• Tidak ada hasil yang ditemukan

Permainan Tradisional Masyarakat Melayu Riau

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Permainan Tradisional Masyarakat Melayu Riau"

Copied!
50
0
0

Teks penuh

(1)

Permainan Tradisional Masyarakat Melayu Riau

MAKALAH

BUDAYA MELAYU

“Permainan Masyarakat Melayu RIAU”

Dosen Pembimbing : Ulul Azmi, S.S, M.A

Disusun Oleh:

1.

Citra Analisa (1184205037)

2.

Marisa (1184205153)

3.

Yunta Sari (1184205206)

4.

Samsul Bahri (1184205041)

(2)

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS LANCANG KUNING

PEKANBARU

2013

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat dan karuniaNya makalah yang berjudul “Permainan Masyarakat Melayu RIAU” ini dapat terselesaikan dengan sebaik-baiknya.

Makalah ini sangat membantu kita untukdapat mengetahui berbagai ragam jenis-jenis dari permainan masyarakat Melayu Riau ini, yang saat ini hampir redup. Makalah ini telah penulis sajikan secara sistematis agar mudah untuk dipahami. Adapun tujuan dari makalah ini adalah agar kita mampu memahami dan mudah untuk mengerti bagaimana cara-cara bermain dari permainan tersebut serta dapat mengetahui asal usul permainan tersebut. Penulis juga menyajikan nilai budaya yang terkandung di dalam permainan tersebut. Terselesainya makalah ini tidak lepas dari semua pihak yang telah membantu dalam pembuatannya. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Ulul Azmi,

M.A sebagai dosen pembimbing Budaya Melayu, orang tua, dan teman-teman semua yang telah mendukung baik secara moril maupun materil.

Meskipun telah berusaha dengan segenap kemampuan, namun penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan makalah ini.

Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Pekanbaru, Maret 2013

(3)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...i

DAFTAR ISI ...ii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... ..1

1.2 Rumusan Masalah ...1

1.3 Tujuan ... ...1

BAB II PEMBAHASAN 2.1 Penjelasan permainan tradisional ……….2

2.2 Jenis-Jenis Permainan Tradisional Masyarakat Melayu RIAU 2.2.1 Permainan Gasing ………2 2.2.2 Permainan Congklak ………..….5 2.2.3 Permainan Tali Merdeka……….…………6 2.2.4 Permainan Lu Lu Cina Buta ……….………..9 2.2.5 Permainan Sepak Raga ……….……….12 2.2.6 Permainan Lanang ……….………14

2.2.7 Permainan Ali Oma ………..……….15

2.2.8 Permainan Guli / Kelereng ………..18

2.2.9 Permainan Adu Biji Buah Karet/ Para ………..19

2.2.10 Permainan Terompah Panjang ………20

(4)

2.2.12 Permainan Besimbang ………27

2.2.13 Permainan Pacu Jalur ………..29

2.2.14 Permainan Perahu Jong ………..34

2.2.15 Permainan Egrang ………..36

2.2.16 Permainan Kudo Kepang atau Porang-porangan …….………..38

2.2.17 Permainan Sondok-Sondokan………40

2.2.18 Permainan Layang – Layang ………..46

2.2.19 Permainan Ular Naga………49

BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan ...52

3.2 Saran ...52

(5)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Permainan rakyat mungkin sudah lama redup karena anak-anak beralih pada permainan elektronik yang lebih canggih. Hampir seluruh permaina anak-anak saat ini menggunakan sistem komputerisasi dalam pengoperasiannya. Namun perlu disadari, bahwa permainan modern saat ini mengakibatkan dampak negatif yang cukup berpengaruh bagi anak-anak. Seperti, dengan adanya perkembangan teknologi dari waktu ke waktu yang menyebabkan pembaharuan terus-menerus pada permainan, menyebabkan kecenderungan anak-anak menuntut edisi terbaru dari permainan yang dimiliki, sehingga dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa permainan modern, membentuk mental anak yang penuntut, karena berbagai faktor linkungan. Di samping itu, hal ini juga menunjukkan bahwa permainan modern saat ini tidak dapat menanamkan kesan positif yang baik sehingga dapat diingat sepanjang masa.

Seperti halnya permainan tradisional yang sebenarnya banyak makna mulia yang bisa tergali di baliknya. "Berdasarkan penelitian, seluruh permainan rakyat di Indonesia memiliki kesamaan yakni pengenalan diri, alam, dan Tuhan." Permainan tradisional memiliki banyak sisi positif yang seringkali diabaikan, permainan tradisional mengajarkan banyak hal pada anak-anak, sehingga dapat diingat sepanjang masa. Sebagai bukti, saya merasa permainan tradisional lebih menyenangkan, mendidik kita dalam bermain, dan terdapat banyak pesan dalam setiap permainan, selain itu permainan tradisional sangat “bersahabat dan ramah”, sehingga dapat dimainkan seluruh anak-anak indonesia, tanpa memperhitungkan ras, agama, dan budaya. Permainan tradisional menanamkan “Unity in diversity” sejak dini yang kokoh bagi anak-anak Indonesia. 1.2 Rumusan Masalah

Jenis-jenis permainan masyarakat Melayu RIAU

Sejarah permainan, bentuk permainan, cara bermain dan Nilai Budaya yang terdapat dalam permainan

tersebut. 1.3 Tujuan

Untuk mengetahui Jenis-jenis permainan masyarakat Melayu RIAU

Untuk mengetahui sejarah, cara bermain, bentuk permainan dan nilai budaya yang terkandung di

dalamnya.

BAB II

PEMBAHASAN

“Permainan Masyarakat Melayu”

(6)

Permainan rakyat mungkin sudah lama redup karena anak-anak beralih pada permainan elektronik yang lebih canggih. Hampir seluruh permaina anak-anak saat ini menggunakan sistem komputerisasi dalam pengoperasiannya. Namun perlu disadari, bahwa permainan modern saat ini mengakibatkan dampak negatif yang cukup berpengaruh bagi anak-anak. Seperti, dengan adanya perkembangan teknologi dari waktu ke waktu yang menyebabkan pembaharuan terus-menerus pada permainan, menyebabkan kecenderungan anak-anak menuntut edisi terbaru dari permainan yang dimiliki, sehingga dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa permainan modern, membentuk mental anak yang penuntut, karena berbagai faktor linkungan. Di samping itu, hal ini juga menunjukkan bahwa permainan modern saat ini tidak dapat menanamkan kesan positif yang baik sehingga dapat diingat sepanjang masa.

Seperti halnya permainan tradisional yang sebenarnya banyak makna mulia yang bisa tergali di baliknya. "Berdasarkan penelitian, seluruh permainan rakyat di Indonesia memiliki kesamaan yakni pengenalan diri, alam, dan Tuhan." Permainan tradisional memiliki banyak sisi positif yang seringkali diabaikan, permainan tradisional

mengajarkan banyak hal pada anak-anak, sehingga dapat diingat sepanjang masa. Sebagai bukti, saya merasa permainan tradisional lebih menyenangkan, mendidik kita dalam bermain, dan terdapat banyak pesan dalam setiap permainan, selain itu permainan

tradisional sangat “bersahabat dan ramah”, sehingga dapat dimainkan seluruh anak-anak indonesia, tanpa memperhitungkan ras, agama, dan budaya. Permainan tradisional

menanamkan “Unity in diversity” sejak dini yang kokoh bagi anak-anak Indonesia.

2.2 Jenis-Jenis Permainan Tradisional Masyarakat Melayu RIAU

2.2.1 Permainan Gasing

Gasing merupakan permainan tradisional masyarakat Melayu Riau yang sampai saat ini masih eksis meski pengaruh modernisasi terus menerpa sesuai dengan perkembangan zaman. Gasing merupakan sejenis permainan yang boleh berputar pada paksinya sambil mengimbang pada satu titik. Gasing merupakan permainan tradisional orang-orang Melayu sejak dahulu. Menurut Wikipedia Indonesia, gasing adalah mainan yang bisa berputar pada poros dan berkesetimbangan pada suatu titik. Gasing merupakan mainan tertua yang ditemukan di berbagai situs arkeologi dan masih bisa dikenali.

(7)

Gasing dibuat dari kayu bebaru, kemuning, merbau, rambai, durian atau kundang. Kayu tersebut akan dikikis sehingga menjadi bentuk gasing. Tali gasing dibuat dari kulit pokok bebaru. Tapi sekarang tali gasing dibuat dari tali nilon. Panjang tali gasing biasanya bergantung kepada panjang tangan seseorang, umumnya panjangnya 1 meter. Minyak kelapa digunakan untuk melicinkan pergerakan tali gasing. Gasing merupakan salah satu permainan tradisional Nusantara, walaupun sejarah penyebarannya belum diketahui secara pasti. Di wilayah Pulau Natuna, Kepulauan Riau, permainan gasing telah ada jauh sebelum penjajahan Belanda. Sedangkan di Sulawesi Utara, gasing mulai dikenal sejak 1930-an. Permainan ini dilakukan oleh anak-anak dan orang dewasa. Biasanya, dilakukan di pekarangan rumah yang kondisi tanahnya keras dan datar. Permainan gasing dapat dilakukan secara perorangan ataupun beregu dengan jumlah pemain yang bervariasi, menurut kebiasaan di daerah masing-masing. Hingga kini, gasing masih sangat populer dilakukan di sejumlah daerah di Indonesia. Bahkan warga di kepulauan Riau rutin menyelenggarakan kompetisi. Sementara di Demak, biasanya gasing dimainkan saat pergantian musim hujan ke musim kemarau. Masyarakat Bengkulu ramai-ramai memainkan gasing saat perayaan Tahun Baru Islam, 1 Muharram.

Membuat Gasing

Kayu yang paling sesuai adalah merbau, seperti merbau tanduk, merbau darah, merbau johol dan merbau keradah, ianya mudah dilarik tetapi tidak mudah serpih. Selain itu kayu leban tanduk, limau, bakau, koran, sepan, penaga, keranji juga menjadi pilihan. Jenis kayu yang mudah didapati seperti manggis, jambu batu, ciku atau asam jawa sering digunakan untuk membuat gasing.

Cara Bermain

Gasing dimainkan dengan dua cara, yaitu sebagai gasing pangkah atau gasing uri. Gasing pangkah, dimainkan dengan melemparkannya supaya mengetuk gasing lawan. Gasing uri dipertandingkan untuk menguji ketahanannya berputar.

Gasing pinang dimainkan oleh kanak-kanak.

Untuk memutar gasing, tali setebal 1.75 cm dan sepanjang 3 hingga 5 meter dililitkan pada jambulnya hingga meliputi seluruh permukaan gasing. Kemudian gasing itu dilemparkan ke atas tanah dan serentak dengan itu tali yang melilit jambuhnya direnggut.

Beragam nama gasing

Sejumlah daerah memiliki istilah berbeda untuk menyebut gasing. Masyarakat Jawa Barat dan DKI Jakarta menyebutnya gangsing atau panggal. Masyarakat Lampung

(8)

menamainya pukang, warga Kalimantan Timur menyebutnya begasing, sedangkan di Maluku disebut Apiong dan di Nusatenggara Barat dinamai Maggasing. Hanya

masyarakat Jambi, Bengkulu, Sumatera Barat, Tanjungpinang dan Kepulauan Riau yang menyebut gasing.

Nama maggasing atau aggasing juga dikenal masyarakat bugis di Sulawesi Selatan. Sedangkan masyarakat Bolaang Mangondow di daerah Sulawesi Utara mengenal gasing dengan nama Paki. Orang jawa timur menyebut gasing sebagai kekehan. Sedangkan di Yogyakarta, gasing disebut dengan dua nama berbeda. Jika terbuat dari bambu disebut gangsingan, dan jika terbuat dari kayu dinamai pathon.

Bentuk gasing

Gasing memiliki beragam bentuk, tergantung daerahnya. Ada yang bulat lonjong, ada yang berbentuk seperti jantung, kerucut, silinder, juga ada yang berbentuk seperti piring terbang. Gasing terdiri dari bagian kepala, bagian badan dan bagian kaki (paksi). Namun, bentuk, ukuran danbgain gasing, berbeda-beda menurut daerah masing-masing.

Gasing di Ambon (apiong) memiliki kepala dan leher. Namun umumnya, gasing di Jakarta dan Jawa Barat hanya memiliki bagian kepala dan paksi yang tampak jelas, terbuat dari paku atau logam. Sementara paksi gasing natuna, tidak nampak.

Permainan gasing

Cara memainkan gasing, tidaklah sulit. Yang penting, pemain gasing tidak boleh ragu-ragu saat melempar gasing ke tanah.

Cara:

1.Gasing di pegang di tangan kiri, sedangkan tangan kanan memegang tali.

2.Lilitkan tali pada gasing, mulai dari bagian paksi sampai bagian badan gasing. lilit kuat lalu putar.

Nilai Budaya

Dalam permainan ini di butuhkan konsentrasi yang tinggi untuk dapat memutar gasing dengan waktu yang lama.

(9)

Main Congkak merupakan salah satu permainan rakyat Melayu yang biasanya dimainkan oleh kalangan wanita dewasa dan anak-anak perempuan.Permainan ini bersifat umum bagi masyarakat dan terdapat di seluruh daerah yang ada di Kepulauan Riau.main Congkak hanyalah suatu permainan pengisi waktu senggang,yang dimainkan sekedar untuk menghibur diri.permainan tersebut tidak ada hubungan dengan upacara adat atau dari kepercayaan masyarakat setempat.

Rumah Congkak disebut juga papan congkak.Alat ini ada yang terbuat dari kayu dan ada juga yang berbahan dasar plastik .Pada bagian atas papan congkak, terdapat 16 buah lubang dengan ukuran 50 x 20 cm dan tebalnya 8 cm.Buah atau biji congkak terdiri dari batu-batu kecil sebesar kelingking dan yang paling sering dipakai adalah kulit kucing-kucing, yakni sejenis siput kecil yang hidup di pasir pantai.

Permainan Congkak sebenarnya tidak dibatasi oleh kaum perempuan saja yang memainkannya.Akan tetapi Karena kaum laki-laki kurang senang bermain dengan permainan yang jalannya sangat lambat dan menghabis-habiskan waktu saja,maka jaranglah kaum laki-laki yang bermain Congkak.

Nilai Budaya: Keseriusan dan konsentrasi 2.2.3 Permainan Tali Merdeka (Riau)

(10)

Asal Usul

Permainan Tali Merdeka adalah sebutan untuk mereka yang tinggal di Provinsi Riau. Di daerah yang masyarakatnya adalah pendukung kebudayaan Melayu ini ada sebuah permainan yang disebut sebagai tali merdeka. Inti dari permainan ini adalah melompat tali-karet yang tersimpul. Penamaan permainan ini ada kaitannya dengan tingkah laku atau perbuatan yang dilakukan pemain itu sendiri, khususnya pada lompatan yang

terakhir. Pada lompatan ini (yang terakhir), tali direnggangkan oleh pemegangnya setinggi kepalan tangan yang diacungkan ke udara. Kepalan tangan tersebut hampir mirip dengan apa yang dilakukan oleh para pejuang ketika mengucapkan kata “merdeka”. Gerakan tangan yang menyerupai simbol kemerdekaan itulah yang kemudian dijadikan sebagai nama permainan yang bersangkutan. Kapan dan dari mana permainan ini bermula sulit diketahui secara pasti. Namun, dari nama permainan itu sendiri dapat diduga bahwa permainan ini muncul di zaman penjajahan. Sebenarnya di daerah lain indonesia juga banyak di temukan permainan ini tapi dengan nama yang berbeda misal dengan nama Lompat Tali, Lompatan dll

Pemain

Pemain tali merdeka ini berjumlah 3--10 orang. Pemain dibagi dalam dua kelompok, yaitu pemegang karet dan pelompat karet. Pada umumnya permainan ini dilakukan oleh kaum perempuan yang masih berusia antara 7--15 tahun. Kaum perempuan yang telah berumur lebih dari 15 tahun biasanya akan segan untuk ikut bermain, karena takut auratnya akan terlihat sewaktu melompati tali karet. Kalau pun ada yang ikut bermain, biasanya hanya sebagai penggembira saja dan hanya melompat saat ketinggian tali masih sebatas lutut atau pinggang. Sedangkan kaum laki-laki hanya kadang kala saja ikut serta.

(11)

Permainan ini tidak membutuhkan tempat yang luas. Oleh karena itu, dapat dimainkan di mana saja dan kapan saja, seperti: di halaman sekolah (pada waktu istirahat) dan di halaman rumah.

Peralatan Permainan

Peralatan yang digunakan dalam permainan ini adalah karet-karet gelang yang dianyam memanjang. Cara menganyamnya adalah dengan menyambungkan dua buah karet pada dua buah karet lainnya hingga memanjang dengan ukuran sekitar 3--4 meter. Karet-karet tersebut berbentuk bulat seperti gelang yang banyak terdapat di pasar-pasar tradisional. Karet tersebut tidak dijual perbuah, melainkan dalam bentuk satuan berat (gram, ons, dan kilo). Fungsi karet pada umumnya adalah sebagai pengikat plastik-plastik

pembungkus makanan, pengikat rambut dan barang-barang lainnya yang tidak

membutuhkan pengikat yang kuat, karena karet akan mudah putus jika dipakai untuk mengikat terlalu kuat pada suatu benda. Oleh karena itu, sewaktu membuat anyaman untuk membentuk tali karet, diperlukan dua buah karet yang disambungkan dengan dua buah karet lain agar tidak lekas putus oleh anggota tubuh pemain yang sedang melompat. Ada kalanya tali-karet dianyam dengan menyambungkan 3--4 buah karet sekaligus, agar tali menjadi semakin kuat dan dapat dipakai berkali-kali.

Aturan Permainan

Permainan tali merdeka tergolong sederhana karena hanya melompati anyaman karet dengan ketinggian tertentu. Jika pemain dapat melompati tali-karet tersebut, maka ia akan tetap menjadi pelompat hingga merasa lelah dan berhenti bermain. Namun, apabila gagal sewaktu melompat, pemain tersebut harus menggantikan posisi pemegang tali hingga ada pemain lain yang juga gagal dan menggantikan posisinya. Ada beberapa ukuran ketinggian tali karet yang harus dilompati, yaitu: (1) tali berada pada batas lutut pemegang tali; (2) tali berada sebatas (di) pinggang (sewaktu melompat pemain tidak boleh mengenai tali karet sebab jika mengenainya, maka ia akan menggantikan posisi pemegang tali; (3) posisi tali berada di dada pemegang tali (pada posisi yang dianggap cukup tinggi ini pemain boleh mengenai tali sewaktu melompat, asalkan lompatannya berada di atas tali dan tidak terjerat); (4) posisi tali sebatas telinga; (5) posisi tali sebatas kepala; (6) posisi tali satu jengkal dari kepala; (7) posisi tali dua jengkal dari kepala; dan (8) posisi tali seacungan atau hasta pemegang tali.

Proses Permainan

Sebelum permainan diadakan, terlebih dahulu akan dipilih dua orang pemain yang akan menjadi pemegang tali dengan jalan gambreng dan suit. Gambreng dilakukan dengan menumpuk telapak tangan masing-masing peserta yang berdiri dan membentuk sebuah lingkaran. Kemudian, secara serentak tangan-tangan tersebut akan diangkat dan

diturunkan. Pada saat diturunkan, posisi tangan akan berbeda-beda (ada yang membuka telapak tangannya dan ada pula yang menutupnya). Apabila yang terbanyak adalah posisi telapak terbuka, maka yang memperlihatkan punggung tangannya dinyatakan menang dan gambreng akan diulangi lagi hingga nantinya yang tersisa hanya tinggal dua orang

(12)

peserta yang akan menjadi pemegang tali. Kedua orang tersebut nantinya akan

melakukan suit, untuk menentukan siapa yang terlebih dahulu akan menggantikan pemain yang gagal ketika melompat. Suit adalah adu ketangkasan menggunakan jari-jemari tangan, khususnya ibu jari, jari telunjuk dan jari kelingking. Ibu jari dilambangkan sebagai gajah, jari telunjuk sebagai manusia dan jari kelingking sebagai semut. Apabila ibu jari beradu dengan jari telunjuk, maka ibu jari akan menang, karena gajah akan menang jika bertarung dengan seorang manusia. Namun apabila ibu jari beradu dengan jari kelingking, maka ibu jari akan kalah, sebab semut dapat dengan mudah memasuki telinga gajah, sehingga gajah akan kalah. Sedangkan apabila jari kelingking beradu dengan jari telunjuk, maka jari kelingking akan kalah, sebab semut akan kalah dengan manusia yang mempunyai banyak akal.

Setelah semuanya siap, maka satu-persatu pemain akan melompati tali dengan berbagai macam tahap ketinggian yang telah disebutkan di atas. Pada ketinggian-ketinggian yang sebatas lutut dan pinggang, umumnya para pemain dapat melompatinya, walaupun pada ketinggian tersebut tali tidak boleh tersentuh tubuh pemain. Pada tahap ketinggian yang sebatas dada hingga satu jengkal di atas kepala, mulai ada pemain yang merasa kesulitan untuk melompatinya. Pergantian pemegang tali mulai banyak terjadi pada saat ketinggian tali sebatas hingga dua jengkal di atas kepala. Tahap yang paling sulit adalah ketika tali berada seacungan hasta pemegangnya. Pada tahap ketinggian seperti ini, pada umumnya hanya pemain-pemain yang memiliki postur tubuh yang tinggi dan atau sering bermain tali merdeka saja yang dapat melompatinya. Agar mempermudah lompatan, pemain juga boleh melakukan gerakan berputar menyamping, yang jika diamati akan nampak seperti perputaran baling-baling. Gerakan berputar pada umumnya dilakukan oleh anak laki-laki. Selain berputar, pemain juga boleh memegang dan menurunkan tali terlebih dahulu sebelum melompat. Cara ini biasanya dilakukan oleh anak-anak perempuan. Pemain yang telah berhasil melompati tali yang setinggi acungan tangan, akan menunggu pemain lain selesai melompat. Dan, setelah seluruh pemain berhasil melompat, maka tali akan diturunkan kembali sebatas lutut. Begitu seterusnya, hingga pemain merasa lelah dan berhenti bermain.

Nilai Budaya

Permainan yang disebut sebagai tali merdeka ini mengandung nilai kerja keras, ketangkasan, kecermatan dan sportivitas. Nilai kerja keras tercermin dari semangat pemain yang berusaha agar dapat melompati tali dengan berbagai macam ketinggian. Nilai ketangkasan dan kecermatan tercermin dari usaha pemain untuk memperkirakan antara tingginya tali dengan lompatan yang akan dilakukannya. Ketangkasan dan kecermatan dalam bermain hanya dapat dimiliki, apabila seseorang sering bermain dan atau berlatih melompati tali merdeka. Sedangkan nilai sportivitas tercermin dari sikap pemain yang tidak berbuat curang dan bersedia menggantikan pemegang tali jika melanggar peraturan yang telah ditetapkan dalam permainan.

(13)

Lu Lu Cina Buta adalah permainan rakyat yang masih selalu dimainkan oleh anak-anak kecil di Tembilahan, Indragiri Hilir. Permainan ini bagi masyarakat pendukungnya

adalah semata-mata merupakan permainan penyalur kreativitas anak-anak untuk mengisi waktu senggang, permainan itu dimainkan sebagai hiburan pelepas lelah saja, terlepas dari ikatan suatu peristiwa sosial tertentu. Tidak pula menjadi tuntutan adat istiadat yang berlaku di daerah itu. Permainan ini selain dari mengasyikkan para pelakunya, dapat pula menghibur para penonton yang juga terdiri dari anak-anak di bawah umur.

Yang mengasyikkan para penonton menyaksikan permainan Lu Lu Cina Buta it, disebabkan para penonton bisa berkomunikasi dengan para pelakunya saat mereka sedang menyanyikan lagu permainan tersebut, ialah Lu Lu Cina Buta yang agak lucu dan mengetawakan.

Peralatan

Sapu tangan

Sehelai sapu tangan yang akan digunakan untuk menyimpal mata bagi yang menjadi Cina Buta.

Dalam permainan ini biasanya diiringi dengan lagu Lu Lu Cina Buta, dinyanyikan tanpa musik pengiring. Adapun bunyi lagu Lu Lu Cina Buta, seperti berikut:

Lu Lu Cina Buta Lu banyak tai mata Lu berjalan teraba-raba Lala terantuk janda tua

Dalam nyanyian di atas, kata janda selalu ditukar-tukar menjadi Nyonya, Kuda, dsb.

Cara Bermain

Dilakukan undi.Sebelum bermain dilakukan undian terlebih dahulu untuk mencari pelaku Cina Butanya, biasanya undian dilakukan dengan cara suit:

Sut seorang lawan seorang, yang kalah terus sut lagi dengan yang berikutnya, berturut-turut hingga tinggal seorang yang kalah saja untuk menjadi Cina Buta.

Sut dengan mempergunakan jari tangan: Kelingking menang lawan ibu jari kalah dari telunjuk; Telunjuk menang lawan kelingking, kalah lawan ibu jari; Ibu jari menang lawan telunjuk, kalah dari kelingking.

(14)

Yang kalah menjadi Cina Buta, mukanya ditutup dengan sapu tangan. Kemudian berdiri di tengah-tengah para pemain dalam keadaan mata tersimpul.

Yang menang beramai-ramai membuat lingkaran dengan cara berpegangan tangan membuat jalan keliling sambil melingkar.

Sambil melingkar berkeliling, menyanyi bersama-sama lu lu Cina Buta

Selesai menyanyi, pemain duduk mencangkung dalam posisi menghadap pusat lingkaran Setelah pemain selesai bernyanyi, Cina Buta berjalan meraba-raba para pemain, dan menerka nama si pemain tersebut.

Bila terkaannya tepat, maka yang diterka itu menjadi Cina Buta, lalu permainan baru pula dimulai seperti (kembali ke no. 2 dan 3 di atas)

Bila terkaannya meleset, maka ia terus menjadi Cina Buta, dan permainan diteruskan. Mulai seperti (kembali ke no. 2 dan 3 di atas)

Permainan dilakukan terus menerus berulang kali, hingga kira-kira 30-45 menit bubar.

Peraturan permainan

Semua pemain harus ikut bernyanyi, kecuali yang menjadi Cina Buta. Yang tak mau ikut bernyanyi, maka ia dihukum menjadi Cina Buta. Maka berlakulah seperti (kembali ke cara bermain no. 2, 3 dan 4)

Permainan tak boleh keluar lingkaran ataupun menghindari diri dari rabaan Cina Buta. Barang siapa melanggar peraturan tersebut, maka dihukum menjadi Cina Buta, dan berlaku pula seperti (kembali ke permainan no. 2, 3 dan 4).

Cina Buta meraba-raba wajah, bahu, dan rambut pemain. Dilarang meraba-raba tempat lain terutama di bagian di bawah. Jika melanggar, perekaannya batal, dan kembali menjadi Cina Buta. Permainan diulang lagi seperti (kembali ke permainan no. 2, 3 dan 4). Pemain boleh mengatakan „up„ bila ianya ada keperluan mendadak mau keluar,

lingkaran, seperti akan pipis atau akan buang hajat, dan sebagainya.

Bila sekiranya sampai 3 kali putar si Cina Buta gagal menebak, maka permainan diulang seluruhnya dari sut, kemudian main lagi.

Tempat Permainan

Tempat bermain Lu Lu Cina Buta adalah rumah, ataupun tanah lapang dengan ukuran: ± 6 x 5 depa.

(15)

Jumlah pemain untuk permainan ini sekitar 10 s/d 30 orang Usia pemain antara 7 s/d 10 tahun

Permainan ini bisa dilakukan baik oleh anak laki-laki dan perempuan, dan bisa dilakukan bersama.

Keahlian Khusus

Dalam permainan ini tidak begitu membutuhkan keahlian khusus, hanya membutuhkan feeling untuk menebak atau menerka lawan mainnya.

Nilai Budaya

Permainan Lu Lu Cina Buta diselenggarakan oleh anak-anak dari segala tingkat sosial masyarakat, dengan tidak membeda-bedakan apakah mereka anak orang kaya, ataukah anak orang miskin; anak turunan bangsawan atau anak orang kebanyakan semuanya dipandang sama saja. Mereka bermain dalam satu kesatuan hakekat. Yakni bermain bersama-sama untuk menghibur diri, dan bergembira bersama-sama pula.

2.2.5 Permainan Sepak Raga

Memperkenalkan kepada anda permainan tradisional masyarakat di propinsi Kepulauan Riau yakni Sepak Raga. Sepak Raga merupakan permainan tradisional masyarakat di Kepulauan Riau yang menjadikan bola dari anyaman rotan sebagai alat permainannya. Sepak Raga berasal dari kata Sepak dan Raga. Dalam bahasa Melayu, Sepak diartikan tendang, sementara Raga merupakan sebutan untuk bola yang terbuat dari anyaman rotan. Bola dalam permainan Sepak Raga berdiameter sekitar 42 centimeter. Sementara beratnya mencapai lebih kurang 185 hingga 195 gram. Sebelum kini menjadi permainan rakyat, Sepak Raga merupakan permainan kerajaan. Sekitar abad ke-15, hanya keluarga dari Kerajaan Malaka-lah yang boleh memainkan Sepak Raga.

(16)

Sementara rakyat yang bukan termasuk keluarga kerajaan, hanya boleh menyaksikan pertunjukannya saja. Namun sejak Kerajaan Malaka mengalami keruntuhan hingga kini, Sepak Raga berubah menjadi permainan rakyat. Siapa saja termasuk anda dapat menjadi pemain Sepak Raga ketika berkunjung ke propinsi Kepulauan Riau. Yang menjadi daya tarik dari permainan ini yakni kepiawaian para pemain mempertahankan bola

menggunakan kedua kaki dan kepala supaya bola tidak jatuh ke tanah.

Dalam sebuah pertandingan, Sepak Raga dimainkan oleh dua tim. Setiap timnya terdiri dari 3 orang lelaki yakni seorang pemain sebagai server atau tekong, seorang sebagai apit kanan, seorang lagi sebagai apit kiri. Ketika bertanding, posisi tekong selalu berada di tengah lapangan. Tekong bertugas melempar bola ke arah lawan, menerima bola, serta menahan serangan bola dari regu lawan.

Sementara, apit kanan dan apit kiri berada di sebelah kanan dan kiri Tekong. Mereka bertugas melemparkan bola ke arah tekong, menerima serta menahan bola dari arah lawan. Kedua tim Sepak Raga bermain di sebuah lapangan yang bentuknya seperti

lapangan bola voly. Antara satu daerah dengan daerah lainnya dibatasi oleh sebuah jaring pembatas atau net dari jalinan benang nylon. Tinggi jaring pembatas mencapai 1 koma 55 meter, panjang 6 koma 10 meter serta lebar mencapai lebih kurang 0 koma 7 meter.

Pertandingan Sepak Raga memiliki aturan permainan. Ketika bertanding, pemain Sepak Raga diwajibkan untuk mengenakan penutup kepala dari kain serta tidak mengenakan alas kaki. Penutup kepala menjadi pelindung kepala ketika pemain memainkan bola menggunakan kepala. Permainan pertama dilakukan oleh apit kiri atau apit kanan yang memberikan bola kepada tekong. Bola yang diterima tekong kemudian ditendang

menggunakan kaki ke arah lawan.

Bola yang ditendang tekong harus mampu melewati net atau jaring pembatas daerah satu dengan daerah lawan. Ketika bola berhasil melintasi jaring pembatas, lawan harus mampu mengendalikan bola. Secara kompak dan bergantian, tekong, apit kanan serta apit kiri memainkan bola dan mempertahankannya tanpa jatuh ke tanah. Setiap pemain Sepak Raga hanya boleh mengendalikan bola menggunakan kedua kaki dan kepala. Selama bertanding, mereka tidak boleh menggunakan tangan. Tangan pemain hanya digunakan untuk melempar bola arah tekong ketika server pertama dimainkan.

Pihak yang mampu mempertahankan bola tanpa jatuh ke tanah mendapatkan poin. Namun jika bola yang mereka mainkan jatuh ke tanah, pihak pemberi bola berhak mendapatkan satu poin dan pihak lawan dinyatakan kalah satu poin. Bola berpindah posisi ketika pihak pemain tidak mampu mempertahankan bola dan bola jatuh ke tanah. Begitu seterusnya hingga pertunjukan Sepak Raga usai. Yang berhak menjadi pemenang dalam permainan Sepak Raga yakni tim dengan poin terbanyak dan mampu

mempertahankan bola tanpa memberi kesempatan kepada pihak lawan untuk memainkan bola.

Untuk menyaksikan pertunjukan Sepak Raga, anda dapat berkunjung ke propinsi Kepulauan Riau pada bulan Agustus. Setiap tahunnya, Sepak Raga menjadi salah satu

(17)

permainan yang dilombakan untuk merayakan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RepublikIndonesia.

Nilai Budaya: kekompakan, kerja keras dan keseriusan.

2.2.6 Permainan Lanang

Sejarah

Permainan tradisional lanang merupakan permainan tradisional masyarakat Kampar, Riau. Permainan ini dilakukan oleh anak remaja maupun orang dewasa, baik laki-laki atau perempuan biasanya lebih dominan dilakukan anak laki-laki. Permainan ini

dilakukan untuk mengisi waktu lowong/waktu senggang. Permainan ini sudah ada sejak dulu sebagai peninggalan nenek moyang kita.

Bahan

Kayu/anak patok lele berukuran 10 cm, lebar 3 cm. Tongkatnya berukuran panjang 40 cm dan lebar 3 cm.

Cara menggunakan

Anak lanang yang dimasukkan dalam lobang tanah kemudian dipukul ujungnya sehingga melintang ke atas, dan setelah itu dipukul sekuatnya ke depan.

Aturan pertandingan

Membuat lubang tanah dan garis 10 cm, untuk permainan dengan jarak 15 m. Dilakukan antara dua pihak atau beregu. Dari garis batas pemukul si pemain memukul anak lele ke depan, kemudian diukur melalui tongkat lanang jumlahnya merupakan poin yang didapat. Nilai Budaya: Konsentrasi dan bekerja keras.

(18)

2.2.7 Permainan Ali Oma

Asal Usul

Pada masyarakat di Pekanbaru, ibukota Provinsi Riau, ada sejenis permainan yang disebut alioma. Permainan ini dinamakan ali oma, karena pada waktu melakukannya diiringi oleh nyanyian ali oma. Inti dari permainan ali oma, sebenarnya sama dengan permainan petak umpet yang dimainkan oleh anak-anak yang ada di Jakarta, yaitu mencari tempat persembunyian pemain lain, sambil menjaga “benteng” pertahanannya, agar tidak disentuh atau dipegang oleh pemain lain. Dalam konteks ini, “benteng” adalah sebuah tembok atau batang pohon yang harus dijaga oleh seorang pemain dari “serangan” (sentuhan) pemain yang lain.

Konon, pada masa penjajahan Belanda, nama permainan ini bukanlah ali oma, melainkan “main sembunyi-sembunyi”, yang dilakukan oleh anak-anak pada malam hari di sekitar pekarangan rumah. Namun, sejak zaman kemerdekaan nama permainan tersebut disesuaikan dengan kata-kata yang terdapat dalam nyanyiannya, yaitu “Ali Oma”, dan dapat dimainkan pada waktu siang hari saat jam istirahat sekolah, maupun sore hari sambil menunggu waktu magrib.

Pemain

Jumlah pemain Ali Oma biasanya 5--20 orang, dengan usia 7--13 tahun. Permainan ini dapat dimainkan secara bersama-sama oleh laki-laki dan perempuan. Dari sekian banyak pemain tersebut, hanya satu orang yang menjadi penjaga “benteng” (disebut Si jadi), sedangkan pemain yang lainnya (disebut penyuruk) akan bersembunyi sambil menunggu waktu yang tepat sebelum menyerang “benteng”

(19)

Permainan yang disebut ali oma ini dapat dilakukan di mana saja; di halaman rumah, di halaman rumah adat, di halaman sekolah, ataupun di lapangan.

Peralatan Permainan

Peralatan yang digunakan dalam permainan Ali Omasangat sederhana, yaitu hanya

dengan memanfaatkan sebuah tembok atau batang kayu yang cukup besar, yang berfungsi sebagai “benteng” yang harus dijaga olehSi jadi dari “serbuan” pemain lain (penyuruk).

Aturan Permainan

Aturan permainan ali oma tergolong mudah, yaitu seorang pemain yang kebetulan

mendapat giliran menjaga “benteng”, harus mencari penyuruk yang sedang bersembunyi. Apabila ia dapat menemukan seluruhpenyuruk, maka penyuruk yang pertama kali

diketahui tempat persembunyiannya, akan menjadi penjaga “benteng”. Namun, apabila di tengah-tengah permainan “benteng” yang dijaganya berhasil disentuh atau dipegang oleh penyuruk yang belum tertangkap, maka penyuruk yang telah tertangkap akan “bebas” kembali, dan ia (Si jadi) harus mengulangi lagi mencari seluruh penyuruk.

Proses Permainan

Sebelum permainan dimulai, terlebih dahulu dipilih satu orang pemain yang akan menjadi penjaga “benteng” dengan jalan gambreng dan suit. Gambrengdilakukan dengan

menumpuk telapak tangan masing-masing peserta yang berdiri dan membentuk sebuah lingkaran. Kemudian, secara serentak tangan-tangan tersebut akan diangkat dan

diturunkan. Pada saat diturunkan, posisi tangan akan berbeda-beda (ada yang membuka telapak tangannya dan ada pula yang menutupnya). Apabila yang terbanyak adalah posisi telapak terbuka, maka yang memperlihatkan punggung tangannya dinyatakan menang dangambreng akan diulangi lagi hingga nantinya yang tersisa hanya tinggal dua orang peserta. Kedua orang tersebut nantinya akan melakukan suit, untuk menentukan siapa yang akan menjaga “benteng” (Si jadi).

Setelah semuanya siap, Si jadi harus menghadap ke “benteng” dengan mata tertutup, sebelum pemain lainnya (penyuruk) bersembunyi. Tenggang waktu yang disediakan bagi para penyuruk untuk bersembunyi, adalah selama nyanyian ali oma. Begitu nyanyian selesai, maka Si Jadi baru diperbolehkan untuk mencari tempat persembunyian

para penyuruk. Selama pencarian tersebut, Si jadi akan berlarian ke tempat-tempat yang dirasa ada penyuruknya. Apabila berhasil menemukan seorang penyuruk, maka ia danSi

penyuruk tersebut akan berlari secepatnya menuju “benteng”. Jika Si jadi berhasil

menyentuh “benteng” terlebih dahulu, berartiSi penyuruk berhasil ditangkap. Begitu seterusnya, hingga seluruhpenyuruk berhasil ditangkap, dan permainan dimulai kembali dengan penyuruk pertama yang tertangkap menjadi penjaga “benteng”. Namun, apabila Si

jadikalah cepat dibanding Si penyuruk, maka penyuruktersebut “bebas” dan dapat

bersembunyi lagi. Si jadijuga akan tetap menjaga “benteng”, jika sebelum

(20)

seorang penyuruk. Permainan ali oma akan berakhir apabila para pemainnya telah merasa lelah atau puas bermain.

Nilai Budaya

Nilai-nilai yang terkandung dalam permainan yang disebut sebagai Ali Oma ini adalah tolong-menolong, kerja keras, dan sportivitas. Nilai tolong-menolong tercermin ketika ada penyuruk yang tertangkap, makapenyuruk lainnya akan menolongnya dengan berusaha menyerang “benteng”. Sebab, dengan bobolnya “benteng” berarti yang tertangkap akan bebas dan dapat bersembunyi lagi. Nilai kerja keras tercermin dalam usaha Si jadi untuk menjaga “benteng” dan mencari tempat persembunyian parapenyuruk. Usaha ini memerlukan kerja keras dari Si jadi, sebab untuk menjaga “benteng” dan

mencaripenyuruk seorang diri, bukan suatu hal mudah. Sedangkan nilai sportivitas tercermin dari sikap para pemain yang tidak berbuat curang selama permainan berlangsung dan bersedia menggantikan posisi pemain yang menjaga “benteng”. 2.2.8 Permainan Guli / Kelereng

Sejarah Kelereng

Orang Betawi menyebut kelereng dengan nama gundu. Orang Jawa, neker. Di Sunda, kaleci. Palembang, ekar, di Banjar, kleker. Nah, ternyata, kelereng juga punya sejarah. Ini kuketahui saat membaca majalah Intisari edisi Desember 2004, rubrik asal-usul, hal 92. Sejak abad ke-12, di Prancis, kelereng disebut dengan bille, artinya bola kecil. Lain halnya di Belanda, para Sinyo-Sinyo itu menyebutnya kelereng atau gundu (atau dalam bahasa Jawa disebut nèker) adalah mainan kecil berbentuk bulat yang terbuat dari kaca, tanah liat, atau agate. Ukuran kelereng sangat bermacam-macam. Umumnya ½ inci (1.25 cm) dari ujung ke ujung. Kelereng dapat dimainkan sebagai permainan anak, dan kadang dikoleksi, untuk tujuan nostalgia dan warnanya yang estetik.

Nilai Budaya: mengajarkan kita untuk dapat berkonsentrasi, berbagi dan kesabaran yang

paling penting.

(21)

Buah Karet/Para/Bengkek Biji Karet/Para/Bengkek

Bernostalgia kembali pada zaman kanak-kanak dahulu, tepatnya di Desa Kumantan, Bangkinang. Permainan anak-anak disini begitu kaya akan nuansa tradisional dan bervariasi sesuai musim. Salah satu permainan itu adalah adu biji buah karet / para/ bengkek. Alasan memainkan permainan ini adalah tidak perlu biaya dan mudah didapatkan karena masyarakat masih banyak yang menanam pohon karet sebagai matapencaharian mereka.

Dalam mendapatkan biji karet ini dengan memungut buah yang telah jatuh dari pohon. Biasanya dalam satu buah karet memiliki 3 atau 4 biji didalamnya.

Cara memainkan permainan ini cukup mudah. diawali dengan suit dan siapa yang menang dia yang jalan terlebih dahulu. dan yang kalah harus merelakan biji karet jagoannya ditaruh dibawah biji karet jagoan yang menang suit tadi. Lalu biji karet itu ditumbuk dengan telapak tangan bagian bawah. dan jika belum ada yang pecah mereka bergantian menumbuk biji karet jagoan masing-masing sampai salah satu biji karet tersebut ada yang pecah. dan yang pecah lah yang kalah.

Namun, sangat disayangkan anak-anak zaman sekarang sudah mulai meninggalkan permainan ini, dikarenakan begitu pesatnya permainan berbasis teknologi seperti komputer.

Nilai budaya: kesabaran dan konsentrasi.

(22)

Sejarah permainan

Permainan terompah panjang sejak dulu sudah ada didaerah sepanjang perairan Sungai Rokan, baik Rokan Kiri maupun Rokan Kanan, Kabupaten Kampar, maupun Rokan dibagian Hilir, seperti dibagian Siapi – Api, Bengkalis, Riau. Kini, terompah pangjang sudah merakyat. Tujuannya adalah untuk berolahraga, mengisi waktu luang dan memupuk sikap kerja sama (kekompakan team). Manfaat permainan ini adalah untuk meningkatkan kebugaran, ketegangan menurun, dan kemampuan kerja sama meningkat. Biasanya permainan ini dimainkan oleh anak – anak, remaja, dewasa putra dan putri.

Peraturan Permainan

1. Lapangan

Permainan terompah panjang diadakan dilapangan terbuka, rata seperti stadion, lapangan umum, jalan raya (bila memungkinkan). Lapangan dibuat sedemikian rupa agardalaam pelaksanaannya tidak menghadap matahari. Panjang atau jarak lintasan: 50 meter, dengan lebar 7,5 meter, yang dibagi menjadi 5 lintsan (masing – masing lintasan lebar 1,5 meter). Antar lintasan diberi garis dari kapur 5 cm. Ujung lintasan diberi garis start dan garis finish.

2. Peralatan

1. Bendera start (peluit start);

2. Bendera – bendera kecil dari bahan: tangkai dari bambu dengan panjang 40 cm,

(23)

dengan ukuran bendera 27 cm. Jumlah bendera sesuai dengan jumlah lintasan yang dipakai.

3. Kapur untuk membuat lintasan;

4. Nomor dada dan stopwatch;

5. Terompah, terompah dibuat dari bahan balok / papan yang tebal karet / ban, dan

paku.

Ukuran terompah:

Panjang terompah untuk 3 orang 141 cm;

Panjang terompah unutk 5 orang 235 cm;

Lebar terompah 10 cm;

Tebal terompah 2,5 cm;

Berat terompah seluruhnya untuk teromaph 3 orang 4 kg ( sepasang) terompah 5 orang

8 kg (sepasang).

Pemain

Jenis kelamin laki – laki dan perempuan yang tergabung dalam regu putra dan regu putri. Kelompok umur anak – anak 9 – 12 tahun, remaja 13 – 16 tahun, dewasa 17 tahun keatas.

Jenis perlombaan

Beregu 3 orang dan beregu 5 orang.

Jalannya permainan

a. Sebelum perlombaan dimulai, usia para peseta diteliti untuk menentukan kelompok

usia. Regu yang sudah diteliti kelompok usianya, kemudian diberi nomor (dua) untuk dipasang di dada bagi peserta yang paling depan dandi punggung pemain paling belakang;

b. Peserta dibagi dalam regu yang terdiri dari 5 orang atau 3 orang sesuai dengan jenis

yang diperlombakan;

c. Seluruh peserta dibagi dalam seri setiap seri maksimal 5 regu sesuai dengan jumlah

lintasan (disesuaikan dengan jumlah regu peserta);

d. Selanjutnya diadakan undian untuk menentukan lintasan masing – masing regu, dan

untuk menentukan urutan pemberangkatan dalam perlombaan. Undian dapat dilaksanakan paling lambat satu hari sebelum perlombaan dimulai;

(24)

e. Sebelum perlombaan dimulai, peserta dari masing – masing regu berdiri dibelakang

garis start di samping terompahnya;

f. Aba – aba dalam perlombaan diberikan oleh juri pemberangkatan adalah bersedia,

siap, ya (peluit dibunyikan atau bendera start dikibarkan). Petugas lintasan berdiri

dibelakang peserta dan memperhatikan regu pada lintasan masing – masing dengan membawa bendera biru merah;

g. Pada aba – aba bersedia, peserta berdiri diatas terompah dengan jari – jari kaki

masuk kedalalm setengah lingkaran karet dan berpegangan satu sama lain. Sebaiknya para peserta memakai sepatu olahraga agar kjaki tidak lecet. Peserta regu berpegangan satu sama lain, boleh pada bahu atau pinggang;

h. Aba – aba siap, peserta siap untuk melakukan jalan;

i. Aba – aba ya, peserta berjalan secepat – cepatnya menempuh jarak 50 meter. Bila

memungkinkan adanya stop watch, maka pada aba – aba ya, stop watch dihidupkan dan pada saat peserta dan ujung terompah paling belakang melawati garis finish stop

watch dimatikan;

j. Regu dianggap sah, apabila peserta terakhir dan ujung terompah bagian belakang

melewati garis finish dengan tidak ada kesalahan selama dalam perjalanan. Regu juga masih dianggap sah, waulupun regu tersebut jatuh kedepan tetapi kedua kaki masih kontak pada terompah meskipun tangan menyentuh tanah;

k. Peseta / regu dianggap gugur apabila,tidak berhasil mencapai garis finish; menginjak

lintasan peserta lain; dengan sengaja mengganggu peserta lain; salah satu kaki atau kedua kaki menginjak tanah artinya salah satu kaki atau kedua kaki tidak ada kontak dengan terompah; terompah rusak ditengah jalan; regu yang gugur tidak perlu meneruskan sampai garis finish;

Pemenang

Regu dinyatakan sebagai pemenang apabila regu tersebut paling cepat memasuki garis finish, regu yang gugur dalam babak final tidak mendapat juara.

Petugas

Petugas terdiri dari;

Jumlah pemberangkatan 1 orang;

Pengawas lintasan 5 orang (diseduaikan jumlah lintasan)

Juri kedatangan lima orang;

(25)

Pencatat waktu (apabila ada stopwatch).

Petunjuk Perwasitan

Untuk melancarkan jalannya permainan terompah panjang, diperlukan petugas sebagai juri / wasit, perincian tugas darei masing – masing juri / wasit;

Juri pemberangkata bertugas untuk;

Memberi aba – aba pada pemberangkatan peserta dengan mempergunsksn bendera

start atau peluit;

Sebelum start dimulai, juri pemberangkatan memanggil peseta untuk berdiri

dibelakang agris start dalam lintasan masing – masing;

Kemudian juri pemberangkatan memperingatakn agar peserta tidak menginjak /

melewati garis start;

Dalam memberikan aba – aba, juri pemberangkatan mengambil tempat dibelakang

peserta dan tangan yang megang bendera direntangkan lurus kesamping;

Aba – abab yang diberikan adalah:bersedia, siap, ya atau peluit dibunyikan. Apabila

menggunakan bendera maka pada aba – aba ya bendera dinaikkan / digerakkan keatas;

Juri pemberangkatan dapat menentukan sah atau tidaksah start yang dilakukan oleh

setiap peserta.

Pengawas lintasan bertugas unutk:

Mengawasi lintasan selama permainan berlangsung;

Sebelum start dimulai, pengawas lintasan berdiri di belakang peseta yang akan diawasi

sambil membawa bendera biru ditangan kanan dan bendera merah di tangan kiri;

Pada saat peserta mulai berjalan, pengawas lintasan mengacungkan bendera keatas dan

berjalan di belakang mengikuti peserta sampai garis finish. Apabila pengawas mengacungkan bendera biru, maka permainan peserta tersebut sah. Tetapi apabila peserta melakukan kesalahan maka bendera biru diturunkan dan bendera merah dinaikkan dan regu peserta dianggap gugur;

Juri kedatangan bertugas untuk:

Menentukan dan mencatat urutan kedatangan peserta;

Juri kedatangan berada dibelakang garis finish;

(26)

Menghitung waktu dari mulai aba – aba ya atau peluit dibunyikan sampai peserta

menginjak atau melewati garis finish;

Pengambil waktu berada atau bertempat dibelakang garis finish;

Pada saat starter memberi aba – aba ya atau peluit dibunyikan , pengambil waktu

menghidupkan stopwatch, dan pada saat peserta paling belakang dan ujung terompah paling belakang tepat berada digaris finish / melewati garis finish, stopwatch dimatikan;

Pencatat waktu bertugas untuk:

Mencatat waktu yang ditempuh setiap peserta pada formulir yang sudah disiapkan;

Pencatat waktu berada dibelakang garis finish disamping pengambil waktu;

Waktu dicatat sampai dengan per sepuluh detik, misalnya 10, 2 detik, dan seterusnya.

Nilai budaya

Dalam hal ini kekompakan yang paling utama. Bagaimana kita bisa saling bersama-sama melangkahkan kaki kita dengan teman yang ada di belakang kita. Selain itu diperlukan konsentrasi yang kuat agar tidak terjatuh.

2.2.11

Permainan Tuju Lubang (Kepri)

Sejarah

Tuju lubang adalah suatu permainan yang terdapat di Sedanau, Kecamatan Bunguran, Kepulauan Riau. Penamaan permainan ini ada kaitannya dengan kegiatan pemainnya yang berusaha untuk melontarkan kerang ke arah/menuju sebuah lubang. Awal mula permainan ini, konon berasal dari kegiatan para nelayan yang disebut berkarang. Berkarang adalah bagian dari pekerjaan kaum nelayan yang dilakukan dengan cara menggali pasir di sekitar pantai untuk mendapatkan kerang kelimpat[1]. Selain

mengumpulkan kelimpat, berkarang juga dimanfaatkan oleh para nelayan untuk memberi pelajaran awal kepada anak-anaknya dalam memanfaatkan hasil laut, sebelum mereka ikut mencari ikan di laut lepas. Kelimpat-kelimpat yang didapatkan dari kegiatan

berkarang tersebut, selanjutnya akan dibawa ke rumah untuk dikonsumsi seluruh anggota keluarga. Kelimpat-kelimpat yang telah dikonsumsi itu, biasanya kulitnya akan dibuang di sembarang tempat, di sekitar pekarangan atau kolong rumah panggung para nelayan. Dan, kulit-kulit yang banyak berserakan di sekitar rumah oleh anak-anak akhirnya

dijadikan sebagai alat untuk bermain dengan cara melemparkannya ke sebuah lubang dan diberi nama tuju lubang. Lama-kelamaan, permainan tuju lubang tidak hanya digemari oleh anak-anak nelayan saja, melainkan juga oleh anak-anak kaum bangsawan pada masa kekuasaan Sultan Riau abad XVIII. Pada masa itu, anak-anak kaum bangsawan tidak menggunakan kulit kerang sebagai peralatan bermainnya, melainkan telah menggunakan uang-uang sen yang lebih berat dan relatif mudah mengenai sasaran ketika dilemparkan.

(27)

Seiring dengan perkembangan zaman, permainan tuju lubang tidak hanya menggunakan kulit kerang kelimpat dan uang sen, melainkan juga dengan tutup botol minuman.

Permainan dengan menggunakan tutup botol minuman dan uang koin biasanya dilakukan oleh anak-anak di kota-kota di daerah Riau seperti Pekanbaru dan Tanjungpinang dengan sebutan permainan selubang. Sedangkan anak-anak yang tinggal di sekitar pantai

umumnya masih menggunakan kulit kerang sebagai alat permainannya.

Pemain

Tuju lubang dapat dikategorikan sebagai permainan individual, dengan jumlah pemain antara 2--5 orang. Permainan ini pada umumnya dimainkan oleh anak-anak perempuan dan laki-laki yang berusia 6--20 tahun. Namun dalam permainannya tidak diperbolehkan kedua jenis kelamin tersebut bermain bersama-sama. Jadi, laki-laki harus bermain dengan laki-laki dan perempuan dengan perempuan.

Tempat Permainan

Permainan tuju lubang ini tidak membutuhkan tempat (arena) yang khusus. Ia dapat dimainkan di mana saja, asalkan di atas tanah, pada sore hari sambil menunggu waktu magrib. Jadi, dapat di tepi pantai, di tanah lapang, atau di pekarangan rumah. Di dalam arena permainan tersebut akan dibuat garis persegi empat yang berukuran sekitar 2 x 2 meter yang di tengahnya dibuat sebuah lubang sebesar uang benggol atau kurang lebih sebesar telur ayam dengan kedalaman sekitar 2 ruas jari telunjuk. Kemudian akan dibuat sebuah garis batas lontaran yang jaraknya sekitar 6--12 langkah kaki pemain (ukurannya tergantung kesepakatan).

Peralatan Permainan

Peralatan yang digunakan adalah beberapa tagan yang dapat berupa kulit kerang, tutup botol minuman serta uang logam pecahan 50-100 rupiah keluaran tahun 80-an (jumlahnya tergantung dari kesepakatan pemain). Tagan-tagan tersebut nantinya ada yang digunakan sebagai alat untuk melontar dan ada yang dijadikan sebagai taruhan.

Aturan Permainan

Aturan Permainan tuju lubang adalah sebagai berikut: (1) pada saat melontar, salah satu tangan harus melewati garis batas lontaran; (2) pelontar akan didenda satu tagan

(kulit/cangkang kerang, tutup botol atau uang coin) bila tagan yang dilontarkan mengenai tagan lawan yang telah lebih dahulu dilemparkan; (3) pelontar akan didenda satu tagan apabila tagan yang dilontarkannya masuk ke lubang; (4) lontaran dianggap gagal, apabila tidak berhasil mengenai tagan sasaran; (5) bila tagan yang dilontarkan berhimpit dengan tagan sasaran (kampek), maka lontaran dinyatakan tidak sah; dan (6) lontaran juga dianggap tidak sah apabila tagan yang dilempar dan tagan sasaran masuk ke dalam lubang.

(28)

Ada empat tahap yang dilalui atau dilakukan dalam permainan ini. Pertama, penentuan jumlah taruhan, yaitu masing-masing peserta akan bermusyawarah untuk menentukan jumlah tagan taruhan yang harus disediakan oleh setiap peserta. Jumlah tagan yang biasanya dijadikan taruhan 5--12 buah, sebab jika terlalu banyak permainan menjadi tidak menarik dan akan cepat selesai. Kedua, tikam undi (pengundian), yaitu sebelum mulai bermain, akan dilakukan pengundian terlebih dahulu, dengan cara melontarkan tagan ke arah lubang. Pemain yang dapat memasukkan tagannya ke dalam lubang akan memulai permainan. Namun, apabila tidak ada seorang pun yang dapat memasukkan tagannya ke dalam lubang, maka tagan yang paling dekat dengan lubang akan memulai permainan. Apabila tagan yang dilontarkan mengenai tagan lawan yang lebih dahulu dilontarkan (pintis), maka seluruh peserta harus melontarkan kembali tagannya. Ketiga, membuang taruhan. Pemain yang mendapat kesempatan memulai permainan akan mengumpulkan tagan taruhan dari setiap pemain untuk dilontarkan ke arah lubang. Apabila tagan yang dilontarkan ada yang masuk ke lubang, maka tagan tersebut dapat diambil dan menjadi milik si pelontar. Sedangkan tagan lain yang tidak masuk lubang, akan ditunjuk pemain lain (lawan) untuk dikenai oleh si pelontar. Tagan yang ditunjuk biasanya adalah tagan yang posisinya sulit untuk dikenai, atau apabila terkena akan mengenai tagan yang lain. Keempat, tikam (melontar), yaitu pemain akan mulai melontarkan tagannya ke arah tagan sasaran. Apabila dapat mengenai tagan yang

ditunjuk lawan, maka si pelontar berhak mengambil seluruh tagan taruhan yang berada di sekitar lubang. Kelima, tukar bawa. Apabila tidak ada satu tagan taruhan pun yang dapat dikenai, maka pelontar harus digantikan oleh pemain yang lain. Pemain yang dapat mengumpulkan tagan taruhan paling banyak dinyatakan sebagai pemenang.

Nilai Budaya

Nilai yang terkandung dalam permainan tuju lubang adalah ketangkasan, kecermatan, keuletan, dan sportivitas. Nilai ketangkasan, kecermatan dan keuletan tercermin dari usaha para pemain untuk dapat mengenai tagan taruhan, walaupun posisinya terkadang sangat sulit. Nilai-nilai tersebut, dapat berfungsi sebagai acuan dalam menghadapi segala rintangan dan halangan yang dialami dalam menjalani kehidupan. Dan, nilai sportivitas tercermin dari kesediaan menyerahkan tagan yang menjadi taruhan kepada lawan main yang keluar sebagai pemenangnya.

2.2.12

Permainan Besimbang (Kepri)

Sejarah

Besimbang atau bermain simbang adalah suatu permainan yang terdapat di Sedanau, Kepulauan Riau. Besimbang mirip dengan bekel, hanya saja, bola “induk” yang

digunakan bukanlah bola bekel yang dapat memantul, melainkan terbuat dari kulit-kulit kerang ataupun kulit siput yang bagus dan licin. Permainan ini telah ada sejak zaman kekuasaan Sultan Riau pada abad XVII.

Pemain

Jumlah pemain besimbang 2--6 orang, dengan usia 6--7 tahun. Permainan ini milik kaum perempuan. Artinya, hanya kaum perempuan sajalah yang memainkannya.

(29)

Tempat dan Peralatan Permainan

Besimbang tidak memerlukan tempat yang luas. Oleh karena itu, dapat dikatakan dapat dimainkan di mana saja, seperti: beranda rumah sembari menunggu magrib atau sehabis mengaji, dan di perladangan sambil menunggu tanaman ladang. Peralatan yang

digunakan adalah sebuah pelambung yang terbuat dari kulit kerang atau siput, dan buah simbang yang berjumlah 5 atau 6 buah yang juga terbuat dari kulit kerang kerangan (dapat diganti dengan bebatuan yang berukuran kecil).

Aturan dan Proses Permainan

Ada dua cara dalam bermain simbang, yaitu: main nyurang dan main berundung. Main nyurang, artinya bermain seorang-seorang (individual) dengan jumlah pemain 2--4 orang. Sedangkan, main berundung adalah bermain dengan sistem beregu yang terdiri dari dua regu dan jumlah pemainnya 3--6 orang. Aturan mainnya, baik itu main nyurung maupun berundung nyaris sama, yaitu seseorang harus melambungkan “bola induk”, kemudian mengambil buah simbang yang berjumlah 5--6 buah. Sekali melambungkannya pemain diharuskan mengambil buah simbang yang jumlahnya bertambah banyak (lambungan yang pertama sebuah; kedua dua buah; dan seterusnya). Jika seluruh simbang telah terambil, maka yang bersangkutan mendapat angka. Sebaliknya, jika sedang

melambungkan “bola induk” tetapi tidak berhasil mengambil simbang yang ditentukan, maka dia dinyatakan des dan digantikan oleh pemain lainnya. Perbedaan antara main nyurung dan berundung adalah pada main nyurung posisi duduk para pemainnya melingkar. Kemudian, penggiliran mainnya mengikuti arah kebalikan jarum jam.

Sedangkan pada main berundung, giliran bermainnya harus selang seling (lawan, kawan, lawan, kawan dan seterusnya). Mengingat bahwa pemain harus mempunyai kecepatan tangan dan ketepatan saat mengambil simbang, maka pemain dituntut untuk mempunyai keahlian yang cukup. Oleh karena itu, hanya anak yang telah berumur di atas 5 tahun saja yang dapat bermain simbang Perkembangan permainan simbang saat ini hanya terjadi pada “bola induk” dan simbang-nya saja. Dalam hal ini tidak lagi menggunakan kulit kerang kerangan, melainkan bola bekel, bola tenis, dan lain sebagainya yang dapat memantul di semen atau tanah.

Nilai Budaya

Nilai yang terkandung dalam permainan yang disebut sebagai besimbang ini adalah kecermatan dan sportivitas. Nilai kecermatan tercermin dalam melambungkan “bola induk” sembari mengambil simbang. Ini membutuhkan perkiraan dan kecermatan. Sebab jika tidak, tentunya jumlah simbang yang terambil tidak sesuai dengan peraturan yang telah di tentukan. Nilai sportivitas tercermin dari adanya kesadaran bahwa dalam permainan tentunya ada pihak yang kalah dan memang. Oleh karena itu, setiap pemain dapat menerima kekalahan dengan lapang dada. (pepeng)

(30)

Asal Usul dan Perkembangan

Kuantan Singingi adalah sebuah daerah yang secara administratif termasuk dalam

Provinsi Riau. Daerahnya banyak memiliki sungai. Kondisi geografis yang demikian, pada gilirannya membuat sebagian besar masyarakatnya memerlukan jalur1 sebagai alat transportasi Kemudian, muncul jalur-jalur yang diberi ukiran indah, seperti ukiran kepala ular, buaya, atau harimau, baik di bagian lambung maupun selembayung-nya. Selain itu, ditambah lagi dengan perlengkapan payung, tali-temali, selendang, tiang tengah (gulang-gulang) serta lambai-lambai (tempat juru mudi berdiri). Perubahan tersebut sekaligus menandai perkembangan fungsi jalur menjadi tidak sekadar alat angkut, namun juga menunjukkan identitas sosial. Sebab, hanya penguasa wilayah, bangsawan, dan datuk-datuk saja yang mengendarai jalur berhias itu. Perkembangan selanjutnya (kurang lebih 100 tahun kemudian), jalur tidak hanya berfungsi sebagai alat transportasi dan simbol status sosial seseorang, tetapi diadu kecepatannya melalui sebuah lomba. Dan, lomba itu oleh masyarakat stempat disebut sebagai “pacu jajur”.

Pada awalnya pacu jalur diselenggarakan di kampung-kampung di sepanjang Sungai Kuantan untuk memperingati hari besar Islam, seperti Maulid Nabi Muhammad SAW, Idul Fitri, atau Tahun Baru 1 Muharam. Ketika itu setiap perlombaan tidak selalu diikuti dengan pemberian hadiah. Artinya, ada kampung yang menyediakan hadiah dan ada yang tidak menyediakannya. Lomba yang tidak menyediakan hadiah diakhiri dengan acara makan bersama. Adapun jenis makanannya adalah makanan tradisional setempat, seperti: konji, godok, lopek, paniaran, lida kambing, dan buah golek. Sedangkan, lomba yang berhadiah, penyelenggara mesti menyediakan empat buah marewa2 yang ukurannya berbeda-beda. Juara I memperoleh ukuran yang besar dan juara IV memperoleh ukuran yang paling kecil. Namun, dewasa ini hadiah tidak lagi berupa marewa tetapi berupa hewan ternak (sapi, kerbau, atau kambing).

Ketika Belanda mulai memasuki daerah Riau (sekitar tahun 1905), tepatnya di kawasan yang sekarang menjadi Kota Teluk Kuantan, mereka memanfaatkan pacu jalur dalam merayakan hari ulang tahun Ratu Wilhelmina yang jatuh pada setiap tanggal 31 Agustus. Akibatnya, pacu jalur tidak lagi dirayakan pada hari-hari raya umat Islam. Penduduk

(31)

Teluk Kuantan malah menganggap setiap perayaan HUT Ratu Wilhelmina itu sebagai datangnya tahun baru. Oleh karena itu, sampai saat ini masih ada yang menyebut kegiatan pacu jalur sebagai pacu tambaru. Kegiatan pacu jalur sempat terhenti di zaman Jepang. Namun, pada masa kemerdekaan pacu jalur diadakan kembali secara rutin untuk memperingati hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia (17- Agustusan).

Pemain

Pacu jalur hanya dilakukan oleh para laki-laki yang berusia antara 15--40 tahun secara beregu. Setiap regu jumlah anggotanya antara 40--60 orang (bergantung dari ukuran jalur). Anggota sebuah jalur disebut anak pacu, terdiri atas: tukang kayu, tukang concang (komandan, pemberi aba-aba), tukang pinggang (juru mudi), tukang onjai (pemberi irama di bagian kemudi dengan cara menggoyang-goyangkan badan) dan tukang tari yang membantu tukang onjai memberi tekanan yang seimbang agar jalur berjungkat-jungkit secara teratur dan berirama. Selain pemain, dalam lomba pacu jalur juga ada wasit dan juri yang bertugas mengawasi jalannya perlombaan dan menetapkan pemenang.

Tempat Permainan

Pacu jalur biasanya dilakukan di Sungai Batang Kuantan. Sebagaimana telah dikatakan di atas, Sungai Batang Kuantan yang terletak antara Kecamatan Hulu Kuantan di bagian hulu dan Kecamatan Cerenti di hilir, telah digunakan sebagai jalur pelayaran jalur sejak awal abad ke-17. Dan, di sungai ini pulalah perlombaan pacu jalur pertama kali

dilakukan. Sedangkan, arena lomba pacu jalur bentuknya mengikuti aliran Sungai Batang Kuantan, dengan panjang lintasan sekitar 1 km yang ditandai dengan tiga tiang pancang.

Peralatan Permainan

Peralatan permainan dalam pacu jalur, tentu saja adalah jalur yang dibuat dari batang kayu utuh, tanpa dibelah-belah, dipotong-potong atau disambung-sambung. Panjang jalur antara 25--30 meter, dengan lebar ruang bagian tengah 11,25 meter. Bagian-bagian jalur terdiri atas: (1) luan (haluan); (2) talingo (telinga depan); (3) panggar (tempat duduk); (4) pornik (lambung); (5) ruang timbo (tempat menimba air); (6) talingo belakang; (7) kamudi (tempat pengemudi); (8) lambai-lambai/selembayung (pegangan tukan onjor); (9) pandaro (bibit jalur); (10) ular-ular (tempat duduk pedayung); (11) selembayung (ujung jalur berukir); dan (13) panimbo (gayung air). Jalur dilengkapi pula dengan sebuah dayung untuk setiap pemain.

Bagian selembayung dan pinggir badan jalur biasanya berukir dan diberi warna semarak. Motifnya bermacam-macam seperti: sulur-suluran, geometris, ombak, buruk dan bahkan pesawat terbang. Tiap-tiap jalur mempunyai nama seperti: Naga Sakti, Gajah Tunggal, Rawang Udang, Kompe Berangin, Bomber, Pelita, Orde Baru, Raja Kinantan, Kibasan Nago Liar, Singa Kuantan Sungai Pinang, Dayung Serentak, Keramat Jati, Panggogar Alam, Tuah di Kampuang Godang di Rantau, Ratu Dewa dan lain-lain. Tujuan dari

pengukiran, pewarnaan dan pemberian nama pada setiap jalur tersebut adalah agar dapat “tampil beda” dari yang lain.

(32)

Untuk dapat membuat sebuah jalur-lomba yang biasanya mewakili desa, kecamatan atau kabupaten, harus melalui proses yang cukup panjang dan melibatkan banyak orang. Sebagai suatu proses, tentunya pembuatan jalur dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan. Berikut ini adalah tahap-tahap yang mesti dilakukan dalam pembuatan sebuah perahu yang oleh orang Kuantan Singingi disebut jalur. Hal pertama yang dilakukan adalah menyusun rencana pembuatan jalur melalui

musyawarah atau rapek kampung yang dihadiri oleh berbagai unsur seperti pemuka adat, cendekiawan, kaum ibu dan pemuda. Rapat ini biasanya dipimpin oleh seorang pemuka desa atau pemuka adat. Bila kesepakatan telah dicapai, maka kegiatan selanjutnya adalah memilih jenis kayu. Pohon yang dicari adalah banio atau kulim kuyiang yang panjangnya antara 25--30 meter dengan garis tengah antara 1½ --2 meter. Kedua jenis pohon tersebut disamping kuat, tahan air, juga dipercayai ada “penunggunya”. Setelah pohon yang memenuhi persyaratan ditentukan, maka penebangan pun dilakukan. Akan tetapi, sebelumnya diadakan semacam upacara persembahan kepada “penunggu” pohon agar pohon itu tidak hilang secara gaib.

Kayu yang sudah disemah oleh pawang, selanjutnya ditebang dengan kapak dan beliung. Setelah itu, kayu diabung (dipotong) ujungnya menurut ukuran tertentu sesuai dengan panjang jalur yang akan dibuat. Setelah diabung kedua ujungnya, kemudian kayu dikupas kulitnya dan diukir pada bagian haluan, telinga, dan lambung. Apabila jalur sudah

terbentuk, maka langkah berikutnya adalah meratakan bagian depan (pendadan), yakni bagian atas kayu yang memanjang dari pangkal sampai ke ujung. Kemudian disusul dengan tahap mencaruk atau melubangi dan menghaluskan bagian dalam kayu dengan ketebalan tertentu. Selanjutnya menggaliak atau membalikkan dan menelungkupkan kembali jalur untuk dibentuk dan dihaluskan. Pekerjaan ini memerlukan perhitungan cermat sebab harus selalu menjaga ketebalan jalur agar dapat seimbang ketika berada di air. Cara mengukurnya antara lain dengan membuat lubang-lubang kakok atau bor yang kemudian ditutup lagi dengan semacam pasak. Setelah terbentuk, maka jalur dibalikkan kembali dan kemudian dilanjutkan dengan proses terakhir yaitu membuat haluan dan kemudi. Apabila haluan dan kemudi telah terbentuk, maka jalur akan dibawa ke kampung untuk diasapi dan disertai dengan upacara maelo jalur. Sebelum jalur

diluncurkan ke sungai, ada suatu upacara lagi yang bertujuan agar jalur dapat berlayar dengan baik ketika sudah berada di air.

Aturan Permainan

Pacu jalur dapat dibagi menjadi beberapa tingkatan, yaitu: (1) pacu antarbanjar atau dusun; (2) pacu antardesa atau kelurahan; dan (3) pacu antarkecamatan yang ada di wilayah Kuantan Sengingi. Aturan dalam ketiga tingkatan perlombaan pacu jalur tersebut tergolong mudah, yaitu regu jalur yang dapat mencapai garis finish terlebih dahulu dari regu lain, dinyatakan sebagai pemenangnya. Pertandingan pacu jalur biasanya dilakukan dengan dua sistem yaitu: setengah kompetisi dan sistem gugur untuk menentukan

pemenang pertama hingga keempat dan sepuluh besar.

(33)

Perlombaan, baik antardusun, antardesa, maupun antarkecamatan, diawali dengan membunyikan meriam. Meriam digunakan karena apabila memakai peluit tidak akan terdengar oleh peserta lomba, mengingat luasnya arena pacu dan banyaknya penonton yang menyaksikan perlombaan. Pada dentuman pertama jalur-jalur yang telah ditentukan urutannya akan berjejer di garis start dengan anggota setiap regu telah berada di dalam jalur. Pada dentuman kedua, mereka akan berada dalam posisi siap (berjaga-jaga) untuk mengayuh dayung. Dan, setelah wasit membunyikan meriam untuk yang ketika kalinya, maka setiap regu akan bergegas mendayung melalui jalur lintasan yang telah ditentukan. Sebagai catatan, ukuran dan kapasitas jalur serta jumlah anak pacunya (peserta) dalam lomba ini tidak dipersoalkan, karena ada anggapan bahwa penentu kemenangan sebuah jalur lebih banyak ditentukan dari kekuatan magis yang ada pada kayu yang dijadikan jalur dan kekuatan kesaktian sang pawang dalam “mengendalikan” jalur.

Dalam pertandingan jalur, apabila menerapkan sistem gugur, maka peserta yang kalah tidak boleh turut bermain kembali. Sedangkan para pemenangnya akan diadu kembali untuk mendapatkan pemenang utama. Namun apabila menggunakan sistem setengah kompetisi, setiap regu akan bermain beberapa kali dan pada akhirnya regu yang selalu menang hingga perlombaan terakhir akan menjadi juaranya.

Nilai Budaya

Nilai budaya yang terkandung dalam pacu jalur adalah: kerja keras, ketangkasan, keuletan, kerja sama dan sportivitas. Nilai kerja keras tercermin dari semangat para pemain yang berusaha agar jalurnya dapat mendahului jalur regu lain. Nilai ketangkasan dan keuletan tercermin dari teknik-teknik yang dilakukan oleh anggota sebuah regu dalam menjalankan jalur agar dapat melaju dengan cepat dan tidak tenggelam. Nilai kerja sama tercermin dari anggota regu yang berusaha bersama-sama mengendalikan jalur agar dapat melaju cepat dan memenangkan perlombaan. Nilai sportivitas tercermin tidak hanya dari sikap para pemain yang tidak berbuat curang saat berlangsungnya permainan, tetapi juga mau menerima kekalahan dengan lapang dada. (ali gufron)

Referensi

Dokumen terkait

Seperti yang telah diungkapkan oleh Fahmi, anak-anak akan merasa senang dan larut dalam permainan yang dimainkannya ketika bermain dengan orang yang dikenalnya, jika mereka

Hipotesis tindakan siklus kedua adalah bagaimana gerak estetik permainan tradisional suk-suk pariambruk dan jamuran dapat mengembangkan nilai- nilai moral dan agama pada

Egrang adalah permainan tradisional yang belum diketahui secara pasti dari mana asalnya, egrang terbuat dari dua batang bambu dengan ukuran diameter selengan orang dewasa

Hipotesis tindakan siklus kedua adalah bagaimana gerak estetik permainan tradisional suk-suk pariambruk dan jamuran dapat mengembangkan nilai- nilai moral dan agama pada

Nilai nilai yang terdapat di dalam permainan tradisional pada masyarakat melayu Sumatera selatan diangkat dari: a) Nilai-nilai pendidikan karakter (nilai kejujuran,

Permainan bertanding hampir selalu mempunyai sifat khusus, yaitu 1 terorganisasi, 2 perlombaan, 3 harus dimainkan paling sedikit dua orang, 4 mempunyai kriteria siapa yang menang dan

Hasil dari kegiatan Pengabdian Kepada Masyarakat tersebut, para peserta mendapatkan dan meningkatnya pengetahuan tentang peran permainan tradisional serta mendapatkan cara-cara yang

Dua orang untuk kategori permainan tunggal, dan untuk empat orang untuk kategori permainan ganda dan campuran.Tujuan dari permainan bulutangkis adalah berusaha untuk menjatuhkan