• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH BUKAAN TERHADAP PENCAHAYAAN ALAMI BANGUNAN TROPIS INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH BUKAAN TERHADAP PENCAHAYAAN ALAMI BANGUNAN TROPIS INDONESIA"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH BUKAAN TERHADAP PENCAHAYAAN ALAMI

BANGUNAN TROPIS INDONESIA

Syahriana Syam, Syarif Beddu & M. Sulaiman Syawal Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 10 Tamalanrea – Makassar, 90245

Telp./Fax: (0411) 586265/(0411) 587707 e-mail: sary_archi@yahoo.com

Abstrak

Pada iklim tropis di Indonesia, cahaya matahari mempunyai jumlah sinar yang besar karena lokasi Indonesia yang dekat dengan garis khatulistiwa menjadikan suhu menjadi lebih panas. Bentuk konfigurasi bangunan dan jenis elemen-elemen bangunan mempunyai bentuk spesifik untuk memanfaatkan pencahayaan alam masuk ke dalam bangunan. Pada penelitian ini, mengambil kasus pada bangunan Wisma Kuwera karya Romo Mangunwijaya, dilakukan observasi lapangan dengan cara pengukuran pada setiap ruangan, kemudian hasil penelitian, ditemukan bahwa pengaturan sistem daylight pada tiap-tiap ruang dalam bangunan wisma Kuwera sangat dipengaruhi oleh elemen-elemen bangunan termasuk orientasi bangunan, bentuk fasade bangunan, tipe dan ukuran bukaan, permainan sudut pada bagian atap ataupun dinding, material, tekstur dan warna.

Kata Kunci: wisma kuwera, daylight, bangunan tropis, bukaan

PENDAHULUAN

Arsitektur tropis adalah arsitektur bangunan yang fokus kepada pemecahan problematik iklim tropis. Kondisi iklim tropis ternyata tidak seluruhnya sesuai dengan kebutuhan manusia dalam rangka memenuhi kenyamanan fisiknya, sehingga perlu suatu solusi yang sistematik terhadap permasalahan arsitektur tropis terutama berkaitan dengan kenyamanan pengguna bangunan. Arsitektur tropis merupakan media untuk memodifikasi iklim luar yang tidak dikehendaki menjadi iklim dalam yang nyaman bagi pengguna bangunan. Kondisi lingkungan di dalam bangunan diharapkan berfungsi secara optimal seperti yang direncanakan. Faktor-faktor yang menyangkut kenyamanan menjadi salah satu unsur penting dalam perencanaan arsitektur tropis, seperti temperatur, kelembaban udara, kecepatan dan arah aliran udara, tingkat dan kualitas pencahayaan serta tingkat bising. Arsitektur yang merespon alam adalah arsitektur yang mencoba untuk mengoptimalkan elemen-elemen bangunan sebagai climate modifier dan dalam perancangannya juga mempertimbangkan kondisi-kondisi lingkungan yang cukup berpengaruh dalam zona kenyamanan.

Studi kasus yang dipilih adalah salah satu karya arsitektur Y.B. Mangunwijaya yaitu Wisma Kuwera. Bangunan yang terdiri dari tiga bangunan dan sebagian besar memakai bahan dasar kayu ini berada di tengah-tengah permukiman padat di kota Yogyakarta yang dibangun mulai tahun 1985 - 1999. Atap besar dan lebar berfungsi sebagai pemayung dan filter cahaya matahari. Cahaya yang masuk dan disaring sebelum masuk ke dalam bangunan melalui elemen-elemen bangunan, seperti atap, dinding, bukaan-bukaan dan warna, dimana cahaya tersebut sudah melalui pembelokan, penekukan atau pantulan. Fokus utama penelitian ini adalah terletak pada pengaruh sistem fenestrasi (bukaan) terhadap pencahayaan alam dalam ruang. Dengan demikian diharapkan dapat membuka wawasan lebih luas tentang tata pencahayaan alam yang masuk cukup untuk menerangi ruang dalam bangunan.

Penelitian dilakukan untuk mendapatkan identifikasi data bentuk elemen-elemen bangunan yang berpengaruh terhadap pencahayaan pada bangunan karya Y.B. Mangunwijaya. Penelitian ini melalui tiga tahap, tahap pertama adalah pengambilan data kondisi existing elemen-elemen bangunan yang akan memberikan gambaran tentang climate modifier bangunan terutama pada passive solar design, tahap kedua adalah kategorisasi elemen-elemen bangunan. Dalam tahap kedua ini dilakukan metoda analisis dengan deskripsi dan evaluasi. Dalam evaluasi akan mengacu pada beberapa tinjauan pustaka yang relevan dengan tema pencahayaan alam (daylight).

(2)

- Bahan atau Materi Penelitian

Studi kasus yang dipilih adalah Wisma Kuwera karya Y.B.Mangungwijaya yang mengeksplorasi pada bentuk-bentuk yang respon terhadap iklim tropis di Indonesia, terutama pencahayaan alam dalam ruang. - Alat yang Dipakai

Alat utama yang dipakai dalam penelitian ini adalah manusia sebagai pengamat dan peneliti selanjutnya dibantu dengan alat-alat lain seperti kamera, alat tulis, alat ukur, dan lain-lain. Untuk analisis data digunakan beberapa teori dan kajian pustaka yang relevan dan analisis-analisis yang pernah dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya yang berkaitan dengan pencahayaan alam

- Jalannya Penelitian

Penelitian diawali dengan observasi langsung di lapangan untuk mencari bangunan yang memiliki elemen-elemen bangunan yang berpengaruh terhadap penerimaan cahaya matahari dalam ruang. Dan merekam semua data bangunan tersebut seperti building form (bentuk bangunan), fenestration system and control (sistem bukaan), orientasi bangunan, bahan dan material bangunan

Iklim dan Perletakan Jendela

Sementara sudut bayangan dipengaruhi oleh garis lintang, posisi jendela seharusnya ditentukan oleh iklim dan besar radiasi panas yang diterima. Konfigurasi fasade mempunyai dua fungsi, pertama adalah tipe lightself yaitu fasade dengan jendela yang terbagi dua, setiap elemen jendela tersebut ditempatkan independen untuk mengoptimalkan respon terhadap kondisi cahaya matahari. Dan yang kedua adalah fasade dengan fungsi sebagai shading devices yaitu fasade yang berfungsi memberikan naungan untuk ruang-ruang dalam suatu bangunan. Tidak seperti di iklim sub-tropis dimana penaungan justru dilakukan pada musim dingin untuk menutup cahaya pantul yang dapat menciptakan silau dan memasukkan sebagian transfer panas cahaya matahari masuk ke dalam bangunan, pada iklim tropis, semua kaca ternaungi sepanjang tahun dan hanya cahaya yang terpantul saja yang dimasukkan.

- Fasade dengan fungsi sebagai plat cahaya (lightshelf),

Fasade dengan elemen yang berfungsi sebagai lightshelf merupakan fasade dimana elemen-elemen yang dimilikinya mamu secara selektif menangkap cahaya (light cachter), memantulkan (redirection) dan mendistribusikannya kedalam bangunan dengan baik. Fasade ini terbagi atas tiga tipe, yaitu:

Gambar 1. Skema Lightshelves (Sumber: Stack, Lewis, 2001) a. Plat Reflektan Eksterior (Reflectance-Exterior Lightshelf)

Dimensi dari lightshelf secara primer ditentukan oleh tuntutan penaungan. Pemantulan cahaya elemen ini mempunyai efek yang cukup signifikan. Diatas batas mata kita, silau yang mungkin timbul akibat fasade ini bukanlah sebuah masalah, dan dimungkinkan untuk mereduksi besar iluminasi cahaya apabila permukaan pantulan (reflectance) tidak sama besar. Permukaan dasar fasade dapat didesain untuk menciptakan keseimbangan gradasi cahaya yang masuk ke dalam ruang. Dengan permukaan yang lebih gelap, dapat mereduksi cahaya pantul dari permukaan tanah di dekat jendela, dengan dampak minimum pada ruang.

b. Plat Cermin Miring (Mirrored Sloped Lightshelf)

Ketika menggunakan reflektor spekular yang dimiringkan, sudut plat harus direncanakan sehingga cahaya matahari dapat diarahkan sedikit di atas garis horisontal ke arah ceiling. Permukaan plat ini harus rata dan dihindarkan dari kotoran. Harus hati-hati dalam perawatan karena sangat rentan pecah. Paling baik apabila diletakkan pada sisi dalam bangunan. Untuk iklim tropis apabila tidak digabungkan dengan shading devices, plat seperti ini kurang memberi keuntungan, karena disamping silau, radiasi panas akan tetap masuk dalam jumlah besar.

(3)

c. Plat Beton Miring (Precast Sloped Lightshelf)

Plat beton yang dimiringkan dapat memberikan efek yang cukup baik untuk ruangan. Bila diberikan warna-warna terang, cahaya yang terpantul dapat jauh ke dalam ruangan. Penyudutan plat memperhitungkan sudut datang cahaya dalam satu hari berdasarkan musim.

- Fasade dengan fungsi sebagai Shading Devices

Shading Devices menurut Mc. Lam (1986) terbagi atas dua tipe, yaitu:

a. Tipe vertikal (vertical shading devices) yaitu alat yang memberikan naungan dengan bentuk vertikal atau berdiri. Vertical devices mengatur sudut rendah jatuh cahaya dengan menutup area yang “bermasalah” apabila terkena cahaya. Alat ini sederhana dan akan sangat bermanfaat apabila digunakan untuk mendukung fungsi horizontal shading devices. Secara umum, dapat dikatakan bahwa shading devices jenis ini kurang baik dalam memantulkan cahaya. Elemen vertikal seperti dinding dan kolom seharusnya saling berkaitan dengan elemen horisontal sehingga membentuk pola kubus. Penyudutan sisi timur dan barat ke arah selatan dan utara meningkatkan ketidakfungsian vertikal devices untuk melindungi bangunan dari cahaya matahari, dan tidak efektif dalam memberikan sudut pandang arah timur dan barat. Vertical devices dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:

Elemen Fixed Vertical Shading skala besar,

Karena vertical devices ini berfungsi untuk menutup (blocking) cahaya matahari, maka aspek warna mereka tidak mempunyai efek yang berarti seperti horizontal devices dalam mereduksi tingkat iluminasi yang diterima bangunan. Daya pantul terhadap cahaya pada tingkat optimal dapat menimbulkan kesilauan. Tetapi bagaimanapun juga, cahaya silau ini bersifat sementara, karena terang yang terdapat pada permukaan vertikal secara konstan akan mengikuti pergerakan cahaya matahari. Ketika digabungkan dengan horizontal shading, hanya sebagian kecil area yang dapat terekspos.

Gambar 2. Shading Devices Ukuran Besar (Sumber: Stack, Lewis, 2001)

Elemen Fixed dan Dynamic Vertical Shading Skala Sedang,

Vertical louvers skala sedang pada umumnya berfungsi mendistribusikan cahaya matahari secara selektif kemudian diarahkan ke bidang ceiling. Alat jenis ini sangat membantu dalam menjaga kestabilan distribusi cahaya yang masuk mengingat sudut perubahan matahari yang konstan dalam satu hari. Jenis ini akan bekerja secara optimal apabila diletakkan pada sisi timur dan barat. Di sisi lain, vertical louvers skala sedang ini mampu untuk menutup (blocking) sudut rendah cahaya matahari yang sukar dikontrol apabila memakai jenis horizontal shading. Dynamic Vertical louvers mampu untuk mengatur sudut rendah cahaya matahari dan mengarahkan cahaya tersebut sesuai dengan kebutuhan dan kondisi tertentu. Vertical shading jenis ini akan lebih efektif apabila diletakkan pada ruang-ruang dengan fungsi khusus.

Gambar 3. Shading Devices Ukuran Sedang (Sumber: Stack, Lewis, 2001)

(4)

Dynamic Vertical Louvers Skala Kecil,

Fixed Vertical Louvers tidak dapat menutup area yang terkena cahaya bila difungsikan sendiri, kecuali bila mereka berada dekat dengan ruang yang akan dirasakan seperti dalam ruang penjara. Untuk itu perlu alat pendukung yang berskala lebih kecil. Vertical louvers yang bekerja secara dinamis ini mempunyai kesamaan dengan dynamic vertical louvers skala sedang, hanya perbedaanya alat ini hanya mampu untuk pendistribusian dan menutup pada area yang lebih kecil, didasarkan pada tingkat kebutuhan yang lebih bersifat privat. Tingkat efektifitas louvers ini tergantung pada posisi louvers terhadap posisi matahari.

b. Kedua adalah tipe horisontal (horizontal shading devices), yaitu alat yang memberikan naungan dengan bentuk horisontal. Horizontal devices atau dapat dikatakan sebagai overhang diperlukan untuk kontrol silau dan pembuat naungan yang berfungsi menurut musim iklimnya. Pada umumnya overhang disambungkan dengan atap. Pada iklim tropis biasanya overhang mempunyai ukuran yang lebih lebar untuk membuat naungan yang besar dan diletakkan di sisi timur dan barat guna melindungi bukaan atau jendela untuk ventilasi udara. Naungan yang cukup merupakan syarat utama keberhasilan perancangan pencahayaan alami bangunan. beberapa ada yang merancang cahaya dengan sistem Overhang tidak berbentuk solid untuk shading devices, karena overhangs ini dapat mengatur efek cahaya yang masuk dengan melipat atau terbuka. Untuk iklim tropis, louvers overhangs hendaknya diletakkan pada sisi utara-selatan. Tetapi tetap mempunyai resiko mendapatkan radiasi lebih banyak daripada overhangs berbentuk solid.

Pencahayaan Alami dan Pembayangan

Sudah berabad-abad lamanya, desain bangunan yang memperhatikan cahaya matahari menjadi sesuatu yang mendasar dalam arsitektur. Jendela merupakan elemen paling penting dalam visualisasi bangunan, baik dalam bangunan maupun luar bangunan. Dalam beberapa dekade belakangan ini, bersama dengan pengembangan energi dan pencahayaan yang efektif dan relatif murah, pencahayaan alami menjadi salah satu alternatif penting dalam desain bangunan. Ada dua alasan masyarakat menggunakan pencahayaan alami sebagai pencahayaan untuk dalam bangunan di saat siang hari, yang pertama adalah pencahayaan alami mampu memberikan terang yang jelas ke dalam bangunan (walaupun di sisi lain, juga memberikan efek radiasi yang besar) dan yang kedua adalah tidak memerlukan biaya dalam penggunaan cahaya alami tersebut. Pencahayaan buatan (artificial lighting) memerlukan tenaga listrik yang menambah beban biaya energi untuk bangunan tersebut. Keuntungan lain dari pencahayaan alami adalah dapat memberikan hubungan efek visual yang baik dalam bangunan dan luar bangunan.

Namun demikian, pencahayaan alami menimbulkan efek-efek seperti saat cuaca tidak cerah, terang dalam bangunan harus dibantu oleh pencahayaan buatan. Besar cahaya matahari sangat tergantung oleh faktor langit. Saat-saat tertentu, keadaan langit akan menyebabkan cahaya yang diterima oleh ruang di sekitar jendela menjadi lebih besar sehingga menyebabkan silau karena di sisi lain tidak menerima cahaya secara merata. Efek yang lain adalah pencahayaan alami menimbulkan efek panas pada bangunan, semakin besar intensitas cahaya alami yang diterima semakin besar kemungkinan bangunan menyerap panas. Dilema antara pencahayaan alami dan penciptaan naungan (shading devices) merupakan permasalahan utama dalam setiap perancangan bangunan. sering dijumpai bangunan dengan naungan yang menciptakan bayangan yang terlalu besar sehingga cahaya yang masuk menjadi remang-remang.

Parameter besar pencahayaan alami yang masuk ke dalam bangunan adalah Daylight Factor (DF), dapat didefinisikan rasio iluminasi cahaya matahari dalam bangunan terhadap cahaya di luar. Secara normal, daylight factor akan tergantung pada bentuk geometris bangunan. kecuali ketika bangunan mempunyai alat yang dapat memvariasikan besar cahaya yang masuk dan bayangan yang timbul dari elemen shading devices.

Strategi pencahayaan bangunan didasarkan pada distribusi luminasi baik dari matahari, langit, bangunan ataupun permukaan tanah. Strategi pencahayaan alami untuk bangunan tergantung pada ketersediaan cahaya alami tersebut dan kondisi sekeliling bangunan. Untuk iklim sub-tropis, dimana pengguna jarang mendapatkan permasalahan pada kondisi panas hingga menyebabkan stress, cahaya yang sedikit berlebih tidak akan begitu mengganggu pengguna bangunan. Justru kurangnya intensitas cahaya matahari menjadi permasalahan utama dalam memasukkan cahaya secara proporsional ke dalam bangunan pada hari-hari kerja. Sedangkan di iklim tropis, intensitas cahaya pada umumnya lebih tinggi dan perlu mendapatkan perhatian yang serius dalam merencanakan pencahayaan alami ke dalam bangunan. Dalam iklim tropis, perlu pengontrolan cahaya langsung karena 5 atau 10 lebih besar daripada cahaya pantul.

(5)

Cahaya yang masuk ke dalam bangunan dapat dibedakan dalam tiga komponen, yaitu: - Cahaya matahari langsung

- Cahaya yang datang langit yang terpencar

- Cahaya pantul dari tanah atau bangunan sekitarnya

Komponen yang banyak dimanfaatkan untuk bangunan adalah komponen 2 dan komponen 3. Komponen 2 bervariasi antara langit cerah dan berawan. Komponen 3 muncul dengan permasalahan silau pada sudut yang rendah, tetapi merupakan problem yang paling mudah untuk dipecahkan permasalahannya pada iklim tropis dan sub-tropis. Sedangkan untuk komponen 1 cenderung dihindari karena dapat merusak interior dalam dan kurang menguntungkan dalam memberikan cahaya yang merata.

Didasarkan pada sudut jatuh cahaya matahari, pencahayaan pantul terbagi atas tiga bagian, yaitu: - Komponen cahaya langit (sky component = SC)

- Komponen cahaya pantul dari luar (externally reflected component = ERC) - Komponen cahaya pantul dari dalam (internally reflected component = IRC)

Kondisi langit berdasarkan pada sisi pencahayaan bervariasi menurut kondisi iklim setempat. Zona iklim sub-tropis langit berawan dominan dan desain pencahayaan tergantung pada asumsi kondisi cuaca. Iklim kering mempunyai langit yang bersih (blue skies), luminasi rendah tetapi cahaya pantul dari permukaan tanah sangat tinggi. Sedangkan iklim tropis hangat lembab, memiliki langit berawan (overcast skies) dengan tingkat luminasi yang tinggi.

Desain pencahayaan yang baik tidak saja melihat pada kuantitas cahaya matahari, tetapi juga harus mempertimbangkan faktor kenyamanan visual. Pada iklim yang sangat panas, perlu adanya pertimbangan pada masalah yang secara psikologi berhubungan dengan silau dan ketidaknyamanan secara termal. Dengan demikian pengendalian silau merupakan aspek yang sangat penting. Ada tiga bagian yang digarisbawahi oleh Koenigsberger, yaitu:

- Batas pandang ke luar adalah 150ke atas dan 150ke bawah.

- Menghindarkan cahaya pantul dari permukaan tanah yang dapat menyebabkan adanya silau. - Apabila ada cahaya pantul dari permukaan tanah maka harus diarahkan ke bidang ceiling.

Gambar 4. Arah Sudut Cahaya Matahari

Di iklim sub-tropis, pilihan untuk memasukkan cahaya matahari dapat menimbulkan efek yang cukup signifikan dalam menghemat energi pencahayaan dalam bangunan. ada dua alasan untuk itu. Yang pertama, insulasi termal yang rendah dari material kaca meminimalkan energi pemanasan dalam ruang. Yang kedua adalah putaran jam matahari yang pendek saat musim dingin mempunyai arti bahwa cahaya dalam ruang harus dibantu oleh cahaya lampu. Iklim tropis mempunyai situasi yang berbeda, pada bangunan yang tidak mempunyai fasilitas air conditioned yang menjadi permasalahan adalah cahaya yang masuk ke dalam bangunan bersamaan dengan radiasi yang menyebabkan ketidaknyamanan, walaupun jendela sudah terbuka dan tidak berkaca.

(6)

Berikut ini adalah tabel rekomendasi daylight factor menurut Krishan (2001), yaitu:

Tabel 1. Rekomendasi daylight factor

Bangunan Rata-rata DF Minimum DF

Rumah

 Dapur secara umum

 Dapur, area utama

 Ruang tamu secara umum

 Ruang tamu, area meja untuk menulis

 Ruang tidur

Ruang tidur, dressing table

 Sirkulasi 1 1,5 0,5 1,5 0,25 1,0 0,2 Hall pintu masuk dan area resepsionis 1,0

Kantor 2,5

Hall Sekolah 0,6

Kelas 2,5

(Sumber: Krishan, 2001)

HASIL DAN BAHASAN

Hasil penelitian dan pembahasan didasarkan pada fokus utama penelitian yaitu pengaruh elemen bukaan terhadap sistem pencahayaan pada Wisma Kuwera karya Romo Y.B. Mangunwijaya. Pada Bab ini pembahasan dibagi menjadi beberapa kasus yang terdiri atas ruang-ruang tertentu dalam bangunan bagian timur dan bagian barat. Unit Bangunan Bagian Timur

Pada bangunan bagian timur terdiri atas dua lantai yakni lantai dasar terdapat ruang kerja, pantry, ruang rapat, dan ruang studio kesenian, sedangkan lantai dua terdiri atas ruang kerja, ruang komputer, perpustakaan, dan ruang santai pada area koridor. Tapi dari ruang tersebut, tidak semua dibahas dalam penelitian ini, hanya ruang-ruang tertentu yang mempunyai pengaruh terhadap pencahayaan alami, yaitu ruang-ruang kerja, ruang-ruang rapat, ruang-ruang komputer, perpustakaan, dan ruang studio kesenian.

a. Ruang Kerja

Ruang kerja ada dua yakni ruang kerja pada lantai satu dan ruang kerja pribadi milik Romo Mangunwijaya. Ruang kerja yang ada di lantai satu terletak dekat pantry ukurannya 3 x 3 m. Pada ruang ini terdapat bukaan berupa jendela pada bagian sisi barat, sehingga sepanjang hari cahaya bisa memenuhi ruangan. Jenis jendela tersebut adalah jendela nako, kaca mati dan jendela putar.

Pada ruang ini dilakukan pengukuran dengan alat lux-meter menunjukkan bahwa saat pagi hari jam 08.00-10.00 tingkat intensitas cahaya yang masuk pada ruang kerja sebesar 6,0 DF siang hari sekitar jam 11.00 – 13.00 mencapai 10,0 DF, jam 14.00 – 16.00 sore turun menjadi 4,0 DF. Dari hasil pengukuran tersebut, cahaya yang dibutuhkan untuk aktifitas bekerja sudah memenuhi standar pada saat siang hari, sedangkan pada jam-jam tertentu misalnya waktu sore, cahaya yang masuk dianggap kurang memenuhi kebutuhan, sehingga perlu digunakan bantuan pencahayaan buatan misalnya lampu TL berwarna putih. Pada area dekat jendela, intensitas cahaya sangat tinggi pada saat siang hari, sehingga penggunaan tirai sangat diperlukan untuk menahan (membloking) cahaya yang berlebih untuk menghindari kesilauan.

b. Ruang Rapat

Ruang ini merupakan ruang serba guna, yang difungsikan sebagai rapat dan makan bersama untuk tamu-tamu wisma. Karena ruangan tersebut cukup luas sekitar 10 x 5 m dan terbuka, sehingga penghawaan dan pencahayaannya cukup nyaman.

Ruang ini merupakan ruang terbuka, terdapat void tangga yang menghubungkan antara lantai dasar ke lantai dua, sehingga cahaya masuk dengan maksimal.

(7)

Berdasarkan pengukuran lux-meter, diperoleh hasil bahwa area sekitar void intensitas cahaya yang paling besar yakni 5 – 11 DF pada saat pagi hari sekitar jam 08.00 – 10.00, dan cahaya lebih redup pada saat siang hari yaitu 5– 3 DF.

Gambar 5. Ruang Rapat Lantai Satu

Cahaya yang maksimal yang masuk pada void dapat diatasi dengan adanya jembatan kayu yang berfungsi shading device dan pohon rimbun pada bagian barat bangunan yang melindungi pencahayaan langsung dari luar, sehingga cahaya yang masuk mengalami difusi.

c. Studio Kesenian

Ruang yang difungsikan untuk latihan musik dan vokal oleh kumpulan pemuda gereja. Pada bagian depan ruangan terdapat jendela geser yang sama bentuknya dengan pintu. Bahannya terdiri dari kaca bening tipe jendela kaca mati. Pada saat dilakukan pengukuran intensitas cahaya yang masuk pada ruang ini sangat rendah, sehingga terkesan gelap sekitar 6–10 DF. Hal ini disebabkan karena lantai pada ruang perpustakaan (lantai dua) berfungsi sebagai shading device yang menaungi ruang yang ada di bawahnya.

Tirai yang dipasang sepanjang jendela hanya untuk menutupi ruang dalam yang terlihat transparan karena menggunakan jendela kaca bening.

d. Ruang Komputer

Ruang komputer pada lantai dua, kedua sisinya dipasang jendela nako dan light shelf, sehingga cahaya yang masuk merata ke seluruh ruangan. Dan standar untuk ruang komputer sudah sesuai yakni 5 DF.

Gambar 6. Foto Ruang Komputer

Berdasarkan hasil pengukuran pada saat pagi hari jam 08.00 – 10.00 intensitas cahaya yang masuk melalui jendela 4 – 6 DF dan puncak cahaya paling terang pada saat jam 11.00 hingga jam 13.00 mencapai 8 DF, khususnya pada area dekat jendela. Untuk mendapatkan cahaya yang tidak silau, khususnya area dekat jendela diberi rak-rak buku sepanjang kedua sisinya, sedang meja komputer diletakkan pada tempat yang tidak glare.

(8)

Pada bangunan wisma Kuwera sebenarnya adalah bangunan berlantai tiga, namun pada lantai ini hanya memiliki satu ruang yakni ruang rak buku dan dokumen dengan ukuran 3 x 5 m.

Cahaya yang masuk pada ruangan ini sangat tinggi intensitasnya sekitar 150 DF, sehingga hasil bias cahaya yang dipantulkan dari ruang dokumen mampu menerangi ruang komputer yang ada di bawahnya (lantai 2).

Jenis jendela yang terdapat pada ruang ini, yaitu jendela kaca mati dan tolak keluar. Fungsi dari jenis bukaan ini meneruskan cahaya alami ke seluruh ruangan, sehingga radiasi cahaya yang diterima sepanjang hari sangat tinggi.

e. Perpustakaan

Diantara ruang-ruang yang memiliki berbagai jenis elemen-elemen yang dapat berpengaruh terhadap pencahayaan alami adalah ruang perpustakaan yang ada di lantai dua. Permainan cahaya yang masuk dapat diatur oleh bukaan jendela sesuai kebutuhan aktifitas utama yakni kegiatan membaca. Tipe-tipe bukaan yang ada pada ruang perpustakaan yaitu perlobangan pada bagian atas kosen, bukaan berupa jendela kaca mati yang bisa diputar hingga 900,secara vertikal untuk jendela bagian luar, dan putaran 900 secara horisontal pada jendela bagian belakang serta penggunaan fiberglass.

Gambar 7. Foto Perpustakaan

Jenis jendela pada bagian depan ruang perpustakaan adalah jendela kaca mati yang bentuknya sama dengan pintu yang bisa diputar. Terdiri dari kaca bening yang berfungsi meneruskan cahaya, berselang-seling dengan kaca buram yang membuat cahaya terpendar.

Berdasarkan hasil pengukuran diperoleh cahaya yang paling terang pada titik-titik area dekat dengan jendela kaca yakni dengan intensitas cahaya sekitar 17– 28 DF sedangkan bias yang sampai pada area meja baca adalah 10– 30 DF, sehingga pada siang hari sekitar jam 11.00-13.00 terjadi glare/silau. Disebabkan cahaya yang masuk sangat besar, dan tidak ada shading device pada luar bangunan. Sedangkan standar ruang baca yang ideal adalah 5 DF.

f. Ruang Kerja Romo

(9)

Ruang ini terletak pada bagian depan lantai dua, yang dulunya ruang kerja pribadi Romo Mangungwijaya. Karena bagian depan ruang ini semuanya dari jendela kaca, sehingga intensitas cahaya yang masuk sangat besar. Dengan besarnya cahaya yang masuk pada ruangan ini, sehingga terkesan sangat silau khususnya pada jam 11.00 – 13.00. Hal tersebut diatasi dengan penggunaan tirai pada jendela bagian depan, dan jendela tersebut bisa digeser. Sedangkan jendela yang terdapat pada bagian atas ruangan, mengikuti bentuk atap fasade bangunan, menggunakan kaca bening, jendela kaca mati.

Unit Bangunan Bagian Barat

Unit bangunan bagian barat memiliki ruang-ruang yang sifatnya lebih privasi dibanding ruang-ruang yang ada di sebelah timur. Terlihat dari aktifitas yang berlangsung sepanjang hari, ruang-ruang yang ada difungsikan sebagai: ruang tamu, ruang makan, kapel, ruang tidur, dapur, dan ruang santai. Dari fungsi tersebut, cahaya alami tidak terlalu berpengaruh terhadap kegiatan yang berlangsung. Pada umumnya hanya memanfaatkan efek cahaya dari luar yang diterima dalam ruang melalui pantulan elemen-elemen bangunan termasuk tipe-tipe jendela yang digunakan, material, warna, tekstur, permainan sudut pada atap dan dinding bangunan.

Di bawah ini akan dibahas bagaimana pengaruh elemen-elemen terhadap pencahayaan alami yang diterima oleh ruang-ruang pada bangunan bagian barat, sebagai berikut:

a. Ruang Tamu

Ruang tamu terletak pada lantai dasar bagian depan bangunan yang langsung berhubungan dengan teras, hanya dibatasi oleh jendela kaca mati yang juga berfungsi sebagai pintu. Tipe jendelanya terdiri dari kaca mati dengan material kaca bening selang-seling kaca buram, sedang pada sisi selatan menggunakan jendela panel kaca bening yang diberi frame kayu, dan bagian atasnya diberi kosen tanpa kaca (perlobangan). Dinding jendela kaca yang ada pada sisi selatan dan sisi timur sangat mempengaruhi intensitas cahaya yang masuk dalam ruangan bagian barat. Meskipun efek cahaya yang diterima pada tiap-tiap ruangan yang ada bersifat membias, namun hal ini menimbulkan kesan tersendiri pada ruang-ruang tertentu tergantung dari aktifitas masing-masing.

Gambar 9. Foto Ruang Tamu

Setelah melakukan pengukuran terhadap intensitas cahaya pada ruangan ini saat pagi jam 08.00 – 10.00 diperoleh 30 – 60 DF, dan pada saat siang hari sekitar jam 11.00-13.00 cahaya yang masuk lebih tinggi intensitasnya yaitu 80-12 DF, tapi terangnya hanya pada area sekitar jendela, semakin ke dalam semakin cahayanya redup. Hal ini disebabkan karena fungsi ruang tidak terlalu membutuhkan pencahayaan yang lebih besar, seperti area pantry dan ruang makan. Pada ruangan ini pada waktu-waktu tertentu perlu menggunakan bantuan pencahayaan buatan seperti lampu TL yang digantung khusus di atas meja makan.

b. Ruang Kapel

Ruang berdoa diletakkan berdekatan dengan ruang tamu, namun cahaya yang diterima merupakan cahaya bias dari ruang tamu. Meskipun terdapat jendela pada sisi selatan ruang kapel yaitu jendela kaca mati dan jendela tolak keluar, namun intensitas cahaya yang masuk merupakan cahaya pantul yang dibelokkan oleh elemen-elemen sudut dinding, dan sky light pada bagian luar ruangan ini. Berdasarkan hasil pengukuran, intensitas cahaya yang diterima pada ruang berdoa antara 10-20 DF, dan ini tidak terlalu berpengaruh terhadap aktifitas yang

(10)

berlangsung. Kesan kesakralan terlihat pada pengaturan cahaya yang agak redup, material anyaman dari bambu dengan kemampuan pemantulannya sekitar 20 %, dan kayu kemampuan pemantulannya sekitar 50 %, khususnya pada kayu berwarna gelap lebih kecil. Dari jenis bukaan dan bentuk elemen-elemen yang ada sangat memberikan kesan sakral dan pengungkapan ekspresi dari fungsi ruang sebagai tempat suci, pendekatan diri dan hubungan manusia dengan Tuhan.

Gambar 10. Foto Ruang Kapel

Sekitar dua meter dari ruang kapel, terdapat ruang tidur Romo yang hanya dibatasi partisi dari bahan anyaman bambu ditambah tirai putih sehingga bisa mengatur cahaya bias dari ruang tamu. Ruang ini tidak begitu besar ukurannya sekitar 3 x 2 m, sehingga tidak terlalu tergantung pada cahaya alami, hanya pada malam hari lampu TL dinyalakan berdasarkan hasil pengukuran diperoleh intensitas cahaya yang sangat minimum kurang dari 50, dan cenderung cahayanya redup.

Kelebihan partisi dari anyaman bambu pada ruang tidur Romo, yakni orang yang ada di dalam kamar bisa melihat ke arah luar kamar (dari tempat yang gelap mampu membiaskan cahaya sehingga dapat melihat benda di luar kamar), yakni ruang tamu bisa terlihat dari kamar tidur.

c. Ruang Tidur (lantai dua)

Di atas ruang tamu, terdapat void lantai dua dan di sekitarnya terdapat dua ruang tidur. Void tersebut sangat berperan dalam penyebaran cahaya dari lantai satu dan dari atap bagian selatan. Berbeda dengan ruang tidur Romo, kedua ruang tidur ini terlihat lebih terang, sesuai hasil pengukuran pada saat jam 09.00-13.00 intensitas cahayanya 20-40 DF, juga dengan penggunaan tirai pada bagian void sangat membantu mengatasi cahaya glare yang masuk melalui jendela kaca mati pada bagian atap, dan bentuknya mengikuti bentuk atap.

d. Ruang Santai

Ruang ini terletak di lantai dua, sebagai ruang santai untuk menonton TV, sesuai fungsinya ruangan ini juga sangat tergantung dengan cahaya yang masuk agar menciptakan suasana santai yang nyaman dan menonton TV tanpa cahaya glare.

(11)

Ruang ini kadang-kadang juga digunakan sebagai ruang baca, sehingga pengaturan cahaya dengan penggunaan jendela kaca yang dapat di geser dan di tolak keluar. Pada saat dilakukan pengukuran sekitar jam 08.00 -10.00 cahaya yang masuk 50 DF, sedangkan pada siang hari jam 11.00 – 13.00, intensitas cahayanya berkisar 70 – 100 DF, sedangkan standar kenyamanan ruang santai sekitar 50 DF.

Diantara ruang-ruang yang ada di lantai dua pengaturan pencahayaan yang memenuhi standar ideal adalah pada ruang santai ini. Cahaya yang masuk merupakan cahaya bias dari shading device yang ada di luar bangunan. Juga elemen-elemen bukaan termasuk jenis jendela kaca, material, serta vegetasi yang ada sekitar bangunan.

Tabel 2. Hasil Pengukuran Intensitas Cahaya dengan Lux-meter

Bagian Timur

Nama Ruang

Waktu Pengukuran dalam Lux diconvert ke dalam DF

Tipe Bukaan Pagi 08.00-10.00 Siang 11.00-13.00 Sore 14.00-16.00 Ruang Kerja (lt. Bawah) 6,0-10,0 10,0-12,0 4,0 Ruang Rapat 5,0-11,0 0,5-3,0 0,5-1,0 Ruang Studio Kesenian 6,0-9,0 9,0-10,0 Ruang Komputer 4,0-6,0 4,0-8,0 Ruang Kerja Romo Ruang Perpustakaan 7,05-15,0 17,0-28,0 Ruang Transit 2,0-4,0 4,00-7,00

(12)

Ruang

Dokumen 15,00 15,00

Tabel 2. Hasil Pengukuran Intensitas Cahaya dengan Lux-meter (lanjutan)

Bagian Barat Ruang Tamu 3,0-6,0 8,0-12,0 Ruang Kapel 1,5 2,0 Ruang Tidur Romo <0,5 <0,5 Ruang Makan 0,5 <0,5 Ruang Santai 5,0 7,0-10,0 Ruang Tidur (void) 1,0-3,0 4,0

(Sumber: Analisis penulis)

SIMPULAN

- Pengaturan sistem daylight pada tiap-tiap ruang dalam bangunan wisma Kuwera sangat dipengaruhi oleh elemen-elemen bangunan termasuk orientasi bangunan, bentuk fasade bangunan, tipe dan ukuran bukaan, permainan sudut pada bagian atap ataupun dinding, material, tekstur dan warna.

(13)

- Karakter cahaya yang memasuki ruangan, mampu membentuk efek gelap-terang dengan pengaturan elemen-elemen yang bervariasi dan pada ruang-ruang tertentu paling banyak memanfaatkan sistem pola cahaya terpantul, karena sudah mengalami proses penurunan ilmuminasi dan dapat mencapai terang yang lembut menurut kenyamanan visual, khususnya pada unit bangunan bagian barat yang mewadahi aktifitas yang lebih menuntut keprivasian yang tinggi termasuk ruang tidur dan ruang berdoa (kapel). Namun beberapa pula ruangan yang mendapatkan cahaya langsung tanpa melewati suatu media tertentu, sehingga karakter cahaya yang dihasilkan berupa cahaya tajam, kontras seperti halnya pada bangunan bagian timur khususnya ruang pertemuan. Sedangkan untuk lantai dua pada umumnya memanfaatkan cahaya terbias yang diolah oleh bidang transparan untuk mengurangi tingkat iluminasinya. Misalnya pada ruang perpustakaan, bidang transparan, yang menggunakan jendela kaca buram berselang-seling kaca bening dipasang pada fasad bangunan. Memberikan efek pencahayaan yang dapat membiaskan spektrum cahaya matahari sebagai media penyebar cahaya yang mempengaruhi terang-gelap dan kejelasan visual mata.

DAFTAR PUSTAKA

Hoke, John, FAIA (1994), Architectural Grapihc Standards, John Wiley & Sons, Inc.NY. Hyde, Richard (2000), Climate Responsive Design, E & E FN Spon, England.

Karyono, Tri Harso (1999), Arsitektur, Kemapanan, Pendidikan, Kenyamanan dan Penghematan Energi, PT Catur Libra Optima, Jakarta.

Koenigsberger, Ingersoll, Mayhew A., Szokolay, S.V (1973), Manual of Tropical Housing and Building, Longman Group Limited,.

Lippsmeier, Georg. (1994), Bangunan Tropis, Erlangga, Jakarta.

M.C. Lam, William (1986), Sunlighting as Formgiver for Architecture, Van Nostrand Reinhold Company Limited, England.

(14)

Gambar

Gambar 1. Skema Lightshelves (Sumber: Stack, Lewis, 2001) a. Plat Reflektan Eksterior (Reflectance-Exterior Lightshelf)
Gambar 2. Shading Devices Ukuran Besar (Sumber: Stack, Lewis, 2001)
Gambar 4. Arah Sudut Cahaya Matahari
Gambar 6. Foto Ruang Komputer
+6

Referensi

Dokumen terkait

Konsep diri adalah kemampuan individu dalam menyelesaikan masalahnya sendiri, mampu bersikap terbuka, tidak mengalami hambatan untuk berbicara dengan orang lain,

Semakin sedikitnya jumlah kristal ZrO 2 pada partikel dengan ukuran template yang lebih besar dapat ditunjukkan pada hasil analisa XRD di Gambar 4.22. Pada hasil

Sehingga akan lebih menarik dan tepat jika novel Weton (Bukan Salah Hari) karya Dianing Widya Yudhistira dianalisis dari aspek kepribadian tokoh-tokoh yang ada

20 Sumber data sekunder pada penelitian ini merujuk pada buku-buku yang khusus membahas tentang Pajak Bumi dan Bangunan serta perpajakan secara keseluruhan serta

Lalu selain dari pada masalah krisis ekonomi mereka juga harus berhadapan dengan persaingan dari Negara lain terutama Jepang yang terus menerus melakukan inovasi di dalam

37 Maddawa-dawa adalah kegiatan yang dilakukan oleh sekelompok orang dalam mempersiapkan segala kebutuhan konsumsi pada acara pernikahan yang telah berlangsung di

dikarenakan alokasi jam pelajaran PAI hanya 3 jam perminggu, 13 dan mereka langsung pulang setelah jam pelajaran selesai dan tidak ada kegiatan ekstrakurikuler (rohis).