• Tidak ada hasil yang ditemukan

KORUPSI DAN TANTANGAN GLOBAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KORUPSI DAN TANTANGAN GLOBAL"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

KORUPSI DAN TANTANGAN GLOBAL

(Oleh: M. Arief Amrullah)

A. PENDAHULUAN

Korupsi sebagai bagian dari permasalahan kejahatan pada umumnya, telah menjadikannya sebagai suatu komuditi. Beta tidak, ketika berlangsungnya kampanye partai politik sampai dengan kampanye pemilihan presiden dan wakil presiden, korupsi merupakan barang yang layak untuk dijual ke publik. Karena itu, mereka yang berkampanye tersebut ramai-ramai mengusung isu korupsi, dan jika tidak maka seolah kampanye mereka tidak abdol. Ini berarti, kendati korupsi sudah merupakan barang tua, tapi selalu aktual untuk dibicarakan. Tidak, hanya sekedar konsumsi untuk diperbincangkan, tapi justru korupsi merupakan penyakit yang harus dienyahkan dan diberantas.

Permasalahan korupsi, tidak lagi hanya terbatas pada persoalan nasional suatu negara, termasuk Indonesia, tetapi juga merupakan bagian dari permasalahan global, dan sejak dipublikasikannya panduan praktis kali pertama dalam menghadapi korupsi oleh the Centre for International Crime Prevention (CICP) pada tahun 1992, yang bekerjasama dengan Departemen Kehakiman Amerika Serikat, dunia telah menyaksikan adanya peningkatan kesadaran oleh pemerintah dan lembaga-lembaga internasional, yang belum pernah terjadi sebelumnya, yaitu sehubungan dengan perluasan dan pengaruh negatif korupsi. Dalam beberapa tahun terakhir, organisasi-organisasi internasional, pemerintah dan sektor swasta telah menganggap korupsi sebagai penghalang yang serius terhadap pemerintahan yang demokratis, kualitas pertumbuhan, dan stabilitas nasional dan

(2)

internasional. Karena itu, perlu dilakukan upaya-upaya pencegahan yang efektif terhadap praktik-praktik korupsi tersebut. 1

Berbagai konferensi internasional, seperti pada konferensi PBB mengenai kejahatan terorganisasi transnasional, yang diselenggarakan di Palermo, Itali, tanggal 12-15 Desember 2000, telah dibicarakan bahwa korupsi merupakan permasalahan yang komplek baik sosial, politik maupun ekonomi. Sebelumnya, pada konferensi para menteri mengenai kejahatan terorganisasi transnasional yang diselenggarakan di Naples, 21-23 November 1994 agenda item 5, dengan tema National Legislation and its Adequacy to Deal with the Various Forms of Organized Transnational Crime; Appropriate Guidelines for Legislative and Other Measures to be Taken at the National Level, antara lain dikemukakan bahwa korupsi merupakan bagian dari kejahatan terorganisasi transnasional, karena itu perlu ada upaya-upaya bersama untuk menanggulanginya. Mengapa demikian, karena korupsai sangat membantu kegiatan-kegiatan kelompok penjahat terorganisasi.

Sebagai bagian dari kejahatan terorganisasi, karenanya wajar jika terdapat kesulitan dalam pengungkapannya. Bahkan dalam Kongres PBB ke-5 mengenai the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, yang diselenggarakan di Jenewa dari tanggal 1 hingga 12 September 1975. Di mana pembicaraan yang dipokuskan pada kejahatan sebagai bisnis (crime as business), baik pada tataran nasional maupun transnasional, yaitu organized crime, white-collar crime dan korupsi, di samping penjahat-penjahat biasa yang luput dari pemantauan. Kejahatan korporasi dan kejahatan terorganisasi atau kejahatan-kejahatan sindikat mempunyai banyak kesamaan dan dapat melibatkan aparat penegak

(3)

hukum dan pejabat politik. Kejahatan-kejahatan tersebut dapat disebut sebagai invisible crime, karena sulit untuk mengungkapnya.

Karena itu dalam Konferensi PBB mengenai Korupsi yang diadakan di Merida, Mexico, tanggal 9-11 Desember 2003 antara lain dikemukakan bahwa Majelis Umum PBB (General Assembly) dalam resolusinya No. 55/61 tanggal 4 Desember 2000 menghendaki adanya instrument hukum internasional yang efektif terhadap korupsi. Dengan didasari semangat untuk memerangi korupsi secara global, maka Majelis Umum dalam resolusinya No. 57/169 tanggal 18 Desember 2002 menerima tawaran dari Pemerintah Mexico untuk menjadi tuan rumah penyelenggara konferensi untuk menandatangani United Nations Convention against Corruption.

Dalam Discussion Guide untuk Kongres PBB ke-11 mengenai Crime Prevention and Criminal Justice yang akan diselenggarakan di Bangkok pada tanggal 18-25 April 2005. Pada Substantive item 3 mengenai Corruption: threats and trends in the twenty-first century dikemukakan bahwa terjadinya kekacauan di dunia disebabkan oleh perubahan-perubahan radikal setelah era perang dingin (the post-cold-war era), hal itu merupakan peluang dan pendorong timbulnya praktik-praktik kotor. Suatu asumsi bahwa pasar bebas dan tidak adanya campurtangan pemerintah dalam bidang ekonomi adalah obat untuk menghilangkan korupsi tampaknya dibuktikan dengan pengalaman baru-baru ini. Karena, apa yang tampak sekarang bahwa baik sistem ekonomi maupun sosio-politik menghasilkan versinya masing-masing terhadap korupsi dan tidak ada sistem yang secara lengkap atau komprehensip menawarkan upaya-upaya untuk memberantas korupsi.

Permasalahan korupsi terjadi dalam situasi-situasi monopolistik atau oligopolistik, karena kurangnya pengawasan yang diberikan oleh pasar terhadap perusahaan, termasuk

(4)

pengawasan terhadap perusahaan swasta yang dilakukan oleh negara untuk melakukan tugas khusus atau untuk menyediakan layanan atau kerja sosial. Untuk melakukan hal itu hanya ada sejumlah kecil perusahaan yang dapat memberikan pelayanan dimaksud. Selain itu, dengan meluasnya kewenangan untuk melakukan diskresi di tangan seseorang atau organisasi dapat membangkitkan hasrat dan merangsang untuk melakukan korupsi. Demikian juga halnya apabila sedikit atau tidak adanya mekanisme checks and balance, maka akan memberikan peluang kepada seseorang untuk menumpuk kekayaan yang tidak sepantasnya harus dilakukan lantaran kekuasaan yang ada padanya.

Berdasarkan uraian di atas menunjukkan, bahwa korupsi merupakan salah satu issue yang menginternasional. Karena itu, PBB dalam Draft Manual on Anti-Corruption Policy sebagai upaya Global Programme Against Corruption menyebutkan bahwa selama sepuluh tahun yang lalu, para pembuat kebijakan dan para sarjana telah mencurahkan perhatian terhadap sebab dan akibat dari korupsi terhadap bidang public and private socio-economic.

B. FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA KORUPSI

Secara garis besar penyebab terjadinya praktik korupsi meliputi beberapa faktor, antara lain :

1. kurangnya akses bebas warganegara terhadap pemerintah yang berkaitan dengan informasi publik;

2. kurangnya sistem jaminan transparansi, pengawasan dan tanggungjawab dalam perancanaan dan pelaksanaan anggaran sektor publik terkait dengan rendahnya mekanisme kontrol sosial;

(5)

3. penyalahgunaan kebijaksanaan dan ketidakpastian dalam penerapan dan penafsiran peraturan perundang-undangan dalam penyelenggaraan sektor publik;

4. kurangnya sistem internal untuk menjamin keterbukaan, pengawasan dan tanggungjawab dalam bentuk dan pelaksanaan kebijakan publik.

Selanjutnya, dalam Draft Manual on Anti-Corruption Policy sebagai upaya Global Programme Against Corruption dikemukakan bahwa sebelum seseorang dapat mengidentifikasi dengan sukses strategi penanggulangan korupsi maka, lingkungan tempat mereka akan dinilai. Identifikasi, apakah yang dimaksud dengan korupsi dan apakah yang seharusnya dianggap korupsi, merupakan kata kunci bagi keberhasilan program pemberantasan korupsi. Sebuah pembicaraan mengenai definisi korupsi telah dilakukan secara luas. Bagian yang sulit dalam menentukan definisi yang berlaku secara universal seperti pemberian label dari negara satu terhadap negara lainnya, demikian juga dari budaya satu terhadap budaya lainnya. Kadang-kadang, dalam negara yang sama terdapat berbagai perbedaan. Dalam hal ini, hasil survey tahun 1997 yang dilakukan oleh the New South Wales Independent Commission Against Corruption menemukan pertentangan (perbedaan) yang tajam, bahkan diantara pegawai sektor publik dalam lingkup negara-negara bagian Australia.

Untuk alasan itu, banyak orang yang kembali kepada hukum untuk memberikan definisi. Dalam pengertian umum, kita dapat menyetujui bahwa korupsi merupakan suatu penyalahgunaan kewenangan (publik) untuk keuntungan pribadi yang merintangi kepentingan umum (corruption is an abuse of (public) power for private gain that hampers

(6)

the public interest). Di Negara-negara berkembang, korupsi telah merusak pembangunan nasional yang meliputi sosial, ekonomi, dan politik. Pendapatan-pendapatan negara dialokasikan secara tidak efisien sehingga mendorong hilangnya kepercayaan masyarakat, dan pada gilirannya, akan menimbulkan ketidakstabilan politik seperti kurangnya infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan pelayanan lainnya. Tidak hanya di negara-negara berkembang, di negara-negara industri pun, ditemukan hal serupa. Korupsi menumbuhkan ketidakpercayaan terhadap lembaga publik, merusak dasar-dasar etik dengan menguntungkan yang mampu menyuap dan melestarikan kesenjangan. Persaingan ekonomi disimpangkan dan dana publik dihabiskan secara sia-sia. Apa pun keberhasilan ekonomi perusahaan swasta diperoleh dengan mengandalkan pada luasnya penyuapan-penyuapan.

Dengan demikian, risiko global akan lebih tinggi apabila hubungan antara korupsi dan kejahatan terorganisasi (organized crime) menjadi lebih kuat. Hampir semua keuntungan yang diperoleh dari pasar gelap didasarkan dukungan pejabat-pejabat publik. Karena, korupsi dijadikan alat kebutuhan bagi kelompok penjahat terorganisasi dalam melakukan kegiatannya. Bahkan, dalam Konferensi PBB Ke-10 (A/CONF.187/9) dinyatakan bahwa kelompok penjahat terorganisasi yang melakukan korupsi, kemungkinan dalam bentuk pemerasan, penyuapan atau sumbangan secara ilegal terhadap kampanye politik supaya mendapatkan pembagian keuntungan terhadap pasar tertentu. Pencucian keuntungan yang diperoleh secara tidak halal untuk ditanamkan kembali ke dalam ekonomi yang sah, tujuanya untuk meningkatkan keuntungan lebih lanjut.

(7)

C. BENTUK-BENTUK KORUPSI

Korupsi itu sendiri terwujud dalam bentuk-bentuk yang berbeda, dan biasanya, meliputi beberapa unsur sebagaimana tergambar di bawah ini.

1. Penyuapan (Bribery)

Penyuapan meliputi janji, penawaran atau pemberian sesuatu keuntungan yang seharusnya tidak pantas untuk mempengaruhi tindakan atau keputusan seorang pejabat publik. Penyuapan itu terjadi tidak hanya terhadap pejabat publik itu semata, tapi dapat juga meliputi anggota masyarakat yang melayani komisi pemerintah. Penyuapan itu dapat terdiri atas uang, saham, layanan seksual atau pemberian-pemberian lainnya, hadiah, hiburan, pekerjaan, janji, dan lain-lain. Keuntungan yang diperoleh oleh pejabat-pejabat korup itu dapat secara langsung atau tidak langsung. Dikatakan secara tidak langsung, apabila pemberian itu disampaikan melalui teman pejabat tersebut, keluarga, perkumpulan, dana kampanye, dan lainnya. Para penerima suap di sektor publik adalah para politisi, pembuat undang-undang, para penegak hukum, hakim, atau golongan lainnya dari pegawai negeri.

Di samping itu, sebagaimana yang ditulis oleh Dionysios Spinellis, di mana dalam bagian tulisannya mengenai Top hat criminality and white collar crime, membedakan dua bentuk kejahatan tersebut, yaitu white-collar criminals, umumnya, berkaitan dengan kegiatan bisnis utamanya dalam sektor swasta.Dan top hat criminals berkaitan dengan pejabat publik yang memegang dan menggunakan kewenangan politik. Apa yang dilakukan oleh white-collar criminals, yang sifatnya tidak langsung dan bergantung pada sejauh mana posisi keuangan dan pengaruh mereka terhadap orang yang memegang kekuasaan tersebut.

(8)

Sedangkan pada pejabat publik, sifatnya langsung karena berkaitan dengan kedudukan politis yang melekat padanya.

2. Penggelapan, pencurian dan perbuatan curang (embezzlement, theft and fraud)

Kejahatan-kejahatan tersebut meliputi pencurian harta kekayaan oleh orang kepercayaan dengan kewenangan dan pengawasan terhadap kekayaan pemerintah. Perbuatan-perbuatan itu dapat melibatkan pejabat-pejabat publik dan orang per seorangan secara pribadi. Sebagai contoh, pegawai pemerintah yang bertanggung jawab terhadap distribusi makanan untuk desa setempat, kemudian mencuri seporsi makanan dan menjualnya kepada pihak lain. Demikian juga, halnya dengan peralatan-peralatan medis yang dikirim dari airport ke rumah sakit setempat, yang dicuri dan dijual kepada apotek setempat. Seorang pejabat pemerintah mengajukan faktur palsu untuk perjalanan dinas.

Penggelapan juga meliputi perubahan kekayaan pemerintah dan personalia untuk kepentingan pribadi. Dalam mempertimbangkan larangan hukum terhadap tipe korupsi itu, tantangannya penetapan larangan tersebut menjadi cukup luas yang meliputi setiap cara yang tidak jujur berupa penyelewengan kekayaan publik yang dilakukan atas kelihaian penjahatnya. Karena itu, dalam penjatuhan pidananya tidak hanya pencurian yang secara fisik kelihatan, tetapi juga menggunakan waktu dan pegawai pemerintah, fasilitas dan perlengkapan pemerintah yang bukan kewenangannya.

3. Pemerasan (Extortion)

Perbuatan pemerasan meliputi pemaksaan seseorang untuk membayar uang atau menyediakan barang-barang berharga. Pemerasan bisa dilakukan di bawah ancaman fisik,

(9)

pemeriksaan dirinya ke dokter. Di rumah sakit, perawat mengatakan kepada suaminya bahwa dia (suami) harus membayar uang ekstra untuk mendapatkan dokter. Istrinya kemudian meninggal ketika dia berusaha mencari uang.

Di samping itu, ada pula yang disebut dengan uang semir (speed money) yang dibayarkan apabila petugas pemerintah lambat dalam memberikan pelayanan dan proses pelaksanaannya.

4. Memanfaatkan konflik kepentingan/mempengaruhi penawaran, perdagangan orang dalam (Exploiting a conflict of interest/influence peddling, insider trading)

Melakukan transaksi, mempengaruhi penjualan, atau mendapatkan posisi atau kedudukan atau kepentingan komersial yang bertentangan dengan suatu peranan jabatan dan tugas yang dimiliki untuk maksud memperkaya diri secara melawan hukum. Sebagai contoh, dengan maksud untuk mendapatkan keuntungan dari informasi rahasia, seorang pejabat publik membeli tanah di daerah yang direncanakan akan dikembangkan untuk pembangunan.

5. Penawaran atau penerimaan persenan secara pelawan hukum, pemberian atau komisi ilegal (Offering or receiving of an unlawful gratuity, favour or illegal commission)

Larangan tersebut ditujukan kepada para pejabat publik yang menerima sesuatu yang berharga atau bernilai sebagai pemberian ekstra bagi pelaksanaan tugas resmi. Sebagai contoh, setelah pengeluaran paspor atau dokumen lainnya penerima memberikan tawaran berupa “tip” atau “uang persenan” untuk mendapatkan pelayanan yang baik. Di banyak negara, hal itu tidak dipandang sebagai suatu perbuatan korupsi. Namun demikian,

(10)

praktik semacam itu merusak keseluruhan pelayanan publik dan dapat menimbulkan terjadinya pemerasan.

6. Favoritisme dan nepotisme

Hal tersebut adalah penempatan penunjukkan, pelayanan berdasarkan hubungan keluarga, suku, agama, golongan, dan kelompok-kelompok istimewa lainnya. Sebagai contoh, seorang pegawai publik menyediakan pelayanan yang luar biasa, komisi, pekerjaan dan pemberian kepada kelompok politik, keluarga dan teman.

7. Sumbangan politik secara ilegal (Illegal Political Contribution)

Clinard dan Yeager (1980: 157) menulis bahwa sumbangan yang diberikan itu, pada umumnya, untuk tujuan ekonomi, yaitu untuk menikmati jaminan birokrasi dan mempengaruhi politik sehingga akan berpengaruh pada peningkatan keuntungan korporasi yang lebih besar. Sebagai contoh (Jawa Pos, 15 Oktober 1996: 1; 13 Januari 2001: 1), yang menunjuk ke arah pemberian sumbangan, seperti yang diberitakan oleh tiga media massa terkenal Amerika Serikat, masing-masing The New York Time, Wall Street Journal, dan Washington Post, pada tanggal 7, 8, dan 9 Oktober 1996 yang telah mengungkap, pada tahun 1992, salah seorang konglomerat Indonesia, James Riady dari Lippo Group, menyumbang dana sebesar US$ 175.000 untuk kepentingan kampanye Bill Clinton yang saat itu bersaing dengan Bob Dole dari partai Republik. Karena itu, pada tanggal 11 Oktober 1996, Senator John McCain meminta Departemen Kehakiman mengusut kasus itu. Penyumbangan tersebut berdasarkan pengakuan Riady di Departemen Kehakiman Amerika Serikat pada hari Jumat 12 Januari 2001, sudah berlangsung sejak tahun 1988 sampai tahun

(11)

1994, dan atas perbuatan itu Riady dijatuhi hukuman denda sebesar US$ 8.610.000 dan pidana kerja sosial selama 400 jam.

Dengan adanya praktik semacam itu, untuk mengantisipasi perbuatan serupa di berbagai negara, sebelumnya OECD pada dokumen tentang Revised Recommendation of the Council on Combating Bribery in International Business Transactions, yang disetujui oleh Dewan (Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan) pada tanggal 23 Mei 1997, di mana pada bagian Criminalisation of Bribery of Foreign Public Officials, pada intinya merekomendasikan kepada negara-negara anggota untuk mengkriminalisasikan penyuapan terhadap pejabat publik asing.

D. KEBIJAKAN NASIONAL

Berdasarkan uraian di atas, baik yang terungkap dalam Draft United Nations Manual on Anti-Corruption Policy sebagai program global untuk memerangi korupsi maupun yang dikemukakan oleh para sarjana dan contoh-contoh yang memperkuat pernyataan tersebut. Pertanyaannya, bagaimana dengan upaya Indonesia dalam memerangi korupsi? Apabila mengacu pada Tap MPR Nomor VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN), menunjukkan bahwa adanya tekad bangsa Indonesia untuk memerangi KKN. Hal itu dapat dengan jelas dilihat dalam bagian menimbang dari Tap MPR tersebut bahwa permasalahan KKN yang melanda bangsa Indonesia sudah sangat serius dan merupakan kejahatan yang sangat luar biasa dan menggoyahkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Kemauan untuk memberantas KKN tersebut, sebenarnya pada tahun 1998, MPR telah

(12)

menetapkannya sebagai salah satu agenda reformasi, yaitu melalui Tap MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN.

Implementasi dari kemauan politik itu, dikeluarkanlah Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bebas dari KKN (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2851), Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3874), dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4150). Mengingat pemberantasan tindak pidana korupsi yang terjadi hingga sekarang belum dapat dilaksanakan secara optimal, karena itu pemberantasan tindak pidana korupsi perlu ditingkatkan secara profesional, intensif, dan berkesinambungan karena korupsi telah merugikan keuangan negara, perekonomian negara, dan menghambat pembangunan nasional. Dengan alasan tersebut maka dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang independent dengan tugas dan wewenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 (Lembaran Negara Tahun 2002 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4250).

Adapun, bentuk-bentuk dari tindak pidana korupsi yang diatur dalam Undang-undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001, selain apa yang sudah lazim dikenal, seperti penyuapan dan bentuk-bentuk

(13)

ketentuan Pasal 12 B Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 dinyatakan bahwa setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara Negara dianggap pemberian suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.

Penjelasan pasal itu menyatakan bahwa yang dimaksud dengan gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.

Kebijakan pemberantasan tindak pidana korupsi yang terimplementasi dalam perundang-undangan tersebut, arahnya pada memidana si pelaku, baik penjara maupun denda atas tindak pidana korupsi yang telah dilakukan. Sifatnya, preventif dan represif. Akan tetapi, belum mengatur mengenai penggunaan uang hasil korupsi. Karena itu, sebagaimana dikemukakan dalam Draft United Nations Manual on Anti-Corruption Policy sebagai program global untuk memerangi korupsi bahwa suatu strategi yang komprehensif dalam memerangi korupsi harus meliputi tindakan-tindakan yang ditujukan pada pencegahan dan penanggulangan pencucian uang hasil korupsi. Hubungan antara korupsi dan pencucian uang hasil korupsi bukan merupakan hal baru tetapi telah berlangsung pada beberapa kejadian di masa lalu. Keterkaitan antara pencucian uang dan korupsi tidak hanya berkaitan dengan pencucian hasil korupsi, tetapi lebih dari itu.

Sehubungn dengan itu, United Nations Convention against Corruption yang telah diadopsi oleh Majelis Umum PBB dalam resolusinya No. 58/4 tanggal 31 Oktober 2003, di

(14)

mana dalam Pasal 23 mengenai Laundering of proceeds of crime, antara lain ditentukan bahwa setiap negara anggota harus menyetujui resolusi tersebut, terutama yang berkaitan dengan prinsip-prinsip dasar hukum nasionalnya masing-masing, yaitu dengan mencantumkannya ke dalam undang-undang sebagai suatu tindak pidana apabila itu dilakukan dengan sengaja, di anataranya meliputi perbuatan-perbuatan :

a. Menukaran atau menstranfer harta kekayaan, mengetahui bahwa harta kekayaan tersebut adalah hasil dari kejahatan dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal harta kekayaan yang diperoleh secara gelap tersebut atau membantu seseorang yang terlibat dalam suatu tindak pidana dengan tujuan untuk menghindari tuntutan hukum atas perbuatan tersebut.

b. Menyembunyikan atau menyamarkan keadaan yang sebenarnya, sumber, lokasi, penempatan, pergerakan atau kepemilikan, yang diketahui bahwa harta kekayaan tersebut adalah hasil dari kejahatan.

Dengan telah dikeluarkannya Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 25 Tahun 2003, maka keberadaan undang-undang tersebut jelas terkait dengan Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan undang-undang lainnya yang sejenis, yaitu dengan satu tujuan untuk mempersempit terjadinya tindak pidana korupsi. Karena itu, dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 25 Tahun 2003 dikemukakan bahwa hasil tindak pidana adalah harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. Ini berarti, bahwa kehadiran Undang-undang tentang

(15)

Penjelasan Umum undang No. 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang bahwa berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait yang memidana tindak pidana asal (predicate crime) antara lain: Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

D. PENUTUP

Referensi

Dokumen terkait

Penganiayaan adalah salah satu bentuk kejahatan blue collar atau kejahatan kerah biru yang mana kejahatan ini lebih mengutamakan kejahatan otot atau tindakan

Berdasarkan data yang telah dijabarkan pada dalam hasil penelitian, dapat dikatakan bahwa para validator sepakat jika perangkat pembelajaran IPA berbasis

Pembahasan penelitian ini berdasarkan hasil observasi kegiatan guru dan siswa serta hasil belajar yang diperoleh siswa dapat diungkapkan bahwa sebelum

Dinas Sosial dan Tenaga Kerja agar mengadakan pendataan terhadap semua Buruh Tani harian Lepas (BTHL) baik yang berdomisili di Kecamatan Berastagi maupun di luar

SALEH BOTTEN - PARUGA RASANAE BRT KOTA BIMA UD INDS.. TAHIR HAMID - PARUGA RASANAE BRT KOTA BIMA

Penerapan perangkat pembelajaran berbasis CTL yang telah dikembangkan pada materi pokok cahaya berpengaruh positif untuk meningkatkan prestasi belajar fisika siswa kelas

Guru merupakan ujung tombak dalam upaya meningkatkan kualitas sistem layanan dan hasil pendidikan. Untuk memenuhi amanat Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Subjek penelitian ini adalah guru mata pelajaran Aqidah Akhlak di MIS Hidayatul Muhajirin Palangka Raya. Teknik