• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI. A. Psychological Well-Being. kehidupan berjalan dengan baik. Keadaan tersebut merupakan kombinasi dari

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI. A. Psychological Well-Being. kehidupan berjalan dengan baik. Keadaan tersebut merupakan kombinasi dari"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

13

A. Psychological Well-Being 1. Pengertian Psychological Well-being

Huppert mendefinisikan psychological well-being sebagai keadaan kehidupan berjalan dengan baik. Keadaan tersebut merupakan kombinasi dari perasaan yang baik dan berfungsi secara efektif. Individu tidak harus merasa baik sepanjang waktu, pengalaman emosi yang menyakitkan (misalnya kekecewaan, kegagalan, kesedihan) adalah bagian normal dari kehidupan. Kemampuan mengelola emosi negatif atau menyakitkan penting untuk kesejahteraan (being). Individu yang mempunyai psychological well-being tinggi akan merasa bahagia, bermanfaat dan puas dengan hidupnya (Huppert, 2009). Menurut Hurlock (2004), kebahagiaan merupakan bentuk keadaan sejahtera (well-being) dan kepuasan hati, yaitu kepuasan yang diperoleh apabila kebutuhan dan harapan individu terpenuhi.

Menurut Keyes, dkk (2002), psychological well-being merupakan gambaran dari cara individu dalam menghadapi tantangan sepanjang hidup. Jadi, psychological well-being tidak hanya sebatas kepuasan hidup, kebahagiaan dan keseimbangan antara afek negatif dan afek positif semata, tapi juga melibatkan persepsi mengenai tantangan-tantangan yang dihadapi sepanjang hidup. Di sisi lain, Sumule (2008) mengungkapkan psychological well-being sebagai perspektif eudaimonik dari kesejahteraan mental yang

(2)

berfokus pada pemfungsian psikologis dan kesadaran diri (self-realization) dan mengukur sejauh apa seorang individu melihat dirinya dalam usaha-usaha pemenuhan dan pengembangan aspirasi dirinya. Menurut Ryff & Singer (2008), self-realization terhadap potensi yang sebenarnya dimiliki ini merupakan gambaran untuk mencapai psychological well-being.

Sementara Ryff (1989a) mengemukakan bahwa psychological well-being merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan suatu kondisi kesehatan psikologis individu berdasarkan pemenuhan kriteria fungsi psikologi positive (positive psychological functioning). Ryff (1989a) menjelaskan bahwa individu yang mencapai positive psychological functioning, mempunyai ciri dapat menerima segala kelebihan dan kekurangannya (self-acceptance), mengembangkan potensi diri secara berkelanjutan (personal growth), memiliki tujuan hidup dan menemukan kebermaknaan hidup (purpose in life), membangun hubungan positif dengan orang lain (positive relations with others), mampu mengatur lingkungan secara efektif sesuai dengan kebutuhannya (environmental mastery), serta memiliki kemampuan dalam menentukan tindakan sendiri (autonomy). Oleh karena itu, tingkat psychological well-being seseorang berkaitan dengan tingkat pemfungsian positif yang terjadi dalam hidup orang tersebut. Dengan kata lain, psychological well-being berkaitan dengan positive psychological functioning atau kemampuan berfungsi secara psikologis dalam menjalani hidup. Psychological well-being dapat menjadikan gambaran mengenai level yang tertinggi dari fungsi individu sebagai manusia dan apa yang

(3)

diidam-idamkannya sebagai makhluk yang memiliki tujuan dan akan berjuang untuk tujuan hidupnya (Synder dkk, 2011).

Liwarti (2013) menambahkan bahwa individu dengan psychological well-being yang baik akan memiliki kemampuan untuk memilih dan menciptakan lingkungan sesuai dengan kondisi dirinya. Individu akan dimampukan untuk menghadapi kejadian-kejadian di luar dirinya. Sehingga dalam prosesnya individu dapat menerima kekuatan dan kelemahan diri sendiri sebagaimana adanya, memiliki hubungan positif dengan orang lain dan mampu mengarahkan perilakunya sendiri. Secara lebih sederhana, Snyder, dkk (2011) merumuskan bahwa kebahagiaan yang disertai kebermaknaan di dalamnya menimbulkan kesejahteraan.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa psychological well-being mengacu pada keadaan dimana individu mampu menghadapi kejadian-kejadian di luar dirinya dengan menjalankan fungsi psikologi positif yang ada di dalam dirinya, sehingga individu merasakan kebahagiaan yang disertai kebermaknaan dalam hidupnya.

2. Aspek-aspek Psychological Well-being

Psychological well-being memiliki enam dimensi yang harus dimiliki individu agar dapat menghadapi tantangan-tantangan yang dihadapi sehingga dapat berfungsi secara penuh dan positif (Ryff; 1989, 1989a, 1995). Dimensi-dimensi tersebut adalah:

(4)

a. Penerimaan diri (self acceptance)

Merupakan ciri utama dari kesehatan mental serta karakteristik dari aktualisasi diri, pemfungsian individu secara optimal, dan kematangan. Penerimaan diri melibatkan berbagai bagian dari diri sendiri untuk mengenal dirinya, maskulin atau feminin, baik atau buruk. Selain itu, penerimaan diri menekankan tentang sikap individu terhadap diri sendiri dan kehidupannya di masa lalu beserta keberhasilan dan kekecewaan yang menyertainya. Artinya individu mampu memandang kekurangan dan kelebihan dengan segala batasan-batasan yang dimiliki dirinya. Individu yang mampu menerima dirinya dengan baik memiliki sikap positif baik terhadap diri sendiri maupun terhadap kehidupannya di masa lalu serta mengetahui dan menerima segala kelebihan maupun kekurangan dalam diri. Sebaliknya, individu yang memiliki penerimaan diri yang kurang baik memiliki perasaan tidak puas terhadap diri sendiri dan kehidupan masa lalu. Dengan demikian, penerimaan diri adalah sikap atau evaluasi positif diri sendiri terhadap masa lalunya.

b. Hubungan positif dengan orang lain (positive relations with others)

Merupakan kemampuan individu dalam membina hubungan yang baik dengan orang lain, yaitu individu yang memiliki hubungan yang hangat atau intim dengan orang lain, mampu membangun kepercayaan dalam suatu hubungan, memiliki rasa empati serta perhatian terhadap orang lain. Memiliki hubungan yang intim dengan orang lain merupakan salah satu kriteria kematangan. Baik dengan lawan jenis, anggota keluarga, maupun

(5)

teman, hal tersebut sebagai bentuk kasih sayang, hormat, dan penghargaan terhadap orang lain. Dengan demikian, untuk menjadi sehat secara mental orang dari segala usia perlu kemampuan untuk menanggapi orang lain, mencintai, dicintai, dan mempunyai hubungan memberi dan menerima. Individu perlu memiliki hubungan yang berkualitas dengan orang lain. c. Kemandirian (autonomy)

Dimensi otonomi mencerminkan kemandirian, kemerdekaan, dan kemampuan untuk menentukan tindakan sendiri. Individu digambarkan memiliki kebebasan dalam menentukan nasibnya sendiri. Ciri-ciri individu yang menunjukkan terpenuhinya dimensi otonomi adalah mandiri serta tidak terbebani oleh tekanan sosial dalam berpikir dan bertingkah laku. d. Penguasaan lingkungan (environmental mastery)

Kapasitas untuk mengelola secara efektif hidup dan lingkungan seseorang sesuai dengan keinginan atau kebutuhannya didefinisikan sebagai penguasaan lingkungan. Dimensi ini menekankan kemampuan seseorang untuk maju di lingkungannya dengan caranya sendiri. Individu yang sukses dalam penguasaan lingkungan dapat memilih dan menciptakan lingkungan yang sesuai dengan nilai-nilai pribadinya serta mengambil keuntungan dari lingkungan. Sebaliknya, individu yang kurang dapat menguasai lingkungannya adalah individu yang kesulitan dalam mengatur lingkungan sesuai dengan nilai pribadi yang diyakininya serta tidak peka terhadap peluang-peluang yang ada lingkungannya.

(6)

e. Tujuan dalam hidup (purpose in life)

Tujuan hidup berbicara tentang kehidupan yang berarti sebagai tujuan orang yang berfungsi penuh; orang tersebut ingin berfungsi sepenuhnya setiap saat. Individu yang memiliki perasaan bahwa hidupnya berarti adalah individu yang mempunyai target, cita-cita, atau saran yang jelas dan merasa bahwa baik kehidupannya di masa lalu maupun kini adalah kehidupan yang berarti. Individu yang tidak mempunyai target yang ingin dicapai dan tidak melihat adanya makna dalam hidupnya adalah individu yang tidak merasakan adanya kebermaknaan hidup.

f. Pertumbuhan pribadi (personal growth)

Aspek pertumbuhan pribadi menjelaskan mengenai kemampuan individu untuk mengembangkan potensi dalam diri dan berkembang terhadap pengalaman-pengalaman baru. Individu yang memiliki pertumbuhan pribadi yang baik mempunyai kemampuan untuk beradaptasi dengan lingkungan, peka terhadap lingkungan, terbuka terhadap pengalaman, dan menyadari potensi yang dimilikinya serta terus mengembangkan diri ke arah positif.

Hurlock (2004) mengemukakan pendapat mengenai esensi keadaan sejahtera yang ada di dalam diri individu, sebagai berikut:

a. Menerima (acceptance)

Kebahagiaan yang dialami oleh seorang individu tergantung dari sikap menerima dan menikmati apa yang dimilikinya.

(7)

b. Kasih sayang (affection)

Kasih sayang merupakan hasil dari sikap diterima oleh orang lain. Individu yang kurang mendapat kasih sayang akan mempengaruhi kebahagiaan. c. Prestasi (achievement)

Tercapainya tujuan yang diinginkan, merupakan suatu prestasi bagi individu. Apabila tujuan tidak tercapai, maka akan timbul ketidakbahagiaan pada individu.

Berdasarkan beberapa uraian aspek di atas, penulis menggunakan aspek yang menyusun psychological well-being yang dikemukakan oleh Ryff (1989a), meliputi penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, kemandirian, penguasaan lingkungan, tujuan dalam hidup, dan pertumbuhan pribadi. Hal ini dikarenakan aspek yang dikemukakan oleh Ryff (1989a) telah banyak digunakan dalam berbagai penelitian di seluruh dunia.

3. Faktor-Faktor Psychological Well-Being

Ryff (1995) mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi psychological well-being adalah:

a. Usia

Individu dengan usia setengah baya (30-64 tahun), memiliki psychological well-being yang lebih tinggi pada beberapa aspek, seperti, kemandirian dan penguasaan lingkungan. Namun, aspek tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi pada individu usia setengah baya rendah.

(8)

b. Jenis kelamin

Dalam beberapa aspek psychological well-being, seperti hubungan positif dengan orang lain dan pertumbuhan pribadi, perempuan memiliki psychological well-being lebih tinggi dibandingkan laki-laki.

c. Budaya

Individu dengan latar budaya Timur menunjukkan nilai yang tinggi pada aspek hubungan positif dengan lain dan nilai yang rendah pada aspek penerimaan diri dan pertumbuhan pribadi. Sedangkan pada individu dengan budaya Barat aspek pertumbuhan pribadi memiliki nilai yang tinggi, khususnya pada perempuan, dan nilai yang rendah pada aspek otonomi. d. Status pernikahan

Individu yang berpisah atau bercerai memiliki psychological well-being lebih rendah pada aspek penerimaan diri dan hubungan positif dengan orang lain dibandingkan dengan mereka yang menikah. Sedangkan perempuan yang menjanda menunjukkan tingkat psychological well-being yang lebih rendah pada aspek tujuan hidup dan penerimaan diri dibandingkan bagi mereka yang menikah. Individu yang tidak pernah menikah, menunjukkan tingkat yang lebih tinggi pada aspek pertumbuhan pribadi, namun bersamaan dengan hal tersebut juga menunjukkan tingkat yang lebih rendah pada aspek penerimaan diri dan hubungan positif dengan orang lain dibandingkan mereka yang menikah (Ryff & Singer, 2006).

(9)

e. Pengalaman hidup

Pengalaman hidup yang dialami individu yang bervariasi digunakan untuk mencoba mengerti penyebab pengalaman yang dialami dan megambil makna yang relatif penting dari beberapa pengalaman hidup yang dialami individu lain.

f. Kelas sosial

Individu yang memiliki pendidikan yang tinggi, pekerjaan yang baik dengan pendapatan yang tinggi memiliki psychological well-being yang tinggi daripada individu yang pendidikannya dan pendapatannya rendah.

Secara lebih luas, Ryff & Singer (2006) menambahkan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi psychological well-being. Menurutnya ada 5 faktor lagi yang dapat mempengaruhi psychological well-beingindividu antara lain: a. Tujuan pribadi (personal goals)

Tujuan yang saling menguntungkan secara positif berkorelasi dengan kesejahteraan, tergantung dalam keterlibatan dalam mengejar tujuan.

b. Kepribadian

Kepribadian extraversion dan neurotisisme secara signifikan mampu memprediksi kesejahteraan psikologis 20 tahun kemudian (Singh, dkk., 2012).

c. Kondisi masa lalu seseorang

Laki-laki dewasa yang kehilangan orangtua baik karena kematian maupun perceraian, memiliki hubungan positif dengan orang lain, penerimaan diri,

(10)

dan penguasaan lingkungan yang rendah, namun otonomi yang lebih tinggi daripada pada wanita dewasa.

d. Citra Tubuh

Untuk citra tubuh, terdapat korelasi yang signifikan dengan semua aspek psychological well-being. Keyakinan tentang citra tubuh secara signifikan berhubungan dengan otonomi, penguasaan lingkungan, dan tujuan hidup untuk anak perempuan, tapi untuk ibu, hanya untuk pertumbuhan pribadi dan tujuan dalam hidup.

e. Spiritualitas

Pada individu usia dewasa akhir, spiritualitas memiliki korelasi yang signifikan pada beberapa aspek psychological well-being, seperti pertumbuhan pribadi dan hubungan positif dengan orang lain.

Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi psychological well-being, meliputi usia, jenis kelamin, budaya, status pernikahan, pengalaman hidup, kelas sosial, tujuan pribadi, kepribadian, kondisi masa lalu seseorang, citra tubuh, spiritualitas.

B. Efikasi Diri 1. Pengertian Efikasi Diri

Stajkovic dan Luthans (dalam Luthans, et al, 2004) menggambarkan efikasi diri sebagai keyakinan tentang kemampuan individu untuk mengerahkan motivasi, sumber daya kognitif, dan tindakan yang diperlukan untuk berhasil melaksanakan tugas tertentu dalam konteks tertentu. Efikasi diri

(11)

berkaitan dengan keyakinan individu tentang kemampuan mereka untuk menghasilkan suatu karya yang mempunyai pengaruh atas peristiwa dalam kehidupan mereka. Luthans, Youssef & Avolio (2007) mendefinisikan efikasi diri sebagai kepercayaan diri individu untuk memilih dan mengerahkan upaya yang diperlukan agar berhasil pada tugas-tugas yang menantang.

Efikasi diri menentukan bagaimana orang merasa, berpikir, memotivasi diri dan berperilaku. Lebih jelas, efikasi diri diartikan sejauh mana individu menilai kemampuan, potensi, dan kecenderungan yang ada pada dirinya yang dipadukan menjadi tindakan tertentu untuk mengatasi situasi yang akan datang. Efikasi diri digambarkan sebagai landasan dari motivasi individu, kesejahteraan, dan prestasi pribadi. Motivasi memungkinkan individu untuk bertindak melakukan perubahan. Tanpa kemampuan tersebut, individu akan mempunyai keinginan yang kecil dalam menghadapi tantangan. Semakin tinggi efikasi diri individu, semakin tinggi tujuan mereka dan mereka akan lebih berkomitmen dalam mencapai tujuan tersebut (Bandura, 1997).

Individu dengan efikasi diri tinggi mempunyai beberapa karakteristik, antara lain: dapat menetapkan target yang tinggi untuk diri sendiri dan secara sadar memilih tugas yang sulit, menyukai dan mengembangkan diri dengan adanya tantangan, memiliki motivasi yang tinggi, mengerahkan usaha yang diperlukan untuk mencapai tujuan, serta gigih dalam menghadapi kesulitan (Luthans, Youssef, & Avolio, 2007). Di lain pihak, individu dengan efikasi diri rendah melihat masalah, kekhawatiran, dan berpikir dalam hal kegagalan atau tidak mampu melakukan pekerjaan dengan mutu yang tinggi.

(12)

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa efikasi diri merupakan keyakinan tentang kemampuan diri sendiri untuk memilih dan mengerahkan upaya yang diperlukan agar berhasil pada tugas-tugas yang menantang atau menghasilkan suatu karya yang mempunyai pengaruh atas peristiwa dalam kehidupan mereka.

2. Aspek-aspek Efikasi Diri

Bandura (1977) mengemukakan ada tiga aspek yang menyusun efikasi diri, antara lain:

a. Magnitude

Berkaitan dengan tingkat kesulitan tugas yang dilakukan. Yaitu sejauh mana individu dapat menentukan tingkat kesulitan pekerjaan yang mampu dilaksanakannya. Individu yang mempunyai magnitude yang tinggi adalah individu yang dapat membuat target yang menantang, yakin dapat melakukan pekerjaan dengan baik sekalipun sulit, mengetahui minat dan kemampuannya sehingga dapat memilih pekerjaan yang sesuai.

b. Generality

Berkaitan dengan luas bidang tugas yang dihadapi. Sejauh mana individu mampu menggeneralisasikan tugas-tugas dan pengalaman-pengalaman sebelumnya serta keyakinan akan kemampuannya dalam berbagai situasi tugas, mulai dari melakukan suatu aktivitas dalam situasi tertentu hingga dalam serangkaian tugas dalam situasi yang bervariasi. Individu yang mempunyai generality yang tinggi adalah individu yang dapat menjadikan

(13)

pengalaman menjadi suatu pelajaran dan jalan menuju sukses, serta mampu menyikapi situasi dengan baik.

c. Strength

Berkaitan dengan kekuatan dan keyakinan individu mengenai kemampuan yang dimiliki. Individu yang mempunyai kepercayaan yang kuat dalam kemampuan mereka akan tekun dalam usahanya meskipun banyak sekali kesulitan dan halangan. Individu yang mempunyai strength yang tinggi adalah individu yang mempunyai keyakinan dalam melakukan tugas, tenang dalam menghadapi tugas yang sulit, tidak menyerah meskipun gagal, dan mempunyai ketekunan dalam mencapai tujuan.

Baron dan Byrne (2003) menyatakan terdapat tiga aspek efikasi diri, yaitu: efikasi diri akademis, efikasi diri sosial, serta regulator diri dan efikasi diri.

a. Efikasi diri akademis

Kemampuan untuk melakukan tugas-tugas, mengatur kegitan belajar mereka sendiri, dan hidup dengan harapan akademis mereka sendiri dan orang lain. b. Efikasi diri sosial

Kemampuan dan keyakinan untuk membentuk dan mempertahankan hubungan, asertif, dan terlibat dalam aktivitas di waktu senggang.

c. Regulator diri dan efikasi diri

Kemampuan untuk menolak tekanan teman sebaya dan mencegah kegiatan yang berisiko tinggi.

(14)

Berdasarkan beberapa rumusan aspek efikasi diri di atas, yang akan digunakan dalam penyusunan alat ukur efikasi diri pada penelitian ini adalah aspek yang dikemukakan oleh Bandura (1977), yaitu: magnitude, generality, dan strength. Pertimbangan pemilihan aspek yang dikemukakan oleh Bandura karena telah banyak digunakan di berbagai penelitian.

C. Optimisme 1. Pengertian Optimisme

Optimisme adalah salah satu faktor dalam psikologi positif yang terbukti dapat mempengaruhi kehidupan individu. Chang, dkk. (1997) mendefinisikan optimisme dan pesimisme secara umum sebagai pandangan positif atau negative dalam memandang kehidupan. Seligman (2006) menyatakan optimisme sebagai suatu pandangan secara menyeluruh, melihat hal baik, berpikir positif, dan mudah memberikan makna bagi diri sendiri.

Individu yang optimis adalah individu yang mengharapkan hal-hal baik terjadi kepada mereka, sedangkan individu yang pesimis adalah individu yang mengharapkan hal-hal buruk terjadi kepada mereka (Carver & Scheier, 2002). Johnson (2005) merangkum bahwa individu yang optimis menjelaskan peristiwa negatif bersifat eksternal, sementara dan spesifik. Serta menjelaskan peristiwa positif bersifat internal, stabil dan global. Misalnya, ketika dihadapkan dengan keberhasilan, individu optimis berpikir bahwa itu semua karena usaha mereka, dan hal tersebut akan bertahan selamanya, serta akan mempengaruhi semua bidang kehidupan mereka.

(15)

Seligman (2006) mengutarakan ciri utama individu pesimis adalah individu yang cenderung percaya peristiwa buruk akan bertahan lama, akan merusak segala sesuatu yang mereka lakukan, dan kesalahan mereka sendiri. Individu optimis, berpikir tentang peristiwa buruk dengan cara yang berlawanan. Mereka cenderung percaya kekalahan (peristiwa buruk) hanyalah kemunduran sementara, dan terbatas pada hal tertentu. Individu optimis meyakini bahwa kekalahan bukan kesalahan mereka, seperti keadaan, nasib buruk. Sedangkan, individu pesimis terpengaruh oleh kekalahan, namun individu yang optimis menganggapnya sebagai tantangan dan berusaha lebih keras.

Brash & Cranston (dalam Bissessar, 2014) mengandaikan optimisme sebagai bahan bakar yang memberikan energi individu dan mendorong individu untuk mencapai tingkat keberhasilan yang lebih tinggi. Individu yang memiliki optimisme tinggi mampu menginternalisasi kejadian positif dalam dirinya. Carver & Scheier (2002) mengungkap bahwa individu yang memiliki gaya yang lebih optimis mengungguli orang-orang dengan gaya pesimis. Harapan dan optimisme saling berkaitan. Optimisme adalah harapan bahwa semua akan berjalan dengan baik, sedangkan harapan berarti berjuang menuju tujuan. Sikap optimis akan membantu menentukan masa depan individu karena optimisme memelihara harapan positif untuk masa depan. Optimisme membantu individu dalam mengatasi tantangan yang muncul dalam rangka mencapai tujuan.

(16)

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa optimisme merupakan suatu keyakinan secara utuh bahwa akan terjadi sesuatu yang baik dan menjelaskan bahwa peristiwa negative yang dialami bersifat eksternal, sementara dan spesifik, sedangkan peristiwa positif bersifat internal, stabil dan global. Individu optimis yakin bahwa nasib buruk yang dialami bukan kesalahan mereka dan menganggap masalah sebagai tantangan untuk berusaha lebih keras.

2. Aspek-aspek Optimisme

Aspek-aspek optimisme yang dikemukakan oleh Seligman (2006) adalah sebagai berikut:

a. Permanence

Merupakan gaya penjelasan masalah yang berkaitan dengan waktu, yaitu temporer dan permanen. Orang yang pesimis akan menjelaskan kegagalan atau kejadian yang menekan dengan cara menghadapi peristiwa yang tidak menyenangkan dengan kata-kata "selalu", dan "tidak pernah", sebaliknya orang yang optimis akan melihat peristiwa yang tidak menyenangkan sebagai sesuatu yang terjadi secara temporer, yang terjadi dengan kata-kata "kadang-kadang", dan melihat sesuatu yang menyenangkan sebagai sesuatu yang permanen atau tetap.

b. Pervasiveness

Gaya penjelasan yang berkaitan dengan dimensi ruang lingkup, dibedakan menjadi spesifik dan universal. Orang yang pesimis akan mengungkap pola pikir dalam menghadapi peristiwa yang tidak menyenangkan dengan cara

(17)

universal, sedangkan memandang peristiwa menyenangkan disebabkan oleh faktor-faktor tertentu (spesifik). Dalam menghadapi peristiwa yang menyenangkan, orang yang optimis melihatnya secara universal atau keseluruhan, sedangkan dalam menghadapi peristiwa yang tidak menyenangkan, orang yang optimis akan membuat penjelasan spesifik dari peristiwa tersebut.

c. Personalization

Gaya penjelasan yang berkaitan dengan sumber penyebab, intenal dan eksternal. Orang yang optimis memandang masalah-masalah yang menekan dari sisi masalah lingkungan (eksternal) dan memandang peristiwa yang menyenangkan berasal dari dalam dirinya (internal). Sebaliknya, orang yang pesimis memandang masalah-masalah yang menekan bersumber dan dalam dirinya (internal) dan menganggap keberhasilan sebagai akibat dari situasi diluar dirinya (eksternal)

Berdasarkan uraian aspek optimisme di atas, dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek optimisme adalah permanence (berkaitan dengan waktu), pervasiveness (berkaitan dengan ruang lingkup atau situasi), dan personalization (berkaitan dengan sumber penyebab).

D. Harapan 1. Pengertian Harapan

Snyder (2005) memandang harapan sebagai kapasitas untuk mengembangkan tujuan yang diinginkan, dengan cara menemukan rute menuju

(18)

tujuan (pathways thinking), dan menjadi termotivasi untuk menggunakan rute tersebut (agency thinking). Tujuan adalah objek, pengalaman, atau hasil yang dibayangkan dan keinginan dalam pikiran individu. Tujuan yang dicapai bisa tujuan jangka panjang (membutuhkan waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun untuk mencapainya) maupun jangka pendek (hanya membutuhkan beberapa menit atau detik untuk mencapai). Jika tujuan individu segera dan pasti akan tercapai maka tidak akan melibatkan banyak harapan (Carver & Scheir, 2002). Ketika harapan tinggi, tujuan spesifik dan realistis, strategi banyak dan terstruktur, serta motivasi tinggi bahkan dalam menghadapi kesulitan dan hambatan. Namun sebaliknya, ketika harapan rendah, tujuan tidak spesifik dan tidak realistis, strategi berkualitas rendah dan sedikit, serta motivasi rendah.

Thomas Aquinas (dalam O’Hara, 2013) berpendapat bahwa harapan mengandaikan keinginan, yang berarti bahwa individu hanya berharap apa yang dia inginkan. Ia merumuskan bahwa harapan harus memenuhi empat syarat, yaitu: (1) harapan harus untuk sesuatu yang baik, (2) objek harapan harus berada di masa depan, (3) objek harapan harus menjadi sesuatu yang sulit dan tidak mudah dicapai, dan (4) harapan harus menjadi sesuatu yang mungkin untuk dicapai.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa harapan merupakan kapasitas yang ada di dalam diri individu untuk mencapai tujuan atau keinginan yang baik di masa depan, baik jangka panjang maupun jangka

(19)

pendek, yang kemudian direalisasikan dengan cara mencari jalan menuju tujuan tersebut.

2. Aspek-aspek Harapan

Dari definisi yang dikemukakan oleh Snyder, dapat diketahui aspek-aspek yang terdapat dalam harapan (Snyder, 2000), yaitu:

a. Pathways

Jalur menuju tujuan yang diharapkan benar-benar penting untuk kesuksesan. Pathways thinking (jalur pemikiran) diharapkan mampu mengarahkan ke tujuan. Ketika tujuan individu jelas, individu menganganggap diri mereka mampu mencapai tujuan tersebut. Jadi, pathways adalah kemampuan individu untuk menghasilkan rute atau jalur yang bisa diterapkan untuk tujuan yang diinginkan. Jalur yang dihasilkan oleh individu tidak hanya satu, kadang lebih dari itu. Individu dengan harapan tinggi namun mengalami hambatan dalam mencapai tujuannya, biasanya memiliki jalur yang lebih dari satu.

b. Agency

Agency adalah komponen motivasi yang mendorong individu untuk tetap berjalan mencapai tujuan yang diinginkan pada jalur yang sudah ditetapkan sekalipun ada tantangan atau hambatan. Individu dengan harapan tinggi, adalah individu yang mampu menyemangati dirinya sendiri sekalipun ada hambatan, misalnya: “Saya dapat melakukan ini” atau “Saya tidak akan berhenti.” Agency penting untuk mencapai tujuan, karena dapat memotivasi individu untuk tetap berada di jalur terbaik sekalipun ada hambatan.

(20)

Dapat diketahui bahwa aspek harapan yang digunakan oleh peneliti merupakan aspek yang dirumuskan oleh Snyder, yaitu: pathways dan agency. Pertimbangan menggunakan aspek ini adalah karena Lopez & Snyder (2011) menyatakan bahwa telah dilakukan berbagai penelitian dengan menggunakan kedua aspek tersebut. Selain itu dalam pengukuran psychological capital yang dilakukan oleh Luthans, Youssef, & Avolio (2007), aspek yang digunakan dalam menyusun skala harapan adalah aspek yang dirumuskan oleh Snyder (2000).

E. Hubungan Antar Variabel

1. Hubungan antara Efikasi Diri, Optimisme, dan Harapan dengan Psychological Well-Being

Loretto, dkk (2005) menjelaskan bahwa psychological well-being seseorang dapat dipengaruhi oleh serangkaian faktor, seperti faktor pribadi, lingkungan, dan pekerjaan. Menurut Page (2005), terpenuhinya faktor dari dalam individu lebih menggambarkan kesejahteraan. Locke & Latham (2004) mengungkapkan daripada mengubah faktor eksternal seperti gaji atau lingkungan kerja, organisasi dapat memperkaya isi dari pekerjaan itu sendiri, seperti peluang untuk berprestasi dan pengakuan. Hasilnya, karyawan dapat termotivasi dan fokus bekerja sehingga lebih produktif.

Perusahaan atau organisasi berlomba memiliki pekerja yang berkualitas, sehingga banyak penelitian yang berfokus pada tiga hal, yaitu menyembuhkan mental illness, membantu seseorang untuk menjadi lebih bahagia dan produktif, serta mengaktualisasikan potensi yang dimilikinya (Luthans, Avolio,

(21)

Avey, & Norman, 2007). Cole (2007) menemukan bahwa efikasi diri, optimisme, dan harapan berpengaruh terhadap status pekerjaan dan kesejahteraan seseorang. Individu dengan efikasi diri, optimisme, dan harapan yang tinggi akan menjadi lebih fleksibel dan adaptif dalam bertindak memenuhi tuntutan, sehingga dapat memunculkan atau meningkatkan kompetensi dalam diri individu. Dengan begitu individu mampu mencapai tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi dengan lebih mudah. Apabila efikasi diri, optimisme, dan harapan ada pada setiap individu, individu mampu untuk mengambil perspektif berbeda, penilaian situasi dan kondisi yang lebih positif, dan dengan cara yang lebih adaptif, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan (Avey, Luthans, Smith, & Palmer, 2010).

Efikasi diri, optimisme, dan harapan secara bersama-sama mendorong potensi individu untuk mengambil perspektif yang berbeda, penilaian situasi dan kondisi sebagai sesuatu yang lebih positif, oportunistik, dan dengan cara yang lebih adaptif, yang kemudian dapat meningkatkan kesejahteraan (Avey, Luthans, Smith, & Palmer, 2010).

2. Hubungan antara Efikasi Diri dengan Psychological Well-Being

Bandura menyatakan bahwa efikasi diri memengaruhi individu dalam membuat keputusan, menekuni sesuatu dan terlibat dalam pekerjaan sehari-hari. Guru sebagai salah satu profesi yang banyak ditekuni, sangat penting untuk memiliki efikasi diri. Efikasi diri guru secara khusus telah didefinisikan oleh Guskey & Passaro (dalam Kress, 2007) sebagai sejauh mana keyakinan

(22)

guru dalam memengaruhi siswa dalam belajar, bahkan siswa yang sulit belajar atau tidak termotivasi dalam belajar.

Efikasi diri guru berhubungan dengan tindakan mereka di dalam kelas. Guru yang memiliki efikasi diri tinggi sangat antusias dalam mengajar. Bandura (1997) menyatakan bahwa individu dengan efikasi diri tinggi mempunyai keyakinan bahwa mereka dapat mengubah lingkungan melalui tindakan mereka dan memiliki kontrol atas apa yang terjadi dalam hidup mereka. Guru dengan efikasi diri tinggi dapat menangani stress yang mereka hadapi setiap hari karena mereka percaya bahwa mereka memiliki kemampuan untuk membawa perubahan pada siswa yang sulit belajar atau tidak termotivasi dalam belajar. Sehingga dapat disimpulkan, individu dengan efikasi diri tinggi, lebih percaya diri, tegas, memiliki aspirasi tinggi, dan memiliki komitmen yang kuat dalam mengejar tujuan mereka.

Individu dengan efikasi diri tinggi melihat tantangan sebagai masalah yang harus dipecahkan, sangat menikmati hidup dan yakin dengan segala kemampuan yang dimiliki untuk menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi. Efikasi diri memiliki hubungan positif dengan psychological well-being. Hal ini dipertegas oleh hasil penelitian Sarumpaet dan Alsa (2014) menunjukkan bahwa efikasi diri memiliki kontribusi terhadap psychological well-being pada guru PNS sebesar 21,7%. Lebih lanjut, Mehdinezhad (2012) mengungkapkan bahwa efikasi diri yang dimiliki guru dapat meningkatkan kesejahteraan mereka. Guru yang memiliki kesejahteraan tinggi, juga memiliki keberhasilan yang tinggi.

(23)

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Etemadi, dkk (2015) terhadap guru didapatkan hubungan yang signifikan antara efikasi diri dan psychological well-being guru laki-laki di Sekolah Dasar. Selanjutnya dijelaskan bahwa efikasi diri yang dimiliki oleh guru memiliki dampak penting bagi pendidikan. Kress (2007) mengungkapkan bahwa psychological well-being merupakan variabel moderat antara efikasi diri guru dan tingkat burnout. Guru dengan efikasi diri tinggi memiliki psychological well-being yang baik mampu mengatasi anak yang sulit belajar atau tidak termotivasi dalam belajar. Sebaliknya, apabila guru tidak memiliki efikasi diri yang tinggi maka guru akan mengalami burnout.

3. Hubungan antara Optimisme dengan Psychological Well-Being

Optimisme merupakan suatu cara individu dalam membuat atribusi positif tentang sukses sekarang dan di masa depan (Luthans, dkk, 2004). Penelitian yang dilakukan oleh Singh & Mansi (2009) memberikan hasil bahwa individu yang memiliki optimisme tinggi dapat menyesuaikan diri dengan lebih baik dalam kehidupan yang penuh dengan peristiwa yang menimbulkan stress. Individu dengan optimisme tinggi lebih mengalami kepuasan hidup dan tidak mudah merasa cemas maupun depresi. Selain itu, menjadi lebih berorientasi pada setiap tugas dalam hidup mereka, merasa mudah dalam mengambil keputusan, dan mengambil solusi yang lebih baik dalam masalah kehidupan, memiliki kualitas hidup yang lebih tinggi dan memiliki risiko yang lebih rendah dari semua penyebab kematian juga merupakan ciri dari individu yang memiliki optimisme tinggi (Powers & Bendall, 2004).

(24)

Menurut Carver & Scheier (2002) individu yang optimis mampu mempertahan psychological well-being selama masa stress dibanding dengan individu yang pesimis. Individu optimis cenderung mengambil tindakan langsung dalam memecahkan masalah dan lebih terencana dalam mengatasi kesulitan. Sebaliknya, individu pesimis cenderung menghindar dan bereaksi menolak ketika menghadapi situasi yang penuh tekanan. Individu yang optimis dalam hidup akan menjadi individu yang waspada dan tanggap terhadap pengaruh-pengaruh yang bertentangan dengan diri dan norma lingkungan. Hal ini berdampak pada meningkatnya psychological well-being. Penelitian yang dilakukan oleh Conversano, dkk (2010) menunjukkan bahwa optimisme memiliki dampak terhadap kesejahteraan (well-being) dan kualitas hidup.

Psychological well-being tidak terlepas dari sikap optimis yang dimiliki individu. Individu yang optimis lebih percaya diri, nyaman, ekspresif dan memandang dunia lebih positif. Psychological well-being individu dapat diperoleh apabila individu memiliki semangat yang tinggi dalam mewujudkan masa depan yang baik. Individu dengan pola pikir optimis dalam hidupnya akan memiliki kepercayaan diri dalam melaksanakan pekerjaan sehari-hari sehingga cenderung lebih bahagia dalam menjalani kehidupan.

Mittal & Mathur (2011) menekankan bahwa optimisme dapat meningkatkan psychological well-being bagi professional. Salah satu pekerjaan yang professional adalah guru. Oleh karena itu, guru harus merasa yakin bahwa dirinya dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan sehingga muncul semangat dan motivasi untuk mencapainya. Guru perlu memiliki pandangan

(25)

positif terhadap dirinya sendiri dan menggunakan pendekatan yang positif untuk mengelola perilaku di kelas. Sehingga, secara umum guru dapat mendorong optimisme siswa dengan memberikan atribusi terkait dengan keberhasilan-keberhasilan atau kegagalan-kegagalan yang dialami siswa di kelas (Aulia, 2015).

4. Hubungan antara Harapan dengan Psychological Well-Being

Snyder (2000) mendefinisikan harapan sebagai kapasitas yang dimiliki individu untuk menghasilkan jalan menuju tujuan yang diinginkan (pathways), disertai motivasi yang dirasakan untuk berhasil melalui jalan yang ditempuh (agency). Penelitian yang dilakukan oleh Snyder (2005) terhadap guru menemukan bahwa beberapa guru mampu menciptakan atmosfer positif di dalam kelas. Penelitian tentang harapan yang dilakukan Snyder menunjukkan bahwa guru dapat meningkatkan harapan siswa mereka. Dengan adanya harapan, guru dapat membuat perencanaan ajar yang baik agar siswa dapat memahami pelajaran yang disampaikan dengan baik dan pada akhirnya siswa dapat berhasil. Oleh karena itu, secara tidak langsung guru telah mempersiapkan diri pada berbagai kondisi yang mungkin terjadi.

Individu dengan harapan yang tinggi harus menilai stress atau tekanan sebagai sesuatu yang menantang (sebagai lawan yang lebih mengancam), dengan demikian individu memiliki kemampuan dan motivasi untuk mencari solusi dalam mengatasi stress atau tekanan ini. Menurut Hasnain, dkk (2014), harapan mampu meningkatkan kompetensi tinggi di bidang akademik, pikiran yang lebih fleksibel dan positif, dan penilaian yang lebih positif terhadap

(26)

peristiwa stress. Hal yang sama diungkapkan oleh Taylor (dalam Snyder, 2000) bahwa harapan mempengaruhi peningkatan evaluasi diri positif dan penguasaan diri serta kesejahteraan fisik maupun psikologis.

Gibson (2000) mengungkapkan bahwa ada hubungan yang cukup kuat antara harapan dan psychological well-being pada individu yang berjuang menghadapi kanker payudara keturunan Afrika-Amerika. Ciarrochi, dkk (2007) memberi penguatan bahwa harapan sangat mempengaruhi keadaan kesejahteraan individu (well-being). Penelitian yang dilakukan oleh Hasnain, dkk (2014), siswa sekolah menengah dan tinggi memberikan bukti peran harapan sebagai moderator dalam hubungan antara peristiwa kehidupan yang penuh stres dan kesejahteraan remaja.

Penelitian di atas tersebut konsisten dengan teori bahwa individu yang berpikir penuh harapan mampu menghadapi peristiwa kehidupan yang menimbulkan stress dan secara bersama-sama menimbulkan kesejahteraan psikologis (psychological well-being) di masa muda (Hasnain, dkk, 2014).

F. Kerangka Pemikiran

Kerangka pemikiran penelitian “Hubungan antara efikasi diri, optimisme, dan harapan dengan psychological well-being pada guru Sekolah Dasar di Yayasan Sekolah X Surakarta” yang sudah dijelaskan pada sub bab sebelumnya dapat digambarkan dalam diagram berikut:

(27)

Gambar 1

Kerangka Pemikiran Hubungan antara Efikasi Diri, Optimisme, Harapan, dan Resiliensi dengan Psychological Well-being

G. Hipotesis

Berdasarkan perumusan masalah dalam penelitian ini maka hipotesis yang digunakan adalah:

1. Terdapat hubungan antara efikasi diri, optimisme, dan harapan dengan psychological well-being pada guru Sekolah Dasar di Yayasan Sekolah X Surakarta.

2. Terdapat hubungan antara efikasi diri dengan psychological well-being pada guru Sekolah Dasar di Yayasan Sekolah X Surakarta.

3. Terdapat hubungan antara optimisme dengan psychological well-being pada guru Sekolah Dasar di Yayasan Sekolah X Surakarta.

4. Terdapat hubungan antara harapan dengan psychological well-being pada guru Sekolah Dasar di Yayasan Sekolah X Surakarta.

Efikasi Diri Optimisme Harapan Psychological Well-being 1 1 3 4 2

Referensi

Dokumen terkait

Analisi lisis s kep kepuasa uasan n kon konsum sumen en Ind Indom omaret aret den dengan gan kep kepuasa uasan n kon konsum sumen en Alfamart terhadap

Lebih jauh lagi, kegagalan remaja dalam menguasai kecakapan-kecakapan sosial akan menyebabkan sulit menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya sehingga dapat

Psychological well-being atau kesejahteraan psikologis merupakan suatu pencapaian penuh dari potensi psikologis dan suatu kondisi individu yang dapat menerima

Berdasarkan hasil perhitungan pada Tabel 4.4 maka dapat dibuat grafik hubungan antara torsi (T) dan putaran poros (n) yang dihasilkan kincir angin Savonius

Bulu mata lentik dari pangkal hingga ujung* Efek lentik yang tahan lebih lama* Kuas super lengkung, membantu melentikkan & menarik setiap bulu mata.. BULU

Apakah Anda mengetahui perusahaan akan memberikan sanksi yang tegas jika terdapat pekerjanya yang bertindak tidak aman sehingga membahayakan diri sendiri dan

Taka Turbomachinery Indonesia tidak terlepas dari faktor bahaya yang ada di lingkungan kerja di Central Gas Turbine Area Duri seperti adanya bahaya fisik yaitu adanya

(1) Dana Operasional Pimpinan DPRK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) huruf b diberikan setiap bulan kepada ketua DPRK dan wakil ketua DPRK untuk menunjang