1 LEGALITAS UNDANG-UNDANG TANPA TANDA TANGAN
PRESIDEN
M. Teguh Irma1, Boy Yendra Tamin 1, Sanidjar Pebrihariati1 1
Jurusan Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Bung Hatta Email: mteguhirma@gmail.com
ABSTRACT
The President has authority to establishment of law. This can be seen in the presence of a necessity that the established through discussion and mutual agreement between the President and DPR. Article 20 in paragraph (5) of the 1945 Constitution provides an opportunity to adopt of law formally flawed because it ignores the functions of the President to adopt a bill that the formal requirements of making of law. The issues that writer researched are. 1) How is the philosophy of mutual agreement on the formation of the law? 2) How is the role of the President in the establishment of law, 3) how does the mechanism of signing the law. The type of research is normative research. The legal material has been used are Primary, Secondary and Tertiary. The collection of legal materials has done by using document study. The legal materials from the study documents deductively analyzed using descriptive methods. Research by the writer can be concluded that the collective agreement in concert with a bill is going to be a law if it has been approved jointly by the Parliament and the President. The phrase "mutual consent" does not always mean to "agree" but usually also means to "disagree". President's role is crucial in the establishment of law. The President is given the right to pass the bill in the form of affixing a signature by the President as a basis promulgation in the State Gazette, so that the fulfillment of formal requirements of the establishment of the law. The bill agreed by DPR and the President, the leadership of DPR delivered to the President for ratification, within seven days from the date mutual consent. Secretary of State (State Secretary) prepared a draft of bill to be approved by the President. The draft of bill has been prepared and then signed by the President with his signature.
Keywords: Legality, President Signature.
Pendahuluan
Pembentukan undang-undang di Indonesia pasca Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 memiliki perubahan dari sisi pemegang kekuasaan pembentukannya. Sebelum amandemen Undang-Undang Dasar 1945 pemegang
kekuasaan tertinggi dalam pembentukan perundang-undangan adalah lembaga eksekutif yaitu Presiden, akan tetapi setelah Undang-Undang Dasar 1945 diamandemen pembentukan perundang- undangan beralih dari Presiden kepada lembaga legislatif yaitu
2 Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR). Ini dapat dilihat dari Pasal 20 Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yang menentukan: “DPR memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang”.
Bagir Manan mengemuka- kan bentuk keterlibatan presiden dalam proses pembentukan perundang-undangan yakni: Pertama, perancangan perundang-undangan. Kedua, pembahasan di DPR. Ketiga, pengesahan rancangan undang-undang. Keempat, pemuatan dalam lembaran negara dan tambahan lembaran negara.
Dalam praktek
ketatanegaraan Indonesia dewasa ini ternyata ketentuan dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang mengharuskan dalam pembentukan undang-undang harus mendapatkan persetujuan bersama oleh DPR dan Presiden membuat sebagian undang-undang tidak ditanda tangani oleh Presiden dalam proses pengundangannya dalam lembaran negara, praktek
ketatanegaraan seperti ini baru muncul dimasa pemerintahan Presiden Megawati, dimana ada empat undang-undang yang tidak ditanda tangani dalam proses pengundangannya oleh Presiden.
Keempat Undang-Undang tersebut ialah Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2002 tentang Pembentukan Provinsi Kepulauan Riau.
Dalam sejarah ketatanegara- an Indonesia tidak pernah terjadi lahirnya sebuah Undang-Undang tanpa ditandatangani Presiden. Praktik ketatanegaraan seperti ini dapat dibenarkan secara hukum, tetapi tidak etik dalam tata krama politik
Kalau kita melihat Pasal 20 Ayat (1) saja di sana dikatakan DPR memegang kekuasaan membentuk UU. Berarti dari Pasal 20 saja yang harus membentuk UU adalah DPR. Tapi kalau kita lihat kemudian
3 dalam ayat-ayat berikutnya, maka
suatu RUU harus disetujui bersama oleh DPR dan Presiden. Kalau itu yang mengajukan DPR, kenapa harus disetujui juga oleh DPR kan masalahnya.
Kemudian, menjadi bias lagi setelah ada Ayat (4) karena
mengatakan Presiden
mengesahkan RUU yang telah disetujui bersama untuk menjadi UU. Jadi untuk menjadi UU itu kan karena pengesahan Presiden dan pengesahan itu diwujudkan dengan penandatangan itu. Hal ini membuat membuat kerancuan dalam hukum ketata negaraan, apakah Presiden atau DPR bahkan bisa keduanya yang berhak mengesahkan untuk menjadi UU.
Dihubungkan dengan ketentuan Pasal 20 Ayat (5), terdapat ada pertentangan bahwa
Presiden yang harus
mengesahkan UU ini kemudian dia diberi kewenangan tidak mengesahkan. Karena ditulis dalam Ayat (5), dalam hal RUU yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu 30 hari
semenjak RUU disetujui maka RUU tersebut sah menjadi UU. Perumusan Masalah
Dari uraian di atas, yang menjadi perumusan masalah dalam penelitian ini adalalah :
1. Bagaimana filosofi persetujuan bersama dalam pembentukan undang-undang?
2. Bagaimana peranan Presiden dalam pembentukan undang-undang?
3. Bagaimana mekanisme penandatanganan undang-undang?
Tujuan Penelitian
Sebagai yang telah penulis uraikan dalam penulisan rumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan dalam penulisan ini adalah:
1. Untuk mengetahui filosofi persetujuan bersama dalam pembentukan undang-undang; 2. Untuk mengetahui peranan
Presiden dalam pembentukan undang-undang;
3. Untuk mengetahui mekanisme penandatanganan undang-undang.
4 Metode Penelitian
Penelitian merupakan sarana yang dipergunakan oleh manusia untuk Memperkuat,membina, serta mengembangkan ilmu pengetahuan. Metode penelitian hukum yang digunakan yaitu:
1) Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis normatif, yaitu penelitian hukum yang digunakan dengan cara meneliti bahan kepustakaan atau disebut juga penelitian hukum studi dokumen.
2) Bahan Hukum
Sumber penelitian terdiri dari tiga bahan hukum yaitu bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder:
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. Dalam penelitian ini bahan
hukum primer yang digunakan antara lain :
1) Undang-Undang Dasar 1945 sebelum dan sesudah amandemen;
2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan; 3) Peraturan Presiden Nomor
1 Tahun 2007 tentang Pengesahan,
Pengundangan, dan Penyebarluasan
4) Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Daerah, dan Rancangan Peraturan Presiden
b. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan.
5 c. Bahan Hukum Tersier
Bahan Hukum Tersier yaitu berupa bahan hukum yang
memberikan petunjuk
maupunpenjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum tersier seperti artikel-artikel yang dimuat di internet dan Kamus Besar Bahasa Indonesia.
3) Metode Pengumpulan Data
Metode yang digunakan adalah
studi pustaka, yaitu
mengumpulkan, mengidentifikasi, mengklasifikasi, dan menganalisa data untuk kemudian dilakukan pencatatan atau pengutipan terhadap data tersebut. Studi pustaka dilakukan dengan tahap-tahap sebagai berikut:
a. Menentukan terlebih dahulu sumber data bahan hukum primer dan sekunder;
b. Identifikasi data yang diperlukan;
c. Inventarisasi data yang relevan dengan rumusan masalah.
4) Analisa Data
Berdasarkan penelitian ini menggunakan metode penelitian bersifat deskriptif analitis, analisis
data yang dipergunakan adalah pendekatan kualitatif terhadap primer dan data sekunder. Deskriptif tersebut, meliputi isi dan struktur positif, yaitu suatu kegiatan yang dilakukan oleh penulis untuk menentukan isi atau makna aturan hukum.
Hasil Penelitian dan Pembahasan A. Filosofi Persetujuan Bersama
dalam Pembentukan Undang-Undang
Secara umum suatu sistem kenegaraan membagi kekuasaan pemerintah kedalam “tricbotomy” yang terdiri dari eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang biasa disebut dengan trias politica.
Berbicara tentang pembagian kekuasaan selalu dihubungkan dengan Montesquieu, menurutnya dalam setiap pemerintahan terdapat tiga jenis kekuasaan yaitu: kekuasaan legislatif, eksekutif, yudikatif, di mana ketiga-tiga jenis kekuasaan itu mesti terpisah satu sama lainnya, baik mengenai tugas
maupun mengenai alat
perlengkapan yang melakukannya. Pasal 20 Ayat (2) UUD 1945 menentukan bahwa “setiap RUU dibahas oleh DPR dan
6 Presiden untuk mendapatkan
persetujuan bersama”. Seperti yang telah dijelaskan bahwa dalam pembentukan undang-undang DPR tidak bias jalan tanpa ada persetujuan dari Presiden. Kedua-duanya, harus setuju, tidak bias DPR setuju tetapi Presiden tidak setuju. Maka suatu RUU harus ada persetujuan DPR dan persetujuan dari pemerintah. Jika tidak maka RUU tersebut tidak akan menjadi undang-undang.
Frasa “persetujuan bersama” tidak selalu bermakna untuk “setuju” tetapi biasanya juga bermakna untuk “tidak setuju”. Memang dalam Pasal 20 Ayat (3) UUD 1945 tidak dirumuskan secara tegas bahwa apabila tidak mendapat persetujuan bersama, maka RUU tersebut ditolak menjadi undang-undang. Namun kalimat “RUU masa itu” sama artinya RUU tersebut ditolak menjadi undang-undang oleh DPR untuk masa persidangan itu. Syarat “persetujuan bersama” ini berlaku, baik RUU yang datang dari DPR maupun RUU yang datang dari pemerintah.
B. Peranan Presiden dalam Pembentukan Undang-Undang
Dalam ajaran Montesquieu (pemisahan kekuasaan), kekuasaan membentuk undang-undang adalah kekuasaan legislatif, karna itu (hanya) ada pada badan (organ) legislatif (badan pembentukan undang-undang). Badan (organ) eksekutif tidak mempunyai kekuasaan membentuk undang-undang. Pemisahan kekuasaan yang prinsipil ini dicoba diterapkan antara lain dalam UUD Amerika Serikat (1787).
Presiden merupakan pemegang kekuasaan eksekutif dan Dewan Perwakilan Rakyat adalah pemegang kekuasaan legislatif. Tetapi, dalam membentuk undang-undang, fungsi itu dilakukan bersama. Pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi RUU yang berasal dari Presiden, dikoordinasikan oleh menteri yang bertugas dan tanggung jawab di bidang peraturan perundang-undangan. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mempersiapkan RUU dimaksud diatur dengan peraturan Presiden.
7 C. Mekanisme Penandatangan
Undang-Undang
Ketentuan tentang tahap pengesahan RUU, selain dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, tercantum juga dalam Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2007
tentang Pengesahan,
Pengudangan, Penyebarluasan Peraturan Perundang-undangan.
RUU yang disetujui bersama oleh DPR dan Presiden disampaikan pimpinan DPR RI kepada Presiden untuk disahkan, dalam jangka waktu tujuh hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama (Pasal 2 Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2007).
Kemudian Menteri Sekretaris Negara (Mensekneg) menyiapkan naskah RUU untuk disahkan oleh Presiden. Naskah rancangan undang-undang yang telah disiapkan kemudian disahkan oleh Presiden dengan membubuhkan tanda tangan, dalam jangka waktu paling lambat 30 hari semenjak RUU tersebut disetujui bersama oleh DPR RI dan Presiden, setelah itu diberikan nomor dan tahun
oleh Mensekneg lalu selanjutnya disampaikan kepada menteri yang bertugas dan bertanggung jawab dibidang Peraturan Perundang-undangan untuk diundangkan (Pasal 3 dan 4 Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2007).
RUU yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden tersebut tidak ditandatangani oleh Presiden dalam jangka waktu 30 hari terhitung sejak ada persetujuan bersama DPR dan Presiden maka RUU tersebut sah menjadi Undang-Undang dan wajib diundangkan. Dalam hal RUU tidak disahkan oleh Presiden, maka rumusan kalimat pengesahan berbunyi “Undang-Undang ini dinyatakan sah berdasarkan ketentuan Pasal 20 Ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Rumusan kalimat pengesahan tersebut diletakkan pada halaman terakhir Undang-Undang sebelum pengundangan naskah Undang-Undang ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Rancangan undang-undang yang telah dibahas bersama oleh
8 Pemerintah/Presiden yang diwakili
oleh menteri yang terkait, selanjutnya akan disahkan sebagaimana mestinya. Dalam hubungan ini, ada beberapa tindakan hukum yang dilakukan untuk sahnya suatu rancangan undang menjadi undang-undang yang mengikat untuk umum. Ada beberapa tindakan tersebut dapat dibedakan antara (a) pengesahan materil, (b) pengesahan formal, (c) pengundangan.
Simpulan
Berdasarkan uraian yang penulis kemukakan pada bab yang terdahulu dan berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan maka dapat dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Filosofi persetujuan bersama dalam pembentukan undang-undang sangatlah penting dalam proses pembentukan undang-undang, karena RUU akan menjadi undang-undang jika telah mendapat persetujuan bersama antara DPR dan Presiden. Frasa “persetujuan bersama” tidak selalu barmakna untuk
“setuju” tetapi biasanya juga bermakna untuk “tidak setuju”. 2. Peranan Presiden dalam pembentukan undang-undang
menentukan dalam
pembentukan sebuah undang-undang. Presiden diberikan hak untuk mengesahkan RUU tersebut berupa pembubuhan tanda tangan Presiden sebagai dasar pengundangan dalam Lembaran Negara, sehingga terpenuhinya syarat formiil dari pembentukan undang-undang.
3. Mekanisme penandatanganan undang-undang RUU yang disetujui bersama DPR dan Presiden disampaikan pimpinan DPR RI kepada Presiden untuk disahkan, dalam jangka waktu tujuh hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama. Menteri
Sekretaris Negara
(Mensekneg) menyiapkan naskah RUU. Naskah RUU yang telah disiapkan kemudian disahkan oleh Presiden dengan membubuhkan tanda tangan.
9 Saran-saran
Berdasarkan uraian dari kesimpulan di atas, maka peneliti mengajukan saran sebagai berikut:
1. Filosofi persetujuan bersama yang saharusnya melahirkan sebuah kesepakatan yang tidak menimbulkan kejanggalan dikemudian hari, yang membuat perbedaan untuk kata setuju atau tidak setujunya sebuah kesepakatan.
2. Peranan Presiden dalam pembentukan Undang-undang Perlu adanya keterlibatan Presiden dalam pembentukan undang-undang harus memperhatikan segala aspek dan kaidah-kaidah baik itu materiil maupun formil.
3. Mekanisme penandatangan undang-undang seharusnya ada kejelasan dan kepastian siapa yang akan menandatangani RUU. Melihat dari ketidakpasti an ketentuan UUD Negara Republik Indonesia Tahun
1945, lebih baik
mengamandemenkan kembali agar terpenuhi formil dan materil dari sebuah undang-undang.
Ucapan Terima kasih
Dalam penyusunan artikel ini penulis banyak mendapat bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, untuk itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan begitu banyak ucapan terima kasih kepada:
1. Bapak Boy Yendra Tamin, S.H., M.H, selaku Pembimbing I yang banyak membantu dalam pembuatan skripsi dan artikel ini.
2. Ibu Dr. Sanidjar Pebrihariati R, S.H., M.H, selaku pembimbing II yang telah banyak membantu dan memberikan nasehat maupun saran.
3. Ibu Nurbeti, SH, MH, selaku Wakil Dekan Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta dan sekaligus penguji.
4. Bapak Suamperi, SH, MH, selaku Ketua Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum
10 Universitas Bung Hatta dan
sekaligus penguji.
5. Ibu Resma Bintani G, S.H., M.H sebagai penguji dan teman
6. Bapak Dan Ibu Dosen yang telah bekerja keras demi kelangsungan dan kejayaan bersama untuk Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta dan atas pengabdiannya dan dedikasinya dalam menyumbang- kan ilmu serta mendidik penulis selama duduk dibangku perkuliahan.
7. Ayahanda (Irzon Idrus), Ibunda (Erma Suryani), Kakakku (Vinna Oktaviana) Dan Adikku (Haviz Rifano Irzon) yang telah memberikan dukungan baik moril maupun materil serta dukungan penuh untuk tetap bertahan dan selalu bersemangat.
DAFTAR PUSTAKA
Aziz Syamsuddin, 2013, Proses dan
Teknik Penyusunan
Undang-Undang, Sinar
Grafika, Jakarta.
Bagir Manan, 1999, Lembaga
Kepresidenan, Gama
Media, Yogyakarta.
Budi Juliardi, 2014, Pendidikan
Kewarganegaraan, PT
Raja Grafindo Persada, Jakarta.
B.Hestu Cipto Handoyo, 2014,
Prinsip-Prinsip Legal
Drafting dan Desain
Naskah Akademik,
Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta.
H. Rojidi Ranggawidjaja, 1998,
Pengantar Ilmu
Perundang-Undangan Indonesia, Mandar Maju,
Bandung.
Jimly Asshiddiqie, 2006, Konstitusi
Dan Konstitusionalisme Indonesia, Mahkamah Konstitusi, Jakarta. ---, 2010, Perihal Undang-Undang, Rajagrafindo Persada, Jakarta.
Josep M. Monteiro, 2014,
Lembaga-Lembaga Negara Setelah Amandemen UUD 1945,
Pustaka Yustisia, Yogyakarta.
Pataniari Siahaan, 2012, Politik
Hukum Pembentukan
Undang-Undang Pasca Amandemen UUD 1945,
11 Peter Mahmud Marzuki, 2010,
Sumber-Sumber
Penelitian Hukum,
Kencana Prenanda Media Group, Jakarta. Purnadi Purbacaraka dan Soejono
Soekanto, 1979, Perundang-Undangan
dan Yurisprudensi,
Alumni, Bandung. Saldi Isra, 2010, Pergeseran Fungsi
Legislasi,
RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Satjipto Rahardjo, 1986, Ilmu
Hukum, Alumni, Bandung. Soerjono Soekanto, 2008, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta. Titik Triwulan Tutik, 2008,
Pokok-Pokok Hukum Tata
Negara Indonesia
Pascaamandemen
UUD 1945, Cerdas
Pustaka,Jakarta.
Yadiman, 2011, Teknik Pembuatan
Peraturan
Perundangan, AGRO
Trading & publisher, Bandung.
Yuliandri, 2013, Asas-Asas Pembentuk Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik, Rajawali
Pers, Jakarta.
Zainuddin Ali, 2013, Metode Penelitian Hukum, Sinar