• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Kridalaksana dalam Chaer (1994:32) Bahasa adalah sistem. untuk bekerjasama, berkomunikasi dan mengidentifikasikan diri.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Menurut Kridalaksana dalam Chaer (1994:32) Bahasa adalah sistem. untuk bekerjasama, berkomunikasi dan mengidentifikasikan diri."

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

I.1. LATAR BELAKANG

Di dalam menjalani kehidupan, manusia tidak akan pernah bisa terlepas dari bahasa. Hal ini disebabkan karena bahasa merupakan alat yang sangat penting didalam menyampaikan ide, pikiran, serta hasrat manusia demi mencapai tujuan yang diharapkan.

Menurut Kridalaksana dalam Chaer (1994:32) Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer yang digunakan oleh para anggota kelompok sosial untuk bekerjasama, berkomunikasi dan mengidentifikasikan diri.

Holmes dalam Susanti (2007:1) mengatakan dua skala fungsi komunikasi yakni,

1. Fungsi Referensial, mengacu kepada komunikasi yang bertujuan menyampaikan informasi atau pesan.

2. Fungsi Efektif, mengacu kepada komunikasi yang bertujuan memelihara hubungan sosial diantara penutur dan petutur.

Sesuai dengan defenisi tersebut, bahasa juga memiliki beberapa sifat dan ciri yang salah satunya adalah karena digunakan oleh manusia yang masing-masing mempunyai cirinya sendiri untuk pelbagai keperluan, bahasa mempunyai fungsi. Fungsi itu bergantung pada faktor-faktor siapa, apa, kepada siapa, tentang siapa,

(2)

di mana, berapa lama, untuk apa, dan dengan apa bahasa itu diujarkan.(Kridalaksana, 2005: 6).

Fungsi bahasa tersebut dapat diterapkan didalam menyampaikan perintah atau meminta tolong kepada lawan bicara. Namun, sesuai dengan faktor-faktor yang mempengaruhi fungsi bahasa tersebut, kita harus memperhatikan situasi didalam menyampaikan permohonan tersebut kepada lawan bicara agar tidak menimbulkan kesalahpahaman. Seperti, siapa yang akan menyampaikannya, kepada siapa permohonan tersebut disampaikan, tentang apa atau siapa, serta dalam situasi apa perintah tersebut disampaikan. Oleh karena itu, kita sedapat mungkin harus menyesuaikan tingkat kesantunan berbahasa di dalam menyampaikan tuturan memohon tersebut kepada lawan bicara.

Setiap bahasa di dunia memiliki ciri dan keunikan tersendiri didalam pemakaiannya, termasuk didalamnya adalah bahasa Jepang. Selain ketatabahasaan yang menjadi dasar ujaran tersebut diterima, dalam bahasa Jepang juga mempertimbangkan faktor sosial dan budaya yang melatari ujaran tersebut dipilih. Faktor sosial mengacu kepada hubungan masyarakat di dalam lingkungannya, dan faktor budaya mengacu kepada perilaku kebahasaan anggota-anggotanya.

Menurut Simatupang dalam Susanti (2007: 2) penelitian bahasa yang berdiri sendiri tidak akan memberikan gambaran yang lengkap mengenai bahasa, karena bahasa juga memiliki sistem makna dan fungsi yang mengikatnya dengan hal-hal diluar bahasa, yaitu konteks sosial budaya dan dunia kenyataan. Konteks sosial budaya bagi masyarakat Jepang berhubungan dengan kelompoknya yang terbagi dua, yaitu uchi ‘dalam’, dan soto ‘luar’. Selain itu mengacu pada perilaku budaya masyarakat Jepang itu sendiri.

(3)

Osamu Mizutani dan Nobuko Mizutani dalam Sa’adah (2008:11-12) menjelaskan bahwa di dalam meminta tolong di dalam bahasa Jepang, dikenal bentuk (te)-itadakemasenka dan (te) kudasaimasenka yang dipakai untuk menunjukkan rasa hormat dan santun.

Contohnya:

• もう少し詳しく説明していただけませんか。

Bisakah

• これ、ちょっとごらん

Anda jelaskan dengan lebih detail? 下さいませんか。 Maukah

Hal lain yang perlu diperhatikan dalam bahasa Jepang adalah penggunaan tingkat tutur (speech level). Pemilihan penggunaan tingkat tutur harus tepat dan disesuaikan dengan lawan bicara. Misalnya tingkat tutur keigo diperuntukkan bagi

Anda melihat ini sebentar?

Ujaran-ujaran seperti di atas berfungsi untuk memperhalus maksud si penutur terhadap lawan bicaranya di dalam menyampaikan maksud atau tujuan.

Selain pemilihan kata yang tepat seperti contoh di atas, pemakaian ujaran secara tidak langsung atau menyembunyikan maksud sebenarnya untuk meminta juga dapat memperhalus dan menunjukkan sopan santun di dalam tutur memohon atau menyampaikan perintah. William Mc Clure dalam Sa’adah (2008:12) menyatakan bahwa orang Jepang biasa menggunakan cara bicara yang samar (vague) dan tidak langsung untuk menunjukkan kesantunannya. Semakin tidak langsung dan tidak efektif suatu ujaran maka semakin santun ujaran tersebut. Contoh: Denwa wo shitain desu kedo.... ‘Saya ingin menelepon, tapi...’ Ujaran tersebut merupakan tanda/ isyarat bagi lawan bicara untuk mengizinkan penutur menggunakan telepon.

(4)

orang yang berstatus sosial lebih tinggi atau kepada orang yang lebih tua dari penutur. Tingkat tutur bentuk biasa dipergunakan bagi teman sebaya/ akrab atau kepada orang yang lebih muda dari si penutur. Bila terjadi kesalahan penggunaanya maka pemakaiannya akan dianggap aneh bahkan tidak santun. Untuk itu diperlukan strategi kesantunan di dalam penggunaannya. Hal inilah yang menumbuhkan ketertarikan penulis untuk meneliti penggunaan ragam kesantunan di dalam tindak tutur memohon bahasa Jepang bagi mahasiswa pembelajar bahasa dan sastra Jepang Fakultas Sastra USU.

Dalam hal ini pendekatan yang akan digunakan adalah pendekatan linguistik khususnya bidang pragmatik. Hal inilah yang melatarbelakangi penulisan proposal penelitian ini. Sehingga penulis memilih judul ‘Analisis Pemakaian Ragam Kesantunan Memohon Bahasa Jepang pada Mahasiswa Sastra Jepang Semester V dan Semester VII Fakultas Sastra USU’ yang bertitik tolak pada ragam kesantunan memohon bahasa Jepang yang telah dipelajari dalam kurikulum.

I.2. RUMUSAN MASALAH

Bahasa Jepang merupakan bahasa yang sangat menarik dan unik untuk diteliti. Hal ini dapat dilihat dari pemakaiannya yang harus disesuaikan dengan situasi dan unsur sosial budaya yang mempengaruhinya. Hal ini dapat dilihat dari pemakaian tuturnya yang juga harus memperhatikan tingkat kesantunan dengan sangat teliti.

(5)

Oleh karena itu, penelitian ini akan mengkaji bagaimana pemakaian kesantunan memohon di dalam bahasa Jepang oleh mahasiswa pembelajar Bahasa dan Sastra Jepang Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

Beberapa permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah: 1. Sejauh mana pemahaman ragam kesantunan memohon bahasa Jepang

tingkat menengah oleh mahasiswa Sastra Jepang semester V dan VII Fakultas Sastra USU?

2. Bagaimanakah penerapan kurikulum ragam kesantunan memohon bahasa Jepang tingkat menengah kepada mahasiswa Sastra Jepang semester V dan VII Fakultas Sastra USU?

3. Apakah penggunaan ragam kesantunan memohon yang digunakan mahasiswa Sastra Jepang semester V dan VII Fakultas Sastra USU sesuai dengan tingkat kesantunan bahasa Jepang yang telah dipelajari dalam kurikulum?

I.3. RUANG LINGKUP PEMBAHASAN

Agar penelitian ini tidak terlalu luas, maka penelitian ini hanya dibatasi pada beberapa hal saja, seperti kesantunan yang akan diteliti hanya pada tindak tutur memohon saja. Banyaknya pengaruh dari luar bahasa dapat menyebabkan banyaknya variasi kesantunan didalam bahasa tersebut. Oleh karena itu, untuk memahami apa yang terjadi di dalam sebuah percakapan, kita juga perlu mengetahui siapa saja yang terlibat di dalamnya, bagaimana hubungan dan jarak sosial diantara mereka, atau status relatif diantara mereka.

(6)

Namun, pengaruh tersebut akan jelas terlihat apabila yang melakukan aktifitas percakapan adalah penutur yang memperoleh bahasa tersebut sebagai bahasa pertamanya. Hal ini disebabkan oleh mereka telah memahami berbagai faktor yang mempengaruhi tingkat kesantunan bahasa tersebut.

Berbeda halnya apabila yang melakukan aktifitas percakapan adalah para pembelajar bahasa yang memperoleh bahasa tersebut sebagai bahasa kedua atau ketiga seperti mahasiswa pembelajar Bahasa dan Sastra Jepang Fakultas Sastra USU. Proses pemahaman terhadap berbagai faktor yang mempengaruhi tingkat kesantunan bahasa tersebut tentu akan bervariasi, terutama dalam hal memohon. Hal ini disebabkan adanya berbagai hal yang mempengaruhi munculnya variasi pemahaman tersebut, seperti bahan ajar yang diajarkan, proses penyampaian bahan ajar oleh pengajar bahasa Jepang tersebut dan kemampuan pemahaman mahasiswa di dalam memahami bahan ajar tersebut serta adanya pengaruh bahasa pertama. Hal inilah yang akan diteliti secara mendalam dengan cara penelitian lapangan (field research).

Oleh karena itu ada baiknya jika membatasi permasalahan yang akan dibahas nantinya. Beberapa pembahasan yang akan menjadi batasan permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Ragam kesantunan memohon dalam bahasa Jepang tingkat menengah. 2. Situasi pemakaian kesantunan memohon bahasa Jepang tingkat menengah. 3. Kesesuaian pemakaian kesantunan memohon bahasa Jepang dengan

(7)

I.4. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI I.4.1. Tinjauan Pustaka

Tindak tutur imperatif pada penelitian ini adalah merupakan jenis penelitian sosiopragmatik, karena yang diteliti adalah penggunaan bahasa di dalam sebuah masyarakat budaya di dalam situasi tertentu. Sosiopragmatik digunakan untuk meneliti tentang ungkapan yang digunakan serta untuk meneliti struktur bahasa secara eksternal, yaitu faktor sosial budaya sebagai penentu ungkapan memohon tersebut dituturkan. Menurut Trosborg dalam Susanti (2007:8) bahwa sosiopragmatik mengacu pada analisis pola interaksi di dalam situasi sosial tertentu dan atau sistem sosial tertentu.

Mey dalam Susanti (2007:9) dalam bukunya Pragmatics an Introduction mengatakan bahwa pragmatik adalah kajian mengenai kondisi dari penggunaan bahasa yang digunakan oleh manusia yang bergantung pada konteks sosial dengan penekanan penggunaan bahasa tersebut dipengaruhi oleh kebiasaan sosial.

Dari defenisi Mey tersebut, Rahardi (2005:49) menyimpulkan bahwa pragmatik adalah ilmu bahasa yang mempelajari kondisi penggunaan bahasa manusia yang pada dasarnya sangat sitentukan oleh konteks yang mewadahi dan melatarbelakangi bahasa itu. Konteks yang dimaksud mencakup dua macam hal, yakni konteks yang bersifat sosial (social) dan konteks yang bersifat sosietal (societal). Konteks sosial (social context) adalah konteks yang timbul sebagai akibat munculnya interaksi antaranggota masyarakat dalam suatu masyarakat sosial dan budaya tertentu. Adapun yang dimaksud dengan konteks sosietal (societal context) adalah konteks yang faktor penentunya adalah kedudukan (rank) anggota masyarakat dalam institusi-institusi sosial yang ada di dalam masyarakat

(8)

sosial dan budaya tertentu. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dasar dari munculnya konteks sosietal adalah adanya kekuasaan (power), sedangkan dasar dari konteks sosial adalah adanya solidaritas (solidarity).

Keuntungan yang didapat dari mempelajari pragmatik dikemukakan oleh Yule dalam Susanti (2007:10) dalam bukunya Pragmatics, yaitu seseorang dapat mengatakan apa yang orang lain maksudkan, asumsi-asumsi mereka, tujuan mereka, dan berbagai tindakan (seperti memohon) pada saat berbicara.

I.4.2. Kerangka Teori

Tindak tutur sebenarnya merupakan salah satu fenomena dalam masalah yang lebih luas, yang dikenal dengan istilah Pragmatik. Istilah mengenai tindak tutur pertama sekali diperkenalkan oleh Charles Morris pada tahun 1938 yang kemudian dikembangkan oleh J.L. Austin pada tahun 1956 yang kemudian dibukukan oleh J.O. Urmson (1965) dengan judul How to do Thing with Word? Teori tersebut memperkenalkan konsep penggunaan bahasa sebagai sebuah tindakan, dalam arti sebuah tuturan berfungsi bukan saja menyampaikan informasi tetapi sebenarnya terdapat tindak ‘melaksanakan sesuatu’ dalam sebuah tuturan. Austin dalam Susanti (2007:10-11) membedakan tiga jenis tindakan, yaitu :

1. Tindak Lokusioner, adalah tindak mengatakan sesuatu, yaitu mengucapkan sesuatu dengan makna kata dan makna kalimat, seperti “saya lapar”. Saya sebagai orang pertama tunggal dan lapar mengacu pada perut kosong.

(9)

2. Tindak Ilokusioner, adalah tindak melakukan sesuatu dengan adanya maksud dan fungsi ujaran, dari contoh “saya lapar” dimaksudkan untuk meminta makanan.

3. Tindak Perlokusioner, adalah mengacu pada efek yang dihasilkan penutur dengan mengatakan sesuatu. Tindak tutur perlokusioner lebih ditekankan pada diri petutur. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa implikasi tindak lokusioner terhadap petutur inilah yang disebut dengan tindak perlokusioner, dan implikasi tersebut dapat membuat petutur menjadi marah, senang, simpati, dan sebagainya.

Tetapi teori tersebut baru menjadi terkenal dalam studi Linguistik setelah Searle dalam Susanti (2007:11) menerbitkan buku berjudul Speech Act and Essay

in The Philosophy of Language yang menjelaskan bahwa yang termasuk ke dalam

tindak ilokusioner adalah verba yang menunjukkan makna perintah, memohon, meminta maaf, dan sebagainya.

Tindak tutur yang digunakan dalam suatu masyarakat tidak dapat dipisahkan dari sopan santun yang berlaku pada masyarakat tersebut, karena kita menyadari bahwa komunikasi sehari-hari selalu berkisar pada kesantunan. Kesantunan (Politeness) menurut Yule dalam Susanti (2007:12) adalah:

‘Di dalam suatu interaksi kesantunan mempunyai makna memperlihatkan kesadaran akan muka orang lain. Dalam hal ini kesantunan dapat menghilangkan jarak sosial atau keakraban dalam sebuah situasi.’

Muka yang dimaksudkan oleh Yule dapat dijelaskan melalui teori Brown Levinson dalam Susanti (2007:12-13). Menurut mereka muka face terdiri atas

(10)

positif face ‘muka positif’ dan negative face ‘muka negatif’. Muka positif

mengacu pada citra diri setiap orang yang berkeinginan agar apa yang dilakukannya merupakan nilai-nilai yang ia yakini diakui orang lain sebagai suatu hal yang baik. Muka negatif mengacu kepada citra diri setiap orang yang berkeinginan agar ia dihargai dengan jalan membiarkannya melakukan tindakannya. Muka dalam sebuah interaksi dapat dipermalukan dan dapat juga dilindungi. Oleh karena itu, peserta tutur wajib saling menjaga muka. Akan tetapi, dalam sebuah tindak ujaran keterancaman terhadap muka pasti akan terjadi. Tindak seperti itu oleh Brown dan Levinson disebut Face Threating Act (FTA).

Menurut Brown dan Levinson dalam Rahardi (2005:68-70) terdapat tiga skala penentu tinggi rendahnya peringkat kesantunan sebuah tuturan, yaitu:

1. Skala peringkat jarak sosial antara penutur dan mitra tutur, yang banyak ditentukan oleh parameter perbedaan umur, jenis kelamin, dan latar belakang sosiokultural.

2. Skala peringkat status sosial antara penutur dan mitra tutur atau sering kali disebut dengan peringkat kekuasaan (power rating) didasarkan pada kedudukan asimetrik antara penutur dan mitra tutur.

3. Skala peringkat tindak tutur atau sering pula disebut dengan rank rating atau lengkapnya adalah didasarkan pada kedudukan relatif tindak tutur yang satu dengan tindak tutur yang lainnya.

Niyekawa dalam Susanti (2007:14) dalam bukunya Minimum Essential

Politeness mengatakan bahwa cara yang sopan untuk bicara dalam bahasa Jepang

(11)

verba. Selain itu, bagi orang asing langkah awal untuk belajar berbicara bahasa Jepang dengan baik adalah dengan memahami struktur sosial masyarakat Jepang, kelompok dan hadiah. Pada struktur sosial masyarakat Jepang status dan hirarki merupakan dua hal penting yang harus diperhatikan ketika melakukan suatu ujaran. Hirarki ditentukan oleh tingkatan dan posisi, status sosial, umur dan gender. Kelompok, suatu kelompok dalam masyarakat Jepang dapat menunjukkan bahwa bahasa Jepang yang digunakan pada umumnya menunjukkan identitas kelompok yang menaungi mereka. Hadiah, memberikan hadiah merupakan cara kita mengekspresikan penghargaan mereka atas pemberian mereka kepada kita. Jadi, terkandung makna giving ‘memberi’ dan receiving ‘menerima’.

Penelitian tentang tindak tutur memohon dalam bahasa Jepang belum banyak dilakukan. Beberapa yang telah melakukan tindak tutur memohon adalah Samuel E. Martin dan Akito Ozaki dalam Susanti (2007:15-16). Martin lebih terfokus pada ragam ungkapan memohon dan ia mengatakan request bahasa Jepang dibentuk berdasarkan perintah langsung yang menggunakan bentuk imperatif dan bentuk circumlocutions ‘tindak tutur basa-basi’. Pada request dapat ditambahkan dengan frasa :

• Tanomu kara... 頼むから...., dan

• Onegai Da/ desu kara.... お願いだ / ですから...

Request pada bentuk memohon dapat dibentuk dari berbagai kalimat verbal,

tetapi dalam prakteknya akan ditemukan adanya suatu batasan. Selain itu, dapat juga dibentuk dari bahasa sopan honorific seperti nasaru yang sepadan dengan

suru. Request pada bentuk circumlocutions ‘ketaklangsungan’ dibagi ke dalam

(12)

Request berikutnya adalah penelitian dari Akito Ozaki (1989) dalam

bukunya Request for Clarification in Convertation Between Japanese and

Non-Japanese. Request for Clarification (RCs) yang dimaksud oleh Ozaki adalah correction strategies ‘strategi perbaikan’, dilakukan oleh penutur dengan tujuan

agar lawan bicara mengabulkan sesuatu yang diinginkan oleh penutur. Request for

Clarification dikelompokkan ke dalam tiga bagian, yaitu request clarification intention dengan enam sub bab, request clarification forms dan request clarification referents.

Berdasarkan hasil penelitian Ozaki diperoleh kesimpulan bahwa diperlukan strategi komunikasi agar percakapan yang dilakukan lebih menarik. Strategi yang dimaksud dalam penelitian Ozaki adalah correction strategies. Tujuan dari hal tersebut adalah menghindari terjadinya kesalahpahaman komunikasi.

Linguis lainnya, yaitu Sakata dan Kuromochi memasukkan ragam ungkapan memohon ke dalam jodoushi ‘kata kerja bantu’. Pengelompokan ragam tersebut terdiri atas dua bagian, yaitu

1. ~te kure, ~te kurenaika, dan ~te moraenaika

2. ~se(sase)te kure, ~se(sase)te kurenaika, ~se(sase)te moraenaika, dan ~se(sase)te morau.

Kemudian kedua kelompok besar tersebut dibagi lagi ke dalam beberapa bagian ragam ungkapan memohon.

Selain itu, ragam memohon dalam bahasa Jepang menurut Kaneko Shiro dalam Nihongo Journal dalam Susanti (2007:28-36) dikelompokkan ke dalam tiga bagian, yaitu:

(13)

Onegai wo suru (Membuat Permohonan), ragam memohon ini di dalam

penggunaanya mengandung sifat mulai dari hikui ‘rendah’ sampai permohonan yang bersifat takai ‘tinggi’.

Contoh : • ちょっと来て ‘ 。 Ke sini • 写真、 sebentar’

Kyoka wo Onegai suru (Memohon Izin), kelompok kedua ini digunakan

pada waktu memohon izin sesuatu. Pembentukannya menggunakan verba ~wo

~sa(sete). Contoh: 撮らせて。 (友達に) ‘Fotokan’ • でんわつかわせ (kepada teman) てくれる ‘ ? (ともだちに) Boleh pinjam telepon?’ (kepada teman)

Sono Hoka no Onegai no Hyogen (Ungkapan memohon yang lainnya, pada

kelompok in menunjukkan ungkapan yang digunakan untuk memaparkan keadaan sekarang seperti perasaan, keadaan, dan keinginan. Hal tersebut dilakukan agar penutur memahami hal yang diinginkan. Kaneko Shiro mencontohkannya dengan membuat kalimat bertanda kurung yang sebenarnya ingin diucapkan, tapi tidak disampaikan.

(14)

Contoh:

• 子供が寝ているので….., (静かにしてください

‘Anak saya sedang tidur’……(

). mohon tenang

1. Nomina/ nomina verbal (wo) onegai suru. ).

Selain Shiro, ada juga linguis lain yang mengungkapkan ragam memohon (Request) bahasa Jepang yang secara garis besar terdiri atas dua bagian yaitu memohon akan barang dan memohon akan suatu tindakan atau jasa. Bentuk yang digunakan terhadap dua hal tersebut adalah onegaishimasu, V ~te itadakitai atau

moraitai dan hoshi, serta (V) atau verba potensial (V pot) yang diikuti dengan you(ni) onegai shimasu. Memohon juga dapat dibentuk dari question ‘kalimat

tanya’.

Ditambahkan pula, memohon akan suatu tindakan dapat berbentuk kalimat positif dan negatif, baik petutur melakukan atau tidak melakukan tindakan tersebut. Adapun ragam memohon tersebut dikelompokkan sebagai berikut.

• Verba ~te (+ verba performatif/ adjektiva) • Verba ~te itadakitai/ moraitai

• Verba ~te hoshii

• Kalimat you(ni) onegai shimasu

2. Memohon dalam kalimat tanya negatif/ positif/ potensial • Verba ~te kurenai/ masenka

• Verba ~te moraenaika (na)

(15)

Dalam penelitian ini, peneliti hanya memasukkan teori Kaneko Shiro dan Yone Tanaka sebagai acuan. Berdasarkan teori tersebut, penulis akan meneliti bagaimana penggunaan ragam memohon tersebut disesuaikan dengan tingkat kesantunan dan situasi pemakaiannya hanya dibatasi pada mahasiswa Sastra Jepang semester V dan semester VII Fakultas Sastra USU saja.

I.5. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN I.5.1. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui sejauh mana pemahaman ragam kesantunan memohon bahasa Jepang oleh mahasiswa Sastra Jepang semester V dan VII Fakultas Sastra USU?

b. Untuk mengetahui bagaimanakah penerapan kurikulum ragam kesantunan memohon bahasa Jepang kepada mahasiswa Sastra Jepang semester V dan VII Fakultas Sastra USU?

c. Untuk mengetahui apakah penggunaan ragam kesantunan memohon yang digunakan mahasiswa Sastra Jepang semester VI dan VIII Fakultas Sastra USU sesuai dengan tingkat kesantunan bahasa Jepang yang telah dipelajari dalam silabus?

I.5.2. Manfaat Penelitian

a. Untuk menambah wawasan serta pengalaman dalam penelitian serta sebagai sarana untuk menerapkan ilmu yang telah dipelajari selama mengikuti perkuliahaan.

(16)

b. Meningkatkan pemahaman peneliti di dalam pemakaian ragam kesantunan memohon bahasa Jepang.

c. Sebagai bahan bacaan yang dapat menambah wawasan mengenai linguistik bahasa Jepang khususnya dalam hal pemakaian tindak tutur memohon bahasa Jepang.

I.6. METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif kuantitatif. Setyadi mengutip dari Bodgan dan Taylor dalam Zahara (2009:5), bahwa metode kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis ataupun lisan dari manusia dan perilakunya yang dapat diamati sehingga tujuan dari penelitian ini adalah pemahaman individu tertentu dan latar belakangnya secara utuh. Sedangkan metode penelitian kuantitatif adalah metode penelitian yang menggunakan angka-angka dan data-data statistik. Data-data tersebut berbentuk variabel-variabel dan operasionalisasinya dengan sakala ukuran tertentu, misalnya skala nominal, ordinal, interval dan ratio.

Berdasarkan penelitian diatas, dapat dikatakan juga bahwa jenis penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif. Menurut Mukhtar dalam Ambarita (2009:14) Penelitian deskriptif merupakan penelitian yang dimaksudkan untuk mengumpulkan informasi mengenai status suatu variabel atau tema, gejala atau keadaan yang ada, yaitu keadaan gejala menurut apa adanya pada saat penelitian dilakukan.

Penelitian deskriptif terdiri dari beberapa jenis, tergantung dari bagaimana proses penelitian itu sendiri berlangsung/ dilakukan. Sesuai dengan judul

(17)

penelitian ini, maka penelitian deskriptif inipun termasuk ke dalam jenis penelitian field research (penelitian lapangan). Lapangan yang dimaksudkan di sini adalah Departemen Sastra Jepang Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara. Penelitian lapangan ini biasanya tidak hanya mengandalkan data-data dokumentasi dari perpustakaan maupun data yang didapat secara on line (media internet), namun juga memerlukan responden sebagai salah satu sumber informasi. Untuk itu penelitian ini akan menggunakan angket sebagai salah satu instrumen untuk berkomunikasi dengan responden.

Penelitian yang menggunakan kuisioner kebanyakan menghasilkan data-data yang berisi angka-angka yang dirangkaikan sedemikian rupa sehingga tercipta suatu data statistik. Namun, karena penelitian ini adalah merupakan penelitian kualitatif kuantitatif yang menjabarkan hasil penelitian secara deskriptif, maka walaupun akan ada data statistik yang dihasilkan, data statistik tersebut hanya akan disajikan dalam bentuk yang sederhana saja.

I.6.1. Populasi dan Sampel Penelitian

Berhubungan dengan adanya angket, maka penelitian ini memerlukan populasi. Populasi adalah jumlah keseluruhan koresponden yang berada dalam suatu ruang lingkup yang sama. Dimana ruang lingkup tersebut merupakan satu kesatuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Maka populasi yang ditetapkan peneliti pada penelitian ini adalah mahasiswa Sastra Jepang Fakultas Sastra USU semester V dan semester VII, hal ini disebabkan populasi tersebut memenuhi beberapa kriteria yang dibutuhkan pada penelitian ini, yaitu:

(18)

2. Telah mempelajari ragam kesantunan di dalam berkomunikasi bahasa Jepang tingkat menengah.

Jumlah populasi dalam penelitian ini keseluruhannya berjumlah 68 orang yang dibagi atas dua tingkatan mahasiswa. Tingkatan pertama adalag mahasiswa Sastra Jepang Fakultas Sastra USU semester V yang berjumlag 32 orang, yang terdiri atas 11 orang responden pria dan 21 orang responden wanita. Tingkatan yang kedua adalah mahasiswa Sastra Jepang Fakultas Sastra USU semester VII yang berjumlag 36 orang, yang terdiri atas 10 orang responden pria dan 26 orang responden wanita. Kisaran umur responden antara 19 tahun sampai dengan 23 tahun. Dalam penelitian ini, seluruh data diambil dari keseluruhan anggota populasi yang disebut Total Sampling.

I.6.2. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data adalah teknik yang digunakan penulis untuk mencari dan mengumpulkan informasi yang sesuai dengan topik penelitian. Proses pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan metode survey dilakukan dengan mengambil sampel dari populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data pokok (Singarimbun dalam Anggreni, 2008: 7-8). Data yang dikumpulkan pada saat penelitian meliputi:

a. Data Primer

Data primer adalah data yang langsung dikumpulkan oleh peneliti pada saat penelitian. Teknik yang digunakan adalah dengan mengajukan pertanyaan dalam bentuk kuesioner kepada 68 responden yang menjadi subjek penelitian.

(19)

b. Data Sekunder

Data sekunder merupakan data yang telah diolah dan disajikan oleh pihak lain. Penulis mengumpulkan sejumlah data yang diperoleh dari buku, internet, skripsi, tesis, disertasi serta jurnal yang berkaitan dengan topik penelitian.

I.7. SISTEMATIKA PENULISAN

Sistematika penulisan skripsi ini dibagi atas empat bab, yaitu:

BAB I Pendahuluan, berisi tentang latar belakang penulisan skripsi, latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian serta metode penelitian serta sumber data yang digunakan dalam penelitian ini.

BAB II Ragam Kesantunan Memohon Bahasa Jepang dan Kurikulum, berisi tentang berbagai teori yang menjelaskan ragam kesantunan memohon di dalam bahasa Jepang serta ragam kesantunan memohon bahasa Jepang yang telah dipelajari di dalam kurikulum Departemen Sastra Jepang Fakultas Sastra USU yang akan menjadi acuan dalam penelitian ini.

BAB III Analisis Pemakaian Ragam Kesantunan Memohon Bahasa Jepang pada Mahasiswa Sastra Jepang USU Semester V dan Semester VII, berisi tentang analisis sumber data dari angket yang disebarkan kepada 68 responden yang dibagi atas 32 orang mahasiswa semester V dan 36 orang mahasiswa semester VII.

BAB IV Penutup, berisi tentang kesimpulan dari hasil analisis yang dilakukan serta saran dari penulis.

Referensi

Dokumen terkait

Pada hari ini Kamis tanggal dua puluh tiga bulan Juni tahun dua ribu enam belas (23-06-2016) pukul 07.00 s.d 11.00 WIT, bertempat di ruang administrasi Kantor SUPM Kupang,

Dengan mengevaluasi kandidat solusi cloud dalam konteks masing- masing komponen dari kerangka ERM COSO, manajemen singkat dapat meng- identifikasi resiko yang terkait

Gambar 7 adalah sequence diagram operator desa, dimana interaksi Operator Desa pada sistem adalah untuk mendaftakan menyiapkan semua Kelompok-kelompok tani yang ada di tiap

Penelitian ini bertujuan untuk menggali informasi mengenai koherensi, jenis-jenis koherensi, dan piranti koherensi dalam wacana editorial online berbahasa Inggris Shifting

Dalam beberapa hal pengumpulan fosil seperti barang antik mengumpulkan, patung – patung, koin, atau apapun.. Satu dapat mencari kualitas kelangkaan, bentuk warna, kulaitas

diberikan tes awal atau pre-test , untuk kelompok eksperimen diberikan perlakuan ( Treatment ) yaitu pembelajaran beladiri karate dengan menggunakan pendekatan bermain.. Pada

Dari kedua pendapat yang dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa kebijakan publikmerupakan serangakaian tindakan pemerintah yang dilaksanakan dengan memiliki tujuan

[r]