahun 2009 terdapat jumlah kematian akibat TB sebanyak 1,7 juta kasus di dunia.3-5

Asia Tenggara merupakan wilayah menurut regional WHO yang memiliki jumlah terbesar kasus TB dan kematian akibat TB. Dilaporkan bahwa pada tahun 2009 terdapat sebanyak 5 juta kasus TB di Asia Tenggara dan jumlah kematian akibat TB sebanyak 480 ribu kasus.3,6 Sembilan puluh persen penduduk yang terserang TB berasal dari negara berkembang dan lima negara dengan jumlah

kasus TB terbanyak, yaitu India, China, Nigeria, Bangladesh, dan Indonesia.3,7

Indonesia merupakan negara yang menempati urutan kelima di dunia, yang memiliki jumlah terbesar kasus TB setelah India (3 juta), China (1,8 juta), Nigeria (830 ribu), dan Bangladesh (690 ribu).3,5 Dilaporkan bahwa pada tahun 2009 terdapat sebanyak 660 ribu kasus TB di Indonesia dengan jumlah kematian akibat TB sebanyak 61 ribu kasus.5 TB merupakan pembunuh nomor satu di Indonesia di antara penyakit menular lainnya dan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit kardiovaskular dan penyakit pernapasan akut pada seluruh kalangan usia. 5-6

Gejala sisa akibat TB masih sering ditemukan pada pasien pasca TB dalam praktik klinik.9-11 Gejala sisa yang paling sering ditemukan yaitu gangguan faal paru dengan kelainan obstruktif yang memiliki gambaran

(2)

klinis mirip Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK). Inilah yang dikenal sebagai Sindrom Obstruksi Pasca TB (SOPT).8,12-15

Patogenesis timbulnya SOPT sangat kompleks, dinyatakan pada penelitian terdahulu bahwa kemungkinan penyebabnya adalah akibat infeksi TB yang dipengaruhi oleh reaksi imunologis perorangan sehingga terjadi mekanisme makrofag aktif yang menimbulkan reaksi peradangan nonspesifik yang luas. Peradangan yang berlangsung lama ini menyebabkan proses proteolisis dan beban oksidasi sangat meningkat untuk jangka lama sehingga destruksi matriks alveoli terjadi cukup luas dan akhirnya mengakibatkan gangguan faal paru yang dapat dideteksi dengan uji faall paru.16-18 Penelitian lainnya menunjukkan bahwa puncak terjadinya gangguan faal paru pada pasien pasca TB terjadi dalam waktu 6 bulan setelah diagnosis.19

Kemajuan ilmu dalam pemberantasan TB dan gejala sisa dari TB masih menjadi salah satu tantangan penting saat ini.7 Penyebaran dan penyembuhan TB masih belum tertangani secara tuntas walaupun obat dan cara pengobatannya telah diketahui. SOPT masih sering ditemukan dan dapat mengganggu kualitas hidup pasien, serta berperan sebagai penyebab kematian sebesar 15% setelah durasi 10 tahun.8-9,20-21. Deteksi dini SOPT dengan uji faal paru pada pasien pasca TB diperlukan untuk berperan dalam memperbaiki kualitas hidup pasien.16

Gejala sisa yang juga terkait erat dengan TB khususnya TB pulmonal adalah destroyed lung (luluh paru). Istilah destroyed lung biasanya digunakan untuk mendeskripsikan kerusakan pada parenkim paru yang diakibatkan oleh gejala sisa dari TB pulmonal yang terjadi selama bertahun-tahun, dan disebabkan oleh obstruksi jalan nafas kronik.22-23 Pada gambaran radiologi dapat ditemukan adanya gambaran penyusutan dari volume paru, terdapatnya kavitas, bronkiektasis, dan fibrosis. Respon dari jaringan fibrosis tersebut dapat membuat retraksi dari hilum dan mediastinum sehingga bergeser kearah jaringan paru yang rusak. Sedangkan bagian paru lain yang masih baik berkompensasi menjadi besar.8,24-25

Penatalaksanaan pada penyakit paru obstruktif dapat diberikan terapi formakologis berupa bronkodilator, antikolinergik agen,

beta agonis, inhaled glukokortikoid, oral glukokortikoid, teofilin, oxygen. Terapi non-farmakologis dapat berupa Rehabilitasi paru, pneumectomy (lung volume reduction surgey), dan trasplantasi paru.26 Penatalaksanan pada destroyed lung dapat dilakukan dengan lobectomy, pneumectomy, dan pleuropneumectomy.27

Kasus

Wanita Nyonya E usia 44 tahun datang dengan keluhan sesak sejak satu minggu lalu yang dirasakan semakin hari semaikn berat. Sesak dirasakan pasien sepanjang hari baik siang maupun malam. Sesak berkurang apabila posisi pasien terduduk, terkadang pasien harus tidur dengan posisi setengah duduk untuk mengurangi sesaknya. Selain itu pasien juga mengeluhkan batuk berdahak berwarna jernih, kental, dan tidak ada bercak darah. Pasien mengeluhkan mual, nyeri ulu hati seperti terbakar, dan sendawa disertai dengan keluarnya sedikit cairan dari lambung yang terasa asam. Keluhan mual dan sendawa tersebut sering dirasakan pasien ketika setelah makan. Pasien juga merasakan selama beberapa tahun terkahir nafsu makan semakin menurun dan disertai dengan berat badan yang semakin hari semakin kurus hingga sekarang hanya 34 kg.

Pasien mengatakan pertama kali mengalami keluhan sesak yang sama seperti ini pada 7 bulan, keluhan tersebut hilang timbul dan sampai dengan sekarang sudah 10 kali masuk rumah sakit dan dirawat dengan keluhan yang sama. Sebelumnya sekitar 5 tahun yang lalu pasien pernah menjalani pengobatan tuberkulosis selama 6 bulan dan dinyatakan pengobatan telah selsai oleh dokter. Pasien memiliki ayah yang menderita hipertensi dan ibu yang pernah sakit tuberkulosis namun sekarang telah sembuh.

Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien Tampak sakit sedang. Status gizi pasien kurang. Berat Badan 34 kg, Tinggi Badan 166 cm, Tensi 120/80 mmHg, Suhu 36,7 0C, Nadi 80 x/menit, Nafas 30 x/menit.

Pada mata tak tampak konjungtiva pucat, sklera anikterik. Telinga dalam batas normal. Hidung tampak adanya nafas cuping hidung. Mulut dalam baas normal. Leher tidak ada pembesaran Kelenjar Getah Bening (KGB). Pada paru saat dilakukan Inspeksi tampak

(3)

gerakan nafas tertinggal pada dada kanan, Palpasi teraba vokal fremitus menurun pada dada kanan, Perkusi terdengar suara sonor pada dada kiri dan redup pada dada kanan, dan auskultasi terdengar suara napas bronkial serta terdapat suara wheezing dan ronki basah halus pada sisi kiri paru, sedangkan pada sisi kanan terdapat suara wheezing minimal dan ronki basah halus. Pada jantung saat dilakukan Perkusi didapatkan batas atas jantung setinggi Intercostalis (ICS) 2 garis parasternal kiri sedangkan untuk batas kanan dan kiri sulit dinilai, Auskultasi terdengar suara jantung reguler dan tidak ada bunyi jantung tambahan. Abdomen dalam batas normal. Ekstremitas Superior dan Inferior dalam batas

normal, tidak edem, dan akral hangat. Status neurologis: Reflek fisiologis normal, dan tidak ditemukan Reflek patologis.

Dari hasil pemeriksaan penunjang. Pada pemeriksaan laboratorium hematologi didapatkan hemoglobin: 12,2 g/dl, leukosit 10.600/ul, dan trombosit 277.00/ul. Pemeriksaan Bakteri Tahan Asam (BTA) (-). Pemeriksaan radiologi foto thorax anteroposterior didapatkan: penurunan volume paru kanan, atelektasis, deviasi trakea kearah kanan, jantung terdorong kearah kiri, terdapat kalsifikasi, jaringan fibrosis, dan hiperplasia jaringan paru yang masih cukup baik.

Gambar 1. Foto thorax AP. Diagnosa penyakit pada pasien ini

adalah Sindrom Obstruksi Post Tuberokulosis karena Destroyed lung dextra disertai dengan Gastroesofageal Refluks Disease. Tatalaksana non farmakologi dengan memberikan edukasi kepada pasien untuk istirahat total di tempat tidur, diet tinggi kalori dan protein, jangan lepas penggunaan oksigen, makan sedikit-sedikit, sehabis makan jangan tidur, dan hindari makan makanan yang asam, santan, dan pedas. Terapi farmakologi berupa Oksigen 3 lt, drip Aminophiline 240 mg/12jam dalam Ringger lactat (RL) 500 ml, Iprabromium bromida dan Salbutamol (Combivent) 8,5 ml/8jam nebulizer, Ambroxol syirup 3x1 sendok makan, Aminofluid 1kolf/hari, Ciprofloxacin 2x1 flas, Sulcralfat syirup 3x1 sendok makan, Omeprazole 1x1 tablet, dan Budesonic dan untuk maintanance dirumah diberikan Budesonic dan Formaterol fumarat dihydrate (Symbycort) 2x2 oral inhalasi.

Pembahasan

Studi kasus dilakukan pada pasien wanita usia 44 tahun dengan keluhan sesak yang semakin memberat sejak 1 minggu lalu disertai batuk berdahak dengan warna jernih dan konsistensi kental. Selain itu juga mengeluhkan mual, nyeri ulu hati seperti terbakar, regurgitasi asam, nafsu makan semakin menurun, dan penurunan berat badan. Pada pemeriksaan fisik didapatkan retraksi dada kanan, dan curiga terdapat masa pada paru kanan. Setelah dilakukan pemeriksaan radiologi didapatkan kerusakan pada paru kanan berupa destroyed lung. Penyebab penyakit ini diduga akibat dari terganggunya fungsi faal paru berupa obstruksi saluran nafas yang telah terjadi selama bertahun-tahun akibat dari pulmonali tuberkulosis.

Destroyed lung unilateral merupakan suatu kesatuan dengan tuberkulosis, analisis yang pernah dilakukan pada pasien yang mengalami Destroyed lung unilateral ditemukan adanya pulmonal tuberkulosis

(4)

pada 83,3% pasien. Hal tersebut dapat terjadi setelah infeksi primer atau reinfeksi dari tuberkulosis.24,26

Diagnosis destroyed lung dextra karena sindom obstruksi pasca tuberkulosis pada pasien diatas ditegakkan atas dasar pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya retraksi pada dada kanan, Vokal fremitus menurun pada dada kanan, perkusi ditemukan suara redup pada dada kanan, dan auskultasi terdapat suara wheezing minimal pada bagian apex paru kanan. Pada pemeriksaan penunjang ditemukan BTA (-) dan pemeriksaan radiologi foto thorax ditemukan adanya penurunan volume paru kanan yang signifikan, atelektasis, deviasi trakea kearah kanan, jantung tertarik kearah kanan, terdapat kalsifikasi, jaringan fibrosis, dan hiperplasia jaringan paru yang masih cukup baik dalam rangka kompensasi. Pada pemeriksaan radiologi foto thorax yang dapat ditemukan pada pasien destroyed lung diantaranya adalah penurunan volume paru, terdapatnya bronkiektasis, dan fibrosis. Fibrosis dapat menyebabkan penarikan dari hilum dan mediastinum kearah paru yang rusak, menyebabkan bagian paru lain yang masih baik akan mengalami pembesaran sebagai bentuk kompensasi.23

Penatalaksanan Destroyed lung pada pasien ini seharusnya dilakukan tindakan pneomectomy karena kerusakan yang terjadi pada paru kanan bersifat total yaitu telah mengenai ketiga lobus. Namun dikarenakan keterbatasan peralatan pada Rumah Sakit tempatnya dirawat, resiko operasi yang tinggi, dan pasien menolak dirujuk karena alasan pribadi maka dilakukan pengobatan medikamentosa untuk mengurangi gejala, memperbaiki keadan umum pasien, dan mencegah terjadinya infeksi nosokomial.

Pengobatan yang dilakukan pada pasien saat dirawat di rumah sakit menggunakan aminophiline secara drip. Aminophiline merupakan obat golongan metilxantin yang memiliki efek relaksasi terhadap otot polos pada saluran pernafasan. Tersedia dalam bentuk bolus, drip, dan tablet. Untuk kasus eksaserbasi akut dapat diberikan dalam benruk bolus atau drip, sedangkan tablet digunakan dalam rangka pemeliharaan untuk jangka panjang. Efek samping dari obat ini adalah: mual, takikardi, dan tremor.23,28

Pada pasien juga diberikan bronkodilator kerja pendek berupa Iprabromium bromida dan Salbutamol (Combivent) secara nebulizer, obat ini merupakan kombinasi dari golongan antikolinergik dan short acting β2 adrenergik

reseptor agonis. Antikolinergik memiliki efek menghambat kerja syaraf simpatis terhadap bronkus, dimana kerja syaraf simpatis dapat menyebabkan kontraksi pada otot polos saluran pernafasan, sedangkan short acting β2

adrenergik reseptor agonis memberikan efek relaksasi pada otot polos saluran pernafasan, sehingga keduanya sama-sama memiliki efek bronkodilatasi dan berkerja saling memperkuat. Kombinasi ini sering digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut, namun tidak dianjurkan penggunaanya dalam waktu yang panjang. 6,26,28

Pada saat pasien pulang diberikan bronkodilator kerja panjang berupa Budesonic dan Formaterol fumarat dihydrate (Symbycort) secara oral inhalasi. Budesonic merupakan golongan obat kortikosteroid yang memiliki efek bronkodilator terhadap alveolus, sedangkan Formaterol fumarat dihydrat merupakan golongan obat long acting β2 adrenergik reseptor agonis yang

memiliki efek bronkodilator kerja panjang, kedua obat ini dapat saling memperkuat dalam memberikan efek bronkodilatasi kerja panjang. Pada derajad yang berat pemberian bronkodilator kerja panjang (long acting) sangat dianjurkan untuk maintanance pasien agar tidak terjadi serangan.6,26

Pemberian ambroxol syirup berguna untuk mengencerkan dahak karena sifatnya sebagai mukolitik, hanya diberikan pada eksaserbasi akut. Aminofluid merupakan cairan infus yang berisi asam amino, elektrolit, dan air. Dapat digunakan pada individu dengan hipoproteinemia atau malnutrisi ringan karena kurangnya asupan oral. Antibiotik golongan fluoroquinolon injeksi diberikan pada perawatan di rumah sakit dalam rangka pencegahan infeksi nosokomial.6,28

Diagnosis yang didapatkan selanjutnya adalah GERD. Pada anamnesa didapatkan adanya gejala khas yaitu nyeri ulu hati seperti terbakar dan regurgitasi asam. Gejala khas (typical) yang dapat ditemukan pada pasien GERD adalah rasa terbakar pada ulu hati dan regurgitasi asam, sedangkan gejala tidak khas

(5)

(atypikal) adalah disfagia dan nyeri dada (chest pain).26

Pada dasarnya semua orang dapat mengalami refluks cairan lambung, karena hal tersebut normal ditemukan pada keadaan sehari-hari. Namun apabila itu terjadi secara berulang-ulang dan telah menyebakan keluhan maka itulah yang dinamakn GERD. Penyakit ini dapat disebabkan oleh spontanitas saat relaksasi Lower Esophageal Sphincter (LES) yang tidak adekuat, aliran retrograd yang mendahului kembalinya tonus LES setelah menelan, meningkatnya tekanan abdominal, dan anatomi LES yang dapat terjadi hernia hiatal.26

Penatalaksanan pada pasien ini diberikan omeprazole tablet yang merupakan obat golongan proton pump inhibitor (PPI). Obat ini bekerja sebagai penghambat pengeluran energi yang akan digunakan untuk mensekresi asam lambung dari kanalikuli sel parenteral. Selain itu pasien juga diberikan Sulkralfat syirup sebagai sitoprotektif yang dapat melindungi mukosa terhadap pengaruh asam dan pepsin.26,28

Penurunan berat badan yang semakin hari semakin menurun pada pasien dapat disebabkan karena bebrapa hal, salah satunya adalah nafsu makan pasien yang semakin menurun diakibatkan oleh rasa mual dan regurgitasi asam. Selain itu pasien juga pernah menderita TB yang dapat mengakibatkan penurunan berat badan secara signifikan, namun hal ini dimungkinkan terjadi pada waktu beberapa tahun lalu saat pasien masih menderita TB dan belum dinyatakan sembuh.

Simpulan

Diagnosis Sindrom obstruksi post tuberkulosis karena Destroyed lung dextra disertai dengan Gastroesofageal refluks disease pada kasus ini disesuaikan dengan telaah beberapa literatur. Destroyed lung dapat menyebabkan penyakit obstruksi saluran napas, dan paling banyak terjadi pada TB pulmonal. Penatalaksanan pada pasien berupa medikamentosa untuk mengurangi gejala, memperbaiki keadaan umum, dan mencegah infeksi nosokomial belum sesuai dengan literatur, seharusnya pada pasien ini dilakukan tindakan operatif berupa pneumectomy. Penatalaksanan Gastro-esofageal refluks disease pada pasien ini

sudah sesuai dengan telaah beberapa literatur.

Daftar Pustaka

1. Dye C. Global epidemiology of tuberculosis. Swizerland: Lancet; 2006. 2. Inghammar M, Ekbom A, Engstrom, G,

Ljungberg B, Romanus V. COPD and the risk of tuberculosis. PLOS ONE. 2010; 5(4):1-7.

3. World Health Organization. Global tuberculosis control. Geneva: WHO; 2010. hlm. 1-218.

4. Stop TB Partnership. Tuberculosis global fact. Geneva: WHO; 2010. hlm. 1-2. 5. World Health Organization. Indonesia

tuberculosis profile. Geneva: WHO; 2010. hlm. 1.

6. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis: pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di indonesia. Jakarta: PDPI; 2002. hlm. 1-29.

7. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman nasional penanggulangan tuberkulosis. Jakarta: DepKes RI; 2007. hlm 1-127.

8. Verma SK, Kumar S, Narayan KV, Sodhi R. Post tubercular obstructive airway impairment. Indian J Allergy Asthma Immunol. 2009; 23(2):95-9.

9. Ramos LMM, Sulmonett N, Ferreira CS, Henriques JF, Spindola de Miranda S. Functional profile of patients with tuberculosis sequelae in a university hospital. J Bras Pneumol. 2006; 32(1):43-7.

10. Shetty AJ, Tyagi, A. Development of post tubercular, bronchial asthma-a pilot study. Journal of Clinical and Diagnostic Research. 2010; 4:2360-2.

11. Van ZS, Pai M, Yew WW, Leung CC, Zumla A, Bateman ED. Global lung health: the colliding epidemics of tuberculosis, tobacco smoking, HIV and COPD. Eur Respir J. 2010; 35:27-33. 12. Patricio JP. Chronic airways obstruction

in patients with tuberculosis sequelae: a comparison with EPOC. Rev chil enferm respir. 2006; 22(2):98-104.

13. Jordan TS, Spencer EM, Davies P. Tuberculosis, bronchiectasis, and chronic airflow obstruction. Respirology. 2010; 15:623-8.

(6)

14. Chakrabarti B, Calverley PMA, Davies PDO. Tuberculosis and its incidence, special nature, and relationship with chronic obstructive Pulmonary Disease. 2007; 2(3):263-72.

15. Kawashiro T. Evaluation of respiratory failure due to sequelae of tuberculosis. PubMed. 2005; 80(6):491-7.

16. Aida N. Patogenesis Sindrom Ostruksi Pasca Tuberkulosis. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Unit Paru Rumah Sakit Persahabatan; 2006. hlm. 1–5.

17. Danusantoso H. Buku Saku Ilmu Penyakit Paru. Jakarta: Hipokrates; 2000. hlm. 1-254.

18. Amin Z, Bahar A. Tuberkulosis paru dalam buku ajar ilmu penyakit dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen IPD FKUI; 2007. Hlm. 1576-94.

19. Pasipanodya JG, Vecino M, Munguia G, Garmon R, Bae S, Drewyer G. Pulmonary impairment after tuberculosis. CHEST June. 2007; 131(6):1817-24.

20. Menezes AMB, Hallal PC, Padilla, RP, Jardim JRB, Muino A, Lopez MV. Tuberculosis and airflow obstruction: evidence from the platino study in latin america. ERJ. 2007; 30(6):1180-5. 21. Rekha VVB, Ramachandran R, Rao KVK,

Rahman F, Adhilakshmi AR, Kaliselvi D.

Assessment of long term status of sputum positive pulmonary tb patients successfully treated with short course chemotherapy. Indian J Tuberc. 2009; 56:132-40.

22. World Health Organization. Global tuberculosis control surveillance, planning, financing. Geneva: World Health Organization; 2008.

23. Rajasekaran S, Vallinayagi V, Jayaganesh D. Unilateral lung destruction: a computed tomographic evaluation. Ind J Tub.1999; 46:183.

24. Devi HJG. Complications of pulmonary tuberculosis. Bangalore: Ramaiah Medical College; 2013.

25. Seo YK, Lee CH, Lee HK, Lee YM, Park HK, Choi SB. Differences between patients with tb-destroyrd lung and patiens with COPD admitted to the ICU. Tuberc Respir Dis. 2011; 70:323-9. 26. Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser

SL, Jameson JL, Loscalzo J. Harrison’s principles of internal medicine. United States: McGraw-Hill eBooks; 2012. 27. Bai L, Hong Z, Gong C, Yan D, Liang Z.

Surgical treatment efficacy in 172 cases of tuberculosis-destroyed lungs. Beijing: Beijing chest hospital; 2011.

28. Goodman, Gilman’s. The Pharmacological Basis of Therapeutics. United States: McGraw-Hill eBooks; 2006.

Gambar

Gambar	1.	Foto	thorax	AP.

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji keektifan konseling traumatik dalam mengurangi sindrom pasca trauma bencana lumpur Lapindo di SMP Tribhakti kelas VIII-A Tanggulangin

Saat ini, penggunaannya terus dikembangkan, salah satunya pada pasien pasca Sindrom Koroner Akut (SKA). Uji jalan 6 menit dapat dilakukan secara dini, selain berguna untuk

Nilai uji signifikansi lebih kecil dari 0,05 mengindikasikan bahwa ada hubungan jenis sindrom koroner akut dengan kualitas hidup aspek fisik pasien pasca serangan jantung yang

Abstrak : Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahuihubungan jenis sindrom koroner akut dengan kualitas hidup aspek seksual pasien pasca serangan jantung di RS PKU

Ada hubungan yang signifikan antara jenis sindrom koroner akut dengan kualitas hidup aspek psikologis pada pasien pasca serangan jantung yaitu memiliki

Tujuan: Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui efektifitas diet ikan gabus terhadap peningkatan albumin anak pada perawatan pasca pulang penderita nefrotik sindrom di RSUD