• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V PROSES IMPLEMENTASI PROGRAM REFORMA AGRARIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB V PROSES IMPLEMENTASI PROGRAM REFORMA AGRARIA"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB V

PROSES IMPLEMENTASI

PROGRAM REFORMA AGRARIA

5.1 Latar Belakang Lokasi Reforma Agraria 5.1.1 Sejarah Lahan Eks-HGU Jasinga

Indonesia merupakan negara agraris, karena memiliki sumber daya alam agraria yang potensial sehingga sebagian besar masyarakat Indonesia memiliki mata pencaharian pada sektor agraria. Perkebunan merupakan salah satu sektor andalan agraria Indonesia, yang memberikan kontribusi besar bagi pertambahan devisa negara. Terdapat berbagai macam komoditas perkebunan di Indonesia, diantaranya perkebuanan karet

Perkebunan karet terdapat di berbagai pulau besar di Indonesia, mulai dari Sumatera hingga Irian dengan sebaran luas perkebunan yang berbeda-beda. Salah satu perkebuan karet tersebut berada di Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Perkebunan karet tersebut bernama PT. Perkebunan Jasinga.

Sejak masa kekuasaan Orde Baru sebagian besar pekebunan di Indonesia dikelola oleh swasta melalui mekanisme kepemilikan dan pemanfaatan yang disebut dengan Hak Guna Usaha (HGU). Pihak swasta mendapatkan hak pengelolaan melalui kesepakatan pembayaran sewa perkebunan untuk jangka waktu tertentu. Berdasarkan keterangan warga yang berhasil ditemui, sekitar awal tahun 1970-an masa HGU PT. Perkebunan Jasinga telah habis. Oleh karena itu berakhirlah hak pemanfaatan lahan yang dimiliki oleh PT. Perkebuanan Jasinga. Selain habisnya masa HGU tersebut, kondisi perkebunan juga sudah kurang produktif. Pada saat itu pemerintah (Perhutani) melakukan penebangan pohon karet yang sudah habis HGU-nya dan sudah kurang

(2)

produktif lagi. Akan tetapi, lahan bekas perkebunan karet yang telah ditebangi tersebut dibiarkan begitu saja oleh pemerintah. Kondisi ini berlangsung dalam kurun waktu yang cukup lama.

Kondisi ini menarik perhatian warga yang berada di sekitar lahan eks-HGU dan mereka berinisiatif untuk memanfaatkan lahan tersebut. Hal ini seperti diutarakan oleh ADR (77 tahun), salah seorang sesepuh Jasinga yang mengaku telah menggarap lahan eks-HGU sejak pertengahan tahun 70-an.

“Pada zaman dulu ketika perkebunan karet disini sudah tidak produktif lagi, pemerintah melakukan penebangan, akan tetapi setelah pohon karet ditebang lahan yang kosong dibiarkan begitu saja. Abah berpikir alangkah mubazirnya lahan ini jika dibiarkan begitu saja, akhirnya Abah menggarap lahan eks-HGU ini. Akan tetapi, sebelum abah menggarap lahan ini Abah bilang dulu ke Bapak ASP yang dulu menjadi pejabat pertanahan di Jasinga”.

Selain ADR (77 tahun) ada juga warga lain yang mengaku sudah menggarap lahan eks-HGU sejak tahun 80-an, akan tetapi latar belakang penggarapan lahannya sedikit berbeda dari apa yang diutarakan oleh ADR (77 tahun). Salah satunya adalah AMM (75 tahun). Beliau adalah seorang pensiunan polisi tahun 1975, setelah pensiun dari tugas kepolisian AMM memiliki aktivitas sebagai petani.

“Alhamdulillah Aki juga punya lahan garapan, lahan ini diberikan oleh orang tua Aki. Menurut cerita yang Aki ketahui, pada masa pengusaan Jepang yaitu sekitar awal tahun 1940-an masyarakat diberikan lahan garapan yang dulunya dikuasai oleh perkebunan Belanda, pada saat itu disebut sebagai tanah Ondernemeng, tapi tanah Ondernemeng yang diberikan kepada Aki adalah tanah yang tidak digarap (tidak dijadikan perkebunan) yang berupa hutan belantara karena pada masa Belanda setiap ada perkebunan di sekitarnya harus ada lahan yang dibiarkan, biasanya digunakan sebagai lahan gembala, yaitu berupa semak belukar yang sengaja dibiarkan sebagai daerah resapan air”.

Penjelasan yang diutarakan oleh AMM (75 tahun) sama seperti apa yang diceritakan oleh SKM (62 tahun) mengenai sejarah Perkebunan Jasinga. SKM merupakan salah satu mantan pegawai Perkebunan Jasinga yang juga memiliki lahan eks-HGU.

(3)

Perkebunan yang berada di wilayah Jasinga merupakan HGU milik perusahaan Perkebunan London Sumatera yang sebagian lahannya berada di Medan dan wilayah Sumatera lainnya. Pada masa revolusi lahan-lahan HGU dikuasai oleh Dwikora dan diinstruksikan untuk dibagikan kepada rakyat. Setelah HGU di Jasinga milik perusahaan London Sumatera habis masa hak kelolanya, maka hak kelola dibeli oleh HCP seorang pengusaha asal Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor, namun semakin lama perkebunan semakin tidak terurus dan akhirnya mengalami kebangkrutan. Bangkrutnya perkebunan tersebut menyebabkan banyak perkebunan dibiarkan begitu saja (tidak dimanfaatkan) sehingga masyarakat berinisiatif untuk menggarapnya.

“Bapak memiliki lahan eks-HGU yang luasnya skitar 1,5 hektara. Lahan tersebut Bapak dapatkan dari orang tua bapak yang dulu pernah bekerja di perkebunan pada masa Belanda. Sekitar awal tahun 80-an orang tua bapak dipersilahkan mengelola lahan HGU oleh Lurah Jasinga pada saat itu. Lahan yang diberikan kepada orang tua Bapak adalah lahan HGU diluar area perkebunan.” (SKM, 62 tahun)

“Pada masa Belanda lahan perkebunan itu terbagi dua, yaitu lahan yang benar-benar ditanami komoditas perkebunan (karet) dan lahan yang dibiarkan berupa hutan belantara. Diantara perkebunan karet dan hutan belantara tersebut terdapat parit besar yang lebarnya mencapai dua meter yang sengaja dibuat untuk resapan air”. (SKM, 62 tahun)

Berdasarkan pemaparan beberapa warga di atas dapat disimpulkan bahwa lahan eks-HGU yang sekarang digarap oleh masyarakat terbagi dua dilihat dari sejarah pemanfaatannya oleh pemerintah Belanda, yaitu lahan eks-HGU yang dulunya ditanami komoditas perkebunan (karet) dan lahan eks-HGU yang dulunya berupa lahan kosong atau hutan belantara. Kedua jenis lahan tersebut dibatasi oleh parit yang berfungsi sebagai resapan air.

(4)

Kebijakan-kebijakan agraria di Indonesia sangat erat kaitannya dengan ideologi pembangunan ekonomi yang dimiliki oleh pemerintah yang berkuasa pada masanya, ideologi ini sangat mempengaruhi arah kebijakan politik pembangunan Indonesia. Dinamika kebijakan politik agraria dari masa ke masa sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat Indonesia yang sebagian besar bekerja pada sektor pertanian. Upaya perbaikan kebijakan dan implementasi dari kebijakan politik agraria merupakan usaha perjuangan yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia, baik pada masa kolonial Belanda, pendudukan Jepang, awal kemerdekaan Orde Baru, hingga masa Reformasi.

Pergerakan-pergerakan sosial baik secara terorganisir maupun yang berjuang melalui gerakan bawah tanah terdiri dari lapisan masyarakat yang berbeda-beda, mulai dari kaum intelektual dan akademisi, serikat tani, paguyuban pamong desa, serikat buruh, dan sebagainya. Begitu pun halnya dengan latar belakang terlaksananya program sertifikasi lahan di Desa Pamagersari. Program reforma agraria di Desa Pamagersari tidak serta-merta terimplementasi begitu saja tanpa adanya upaya untuk memperjuangkan hak-hak petani.

Pergerakan masyarakat Pamagersari untuk mendapatkan hak kepemilikan lahan eks-HGU dimobilisasi oleh Paguyuban Kepala Desa Kecamatan Jasinga. Salah satu tokoh sentral yang sangat berpengaruh dalam pergerakan tersebut adalah AFF (55 tahun). AFF (55 tahun) atau yang lebih akrab dipanggil dengan sebutan lurah (mantan kepala desa Pamegersari sejak tahun 1999 hingga 2007) merupakan tokoh yang menginisiasi terbentuknya Paguyuban Kepala Desa Kecamatan Jasinga.

Lurah AFF (55 tahun) mengutarakan,salah satu yang melatarbelakangi terbentuknya Paguyuban Kepala Desa Kecamatan Jasinga adalah adanya keinginan, motivasi, dan ambisi untuk menulis suatu sejarah. Anggota Paguyuban Kepala Desa

(5)

Jasinga memiliki cita-cita bersama yang didasarkan pada upaya-upaya memperjuangkan hak masyarakat Jasinga dalam mendapatkan hak kepemilikan lahan eks-HGU PT. Perkebuan Jasinga. Cita-cita mendapatkan hak kepemilikan lahan eks-HGU ini dilatarbelakangi oleh habisnya masa sewa perkebunan yang dikaitkan dengan upaya dan keinginan warga untuk menggarap lahan perkebunan tersebut dengan rasa tenang.

Paguyuban tersebut mamapu mewadahai semua partisipasi dan inisiatif warga serta anggotanya, sehingga tersatukan membentuk sebuah modal dan kekuatan sosial. Setiap waktu aktivitas di paguyuban terus dilakukan, baik berupa koordinasi internal dengan sesama pengurus, maupun koordinasi eksternal dengan pemerintah dan komponen masyarakat lainya.

Sayogyo dalam Wiradi (2000) mengemukakan bahwa gerakan yang diperlukan dalam mengarahkan refoma agraria jelas memerlukan perencanaan bersama. Tak ada cara lain dari kerja sama dalam jaringan (networking) di antara berbagai golongan yang mau bersatu dalam menjadikan reforma agraria itu suatu yang dapat terwujud dalam kenyataan. Begitu pun dengan adanya paguyuban ini, koordinasi internal dan eksternal dilakukan untuk membentuk jaringan agar pergerakan paguyuban mendapatkan dukungan baik secara politik maupun sosial sehingga memiliki kekuatan dan bargaining

position (posisi tawar) yang memadai untuk memperjuangkan hak masyarakat.

Terdapat berbagai hambatan dalam memperjuangkan hak kepemilikan lahan ini (melalui proram sertifikasi), bahkan sebelum memulai pun banyak warga yang mengatakan bahwa hal tersebut tidak akan mungkin terwujud. Akan tetapi, Lurah AFF (55 tahun) tetap bersemangat memperjuangkan bersama rekan-rekan kepala desa yang lain.

“Banyak masyarakat kita yang beranggapan bahwa hal tersebut akan mustahil terwujud, akan tetapi hati ini tetap keukueh, tetap semangat. Bapak terus mencari informasi mengenai reforma agraria, membeli buku-buku tentang undang-undang agraria, dan

(6)

terus berdiskusi dengan rekan-rekan di paguyuban. Selain itu kami dalam tim Paguyuban Kepala Desa selalau menjalin koordinasi dan membentuk jaringan secara eksternal, karena kami sadar untuk mewujudkan cita-cita ini butuh kekuatan dan dukungan dari berbagai pihak”

Mocodompis (2006) mengutarakan bahwa sebagai suatu sistem yang diharapkan dapat menjadi jalan keluar dari permasalahan kemiskinan rakyat maka reforma agraria adalah langkah multidimensional dan harus melibatkan komitmen bersama dari pihak-pihak yang terkait di dalamnya. Hal inilah yang disadari oleh Lurah AFF (55 tahun) beserta rekan-rekanya dalam paguyuban, bahwa untuk mewujudkan cita-citanya dalam bentuk pelaksanaan reforma agraria memerlukan suatu modal sosial, berupa kekuatan diplomasi politik yang dapat mempengaruhi berbagai komponen masyarakat agar mau ikut berkomitmen untuk memperjuangkan hak masyarakat.

“Dahulu pada saat memperjuangkan hak kepemilikan lahan eks-HGU untuk masyarakat Jasinga beberapa rekan Bapak pernah mengalami pasang-surutnya semangat. Namun, rutinitas kami berupa diskusi, saling bertukar pikiran, curhat, dan sebagainya mampu memberikan dorongan yang akhirnya berhasil membuat semangat itu kembali muncul dan pada akhirnya kami dapat memegang komitmen hingga program sertifikasi dapat terlaksana.”

Upaya-upaya pendekatan dan kerja sama terus dilakukan oleh tim di paguyuban, yaitu pendekatan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor, Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Bogor, dan Badan Pertanahan Nasional Provinsi Jawa Barat. Pendekatan ini dilakukan melalui upaya diplomasi baik secara politik maupun sosial.

Terdapat berbagai hambatan yang dihadapi oleh tim dari paguyuban kepala desa dalam proses memperjuangkan terlaksananya reforma agraria di Kecamatan Jasinga. Hambatan terbesar datang dari pihak yang dahulu memiliki HGU, mereka masih berkeinginan untuk mendapatkan perpanjangan HGU di kawasan perkebunan Jasinga. Berbagai upaya dilakukan oleh mantan pemegang HGU tersebut, diantaranya adalah upaya-upaya yang bertentangan dengan etika dan ketentuan hukum yang berlaku.

“Pada proses memperjuangkan reforma agraria di Jasinga, terdapat hambatan besar yang menghalangi perjuangan kami. Hambatan itu muncul dari eks-pemilik HGU perkebunan

(7)

Jasinga, mereka juga ternyata masih keukeuh untuk mendapatkan perpanjangan hak kelola perkebunan. Upaya-upaya kotorpun mereka lakukan, diantaranya adalah dengan meminta bantuan kepada jawara leter A (sebutan untuk jawara/pendekar Banten). Beberapa rekan Bapak sempat diintimidasi untuk berhenti memperjuangkan Reforma Agaria ini.” (AFF, 55 tahun)

“Namun, Bapak melihat ada kelemahan dari pihak mereka yang bisa dimanfaatkan sebagai bumerang. Kelemahan itu adalah masalah pembayaran pajak perkebunan yang sudah tertunda beberapa tahun lamanya sehingga memberatkan pihak lawan untuk mendapatkan perpenjangan HGU. Selain itu mereka juga bersalah telah membiarkan lahan perkebunan begitu saja setelah penebangan karet, hal ini telah berlangsung selama berpuluh-puluh tahun. Sehingga akhirnya dimanfaatkan oleh masyarakat Jasinga. Dengan menghindari bentrokan fisik, akhirnya berbagai upaya yang kami lakukan dapat memukul mundur lawan” (AFF, 55 tahun)

Pihak eks-pemilik HGU Jasinga mendapatkan tekanan dari berbagai pihak, baik masyarakat maupun pemerintah. Akhirnya, berbagai usaha tersebut membuahkan hasil sehingga Kecamatan Jasinga dipilih sebagai lokasi percontohan program reforma agraria di Indonesia.

Pergerakan Paguyuban Kepala Desa se-Kecamatan Jasinga dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Momentum RA: Habisnya HGU Lahan eks-HGU diterlantarkan Masyarakat telah menggarap selama puluhan tahun Animo masyarakat untuk mendapatkan hak milik lahan Inisiatif tokoh sentral paguyuban (Lurah AFF) Paguyuban Kepala Desa Dukungan berbagai pihak: PEMDA BPN Kabupaten BPN Provinsi Pihak lain Upaya memperjuangkan RA Implementasi RA (program sertifikasi)

(8)

Gambar 3: Bagan Pergerakan Paguyuban Kepala Desa se-Kecamatan Jasinga

5.2 Pelaksanaan Reforma Agraria di Pamagersari

Pelaksanaan reforma agraria di Desa Pamagersari dimulai pada bulan Juni 2007. Jauh sebelum hari pelaksanaannya (pembagian sertifikat), berita mengenai program sertifikasi gratis telah diketahui oleh hampir seluruh warga Jasinga, mereka pun menyambut kabar tersebut dengan antusias, terutama warga yang memang sudah menggarap lahan eks-HGU sejak dahulu.

Kabar akan dibagikannya sertifikat lahan secara gratis benar-benar menggembirakan para petani yang menggarap lahan eks-HGU. Mereka mengakui bahwa dengan adanya sertifikat maka mereka lebih tenang dan leluasa menggarap lahan, tidak takut jika suatu saat lahan dan tanaman yang ada di dalamnya akan diambil alih oleh pihak yang dulu pernah memiliki HGU. Sementara sebelum memilik sertifikat banyak petani yang merasa khawatir akan kehilangan lahan garapannya.

Pada saat sertifikat dibagikan ada hal yang bertolak belakang dengan prosedur yang ditetapkan oleh Badan Pertanahan Nasional. BPN telah menjelaskan bahwa program sertifikasi yang diperuntukkan bagi petani miskin tidak dipungut biaya apapun

Keterangan: : Faktor yang mempengaruhi terbentuknya paguyuban. : Alur koordinasi : Alur upaya memperjuang kan RA. : Resistensi eks- pemilik HGU Resistensi eks-pemilik HGU Kelemahan eks-pemilik HGU

(9)

(gratis), akan tetapi pada pelaksanaannya warga yang akan mengambil sertifikat diharuskan membayar sejumlah uang.

Jumlah uang yang harus dibayar berbeda-beda nominalnya, semakin luas lahan yang dimiliki maka semakin besar uang yang harus dibayar kepada pemerintah desa. Pemerintah desa mengakui hal tersebut dan menjelaskan bahwa walaupun pelaksanaan program reforma agraria diklaim oleh BPN sebagai program gratis, namun pada kenyataannya pelaksanaan program ini membutuhkan biaya, misalnya untuk transportasi, konsumsi petugas, biaya pengukuran lahan, dan sebagainya. Pemerintah desa pun menganggap biaya tersebut sebagi suatu hal yang wajar.

Sebagian besar warga yang berhasil ditemui menganggap biaya tersebut merupakan suatu yang wajar. Salah satu pernyataan ini diungkapkan oleh CH (53 tahun), salah seorang penggarap lahan eks-HGU Blok Citeureup yang mendapatkan sertifikat.

“Menurut Ibu biaya itu wajar-wajar saja lah.., kitakan udah dibantu mendapatkan sertifikat, itung-itung sebagai ucapan terimaksih kepada aparat desa. Pada saat itu Ibu menebus sertifikat lahan yang luasnya 115 m2 dengan harga Rp. 100.000,-.”

(10)

Gambar 4: Sertifikat Lahan

Selain itu, terdapat warga yang merasa keberatan untuk menebus sertifikatnya karena dia masih tetap beranggapan bahwa program sertifikasi ini merupakan program gratis dari pemerintah sehingga warga tidak seharusnya dipungut biaya apapun. Secara teknis program sertifikasi ini berjalan dengan lancar, tanpa ada hambatan yang berarti. Sertifikat lahan eks-HGU berhasil dibagikan kepada 864 warga pamagersari yang telah ditentukan (Suryo, 2008).

5.2.1 Musyawarah Pembagian Lahan

Sebelum program sertifikasi lahan dilakukan, pemerintah desa mengadakan musyawarah dengan para penggarap lahan eks-HGU, musyawarah ini dilakukan untuk membicarakan mengenai usulan pemerintah desa untuk membagi lahan yang sedang digarap untuk dibagikan kepada warga lain yang tidak mampu dan tidak memiliki pekerjaan, hal ini dilakukan agar program sertifikasi ini lebih merata dan adil. Sejumlah lahan yang digarap akan diambil beberapa bagian yang kemudian akan diatasnamakan warga yang dianggap pantas mendapatkannya.

Sebagian besar warga (penggarap asal) menyepakati usulan ini dan bersedia membagi lahannya dengan warga lain yang kurang mampu atau belum memiliki pekerjaan. Rata-rata luas lahan hasil pembagian ini adalah 100 m2 sampai dengan 200 m2. Namun, ada juga warga yang menolak usulan itu dan tidak mau membagi lahannya

(11)

bahkan dia tidak ingin lahan eks-HGU yang sudah digarapnya bertahun-tahun masuk dalam program sertifikasi. Salah satunya adalah AMM (75), beliau merasa rugi jika lahan yang sudah digarapnya selama puluhan tahun harus dibagi dengan orang lain.

“Aki juga mengetahui program sertifikasi dari BPN akan dilaksanakan di Desa Pamagersari, namun Aki dengar lahan Aki nantinya akan diukur tapi untuk dibagi-bagikan lagi. Menurut Aki ini tidak pantas, masa lahan yang sudah susah payah kita garap harus diberikan kepada orang lain begitu saja.”

Usulan pemerintah desa mengenai pembagian lahan ini memang mambantu warga yang belum memiliki lahan dan pekerjaan, dengan harapan setelah memiliki lahan mereka dapat menggarap dan memiliki penghasilan dari lahan tersebut. Namun, di sisi lain hal ini ditentang warga yang sudah lama menggarap lahannya, karena mereka merasa rugi jika lahan tersebut harus dibagi dengan orang lain mengingat tanaman yang ada di dalam lahannya sudah tumbuh besar.

5.2.2 Access Reform

Kepastian keberlanjutan manfaat yang diterima oleh subjek reforma agraria memerlukan pengelolaan access reform secara tepat. Access reform dilaksanakan untuk mengoptimalkan pengusahaan obyek reforma agraria oleh penerima manfaat. Access reform ini merupakan rangkaian aktivitas yang saling terkait dan berkesinambungan yang meliputi antara lain: (a) penyediaan infrastruktur dan sarana produksi, (b) pembinaan dan bimbingan teknis kepada penerima manfaat, (c) dukungan permodalan, dan (d) dukungan distribusi pemasaran dan dukungan lainnya (BPN RI, 2007).

Berdasarakan informasi yang didapatkan, dapat diidentifikasi bahwa program

access reform di Desa Pamagersari belum terlaksana secara penuh. Hal ini dapat

(12)

Tabel 14: Access Reform

No Access Reform Pelaksanaan

(sudah/belum)

Keterangan 1 Infrastruktur dan sarana produksi Belum

2 Pembinaan dan bimbingan teknis Belum

3 Dukungan permodalan Sudah Belum optimal,

hanya berupa bantuan bibit buah-buahan sebanyak 200 batang. 4 Dukungan distribusi pemasaran dan

dukungan lainnya

belum

Tabel 14 memperlihatkan kenyataan bahawa program reforma agraria di Desa Pamagersari belum didukung oleh program penunjang atau yang disebut access reform yang sebenarnya perlu dilaksanakan, karena dengan program penunjang ini memungkinkan subjek program dapat memafaatkan lahannya dengan lebih baik.

Setelah program sertifikasi dilaksanakan pemerintah memberikan bantuan bibit tanaman, akan tetapi jumlahnya masih jauh dari mencukupi, yaitu sebanyak 200 batang bibit buah-buahan. Bibit ini pun dibagikan dengan cuma-cuma kepada warga, ada yang diberi dua batang, lima batang, tiga batang, dan lain sebagainya, namun banyak warga yang tidak mendapatkannya. Oleh karena itu, lebih tepat jika peneliti menyimpulkan bahwa program access reform di Desa Pamagersari belum dilaksanakan.

Bantuan dalam bentuk permodalan (misalnya kredi dan teknologi) atau dalam bentuk pelatihan belum pernah diberikan kepada warga yang menerima program sertifikasi. Berdasarkan hasil wawancara, warga yang menjadi subjek sertifikasi mengutarakan bahwa mereka sangat mengharapkan adanya bantuan tambahan yang mendukung kelangsungan usaha mereka. Hal ini seperti diutarakan oleh OM (50 tahun) salah satu penggarap lahan eks-HGU.

(13)

“Ibu oge hoyong atuh upami dipasihan modal ku pamerintah mah.., atawa dipasihan siga palatihan kitu... Kapungkur ibu nguping aya bantosan bibit buah-buahan di desa, tapi eta ngan saeutik cuenamah, ja Ibu oge teu kabagian”.

“Ibu juga mau jika ada bantuan modal dari pemerintah, atau diberikan semacam pelatihan. Dulu Ibu pernah mendengar ada bantuan bibit di desa, tapi katanya hanya sedikit, dan ibu juga tidak mendapatkan”.

Gambar

Tabel 14: Access Reform

Referensi

Dokumen terkait

Sistem informasi perpustakaan sekarang ini sangatlah penting untuk sekolah, instansi maupun pihak lainnya, dengan menggunakan sistem informasi perpustakaan, proses peminjaman,

Dapat menjadi sumber ilmu tambahan untuk berbagai pihak misalnya Aparatur penegak hukum seperti Polisi, Hakim, dan Jaksa yang mengawal jalannya penyelesaian kasus-kasus

Ampul dibuat dari bahan gelas tidak berwarna akan tetapi untuk bahan obat yang peka terhadap cahaya, dapat digunakan ampul yang terbuat dari bahan gelas

Dengan menerapkan metode pembelajaran yang terintegrasi dengan teknologi komputer (seperti SPC) akan memberikan suatu model yang berbasis unjuk kerja, hal ini

Sedangkan upaya sekolah yang dilakukan untuk mengatasi kendala dalam kegiatan tidak terprogram (kegiatan rutin, kegiatan spontan, kegiatan keteladanan) yaitu; (a)

diibaratkan seperti teknologi penginderaan jarak jauh menggunakan citra satelit yang digunakan untuk mendeteksi potensi sumber daya alam di suatu titik lokasi,

Itulah sebabnya banyak persoalan, keributan, atau konflik dalam gereja, karena ada pemimpinnya yang melayani menurut pola “apa yang dipikirkan manusia.” Maka

Bahwa yang dimaksud dengan waktu damai adalah saat atau waktu melakukan kegiatan meninggalkan kesatuan tersebut, Negara RI tidak dalam keadaan darurat perang sebagaimana