• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kedudukan dan Peran dalam masyarakat, dapat dijelaskan melalui beberapa cara,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kedudukan dan Peran dalam masyarakat, dapat dijelaskan melalui beberapa cara,"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Peran

Peran berarti laku, bertindak. Didalam kamus besar bahasa Indonesia peran ialah perangkat tingkah laku yang diharapkan dimiliki oleh orang yang berkedudukan

di masyarakat.1 Sedangkan makna peran yang dijelaskan dalam Status,

Kedudukan dan Peran dalam masyarakat, dapat dijelaskan melalui beberapa cara, yaitu pertama penjelasan historis. Menurut penjelasan historis, konsep peran semula dipinjam dari kalangan yang memiliki hubungan erat dengan drama atau teater yang hidup subur pada zaman yunani kuno atau romawi.

Dalam hal ini, peran berarti karakter yang disandang atau dibawakan oleh seorang aktor dalam sebuah pentas dengan lakon tertentu. Kedua, pengertian peran menurut ilmu sosial. Peran dalam ilmu sosial berarti suatu fungsi yang dibawakan seseorang ketika menduduki jabatan tertentu, seseorang dapat memainkan fungsinya karena posisi yang didudukinya tersebut.

Peranan menurut Poerwadarminta adalah tindakan yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang dalam suatu peristiwa. Berdasarkan pendapat di atas

(2)

peranan adalah tindakan yang dilakukan orang atau sekelompok orang dalam suatu peristiwa, peranan merupakan perangkat tingkah laku yang diharapkan, dimiliki oleh orang atau seseorang yang berkedudukan di masyarakat. Kedudukan dan peranan adalah untuk kepentingan pengetahuan, keduanya tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Pengertian Peranan adalah sebagai berikut :

Peranan merupakan aspek dinamis kedudukan (status) apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya maka ia menjalankan suatu peranan.

Konsep tentang Peran (role) adalah sebagai berikut :

1. Bagian dari tugas utama yang harus dilakukan oleh manajemen, 2. Pola prilaku yang diharapkan dapat menyertai suatu status, 3. Bagian suatu fungsi seseorang dalam kelompok atau pranata,

4. Fungsi yang diharapkan dari seseorang atau menjadi karakteristik yang ada padanya,

5. Fungsi setiap variabel dalam hubungan sebab akibat.2

Berdasarkan pengertian tersebut dapat diambil pengertian bahwa peranan merupakan penilaian sejauh mana fungsi seseorang atau bagian dalam menunjang usaha pencapaian tujuan yang ditetapkan atau ukuran mengenai hubungan 2 variabel yang merupakan hubungan sebab akibat.

2

(3)

2.2. Ombudsman

2.2.1. Pengertian Ombudsman

Ombudsman Republik Indonesia (sebelumnya bernama Komisi Ombudsman

Nasional) adalah lembaga negara di Indonesia yang mempunyai kewenangan

mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik baik yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan, termasuk yang diselenggarakan

oleh Badan Usaha Milik Negara,Badan Usaha Milik Daerah, dan Badan Hukum

Milik Negara serta badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas

menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau seluruh dananya

bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah.3 Lembaga ini dibentuk berdasarkan

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia yang disahkan dalam Rapat Paripurna DPR Republik Indonesia pada tanggal 9 September 2008.

Ombudsman adalah suatu lembaga yang dibentuk untuk menghadapi

penyalahgunaan kekuasaan oleh aparatur pemerintah dan membantu aparatur agar melaksanakan pemerintahan secara efisien dan adil, juga untuk mendorong pemegang kekuasaan melaksanakan pertanggungjawaban serta pelayanan secara baik. Umumnya Ombudsman dikenal sebagai lembaga independen yang menerima dan meyelidiki keluhan-keluhan masyarakat yang menjadi korban kesalahan administrasi (maladministration) publik.

3

(4)

Tetapi sesungguhnya Ombudsman tidak sekedar sebuah sistem untuk menyelesaikan keluhan masyarakat kasus demi kasus, yang utama mengambil inisiatif untuk mengkhususkan perbaikan administratif atau sitemik dalam upayanya meningkatkan mutu pelayanan masyarakat. Maladministrasi adalah perbuatan koruptif yang meskipun tidak menimbulkan kerugian negara, namun mengakibatkan kerugian bagi masyarakat (warga negara dan penduduk) karena tidak mendapatkan pelayanan publik yang baik (mudah, murah, cepat, tepat dan berkualitas).

2.2.2. Sejarah dan Latar Belakang Pembentukan Ombudsman Republik Indonesia

Upaya pembentukan lembaga Ombudsman di Indonesia oleh pemerintah dimulai ketika Presiden B.J. Habibie berkuasa, kemudian dilanjutkan oleh penggantinya, yakni K.H. Abdurrahman Wahid. Masa pemerintahan dapat disebut sebagai masa K.H. Abdurrahman Wahid dapat disebut sebagai tonggak sejarah pembentukan lembaga Ombudsman di Indonesia, sedangkan pada masa pemerintahan B.J. Habibie dapat disebut sebagai masa rintisan dalam pembentukan lembaga Ombudsman di Indonesia.

Lengsernya Soeharto dari kursi kepresidenan pada tahun 1998, menyebabkan keinginan untuk membentuk lembaga Ombudsman seolah-olah mendapatkan momentum. Pemerintah pada waktu itu nampak sadar akan perlunya lembaga Ombudsman di Indonesia menyusul adanya tuntutan masyarakat yang amat kuat untuk mewujudkan pemerintah yang bersih dan penyelenggaraan negara yang baik atau clean government dan good governance.

(5)

Setelah Presiden B.J. Habibie lengser, pemerintahan dilanjutkan oleh Gus Dur dan Mega saat itu harus menanggung politik dan sejarah masa lalu yang cukup berat. Korupsi tetap merajalela dan bahkan cenderung tanpa kendali. Penegak hukum juga mengalami kesulitan mewujudkan cita-cita reformasi hukum yang menjadi salah satu agenda reformasi. Masyarakat dan mahasiswa kembali melontarkan kritik atas ketidakmampuan pemerintah memberantas korupsi dan berbagai penyimpangan yang dilakukan penyelenggara negara. Pemerintah juga semakin kehilangan kewibawaan karena terus-menerus terlibat polemik kontroversial sehingga tidak sempat mengurusi kebutuhan dasar masyarakanya.

Dalam kondisi mendapat tekanan masyarakat yang menghendaki terjadinya perubahan menuju pemerintahan yang transparan, bersih dan bebas KKN, maka pemerintah saat itu berusaha melakukan beberapa perubahan sesuai aspirasi yang berkembang di tengah-tengah masyarakat.

Salah satunya adalah dengan membentuk sebuah lembaga pengawasan terhadap

penyelenggara negara, bernama Komisi Ombudsman Nasional.

Pada awal November 1999, Presiden Republik Indonesia K.H. Abdurrahman Wahid berinisiatif memanggil Jaksa Agung Marzuki Darusman untuk mendiskusikan tentang konsep pengawasan baru terhadap penyelenggara negara. Diskusi tersebut juga melibatkan calon ketua yang diusulkan Presiden yaitu Antonius Sujata (Jaksa bidang tindak pidana khsusus). Akhirnya pada tanggal 17 November 1999 diadakan pertemuan dan menyepakati untuk membentuk sebuah lembaga pengawasan yang bersifat independen. Lembaga yang dimaksud itu dan

(6)

disepakati dinamakan “Ombudsman” dengan alasan, nama itu sudah dikenal secara internasional.

Tidak lama kemudian, Presiden K.H. Abdurrahman Wahid segera mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1999 tentang Tim Pengkajian Pembentukan Lembaga Ombudsman. Tim ini diketuai oleh Antonius Sujata. Menurut konsideran keputusan tersebut, latar belakang pemikiran perlunya dibentuk lembaga Ombudsman Indonesia adalah untuk lebih meningkatkan pemberian perlindungan terhadap hak-hak anggota masyarakat dari pelaku penyelenggara negara yang tidak sesuai dengan kewajiban hukumnya, dengan memberikan kesempatan kepada anggota masyarakat yang dirugikan untuk mengadu kepada suatu lembaga yang independen yang dikenal dengan nama Ombudsman.

Tugas utama yang dibebankan kepada tim pengkajian pembentukan lembaga Ombudsman adalah menyusun rancangan undang-undang tentang Ombudsman dan melakukan langkah-langkah persiapan serta penyebarluasan pemahaman mengenai lembaga Ombudsman. Waktu yang diberikan untuk menyeleseikan tugas tersebut adalah 3 (tiga) bulan sejak berlakunya Keputusan Presiden tersebut pada tanggal 8 Desember 1999.

Namun sebelum tim pengkajian ini menyeleseikan tugasnya, dalam bulan Maret 2000, K.H. Abdurrahman Wahid mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000 tentang Komisi Ombudsman Nasional, sekaligus mengangkat anggota Ombudsman sebanyak 8 orang yang diketuai oleh mantan ketua tim pengkajian pembentukan lembaga Ombudsman, Antonius Sujata, SH. Bersamaan

(7)

dengan pembentukan lembaga Ombudsman tersebut, Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1999 dinyatakan tidak berlaku.

Adapun susunan keanggotaan Komisi Ombudsman Nasional sebagaimana dilampirkan dalam kepres No. 44 Tahun 2000 tersebut adalah:

Ketua merangkap anggota : Antonius Sujata, SH.

Wakil Ketua merangkap anggota : Prof. Dr. C. F. G. Sunaryati Hartono, SH.

Anggota-anggota:

1. Prof. Dr. Bagir Manan, SH, MCL 2. Teten Masduki

3. Ir. Urip

4. R.M. Surachman, SH 5. Pradjoto, SH. MA

6. KH. Masdar Mas’udi, MA

Pada tanggal 20 Maret Tahun 2000, ketua, wakil ketua dan anggota Komisi Ombudsman Nasional dilantik Gus Dur di Istana negara. Saat itu Indonesia memasuki babak baru dalam sistem pengawasan.

Demikianlah maka sejak ditetapkannya Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000 pada tanggal 10 Maret Tahun 2000 berdirilah Lembaga Ombudsman Indonesia dengan dengan nama Komisi Ombudsman Nasional. Menurut Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000, pembentukan lembaga Ombudsman di Indonesia dilatarbelakangi oleh tiga pemikiran dasar sebagaimana tertuang di dalam konsiderannya, yakni:

(8)

a. Bahwa pemberdayaan masyarakat melalui peranserta mereka melakukan pengawasan akan lebih menjamin peneyelenggaraan negara yang jujur, bersih, transparan, bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme,

b. Bahwa pemberdayaan pengawasan oleh masyarakat terhadap

penyelenggaraan negara merupakan implementasi demokrasi yang perlu dikembangkan serta diaplikasikan agar penyalahgunaan kekuasaan, wewenang ataupun jabatan oleh aparatur dapat diminimalisasi,

c. Bahwa dalam penyelenggaraan negara khususnya penyelenggaraan

pemerintahan memberikan pelayanan dan perlindungan terhadap hak-hak anggota masyarakat oleh aparatur pemerintah termasuk lembaga peradilan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari upaya untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan. Kemudian untuk lebih mengoptimalkan fungsi, tugas, dan wewenang Komisi Ombudsman Nasional, perlu dibentuk Undang-undang tentang Ombudsman Republik Indonesia sebagai landasan hukum yang lebih jelas dan kuat. Hal ini sesuai pula dengan amanat Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor VIII/MPR/2001 tentang rekomendasi arah kebijakan pemberantasan dan pencegahan korupsi, kolusi, dan nepotisme yang salah satunya memerintahkan dibentuknya Ombudsman dengan undang. Akhirnya keinginan untuk mempunyai undang-undang tersebut terwujud pada tanggal 7 Oktober 2008 yaitu terbentuknya Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia.

Setelah berlakunya undang-undang Ombudsman Republik Indonesia, maka Komisi Ombudsman Nasional berubah menjadi Ombudsman Republik Indonesia.

(9)

Perubahan nama tersebut mengisyaratkan bahwa Ombudsman tidak lagi berbentuk Komisi Negara yang bersifat sementara, tapi merupakan lembaga negara yang permanen sebagaimana lembaga-lembaga negara yang lain, serta dalam menjalankan tugas dan wewenangnya bebas dari campur tangan kekuasaan lainya.4

2.2.3. Fungsi dan Tugas Ombudsman

Ombudsman berfungsi mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintah baik di pusat maupun di daerah termasuk yang diselenggarakan Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan Badan Hukum Milik Negara serta badan swasta atau

perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu.5

Ombudsman juga memiliki tugas, yaitu:

a. menerima laporan atas dugaan maladministrasi, dalam penyelenggaraan pelayanan publik,

b. melakukan pemeriksaan substansi atas laporan,

c. menindaklanjuti laporan yang tercakup dalam ruang lingkup kewenangan Ombudsman,

d. melakukan investigasi atas prakarsa sendiri terhadap dugaan maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik,

e. melakukan koordinasi dan kerja sama dengan lembaga negara atau lembaga pemerintahan lainnya serta lembaga kemasyarakatan dan perseorangan,

4www.ombudsman.go.id, diakses tanggal 05 juli 2014. 5

(10)

f. membangun jaringan kerja,

g. melakukan upaya pencegahan maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik dan

h. melakukan tugas lain yang diberikan oleh undang-undang.6

2.2.4. Tujuan Ombudsman

Ombudsman bertujuan untuk :

a. Mewujudkan negara hukum yang demokratis, adil, dan sejahtera,

b. Mendorong penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang efektif dan efisien, jujur, terbuka, bersih, serta bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme, c. Meningkatkan mutu pelayanan negara di segala bidang agar setiap warga

negara dan penduduk memperoleh keadilan, rasa aman, dan kesejahteraan yang semakin baik,

d. Membantu menciptakan dan meningkatkan upaya untuk pemberantasan dan pencegahan praktik-praktik maladministrasi, diskriminasi, kolusi, korupsi, serta nepotisme,

e. Meningkatkan budaya hukum nasional, kesadaran hukum masyarakat, dan

supremasi hukum yang berintikan kebenaran serta keadilan.7

Penyelenggara dan/atau Ombudsman wajib menanggapi pengaduan masyarakat paling lambat 14 (empat belas) hari sejak pengaduan diterima yang sekurang-kurangnya berisi informasi lengkap atau tidak lengkapnya materi aduan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (3). Dalam hal materi aduan tidak

6 Pasal 7 Udang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia. 7

(11)

lengkap, pengadu melengkapi materi aduanya selambat-lambatnya 30 hari terhitung sejak menerima tanggapan dari Penyelenggara dan/atau Ombudsman

sebagaimana diinformasikan oleh pihak Penyelenggara dan/atau Ombudsman.8

Mengenai penyelesaian pengaduan oleh Ombudsman mekanismenya adalah sebagai berikut :

1. Ombudsman wajib menerima dan berwenang memproses pengaduan dari masyarakat mengenai penyelenggaraan pelayanan publik sesuai dengan undang-undang ini,

2. Ombudsman wajib menyelesaikan pengaduan masyarakat apabila pengadu menghendaki penyelesaian pengaduan tidak dilakukan oleh penyelenggara, 3. Ombudsman wajib menbentuk perwakilan di daerah yang bersifat hierarkis

untuk mendukung tugas dan fungsi Ombudsman dalam kegiatan pelayanan publik,

4. Pembentukan perwakilan Ombudsman di daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan paling lambat 3 (tiga) tahun sejak undang-undang ini diundangkan,

5. Ombudsman wajib melakukan mediasi dan konsiliasi dalam menyelesaikan pengaduan atas permintaan para pihak,

6. Penyelesaian pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan oleh perwakilan Ombudsman di daerah,

7. Mekanisme dan tata cara penyelesaian pengaduan oleh Ombudsman diatur

lebih lanjut dalam peraturan Ombudsman.9

8 Ibid., hlm. 165.

9

(12)

2.3. Pelayanan Publik

2.3.1. Pengertian Pelayanan publik

Menurut Kotler Pelayanan adalah setiap kegiatan yang menguntungkan dalam suatu kumpulan atau kesatuan, dan menawarkan kepuasan meskipun hasilnya

tidak terkait pada suatu produk secara fisik.10

Selanjutnya Sampara berpendapat, pelayanan adalah suatu kegiatan atau urutan kegiatan yang terjadi dalam interaksi langsung antar seseorang dengan orang lain atau mesin secara fisik dan

menyediakan kepuasan pelanggan.11 Sementara dalam Kamus Besar Bahasa

Indonesia dijelaskan pelayanan sebagai hal, cara atau hasil pekerjaan melayani. Sedangkan melayani adalah menyuguhi (orang) dengan makanan atau minuman,

menyediakan keperluan orang, mengiyakan, menerima, menggunakan.12

Sementara itu kata publik berasal dari Bahasa Inggris public yang berarti umum, masyarakat, negara. Kata pubik sebenarnya sudah diterima menjadi bahasa

indonesia baku, pengertiannya adalah orang banyak.13 Oleh karena itu pelayanan

publik diartikan sebagai setiap kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap sejumlah manusia yang memiliki kegiatan yang menguntungkan dalam suatu kumpulan atau kesatuan dan menawarkan kepuasan meskipun hasilnya tidak

terkait pada suatu prosedur secara fisik.14

10 Sampara Lukman, Manajemen Kualitas Pelayanan, STIA LAN Press, Jakarta, 2000, hlm.8. 11 Ibid., hlm.6.

12

J.S.Badudu, Sultan Muhammad Zain, Kamus Bahasa Indonesia, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2001, hlm.781-782.

13 Ibid., hlm.1095.

14 Lijian Poltak Sinambela, Reformasi Pelayanan Publik, Teori, Kebijakan dan Implementasi, Bumi Aksara, Bandung, 2006, hlm.5.

(13)

Menurut Ketetapan Menteri Perdayagunaan Aparatur Negara No.63/KEP/M.PAN/7/2003, pelayanan publik adalah segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan. Untuk lebih jelas, pelayanan publik ini dibagi dalam kelompok-kelompok :

a. Kelompok Pelayanan Administratif, yaitu pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk dokumen resmi yang dibutuhkan oleh publik, misalnya status kewarganegaraan, sertifikat kompetensi, kepemilikan atau penguasaan terhadap suatu barang dan sebagainya. Dokumen-dokumen ini antara lain Kartu Tanda Penduduk (KTP), Akte Pernikahan, Akte Kelahiran, Akte Kematian, Bukti Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB), Surat Izin Mengemudi (SIM), Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK), Izin Mendirikan Bangunan (IMB), Paspor, Sertifikat Kepemilikan/Penguasaan Tanah dan sebagainya.

b. Kelompok Pelayanan Barang, yaitu pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk/jenis barang yang digunakan oleh publik, misalnya jaringan telepon, penyediaan tenaga listrik, air bersih dan sebagainya.

c. Kelompok Pelayanan Jasa, yaitu pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk jasa yang dibutuhkan oleh publik, misalnya pendidikan, pemeliharaan

kesehatan, penyelenggaraan transportasi, pos dan sebagainya.15

15 Juniarso Ridwan dan Ahmad Sodik Sudrajat, Hukum Administrasi Negara dan Kebijakan Pelayanan Publik, Nuansa, Bandung, 2012, hlm.19-20.

(14)

Dengan demikian, pelayanan publik adalah pemenuhan keinginan dan kebutuhan masyarakat oleh penyelenggara negara, dalam hal ini negara didirikan oleh publik (masyarakat) tentu saja dengan tujuan agar dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pada hakikatnya negara dalam hal ini pemerintah (birokrat) haruslah dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Kebutuhan ini harus dipahami bukanlah kebutuhan secara individual akan tetapi berbagai kebutuhan yang sesungguhnya

diharapkan oleh masyarakat.16

Dalam kondisi masyarakat saat ini, birokrasi publik harus dapat memberikan layanan publik yang lebih profesional, efektif, sederhana, transparan, terbuka, tepat waktu, responsif dan adaptif serta sekaligus dapat membangun kualitas manusia dalam arti meningkatkan kapasitas individu dan masyarakat untuk secara aktif menentukan masa depannya sendiri. Arah pembangunan kualitas manusia tadi adalah memberdayakan kapasitas manusia dalam arti menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat mengembangkan kemampuan dan krativitasnya untuk mengatur dan menentukan masa depannya sendiri. Pelayanan publik yang profesional, artinya pelayanan publik yang dicirikan oleh adanya akuntabilitas dan responsibilitas dari pemberi layanan (aparatur pemerintah).

16

(15)

2.3.2. Asas-Asas Pelayanan Publik

Asas-Asas Pelayanan Publik, antara lain : a. Asas Transparansi

Asas transparansi penyelenggaraan pelayanan publik sesungguhya merupakan masifestasi asas openbaarheid dalam konsepsi hukum administrasi di Belanda, asas ini dimaksudkan sebagai asas yang menghendaki bahwa dalam pelaksanaan tugas dan kegiatan pelayanan publik harus dilakukan secara dan bersifat terbuka bagi masyarakat yang dimulai dari proses pengambilan keputusan tentang kebijakan, perencanaan, sampai dengan pelaksanaan dan pengawasan atau pengendaliannya, dan tentunya tidak ditunggalkan adanya keharusan bahwa pelayanan publik tersebut dapat dengan mudah diakses oleh semua pihak yang membutuhkan informasi. Transparansi (keterbukaan) pemerintah merupakan sesuatu hal yang substansial, sebab dengan transparansi tersebut masyarakat dapat

memberikan pengertian tentang rencana-rencana kebijakan yang dijalankan.17

Terkait dengan asas transparansi ini Philipus M Hadjon, menyatakan bahwa fungsi keterbukaan pemerintah dalam penyelenggaraan pemerintahaan meliputi : 1. Fungsi partisipasi keterbukaan sebagai alat bagi warga negara untuk ikut serta

dalam proses pemerintahaan secara mandiri,

2. Fungsi pertanggungjawaban umum dan pengawasan keterbukaan, pada satu sisi sebagai alat bagi penguasa untuk memberikan pertanggungjawaban di muka umum, pada sisi lain sebagai alat warga untuk mengawasi penguasa.

17 PM. Hadjon 1994 dalam Husni Thamrin, Hukum Pelayanan Publik di Indonesia, Aswaja Pressindo, Yogyakarta, 2013, hlm. 38.

(16)

3. Fungsi kepastian hukum, keputusan-keputusan penguasa tertentu yang menyatakan para warga demi kepentingan kepastian hukum harus dapat diketahui, jadi harus terbuka,

4. Fungsi hak dasar, keterbukaan dapat memajukan penggunaan hak-hak dasar seperti hak pilih, kebebasan mengeluarkan pendapat dan hak untuk

berkumpul dan berbicara.18

b. Asas Keadilan

Prinsip keadilan mengendaki agar setiap tindakan institusi atau pejabat pemerintahan negara/ daerah senantiasa memperhatikan aspek keadilan dan kewajaran. Prinsip keadilan menuntut tindakan secara proposional, sesuai, seimbang, dan selaras dengan hak setiap orang. Oleh karena itu, setiap penyelenggara pemerintah/ daerah dalam mengimplementasikan tindakannya

harus selalu memperhatikan aspek keadilan ini.19

Menurut Aristoteles, keadilan adalah kebijakan yang berkaitan dengan hubungan antara manusia. Adil dapat berarti sesuatu yang menurut hukum, namun dapat juga sesuatu yang sebanding atau semestinya. Selanjutnya Aristoteles mengklasifikasikan keadilan ke dalam dua jenis, yaitu :

1. Keadilan sebagai keutamaan umum, yang melahirkan konses keadilan umum (iustitia universalis),

2. Keadilan sebagai keutamaan khusus, yang melahirkan dua konsep yaitu keadilan distributif (institia distributiva) dan keadilan komunikatif (justitia commutative). Keadilan sebagai keutamaan umum yaitu ketaatan atau

18 Ibid., hlm. 38-39.

19 Husni Thamrin, Hukum Pelayanan Publik di Indonesia, Aswaja Pressindo, Yogyakarta, 2013, hlm. 41.

(17)

kepatuhan hukum alam dan hukum positif. Oleh karena itu prinsip-prinsip keadilan dapat menuntut suatu koreksi dalam hukum positif, tetapi tidak dapat

menindaknya.20

c. Asas Good Governance

Pengertian good governance secara sekilas bisa diartikan sebagai pemerintahan yang baik, akan tetapi wujudnya bagaimana dan bagaimana hal itu dapat dicapai masih membutuhkan pemahaman yang lebih dalam lagi. Secara umum penyelenggaraan pemerintahan yang dimaksud dalam konsep good governance itu berkaitan dengan isu transparansi, akuntabilitas publik dan sebagainya . Good governance juga dipahami sebagai suatu penyelenggaraan manajemen pemerintahan yang solid dan bertanggungjawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar, pemerintahaan yang efisien, serta pemerintahaan yang bebas

dan bersih dari kegiataan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).21

Good governance bersubstansikan adanya tata hubungan yang sinergis dengan masyarakat luas (stake holder). Masyarakat turut berperan serta secara aktif dalam proses pengambilan keputusan pemerintahan dan pembangunan melalui

instrumen-instrumen kelembagaan yang formal ataupun informal.22 Oleh karena

itu good governance juga mengkriteriakan adanya suatu proses yang berkelanjutan untuk mengakomodasi dan memediasi konflik-konflik kepentingan yang ada dalam struktur kemasyarakatan sehingga dapat memperoleh kesepakatan

20 Theo Huijbers OSC, Filsafat Hukum Dalam Lintas Sejarah, Yayasan Kanisius, 1982, Yogyakarta, hlm. 29.

21 Juniarso Ridwan dan Ahmad Sodik Sudrajat, Hukum Administrasi Negara dan Kebijakan Pelayanan Publik, Nuansa, Bandung, 2012, hlm. 81-82.

22 Husni Thamrin, Hukum Pelayanan Publik di Indonesia, Aswaja Pressindo, Yogyakarta, 2013, hlm. 47.

(18)

bersama. Dalam perkataan lain, dalam konsep good governance upaya keprofesionalan dalam mengelola urusan-urusan pelayanan publik dalam semua level pemerintahan menjadi hal penting yang dilakukan.

Asas-asas pelayanan publik yang tercantum dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik adalah:

a. Kepentingan umum, yaitu pemberian pelayanan tidak boleh

mengutamakan kepentingan pribadi dan/atau golongan,

b. Kepastian hukum, yaitu jaminan terwujudnya hak dan kewajiban dalam penyelenggaraan pelayanan,

c. Kesamaan hak, yaitu pemberian pelayanan tidak membedakan suku, ras, agama, golongan, gender dan status ekonomi,

d. Keseimbangan hak dan kewajiban, yaitu pemenuhan hak harus sebanding dengan kewajiban yang harus dilaksanakan, baik oleh pemberi maupun penerima pelayanan,

e. Keprofesionalan, yaitu pelaksana pelayanan harus memiliki kompetensi yang sesuai dengan bidang tugas,

f. Partisipatif, yaitu peningkatan peran serta masyarakat dalam

penyelenggaraan pelayanan dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan, dan harapan masyarakat,

g. Persamaan perlakuan/tidak diskriminatif, yaitu setiap warga negara berhak memperoleh pelayanan yang adil,

h. Keterbukaan, yaitu setiap penerima pelayanan dapat dengan mudah mengakses dan memperoleh informasi mengenai pelayanan yang diinginkan,

(19)

i. Akuntabilitas, yaitu proses penyelenggaraan pelayanan harus dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,

j. Fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan, yaitu pemberian kemudahan terhadap kelompok rentan sehingga tercipta keadilan dalam pelayanan,

k. Ketepatan waktu, yaitu penyelesaian setiap jenis pelayanan dilakukan tepat waktu sesuai dengan standar pelayanan,

l. Kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan, yaitu setiap jenis pelayanan

dilakukan secara cepat, mudah, dan terjangkau.23

2.3.3. Tujuan dan Pola Penyelenggaraan Pelayanan Publik

Tujuan pelayanan publik yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik adalah :

a. Terwujudnya batasan dan hubungan yang jelas tentang hak, tanggung jawab,

kewajiban, dan kewenangan seluruh pihak yang terkait dengan

penyelenggaraan pelayanan publik,

b. Terwujudnya sistem penyelenggaraan pelayanan publik yang layak sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan dan korporasi yang baik,

c. Terpenuhinya penyelenggaraan pelayanan publik sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan

d. Terwujudnya perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat dalam

penyelenggaraan pelayanan publik.24

23

(20)

Pola penyelenggaraan pelayanan publik meliputi sebagai berikut :

a. Fungsional, yaitu pola pelayanan publik yang diberikan oleh penyelenggara pelayanan, sesuai dengan tugas, fungsi dan kewenangannya,

b. Terpusat, yaitu pola pelayanan publik diberikan secara tunggal oleh

penyelenggara pelayanan berdasarkan pelimpahan wewenang dari

penyelenggaraan pelayanan terkait lainnya yang bersangkutan,

c. Terpadu satu atap, yaitu pola pelayanan terpadu satu atap diselenggarakan dalam satu tempat yang meliputi berbagai jenis pelayanan yang tidak mempunyai keterkaitan proses dan dilayani melalui beberapa pintu.

d. Terpadu satu pintu, yaitu pola pelayanan terpadu satu pintu diselenggarakan pada satu tempat meliputi berbagai jenis pelayanan yang memiliki keterkaitan proses dan dilayani melalui satu pintu.

e. Gugus tugas, yaitu petugas pelayanan publik secara perorangan atau dalam bentuk gugus tugas ditempatkan pada instansi pemberi pelayanan dan lokasi

pemberi pelayanan tertentu.25

2.3.4. Instrumen Penilaian

Instrumen penilaian sebagaimana termuat dalam lampiran-2 Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2013 tentang Pedoman Penilaian Kinerja Unit Pelayanan Publik, yang mencakup komponen dan indikator penilaian sebagai berikut:

1. Visi, misi, dan motto pelayanan (5%)

24 Pasal 3 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.

25 Nomensen Sinamo, Hukum Administrasi Negara, Jala Permata Aksara, Jakarta ,2014, hlm. 88-89

(21)

Komponen ini berkaitan dengan visi, misi, dan motto pelayanan yang memotivasi pegawai untuk memberikan pelayanan terbaik.

Indikator penilaian untuk komponen ini meliputi:

a. Adanya visi dan misi yang dijabarkan dalam perencanaan (Renstra, Renja) mengacu Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. b. Penetapan motto pelayanan yang mampu memotivasi pegawai untuk

memberikan pelayanan terbaik.

c. Motto pelayanan diumumkan secara luas kepada pengguna layanan.

2. Standar Pelayanan dan Maklumat Pelayanan (25%).

Dalam rangka memberikan kepastian, meningkatkan kualitas, dan kinerja pelayanan sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan selaras dengan kemampuan

Penyelenggara sehingga mendapatkan kepercayaan masyarakat, maka

penyelenggara pelayanan perlu menyusun, menetapkan, dan menerapkan Standar pelayanan.

Indikator penilaian untuk komponen ini meliputi:

a. Penyusunan, penetapan, dan penerapan standar pelayanan yang mengacu Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.

b. Maklumat Pelayanan yang dipublikasikan.

3. Sistem, Mekanisme, dan Prosedur (10%)

Komponen ini berkaitan dengan sistem dan prosedur baku dalam mendukung pengelolaan pelayanan yang efektif dan efisien untuk memberikan kepuasan kepada masyarakat pengguna pelayanan. Sistem dan prosedur baku meliputi Standar Operasional Prosedur.

(22)

Indikator penilaian untuk komponen ini meliputi:

a. Memiliki sertifikat ISO 9001:2008 dalam menyelenggarakan pelayanan publik dengan ruang lingkup semua jenis mengacu Undang-Undang No 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik

b. Menerapkan Sistem Manajemen Mutu (SMM), namun tidak memiliki sertifikat ISO 9001:2008

c. Penetapan Standar Operasional Prosedur (SOP) d. Penetapan uraian tugas yang jelas

4. Sumber Daya Manusia (17%).

Komponen ini berkaitan dengan profesionalisme pegawai, yang meliputi: sikap dan perilaku, keterampilan, kepekaan, dan kedisiplinan.

Indikator penilaian untuk komponen ini meliputi:

a. Penetapan dan penerapan pedoman kode etik pegawai

b. Sikap dan perilaku pegawai dalam memberikan pelayanan kepada pengguna layanan

c. Tingkat kedisiplinan pegawai dalam memberikan pelayanan kepada pengguna layanan

d. Tingkat kepekaan/ respon pegawai dalam memberikan pelayanan kepada pengguna layanan

e. Tingkat keterampilan pegawai dalam memberikan pelayanan kepada pengguna layanan

f. Penetapan kebijakan pengembangan pegawai dalam rangka peningkatan

keterampilan/ profesionalisme pegawai dengan tujuan meningkatkan kualitas pelayanan kepada pengguna pelayanan

(23)

5. Sarana dan Prasarana Pelayanan (8%)

Komponen ini berkaitan dengan daya guna sarana dan prasarana pelayanan yang dimiliki.

Indikator penilaian untuk komponen ini meliputi:

a. Sarana dan prasarana yang dipergunakan untuk proses pelayanan telah didayagunakan secara optimal

b. Sarana dan prasarana pelayanan yang tersedia memberikan kenyamanan kepada pengguna layanan (perhatikan: kebersihan, kesederhanaan, kelayakan dan kemanfaatan)

c. Sarana pengaduan (Kotak pengaduan, loket pengaduan, telepon tol, email dan lainnya)

6. Penanganan Pengaduan (10%)

Komponen ini berkaitan dengan sistem dan pola penanganan pengaduan, serta bagaimana penyelesaian terhadap pengaduan tersebut sesuai aturan yang berlaku. Indikator penilaian untuk komponen ini meliputi:

a. Sistem/prosedur pengelolaan pengaduan pengguna layanan b. Petugas khusus/ unit yang menangani pengelolaan pengaduan c. Persentase jumlah pengaduan yang dapat diselesaikan

d. Pengelolaan pengaduan yang mengacu Peraturan Menteri PAN-RB Nomor 13 Tahun 2009 tentang Pedoman Peningkatan Kualitas Pelayanan Dengan Partisipasi Masyarakat dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan

(24)

Survei Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM) diperlukan untuk mengetahui tingkat kepuasan masyarakat secara berkala dan mengetahui kecenderungan kinerja pelayanan pada masing-masing Unit Pelayanan Instansi Pemerintah dari waktu ke waktu. Komponen ini berkaitan dengan pelaksanaan survei IKM, metode yang digunakan, skor yang diperoleh, serta tindak lanjut dari hasil pelaksanaan survei IKM.

Indikator penilaian untuk komponen ini meliputi: a. Pelaksanaan survei IKM dalam periode penilaian

b. Survei IKM yang dilakukan yang mengacu Kepmenpan 25 Tahun 2004 dalam periode penilaian

c. Rata –rata skor IKM yang diperoleh d. Tindak lanjut dari hasil survei IKM

8. Sistem Informasi Pelayanan Publik (7%)

Komponen ini berkaitan dengan sistem pengelolaan informasi pelayanan, wujud/bentuk penyampaian informasi, serta tingkat keterbukaan, informasi kepada pengguna layanan.

Indikator penilaian untuk komponen ini meliputi: a. Sistem informasi pelayanan secara elektronik

b. Penyampaian informasi pelayanan publik kepada pengguna layanan c. Tingkat keterbukaan informasi pelayanan kepada pengguna layanan

(25)

9. Produktivitas dalam pencapaian target pelayanan (8%)

Komponen ini berkaitan dengan penentuan target pelayanan serta tingkat pencapaian target tersebut.

Indikator penilaian untuk komponen ini meliputi: a. Penetapan target kinerja pelayanan,

b. Tingkat Pencapaian target kinerja.26

26 Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2013 tentang Pedoman Penilaian Kinerja Unit Pelayanan Publik.

Referensi

Dokumen terkait

Note: jika hasil statistik-uji menunjukkan hipotesis utama (penelitian) ditolak, ini belum cukup bukti untuk menyimpulkan bahwa hipotesis tersebut benar- benar ditolak,

he PAM50 signature genes were used as predictive variables in PLS analysis, and the latent gene component scores were used in binary logistic regression for each molecular subtype..

Untuk mengetahui berapa rata-rata setiap karyawan dapat menghasilkan produk dalam setiap bulannya dan apakah memiliki pengaruh terhadap motivasi yang diberikan

Berdasarkan keseluruhan proses dalam membuat aplikasi keamanan data berbasis desktop dengan implementasi enkripsi dan dekripsi menggunakan algoritma blowfish,

Limbah sabut kelapa dipilih karena kelimpahannya yang banyak di Indonesia sebagai penghasil produk tanaman kelapa, di samping itu karena diantara biomassa yang lain,

Kepuasan responden di Instalasi Rawat Inap RSUD Tugurejo Semarang kategori tinggi adalah 38 responden ( 38 % ) dan kategori sedang 62 responden ( 62 % ), dengan

Perusahaan yang mengekspor secara teratur akan mendapat insentif luar negeri dan dapat memanfatkan tingka bunga luar negeri yang lebih rendah dan dapat mengurangi

Satu hal yang cukup menarik dengan digunakannya protokol TCP/IP adalah kemungkinan untuk menyambungkan beberapa jaringan komputer yang menggunakan media komunikasi