• Tidak ada hasil yang ditemukan

Permainan Terompah Panjang

BAB II PEMBAHASAN

2.2.10 Permainan Terompah Panjang

Sejarah permainan

Permainan terompah panjang sejak dulu sudah ada didaerah sepanjang perairan Sungai Rokan, baik Rokan Kiri maupun Rokan Kanan, Kabupaten Kampar, maupun Rokan dibagian Hilir, seperti dibagian Siapi – Api, Bengkalis, Riau. Kini, terompah pangjang sudah merakyat. Tujuannya adalah untuk berolahraga, mengisi waktu luang dan memupuk sikap kerja sama (kekompakan team). Manfaat permainan ini adalah untuk meningkatkan kebugaran, ketegangan menurun, dan kemampuan kerja sama meningkat. Biasanya permainan ini dimainkan oleh anak – anak, remaja, dewasa putra dan putri.

Peraturan Permainan

1. Lapangan

Permainan terompah panjang diadakan dilapangan terbuka, rata seperti stadion, lapangan umum, jalan raya (bila memungkinkan). Lapangan dibuat sedemikian rupa agardalaam pelaksanaannya tidak menghadap matahari. Panjang atau jarak lintasan: 50 meter, dengan lebar 7,5 meter, yang dibagi menjadi 5 lintsan (masing – masing lintasan lebar 1,5 meter). Antar lintasan diberi garis dari kapur 5 cm. Ujung lintasan diberi garis start dan garis finish.

2. Peralatan

1. Bendera start (peluit start);

2. Bendera – bendera kecil dari bahan: tangkai dari bambu dengan panjang 40 cm,

dengan ukuran bendera 27 cm. Jumlah bendera sesuai dengan jumlah lintasan yang dipakai.

3. Kapur untuk membuat lintasan;

4. Nomor dada dan stopwatch;

5. Terompah, terompah dibuat dari bahan balok / papan yang tebal karet / ban, dan

paku.

Ukuran terompah:

Panjang terompah untuk 3 orang 141 cm;

Panjang terompah unutk 5 orang 235 cm;

Lebar terompah 10 cm;

Tebal terompah 2,5 cm;

Berat terompah seluruhnya untuk teromaph 3 orang 4 kg ( sepasang) terompah 5 orang 8 kg (sepasang).

Pemain

Jenis kelamin laki – laki dan perempuan yang tergabung dalam regu putra dan regu putri. Kelompok umur anak – anak 9 – 12 tahun, remaja 13 – 16 tahun, dewasa 17 tahun keatas.

Jenis perlombaan

Beregu 3 orang dan beregu 5 orang.

Jalannya permainan

a. Sebelum perlombaan dimulai, usia para peseta diteliti untuk menentukan kelompok

usia. Regu yang sudah diteliti kelompok usianya, kemudian diberi nomor (dua) untuk dipasang di dada bagi peserta yang paling depan dandi punggung pemain paling belakang;

b. Peserta dibagi dalam regu yang terdiri dari 5 orang atau 3 orang sesuai dengan jenis

yang diperlombakan;

c. Seluruh peserta dibagi dalam seri setiap seri maksimal 5 regu sesuai dengan jumlah

lintasan (disesuaikan dengan jumlah regu peserta);

d. Selanjutnya diadakan undian untuk menentukan lintasan masing – masing regu, dan

untuk menentukan urutan pemberangkatan dalam perlombaan. Undian dapat dilaksanakan paling lambat satu hari sebelum perlombaan dimulai;

e. Sebelum perlombaan dimulai, peserta dari masing – masing regu berdiri dibelakang garis start di samping terompahnya;

f. Aba – aba dalam perlombaan diberikan oleh juri pemberangkatan adalah bersedia,

siap, ya (peluit dibunyikan atau bendera start dikibarkan). Petugas lintasan berdiri

dibelakang peserta dan memperhatikan regu pada lintasan masing – masing dengan membawa bendera biru merah;

g. Pada aba – aba bersedia, peserta berdiri diatas terompah dengan jari – jari kaki

masuk kedalalm setengah lingkaran karet dan berpegangan satu sama lain. Sebaiknya para peserta memakai sepatu olahraga agar kjaki tidak lecet. Peserta regu berpegangan satu sama lain, boleh pada bahu atau pinggang;

h. Aba – aba siap, peserta siap untuk melakukan jalan;

i. Aba – aba ya, peserta berjalan secepat – cepatnya menempuh jarak 50 meter. Bila

memungkinkan adanya stop watch, maka pada aba – aba ya, stop watch dihidupkan dan pada saat peserta dan ujung terompah paling belakang melawati garis finish stop

watch dimatikan;

j. Regu dianggap sah, apabila peserta terakhir dan ujung terompah bagian belakang

melewati garis finish dengan tidak ada kesalahan selama dalam perjalanan. Regu juga masih dianggap sah, waulupun regu tersebut jatuh kedepan tetapi kedua kaki masih kontak pada terompah meskipun tangan menyentuh tanah;

k. Peseta / regu dianggap gugur apabila,tidak berhasil mencapai garis finish; menginjak

lintasan peserta lain; dengan sengaja mengganggu peserta lain; salah satu kaki atau kedua kaki menginjak tanah artinya salah satu kaki atau kedua kaki tidak ada kontak dengan terompah; terompah rusak ditengah jalan; regu yang gugur tidak perlu meneruskan sampai garis finish;

Pemenang

Regu dinyatakan sebagai pemenang apabila regu tersebut paling cepat memasuki garis finish, regu yang gugur dalam babak final tidak mendapat juara.

Petugas

Petugas terdiri dari;

Jumlah pemberangkatan 1 orang;

Pengawas lintasan 5 orang (diseduaikan jumlah lintasan)

Juri kedatangan lima orang;

Pencatat waktu (apabila ada stopwatch).

Petunjuk Perwasitan

Untuk melancarkan jalannya permainan terompah panjang, diperlukan petugas sebagai juri / wasit, perincian tugas darei masing – masing juri / wasit;

Juri pemberangkata bertugas untuk;

Memberi aba – aba pada pemberangkatan peserta dengan mempergunsksn bendera start atau peluit;

Sebelum start dimulai, juri pemberangkatan memanggil peseta untuk berdiri dibelakang agris start dalam lintasan masing – masing;

Kemudian juri pemberangkatan memperingatakn agar peserta tidak menginjak / melewati garis start;

Dalam memberikan aba – aba, juri pemberangkatan mengambil tempat dibelakang peserta dan tangan yang megang bendera direntangkan lurus kesamping;

Aba – abab yang diberikan adalah:bersedia, siap, ya atau peluit dibunyikan. Apabila menggunakan bendera maka pada aba – aba ya bendera dinaikkan / digerakkan keatas;

Juri pemberangkatan dapat menentukan sah atau tidaksah start yang dilakukan oleh setiap peserta.

Pengawas lintasan bertugas unutk:

Mengawasi lintasan selama permainan berlangsung;

Sebelum start dimulai, pengawas lintasan berdiri di belakang peseta yang akan diawasi sambil membawa bendera biru ditangan kanan dan bendera merah di tangan kiri;

Pada saat peserta mulai berjalan, pengawas lintasan mengacungkan bendera keatas dan berjalan di belakang mengikuti peserta sampai garis finish. Apabila pengawas

mengacungkan bendera biru, maka permainan peserta tersebut sah. Tetapi apabila peserta melakukan kesalahan maka bendera biru diturunkan dan bendera merah dinaikkan dan regu peserta dianggap gugur;

Juri kedatangan bertugas untuk:

Menentukan dan mencatat urutan kedatangan peserta;

Juri kedatangan berada dibelakang garis finish;

Menghitung waktu dari mulai aba – aba ya atau peluit dibunyikan sampai peserta menginjak atau melewati garis finish;

Pengambil waktu berada atau bertempat dibelakang garis finish;

Pada saat starter memberi aba – aba ya atau peluit dibunyikan , pengambil waktu menghidupkan stopwatch, dan pada saat peserta paling belakang dan ujung terompah paling belakang tepat berada digaris finish / melewati garis finish, stopwatch dimatikan;

Pencatat waktu bertugas untuk:

Mencatat waktu yang ditempuh setiap peserta pada formulir yang sudah disiapkan;

Pencatat waktu berada dibelakang garis finish disamping pengambil waktu;

Waktu dicatat sampai dengan per sepuluh detik, misalnya 10, 2 detik, dan seterusnya.

Nilai budaya

Dalam hal ini kekompakan yang paling utama. Bagaimana kita bisa saling bersama-sama melangkahkan kaki kita dengan teman yang ada di belakang kita. Selain itu diperlukan konsentrasi yang kuat agar tidak terjatuh.

2.2.11

Permainan Tuju Lubang (Kepri)

Sejarah

Tuju lubang adalah suatu permainan yang terdapat di Sedanau, Kecamatan Bunguran, Kepulauan Riau. Penamaan permainan ini ada kaitannya dengan kegiatan pemainnya yang berusaha untuk melontarkan kerang ke arah/menuju sebuah lubang. Awal mula permainan ini, konon berasal dari kegiatan para nelayan yang disebut berkarang. Berkarang adalah bagian dari pekerjaan kaum nelayan yang dilakukan dengan cara menggali pasir di sekitar pantai untuk mendapatkan kerang kelimpat[1]. Selain

mengumpulkan kelimpat, berkarang juga dimanfaatkan oleh para nelayan untuk memberi pelajaran awal kepada anak-anaknya dalam memanfaatkan hasil laut, sebelum mereka ikut mencari ikan di laut lepas. Kelimpat-kelimpat yang didapatkan dari kegiatan

berkarang tersebut, selanjutnya akan dibawa ke rumah untuk dikonsumsi seluruh anggota keluarga. Kelimpat-kelimpat yang telah dikonsumsi itu, biasanya kulitnya akan dibuang di sembarang tempat, di sekitar pekarangan atau kolong rumah panggung para nelayan. Dan, kulit-kulit yang banyak berserakan di sekitar rumah oleh anak-anak akhirnya

dijadikan sebagai alat untuk bermain dengan cara melemparkannya ke sebuah lubang dan diberi nama tuju lubang. Lama-kelamaan, permainan tuju lubang tidak hanya digemari oleh anak-anak nelayan saja, melainkan juga oleh anak-anak kaum bangsawan pada masa kekuasaan Sultan Riau abad XVIII. Pada masa itu, anak-anak kaum bangsawan tidak menggunakan kulit kerang sebagai peralatan bermainnya, melainkan telah menggunakan uang-uang sen yang lebih berat dan relatif mudah mengenai sasaran ketika dilemparkan.

Seiring dengan perkembangan zaman, permainan tuju lubang tidak hanya menggunakan kulit kerang kelimpat dan uang sen, melainkan juga dengan tutup botol minuman.

Permainan dengan menggunakan tutup botol minuman dan uang koin biasanya dilakukan oleh anak-anak di kota-kota di daerah Riau seperti Pekanbaru dan Tanjungpinang dengan sebutan permainan selubang. Sedangkan anak-anak yang tinggal di sekitar pantai

umumnya masih menggunakan kulit kerang sebagai alat permainannya.

Pemain

Tuju lubang dapat dikategorikan sebagai permainan individual, dengan jumlah pemain antara 2--5 orang. Permainan ini pada umumnya dimainkan oleh anak-anak perempuan dan laki-laki yang berusia 6--20 tahun. Namun dalam permainannya tidak diperbolehkan kedua jenis kelamin tersebut bermain bersama-sama. Jadi, laki-laki harus bermain dengan laki-laki dan perempuan dengan perempuan.

Tempat Permainan

Permainan tuju lubang ini tidak membutuhkan tempat (arena) yang khusus. Ia dapat dimainkan di mana saja, asalkan di atas tanah, pada sore hari sambil menunggu waktu magrib. Jadi, dapat di tepi pantai, di tanah lapang, atau di pekarangan rumah. Di dalam arena permainan tersebut akan dibuat garis persegi empat yang berukuran sekitar 2 x 2 meter yang di tengahnya dibuat sebuah lubang sebesar uang benggol atau kurang lebih sebesar telur ayam dengan kedalaman sekitar 2 ruas jari telunjuk. Kemudian akan dibuat sebuah garis batas lontaran yang jaraknya sekitar 6--12 langkah kaki pemain (ukurannya tergantung kesepakatan).

Peralatan Permainan

Peralatan yang digunakan adalah beberapa tagan yang dapat berupa kulit kerang, tutup botol minuman serta uang logam pecahan 50-100 rupiah keluaran tahun 80-an (jumlahnya tergantung dari kesepakatan pemain). Tagan-tagan tersebut nantinya ada yang digunakan sebagai alat untuk melontar dan ada yang dijadikan sebagai taruhan.

Aturan Permainan

Aturan Permainan tuju lubang adalah sebagai berikut: (1) pada saat melontar, salah satu tangan harus melewati garis batas lontaran; (2) pelontar akan didenda satu tagan

(kulit/cangkang kerang, tutup botol atau uang coin) bila tagan yang dilontarkan mengenai tagan lawan yang telah lebih dahulu dilemparkan; (3) pelontar akan didenda satu tagan apabila tagan yang dilontarkannya masuk ke lubang; (4) lontaran dianggap gagal, apabila tidak berhasil mengenai tagan sasaran; (5) bila tagan yang dilontarkan berhimpit dengan tagan sasaran (kampek), maka lontaran dinyatakan tidak sah; dan (6) lontaran juga dianggap tidak sah apabila tagan yang dilempar dan tagan sasaran masuk ke dalam lubang.

Ada empat tahap yang dilalui atau dilakukan dalam permainan ini. Pertama, penentuan jumlah taruhan, yaitu masing-masing peserta akan bermusyawarah untuk menentukan jumlah tagan taruhan yang harus disediakan oleh setiap peserta. Jumlah tagan yang biasanya dijadikan taruhan 5--12 buah, sebab jika terlalu banyak permainan menjadi tidak menarik dan akan cepat selesai. Kedua, tikam undi (pengundian), yaitu sebelum mulai bermain, akan dilakukan pengundian terlebih dahulu, dengan cara melontarkan tagan ke arah lubang. Pemain yang dapat memasukkan tagannya ke dalam lubang akan memulai permainan. Namun, apabila tidak ada seorang pun yang dapat memasukkan tagannya ke dalam lubang, maka tagan yang paling dekat dengan lubang akan memulai permainan. Apabila tagan yang dilontarkan mengenai tagan lawan yang lebih dahulu dilontarkan (pintis), maka seluruh peserta harus melontarkan kembali tagannya. Ketiga, membuang taruhan. Pemain yang mendapat kesempatan memulai permainan akan mengumpulkan tagan taruhan dari setiap pemain untuk dilontarkan ke arah lubang. Apabila tagan yang dilontarkan ada yang masuk ke lubang, maka tagan tersebut dapat diambil dan menjadi milik si pelontar. Sedangkan tagan lain yang tidak masuk lubang, akan ditunjuk pemain lain (lawan) untuk dikenai oleh si pelontar. Tagan yang ditunjuk biasanya adalah tagan yang posisinya sulit untuk dikenai, atau apabila terkena akan mengenai tagan yang lain. Keempat, tikam (melontar), yaitu pemain akan mulai melontarkan tagannya ke arah tagan sasaran. Apabila dapat mengenai tagan yang

ditunjuk lawan, maka si pelontar berhak mengambil seluruh tagan taruhan yang berada di sekitar lubang. Kelima, tukar bawa. Apabila tidak ada satu tagan taruhan pun yang dapat dikenai, maka pelontar harus digantikan oleh pemain yang lain. Pemain yang dapat mengumpulkan tagan taruhan paling banyak dinyatakan sebagai pemenang.

Nilai Budaya

Nilai yang terkandung dalam permainan tuju lubang adalah ketangkasan, kecermatan, keuletan, dan sportivitas. Nilai ketangkasan, kecermatan dan keuletan tercermin dari usaha para pemain untuk dapat mengenai tagan taruhan, walaupun posisinya terkadang sangat sulit. Nilai-nilai tersebut, dapat berfungsi sebagai acuan dalam menghadapi segala rintangan dan halangan yang dialami dalam menjalani kehidupan. Dan, nilai sportivitas tercermin dari kesediaan menyerahkan tagan yang menjadi taruhan kepada lawan main yang keluar sebagai pemenangnya.

2.2.12

Permainan Besimbang (Kepri)

Sejarah

Besimbang atau bermain simbang adalah suatu permainan yang terdapat di Sedanau, Kepulauan Riau. Besimbang mirip dengan bekel, hanya saja, bola “induk” yang

digunakan bukanlah bola bekel yang dapat memantul, melainkan terbuat dari kulit-kulit kerang ataupun kulit siput yang bagus dan licin. Permainan ini telah ada sejak zaman kekuasaan Sultan Riau pada abad XVII.

Pemain

Jumlah pemain besimbang 2--6 orang, dengan usia 6--7 tahun. Permainan ini milik kaum perempuan. Artinya, hanya kaum perempuan sajalah yang memainkannya.

Tempat dan Peralatan Permainan

Besimbang tidak memerlukan tempat yang luas. Oleh karena itu, dapat dikatakan dapat dimainkan di mana saja, seperti: beranda rumah sembari menunggu magrib atau sehabis mengaji, dan di perladangan sambil menunggu tanaman ladang. Peralatan yang

digunakan adalah sebuah pelambung yang terbuat dari kulit kerang atau siput, dan buah simbang yang berjumlah 5 atau 6 buah yang juga terbuat dari kulit kerang kerangan (dapat diganti dengan bebatuan yang berukuran kecil).

Aturan dan Proses Permainan

Ada dua cara dalam bermain simbang, yaitu: main nyurang dan main berundung. Main nyurang, artinya bermain seorang-seorang (individual) dengan jumlah pemain 2--4 orang. Sedangkan, main berundung adalah bermain dengan sistem beregu yang terdiri dari dua regu dan jumlah pemainnya 3--6 orang. Aturan mainnya, baik itu main nyurung maupun berundung nyaris sama, yaitu seseorang harus melambungkan “bola induk”, kemudian mengambil buah simbang yang berjumlah 5--6 buah. Sekali melambungkannya pemain diharuskan mengambil buah simbang yang jumlahnya bertambah banyak (lambungan yang pertama sebuah; kedua dua buah; dan seterusnya). Jika seluruh simbang telah terambil, maka yang bersangkutan mendapat angka. Sebaliknya, jika sedang

melambungkan “bola induk” tetapi tidak berhasil mengambil simbang yang ditentukan, maka dia dinyatakan des dan digantikan oleh pemain lainnya. Perbedaan antara main nyurung dan berundung adalah pada main nyurung posisi duduk para pemainnya melingkar. Kemudian, penggiliran mainnya mengikuti arah kebalikan jarum jam.

Sedangkan pada main berundung, giliran bermainnya harus selang seling (lawan, kawan, lawan, kawan dan seterusnya). Mengingat bahwa pemain harus mempunyai kecepatan tangan dan ketepatan saat mengambil simbang, maka pemain dituntut untuk mempunyai keahlian yang cukup. Oleh karena itu, hanya anak yang telah berumur di atas 5 tahun saja yang dapat bermain simbang Perkembangan permainan simbang saat ini hanya terjadi pada “bola induk” dan simbang-nya saja. Dalam hal ini tidak lagi menggunakan kulit kerang kerangan, melainkan bola bekel, bola tenis, dan lain sebagainya yang dapat memantul di semen atau tanah.

Nilai Budaya

Nilai yang terkandung dalam permainan yang disebut sebagai besimbang ini adalah kecermatan dan sportivitas. Nilai kecermatan tercermin dalam melambungkan “bola induk” sembari mengambil simbang. Ini membutuhkan perkiraan dan kecermatan. Sebab jika tidak, tentunya jumlah simbang yang terambil tidak sesuai dengan peraturan yang telah di tentukan. Nilai sportivitas tercermin dari adanya kesadaran bahwa dalam permainan tentunya ada pihak yang kalah dan memang. Oleh karena itu, setiap pemain dapat menerima kekalahan dengan lapang dada. (pepeng)

Asal Usul dan Perkembangan

Kuantan Singingi adalah sebuah daerah yang secara administratif termasuk dalam

Provinsi Riau. Daerahnya banyak memiliki sungai. Kondisi geografis yang demikian, pada gilirannya membuat sebagian besar masyarakatnya memerlukan jalur1 sebagai alat transportasi Kemudian, muncul jalur-jalur yang diberi ukiran indah, seperti ukiran kepala ular, buaya, atau harimau, baik di bagian lambung maupun selembayung-nya. Selain itu, ditambah lagi dengan perlengkapan payung, tali-temali, selendang, tiang tengah (gulang-gulang) serta lambai-lambai (tempat juru mudi berdiri). Perubahan tersebut sekaligus menandai perkembangan fungsi jalur menjadi tidak sekadar alat angkut, namun juga menunjukkan identitas sosial. Sebab, hanya penguasa wilayah, bangsawan, dan datuk-datuk saja yang mengendarai jalur berhias itu. Perkembangan selanjutnya (kurang lebih 100 tahun kemudian), jalur tidak hanya berfungsi sebagai alat transportasi dan simbol status sosial seseorang, tetapi diadu kecepatannya melalui sebuah lomba. Dan, lomba itu oleh masyarakat stempat disebut sebagai “pacu jajur”.

Pada awalnya pacu jalur diselenggarakan di kampung-kampung di sepanjang Sungai Kuantan untuk memperingati hari besar Islam, seperti Maulid Nabi Muhammad SAW, Idul Fitri, atau Tahun Baru 1 Muharam. Ketika itu setiap perlombaan tidak selalu diikuti dengan pemberian hadiah. Artinya, ada kampung yang menyediakan hadiah dan ada yang tidak menyediakannya. Lomba yang tidak menyediakan hadiah diakhiri dengan acara makan bersama. Adapun jenis makanannya adalah makanan tradisional setempat, seperti: konji, godok, lopek, paniaran, lida kambing, dan buah golek. Sedangkan, lomba yang berhadiah, penyelenggara mesti menyediakan empat buah marewa2 yang ukurannya berbeda-beda. Juara I memperoleh ukuran yang besar dan juara IV memperoleh ukuran yang paling kecil. Namun, dewasa ini hadiah tidak lagi berupa marewa tetapi berupa hewan ternak (sapi, kerbau, atau kambing).

Ketika Belanda mulai memasuki daerah Riau (sekitar tahun 1905), tepatnya di kawasan yang sekarang menjadi Kota Teluk Kuantan, mereka memanfaatkan pacu jalur dalam merayakan hari ulang tahun Ratu Wilhelmina yang jatuh pada setiap tanggal 31 Agustus. Akibatnya, pacu jalur tidak lagi dirayakan pada hari-hari raya umat Islam. Penduduk

Teluk Kuantan malah menganggap setiap perayaan HUT Ratu Wilhelmina itu sebagai datangnya tahun baru. Oleh karena itu, sampai saat ini masih ada yang menyebut kegiatan pacu jalur sebagai pacu tambaru. Kegiatan pacu jalur sempat terhenti di zaman Jepang. Namun, pada masa kemerdekaan pacu jalur diadakan kembali secara rutin untuk memperingati hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia (17- Agustusan).

Pemain

Pacu jalur hanya dilakukan oleh para laki-laki yang berusia antara 15--40 tahun secara beregu. Setiap regu jumlah anggotanya antara 40--60 orang (bergantung dari ukuran jalur). Anggota sebuah jalur disebut anak pacu, terdiri atas: tukang kayu, tukang concang (komandan, pemberi aba-aba), tukang pinggang (juru mudi), tukang onjai (pemberi irama di bagian kemudi dengan cara menggoyang-goyangkan badan) dan tukang tari yang membantu tukang onjai memberi tekanan yang seimbang agar jalur berjungkat-jungkit secara teratur dan berirama. Selain pemain, dalam lomba pacu jalur juga ada wasit dan juri yang bertugas mengawasi jalannya perlombaan dan menetapkan pemenang.

Tempat Permainan

Pacu jalur biasanya dilakukan di Sungai Batang Kuantan. Sebagaimana telah dikatakan di atas, Sungai Batang Kuantan yang terletak antara Kecamatan Hulu Kuantan di bagian hulu dan Kecamatan Cerenti di hilir, telah digunakan sebagai jalur pelayaran jalur sejak awal abad ke-17. Dan, di sungai ini pulalah perlombaan pacu jalur pertama kali

dilakukan. Sedangkan, arena lomba pacu jalur bentuknya mengikuti aliran Sungai Batang Kuantan, dengan panjang lintasan sekitar 1 km yang ditandai dengan tiga tiang pancang.

Peralatan Permainan

Peralatan permainan dalam pacu jalur, tentu saja adalah jalur yang dibuat dari batang kayu utuh, tanpa dibelah-belah, dipotong-potong atau disambung-sambung. Panjang jalur antara 25--30 meter, dengan lebar ruang bagian tengah 11,25 meter. Bagian-bagian jalur terdiri atas: (1) luan (haluan); (2) talingo (telinga depan); (3) panggar (tempat duduk); (4) pornik (lambung); (5) ruang timbo (tempat menimba air); (6) talingo belakang; (7) kamudi (tempat pengemudi); (8) lambai-lambai/selembayung (pegangan tukan onjor); (9) pandaro (bibit jalur); (10) ular-ular (tempat duduk pedayung); (11) selembayung (ujung jalur berukir); dan (13) panimbo (gayung air). Jalur dilengkapi pula dengan sebuah dayung untuk setiap pemain.

Bagian selembayung dan pinggir badan jalur biasanya berukir dan diberi warna semarak. Motifnya bermacam-macam seperti: sulur-suluran, geometris, ombak, buruk dan bahkan pesawat terbang. Tiap-tiap jalur mempunyai nama seperti: Naga Sakti, Gajah Tunggal, Rawang Udang, Kompe Berangin, Bomber, Pelita, Orde Baru, Raja Kinantan, Kibasan Nago Liar, Singa Kuantan Sungai Pinang, Dayung Serentak, Keramat Jati, Panggogar Alam, Tuah di Kampuang Godang di Rantau, Ratu Dewa dan lain-lain. Tujuan dari

pengukiran, pewarnaan dan pemberian nama pada setiap jalur tersebut adalah agar dapat “tampil beda” dari yang lain.

Untuk dapat membuat sebuah jalur-lomba yang biasanya mewakili desa, kecamatan atau kabupaten, harus melalui proses yang cukup panjang dan melibatkan banyak orang. Sebagai suatu proses, tentunya pembuatan jalur dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan. Berikut ini adalah tahap-tahap yang mesti dilakukan dalam pembuatan sebuah perahu yang oleh orang Kuantan Singingi disebut jalur.

Dokumen terkait