• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAGIAN IV PERILAKU EKONOMI RUMAH SAKIT DAN TENAGA DOKTER

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAGIAN IV PERILAKU EKONOMI RUMAH SAKIT DAN TENAGA DOKTER"

Copied!
64
0
0

Teks penuh

(1)

PERILAKU EKONOMI RUMAH SAKIT DAN

TENAGA DOKTER

PENGANTAR

Bagian IV disusun dengan basis pengertian bahwa perilaku rumah sakit dan staf rumah sakit dapat dianalisis berdasarkan sudut ekonomi. Dengan menggunakan model Circular Flow, perilaku ekonomi rumah sakit dan sumber daya manusianya terjadi pada pasar barang produksi dan pasar input. Jenis rumah sakit, teknik pemba-yaran, jenis kepemilikan dan sumber pembiayaan mempengaruhi perilaku rumah sakit. Dalam sistem ekonomi yang mengenal peranan pemerintah dan pasar, terdapat tiga kelompok lembaga usaha (firma) yaitu: lembaga usaha mencari keuntungan, lembaga usaha pemerintah, dan lembaga usaha swasta tidak mencari keuntungan (Folland dkk., 2001). Di Indonesia, pembagian rumah sakit secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi tiga pula yaitu: rumah sakit pemerintah yang tidak mencari keuntungan, rumah sakit swasta yang tidak mencari keuntungan seperti rumah sakit keagamaan dan kemanusiaan, dan rumah sakit swasta yang mencari keuntungan.

Secara praktis, rumah sakit for-profit maupun non-profit merupakan lembaga usaha yang kompleks. Keadaan ini tampak lebih nyata pada rumah sakit yang merangkap menjadi rumah sakit pendidikan. Dalam konteks ini maka Bab XI akan membahas berbagai model ekonomi perilaku rumah sakit dengan latar belakang profit dan

non-profit Apapun jenis rumah sakit, pada intinya rumah sakit

mempunyai fungsi yang berjalan secara campur aduk, seperti fungsi tempat penyembuhan, fungsi sebagai "hotel", dan fungsi sebagai

(2)

tempat pendidikan. Di samping itu, rumah sakit merupakan lembaga yang mempunyai tenaga kerja yang tergolong tinggi pendidikannya, misalnya para spesialis. Keadaan ini sangat mencolok pada rumah sakit pendidikan yang terdapat banyak spesialis, subspesialis, dan mempunyai derajat akademik yang tinggi sebagai profesor. Keadaan ini membutuhkan perhatian khusus. Bab XII dan Bab XIII membahas perilaku dokter sebagai profesional yang menentukan perilaku rumah sakit. Pemahaman ini sangat penting sebagai bahan pertimbangan bagi para eksekutif rumah sakit dalam merencanakan dan memutuskan kebijakan manajerial.

(3)

BAB XI

PERILAKU EKONOMI RUMAH SAKIT

Dalam bab ini perilaku rumah sakit secara ekonomi dibahas melalui dua pendekatan yaitu (1) model standar perusahaan dan (2) model rumah sakit non-profit. Model standar perusahaan mengacu pada perilaku perusahaan yang memaksimalkan keuntungan. Sebenar-nya definisi untung atau tidak untung tidak begitu jelas di Indonesia. Menurut Folland dkk (2001), batasan non-profit adalah secara hukum tidak boleh ada pihak yang menerima atau meminta sisa hasil usaha (SHU) lembaga tersebut. Sisa hasil usaha berarti selisih antara pendapatan dan biaya atau yang disebut sebagai untung dalam lem-baga usaha biasa. Di Amerika Serikat terdapat dua ciri lain yang membedakan status non-profit dengan for-profit. Pembedaan pertama adalah lembaga non-profit tidak perlu membayar pajak perusahaan dan sering dibebaskan dari pajak bangunan dan tanah serta pajak penjualan. Kedua, sumbangan kepada lembaga non-profit akan mengurangi pajak bagi pihak-pihak yang menyumbang.

Definisi non-profit di Amerika Serikat masih sulit dipergunakan di Indonesia dan perlakuan pajak relatif hampir sama antara rumah sakit non-profit dengan rumah sakit for-profit. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa dalam masa transisi lembaga sosial menjadi lembaga sosial-ekonomi, gambaran mengenai bentuk for-profit dan

non-profit masih belum tegas dalam sektor rumah sakit di Indonesia.

Bab ini akan membahas berbagai bentuk rumah sakit.

11.1 Model Standar Sebuah Perusahaan yang For-Profit

Tujuan perusahaan adalah menghasilkan keuntungan yang sebesar-besarnya dan berusaha mempunyai kemampuan yang cukup

(4)

dalam mencapai tujuan sesuai dengan perkembangan lingkungannya. Rumah sakit yang berbentuk perusahaan terbatas bertujuan mencari laba, walaupun tujuan tersebut mungkin tidak dapat dicapai secepat dan sebesar perusahaan jasa keuangan. Hal ini mungkin disebabkan oleh lingkungan ekonomi rumah sakit yang berorientasi laba belum sekuat sektor lainnya.

Dalam model Circular Flow, Katz dan Rosen (1998) menya-takan minimal ada tiga komponen firma yaitu: (1) pekerja atau orang yang dibayar atas gaji tetap dan mempunyai peraturan kerja; (2) manajer yang bertangggung-jawab untuk menetapkan keputusan, dan memonitor para pekerja; dan (3) pemilik yang mempunyai modal dan menanggung risiko keuangan usaha. Dalam model standar perusahaan terdapat pemisahan antara pemilik dengan para manajer pelaksana.

Pemisahan antara pemilik dengan para manajer merupakan salah satu ciri lembaga usaha yang modern. Dengan dibukanya perusahaan di pasar saham, maka kemungkinan terdapat ribuan pemilik saham, yang tentunya sebagian besar tidak berurusan dengan keputusan-keputusan usaha. Keadaan ini menyebabkan kepemilikan lembaga usaha menjadi tidak personal (Scott, 1997). Pemisahan antara pemilik dengan para manajer ini menghasilkan struktur organisasi yang merupakan standar sebuah perusahaan yaitu adanya badan yang disebut sebagai Board of Directors dan para manajer yang menjalankan pekerjaan manajemen sehari-hari.

Pada perusahaan-perusahaan yang besar dan terbuka, pemilik saham akan bertambah besar jumlahnya. Pemilik saham yang banyak ini, menimbulkan biaya informasi yang cukup besar untuk mengen-dalikan manajer. Pemilik modal menjadi sulit mengikuti strategi-strategi yang dilaksanakan perusahaan atau yang diarahkan perusahaan. Pada prinsipnya mekanisme pengendalian oleh pemilik modal terhadap manajer menjadi bersifat tidak sempurna.

Tugas Board of Directors dalam rumah sakit model perusahaan tentunya serupa dengan perusahaan biasa. Board of Directors ber-peran sebagai tonggak utama dalam mekanisme pengendalian internal. Dalam sistem yang mengacu pada good corporate governance, terdapat peraturan yang menerangkan mengenai peran manajer dan

(5)

dewan. Salah satu tugas utama dewan adalah mengawasi kinerja para manajer atas nama pemegang saham. Jika anggota dewan menilai hasil kinerja manajer tidak sesuai dengan harapan pemegang saham, jika terjadi kesepakatan anggota dewan dapat memberhentikan manajer dan menggantikan dengan orang lain yang dinilai lebih mampu. Adanya ancaman pemberhentian ini mendorong para manajer bekerja memenuhi harapan pemegang saham, yaitu semakin besarnya dividen yang diterima.

Dalam perusahaan tanggung jawab Board of Directors secara umum adalah melakukan monitoring terhadap manajer atas mandat dari pemegang saham perusahaan. Secara rinci fungsi kuncinya antara lain adalah:

1. Me-review dan mengarahkan strategi lembaga usaha, rencana besar, kebijakan risiko, anggaran tahunan dan rencana usaha; menetapkan indikator kinerja, monitoring pelaksanaan dan kinerja lembaga usaha, serta mengawasi pengeluaran modal.

2. Memilih, memberikan kompensasi, memonitor dan bila perlu mengganti direktur dan mengawasi perencanaan penggantian 3. Mengkaji pembayaran eksekutif dan dewan direktur

4. Memonitor dan mengelola berbagai konflik yang potensial dalam manajemen.

Dalam hal ini pengembangan corporate governance rumah sakit dapat dibahas melalui dua pendekatan, yaitu: (1) model standar perusahaan yang memaksimalkan keuntungan; dan (2) model rumah sakit non-profit. Dua model ini mempunyai corporate governance

system agar tujuan rumah sakit dapat tercapai. Sistem corporate governance pada rumah sakit for-profit tujuannya adalah

mening-katkan keuntungan sebesar-besarnya. Sementara itu, sistem corporate

governance pada rumah sakit non-profit bertujuan menjamin agar misi

rumah sakit dapat berjalan seefisien mungkin.

Pada awalnya adanya Board of Directors (di rumah sakit

for-profit) atau Board of Trustees (di rumah sakit non-for-profit) lebih

berfungsi sebagai stempel-cap yang mengesahkan keputusan-keputusan direksi. Fungsi awal lain yaitu menggalang dana-dana kemanusiaan atau mendapatkan dukungan politis. Oleh karena itu,

(6)

para anggota Board banyak berasal dari kalangan politisi, pengusaha, pemimpin-pemimpin informal di masyarakat, atau dermawan. Akan tetapi di Amerika Serikat dilaporkan bahwa fungsi Board dalam rumah sakit menjadi lebih menentukan dalam keputusan-keputusan manajemen (Alexander dkk., 2001).

Contoh corporate governance rumah sakit for-profit adalah adanya struktur Board of Directors di University Health System Ltd. yang dimiliki oleh Tulane University (20% saham) dan Columbia, sebuah perusahaan for-profit yang bergerak dalam jaringan rumah sakit (80% saham) (Bulger dkk., 1999). Anggota Board berjumlah 10 orang, terdiri atas 5 orang dari Tulane University dan 5 orang dari Columbia. Pimpinan Board berasal dari Tulane University. Semua keputusan besar harus disetujui oleh tiga anggota dari Tulane Univer-sity dan tiga anggota dari Columbia. Keputusan yang membutuhkan suara mayoritas dari Board adalah berkaitan dengan pengangkatan dan pemberhentian direktur rumah sakit, pengembangan usaha atau penghapusan pelayanan rumah sakit, modifikasi penunjang akademik, dan pembelian rumah sakit pendidikan dalam radius 75 mil.

Dalam konteks struktur corporate kemungkinan terjadi perbe-daan antara perilaku pemegang saham yang ingin memaksimalkan

profit dengan manajer dan karyawan perusahaan. Manajer mungkin

mempunyai tujuan lain di samping memaksimalkan laba antara lain meningkatkan penjualan, meningkatkan pangsa pasar, dan mengejar pertumbuhan perusahaan yang cepat. Manajer bukan pemilik, tetapi para profesional yang digaji untuk mengelola perusahaan. Gaji manajer cenderung meningkat sesuai dengan kenaikan penjualan total (Baumol, 1967). Dengan demikian, dapat dimengerti apabila manajer cenderung meningkatkan penjualan (sales maximiser). Namun, ada pula perilaku manajer yang cenderung mencari kepuasan lain dari pekerjaan mereka. Simbol-simbol kepuasan yang sering dipergunakan adalah: ruang kantor yang mewah, mempunyai mobil perusahaan yang bagus, menjadi anggota klub eksekutif, dan sebagainya.

Di dalam kelompok karyawan, motif memaksimalkan keun-tungan mungkin juga tidak menjadi hal yang utama, kecuali apabila karyawan sekaligus menjadi pemegang saham. Faktor kesenangan dan

(7)

kenyamanan bekerja merupakan tuntutan karyawan yang mungkin akan mengurangi profit. Kemungkinan karyawan menuntut adanya rekreasi tahunan untuk keluarga atau pembangunan fasilitas olahraga di kantor. Pada suatu titik tertentu, tuntutan karyawan dapat dilakukan dengan cara demonstrasi mogok kerja dan seringkali hal itu terjadi di Indonesia akhir-akhir ini.

Tujuan bekerja manajer dan karyawan bukan untuk mencari keuntungan semata dapat memicu apa yang disebut sebagai

X-inefficiency. Perusahaan dipaksa mengeluarkan anggaran yang

seha-rusnya tidak diperlukan untuk kelangsungan hidup dan perkembangan perusahaan. Pertentangan klasik sering terjadi antara para pemilik, manajer, dan karyawan dalam hal perilaku hidup ini. Pada berbagai rumah sakit keagamaan, konflik antara karyawan dengan pemilik rumah sakit dan pihak direksi dapat terjadi pula.

Sebagai catatan, perilaku pemilik perusahaan tertentu sebagian bertujuan mencari kepuasan lain, di luar laba dari perusahaan. Pada keadaan ini pemilik merasakan bahwa yang penting bukan besarnya laba melainkan manfaat dari laba tersebut yang dapat digunakan untuk hal-hal yang bersifat membantu, misalnya memberi sponsorship pada perkumpulan olahraga atau memberi beasiswa. Akan tetapi, pada umumnya para pemilik tetap ingin meningkatkan keuntungan setinggi-tingginya.

11.2 Model Rumah Sakit Pemerintah dan Rumah Sakit Swasta Non-Profit

Seluruh rumah sakit pemerintah merupakan organisasi yang bersifat non-profit. Walaupun muncul perkembangan baru seperti menjadi perusahaan jawatan, lembaga teknis daerah, UPT Daerah, ataupun rumah sakit swadana, secara praktis rumah sakit pemerintah bukan berubah menjadi lembaga pencari keuntungan. Hal yang jelas terjadi adalah suatu proses yang mengarah pada bentuk-bentuk lembaga usaha, walaupun masih ditemukan rumah sakit yang dikelola sebagai lembaga birokrasi. Demikian pula berbagai rumah sakit

(8)

swasta, banyak diantaranya bersifat non-profit. Rumah sakit-rumah sakit yang bersifat non-profit pada umumnya dimiliki oleh yayasan keagamaan, sosial kemanusiaan ataupun perorangan. Dalam membahas rumah sakit non-profit, konsep pembahasan nantinya akan dilakukan serupa dengan rumah sakit yang berorientasi laba.

Mengapa ada lembaga non-profit ?

Berdasarkan teori ekonomi, profit merupakan hal penting bagi sebuah lembaga untuk berkembang. Pertanyaannya, mengapa masih ada lembaga non-profit di dunia? Bertahannya lembaga usaha non

profit menunjukkan bahwa tidak semua sektor kehidupan dipengaruhi

oleh pasar seperti yang digambarkan pada model Circular Flow (Bagian II). Berbagai sektor, seperti pendidikan, kesehatan, trans-portasi timbul berbagai hal yang menyebabkan kegagalan pasar, misalnya adanya eksternalitas dan adanya public goods. Adanya eksternalitas akan membutuhkan peran pemerintah. Dengan menyediakan obat-obatan gratis untuk sekelompok orang yang sakit Tuberkulosis, maka pemerintah dapat lebih melindungi masyarakat sehat yang mempunyai kemungkinan tertular oleh sekelompok penderita Tuberkulosis ini.

Beberapa pelayanan kesehatan mempunyai ciri public goods yang bersifat non-excludable. Arti dari ciri ini adalah tidak mungkin untuk membatasi jasa yang diberikan ini dari masyarakat. Sebagai contoh, pelayanan rumah sakit yang bersifat non-excludable bagi orang miskin. Artinya, pelayanan harus bersifat gratis kepada seluruh orang miskin yang membutuhkannya. Dapat dibayangkan bahwa timbul kesulitan untuk melakukan penentuan tarif karena masyarakat miskin tidak mampu membayarnya.

Dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang mempunyai aspek eksternalitas dan sifat public goods, pemerintah mempunyai anggaran sebagai perwujudan sikap politik negara kesejahteraan. Dalam memberikan pelayanan muncul pilihan untuk menyelenggarakan sendiri melalui lembaga pelayanan kesehatan pemerintah. Akan tetapi, kemungkinan lembaga-lembaga milik

(9)

pemerintah tidak cukup jumlahnya atau tidak cukup efisien untuk menangani pelayanan. Pilihan lain dengan cara mengkontrakkan kegiatan pelayanan kepada lembaga swasta. Dalam hal ini akan timbul keanehan apabila pemerintah memberikan kontrak pelayanan kese-hatan yang mengandung eksternalitas dan sifat public goods kepada lembaga for-profit. Secara logika dana pemerintah dapat disalurkan kepada lembaga non-profit melalui mekanisme subsidi ataupun pemerintah seolah-olah membeli jasa dari lembaga non-profit ini.

Apabila ditinjau dari sisi dana masyarakat, pemberian dana masyarakat kepada lembaga non-profit masih terus bertahan. Sebagian masyarakat masih mempunyai niat menyumbang walaupun rendah. Di Amerika Serikat, sampai dengan tahun 1996, 3% dari total pendapatan rumah sakit berasal dari dana kemanusiaan. Faktor kemanusiaan yang melatarbelakangi sumbangan dari masyarakat ini dan pada aspek ini pula rumah sakit non-profit dapat bergerak lebih baik dibandingkan dengan yang for-profit.

11.3 Struktur Organisasi Rumah Sakit Non-Profit

Pemilik rumah sakit pemerintah adalah Departemen Kesehatan untuk RSUP, pemerintah provinsi atau kabupaten atau kota untuk rumah sakit daerah, dan angkatan bersenjata serta Polri untuk rumah sakit militer dan polisi. Rumah sakit BUMN dikelompokkan dalam rumah sakit swasta. Pemerintah sebagai pemilik berada pada posisi sebagai Dewan Penyantun atau atasan dari direksi rumah sakit yang diangkat. Hubungan antara pemilik sebagian atasan dan pengelola merupakan bagian dari sistem birokrasi pemerintahan. Oleh karena itu, jabatan manajemen pada rumah sakit pemerintah masih menggu-nakan model birokrasi dengan sistem eselon. Semakin tinggi jabatan struktural di rumah sakit, semakin membutuhkan eselon yang lebih tinggi pula. Dalam hal ini memang terjadi pemisahan yang jelas antara pemilik dengan manajer. Akan tetapi, hubungan ini tidak menggu-nakan konsep corporate governance, tetapi lebih mengandalkan pada hubungan atasan bawahan. Rekruitmen direksi rumah sakit

(10)

peme-rintah sering tidak jelas kriterianya. Baru pada tahun 2001 ini dike-luarkan suatu sistem baru rekruitmen direktur rumah sakit pemerintah pusat yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pelayanan Medik. Di dalam rumah sakit pemerintah daerah, pemerintah sebagai pemilik pada umumnya para pejabat mempunyai posisi di dalam Dewan Penyantun.

Sebagaimana telah dibahas, pemisahan dan hubungan kerja antara pemilik dan manajer menjadi hal penting dalam rumah sakit swasta for-profit. Berbeda dengan lembaga usaha swasta for-profit, misalnya dalam bentuk PT, lembaga usaha swasta non-profit yang bergerak pada rumah sakit sebagian tidak mempunyai pemisahan antara pemilik dengan pengelola atau karyawan. Pemilik rumah sakit, yang paling umum berbentuk yayasan dapat bertindak pula sebagai manajer rumah sakit. Dalam konteks ini, hubungan antara yayasan dan direksi dapat menjadi suatu masalah. Dengan tidak jelasnya hubungan antara direksi dan pemilik maka sistem kontrol internal yang menjadi jantung good corporate governance dapat tidak berjalan. Istilah Board

of Trustees seperti pada rumah sakit non-profit di Amerika Serikat

tidak banyak dikenal dalam rumah sakit Indonesia. Hal ini dapat dipahami karena model corporate governance di Indonesia lebih terpengaruh oleh model kontinental yang menggunakan istilah Dewan Komisaris, bukan model Board seperti di Amerika Serikat. Secara konseptual memang terjadi suatu ketidakjelasan pembagian tugas antara yayasan dan manajer rumah sakit di Indonesia.

Berbagai faktor dapat mempengaruhi timbulnya masalah dalam hubungan antara manajer dan pemilik rumah sakit, antara lain: anggota yayasan yang tidak mempunyai pemahaman dan keahlian mengenai rumah sakit, terjadi perangkapan jabatan yayasan dengan direksi sehingga menimbulkan conflict of interest; para manajer tidak memahami akan pentingnya sistem kontrol dan berbagai hal lainnya. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila muncul berbagai konflik antara yayasan dan direksi, atau antaranggota yayasan, atau antara anggota yayasan dan pemilik yayasan. Konflik tersebut terjadi pula pada lembaga-lembaga keagamaan yang seharusnya bebas dari konflik.

(11)

11.4 Perilaku Pemilik, Manajer dan Karyawan Rumah Sakit Non-Profit

Sesuai dengan namanya, organisasi non-profit adalah organisasi yang sifatnya tidak mencari laba. Dalam hal ini yang menjadi pertanyaan penting adalah apa yang mendorong pemilik, manajer dan karyawan untuk bekerja bersama? Apakah motivasi keuangan, motivasi surgawi, motivasi kemanusiaan, atau motivasi lain? Hal ini menarik dicermati karena pemilik rumah sakit keagamaan, misalnya RS Katolik tentu mempunyai misi surgawi memberikan pelayanan kesehatan kepada yang membutuhkan. Akan tetapi, apakah dokter spesialis atau perawat yang bekerja di RS Katolik juga mempunyai motivasi surgawi? Ataukah ada motivasi lain? Berbagai kasus menunjukkan ketidakcocokan antara perilaku pemilik dan karyawan. Sebagai contoh, sebagian direksi rumah sakit keagamaan adalah para biarawati yang bekerja dengan dasar surgawi. Akan tetapi, dokter spesialis yang bekerja di RS keagamaan ini adalah para profesional yang mempunyai pendapatan berdasarkan keinginan dan standar pasar. Akibatnya, timbul keanehan yaitu bahwa rumah sakit kea-gamaan saat ini menjadi tempat bekerja yang ideal bagi dokter untuk memperoleh pendapatan sangat tinggi. Hal ini tentunya berlawanan dengan prinsip-prinsip pemerataan dan kehidupan sederhana yang merupakan ajaran agama.

Perilaku Pemilik

Pemerintah sebagai pemilik rumah sakit, maka perilakunya adalah sebagai pelaksana tugas-tugas pemerintah. Kegiatan yang menjadi tugas pemerintah telah dirancang dalam perencanaan tahunan pemerintah melalui departemen-departemen dan Badan Perencana Pembangunan Nasional atau Daerah. Kegiatan ini akan dilakukan dalam bentuk proyek atau kegiatan rutin. Dalam hal ini sebenarnya rumah sakit merupakan tempat yang harus mendapatkan subsidi dari pemerintah karena sifatnya sebagai pelayanan publik. Akan tetapi, pada kenyataan dapat terlihat hal-hal berbeda. Sebagai contoh, di

(12)

beberapa rumah sakit daerah, timbul perilaku ekonomi pemilik yang mengharapkan kontribusi RSD untuk Pendapatan Asli Daerah dan menjadi penopang untuk kegiatan pemerintah daerah sehari-hari. Hal ini terjadi karena pemerintah daerah kekurangan cash-flow untuk melakukan kegiatan pemerintahan. Biaya untuk itu kemudian diambil dari rumah sakit karena merupakan lembaga pemerintah yang memiliki cash-flow paling lancar. Keadaan terburuk dari situasi ini adalah penggunaan pendapatan rumah sakit untuk membiayai kegiatan lain pemerintah. Hal ini berarti subsidi dari orang sakit untuk orang sehat. Patut dicatat bahwa pada pemerintah daerah yang miskin, pendapatan rumah sakit pemerintah berisiko dipotong untuk kegiatan pemerintah lainnya.

Perilaku pemerintah sebagai pemilik tidak dapat dilepaskan dari perilaku birokrat tingkat atas. Sebagai bagian dari birokrasi, seharusnya para birokrat tidak berperilaku sebagai pengusaha. Dalam hal ini kemungkinan bahwa perilaku birokrat tingkat atas ada yang menyimpang. Salah satu teori penyimpangan birokrat dikemukakan oleh Niskanen. Modelnya mengasumsikan bahwa birokrat tingkat atas mempunyai gaji yang tidak begitu besar. Untuk menambah pendapatan, diperlukan pemasukan tambahan dari proyek-proyek yang dilaksanakan di kantornya. Di samping itu, prestise birokrasi diperoleh apabila ada pengembangan program secara besar. Dampak praktisnya, jika birokrat ingin meningkatkan pendapatan dan prestisenya, maka cara yang paling baik adalah dengan meningkatkan anggaran belanja kantornya untuk proyek. Di Indonesia pemberian insentif kepada pimpinan dan staf proyek secara legal ataupun ilegal merupakan salahsatu cara meningkatkan penghasilan birokrat tingkat atas yang disesuaikan dengan anggaran proyek, sehingga perilaku birokrat tingkat atas tersebut dapat menjadi budget-maximiser.

Perilaku pemilik rumah sakit keagamaan yang diwakili oleh yayasan tentu berbeda dengan rumah sakit pemerintah. Prinsip dasar keagamaan adalah membantu pelayanan kesehatan terutama untuk orang miskin. Hal ini biasanya tercantum dalam pernyataan misi rumah sakit yang intinya adalah pernyataan tugas untuk melayani orang miskin dengan dasar kasih bagi rumah sakit Katolik, atau

(13)

melayani kaum dhuafa (orang miskin) bagi RS Islam. Akan tetapi, ternyata terjadi perilaku pemilik yayasan yang tidak hanya untuk melayani orang miskin. Pada berbagai rumah sakit keagamaan, yayasan sebagai pemilik dengan tegas menyatakan bahwa rumah sakit harus menghasilkan pendapatan dan memberikan kontribusi dalam jumlah tertentu untuk perkumpulan keagamaan. Dengan demikian rumah sakit diharapkan menjadi sarana penghasil uang bagi yayasan, bukan lagi sebagai tempat untuk diberi sumbangan. Salah satu hal menarik dari perilaku ini adalah anggapan bahwa rumah sakit telah menggunakan nama, koneksi, dan perlindungan dari perkumpulan keagamaan. Oleh karena itu, sudah selayaknya apabila rumah sakit memberikan kontribusi kepada pemilik.

Pemilik rumah sakit swasta meliputi perorangan, keluarga atau sekelompok orang yang mendirikan yayasan kemanusiaan. Di Indonesia, saat ini ada undang-undang mengenai Yayasan (UU No. 16/2001) dengan tegas melarang pembagian SHU untuk pemilik atau sekelompok pemilik lembaga non-profit. Dalam praktik, kemungkinan rumah sakit keagamaan yang non-profit berperilaku seperti pemegang saham pada perusahaan for-profit. Dalam hal ini SHU dibagikan kepada pemilik sehingga menyerupai PT. Keadaan ini dilarang dalam Undang-Undang Yayasan tahun 2001.

Kerancuan antara bentuk yayasan dan PT tersebut berimbas pada masalah pajak yang dikenakan untuk rumah sakit for-profit atau

non-profit. Di Indonesia perilaku pajak antarkeduanya praktis tidak

berbeda. Hal ini sangat berlainan dengan keadaan di Amerika Serikat. Perilaku lain adalah besarnya gaji untuk anggota yayasan. Apabila anggota yayasan atau dewan penyantun digaji besar maka keadaannya akan menyerupai dewan komisaris di dalam perusahaan. Di Thailand dewan penyantun rumah sakit daerah tidak digaji, tetapi diberi ongkos transpor pada saat pertemuan. Di RS Mata Dr. Yap Yogyakarta, anggota yayasan rumah sakit tidak digaji tetapi diberi ongkos transpor yang kecil.

(14)

Perilaku Manajer

Para manajer rumah sakit non-profit mempunyai kemungkinan untuk berperilaku seperti manajer rumah sakit swasta for-profit. Hal ini terjadi apabila pendapatan manajer dikaitkan dengan besarnya pendapatan fungsional. Dengan demikian, terjadi perilaku

sales-maximiser (Baumol, 1967). Hal ini dapat dilihat pada sistem insentif

yang ada di beberapa RSUD dengan pendapatan direktur tergantung pada besar kecilnya pendapatan fungsional. Di RSUP milik pemerintah pusat, perilaku ekonomi manajer rumah sakit dapat berupa

sales maximiser atau budget maximiser, apabila ada proyek-proyek

yang memberi insentif untuk direksi rumah sakit. Di berbagai rumah sakit swasta non-profit, perilaku manajer dapat pula sales maximiser. Akan tetapi, menarik untuk dicermati pada beberapa rumah sakit keagamaan, misalnya RS Katolik, beberapa manajer puncak adalah para biarawati. Perilaku ekonomi para manajer ini terlihat sama dengan pemilik yaitu perilaku surgawi. Sebagai contoh, RS Panti Rapih Yogyakarta, direktur keuangannya adalah seorang suster yang sepertinya tidak menerima gaji atau mendapat fasilitas berlebihan.

Perilaku ekonomi karyawan rumah sakit yaitu dokter, perawat, dan karyawan nonmedik bervariasi dan individualistik. Dalam hal ini tidak ada keharusan bahwa perawat rumah sakit keagamaan harus berperilaku surgawi, dengan prinsip pendapatan bukanlah hal penting. Dokter spesialis yang bekerja di rumah sakit keagamaan atau rumah sakit for-profit ternyata juga tidak melakukan pembedaan. Perilaku ekonomi tenaga kesehatan ini akan dibahas pada bagian berikutnya.

Masalah dalam Rumah Sakit Non-Profit

Secara keseluruhan rumah sakit non-profit cenderung lebih kompleks perilakunya, dengan sistem aturan yang tidak setegas rumah sakit for-profit. Dalam hal ini apa yang disebut good corporate

governance pada rumah sakit non-profit mungkin justru belum

terbangun sebaik rumah sakit for–profit. Sebagai contoh siapa yang menjadi pengawas para birokrat yang menjadi penentu kebijakan

(15)

rumah sakit atau birokrat yang merangkap manajer rumah sakit? Apa ukuran kinerja rumah sakit pemerintah? Dalam kehidupan politik, para birokrat yang menjadi eksekutif akan diawasi oleh rakyat melalui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Oleh karena itu, anggaran belanja pemerintah harus disetujui oleh dewan. Pertanyaan lebih lanjut adalah apakah DPRD paham mengenai manajemen dan seluk beluk rumah sakit? Apakah ketidakpahaman mereka akan menjadi penghambat besar untuk rumah sakit?

Secara umum memang terdapat berbagai masalah di lembaga

non-profit seperti yang dinyatakan oleh Herzlinger (1999). Masalah

pertama adalah kemampuan organisasi yang tidak mencukupi untuk memenuhi tugas sosialnya. Masalah kedua adalah lembaga non-profit cenderung untuk tidak efisien. Sebagai contoh, beberapa lembaga donor kemanusiaan menghabiskan biaya terlalu banyak untuk acara penggalangan dana dan administrasi sehingga hanya menyisakan kurang dari 50% untuk bantuan bagi yang membutuhkan. Masalah ketiga adalah membiasakan diri dengan hal-hal yang tidak sepatutnya. Contoh, kasus di Empire Blue Cross dan Blue Shield yang meng-investasikan 17 juta dollar untuk sistem informasi dengan dipimpin oleh seorang dokter gigi yang tidak mempunyai pengalaman dalam pengembangan sistem tersebut. Masalah membiasakan hal-hal yang tidak patut adalah pada penghasilan eksekutif atau karyawan yang dapat tinggi sekali pada lembaga non-profit. Masalah keempat adalah seringnya lembaga non-profit telalu berani menghadapi risiko yang berlebihan dalam menjalankan usahanya.

Lebih lanjut Herzlinger (1999) menyatakan bahwa masalah akan menjadi semakin berat karena lembaga pemerintah dan

non-profit mempunyai kekurangan pada tiga mekanisme yang menjamin

akuntabilitas usaha. Pertama, para staf tidak mempunyai rasa memiliki terhadap organisasi. Akibatnya, besar kemungkinan tidak adanya sistem untuk mencegah kompensasi yang berlebihan, ketidaktahuan mengenai mekanisme untuk menjadikan bisnis menjadi lebih efisien, dan ketidakmampuan mengelola risiko. Kedua, dapat terjadi lembaga

non-profit kekurangan pesaing seperti pada kasus rumah sakit rujukan

(16)

dipandang dari segi teknis medik tidak ada rumah sakit lain yang menjadi saingan. Ketiga, lembaga non-profit kekurangan indikator untuk mengukur sukses atau gagalnya lembaga. Hal ini berbeda dengan lembaga for-profit yang mempunyai laba sebagai ukuran kesuksesan.

Rumah sakit di Indonesia juga muncul problem tersebut. Sebagai contoh, terlalu banyak dokter pada RS Pendidikan dengan kinerja pendidikan dan operasional yang rendah. Produktivitas rendah ini sudah menjadi hal yang biasa. Di samping itu, sudah menjadi kebiasaan bahwa dokter pemerintah berada di rumah sakit swasta pada jam dinas. Keadaan lain yang sudah terbiasa misalnya, seorang dokter tanpa pelatihan akuntansi menjadi kepala bagian akuntansi atau keuangan. Dapat dikatakan bahwa profesionalisme dalam rumah sakit

non-profit sering kali sulit diukur.

11.5 Model-Model Ekonomi Rumah Sakit Non-Profit

Dengan adanya berbagai masalah tersebut, pertanyaan yang muncul adalah bagaimana model rumah sakit non-profit yang ideal? Berikut ini dibahas beberapa model ekonomi rumah sakit non-profit. Tiga model yang dibahas yaitu Newhouse, Pauly dan Redisch, serta

Harris. Model-model ini dapat dipergunakan untuk menerangkan

perilaku rumah sakit di Indonesia.

Model Newhouse

Model ekonomi rumah sakit yang dikemukakan oleh Newhouse (1970) ini menyatakan bahwa keputusan-keputusan manajemen rumah sakit non-profit dilakukan dalam interaksi antara: (1) Board of

Trustee; (2) para manajer; dan (3) para staf medis. Anggota dewan

penyantun tersebut adalah orang-orang dengan berbagai macam latar belakang, tetapi diharapkan mempunyai pemahaman mengenai pelayanan kesehatan dan kemampuan manajerial. Keputusan yang diambil pada prinsipnya mengenai jumlah dan mutu pelayanan

(17)

kesehatan yang harus disediakan. Ketiga pihak tersebut diharapkan sepakat untuk menghasilkan keputusan.

Dua implikasi model ini adalah, pertama, rumah sakit harus dikelola seefisien mungkin dengan kontrol internal kuat. Model ini dapat membuat rumah sakit cenderung menghasilkan pelayanan kesehatan yang tidak menghasilkan keuntungan dan menghasilkan prestise yang tinggi. Keadaan ini terjadi andaikata anggota Board of

Trustee, manajer, dan dokter mempunyai keinginan untuk

mengem-bangkan teknologi mutakhir dengan motivasi masing-masing. Kemungkinan perhitungan ekonomi tidak diperhatikan dalam pengembangan ini. Dengan implikasi ini, rumah sakit cenderung menuju ke arah mutu yang tinggi dengan dukungan teknologi mutakhir kedokteran. Implikasi kedua, harus ada suatu kontrol eksternal yang kuat agar produktivitas rumah sakit ini dapat diketahui oleh masyarakat yang sudah membayar pajak. Model ini menekankan perlunya kontrol dari luar rumah sakit agar manfaat sosial rumah sakit dapat berjalan maksimal. Kontrol dari luar dapat dilakukan oleh wakil-wakil masyarakat atau lembaga konsumen.

Model Newhouse dapat terlihat pada rumah sakit non-profit yang mendapat subsidi tinggi, tanpa ada kekhawatiran rugi, misalnya rumah sakit milik perusahaan minyak, rumah sakit pendidikan pemerintah, dan lain-lain. Efektivitas model ini akan kecil apabila pengendali internal atau eksternal rumah sakit tidak mempunyai indikator jelas mengenai sukses atau tidaknya rumah sakit. Hal ini yang menjadi bahan pemikiran pada Bab V untuk mencari indikator yang tepat untuk seluruh pihak yang mempunyai keterkaitan dengan rumah sakit.

Model Pauly dan Redisch

Model ini tidak memperhatikan manfaat sosial rumah sakit atau sistem kontrol dari luar. Pauly dan Redisch (1973) menyatakan bahwa rumah sakit sebenarnya suatu perusahaan para dokter. Jika ada direktur rumah sakit dan staf, mereka tidak berada dalam posisi menentukan. Pengambilan keputusan dipengaruhi kuat oleh para

(18)

dokter spesialis. Pengambilan keputusan strategis, seperti penetapan tarif dan penerimaan dokter baru mutlak ditetapkan oleh para dokter. Pada keadaan ini dokter menguasai kendali keputusan untuk kepentingan ekonomi mereka. Sistem manajemen berdasarkan motivasi memaksimalkan pendapatan dokter spesialis. Dalam model ini, keputusan untuk menerima dokter baru bekerja di rumah sakit berupa sistem tertutup, yang tergantung pada penilaian para dokter terhadap pendapatan mereka (Gambar 11.1).

Mo B M* Ymax M Pendapatan dokter (Rp) Jumlah dokter Kurve pendapatan rata-rata dokter supply dokter 0 A S C N

Gambar 11.1 Model untuk memaksimalkan pendapatan dokter di rumah sakit

Sumbu vertikal Y adalah pendapatan dokter, dan sumbu hori-sontal menggambarkan jumlah dokter yang bekerja di rumah sakit. Kurva N menggambarkan pendapatan rata-rata dokter. Kurva N mulai pada titik A tanpa pendapatan sama sekali, kemudian naik ke titik B sebagai titik maksimum, yang kemudian turun. Kenaikan pendapatan rata-rata sampai ke titik B, sejalan dengan pertambahan jumlah dokter. Kurva S menggambarkan supply dokter yang bersifat elastis, karena model ini berada pada daerah perkotaan yang banyak dokter. Untuk dokter staf yang sudah bekerja di rumah sakit dengan jumlah M*, model Pauly dan Redisch menyatakan bahwa mereka berusaha untuk berada di titik B, dengan pendapatan rata-rata berada pada tingkat tertinggi. Dengan kata lain, sistem akan ditutup, tidak boleh ada dokter baru masuk walaupun sebenarnya jumlah dokter masih dapat

(19)

ditambah sampai jumlah Mo dengan pendapatan berada pada titik C.

Sebuah rumah sakit yang menggunakan sistem terbuka akan menyediakan dokter hingga pada titik Mo, karena memang masyarakat

masih membutuhkan dan ada dokter yang mau bekerja di dalam rumah sakit. Sistem terbuka ini berlaku pada model Newhouse karena tekanan dari luar untuk membuka rekruitmen dokter baru untuk tenaga rumah sakit yang memang dibutuhkan dan secara ekonomi masih memungkinkan. Akan tetapi, model Pauly dan Redisch merupakan antitesis dari Newhouse, ada semacam hak veto dokter untuk tidak menambah staf dokter baru.

Pertanyaan penting, apakah semua dokter yang bekerja berperilaku memaksimalkan pendapatan ? Jawabannya tentu tidak. Sebagian dokter berperilaku meningkatkan pendapatan setinggi-tingginya, akan tetapi ada pula yang berperilaku sesuai dengan asas kemanusiaan. Namun, terjadi sebuah kasus menarik di rumah sakit pemerintah. Dokter yang ada menolak adanya dokter baru atau dokter yang dikontrak untuk merawat pasien. Tindakan ini mengesankan adanya keserakahan karena dokter tersebut sering meninggalkan pekerjaan di rumah sakit pemerintah untuk merawat pasien di rumah sakit swasta. Akibat sering di rumah sakit swasta, menimbulkan keluhan pasien di rumah sakit pemerintah. Kasus di rumah sakit pemerintah ini menunjukkan perilaku memaksimalkan pendapatan oleh dokter yang lebih besar dibanding model Pauly dan Redisch.

Model Harris

Model ekonomi rumah sakit Harris (1997) menyatakan bahwa rumah sakit sebenarnya gabungan dari dua kelompok, pertama kelompok dokter, dan yang kedua kelompok pemilik dan manajer. Kedua kelompok ini berhubungan secara kompleks dan penuh ketidakpastian. Model Harris ini menyatakan bahwa dokter berhubungan dengan rumah sakit berdasarkan kepentingan pasien. Mengingat penyakit yang diderita pasien bermacam-macam dan satu sama lain saling berbeda, maka kemungkinan dokter akan meminta ke pihak rumah sakit berbagai peralatan dan bahan yang sangat

(20)

bervariasi. Akibatnya, terjadi komunikasi dalam hubungan kerja yang sangat bermacam-macam, negosiasi, pembujukan-pembujukan, ada-nya standar yang dilanggar, bahkan pertengkaran untuk menekankan kepentingan masing-masing. Sering terjadi pula di antara para dokter terjadi persaingan, bukan kerja sama atau persekutuan.

Model Harris ini mempunyai tiga implikasi. Pertama, dengan peran dokter sebagai agen pasien maka rumah sakit akan cenderung menggunakan teknologi baru atas usulan dokter. Kedua, peraturan rumah sakit untuk meningkatkan efisiensi yang hanya berlaku pada kelompok manajer dan pemilik akan tidak menghasilkan dampak berarti. Sebaiknya diterapkan peraturan untuk para dokter sehingga kelompok dokter juga meningkatkan efisiensi dalam tindakannya. Ketiga, mereorganisasi instalasi dan bagian di rumah sakit sehingga para dokter akan lebih terlibat dalam pengambilan keputusan.

Dari ketiga model ekonomi rumah sakit non-profit tersebut, terdapat satu benang merah penting yaitu perilaku dokter merupakan penentu dari perilaku rumah sakit secara keseluruhan. Menarik untuk dicermati, rumah sakit profit making biasanya menggunakan pengembangan model Pauly and Redisch sehingga para dokter dapat leluasa menentukan pendapatannya dan tidak ada pihak luar yang mengkritik. Untuk rumah sakit non-profit, model Newhouse dan

Harris merupakan model yang perlu diacu agar kualitas pelayanan

rumah sakit meningkat, jumlah pelayanan meningkat, namun mempunyai efisiensi tinggi.

Mengacu pada efisiensi rumah sakit sebagai lembaga usaha, model ekonomi rumah sakit memang banyak yang berubah ke arah lembaga usaha yang mempunyai aspek profit. Perpindahan ini terjadi di seluruh dunia, termasuk di Inggris terjadi suatu perubahan dari sistem yang cenderung birokrat menjadi semi lembaga usaha pada tahun 1990-an. Di Selandia Baru terjadi perubahan bentuk yang sangat drastis dari lembaga yang birokratis menjadi ke arah lembaga usaha bahkan menggunakan pendekatan komersial (Barnett dkk., 2001). Di berbagai negara sedang berkembang terjadi perubahan rumah sakit ke arah lebih otonom, seperti yang terjadi di RS Ban Phaew Bangkok, Thailand.

(21)

11.6 Berbagai Hal Terkait dengan Perilaku Rumah Sakit Cara memutuskan penghasilan sebuah rumah sakit

Cara rumah sakit menetapkan penghasilan rumah sakit tergantung pada lingkungannya (Glaser, 1987). Pada lingkungan yang menganut sistem ekonomi pasar, rumah sakit dapat menetapkan sendiri tarifnya. Hal ini terjadi di Amerika Serikat. Manajer rumah sakit dapat menetapkan sendiri anggaran belanjanya dan sistem pentarifannya. Di Indonesia rumah sakit secara de-facto dapat menetapkan sendiri tarifnya, terutama untuk kelas-kelas atas dan berbagai penanganan kedokteran. Di berbagai tempat, pengaruh pemerintah masih kuat dalam menetapkan penghasilan rumah sakit. Dalam hal ini timbul aturan pemerintah tentang anggaran belanja dan tarif rumah sakit. Sebagai contoh, di Perancis dan beberapa negara bagian Amerika, seperti New York dan New Jersey, terdapat kantor pemerintah yang mengatur anggaran belanja dan tarif rumah sakit.

Di antara kedua sistem tersebut, terdapat berbagai bentuk dalam penetapan tarif misalnya tawar-menawar, ataupun adanya komisi independen untuk menentukan tarif. Tawar-menawar antara rumah sakit (yang didukung oleh asosiasi rumah sakit provinsi atau nasional) dan tim yang dibentuk oleh pembayar merupakan cara umum untuk menentukan kontrak dan gaji dokter. Sebagai contoh, adanya negosiasi untuk pentarifan rumah sakit swasta di Perancis. Contoh lembaga penetapan tarif adalah Central Orgaan Tarieven

Gezond-heidszorg (CTOG) di Negeri Belanda, yang berfungsi sebagai komisi

pengatur milik pemerintah (Glaser, 1989).

Berdasarkan kenyataan, di Indonesia terjadi keadaan yang menunjukkan adanya campuran antara kekuatan pasar dan peran pemerintah. Pentarifan untuk rumah sakit pemerintah dan swasta dipengaruhi oleh pemerintah. Khusus rumah sakit pemerintah daerah, pentarifan dilakukan oleh Peraturan Daerah. Dalam hal ini terjadi berbagai variasi dalam penetapan peraturan daerah. Ada daerah yang sangat longgar tetapi ada pula yang sangat kaku. Akan tetapi, berbagai komponen pelayanan, termasuk bangsal VIP, penetapan tarif

(22)

dilakukan rumah sakit tanpa ditentukan oleh peraturan pemerintah. Sistem ini semakin dipakai karena penetapan tarif oleh pemerintah sering tidak sesuai dengan unit-cost dan tersedianya subsidi. Sebagai contoh, kesulitan untuk menetapkan tarif foto rontgen dengan peraturan pemerintah akibat berubah-ubahnya unit-cost film foto karena naik-turunnya kurs dollar. Dengan demikian, pentarifan semakin diserahkan kepada pasar.

Mekanisme Pembayaran untuk Rumah Sakit

Rumah sakit mempunyai berbagai macam mekanisme dalam pembayaran antara lain: anggaran belanja total, pembayaran secara harian, tagihan secara terinci, dan pembayaran berbasis pada kasus. Anggaran belanja total merupakan mekanisme dengan cara pemerin-tah membayar semua atau hampir semua penghasilan rumah sakit, seperti di Inggris dan Kanada. Pembayaran biasanya dilakukan dalam 12 atau 24 kali pembayaran yang mencakup seluruh jumlah yang dibagikan untuk biaya operasi tahun yang akan datang. Anggaran belanja rumah sakit di Inggris adalah bagian dari hierarki anggaran belanja pelayanan kesehatan nasional. Setiap rumah sakit di Kanada bersifat otonom dan mendapat bantuan total dari pemerintah provinsi.

Biaya harian merupakan standar ongkos harian rata-rata yang meliputi semua atau hampir semua biaya perawatan untuk semua pasien. Rumah sakit dibayar untuk jumlah hari rawat inap seorang pasien dikalikan standar ongkos harian. Hal ini telah menjadi cara pembayaran rumah sakit yang paling umum dalam sistem pembayaran

"third-party payment system". Ongkos harian mempunyai beberapa

bentuk. Dapat meliputi keseluruhan, termasuk gaji dokter. Dapat berupa rata-rata dari semua pelayanan klinis di rumah sakit. Sebagai contoh, rumah sakit non-profit dan rumah sakit umum di Jerman. Ongkos harian dapat pula meliputi keseluruhan, kecuali bonus untuk dokter, yang dibayar oleh yayasan penyakit khusus secara terpisah tergantung jadwal pembayaran. Contoh lain, rumah sakit di Negeri Belanda dan di hampir semua klinik swasta di Eropa. Tarif harian dapat meliputi keseluruhan, termasuk gaji pegawai dengan ongkos

(23)

terpisah untuk pelayanan klinik utama.

Mekanisme rumah sakit dibayar melalui tagihan terinci banyak digunakan oleh rumah sakit seperti tagihan untuk tamu hotel. Jika pihak ketiga, misalnya asuransi kesehatan akan membayar uang belanja harian rumah sakit, rumah sakit tetap mengirim rincian tagihan pasien sesuai standar tarif harian untuk beberapa pelayanan klinis dan untuk beberapa pelayanan ekstra. Beberapa rumah sakit (khususnya rumah sakit swasta di Eropa) menaikkan biaya pelayanan untuk beberapa pelayanan klinik tertentu dan tagihannya dibuat secara terpisah, seperti penggunaan kamar operasi, obat, alat-alat kedokteran, fisioterapi, dan bonus untuk dokter. Pada semua rumah sakit di Eropa, pasien ditagih secara terpisah untuk kamar kelas utama atau kamar kelas dua atau pelayanan ekstra.

Sebuah sistem pembayaran yang berdasarkan pada diagnosis, awalnya dipraktikan secara eksperimen untuk semua pembayar di New Jersey dan Maryland dan sekarang digunakan secara luas di Amerika. Pada tahun 1983 Medicare mulai membayar dengan dasar diagnosis kelompok untuk semua pasien rawat inapnya. Tagihan ini populer disebut sebagai pembayaran berdasarkan DRG.

Hubungan Antarrumah Sakit

Secara tradisional, sebuah rumah sakit adalah sekelompok bangunan atau sebuah bangunan besar yang berada di suatu tempat. Pasien datang ke sebuah rumah sakit secara fisik dengan tindakan memasuki halaman rumah sakit dan menggunakan jasanya. Akan tetapi perubahan terakhir memperlihatkan bahwa rumah sakit tidak hanya dibatasi oleh dinding, tetapi berkembang menjadi sebuah organisasi yang kompleks dan mempunyai prinsip “hospital without

walls”. Berbagai kegiatan rumah sakit dilakukan di luar kompleks

fisik rumah sakit, misalnya kunjungan rumah untuk diperiksa, mengambil sampel darah, ataupun perawatan di rumah. Dipandang dari sistem manajemen, pola kesatuan rumah sakit-rumah sakit mem-punyai ciri-ciri khusus yang mempengaruhi perilaku ekonominya. Beberapa kelompok yaitu rumah sakit soliter, rumah sakit dalam

(24)

bentuk jaringan, dan rumah sakit dalam bentuk debundling.

Rumah sakit soliter adalah rumah sakit yang berdiri sendiri tanpa ada jaringan. Perkembangan rumah sakit yang sendirian ini biasanya bertahap-tahap, dimulai dari kegiatan-kegiatan yang pokok untuk kemudian berkembang menjadi suatu sistem yang lengkap. Dibandingkan dengan rumah sakit yang mempunyai induk dan bersifat jaringan, perkembangan rumah sakit soliter ini relatif lebih lambat.

Bila ada sejumlah rumah sakit mempunyai pemilik yang sama misalnya, yayasan keagamaan, yayasan kemanusiaan, pemerintah, ataupun perusahaan swasta maka dapat membentuk suatu rantai rumah sakit. Dengan bekerja sama dalam suatu jaringan, rumah sakit-rumah sakit tersebut dapat saling menunjang dalam berbagai aspek manajemen seperti akuntansi, pembelian barang, pembelian obat, laboratorium, dan manajemen sumber daya manusia. Jaringan rumah sakit tersebut dapat meningkatkan efisiensi karena akan menimbulkan

economies of scale. Sebagai contoh, program pemasaran rumah sakit

jaringan tentunya akan lebih murah dibandingkan dengan pemasaran yang hanya untuk satu rumah sakit Saat ini rumah sakit-rumah sakit yang berdiri sendiri mengadakan kerja sama dengan rumah sakit lain untuk membentuk suatu jaringan.

Inovasi-inovasi organisasi rumah sakit di Amerika Serikat menemukan suatu pola baru yang berlawanan dengan pola jaringan rumah sakit. Departemen atau unit-unit yang secara tradisional berada di bawah satu jenjang manajemen dapat dibagi-bagi menjadi fragmen-fragmen terpisah dalam bentuk unit bisnis strategis yang independen. Sebagai contoh, laboratorium klinik secara menyeluruh dipisahkan dari manajemen rumah sakit menjadi satu bagian yang otonom. Dalam inovasi ini, laboratorium klinik secara otonom mempunyai manajemen terpisah. Laboratorium klinik dan rumah sakit mempunyai hubungan yang bersifat bisnis. Laboratorium klinik dapat memberikan jasa pelayanan kepada pasien di luar pasien rumah sakit. Bagian-bagian lain yang dapat dipisahkan antara lain radiologi, unit gawat darurat, dapur, dan bagian klinis, misalnya anasthesi. Keadaan ini disebut sebagai debundling atau memisahkan berbagai unit.

(25)

Bentuk mutakhir rumah sakit adalah berdasarkan sistem pelayanan kesehatan yang terintegrasi (lihat Gambar 11.2). Pada sistem terintegrasi, rumah sakit merupakan bagian tidak terpisahkan sistem pelayanan kesehatan pada umumnya. Pada integrasi ke hulu, rumah sakit mempunyai sekolah perawat, atau perusahaan distribusi obat misalnya. Sementara itu, ke hilir (mendekati pasien) rumah sakit mempunyai jaringan klinik atau praktik dokter yang tersebar sehingga memudahkan akses pasiennya. Keadaan ini disebut integrasi vertikal

RS A RS B RS C RS D

Integrasi horisontal ke hilir Integrasi Vertikal Ke Hulu

Penelitian Dasar

Komersialisasi kegiatan penelitian Pabrik Farmasi

Distributor Farmasi

Pabrik alat-alat kedokteran dan kesehatan Fakultas Kedokteran, Akademi Perawat dll.

Organisasi Asuransi Kesehatan

Pelayanan Ambulans Puskesmas

Dokter Praktik swasta

(26)

sehingga rumah sakit dapat mempunyai keunggulan kompetitif karena jaringan pelayanan dan distribusinya menjadi efisien. Keadaan ini merupakan salah satu strategi bisnis yang banyak dibahas pada buku teks manajemen strategis.

Dalam model ini kemungkinan kombinasi antara integrasi vertikal dan jaringan rumah sakit atau jaringan organisasi pelayanan kesehatan. Dengan model ini akan terjadi suatu konglomerasi besar dalam organisasi pelayanan kesehatan. Apabila konglomerasi terlalu besar dan terlalu kuat, maka perilaku monopoli dapat terjadi. Oleh karena itu, muncul berbagai peraturan untuk mengendalikan merasi ini. Salah satu cara untuk menghindarkan diri dari konglo-merasi adalah hubungan antara rumah sakit dan berbagai lembaga atau para dokter praktik dilakukan secara kontraktual atau model afiliasi.

(27)

BAB XII

TINJAUAN EKONOMI PERILAKU

TENAGA MEDIS

12.1 Supply Dokter Spesialis di Indonesia

Dalam model Circular Flow, dikenal istilah pasar input, termasuk pasar tenaga kerja yang dibutuhkan oleh firma untuk menghasilkan jasa atau barang. Dengan mengacu pada model tersebut, tenaga dokter merupakan salah satu input untuk rumah sakit. Secara kenyataan akan timbul pasar tenaga dokter yang sesuai dengan prinsip-prinsip ekonomi. Apabila terjadi perilaku normal secara ekonomi, pada prinsipnya semakin besar pendapatan atau gaji yang ditawarkan oleh pasar, maka akan semakin banyak tenaga dokter yang masuk ke pasar tenaga dokter. Analisis mengenai pasar tenaga dokter sangat penting dalam manajemen rumah sakit. Berbagai model ekonomi rumah sakit Newhouse (1970), Pauly dan Redisch (1973), Harris (1997) menyebutkan bahwa peranan staf medik (dokter) bersifat dominan. Hal ini dapat dipahami karena dokter, khususnya para spesialis yang menentukan tingkat penggunaan dan tingkat biaya rumah sakit. Secara garis besar, golongan dokter di rumah sakit terbagi atas tiga golongan besar, yaitu: (1) kelompok spesialis yang mempunyai kemampuan dan wewenang klinis yang besar dan sangat berpengaruh terhadap staf medik dan paramedik; (2) kelompok dokter umum yang biasanya lebih berperan sebagai dokter di bagian admisi; dan (3) kelompok dokter yang menjabat sebagai direksi atau staf struktural rumah sakit. Pembahasan dalam bagian ini lebih banyak mengenai dokter spesialis.

(28)

Data mengenai jumlah dokter spesialis di Indonesia mengisya-ratkan keadaan yang sangat memprihatinkan. Menurut data dari Depkes Republik Indonesia (30 Juni 1999), di Indonesia terdapat 1117 rumah sakit pemerintah dan swasta. Di dalam rumah sakit-rumah sakit tersebut bekerja 19,671 dokter. Dokter umum yang bekerja di rumah sakit ada 5971 orang, sedangkan residen sejumlah 4100 orang, dan spesialis berjumlah 9600 orang.

Penyebaran dokter lebih banyak di Jawa dibanding dengan luar Jawa. Di DKI Jakarta terdapat 2397 dokter spesialis (24,9% dari total spesialis di Indonesia). Sebagai gambaran dokter spesialis mata berjumlah 487 orang. Di DKI terdapat 124 orang, di Jawa Barat terdapat 63 orang, di Jawa Tengah 52 orang, di DIY 19 orang dan di Jawa Timur 73 orang. Dengan demikian, sekitar 67,9% jumlah dokter spesialis mata berada di Pulau Jawa. Khusus untuk dokter subspesialis, pertimbangan menjadi semakin tidak merata. Sebagai contoh, dokter spesialis bedah saraf di Indonesia berjumlah 64 orang; 18 orang di DKI dan 10 orang di Jawa Barat. Di Sumatera Barat terdapat 1 orang, sedangkan di Riau tidak terdapat satupun. Papua hanya mempunyai 5 orang dokter spesialis bedah (1 orang di RS Freeport), dan tidak ada dokter spesialis anestesi di rumah sakit pemerintah. Dokter spesialis anestesi berada di RS Freeport. Di Papua hanya terdapat satu orang dokter spesialis patologi klinik. Di Daerah Istimewa Nanggroe Aceh Darusalam, seorang dokter spesialis anestesi harus melayani sekitar 4 juta orang, sedangkan di DKI juga seorang dokter spesialis anestesi melayani 79.243 orang. Seorang dokter spesialis bedah saraf di Sumatera Barat melayani hampir 5 juta orang, sedangkan seorang dokter spesialis bedah saraf di DKI melayani 491.356 orang.

Di samping secara geografis tidak merata, rumah sakit swasta ternyata tidak mempunyai spesialis full-timer yang cukup. Data Depkes tahun 2000 menunjukkan hal yang menarik yaitu rumah sakit swasta besarpun kekurangan spesialis yang bekerja penuh waktu. Sebagai contoh, RS Charitas sebagai rumah sakit terbesar di Palembang mempunyai 15 orang dokter tetap yang terdiri atas: 7 orang dokter umum, 2 orang dokter spesialis bedah, 1 orang dokter

(29)

spesialis penyakit dalam, 1 orang dokter spesialis anak, 1 orang dokter kebidanan dan penyakit kandungan, 1 orang dokter spesialis patologi klinik, dan 1 orang dokter spesialis mata. Rumah Sakit MMC yang terkemuka di Jakarta mempunyai 14 orang dokter yang terdiri atas 12 orang dokter umum dan 1 orang dokter spesialis penyakit dalam. Rumah Sakit FK-UKI yang terkenal di Cawang sebagai pusat penanganan kecelakaan lalu lintas tol mempunyai 52 orang dokter yang terdiri atas 36 orang dokter umum, 2 orang dokter spesialis penyakit dalam,1 orang dokter spesialis kedokteran jiwa, 2 orang dokter spesialis THT, 5 orang dokter spesialis radiologi, 1 orang dokter spesialis mata, 1 orang dokter spesialis kardiologi, 1 orang dokter spesialis saraf, 1 orang dokter spesialis bedah urologi, dan 2 orang dokter gigi spesialis.

Sebagai perbandingan RSUP Dr. Cipto Mangunkusumo mempunyai 1718 orang dokter yang terdiri atas: 20 orang dokter umum, 884 orang residen, 29 orang dokter gigi, 69 orang dokter spesialis bedah, 83 orang dokter spesialis penyakit dalam, 93 orang dokter spesialis anak, 68 orang dokter spesialis kebidanan dan penyakit kandungan, 36 orang dokter spesialis radiologi, 35 orang dokter spesialis anestesi, 22 orang dokter spesialis patologi klinik, 34 orang dokter spesialis saraf, 43 orang dokter spesialis mata, sampai ke 51 orang dokter gigi spesialis. RS St. Boromeus yang merupakan rumah sakit swasta terbesar di Bandung mempunyai 29 orang dokter, yang terdiri atas 16 orang dokter umum, dan 13 orang dokter spesialis. Namun, di RS Boromeus tidak terdapat dokter spesialis anestesi, dan hanya mempunyai 1 orang dokter spesialis kebidanan dan penyakit kandungan. Gambaran serupa terdapat di RS St. Elisabeth Semarang, RS Telogorejo Semarang, RS Adi Husada Surabaya, RS Surya Husada Denpasar yang semuanya merupakan rumah sakit swasta terkemuka di kota masing-masing.

Data dokter spesialis anestesi menunjukkan hal yang mengarah ke masa depan yang kurang menggembirakan. Di Indonesia terdapat 344 orang dokter spesialis anestesi (118 orang ada di Jakarta dan 42 orang di Jawa Barat) yang harus bekerja sama dengan para dokter spesialis yang melakukan operasi seperti dokter spesialis bedah (839

(30)

orang), dokter spesialis kebidanan dan penyakit kandungan (990 orang), dokter spesialis mata (487 orang), dokter spesialis THT (440 orang) dan dokter subspesialis seperti bedah saraf dan bedah urologi. Perbandingan antara jumlah spesialis anastesi dan dokter yang membutuhkan pelayanan narkose sebagai komplemen ternyata sangat rendah sehingga berakibat rendahnya jumlah operasi dan jenis teknologi anastesi yang ditangani dokter spesialis anestesi. Keadaan ini menimbulkan dampak lebih lanjut berupa semakin sulitnya perkembangan operasi yang membutuhkan dukungan tenaga dan peralatan anestesi yang canggih. Dari jumlah tersebut, rumah sakit swasta dan TNI-POLRI hanya memiliki sekitar 24% dari seluruh dokter spesialis anestesi. Kekurangan dokter spesialis anestesi ini dikhawatirkan akan mengundang para dokter spesialis anastesi asing masuk ke Indonesia.

Data jumlah dan penyebaran dokter spesialis di Indonesia menunjukkan adanya krisis dalam produksi, pemberian insentif dan penempatan dokter spesialis. Sebagai perbandingan, menurut data dari Yayasan Satrio di Jakarta, jumlah dokter spesialis bedah di Thailand dan Filipina 6000 orang, dokter spesialis kebidanan dan penyakit kandungan 4000 orang, dokter spesialis penyakit dalam 5000 orang, dan dokter spesialis anestesi 3000 orang. Di Filipina seorang dokter ahli kebidanan dan kandungan bahkan menjadi Kepala Puskesmas.

Provinsi yang secara ekonomi kuat tetapi memprihatinkan dalam pengembangan dokter spesialis di rumah sakit swasta adalah Sumatera Barat dan Bali. Keadaan ini tidak dapat dilepaskan dari sejarah rumah sakit swasta di Sumatera Barat dan Bali yang tidak mempunyai rumah sakit swasta besar peninggalan zaman kolonial. Sebagian besar rumah sakit di Padang dan Denpasar didirikan oleh para dokter spesialis sendiri. Dengan menggunakan analisis berdasarkan model Pauly dan Redisch dapat dipahami bahwa pola seperti ini mengurangi peningkatan jumlah dokter spesialis di rumah sakit swasta.

(31)

12.2 Beberapa hal penting dalam supply spesialis

Penyebaran spesialis sangat kurang di daerah-daerah yang terpencil dan tidak mempunyai daya tarik secara ekonomi untuk penempatan dokter spesialis. Hal ini mencerminkan perilaku normal dalam pasar tenaga kerja. Hasil penelitian oleh Trisnantoro (2001) menyebutkan bahwa semakin besar ekonomi di suatu wilayah, maka semakin banyak tersedia dokter spesialis. Hubungan ini sangat kuat. Dari 26 provinsi dan 297 kabupaten di Indonesia telah dilakukan analisis terhadap berbagai faktor yang diduga dapat berperan terhadap

penyebaran dokter spesialis di Indonesia seperti terlihat pada

Tabel 12.1 Hubungan antara PDRB Tingkat Propinsi dan Persentase Penduduk

Miskin dengan Penyebaran Spesialis

No Jenis Spesialis Hubungan dengan PDRB

Hubungan dengan persentase jumlah orang

miskin 1 Spesialis Bedah Umum r = 0,940 r = - 0,355 2 Spesialis Penyakit Dalam r = 0,890 r = -0,358 3 Spesialis Obstetri dan

Ginekologi r = 0,921 r = -0,332 4 Spesialis Anak r = 0,894 r = -0,328 5 Spesialis Mata r = 0,919 r = -0,337 6 Spesialis THT r = 0,902 r = -0,326 7 Spesialis Jiwa r = 0,876 r = -0,332 8 Spesialis Saraf r = 0,890 r = -0,319 9 Spesialis Kulit-Kelamin r = 0,871 r = -0,321 10 Spesiais Radiologi r = 0,916 r = -0,311 11 Spesialis anestesi r = 0,854 r = -0,341

12 Spesialis Patologi Klinik r = 0,923 r = -0,327 13 Spesialis Patologi Anatomi r = 0,882 r = -0,357

14 Spesialis Jantung r = 0,744 r = -0,340

15 Spesialis Paru r = 0,858 r = -0,271

16 Spesialis Bedah Saraf r = 0,875 r = -0,355 17 Spesialis Bedah Orthopaedi r = 0,968 r = -0,316 18 Spesialis Bedah Urologi r = 0,907 r = -0,302

19 Spesialis Forensik r = 0,812 r = -0,210

(32)

Tabel 12.1. Faktor yang dihubungkan adalah Produk Domestik Regional Bruto untuk mengukur besarnya keadaan ekonomi di suatu wilayah dan jumlah orang miskin.

Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa jumlah dokter spesialis rata-rata memiliki hubungan positif kuat (r > 0,80) dengan PDRB suatu daerah. Hasil analisis yang lebih mendalam di tingkat kabupaten juga menunjukkan hal yang serupa yaitu r > 0,80 untuk semua jenis bidang spesialisasi. Hal ini berarti semakin tinggi pendapatan regional domestik bruto suatu daerah akan semakin banyak pula dokter spesialis yang bekerja di daerah tersebut (Connor, 1995). Sementara itu, apabila dihubungkan dengan persentase penduduk miskin, maka akan didapatkan hasil hubungan yang negatif (berhubungan terbalik). Hal ini dapat diartikan bahwa semakin banyak persentase penduduk miskin di suatu daerah akan semakin sedikit dokter spesialis yang bekerja di daerah tersebut. Hasil data ini memang menegaskan bahwa profesi dokter spesialis bersifat seperti profesi lain, dengan faktor ekonomi dan kesejahteraan hidup merupakan hal yang penting.

Akan tetapi, faktor ekonomi bukan satu-satunya faktor yang membuat dokter betah bekerja di rumah sakit, sebagaimana gambaran di RSUD Y (Bukit dkk., 2003). Sebagai rumah sakit satu-satunya di Kabupaten X, sebuah kabupaten di pelosok Sumatera, RSUD Y menjadi tumpuan dan harapan masyarakat dalam mendapatkan pelayanan kesehatan, terutama pelayanan medis spesialistik. Hal ini dapat dilihat apabila dokter spesialis hadir maka masyarakat yang datang berobat meningkat jumlahnya. Tetapi bila dokter spesialis tidak hadir atau tidak berada di tempat maka masyarakat yang datang berobat ke rumah sakit jumlahnya menurun. Data pada rekam medik RSUD X menunjukkan bahwa pada bulan Januari 2000, jumlah dokter spesialis tiga orang, jumlah pasien rawat jalan menjadi 808 orang dan pasien rawat inap menjadi 153 orang. Sedangkan pada bulan Februari 2000, dokter spesialis tidak ada, maka jumlah pasien rawat jalan menurun tajam menjadi 631 orang dan diikuti dengan jumlah pasien rawat inap menurun menjadi 120 orang serta pasien yang dirujuk ke ibukota provinsi meningkat menjadi 42 orang.

(33)

Dokter spesialis yang bekerja di RSUD Y pada umumnya tidak pernah menyelesaikan masa Wajib Kerja Sarjana (WKS), artinya belum selesai masa kerja 4 tahun (masa WKS), mereka pindah karena alasan-alasan yang beragam. Data bagian kepegawaian RSUD Y menunjukkan bahwa dokter spesialis lainnya paling lama bekerja di RSUD Y selama 2 tahun dan bahkan ada yang bekerja hanya 1 tahun. Alasan paling banyak kepindahan mereka karena tidak betah bekerja di RSUD Y.

Melihat kenyataan tersebut maka pemerintah daerah pada tahun 1999 memberikan berbagai fasilitas untuk membuat dokter spesialis tersebut betah bekerja dan diharapkan akan memberikan kepuasan kerja. Fasilitas-fasilitas yang diberikan pemerintah daerah untuk dokter spesialis berupa rumah dinas, mobil dinas, dan insentif (uang betah) Rp 1.500.000/bulan. Tetapi usaha yang dilakukan pemerintah daerah tersebut tampaknya belum memberikan pengaruh yang signifikan karena dokter spesialis masih juga pergi meninggalkan Kabupaten Bengkulu Selatan.

Beberapa pertanyaan penting mengenai kepuasan kerja ini muncul. Apakah memang faktor ekonomi berperan dalam hal ini? Setelah diteliti oleh Bukit, Trisnantoro dan Meliala (2003) ternyata banyak masalah yang mempengaruhi kepuasan kerja. Masalah-masalah tersebut antara lain, hubungan dokter-pasien, fasilitas rumah sakit, hubungan dengan teman sekerja, rasa aman dalam melakukan pekerjaan, pendapatan yang diperoleh, fasilitas yang diterima dari rumah sakit, karakteristik pekerjaan, keberadaan dan pengakuan profesi di rumah sakit, keluarga, hingga ke masalah karier.

Dengan demikian, aspek ekonomi hanya merupakan salah satu dari berbagai faktor yang menyebabkan dokter tidak betah tinggal di pedalaman. Dalam hal faktor ekonomi, dokter spesialis menyatakan hal-hal (1) insentif yang diterima masih kurang dan sering terlambat dibayarkan; (2) jasa medis yang diterima terlalu kecil dan sistem pembagian juga belum jelas. Rumah sakit harus mempunyai aturan baku dalam pembagian serta harus mempunyai sistem penilaian pemberian jasa. (3) perda tarif dokter spesialis RSUD Y masih terlalu kecil yang disebabkan oleh adanya kesalahan sistem pembuatannya.

(34)

Alasan penting di luar faktor ekonomi adalah masalah pendidikan anak-anaknya. Menurut dokter, kabupaten Y tertinggal dalam hal kemajuan teknologi sehingga wawasan dan rasa ingin tahu anak berbeda dengan anak-anak yang tinggal di kota-kota besar. Di samping itu, jenjang karier juga merupakan hal penting dalam pertimbangan untuk betah tinggal atau tidak. Penelitian Bukit dkk (2003) menunjukkan bahwa keadaan ekonomi daerah miskin terkait dengan berbagai faktor lain yang membuat dokter tidak betah untuk bekerja di daerah tersebut. Hasil akhirnya adalah penyebaran dokter yang tidak merata.

Hal menarik lainnya adalah adanya kenyataan di kota-kota besar terjadi perangkapan kerja dokter spesialis di rumah sakit swasta. Hal ini berarti akan terjadi time-cost untuk perpindahan tempat para dokter spesialis, kesulitan pasien bertemu dengan dokter spesialis, kesulitan manajer rumah sakit melakukan pengelolaan SDM, serta kesulitan para dokter spesialis sendiri untuk melakukan team-work. Data jumlah dokter spesialis menunjukkan bahwa banyak rumah sakit swasta yang kekurangan tenaga dokter, sehingga para dokter diambil dari rumah sakit pemerintah.

Dalam beberapa dekade sebelum desentralisasi, penyebaran dokter spesialis dilakukan secara sentralisasi oleh Departemen Kese-hatan RI. Akibatnya, rumah sakit swasta dan pemerintah daerah tidak melakukan proses rekruitmen dokter spesialis secara penuh. Dampak berikutnya, suatu keadaan yang tidak universal secara manajerial karena terjadi kesulitan untuk mengelola tenaga dokter spesialis. Di rumah sakit pemerintah, direksi rumah sakit dan komite medik tidak mempunyai otonomi dalam merekrut dan memberhentikan spesialis.

Di beberapa bidang spesialis, jumlah dokter spesialis yang sedikit dapat mengarah ke model kartel dalam usaha. Hal seperti ini dihindari di Amerika Serikat (Dranove dan White, 1996). Alasannya, jika ada kartel, maka pendapatan anggota kartel akan ditentukan oleh kelompoknya sendiri dan bukan untuk kesejahteraan masyarakat. Jumlah yang sedikit ini mencolok sekali terdapat pada kelompok spesialis anastesi.

(35)

12.3 Pendapatan dan perilaku spesialis

Dari segi ekonomi pendapatan kelompok dokter umum relatif jauh lebih rendah dibandingkan dengan para spesialis atau dokter yang merangkap di manajemen. Akan tetapi, pada rumah sakit kabupaten atau pedalaman, peranan dokter umum masih sangat terasa. Sebagian besar rumah sakit jika dibandingkan dengan dokter umum, pendapatan spesialis memang lebih besar. Definisi pendapatan dokter spesialis dalam bab ini adalah:

“Seluruh pendapatan yang didapatkan dari profesinya sebagai spe-sialis yang meliputi gaji, pendapatan dari fee-for-service praktik pribadi dan di rumah sakit, serta pendapatan kapitasi dari asuransi kesehatan”.

Saat ini dokter spesialis di rumah sakit pemerintah Indonesia mempunyai sistem pembayaran yang dinilai sebagai Earning at Risk, yaitu gaji pokok seorang dokter spesialis berada jauh di bawah

(36)

gaji pokok dokter spesialis internasional. Secara diagram, kompensasi yang diterima dokter spesialis di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 12.1.

Gambar 12.1 menunjukkan bahwa dokter spesialis di Indonesia mempunyai gaji yang sangat rendah yaitu jauh di bawah tarif pasar. Akan tetapi, sistem insentifnya dapat tidak terbatas dalam bentuk insentif yang dapat diperoleh dari bekerja di rumah sakit swasta atau praktik pribadi. Insentif yang tidak terbatas menyerupai penghargaan untuk seniman atau olahragawan yang superstar. Akibat dari tidak terbatasnya insentif akan menyebabkan kesulitan dalam perencanaan karena tidak ada standar pendapatan. Di samping itu, perbedaan antara seorang dokter berpendapatan tinggi dan dokter berpendapatan rendah akan menjadi besar.

Pertanyaan penting di sini, apakah memang benar teori penda-patan dokter akan mempengaruhi perilakunya? Data penelitian di atas menunjukkan bahwa dokter spesialis bekerja berdasarkan kompensasi materi bukan kompensasi nonmateri, misalnya kehidupan surgawi. Perilaku surgawi lebih tepat diberlakukan untuk kelompok biarawati atau suster yang bekerja di rumah sakit atau dokter yang bekerja atas dasar misi keagamaan. Oleh karena itu, dasar perilaku dokter sebenarnya sama dengan profesional lain dan mengikuti hukum ekonomi. Berdasarkan teori ekonomi penawaran tenaga (Nicholson, 1985; Posnett, 1989) tujuan dokter bekerja berada dalam suasana kompensasi materi dapat digambarkan dengan persamaan sebagai berikut: U = f (I, l) ... (1) U = Kepuasan I = Pendapatan l = Rekreasi I = S + aN + fT – C – T ... (2) S = Gaji bulanan aN = Kapitasi fT = Fee-for-service

(37)

Persamaan 1 menunjukkan bahwa dokter dalam melakukan pekerjaan secara wajar berusaha meningkatkan pendapatan setinggi mungkin. Akan tetapi, sebagai makhluk normal seorang dokter berusaha meluangkan waktunya untuk mengejar kepuasan lain dengan cara melakukan rekreasi atau meluangkan waktu untuk hal-hal yang menyenangkan. Tidak ada seseorang yang waktu hidupnya hanya dipergunakan untuk mencari uang. Dasar berpikir persamaan 1 ini memang tidak meletakkan dokter sebagai profesi yang murni berda-sarkan nilai kemanusiaan, tetapi dianggap sebagai profesi lain yang kepuasan hidupnya terpengaruh oleh faktor ekonomi. Jika dicampur dengan fungsi kemanusiaan maka persamaan tersebut tentu ditambah dengan faktor nilai kemanusiaan oleh para dokter (H = humanity, kemanusiaan). Formulanya akan menjadi U = f(I,L,H). Dalam meng-analisis nilai kemanusiaan, belum ditemukan penelitian mengenai

Tabel 12.2 Kekuatan dan kelemahan pembayaran fee-for-service untuk dokter

spesialis

Kekuatan Kelemahan

 Merupakan mekanisme yang baik untuk memberikan imbalan yang sesuai dengan tingkat kesulitan keadaan pasien

 Pendapatan dokter dapat dihubungkan dengan beban pekerjaannya. Dalam hal ini pendapatan dokter akan terkait dengan kompleksitas masalah pasien.

 Merangsang dokter untuk memberikan pelayanan berlebihan dengan dasar motivasi ekonomi (menaikkan

pendapatan). Hal ini akan memperbesar kemungkinan terjadinya fenomena

supplier induced demand.

 Dokter cenderung memberikan pelayanan medis ke kasus-kasus yang memberikan keuntungan paling besar.  Dokter tergerak untuk membuat

catatan praktiknya secara lebih baik dan akan mempunyai penanganan yang lebih manusiawi dan produktif.

 Mempunyai tendensi meningkatkan inflasi pelayanan kesehatan  Sulit untuk menyusun anggaran

sebelumnya.  Pasien mempunyai kekuatan untuk

mempengaruhi dokter agar

memberikan pelayanan terbaik untuk dirinya.

(38)

komposisi nilai kemanusiaan dan nilai ekonomi. Secara observasi, banyak dokter spesialis memegang nilai-nilai kemanusiaan dalam praktiknya.

Dalam konteks aspek ekonomi, pendapatan seorang dokter dipengaruhi oleh berbagai faktor yang terdapat pada persamaan ke-2. Faktor pertama adalah gaji, yang diterima per bulan. Faktor kedua adalah kapitasi. Pengertian kapitasi adalah andaikata seorang dokter bertanggung jawab terhadap 2.000 orang di bawah tanggungannya dan setiap orang membayar Rp1.000,00 per bulan (entah berobat atau tidak) maka dia akan mendapat Rp2.000.000,00 sebagai pendapatan kapitasinya. Faktor ketiga adalah fee-for-service yang berarti bayaran yang diterima oleh seorang dokter setelah memberikan pelayanan medisnya. Pendapatan ini akan dikurangi biaya pelayanan yang dikeluarkan dokter dan pajak. Menjadi pertanyaan di sini, mekanisme apakah yang paling baik? Apakah dokter rumah sakit dibayar secara gaji bulanan? Apakah berbasis pada kapitasi, fee-for-service, ataukah kombinasi? Untuk menjawab pertanyaan ini harus dilihat kekuatan dan kelemahan masing-masing (Rice dan Smith, 2001; Hellinger, 1996; Sonnad dan Foreman, 1997; Stearns dkk., 1992).

Dampak berbagai mekanisme pembayaran terhadap penggu-naan dan mutu pelayanan kesehatan masih menjadi perdebatan (Rice dan Smith, 2001). Rice (1997) menyimpulkan masih perlu berbagai penelitian untuk mengetahui dampak perubahan kebijakan pemba-yaran. Akan tetapi, ditemukan beberapa data awal yang menarik. Dibandingkan dengan masa fee-for-service, dokter yang digaji bulanan ternyata menurunkan admisi rumah sakit sebesar 13%, sedangkan dokter yang dibayar dengan model kapitasi ternyata menurunkan admisi sebesar 8%. Model pembayaran fee-for-service cenderung meningkatkan biaya pelayanan kesehatan seperti yang diteliti oleh Robinson (2001) dan Chan dkk (1998).

Hal penting untuk diperhatikan bahwa dalam kenyataan jarang timbul situasi yang hanya ada satu mekanisme pembayaran saja. Robinson (2001) menyatakan bahwa sebaiknya dilakukan kombinasi antara ketiga model tersebut. Dengan kombinasi ketiga model dan ditambah dengan berbagai kompensasi di luar uang maka perilaku

Gambar

Gambar 11.1 Model untuk memaksimalkan pendapatan dokter di rumah sakit
Gambar 11.2 Hubungan Integrasi Vertikal dan Horisontal
Gambar 12.1 Berbagai jenis Kompensasi
Gambar 13.1 Life-cycle seorang dokter spesialis
+4

Referensi

Dokumen terkait

Hamid (orang tua Mu- hammad Gaus) tentang gangguan anak muda tersebut. Dari kegiatan yang dilakukan oleh Samming nampaknya be- liau keberadaan beliau setiap malam

Lokasi penelitian ini adalah empat perguruan tinggi yang ada di Kota Palopo (IAIN Palopo, UNANDA Palopo, UNCOK Palopo dan STIEM Palopo. Jenis penelitian ini

di Kalimantan Tengah, juga dapat menjadi salah satu sarana untuk menunjukkan potensi Indonesia yang memiliki wilayah hutan terluas dengan hasil produksi.. olahan kayu pada

Bila tindakan perusahaan yang menantang itu berupa penurunan harga, jasa pelayanan yang lebih baik atau tambahan penampilan produk, maka dengan cepatnya pemimpin

service yang ditawarkan, dimana adanya tuntutan pelanggan terhadap kecepatan dan ketepatan pelayanan, kepercayaan terhadap perusahaan kurang, kurangnya pengetahuan akan

PENGAMBILALIHAN SAHAM YANG DILAKUKAN PT BUMI KENCANA EKA SEJAHTERA TERHADAP PT ANDALAN

Dari hasil penelitian yang dilakukan peneliti memperoleh data mengenai sertifikasi guru yang diprogramkan oleh pemerintah terhadap kinerja guru di SDN Ciawi 1 dan