• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dasar-dasar Ekonomika Mikro-Makro Islam Oleh: Syafiq M. Hanafi. : ekonomi Islam, makro, mikro

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Dasar-dasar Ekonomika Mikro-Makro Islam Oleh: Syafiq M. Hanafi. : ekonomi Islam, makro, mikro"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

Abstrak

Dinamika perkembangan keilmuan telah diwarnai berbagai pengaruh, baik filosofi, agama, kondisi sosiologis, maupun lainnya. Pemikiran yang dihasilkan oleh tokoh-tokoh muslim pernah mewarnai dunia ilmu pengetahu-an pada berbagai bidang. Puncak kejayaan keilmuan dalam sejarah muslim muncul pada era dinasti Abasyiyah yang ditandai dengan keberadaan institusi Bait al-Hikmah. Kajian, terjemahan, dan pendalaman materi dari para pemikir Yunani dilakukan secara besar-besaran sehingga pada gilirannya menghasilkan berbagai displin keilmuan. Setiap periode sejarah muslim ditandai dengan lahirnya para pemikir yang menonjol pada zamannya. Demikian pula pada dataran pemikiran ekonomi telah dicetuskan oleh beberapa ekonom klasik muslim, saat ini banyak dikaji dan dijadikan dasar lembaga perekonomian Islam. Hal tersebut diadasarkan pada karakteristik ekonomi Islam yang didasarkan pada nilai-nilai agama sehingga membentuk karakteristik tersendiri. Tulisan ini akan mengkaji lebih jauh pemikiran ekonom Islam klasik dalam kajian ekonomi makro dan mikro.

Kata kunci : ekonomi Islam, makro, mikro

A. Pendahuluan

Aktivitas ekonomi merupakan salah satu kegiatan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidup sehingga usia kegiatan ekonomi itu identik dengan keberadaan manusia itu sendiri. Dengan demikian manusia sering disebut sebagai homo economicus sebagai naluri dasar untuk tetap melangsungkan kehidupannya. Berbagai ilmu turunan (istilah yang kemudian dikenal saat ini) juga telah lahir seiring dengan aktivitas ekonomi. Etika Bisnis lahir sebagai respon terhadap aktivitas ekonomi yang bertentangan dengan nilai-nilai masyarakat.1 Manajemen lahir ketika sebuah perekonomian berkaitan dengan pembagian tugas dalam sebuah komunitas maupun ilmu ekonomi sebagai upaya untuk memenuhi

kebutuhan rumah tangga sebuah keluarga.2

Dosen Jurusan Muamalah Fakultas Syari'ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Saat ini sedang menempuh program Doktor Ilmu Ekonomi di Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta.

1 K. Bertens, Pengantar Etika Bisnis, (Yogyakarta: Kanisius, 2000), p. 32.

2 Daniel A. Wren, The Evolution of Management Thought, (Canada: John Wiley and Son’s, 1994), p. 8.

(2)

Perkembangan berikutnya, bahwa aktivitas ekonomi dikaitkan dengan nilai-nilai fundamental dalam masyarakat baik melalui nilai-nilai kemasyarakatan, nilai agama, etika maupun ideologi tertentu. Nilai etika akan menjadi sebuah rumusan yang universal, seperti keadilan dan kejujuran. Ajaran agama lebih spesifik karena dikaitkan dengan ajaran agama tertentu seperti lahirnya ekonomi Islam maupaun etika protestan sebagai cikal lahirnya kapitalisme modern. Nilai ideologi seorang tokoh yang berpengaruh telah membangun doktrin-doktrin sosialisme.

Akar-akar ekonomi di atas tersebut menjadi dasar pengembangan ekonomi berikutnya sebagai karakteristik ekonomi masing-masing. Kapitalisme sangat identik dengan individualisme, sedangkan sosialisme sangat mengutamakan komunalisme dan ekonomi Islam syarat dengan nilai etika yang mengutamakan kebersamaan tetapi sangat menekankan individualisme dalam pertanggungjawabannya. Dalam perkembangan berikutnya, baik kapitalisme maupun sosialisme mengalami perubahan fundamental untuk menyesuaikan perkembangan dunia sedangkan ekonomi Islam tetap konsisten dengan nilai dasarnya sebagai kerangka ideal maupun perilaku.3

B. Sejarah Perekonomian dalam Islam

Dasar dan aktivitas ekonomi dalam sejarah muslim seusia Islam itu sendiri melalui praktek yang dilakukan nabi dan masyarakat muslim saat itu. Praktek ekonomi saat itu ditekankan pada praktek yang dianggap benar sekaligus sebagai etika dan dasar hukumnya. Islam lahir pada sebuah masyarakat yang syarat dengan aktivitas ekonomi melalui perdagangan dan sebagian kecil adalah pertanian.

3 Konsep bunga dalam doktrin Kristen mengalami perubahan sejak keluarnya kebijakan gereja yang melakukan kerja sama dengan kaum kapitalis dalam dunia usaha. Bunga dibagi menjadi interest dan usury dan membolehkan bunga yang diterapkan kaum kapitalis yang mengembangkan dana umat. Demikian juga dengan individualisme ketat telah bergeser kepada arah yang lebih sosialis-humanis sebagai tanggung jawab sosial perusahaan. Demikian juga dengan sikap sosialis yang hanya bertahan pada era 1990-an karena ternyata Negara secara fakta tidak dapat mempertahankan sikap intervensi Negara yang sangat berlebihan sehingga subsidi Negara telah mengahncurkan ekonomi Negara itu sendiri seperti kasus Uni Soviet, berbeda dengan China yang telah menggeser sosialisme menjadi kekuatan ekonomi kerakyatan. Konsistensi Islam sangat terlihat terhadap pelarangan riba yang tetap berlaku sampai saat ini, demikian juga dengan dasar-dasar kepemilikan yang mengakui kepemilikan pribadi tetapi tidak melupakan konsep kepemilikan umum atau sebaliknya, sehingga gerakan sufi juga menjadi perdebatan sampai saat ini karena ingin berorientasi pada kehidupan akhirat tetapi meninggalkan dunia.

(3)

Kehadiran Islam yang merombak total konsep politheisme menjadi monotheisme juga berimplikasi pada pelarangan aktivitas-aktivitas ekonomi yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai dasar Islam. Islam telah melarang sistem jual beli yang bersifat gharar seperti ba’i al-hasot,4 mulamasah

dan munabazah5 yang dipraktekan masyarakat Arab.6 Praktek yang

demikian berkembang bukan hanya pada pelarangan mekanisme ekonomi sebelumnya tetapi juga memberikan nuansa baru kepada umat Islam untuk melakukan aktivitas ekonomi yang lebih luas.

Ajaran ekonomi Islam bersumber pada al-Qur’an, as-Sunnah baik melalui ucapan nabi, perbuatan maupun praktek yang dijalankan oleh umat Islam pada waktu itu. Praktek yang sederhana tersebut belum menjadi sebuah sistem yang terorganisir secara ilmu pengetahuan karena sesuai prinsip tujuan hukum Islam adalah memberikan pemahaman yang dapat difahami masyarakat waktu itu. Prinsip-prinsip dasar ekonomi telah dinyatakan secara tegas dalam kedua sumber tersebut walaupun sebagain besar masih berupa ajaran normatif. Nilai- nilai postitivis/empiris dapat dilihat melalui praktek yang dijalankan oleh nabi dan umatnya ketika menerapkan sistem ekonomi Islam secara keseluruhan, seperti pendirian baitu al- maal dalam mengorganisir penerimaan dan pengeluaran yang bersumber pada zakat dan ghanimah. Sumber pendapatan tersebut merupakan sumber pada awal Islam. Kebijakan fiskal tersebut berkembang seiring dengan perkembangan zaman dan memasukkan fay, dan secara manajerial, nabi telah menunjuk orang untuk mengelola

penerimaan dan pendistribusian baitu al-mal7 demikian juga nabi menunjuk

orang untuk melakukan pengawasan pasar (al-Muhtasib) agar berjalan sesuai dengan ajaran Islam.

Ajaran-ajaran dasar dalam al-Qur’an memuat prinsip pelarangan

riba,8 keadilan9, kemanfaatan10 dan prinsip melakukan muamalat

berdasarkan kreatifitas umat yang tidak melanggar ajaran Islam11.

Sedangkan ajaran dari as-Sunnah memberikan contoh untuk

4 HR. Muslim 5 HR. Bukhari

6 Subhi Mahmasani, Falsafatu at-Tasyri’ fi al-Islamiy, (Beirut: al-Kasyaf), 1952/1371, p. 20.

7 Nabi menyatakan bahwa orang yang mengelola uang sodaqah sama dengan orang yang berjihad di jalan Allap. Sebagaimana dinukil oleh Abu Yusuf. Dr. Sabahuddin Azmi, Menimbang Ekonomi Islam, alih bahasa Widyawati (Bandung: Nuansa, 2005), p. 27.

8 Al-Baqarah (2): 275, 276, 278, 279 – Ali Imran (3): 130 – An-Nisa' (4): 141. 9 An-Nisa' (4): 58, 135 -- 5:58-- 16:90, 6:152-- 21:112-- 60:8

10 Ar-Ra’d (13): 17. 11 Al-Qashas (28): 77.

(4)

melaksanakan perdagangan secara jujur12, tidak boleh mencampur dagangan yang berbeda kualitas13, prinsip mekanisme pasar14 dan bentuk-bentuk perdagangan seperti sewa-menyewa, gadai, musyaraka, mudaraba (qirad) dan hal tersebut menyangkut hal-hal yang sangat spesifik sehingga mekanisme tersebut mencakup praktek sekaligus hukumnya sebagai etika bisnis yang dipraktekkan dalam masyarakat muslim.

Pemikiran ekonomi menjadi sebuah sistem yang diterapkan telah dimulai sejak nabi menetapkan kebijakan fiskal terutama dalam mengalokasikan zakat dan ghanimah untuk penggajian. Peran baitu al-mal secara meluas telah diterapkan pada era Umar ibn al-Khattab dengan menbangun infra struktur dan penarikan pajak secara baik bahkan pengelolaan pasar secara baik. Pengembangan pemikiran ekonomi lebih luas dan mencakup kebijakan Negara sejak era Abu Yusuf dan diteruskan Imam al- Ghazzali, ibn Taimiyyah, Ibn Khaldun, al-Mawardi, Syech Waliyullah dan pemikir lain pada setiap generasi.

Pemikiran dalam ekonomi tidak semaju dibanding pemikiran hukum, karena ulama fikih mempunyai murid fanatik yang mengaplikasikan setiap ajaran dan pemikiran para guru tersebut. Empat mazhab besar telah berkembang menjadi enam mazhab dan juga mazhab-mazhab kecil yang secara langsung membahas persoalan-persoalan kehidupan riil. Ajaran fikih yang langsung dipraktekan umatnya tersebut menjadikan ajaran fikih lebih berkembang baik yang bersifat produk hukum (fikih) maupun usul fiqh-nya. Ajaran yang sangat beragam tersebut menjadikan khazanah keilmuan dalam Islam sangat berkembang secara pesat.

Berbeda halnya dengan ekonomi Islam yang lebih diidentikan dengan kebijakan sebuah Negara (muslim), maka setiap pemikiran ekonom muslim tidak langsung cocok dengan para penguasa sehingga hanya beberapa pemikiran yang dapat diaplikasikan, tetapi praktek ekonomi keseharian sebagaimana praktek hukum telah diaplikasikan oleh para pelaku bisnis muslim (ekonomi mikro). Bahkan sampai saat ini, sangat jarang ditemukan sebuah Negara muslim yang mengaplikasikan teori ekonomi Islam dalam kebijakan Negara kecuali pada era nabi dan para sahabat. Pasca khulafaur rasyidin, studi empiris ekonomi Islam sangat sulit ditemukan dan hal yang berbeda dengan kasus-kasus hukum, bahkan dalam pemikiran ekonom saat itu sebagai kritik tindakan para penguasa atau pemerintahan saat itu. Secara garis besar, pemikiran ekonomi terbagai

12 HR. at-Tirmidzi 13 HR. Muttafaq Alaih

(5)

menjadi dua, pemikiran sebagai respon terhadap kondisi mikro maupun makro dan yang kedua merupakan pemikiran yang dilatarbelakangi oleh idealisme ekonom itu sendiri (ijtihad).

Secara ideal, ekonomi Islam merupakan gabungan antara normatif dan positivis15 dengan menempatkan prinsip normatif sebagai kerangka acuan karena lebih bersifat universal. Nilai normatif tersebut berasal dari wahyu yang sangat identik dengan Islam itu sendiri, sedangkan ilmu-ilmu yang dikembangkan dari ajaran Islam merupakan interpretasi ulama sehingga mengasilkan keberagaman yang hanya pada kebenaran relatif. Satu prinsip dasar yang sangat berbeda adalah penempatan khalik sebagai pertimbangan mutlak atas seluruh aspek ekonomi, sehingga kedudukan manusia dalam ekonomi Islam sebagai khalifah (manusia religius) yang

akan memakmurkan bumi dalam rangka ibadah.16 Hal ini tentunya sangat

berbeda dengan Kapitalisme yang menempatkan manusia sebagai mahluk sosial dan homo-economicus murni dan prinsip bahwa bisnis adalah tidak ada kaitannya dengan moral (amoral) sehingga menjunjung tinggi nilai individualisme. Demikian juga dengan sosialisme yang menempatkan individu hanya sebagai pelengkap dengan menempatkan kekuasan Negara sebagai puncak yang mendominasi segalanya yang akhirnya justru Negara tersebut melakukan tindakan yang sewenang-wenang.

C. Kepemilikan dalam Kerangka Ekonomi Islam

Kepemilikan merupakan hal yang asasi dalam kehidupan manusia, baik yang berkaiatn dengan kedudukan kepemilikan, jumlah dan kebebasan dalam pemanfaatannya. Ide-ide tersebut sangat dipengaruhi oleh ajaran agama maupun ideologI maupun adat yang berlaku. Aspek yang paling banyak dikaji adalah kepemilikan umum, kepemilikan pribadi dan sedikit tentang kepemilikan negara. Penggunaan hak milik yang dipengaruhi oleh ajaran agama dan ideologi mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap mekanisme usaha pada sistem ekonomi Islam dan kapitalisme. Secara sadar kelembagaan, ajaran Islam telah membentuk karakteristik dalam sistem perekonomian yang bercorak sosial dengan mengutamakan kepentingan umum.

Hak milik dalam Islam selalu dikaitkan dengan keberadaan manusia baik sebagai mahluk maupun sebagai khalifah yang bertugas untuk memakmurkan bumi sebagai manifestasi pertanggung jawabannya. Hak

15 M. Abdul Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, alih bahasa Nastangin (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf), 1995

(6)

milik merupakan bagian dari kajian Fikih Muamalat dan kedudukannya

sangat penting karena berkaitan dengan keabsahan suatu transaksi.17

Doktrin paling mendasar dalam ajaran Islam menegaskan bahwa kepemilikan paling asasi adalah Allah, sedangkan manusia menjadi pemilik sebatas sebagai pemegang amanat dari Allah. Pemanfaatan kepemilikan oleh manusia harus sesuai dengan dengan ketetapannya dan untuk tujuan

yang sejalan dengan kehendak Allah.18 Pengakuan Allah terhadap

kepemilikan manusia dapat diliha dari firman-Nya, praktek dan ajaran yang telah dilakukan era nabi. (QS. Al-Ahzab 33:27)19

Kepemilikan dalam Fikih diartikan sebagai penguasaan terhadap benda yang dimungkinkan untuk memiliki secara berkelanjutan dan dapat melakukan transaksi sepanjang tidak dilarang oleh ketentuan agama. Penguasaan diartikan sebagai kemampuan untuk mempergunakan tetapi dibatasi oleh ajaran agama. Kepemilikan dapat diperoleh melalui berbagai mekanisme seperti pendakuan terhadap benda tak bertuan, bekerja, transaksi atau pelimpahan hak seperti waris, hibah, wasiat. Hak milik merupakan hak yang sangat kuat yang dapat dimiliki selamanya serta tidak dpat diganggu gugat kecuali dilakukan transaksi20.

Kepemilikan individu dalam Islam dibatasi oleh kepentingan umum dan ketentuan agama memberikan kewajiban tertentu pada kelebihan kepemilikan yang telah melampaui batas minimal (nisab) dan batas waktu (haul). Kepemilikan untuk kepentingan umum mempunyai kedudukan

17 Musthaq Ahmad, Business Ethics in Islam, (Pakistan: IIIT), 1995, p. 42 18 Muhammad Taleqani, Islam and Ownership, (Lexington: Mazda), 1983, p. 88-9 19 Dan dia mewariskan kepadamu tanah-tanah, rumah-rumah dan harta benda mereka, dan begitu juga tanah yang belum kamu injak (kuasai) dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS. 22:37) Demikian Juga dnegan pengakuan terhadap harta nabi dan para sahabat yang diperoleh seblum Islam, demikian juga pengakuan terhadap harta non muslim. Pada bagian lain, nabi memberikan pengakuan hak milik atas tanah mati (terlantar) yang dikelola/diproduktifkan. Demikian juga kepemilikan terhadap harta non muslim yang telah membbayar jizyah (pajak keamanan), kharaj, maka perlindungan yang diperoleh sama dengan kepemilikan seorang muslim.

20 Ulama membagi kepemilikan menjadi 2, 1. al-milku at-Tam (Kepemilikan sempurna) dan al-milku an-Naqis (kepemilikan tidak sempurna) Kepemilikan sempurna dapat diperoleh melalui 1. Penguasaan terhadap barang yang tidak bertuan seperti menghidupkan tanah mati (tidak terawatt), binatang buruan, penguasaan tambang dan harta temuan 2. Transaksi yang bertujuan mengalihkan harta secara benar seperti jual beli. 3. Peralihan secara sepihak seperti waris, maupun hibah 4. Membebaskan budak. Kepemilikan harta yang tidak sempurna adalah 1. Kepemilikan terhadap wujud benda saja, seperti sewa-menyewa 2.Penguasaan pada manfaat harta, seperti orang yang menyewa barang 3. Hak untuk memanfaatkan benda orang lain karena ketentuan hukum, seperti hak untuk melewati pekarangan (haq al-murur), hak pengairan (haq al-masil) (Wahbah az-Zuhailiy, 1979:68-77

(7)

paling kuat dalam Islam, hal tersebut untuk menghindari sikap monopoli dan pengambilan keuntungan secara sepihak sehingga mengganggu hajat orang banyak. Ajaran tersebut diimbangi dengan adanya anjuran terhadap sifat kolektif seperti lembaga wakaf, tanah mahmiyah dan status masjid yang dianggap sebagai rumah Allah21.

Kepemilikan yang diperoleh secara benar dan telah dikeluarkan kewajiban seperti zakat maka dijamin oleh agama, bahkan diwajibkan untuk selalu dijaga dari kejahatan orang lain yang ingin menguasai secara tidak sah. Banyak hadis yang memformulasikan dengan ungkapan mati syahid ketika orang berusaha mempertahankan hartanya sampai

meninggal.22 Demikian juga dengan rumusan as-Syatibi dalam

merumuskan kebutuhan primer (daruriyat), termasuk di dalamnya adalah

menjaga harta.23 Kewajiban melindungi harta bukan hanya kewajiban

pemerintah, tetapi kewajiban setiap penduduk baik kalangan muslim maupun non-muslim.

Implikasi ajaran Islam pada kepemilikan sangat mempengaruhi pengunaan, distribusi dan konsumsi sebuah komoditas. Penggunaan kepemilikan sebagai sarana produksi tidak dapat dipergunakan secara bebas sebagai obyek usaha walaupun mendatangkan keuntungan secara ekonomis. Batasan tersebut adalah konsep halal dan haram yang merupakan doktrin mendasar dalam Islam. Ajaran Islam sangat melarang penggunaan kepemilikan yang dapat mengakibatkan kerusakan, membahayakan dan merugikan orang lain karena bertentangan dengan konsep dasar pemanfataan kepemilikan sebagai wujud amanat dari khalifah Allah.

21 Tanah Mahmiyah telah ada sejak zaman Rasulullah, yaitu tanah yang tidak boleh dijadikan sebagai hak milik pribadi, tanah tersebut dapat digarap/dimanfaatkan oleh oran miskin dengan kompensasi memberikan hasil panen kepada baitu al-mal. Hadis yang sangat terkenal sebagai legitimasi kepemilikan umum yang tidak boleh dikuasai secara pribadi adalah: “Bahwasanya manusia memiliki secara bersama terhadap tiga hal, rumput, air dan api” (HR. Abu Daud)

22 HR. Muslim dari Abu Hurairoh, “Seorang laki-laki dating kepada Rasulullah seraya berkata:”Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu jika dating seorang bermaksud mengambil hartasaya?Rasulullah menjawab”Jangan kamu berikan” lalu berkata “ Bagimana jika ia membunuhku? Rasul Menjawab “Kamu mati syahid” Ia bekata” Bagaimana jika aku membunuhnya?, Rasul menjawab, “Ia akan masuk neraka” HR. Abdillah ibn Umar “ Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda:” Barang siapa terbunuh karena membela hartanya, maka ia mati syahid”

23 As-Syatibi, Muwafaqat fi usuli asy-Syari’ah, (Mesir:ar-Rahmaniyah), tt., p. 8-9 Syatibi membagi tingkatan kebutuhan manusia menjadi 3 (tiga) yaitu, kebutuhan primer (daruriyat), sekunder (hajiyat) dan tertier (tahsiniyat). Kebutuhan primer meliputi, menjaga 1. Agama 2. Harta 3. Jiwa 4. Keturunan 5. Akal.

(8)

Halal dan haram merupakan kerangka dasar yang dapat dikembangkan pada etika bisnis yang membedakan dengan system lainnya. Hubungan kepemilkan dengan konsep halal-haram menjadikan bisnis dalam perspektif Islam bukan hanya kegiatan dunia tetapi lebih jauh merupakan paraktek yang berorientasi pada agama maupun akhirat. Perbedaan halal-haram bukan hanya mengharuskan adanya sebuah tujuan yang benar, tetapi meliputi seluruh sarana yang dipergunakan tidak mengandung unsur-unsur yang dikatagorikan sebagai barang haram.

Obyek usaha dalam Islam harus bersifat halal karena merupapkan syarat mutlak untuk mencapai transaksi yang sah dan mempunyai kekuatan hukum yang tetap.24 Bisnis Islam tidak mengenal investasi dan usaha yang bersifat haram, gharar walalupun hal tersebut sangat diperlukan sebagai kebutuhan manusia dan mendatangkan keuntungan secara ekonomis. Dalam mencapai kemaslahatan, Islam tidak membedakan antara ajaran agama dan politik, ekonomi dan bidang lainnya. Islam ingin meletakkan ajaran agama sebagai satu kesatuan yang mempengaruhi gaya hidup yang berimbang sehingga perbedaan yang jelas antara halal-haram adalah kemaslahatan secara menyeluruh untuk semua umat manusia.25, Pembagian halal-haram tidak untuk membatasi produktifitas dan menghambat kegiatan ekonomi tetapi lebih difahami sebagai kerangka dasar berpijak untuk mendapat barakah yang sekaligus sebagai tatanan etika dalam bisnis.26

Konsep barakah diidentikan dengan kepuasan batin dalam menjalankan usaha maupun menerima hasil usaha sehingga menciptakan sebuah korelasi yang erat antara kemakmuran yang akan dicapai dengan nilai-nilai moral agama. Kesejahteraan dalam Islam bukan didasarkan pada akumulasi modal, uang dan barang komoditas, tetapi lebih menekankan pada proses kegiatan ekonomi yang diawali dengan sebuah I’tikad yang baik, perilaku dan tujuan yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam.

Pandangan ajaran Islam terhadap harta benda merupakan garis kompromi antara pandangan zuhud yang menolak dan mengabaikan keberadaan harta dan pandangan materialisme yang berlebihan terhadap harta. Demikian juga kepemilikan dalam Islam, merupakan pertengahan antara faham kapitalisme dan sosialisme, walaupun nilai-nilai kepemilikan dalam Islam telah lahir jauh sebelum kedua aliran tersebut.

24 Yusuf Musa, Al-Buyu’wa Mu’amalat Mu’asiroh, (Mesir: Dar Kutb al-‘Arabiy), 1954, p. 103-32

25 Ahmed Abdul Fattah el-Ashker, The Islamic Business Enterprise, (Sydney: Croom Ltd.) 1987, p. 1

(9)

Ajaran dasar dalam Islam, tidak ada satupun yang melarang dan menentang kepemilikan harta, sindiran yang diekspresikan dalam firman maupun sunah berkaiatan dengan harta sebagai cobaan yang dapat menjadikan fitnah di dunia dan akhirat bagi pemiliknya. (QS. At-Taghabun 64:15)27 Keteledoran terhadap pemanfaatan harta berimplikasi pada sikap melalikan kewajiban agama bahkan pada sikap kemusyrikan yang menjadikan hartanya sebagai Tuhan. Penggunaan harta dan kepemilikan dalam ajaran Islam untuk menjalankan kewajiban keagamaan dan berjuang di jalan Allah dalam pengertian yang luas. Dengan demikian dalam Islam, individu tidak memiliki kepemilikan yang mutlak, sehingga setiap kepemilikan pribadi terdapat kewajiban sosial dan kepentingan umum dalam Islam sangat diutamakan.

D. Prinsip Dasar Ekonomi Makro dan Mikro dalam Ekonomi Islam

Ekonomi merupakan kegiatan yang dikatagorikan dalam mu’amalat yang mempunyai hukum dasar dengan beribadah. Prinsip dasar aktivitas

mu’amalat adalah asas kebolehan (halal) sampai ada dasar yang

melarangnya. Prinsip tersebut dikembangkan dalam prinsip-prinsip dasar mu’amalat yaitu;

1. Hukum dasar aktivitas mu’amalat adalah halal sampai ada dalil yang melarang.

2. Prinsip kerelaan pada masing-masing pihak yang melakukan transaksi

3. Prinsip Keadilan dalam beraktivitas

4. Prinsip Kemanfaatan pada setiap aktivitas

5. Prinsip bebas (riba) pada seluruh transaksi dalam kegiatan ekonomi Islam.

Prinsip di atas merupakan prinsip yang harus ditegakkan dan dijalankan pada seluruh aktivitas perekonomian Islam tanpa mengenal perubahan waktu maupun mekanisme transaksi baru. Prinsip dasar tersebut merupakan pembeda dengan prinsip dasar dengan ibadah, tetapi secara prinsip kegaiatan mu’malat juga dapat bersifat ibadah jika dilandasi dengan konsep niat—suatu konsep yang menjadi karakteristik khas dalam Islam.

Teori dan analisis dasar ilmu ekonomi dibedakan menjadi ekonomi mikro dan ekonomi makro. Tujuan ekonomi mikro adalah untuk mencapai efesiensi dengan sumber daya yang tersedia dan untuk mencapai kepuasan yang maksimal. Kajian ekonomi kikro meliputi, Teori harga dan

27 “Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanya cobaan (bagimu) dan di sisi Allah-lah pahala yang besar” At-Taghabun (64): 15.

(10)

aplikasi, Perilaku konsumen, Produksi dan biaya produksi, Struktur pasar dan Mekanisme Pasar. Ekonomi makro lebih menkankan pada aspek yang lebih bersifat makro atau kebijakan Negara. Kajian tersebut meliputi; Pendapatan nasional, kebijakan moneter dan fiskal, Permintaan agregat, suplai dan pertumbuhan, perilaku penyandang dana, inflasi, pengangguran dan anggaran.

a. Kerangka Mikro

1. Perilaku Konsumsi

Perilaku konsumsi dalam ekonomi Islam didasarkan pada tiga hal yang membedakan dengan ekonomi konvensional. Pertama, Ajaran Islam menekankan keberhasilan di dunia dan akhirat28, sehingga pilihan jenis konsumsi juga harus berorientasikan pada kemanfaatan dunia dan akhirat. Kedua, bahwa kesuksesan muslim tidak hanya diukur dengan jumlah kekayaan yang dimiliki tetapi juga aspek moralitas seseorang. Ketiga, harta kekayaan merupakan titipan Allah dan hanya sebagai sarana bukan tujuan29, sehingga penggunaannya juga harus sesuai dengan ketentuan syara’. Dengan demikian tujuan konsumsi dalam ekonomi Islam bukan untuk maksimalisasi utilitas melainkan asas manfaat, maslahah dan barakah.

Motif aktivitas ekonomi konvesnional didasarkan pada upaya untuk memenuhi kenginan (want) sehingga tercapai kepuasan yang maksimal. Rasionalisme Islam menolak hal tersebut karena manusia pada dasarnya mempunyai dua keinginan yang berlawanan, yaitu keinginan terhadap yan baik sekaligus keinginan yang buruk. Dalam ajaran Islam,manusia harus mengendalikan dan mengarahkan keinginan pada hal-hal yang sesuai dengan ajaran agama dan tujuan dasar pemenuhan keinginan tersebut. Keinginan yang sangat luas tersebut dibatasi dengan kebutuhan sebagai criteria mendasar yang akan dipenuhi oleh manusia. Hal tersebut menjadi sangat wajar, ketika fuqaha merumuskan tingkatan kebutuhan manusia menjadi tiga tingkatan, yaitu daruriyat (primer), hajiyat (sekunder) dan tahsiniyat (tersier). Dalam konteks tersebut, maka yang diklasifikasikan adalah tingkat kebutuhan dan bukan keinginan karena kebutuhan adalah sesuatu yang dapat diukur dan bersifat terbatas yaitu sesuai kemampuan dan kemanfaatan. Batasan secara umum dalam memenuhi kebutuhan adalah maslahat, barakah dan bukan sesuatu yang dapat mendatangkan kerugian dan bahaya. Demikian juga dalam tiga tingkatan tersebut di atas

28 Al-Baqarah (2): 201-2, Al-Qashash (28): 77.

29 Monzer Kahf, Ekonomi Islam, alih bahasa Machnun Husein, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), p. 58.

(11)

(primer, sekunder dan tersier) harus mengacu pada lima prinsip dasar, yaitu menjaga agama, jiwa, harta, akal dan keturunan.

Tujuan konsumsi seorang muslim (pelaku ekonomi yang religius) berbeda dengan economic man, yaitu bukan mencari utilitas melainkan maslahah dan bernilai barakah30. Dua sifat tersebut tidak hanya bersifat dunia melainkan juga bersifat religius dan merupakan kepuasan batin yang dilandasi dengan sikap kebergamaan seseorang. Dalam ajaran Islam, konsumsi tidak dapat berdiri sendiri melainkan juga dikaitkan dengan doktrin lain sebagai penunjang untuk mendapatkan kemaslahatan dan baraka yaitu konsep tabzir (sia-sia)31 dan israf (berlebihan)32. Sikap economic man yang religius tentunya akan menghindari dua sifat di atas guna mencapai keberhasilan baik di dunia maupun di akhirat. Konsumsi terhadap hal-hal yang tidak memneuhi dasar kebutuhan maka akan bersifat sia-sia sedangkan konsumsi terhadap satu komoditas secara berlebihan akan menimbulkan israf. Dua sifat tersebut dapat mengurangi nilai keberagamaan seseorang karena secara mendasar dua sifat tersebut tidak disukai oleh Allah SWT.

Dimensi lain, berupa nilai-nilai yang melekat pada sikap konsumsi adalah zakat, infaq, sadaqoh dan lainnya yang merupakan pembatasan secara agama terhadap kelebihan harta yang telah diperoleh. Batasan tersebut sebagai penyeimbang dari sikap konsumerisme individu dan

aspek sosial yang dibangun dalam tatanan ekonomi Islam. 33

Nilai ajaran Islam dalam perilaku konsumsi menjadikan konsumsi tersebut sangat berbeda dengan konsumsi versi ekonomi konvensional. Letak perbedaan tersebut pada tujuan penggunaan, motif, klasifikasi kebutuhan dalam menggunakan, batasan yang tidak boleh mengarah sifat tabzir dan israf serta ketentuan untuk mengelurkan zakat jika telah mencaai syarat tertentu dan pemberian lain yang bersifat sosial yang snagat dianjurkan agama seperti infak, sedekah, wakaf, hadiah maupun hibah. 2. Prinsip-prinsip Produksi

Kegiatan produksi menghasilkan barang dan jasa guna dikonsumsi oleh konsumen melalui jaringan distribusi. Tiga kegiatan tersebut – produksi-konsumsi-distribusi-- merupakan rangkaian yang tidak dapat

30 Al-A’raf (7): 97. 31 Al-Isra (17): 27.

32 Al- An’am (6): 141, Al- A’raf (7): 31.

33 Prinsip-prinsip konsumsi menurut Abdul Mannan adalah: 1. Prinsip Keadilan 2. Kebersihan 3. Kesederhanaan 4. Kemurahan hati dan 5. Moralitas. Menurut Yusuf Qaradawi adalah: 1. Membelanjakan harta dalam kebaikan dan menjauhi kekikiran. 2. Tidak melakukan kemubaziran dan 3. Kesederhanaan.

(12)

dipisahkan. Kegiatan produksi dan aktivitas ekonomi saling berhubungan, dengan kegiatan produksi maka aktivitas ekonomi dapat berjalan demikian juga aktivitas ekonomi mendorong kegiatan produksi. Faktor-faktor produksi meliputi, tanah, tenaga kerja, modal dan organisasi (perusahaan)34

Ekonom muslim mendefinisikan produksi dengan memasukkan nilai agama serta unsur akhirat sebagai tolok keberhasilan. Kahf memasukkan unsur moralitas, Mannan menekankan kepentingan umum dan Shiddiqi berpegang pada keadilan dan kemaslahatan masyarakat sebagai titik tekan. Metwally lebih luas dengan mengemukakan bahwa seluruh faktor produksi, proses produksi dan distribusi pemasaran dan pelayanan harus mengikuti moralitas Islam. Hal tersebut menunjukan perbedaan secara prinsip antara produksi dalam ekonomi islam dan konvesnional.35

Prinsip produksi dalam ekonomi Islam adalah bertujuan untuk memenuhi kebutuhan barang dan jasa untuk menjalankan kekhalifahan di bumi. Hal tersebut tentunya dituntut asas pemerataan dan memprioritaskan kebutuhan yang paling mendasar. Nilai-nilai syrai’ah tentunya menjadikan seluruh kegiatan produksi harus bersifat halal, walalpun komoditas yang bersifat gharar maupun haram tersebut dapat mendatangkan keuntungan ekonomi yang sangat menjanjikan. Sifat produksi juga harus memperhatikan sosial-kemasyarakatan agar terjadi keseimbangan antara lingkungan sosial, perusahaan, karyawan mauapun stake holder lainnya.

Pada bagian lain, perusahaan sebagai produsen dan agen ekonomi juga perlu memperhatikan aspek-aspek yang berkaiatan dengan ajaran Islam. Dalam ekonomi konvensional, keuntungan menjadi tujuan satu-satunya perusahaan dalam menjalankan produksi. Pada kenyataannya, perusahaan sangat sulit menjalankan usahanya secara maksimal, sehingga tujuan maksimalisasi keuntungan dapat diperoleh melalui eksploitasi melalui penurunan kualitas maupun harga tinggi yang harus dibayar konsumen. Hal tersebut tentunya sangat bertentangan dengan tanggung jawab sosial perusahaan dalam menjalankan aktivitasnya.

Dalam ekonomi Islam, keuntungan merupakan sesuatu yang wajar agar perusahaan dapat menjalankan seluruh unit aktivitasnya. Tingkat keuntungan yang diperbolehkan adalah dalam batas yang wajar. Dengan demikian, tujuan perusahaan dalam perspektif ekonomi Islam bukan hanya tunggal dengan maksimalisasi keuntungan tetapi dapat mencakup beberapa hal. Tujuan perusahaan harus menyesuaikan dengan ajaran Islam

34 M. Abdul Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, alih bahasa M. Nastangin (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), p. 55-61.

35 M.B. Hendie Anto, Pengantar Ekonomika Mikro Islami, (Yogyakarta: Ekonosia, 2003), p. 155-7.

(13)

itu sendiri dan penyesuai ini tetap menjadikan perusahaan produktif dan mengembangkan usaha. Secara kuantitas, perusahaan memprioritaskan maksimalisasi jumlah produk dengan harga yang rendah sehingga masyarakat luas dapat memperoleh barang secara merata. Jenis barang yang diproduksi merupakan barang yang menjadi kebutuhan mendasar mayoritas masyarakat dan setelah terpenuhi maka perusahaan dapat melebarkan pada produksi barang lain. Kesejahteraan masyarakat merupakan tanggung jawab semua pihak dan bukan hanya pemerintah, dalam posisi demikian perusahaan swasta mempunyai peran strategis karena merupakan mayoritas pelaku usaha dalam produksi barang maupun jasa. 36

Hubungan produksi dan konsumsi dalam ekonomi Islam sangat erat, produsen hanya memproduksi barang berdasarkan pada need bukan sekedar pada want dari konsumen. Hal tersebut juga sesuai dengan pemikiran ulama fikih yang sangat menekankan pada aspek daruriyat dengan melandaskan pada lima kebutuhan dasar. Pada bagian lain, barang yang dihasilkan harus mempunyai nilai dan kegunaan yang nyata bagi kehidupan untuk menunjang kekhalifahan dan bukan dalam rangka mencapai kepuasan maksimal. Demikian juga hubungan konsumsi dan produksi pada penggunaan barang yang tidak menimbulkan tabzir dan israf, sehingga produksi barang juga tidak akan berlebihan yang mendorong pada sikap konsumerisme dan kerusakan lingkungan dan penghamburan sumber daya alam.

Melalui konsep kepemilikan hakiki adalah Allah SWT., maka tujuan produksi dan konsumsi dalam rangka ibadah sehingga akan menjauhkan dari hal-hal yang dilarang agama, seperti produksi barang yang haram maupun berbahaya untuk kehidupan karena bertentangan dengan tujuan hidup manusia itu sendiri.

3. Pasar dan Mekanisme Pasar

Pasar mempunyai peran yang signifikan dalam perekonomian Islam, mekanisme pasar yang membentuk harga, jumlah barang dan lainnya dianggap sebagai mekanisme yang adil dan fair. Nabi menolak untuk melakkukan intervensi pasar bahkan ketika harga sebuah komoditas itu sangat tinggi. Dengan demikian harga pasar harus mempunyai ketentuan: sehat, jujur, keterbukaan dan keadilan.

Abu Yusuf juga sangat menentang penetapan harga komoditi yang diperjualbelikan di pasar, hal tersebut didasarkan pada hadis nabi yang

36 Syed Othman al-Habshi, dalam Shaeikh Ghazali Sheikh Abod (ed.),An Introduction to Islamic Finance, (Kuala Lumpur: Quill Pub. 1992), p. 31.

(14)

menolak untuk menetapkan harga kurma ketika terjadi kelangkaan, karena menyerahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar. Harga adalah milik Allah, hal tersebut dibuktikan dengan kelangkaan barang tidak menjadikan kenaikan harga, demikian juga dengan banyaknya barang tidak secara

otomatis menjadikan harga yang murah.37

Al-Ghazzali juga mendiskusikan secara mendetail mengenai peran dan aktivitas ekonomi melalui pengaturan tempat aktivitas. Tempat produksi dan konsumsi pada lokasi yang berbeda, petani membutuhkan peralatan yang dibuat tukang kayu, demikian sebaliknya dan tempat ideal untuk bertransaksi adalah pasar. Tingkat permintaan barang berbeda sesuai waktu kebutuhan, dan hal tersebut menunjukan perlunya pola pemasaran. Seorang pedagang membeli hasil pertanian melalui distributor, kemudian disimpan dan dijual kembali ketika ada permintaan. Harga dari petani lebih murah dari harga jual setelah dismpan. Hal tersebut

menunjukan bahwa

kekuatan pasar dapat mempengaruhi harga

.

Demikian juga dengan transportasi yang dibutuhkan untuk memindahkan barang dari satu temapt ke tempat lain. Transportasi tersebut menjadi sumber pendapatan penyedia jasa transportasi, dengan demikian orang bekerja sama untuk mendapatkan pendapatan. Hal tersebut juga yang dibahas oleh Adam Smith dengan contoh “butcher-baker” sebagaimana “Farmer-Carpenter)38

Ibnu Taimiyah sangat menekankan persaingan pasar bebas tetapi sangat menekankan pada pembatasan kepemilikan individu dan menganjurkan kepentingan kolektif sebagai tujuan utama pembangunan. Dalam menunjang kondisi tersebut maka peran muhtasib (market supervisor) sangat diperlukan demikian juga dengan peran negara. Negara dituntut untuk mengatur kondisi perekonomian secara islami agar pembeli, penjual, produsen dan agen ekonomi dapat melakukan transaksi secara fair. Karyanya terangkum dalam al-Hisbah fi al-Islam dan asy-Siyasah as-Syar’iyyah

Pemikiran ibn-Taymiah mencakup aspek makro dan mikro, seperti pajak yang ditanggung oleh pembeli, harga permintaan-penawaran dan harga ekuivalen untuk merumuskan keuntungan yang wajar.

Dalam mekanisme pasar Ibn Taimiyah berpendapat bahwa kenaikan dan penurunan harga tidak selalu dikarenakan kezaliman seseorang (pemimpin) tetapi lebih dikarenakan adanya penurunan produksi maupun pengurangan impor, permintaan meningkat dan harga menjadi tinggi

37 M. Nejatullah Siddiqi, dalam Abulhasan M. Shadeq (ed.), Readings in Islamic Economic Thaought, (Selangor: Longman, 1992), p. 37.

38 Abulhasan M. Shadeq, Readings in Islamic Economic Thaought, (Selangor: Longman, 1992), p. 90.

(15)

begitu juga sebaliknya. Kenaikan harga juga dapat disebabkan oleh bertambahnya penduduk yang menyebabkan tingginya permintaan. Pada bagian lain ketidaksempurnaan pasar dapat terjadi seperti adanya penimbunan, dengan kondisi tersebut maka para penguasa Negara dapat melakukan campur tangan dalam menetapkan harga.

Sebagaimana ibn Taimiyah, ibn Khaldun juga sangat menekankan pasar bebas karena sangat percaya terhadap efesiensinya, pada bagian lain menentang intervensi Negara dalam ekonomi, pengeluaran Negara diperuntukan untuk aspek sosial bahkan simpanan Negara tidak diperlukan dan lebih baik dipergunakan untuk meningkatkan Islam dan umat-nya. Pada saat terjadi kenaikan populasi dan peningkatan standar hidup maka Negara menjadi pasar barang dan jasa yang efektif. Ibn Khaldun juga mengkaji akibat penurunan pengeluaran pemerintah berimplikasi pada pendapatan dan penerimaan pajak.

Penjelasan di atas menggambarkan, bahwa ekonomi Islam sangat menjunjung mekanisme pasar, tetapi pada saat tertentu dengan adanya faktor-faktor murni, alamiah maka pemerintah dapat melakukan intervensi pasar. Pada era Umar ibn al-Khattab melakukan impor gandum besar-besaran untuk menanggulangi kelangkaan gandum dan harga yang melonjak. Pada bagian lain, pemerintah juga berhak untuk memaksa para penimbun barang untuk menjual untuk kepentingan umum yang lebih utama.

Mekanisme pasar dalam ekonomi Islam sangat dipengaruhi oleh sikap nabi ketika menolak untuk menetapkan harga pada waktu terjadi kelangkaan korma. Hal tersebut terjadi karena sebab alami bukan karena campur tangan manusia, dan ditegaskan oleh Abu Yusuf bahwa harga adalah milik Allah sehingga mekanisme pasar merupakan sunatullah yang harus dijaga. Ide bahwa harga adalah milik Allah tersebut muncul beberapa abad kemudian melalui pemikiran Adam Smith dengan konsep Invisible hand, suatu fakta sejarah yang muncul dua kali dan tentunya mempunyai keterkaitan dan bukan sesuatu yang terpisah sama sekali ?. 4. Intervensi Harga dan Pasar Islami

Intervensi harga dilakukan pada saat-saat tertentu bahkan sebagian ekonom mewajibkan pemerintah untuk melakukan hal tersebut. Ibn Qudamah mewajibkan intervensi dalam hal: 1. Menyangkut kepentingan masyarakat luas 2. Untuk mengantisipasi pedagang dalam mengambil keuntungan yang tidak wajar 3. Melindungi kepentingan masyarakat luas

Ibn Taimiyah membagi intervensi dalam dua katagori, 1. Intervensi harga yang zalim yaitu intervensi yang menyebabkan kerugian para pelaku

(16)

pasar, baik konsumen dan produsen. 2. Intervensi yang adil dan sah yaitu

mengembalikan harga pada harga yang semestinya39

Kondisi tersebut tentunya sangat berbeda dengan sistem kapitalisme yang menyerahkan harga sepenuhnya pada mekanisme pasar, bahkan pada kapitalisme murni, pemerintah dilarang ikut campur dalam perdagangan. Kondisi sebaliknya dijalankan oleh Sosialisme yang memberikan wewenang penuh pada Negara untuk mengatur harga semua komoditas, sehingga konsumen hanya menerima system yang ditetapkan.

Kebijakan intervensi pasar dipengaruhi dua factor, yaitu factor yang bersifat alami dan tidak alami. Dalam sejarah perekonomian muslim, Umar ibn Khattab melakukan kebijakan impor gandum dari Mesir karena terjadi kelangkaan gandum di pasar yang disebabkan gagal panen. Kebijakan Umar tersebut menjadikan harga gnadum stabil dan kembali normal. Kebijakan intervensi yang non alami dilakukan jika pemerintah mengindikasikan bahwa kelangkaan barang disebabkan para pelaku bisnis menahan barang untuk waktu tertentu guna memperoleh keuntungan yang maksimal. Dalam kondisi demikian, pemerintah dapat memaksa para pelaku bsinis untuk melepas barang di pasar, seehingga harga dapat kembali normal.

Berangkat dari pelaku pasar Islam adalah manusia religius maka kondisi ideal pasar adalah pasar sempurna dengan pelaku yang religius sehingga tidak ada unsur penipuan, asimetri informasi yang sangat jauh. Ibn Taimiyah menggambarkan konsep pasar yang islami adalah: 1. Orang-orang secara bebas masuk dan keluar pasar untuk bertransaksi. 2. Informasi yang memadai menyangkut harga dan barang-barang di pasar. 3. Unsur monopoli harus dihilangkan dari pasar. 4. Perlu adanya standarisasi produk untuk mencegah pemalsuan dan para pedagang dilarang untuk

mentransaksikannya.40

Peran pemerintah dalam hal ini adalah memastikan bahwa nilai-nilai pasar yang baik dapat diimplementasikan dan berjalan sesuai mekanisme yang ada. Demikian juga yang menyangkut teknis mekanisme pasar dan yang ketiga adalah mengatasi kegagalan pasar yang terjadi akibat tidak pasar yang tidak sempurna.

Ibn Taimiyah juga mengatur tentang Muhtasib yang diperlukan pada sektor-sektor tertentu, 1. Pengawas pada kebutuhan yaitu memberikan informasi mengenai ketersedian barang dan jasa. 2. Pengawas industri yang mengawasi standarisasi produk 3. Pengawas jasa seperti doker, ahli

39 A. Azim Islahi, Economic Concepts of Ibn Taimiyyah, (Leicester: The Islamic Foundation, 1988), p. 212.

(17)

bedah dll 4. Pengawas perdagangan yaitu melakukan pengawasan perdagangan dengan mengawasi berat, timbangan. 5. Demikian juga

pengawas mengevaluasi suplai, para penimbun.41

Dalam sejarah perekonomian Islam, lembaga yang mengawasi praktek pasar adalah al-Hisbah. Rasulullah sendiri sering melakukan inspeksi pasar untuk meninjau praktek perdagang yang dijalankan umatnya. Rasulullah langsung menegur jika terjadi pelanggaran dalam perdagangan.42 Fungsi al-Hisbah pada negara modern saat ini terbagi menjadi beberapa departemen atau lembaga yang dikelola oleh Negara maupun swasta.

b. Prinsip-prinsip ekonomi Makro

1. Kebijakan Keuangan Publik Anggran Belanja

Abu Yusuf merupakan ilmuwan pertama yang membuat tulisan dan dibukukan dengan kitab al-Kharaj. Pemikirannya banyak diwarnai dengan pendapat gurunya yaitu Imam Abu Hanifah. Abu Yusuf dilahirkan dalam kondisi dinasti Umayah mengalami penurunan yaitu pada era Hisham Abdul Malik.

Al-Kharaj merupakan tulisan yang diminta oleh khalifah Harun al-Rasyid mengenai pajak dan berupa kumpulan surat yang dikirim kepadanya. Buku tersebut terinspirasi dari kebijakan Khalifah Umar ibn Khattab dalam menjalankan pajak dan penyediaan fasilitas Negara untuk menunjang kegiatan ekonomi. Penetapan pajak tanah oleh Abu Yusuf berbeda dengan pemikiran sebelumnya yang tidak membedakan perolehan, jenis dan fungsi tanah tersebut. Kebijakan pajak Abu Yusuf dilihat dari karakteristik tanah sehingga mempunyai porsi yang berbeda. Lebih jauh, Abu Yusuf mempunyai cara pandang yang berbeda dalam menetapkan tanah untuk menetapkan pajak.

Kontribusi Abu Yusuf menekankan pada pengaturan zakat dan pajak berdasarkan pada proporsi dan keadilan. Abu Yusuf tidak sependapat mengenai pajak pertanian dan hasil tanaman dengan system tetap menjadi system yang professional. Konsep tersebut menekankan prinsip keadilan, kewajaran dan tingkat kemampuan menbayar wajib pajak serta akuntabilitas pengelolaan keuangan Negara. Abu Yusuf menekankan konsep sentralistik dalam keputusan pajak dan Negara dituntut untuk menyediakan fasilitas dalam rangka memperlancar kegiatan ekonomi.

41 Ibid, p. 139-41.

42 HR. Abu Hurairah, secara makna, bahwa Rasul menegur pedagang yang mencampur gandum, kurma kering dengan yang basah dengan tujuan untuk mengelabuhi pembeli, sehingga Rasul menyarankan untuk meletakkan yang basah di atas agar terlihat.

(18)

Fasilitas yang perlu disediakan pada eranya adalah; jalan raya, jembatan, dam dan irigasi. Abu Yusuf juga menekankan pengelolaan pajak melalui pengumpul pajak yang diberi gaji tersendiri dengan pengawasan yang sangat ketat43.

Al-Ghazali juga menekankan pengaturan pengambilan pajak yang tidak boleh melebihi ketentuan syari’ah kecuali dalam kondisi terpaksa seperti untuk pertahanan Negara. Demikian juga pengeluaran sektor publik hendaknya dikeluarkan oleh pemerintah ketika rakyat tidak mempunyai daya beli. Pentingnya keuangan publik, menjadikan al-Ghazali sangat mengecam tindakan korupsi karena dapat menurunkan ekonomi sehingga Negara harus menindaknya.

Ibn Taimiyah juga mempunyai gagasan tentang keuangan publik melalui pendapatan dan pengeluaran yang didasarkan pada konsep keadilan. Pendapatan Negara secara syari’ah adalah ghanimah, sadaqah dan fa’I (jizyah, upeti, pemberian dari kepala Negara, pajak jalan, kaffarat dan kharaj, tanah tidak bertuan, hak waris dll). Pengeluaran public berupa untuk 1. Orang miskin dan yang membutuhkan 2. biaya pemeliharaan orang-orang yang ikut berperang 3. biaya penyelenggaraan hukum 3. pensiun dan gaji

pegawai 5. pendidikan 6. infrastruktur dan 7. kesejahteraan umum.44

Pendapatan Negara pada era awal adalah Ghanimah dan Zakat, ghanimah merupakan harta rampasan perang dan 1/5 menjadi bagian dari Negara, sedangkan 4/5 merupakan bagian nabi dan keluarga dan masyarakat yang ikut berperang. Setelah Rasul wafat, bagian tersebut menjadi lebih besar seiring dengan perluasan wilayah. Bagian ghanimah tersebut dimasukkan ke baitu al-mal dan mendorong kahlifah Umar mengorganisir pendistribusian untuk kesejahteraan seperti pensiunan, fakir miskin, gaji dan runsum bulanan, sedangkan 1/5 bagian Negara mengalami penurunan sehingga memasukkan kharaj dan jizyah sebagai

pemasukan utama.45 Demikian juga, tanah rampasan setelah khaibar, tanah

rampasan tidak dibagikan lagi dan hasilnya menjadi pemasukan Negara. Pendapatan sadaqah juga merupakan pendapatan yang signifikan dalam keuangan publik termasuk zakat. Zakat merupakan sarana ibadah yang berdimensi sosial dan sejarah muslim awal membuktikan bahwa pengorganisasian sadaqah dapat dipergunakan sebagai kebijakan publik untuk mensejahterakan dan meningkatkan taraf hidup dan daya beli

43 M.N. Siddiqi, dalam M. Sadeq, p. 38-9 44 A. Azim Islahi, Economic Concepts…, p. 147.

45 Sabahudin Azmi, Menimbang Ekonomi Islam, alih bahasa Widyawati (Bandung: Nuansa, 2005), p. 92

(19)

masyarakat.46 Fay merupakan harta yang diperoleh tanpa peperangan demikian juga dengan jizyah merupakan hak sepenuhnya Negara. Keduanya dipergunakan untuk kepentingan umum baik untuk fasilitas maupun kesejahteraan publik.

Pembagian tanah di era Rasul dan Khulafaur Rasyidin sebagai berikut:47

1. Tanah milik umat Islam

2. Tanah Negara

3. Tanah Wakaf

4. Tanah Terlantar

5. Tanah Tidak Bertuan

Abu Yusuf membedakan antara tanah ‘usr dan kharaj, ‘usyr adalah tanah taklukan umat Islam dan dibagikan kepada umat Islam yang berperang untuk dikelola dan dikenakan kompensasi sepersepuluh dari hasil tanah. Kharaj merupakan tanah yang dibuka umat Islam namun kepemilikannya masih tetap pemilik lama untuk dikelola dan dikenakan pajak. Pada dasarnya, kedudukan tanah yang ditekankan dalam Islam adalah produktifitas tanah itu sendiri bukan pada pembatasan kepemilikan. Hal tersebut dapat dilihat dari ajaran nabi bahwa barang siapa yang menghidupkan tanah mati (menganggur) maka si pengelola menjadi pemilik tanah tersebut48, sebaliknya jika tanah tersebut tidak dikelola selama tiga tahun maka kepemilikan hangus dan dikembalikan kepada Negara. Dengan produktifitas tersebut maka tanah dapat memberikan kontribusi yang berarti pada pemasukan Negara.

Mazhab mainstream memasukkan unsur zakat sebagai keuangan publik yang diharapkan dapat untuk membiayai pembangunan. Zakat dikenakan terhadap seluruh jenis harta yang produktif maupun tidak (harta simpanan) dan telah memenuhi ketentuan syari’ah seperti nisab (batas minimal) maupun haul (batas waktu). Jumlah pemabayaran zakat adalah 2.5 % (jumlah yang berimbang untuk binatang ternak) dan 5% untuk pertanian yang menggunakan pengairan dan 10% bagi yang tidak menggunakan pengairan.

Zakat pada barang-barang produktif tidak akan mengurangi jumlah total harta tersebut karena mendapatkan keuntungan dari produktifitasnya tersebut. Hal tersebut tidak berlaku bagi harta yang menganggur (idle)

46 Pergeseran pengelolaan zakat terjadi seiring melemahnya Negara-negara muslim, sehingga para muzakki lebih merasa aman untuk mendistribusikan sendiri disbanding melalui lembaga zakat yang ada. Dengan pengelolaan yang baik terutama akuntabilitas yang terbuka, maka lembaga zakat akan memperoleh kepercayaan kembali.

47 Ahmad Jawad Sawad, Ahkam al-Aradi, 48 HR. Abu Daud

(20)

karena zakat dapat mengurangi jumlah harta, sehingga ekonomi Islam

sangat menganjurkan bahkan sebagian mewajibkan untuk

memproduktifkan harta baik oleh sendiri maupun dengan bekerja sama dengan orang lain. Dengan demikian, konsep zakat untuk mendorong iklim investasi baik dari harta yang diproduktifkan maupun prosentase zakat yang dikeluarkan dan menghukum harta yang menganggur (idle) untuk segera diproduktifkan.

Pendekatan ekonomi juga dapat dihubungkan terhadap kewajiban zakat orang kaya, mayoritas harta dimiliki oleh orang kaya dan konsumerisme orang kaya menjadi salah satu sebab terjadi inflasi. Dampak inflasi sangat dirasakan oleh masyarakat kurang mampu sedangkan orang kaya tidak begitu merasakan dampak karena produktiftas harta mereka dapat menutupi efek inflasi. Pengeluaran zakat oleh orang kaya diharapkan dapat mempengaruhi distribusi zakat menuju kondisi pemerataan sosial, distribusi kekayaan dan meningkatkan daya beli masyarakat luas sehingga terjadi multiplier ekonomi yang luas.

2. Kebijakan Moneter

Kebijakan lain yang menjadi dasar dari perekonomian Islam adalah uang itu sendiri, beberapa tokoh mempunyai pemikiran berkaitan dengan fungsi uang karena menjadi pertanyaan yang besar, apakah uang termasuk dalam komoditas atau tidak? Jawaban dari pertanyaan tersebut berimplikasi pada status uang itu sendiri, apakah dapat diperdagangkan atau tidak?

Pemikiran ekonomi Al-Ghazali terdapat dalambuku Ihya ‘Ulumuddin terutama dalam bab Syukru (Banyak bersyukur). AL-Ghazali mengkritisi system barter dalam perdagangan yang dianggap tidak praktis dengan memberikan pandangan tentang fungsi uang. Uang berfungsi sebagai; 1. Alat tukar 2.Alat pengukur nilai dan 3. Alat penyimpan nilai. Al-Ghazali sangat mengecam pemalsuan uang karena dampaknya berantai dengan

berpindah tangan dan dianggap lebih berbahaya dibanding pencurian.49

49 Al-Ghazzali menekankan beberapa hal yang berkaitan dengan uang palsu; 1. Jika mendapatkan uang palsu, maka harus dibuang agar tidak dapat dipergunakan. 2. Pengetahuan tentang uang palsu sangat diperlukan bagi pelaku bisnis, agar terhindar dari uang palsu 3. Jika seseorang mengathui uang palsu (yang diterima) dan masih dipergunakan untuk transasksi maka ia berdosa sejak menerima dan ditransasksikan, tetapi jika disimpan maka tidak berdosa. 4. Jika seseorang menerima uang palsu dan menghancurkannya, maka akan mendapatkan pujian Allah SWT dan Rasul-Nya, tetapi jika mentransaksikan kepada oaring laian maka telah melakukan perbuatan setan 5. Negara diperbolehkan menggunakan uang dengan bahan campuran

(21)

Ibn Taimiyah juga membahas fungsi uang yaitu sebagai alat pengukur nilai dan alat tukar menukar dan tidak diperbolehkan memperjualbelikannya. Negara diharapkan berperan dalam regulasi pasar dalam mengkontrol harga dan upah tetap pada masyarakat umum, tetapi kontrol harga tidakl diperlukan jika kondisi harga normal. Negara dituntut untuk menyediakan lapangan kerja seimbang dengan tingkat populasi pertambahan penduduk. Negara juga harus mengawasi sirkulasi keuangan karena dapat mempengaruhi instabilitas.

Dalam ekonomi Islam, uang tidak boleh diperjualbelikan, sehingga stabilitas nilai mata uang dapat terjaga dan aktivitas ekonomi didasarkan pada uang yang riil dan beredar di masyarakat. Demikian juga dengan penggunaan emas sebagai mata uang telah menjadikan kondisi keuangan relative stabil dan dapat menekan angka inflasi. Pada saat ini, Negara-negara muslim dapat membentuk sebuah komutunitas yang menggunakan mata uang tunggal maupun bank sentral tunggal sebagaimana Uni Eropa. Dampak positivnya, dapat mengurangi ketergantungan ekonomi pada mata uang asing, sehingga kelancaran perdagangan antar Negara muslim dapat berjalan stabil.

Pada konsep transaksi, ekonomi Islam tidak mengenal sistem riba dengan menawarkan konsep kerja sama dalam bisnis (Profit and Loss Sharing). Secara garis besar produk kerja sama dalam lembaga keuangan Syari’ah terbagi menjadi mudaraba 50dan musyaraka. Bentuk kerja sama yang variatif tersebut untuk memberikan pilihan pada para pelaku bisnis dan pemegang modal. Para pemegang modal yang tidak mempunyai kemampuan dalam mengelola bisnis maka dapat memilih model mudaraba, begitu juga pelaku bisnis yang mempunyai skill tetapi tidak mempunyai modal sendiri. Mudaraba merupakan perpaduan antara skill pada satu pihak dan modal pada pihak lain. Musyaraka merupakan bentuk kerja sama dua pihak atau lebih baik modal ataupun yang lain dengan berbagi risiko baik keuntungan maupun kerugian.

Sistem Profit and Loss Sharing (PLS) mempunyai karakteristik yang sangat berbeda dengan system bunga dalam ekonomi konvensional. Dalam system PLS, setiap usaha selalu mempunyai risiko yang sama baik dalam keuntungan maupun kerugian yang berbanding secara proporsional. Dalam system bunga, salah satu pihak akan selalu membayarkan bunga baik dalam kondisi untung maupun rugi, keuntungan diperoleh jika di atas rata-rata bunga yang harus dibayar. Dalam kondisi demikian maka pihak

50 Istilah mudaraba dikenal di kalangan fuqaha Iraq, sedangkan kalangan fuqaha Madinah menggunakan istilah Qirad. Lembaga kerja sama ini dikembangkan pada bisnis yang lain seperti dalam pertanian, sehingga dikenal istilah-istilah muzara’ah, musaqat dan mukhabarah.

(22)

kreditur akan selalu mendapatkan keuntungan pada saat pihak debitur akan mengalami kerugian. Ekonomi Islam memandang kondisi tersebut muncul ketidakadilan karena pihak kreditur dan debitur tidak dalam posisi yang seimbang, bahkan pada tingkat bunga yang sangat rendahpun tetap terjadi ketidakadilan. Teori bunga didasarkan pada ketidakpastian, jika keuntungan jauh di atas tingkat bunga pinjaman maka akan memperoleh keuntungan yang tinggi dan sebaliknya.

Dasar filosofi sistem bagi hasil adalah keadilan dan sikap tolong menolong dan berbagi risiko dalam keuntungan dan kerugian dengan proporsi masing-masing. Para pelaku bisnis berada dalam posisi yang berimbang sebagai mitra usaha dengan menjunjung sikap saling mempercayai terutama dalam menghadapi ketidakpastian bisnis. Satu pihak yang mengalami kerugian maka pihak lain juga mengalami kerugian begitu juga sebaliknya jika mendapatkan keuntungan. Mekanisme kerja sama dalam ekonomi Islam ingin meletakkan prinsip dasar yang berlaku secara meyeluruh, bahwa tidak ada usaha yang tidak mengandung risiko dan tidak adakeuntungan yang tidak mengandung kerugian.

Negara muslim memiliki populasi yang sangat besar demikian juga dengan penguasaan terhadap minyak bumi dan gas yang mencapai 70%. Hal tersebut dapat menajdi potensi yang dapat dikembangkan untuk kemakmuran Negara-negara muslim yang sampai saat ini mayoritas adalah Negara miskin. Kondisi tersebut mendorong Mantan PM. Malaysia Mahattir Mohammad mengusulkan penggunaan mata uang baru (dinar atau lainnya) yang berlaku di Negara-negara muslim sebagaimana Uero di Eropa. Hal tersebut berangkat dari kenyataan, bahwa Negara pengekspor minyak yang mayoritas adalah Negara muslim masih menggunakan mata uang dollar dalam pembayarannya. Pada kondisi tertentu, mata uang dollar mengalami penurunan terhadap mata uang lain, sehingga Negara-negara muslim mengalami kerugian dan perencanaan anggaran belanja juga mengalami berbagai revisi.

Secara ideal, untuk melakukan monitoring dan stabilitas nilai mata uang maka pendirian Bank Sentral Islam menjadi bagian yang tidak terpisahkan. Lembaga ini diharapkan dapat mengontrol sirkulasi uang dan menjaga inflasi dan menjaga stabilitas mata uang Negara muslim, walaupun pendirian lembaga ini akan memakan biaya yang besar dan infra struktur serta system yang mahal. 51

E. Penutup

51 Khalid Yousaf dalam Sohail Jaffer, Islamic Asset Management (Forming the Future for Shari’a-Compliant Investment Strategies, (UK: Euromoney Books, 2004), p. 258-9.

(23)

Prinsip ekonomi Islam sangat dipengaruhi oleh ajaran agama baik melalui ajaran al-Qur’an as-Sunnah maupun para ekonom muslim klasik. Nilai-nilai tersebut mempengaruhi ekonomi makro maupun mikro, pengaruh tersebut terlihat pada keterpaduan antara nilai etika, hokum aktivitas ekonomi sekaligus. Praktek ekonomi Islam pada periode pertama lebih menekankan pada aspek etika dan hokum sebagai implementasi ajaran agama.

Karakteristik ekonomi Islam baik mikro maupun makro ditandai dengan masuknya ajaran agama Islam. Dalam ekonomi mikro pada perilaku produksi dan konsumsi, karakteristik ekonomi Islam ditandai dengan konsep keberhasilan dunia dan akhirat yang berimbang serta maslahah dan barakah dalam setiap tindakan ekonomi. Demikian juga, mekanisme pasar menjadi standar dalam mendapatkan harga yang adil dan intervensi untuk kebaikan masyarakat luas yang diperbolehkan.

Ekonomi makro lebih mengedepankan keadilan sosial dalam konsep zakat maupun pajak yang lebih diarahkan pada pajak proporsional. Pada kebijkan moneter, uang ditempatkan pada fungsi dasar dan tidak boleh ditransaksikan. Mekanisme transaksi dalam ekonomi Islam tidak dapat dipisahkan dari sifat sosial sehingga menekankan konsep kerja sama sebagai pengganti mekanisme riba, hal tersebut lebih menjamin terciptanya keadilan sosial yang lebih menyeluruh.

(24)

Daftar Pustaka

Ahmad, Musthaq, Business Ethics in Islam, Pakistan: IIIT, 1995.

Anto, M.B. Hendie, Pengantar Ekonomika Mikro Islami, Yogyakarta: Ekonosia, 2003.

Ashker, Ahmed Abdul Fattah el-, The Islamic Business Enterprise, Sydney: Croom Ltd., 1987.

Asqolaniy, Ibn Hajar al-, Bulûg al-Marâm, Bandung: al-Ma’arif, tt.

Azmi, Sabahuddin, Menimbang Ekonomi Islam, alih bahasa Widyawati, Bandung: Nuansa, 2005.

Bertens, K. Pengantar Etika Bisnis, Yogyakarta: Kanisius, 2000.

Carson, Robert B., Economic Issues Today, New York: St. Martin’s Press, 1987.

Faridi, F.R., Islamic Principlesof Business Organisation and Management, New Delhi: Qazi Pub., 1995

Ghazali, Abu Hamid al-, Ihy 'Ulm ad-Dîn, Kairo: Dâr asy-Sya’bî, tt.

Islahi, A. Azim, Economic Concepts of Ibn Taimiyyah, Leicester: The Islamic Foundation, 1988.

Jaffer, Sohail, Islamic Asset Management: Forming the Future for Shari’a-Compliant Investment Strategies, UK: Euromoney Books, 2004.

Kahf, Monzer, Ekonomi Islam, alih bahsa Machnun Husein, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995.

Khafif, Ali al-, Ahkâm al-Mu’âmalât as-Syar’iyyah, Kairo: Dâr al-Fikr, 1996. Khaldun, Ibn, Muqaddimah, Mesir: al-Maktabah at-Tijâriyyah, tt.

Mannan, M. Abdul, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, alih bahasa Nastangin Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995.

Musa, Yusuf, Al-Buyû ’wa Mu’âmalât Mu’âsiroh, Mesir: Dâr Kutub al-‘Arabiy.

Shadeq, Abulhasan M., (ed.), Readings in Islamic Economic Thaought, Selangor: Longman, 1992.

Subhi Mahmasani, Falsafatu at-Tasyri’ fi al-Islamiy, (Beirut: al-Kasyaf), 1952/1371, hal. 20

(25)

Taleqani, Muhammad, Islam and Ownership, Lexington: Mazda, 1983. Wren, Daniel A., The Evolution of Management Thought, Canada: John Wiley

Referensi

Dokumen terkait

Untuk saat ini kecamatan ulu belu belum menerapkan penggunaan system informasi berbasis ITC ,dan itu dibuktikan karna penyaluran atau penyampaian informasi masih

Runtutan pesan yang diberikan Allah SWT kepada ibu nabi Musa As ini bisa dijadikan refrensi keilmuan khusunya dibidang kajian pendidikan Islam, pesan Allah yang pertama adalah

Hasil penelitian ini sama dengan hasil penelitian tersebut dan bahkan tingkat SDL dari penelitian ini lebih tinggi dari penelitian tersebut, peneliti berasumsi beberapa

Jika pada saat perhitungan jarak antara dua string yang berbeda memiliki hasil jarak yang sama, algoritma levenshtein distance akan memberikan hasil berdasarkan urutan

Sign nya sebesar 0.000 hal ini menunjukan bahwa nilai p<0,05 yang berarti ada beda yang signifikan antara sebelum dan sesudah terapi tertawa terhadap penurunan

Taman Mini Indonesia Indah (TMII) sebagai satu-satunya miniatur Indonesia terlengkap di dunia yang memaparkan kekayaan alam, aneka warna seni dan budaya daerah,

Berdasarkan permasalahan di atas, penelitian tentang “Pengaruh Keberadaan Industri Batik terhadap Perkembangan Ekonomi Lokal di Kabupaten Klaten” menarik untuk diangkat

USUL PEROLEHAN SATYA LANCANA DI LINGKUNGAN PENGADLAN TINGGI AGAMA BANDUNG TAHUN 2011... Bagian Keuangan PA KARAWANG 20 TAHUN