• Tidak ada hasil yang ditemukan

ETIKA PROFESI SEBAGAI PENYULUH AGAMA ISLAM (MATERI DIKLAT PENYULUH AGAMA AHLI MUDA) Oleh: Hj. Mamik Syafa ah (Widyaiswara BDK Surabaya)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ETIKA PROFESI SEBAGAI PENYULUH AGAMA ISLAM (MATERI DIKLAT PENYULUH AGAMA AHLI MUDA) Oleh: Hj. Mamik Syafa ah (Widyaiswara BDK Surabaya)"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

ETIKA PROFESI

SEBAGAI PENYULUH AGAMA ISLAM

(MATERI DIKLAT PENYULUH AGAMA AHLI MUDA) Oleh: Hj. Mamik Syafa’ah

(Widyaiswara BDK Surabaya) Abstrak

Sebagai Penyuluh Agama yang memberikan Tausiyah atau pesan dakwah pada masyarakat, maka sebelum melaksanakan tugasnya membimbing dan memberikan penyuluhan agama, seorang Penyuluh Agama hendaknya membekali dirinya terlebih dahulu mengenai kompetensinya, terutama kompetensi kepribadian yang harus dimilikinya, yaitu yang berhubungan dengan perilaku atau etika.. Karena Penyuluh Agama Islam itu sebagai “Uswah Hasanah” , yang gerak-geriknya tidak lepas dari penilaian masyarakat. Dan karena Penyuluh Agama Islam Fungsional yang diangkat menjadi PNS, maka sebagai Penyuluh Agama Islam hendaknya memahami tentang Etika Profesi sebagai Penyuluh Agama Islam.

Dalam tulisan ini disampaikan bahwa dalam menerapkan etika profesi sebagai

penyuluh agama Islam, hendaknya memiliki bekal yang cukup dan menerapkan

etika profesi dalam kehidupan sehari-hari. Bekal yang harus dimiliki oleh aktivis penyuluh agama Islam, di antaranya: a) keimanan dan aqidah; b) ilmu dan

tsaqafah; c) amal sampai tingkat kequdwahan; dan d) akhlak dan moral. Ilmu dan

tsaqafah yang harus dimiliki oleh seorang penyuluh agama Islam: 1) tsaqafah ilmu syar’i, 2) tsaqafah ilmu modern/kontemporer dan fiqih realitas, dan 3) tsaqafah ilmu spesialisasi.

Disamping bekal yang harus dimiliki, sebagai penyuluh agama Islam juga harus menerapkan etika profesi baik yang bersifat rohaniyah maupun jasmaniyah. Yang bersifat rohaniyah ini, meliputi: sifat-sifat, sikap, dan berpengetahuan yang cukup bagi seorang penyuluh agama Islam. Sedangkan yang bersifat jasmaniyah, meliputi: sehat jasmani dan berpakaian necis.

Kata Kunci: Penyuluh Agama Islam, Etika Profesi

Pendahuluan

Sebagaimana kita ketahui, bahwa Penyuluh Agama sebagai ujung tombak pelaksanaan Bimbingan atau Penyuluhan pada masyarakat di bidang keagamaan, memiliki peran yang sangat strategis dalam mewujudkan pendidikan pada masyarakat melalui bahasa agama. Dalam menjalankan tugas dan fungsinya tersebut, Penyuluh Agama banyak menghadapi kendala atau permasalahan. Hal ini disebabkan oleh heterogenitas masyarakat sebagai obyek penyuluhan agama pada masyarakat modern.

(2)

Sebagai Penyuluh Agama yang memberikan Tausiyah atau pesan dakwah pada masyarakat, maka sebelum melaksanakan tugasnya membimbing dan memberikan penyuluhan agama, seorang Penyuluh Agama hendaknya membekali dirinya terlebih dahulu mengenai kompetensinya, terutama kompetensi kepribadian yang harus dimilikinya, yaitu yang berhubungan dengan perilaku atau etika.. Karena Penyuluh Agama Islam itu sebagai “Uswah Hasanah” , yang gerak-geriknya tidak lepas dari penilaian masyarakat. Dan karena Penyuluh Agama Islam Fungsional yang diangkat menjadi PNS, maka etika yang harus dimilikinya adalah etika profesi sebagai Penyuluh Agama Islam.

Tulisan ini berusaha untuk membekali Penyuluh Agama Islam agar memiliki kompetensi dasar mengenai Etika Profesi sebagai Penyuluh Agama Islam.

Bekal Bagi Seorang Penyuluh Agama Islam

Penyuluhan Agama Islam (dakwah) adalah aktivitas yang sangat mulia. Namun, kita juga harus sadar bahwa penyuluhan agama Islam adalah pekerjaan yang tidak ringan. Berbagai rintangan, hambatan dan tantangan akan senantiasa menghadang para penyuluh agama Islam. Untuk itulah, seorang aktivis penyuluh agama Islam harus memiliki bekal-bekal yang diperlukan dalam melaksanakan penyuluhan agama Islam. Allah Ta’ala berfirman,”“Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa” (QS.Al-Baqarah [2]: 197).

Berikut ini penjelasan singkat tentang bekal-bekal yang harus dimiliki oleh setiap aktivis penyuluh agama Islam.

a. Keimanan dan Aqidah (Az-Zaad Al-Imani Al-‘Aqadi). Bekal keimanan dan aqidah meliputi dua aspek keimanan: 1) Aspek keimanan akal pikiran yang bersifat teoritis (Al-Iman Al-’Aqli An-Nadzari), dengan mengimani seluruh prinsip aqidah dan dasar keimanan dalam Islam berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta sesuai dengan manhaj dan pemahaman baku As-Salafus-Shalih. 2) Aspek keimanan dan keyakinan hati yang bersifat praktis (Al-Iman Al-Qalbi Al-’Amali), sebagaimana yang dimaksud dalam atsar Imam Al-Hasan Al-Bashri yang berkata: “Bukanlah iman itu sekedar angan-angan (at-tamanni) maupun hiasan (at-tahalli) belaka. Namun iman adalah keyakinan yang tertanam kuat di dalam hati dan dibuktikan dengan amal nyata”. (Lihat QS. Al-Anfal [8]: 2-4; QS. Al-Hujurat [49]: 14-15).

Bekal keimanan dan aqidah merupakan sumber kekuatan yang paling utama bagi setiap penyuluh agama Islam dalam melaksanakan bimbingan dan penyuluhan agama Islam yang penuh dengan beragam ujian, cobaan, godaan dan tantangan yang serba berat.

b. Ilmu dan Tsaqofah (Az-Zaad Al-‘Ilmi Ats-Tsaqafi). (Lihat QS. Yusuf [12]: 108 ; QS. An-Nahl [16]: 125, dan baca: Tsaqafatud-Da’iyah / Bekal Keilmuan Seorang Da’i, karya DR.Yusuf Al-Qardhawi; Jundullah Tsaqafatan wa Akhlaqan, karya Sa’id Hawwa; Manhajul Mukmin Bainal ‘Ilmi Wat-Tathbiq, karya Dr. ‘Adnan Ali Ridha An-Nahwi; Tsaqafatul Muslim, karya Abdul Hamid Buzuwainah; Dan lain-lain). Urgensi ilmu dan tsaqafah bagi da’i adalah sebagai berikut: 1) Keutamaan ilmu dan keistimewaan para ulama (lihat QS 3: 18; 16: 43; 21: 7; 29: 43; 35: 28; 39: 9; 47:

(3)

19; 58: 11.). 2) Ilmu merupakan asas dan syarat amal perbuatan (Al-’Ilmu qablal-qauli wal-’amal: Ilmu dibutuhkan sebelum perkataan dan amal perbuatan). (lihat QS.11:112, 47:19, 67 : 2). 3) Ilmu merupakan asas dan syarat dalam berdakwah (lihat QS.12:108, 16:125).4). Berdakwah tanpa ilmu lebih banyak kemadharatannya daripada kemaslahatannya, baik bagi dakwah, ummat maupun bagi sang da’i atau da’iyah sendiri. Karena berdakwah tanpa bekal ilmu yang benar dan memadai, seringkali tidak memberikan solusi dan tidak menyelesaikan masalah, tetapi justru menambah masalah dan memberikan “PR-PR” baru dalam dakwah. 5) Sesungguhnya kita ini berdakwah (mengajak) kepada Islam. Maka kita harus mempunyai bekal ilmu yang memadai dan memahami Islam itu sendiri (dengan benar). Dan kata hikmah mengatakan: Faaqidisy-syai’ laa yu’thiih (Orang yang tidak memiliki sesuatu, tidak akan bisa memberikannya). 6) Ilmu merupakan imunitas, perisai dan sekaligus senjata ampuh bagi para penyuluh agama Islam dalam menghadapi beragam serangan pemikiran (al-ghazwul fikri), berbagai syubhat pemahaman dan bermacam-macam penyimpangan aqidah yang semakin marak di tengah fenomena krisis kelemahan ilmu dan kelangkaan ulama saat ini.

Adapun ilmu dan tsaqafah yang harus dimiliki oleh seorang penyuluh agama Islam adalah sebagai berikut: Pertama, tsaqafah ilmu syar’i (ats-asaqafah syar’iyah/’uluum asy-syar’iyah) dengan berbagai cabangnya yang meliputi: al-ushuul ats-tsalaatsah (tiga pilar utama: ma’rifatullah, ma’rifaturrasul shallallahu ‘alaihi wasallam, dan ma’rifatul-Islam ; Al-Qur’an; Al-Hadits; aqidah (termasuk firqah-firqah sesat); fiqih dan ushul fiqih; akhlaq dan tazkiyatunnafs; sirah dan tarikh; fiqih Dakwah; kajian-kajian Islam kontemporer; dan bahasa Arab. Dan ini merupakan bekal dan modal keilmuan yang paling utama dalam dakwah.

Berikut ini beberapa catatan yang penting diperhatikan oleh penyuluh agama Islam tentang bidang tsaqafah ilmu syar’i: 1) Setiap da’i dan da’iyah wajib membekali diri dengan ilmu syar’i sesuai dengan metodologi dan manhaj pemahaman baku para ulama ahlussunnah waljama’ah. 2) Tidak ada syarat batasan tertentu yang mutlak untuk kadar tsaqafah dan ilmu yang wajib dimiliki oleh seorang penyuluh agama Islam, tapi yang jelas setiap penyuluh agama Islam harus punya komitmen dan usaha riil untuk selalu menambah tsaqafah dan meningkatkan kualitas serta kuantitas ilmu syar’inya. 3) Wajib bagi setiap penyuluh agama Islam untuk tahu dan menyadari batas kemampuan tsaqafah dan ilmunya, serta membatasi diri dalam batas-batas kemampuannya saja, dan tidak melampaunya. 4) Tapi tetap saja ada batas standar kemampuan syar’i minimal yang wajib dimiliki oleh setiap penyuluh agama Islam. 5) Kafa-ah ilmu syar’i yang sempurna dan ideal meliputi tiga unsur, yaitu: ma’rifatud-dalil (mengetahui ma’rifatud-dalil), ma’rifatul-istidlal (mengetahui dan memahami makna serta arti dalil secara benar dan proporsional), dan ma’rifatut-tathbiq (mengetahui cara penerapan secara benar). 6) Setiap penyuluh agama Islam dituntut membaca dan mengkaji minimal satu buku rujukan praktis yang mu’tabar (standar) dalam setiap bidang spesialisasi ilmu syar’i yang disebutkan diatas.

Kedua, tsaqafah ilmu modern/kontemporer dan fikih realitas (ats-tsaqafah

(4)

solusi bagi persoalan-persoalan dan problematikan-problematika masyarakat modern saat ini dalam berbagai aspek kehidupannya. Oleh karenanya, memahami kadar tertentu dari tsaqafah keilmuan modern dan kontemporer menjadi sebuah keniscayaan bagi para penyuluh agama Islam. Fikih realita (fiqhul waqi’) adalah syarat pelengkap bagi fikih dalil (fiqhud dalil), untuk mendapatkan dan menerapkan hukum syar’i tertentu yang benar, tepat dan proporsional, disamping merupakan salah pilar dan asas utama fiqih dakwah. Fikih realita (fiqhul waqi’) yang harus dimiliki meliputi: realita kondisi internal ummat Islam, realita kondisi internal dakwah Islam, para penyuluh agama Islam dan jamaah-jamaah dakwah, dan realita kondisi ekternal, yaikni realita ummat non muslim (musuh-musuh Islam).

Ketiga, tsaqafah ilmu spesialisasi (ats-tsaqafah

at-takhash-shushiyah/at-ta’hiliyah) yang sangat penting dimiliki oleh setiap penyuluh agama Islam untuk lebih optimalnya dakwah yang dilakukannya. Setiap penyuluh agama Islam semestinya memiliki bidang spesialisasi ilmu tertentu, baik dalam bidang spesialisasi ilmu syar’i, atau spesialisasi ilmu umum, atau spesialisasi keahlian, maupun spesialisasi dalam bidang dakwah. Dan ilmu spesialisasi itu harus dimanfaatkan dan bahkan dioptimalkan pemanfaatannya untuk kepentingan, kemaslahatan dan kemajuan dakwah. Maka tidak benar dan tidak dibenarkan misalnya, jika ada seseorang yang memiliki ilmu spesialisasi tertentu, meninggalkan bidang spesialisasinya untuk aktif berdakwah di bidang yang lain.

c. Amal Sampai Tingkat Kequdwahan. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): “Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan. Amat besar kebencian dan kemurkaan di sisi Allah bahwa, kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan” (QS. Ash-Saff [61]: 2-3).Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda: ”Seseorang bakal dihadirkan pada hari Kiamat, lalu ia dilemparkan ke dalam api Neraka, sehingga isi perutnyapun terburai keluar, lalu ia berputar-putar dengannya sebagaimana seekor keledai berputar-putar di penggilingan. Maka para penghuni Neraka berkumpul mengelilinginya seraya bertanya: Hai Fulan, ada apa denganmu? Bukankah dulu kamu melakukan (dakwah) amar bil-ma’ruf dan nahi ’anil munkar? Ia menjawab: Benar, dulu aku mengajak dan memerintahkan amal yang ma’ruf tapi aku sendiri tidak melakukannya, dan dulu akupun melarang dan mencegah (orang lain) dari perbuatan yang munkar, namun aku justru mengerjakannya” (HR. Muttafaq ’alaih).

Bekal amal yang dimaksud adalah meliputi: 1) Bekal amal ibadah sampai pada derajat ihsan: beribadah kepada Allah seakan-akan melihat Allah atau dengan kesadaran penuh dilihat oleh Allah (lihat: Hadits Jibril ‘alaihis salam riwayat Imam Muslim). 2) Komitmen syar’i (al-iltizam asy-syar’i) yang baik sampai pada tingkat kehati-hatian syar’i (al-wara’ asy-syar’i), yang dilandasi oleh ilmu syar’i (al-‘ilmu asy-syar’i) yang memadai dan kepekaan/ sensitivitas syar’i (al-hiss asy-syar’i) yang tinggi. 3) Memiliki keterlibatan riil (al-musyarakah al-‘amaliyah) dalam berbagai aktivitas dalam kehidupan nyata, dan melakukan pembauran secara positif (al-mukhalathah al-ijabiyah) di tengah-tengah masyarakat. Secara aktif dan intensif

(5)

melakukan dan mengikuti latihan-latihan serta pelatihan-pelatihan praktek dakwah (at-tathbiq ad-da’awi) nyata di lapangan.

d. Akhlaq dan Moral. Islam adalah agama akhlaq (dinul akhlaq), maka para pendakwahnya haruslah orang-orang yang memiliki komitmen akhlaq yang tinggi dan menonjol. Sehingga tidak ada tempat di dalam dakwah Islam ini bagi orang-orang yang berakhlaq rendah. Karena, sebagaimana dalam sebuah kata hikmah Arab bahwa, orang yang tidak memiliki sesuatu tidak akan bisa memberikannya kepada orang lain (faqidusy-syai’ la yu’thihi). Yakni orang yang tidak memiliki ilmu, iman dan akhlaq misalnya, tidak akan bisa memberikan itu semua kepada orang lain. Sebagaimana yang tidak mempunyai uang tidak akan bisa memberikan uang kepada orang lain, demikian seterusnya. Tingginya komitmen akhlaq para penyuluh agama Islam memiliki pengaruh yang sangat besar dan menentukan – setelah taufiq Allah – bagi keberhasilan dakwah, dan begitu pula sebaliknya.

Beberapa bentuk akhlaq yang harus menempati skala prioritas dalam diri para penyuluh agama Islam adalah sebagai berikut: 1) Sabar dan kemampuan menahan diri (ash-shabr wal-hilm). Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): ”Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai (sarana dan faktor) penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar” (QS. Al-Baqarah [2]: 153). 2) Keberanian dalam kebenaran (asy-syaja’ah fil-haqq). Ini merupakan salah satu akhlaq dasar yang mutlak harus dimiliki oleh para da’i dan da’iyah, karena para penyeru kebenaran (du’atul haqq) pasti akan berhadapan dengan para penyeru kebatilan (du’atul bathil). Sehingga tanpa keberanian,tidak akan pernah ada satu kebenaran yang bisa menang dan eksis, serta tidak akan ada satu kebatilanpun yang bisa kalah dan lenyap. 3) Cinta dan kasih sayang (al-mahabbah war-rahmah). Dakwah wajib disampaikan dengan penuh rasa cinta dan kasih sayang untuk memberikan dan menyebarkan hidayah kepada semua orang. Dan sebaliknya, dakwah tidak boleh disampaikan dengan penuh rasa amarah dan kebencian! (Lihat QS. Al-Kahfi [18]: 6; QS. Asy-Syu’ara’ [26]:3). 4) Lemah lembut (ar-rifqu wal-liin). (Lihat QS. Ali ‘Imran [3]: 159). 5) Tawadhu’ (at-tawadhu’) yang merupakan salah satu akhlaq utama yang mutlak diperlukan dalam dakwah, khususnya dalam ber-ta’awun dan ber-‘amal jama’i. 6) Kelapangan dada dan keluasan wawasan (sa’atush-shadr wal-ufuq), agar dakwah para da’i dan da’iyah mampu merangkul dan menjangkau seluas mungkin segmen dan lapisan masyarakat obyek dakwah dengan beragam sifat, karakter, kecenderungan, latar belakang pendidikan, pemahaman, sosial, budaya, ekonomi, politik dan lain-lain. 7) Rasa malu (al-hayaa’). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya): “Jika kamu sudah tidak memiliki rasa malu lagi, maka berbuatlah semaumu” (HR. Al-Bukhari). Dan salah satu bencana moral terbesar zaman sekarang ini adalah lemah dan hilangnya akhlaq malu ini dari kehidupan luas masyarakat modern. Maka yang wajib menjadi salah satu konsentrasi dan issu sentral dakwah saat ini adalah mengembalikan akhlaq malu ini ke dalam diri dan kehidupan masyarakat, lebih-lebih lagi di kalangan kaum perempuan! Dan para da’i dan da’iyah harus menjadi pelopor dan qudwah dalam hal ini. Wallahu Waliyyut-taufiq!

(6)

Etika Seorang Penyuluh Agama Islam

a. Bersifat Rohaniah. 1) Sifat-sifat Seorang Penyuluh Agama Islam, meliputi: a) Iman dan taqwa kepada Allah;Syarat kepribadian seorang Penyuluh Agama (Da’i) yang terpenting adalah iman dan taqwa kepada Allah swt. Oleh karena ia di dalam membawa missi dakwahnya diharapkan terlebih dahulu dirinya sendiri dapat memerangi hawa nafsunya, sehingga diri pribadi ini lebh taat kepada Allah swt dan Rasul-Nya dibandingkan dengan sasaran dakwahnya. Kalau tidak, laksana lampu yang menerangi (memberi penerangan) kepada seluruh manusia, padahal ia sendiri terbakar oleh api. Sifat ini diterangkan di dalam QS. Al-Baqarah, 2: 44). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa seseorang yang berdakwah kepada orang lain, sedang dirinya sendiri belum iman dan taqwa kepada Allah swt, laksana ia menipu Allah swt dan orang mukmin. Dimana hakekat menipu Allah swt tak ubahnya menipu diri sendiri. b) Tulus ikhlas dan tidak mementingkan kepentingan diri pribadi; Niat yang lurus tanpa pamrih duniawiyah belaka, salah satu syarat mutlak yang harus dimiliki oleh seorang penyuluh agama Islam (da’i). sebab dakwah adalah pekerjaan yang bersifat ubudiyah atau terkenal dengan istilah hablullah, yakni amal perbuatan yang berhubunngan dengan Allah swt. Sifat ini sangat menentukan keberhasilan penyuluhan agama (dakwah). Dan berjuang di jalan Allah (berdakwah) haruslah dapat menanggulangi niat negatif yakni keinginan akan tiga (harta, wanita, dan tahta). Dengan kata lain mempunyai sifat tulus ikhlas. c) Ramah dan penuh pengertian; Penyuluhan agama Islam(dakwah)adalah pekerjaan yang bersifat promosi kepada orang lain. Promosi dapat diterima orang lain, apabila yang mempromosikan berlaku ramah, sopan dan ringan tangan untuk melayani sasarannya (obyeknya). Tak ubahnya dalam dunia dakwah, jika seseorang penyuluh agama (da’i) mempunyai kepribadian yang menarik, karena keramahan, kesopanan dan ringan tangan, InsyaAllah akan berhasil dakwahnya. Sebaliknya, jika mempunyai kepribadian yang membosankan (tidak menarik) karena sifat yang tak menarik hati tentulah pekerjaannya kecil kemungkinannya dapat berhasil..(QS. Ali Imran, 3:59). d) Tawadlu’ (rendah hati); Rendah hati bukanlah semata-mata merasa dirinya terhina dibandingkan dengan derajat dan martabat orang lain, akan tetapi tawadlu’ (rendah hati) seorang penyuluh

agama (da’i) adalah tawadlu’ yang berarti sopan dalam pergaulan, tidak sombong dan tidak suka menghina dan mencela orang lain. Dengan kata lain tawadlu’ adalah andap

asor (dalam bahasa jawa). e) Sederhana dan jujur; Kesederhanaan adalah merupakan pangkal keberhasilan penyuluhan agama (dakwah). Sederhana bukanlah berarti di dalam kehidupan sehari-hari selalu ekonomis dalam memenuhi kebutuhannya, akan tetapi sederhana di sini adalah tidak bermegah-megahan, angkuh dan lain sebagainya. Sehinggaa dengan sifat sederhana ini orang tidak merasa segan, takut kepadanya. Sedangkan kejujuran adalah sebagai penguatnya. Orang akan percaya terhadap segala ajakannya, apabila sang pengajak sendiri dapat dipercaya tidak pernah menyelisihi apa yang dikatakannya. Sebagaimana Rasulullah saw seorang penyuluh agama (da’i) memiliki beberapa sifat utama,diantaranya adalah shidiq (jujur) dan amanah (dapat

(7)

dipercaya). f)Tidak memiliki sifat egoisme;Ego adalah suatu watak yang menonjolkan akunya, angkuh dalam pergaulan merasa dirinya terhormat, lebih pandai dan sebagainya. Sifat inilah yang harus dijauhi betul-betul oleh seorang penyuluh agama (da’i). g) Sifat antusiasme (semangat); Semangat berjuang harus dimiliki oleh seorang penyuluh agama (da’i), sebab dengan sifat antusias ini orang akan terhindar dari rasa putus asa, kecewa dan lain sebagainya. Sifat-sifat ini tentu dimiliki setiap rasul, di mana didalam memperjuangkan agama Allah beliau tanpa putus asa meskipun terdapat berbagai macam corak cobaan, gangguan, dan godaan yang menghalanginya. Begitu pula seorang penyuluh agama (da’i) sebagai penerus perjuangan Rasulullah, pewaris para anbiya’, sifat antusias haruslah dimilikinya, meskipun cobaan dan kegagalan sering melandanya. h) Sabar dan Tawakkal; Penyuluhan agama (dakwah) adalah melaksanakan perintah Allah swt, yang diwajibkan kepada seluruh ummat. Dan Allah swt sekali-kali tidak mewajibkan kepada ummat-Nya untuk selalu berhasil dalam perjuangannya (dakwahnya). Oleh karena itu, apabila di dalam menunaikan tugas memberikan penyuluhan agama mengalami beberapa hambatan dan cobaan hendaklah sabar dan tawakkal kepada-Nya (Allah swt), sesungguhnya orang yang sabar dan tawakkal adalah perbuatan yang disukai Allah swt. i)Memiliki jiwa tolerans; Tolerans yang dimaksud di sini adalah toleransi dalam artian penuh pengertian serta dalam hal yang positif (menguntungkan bagi dirinya maupun agamanya/orang lain. j) Sifat terbuka (demokratis);Seorang penyuluh agama (da’i) adalah manusia, yang mana manusia adalah makhluk yang jauh dari kesempurnaan, pabrik salah dan gudang lupa. Oleh karena itu, seorang penyuluh agama (da’i) agar penyuluhan agamanya (dakwah) berhasil diharuskan memiliki sifat terbuka. Artinya bila ada kritik dan saran hendaknya diterima dengan hati gembira, mengalami kesulitan sanggup memusyawarahkan dan tidak berpegang teguh kepada pendapat (ide)nya yang kurang baik. k) Tidak memiliki penyakit hati. Sombong dan dengki, ujub, iri dan sebagainya haruslah disingkirkan dalam hati sanubari seorang yang hendak melaksanakan kegiatan penyuluhan agama (dakwahnya). Sebab tanpa dibersihkan dari sifat itu tak mungkin orang tercapai tujuan dakwahnya. Oleh karena itu, Rasulullah saw, seorang da’I internasional, pembawa agama Islam di dunia, terlebih dahulu beliau dibersihkan oleh Allah swt dari kotoran-kotoran yang ada pada qolbunya. 2) Sikap Seorang Penyuluh Agama Islam. Sikap seorang penyuluh agama (da’i) sangat mendapatkan perhatian yang serius dari sasaran dakwahnya. Kebanyakan orang melihat sikap orangnya terlebih dahulu daripada melihat seruannya, walaupun dikatakan dalam hadits Rasulullah saw:

لاف نمرظنت لاو لافامرظنا

) .

ا

ثيدحل

(

Artinya: “Lihatlah apa yang dikatakan dan janganlah kamu melihat siapa (orang) yang mengatakan”. (Al-Hadits).Oleh karena itu keberhasilan penyuluhan agama seorang penyuluh agama (da’i) setidak-tidaknya memiliki sifat sebagai berikut: a) Berakhlaq mulia;Berbudi pekerti yang baik (akhlaqul karimah) syarat mutlak yang harus dimiliki oleh siapapun, apabila seseorang penyuluh agama (da’i). Bahkan Prof

(8)

Dr Hamka pernah mengatakan di dalam bukunya “Prinsip dan Kebijaksanaan Dakwah Islam hal. 153: Alat dakwah yang sangat utama ialah akhlak. Sebagaimana Rasulullah saw sendiri secara tegas bersabda:

قلاخلاا مراكم ممتلا تثعبامنا

) .

دمحا هاور

(

Artinya : “Sesungguhnya aku (Rasulullah) diutus (oleh Allah di dunia ini) tak lain hanyalah untuk menyempurnakan akhlak (budi pekerti) yang mulia”. (HR. Ahmad). Jadi, seorang penyuluh agama (da’i) dapat jaya (berhasil) jika ia memiliki akhlak yang mulia. Sebaliknya, jika ia berakhlak yang jelek, tunggulah kegagalannya; b) Hing ngarso sung tuladha, ing madya mbangun karsa, tutwuri handayani; Pendapat KH Dewantoro itu harus pula dimiliki seorang penyuluh agama Islam (da’i). Hing ngarso sung tuladha, artinya seorang penyuluh agama Islam (da’i) yang merupakan orang terkemuka di tengah-tengah masyarakat haruslah dapat menjadi tauladan yang baik bagi masyarakat. Bila amar ma’ruf (menyuruh orang untuk berbuat kebaikan) haruslah mendahului menjalankannya dan bila nahi munkar (melarang orang untuk tidak bermaksiyat) ia harus paling dulu untuk menjauhinya. (QS. Al-Ahzab, 33: 21). Hing madya mangun karsa, artinya bila di tengah-tengah massa, hendaknya dapat memberi semangat, agar mereka senantiasa mengerjakan, mengikuti segala seruannya. Dan Tut wuri handayani, artinya bila bertempat di belakang, mengikutinya, dengan memberi bimbingan-bimbingan agar lebih meningkat amalannya (keimanannya); c) Disiplin dan bijaksana;Acuh tak acuh adalah perbuatan yang sangat tidak disenangi oleh orang lain. Oleh karena itu, disiplin dalam artian luas sangat diperlukan oleh seorang penyuluh agama (da’i) dalam mengemban tugasnya sebagai penyuluh agama. Begitupun bijaksana dalam menjalankan tugasnya sangat berperanan di dalam mencapai keberhasilan dalam penyuluhan agama (dakwahnya); d) Wira’I dan berwibawa; Sikap yang wira’I menjauhkan perbuatan-perbuatan yang kurang berguna dan mengindahkan amal sholeh, salah satu hal yang dapat menimbulkan kewibawaan seorang penyuluh agama (da’i). Sebab kewibawaan merupakan faktor yang mempengaruhi seseorang akan percaya menerima seruannya; e) Tanggungjawab; Tanggungjawab menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatunya. Sehingga bertanggungjawab menurut kamus umum bahasa Indonesia adalah berkewajiban menanggung, memikul jawab, menanggung segala sesuatunya, atau memberikan jawab dan menanggung akibatnya. Tanggung jawab adalah kesadaran manusia akan tingkah laku atau perbuatannya yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Tanggungjawab juga berarti berbuat sebagai perwujudan kesadaran akan kewajibannya. Sebagai penyuluh agama harus punya rasa tanggungjawab terhadap diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa/Negara, dan terhadap Tuhan; f) Berpandangan yang luas; Seorang penyuluh agama Islam (da’i) dalam menentukan strategi dakwahnya sangat memerlukan pandangan yang jauh, tidak fanatik terhadap satu golongan saja dan waspada dalam menjalankan tugasnya. Sebab dengan sikap yang demikian tidak mungkin akan kekurangan cara (metode) untuk mengajak manusia ke jalan Allah swt. 3) Berpengetahuan yang cukup; Beberapa pengetahuan, kecakapan, dan

(9)

keterampilan tentang penyuluhan agama (dakwah), sangat menentukan corak strategi penyuluhan agama. Seorang penyuluh agama di dalam kepribadiannya harus pula dilengkapi dengan ilmu pengetahuan, agar pekerjaannya dapat mencapai hasil yang efektif dan efisien. Pengetahuan seorang penyuluh agama Islam (da’i) meliputi pengetahuan yang meliputi pengetahuan yang berhubungan dengan materi penyuluhan agama yang disampaikan dan ilmu-ilmu yang erat hubungannya dengan tehnik-tehnik (strategi dan metode) penyuluhan agama Islam.. (Asmuni Syukir, tt: 34-47).

b. Bersifat Jasmaniyah, meliputi: 1) Sehat Jasmani. Penyuluhan agama (dakwah) memerlukan akal yang sehat, sedangkan akal yang sehat terletak pada badan yangsehat atau kata Aristoteles, “men sana in corpore sano”. Oleh karena itu, seorang penyuluh agama (da’i) memerlukan persyaratan kesehatan jasmani. Sebernarnya aktifitas/kegiatan penyuluhan agama (dakwah) dapat juga dilakukan oleh seorang yang tidak sehat jasmaninya,akan tetapi bilamana seorang penyuluh agama (da’i) yang profesional yang melaksanakan kegiatan penyuluhan agama (dakwah) dengan sasaran yang berjumlah banyak, maka kesehatan jasmani masih pula diharuskan. Sebab kondisi badan yang tidak memungkinkan sedikit banyak akan mengurangi kegairahan dan keberhasilannya untuk melakukan aktifitas bimbingan dan atau penyuluhan agama (dahwah). 2) Berpakaian Necis. Pakaian laksana mahkota indah bagi setiap manusia. Pakaian yang sopan, praktis dan pantas maendorong pula rasa simpati seseorang kepada orang lain, bahkan dampak pakaian seperti itu enambah kewibawaanya. Bagi seorang penyuluh agama (da’i) masalah pakaian ini perlu juga harus mendapat perhatian yang serius, sebab pakaian yang dipergunakan menunjukkan kepribadiannya. Misalnya hobi pakaian yang kotor menunjukkan kepribadian seseorang yang kotor, pakaian selalu bersih dan rapi menunjukkan kepribadian yang bersih, dan sebagainya. Adapun yang dimaksud dengan pakaian yang necis dan pantas adalah pakaian yang serasi antara tempat, suasana, keadaan tubuhnya, dan bukan berarti pakaian yang serba baik, serba baru dan serba mahal, sekali lagi bukan itu yang dimaksud. Mengenai serasi dan tidaknya, hal ini memanglah sangat tergantung pada kepribadiannya masing-masing,dengan catatan masih dalam kalangan manusia pada umumnya. (Asmuni Syukir, tt: 47-48) Penutup

Penyuluhan Agama Islam (dakwah) adalah aktivitas yang sangat mulia, namun pekerjaan yang tidak ringan. Untuk itu, dalam menerapkan etika profesi sebagai penyuluh agama Islam, hendaknya memiliki bekal yang cukup dan menerapkan etika profesi dalam kehidupan sehari-hari.

Bekal-bekal yang harus dimiliki oleh aktivis penyuluh agama Islam, di antaranya: a) keimanan dan aqidah; b) ilmu dan tsaqafah; c) amal sampai tingkat kequdwahan; dan d) akhlak dan moral. Ilmu dan tsaqafah yang harus dimiliki oleh seorang penyuluh agama Islam: 1) tsaqafah ilmu syar’i, 2) tsaqafah ilmu modern/kontemporer dan fiqih realitas, dan 3) tsaqafah ilmu spesialisasi.

(10)

Disamping bekal yang harus dimiliki, sebagai penyuluh agama Islam juga harus menerapkan etika profesi baik yang bersifat rohaniyah maupun

jasmaniyah. Yang bersifat rohaniyah ini, meliputi: sifat-sifat, sikap, dan berpengetahuan yang cukup bagi seorang penyuluh agama Islam. Sedangkan yang bersifat jasmaniyah, meliputi: sehat jasmani dan berpakaian necis.

Sifat-sifat yang harus dimiliki oleh seorang penyuluh agama Islam ini, meliputi: a) Iman dan taqwa kepada Allah swt; b) Tulus ikhlas dan tidak mementingkan kepentingan diri pribadi; c) Ramah dan penuh pengertian; d) Tawadlu’ (rendah hati); e) Sederhana dan jujur; f) Tidak memiliki sifat egoisme; g) Sifat antusiasme (semangat); h) Sabar dan Tawakkal; i) Memiliki jiwa tolerans; j) Terbuka (demokratis); k) Tidak memiliki penyakit hati.

Sikap yang harus diterapkan oleh seorang penyuluh agama Islam, diantaranya adalah: a) Berakhlak mulia; b) Hing ngarso sung tuladha, ing madya mbangun karsa, tutwuri handayani; c) Disiplin dan bijaksana; d) Wira’I dan berwibawa; e) Tanggungjawab; dan f) Berpandangan yang luas.

DAFTAR PUSTAKA

Asmuni syukir, Dasar-dasar Strategi Dakwah Islam, Surabaya: al-iklas,1983, Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1991.

Ahmad, Amrullah Ed., Dakwah Islam dan Perubahan Sosial. Yogyakarta: PLP2M, 1985.

Achmad Mudlor, Etika Dalam Islam. Surabaya: Al-Ikhlas, tt.

Depertemen Agama RI, Pedoman Penyusunan Laporan Penyuluh Agama Islam (Panduan Tugas Penyuluh Agama Islam), Jakarta, Ditjen Bimas Islam dan Urusan Haji, Proyek Bimbingan dan Dakwah Agama Islam Pusat, 2001.

Depdikbud. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1990. Effendy, Onong Uchjana. Ilmu komunikasi: Teori dan Praktek, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000.

http://ukhtiblue.multiply.com/journal/item/21

http://Penamas Dramaga.blogspot.com, Strategi Penyuluh Agama Islam.12 Januari 2011.

Jalaluddin, Pengantar Ilmu Jiwa Agama, Jakarta, Kalam Mulia, 1993.

Keputusan Presiden Nomor 87 Tahun 1999 tentang Rumpun Jabatan Fungsional

Pegawai Negeri Sipil, 1999.

Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1994, tentang Pengangkatan Dalam Jabatan

Fungsional Pegawai Negeri Sipil, 1994.

Yayasan Penyelenggaraan Penerjemah/Penafsir al-Qur‟an, al-Qur’an dan

Terjemahannya,Lembaga Percetakan Raja Fahd, tt .

Ya’qub, Hamzah. Publisistik Islam, Teknik dakwah & Leadership. Bandung: CV. Diponegoro, 1992.

Referensi

Dokumen terkait