• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III RELASI AGAMA DAN ILMU PENGETAHUAN MENURUT PEMIKIRAN PROF. DR. HARUN NASUTI0N

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB III RELASI AGAMA DAN ILMU PENGETAHUAN MENURUT PEMIKIRAN PROF. DR. HARUN NASUTI0N"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

RELASI AGAMA DAN ILMU PENGETAHUAN MENURUT PEMIKIRAN PROF. DR. HARUN NASUTI0N

A. Biografi Prof. Dr. Harun Nasution

Harun Nasution lahir pada hari selasa, 23 September 1919 di Pematang Siantar, Sumatra Utara. Putra dari Abdul Jabar Ahmad, seorang pedagang dari Mandailing dan Qodhi (Penghulu) pada masa pemerintahan Belanda di kabupaten Simalungun , Pematang Siantar. Ayahnya juga seorang Ulama yang menguasai kitab-kitab Jawa dan suka membaca kitab Kuning berbahasa Melayu. Sedangkan Ibunya seorang Boru Mandailing Tapanuli, Maimunah keturunan seorang Ulama, ibunya pernah bermukim di Mekkah, dan mengikuti beberapa kegiatan di Masjidil Haram. Harun Nasution berasal dari keturunan yang taat beribadah, keturunan orang terhormat dan mempunyai strategi ekonomi yang lumayan. Kondisi keluarganya yang seperti itu membuat Harun bisa lancar dalam melanjutkan cita-citanya mendalami ilmu pengetahuan.

Harun Nasution memulai pendidikannya di sekolah Belanda, Hollandsch Inlandche School (HIS), pada waktu berumur tujuh tahun. Selama tujuh tahun, Harun belajar bahasa Belanda dan ilmu pengetahuan umum di sekolah itu. Dia berada dalam lingkungan disiplin yang tepat di lingkungan keluarga, Harun memulai pendidikan agama dari lingkungan keluarganya dengan belajar mengaji, shalat dan ibadah lainnya. Setelah tamat di HIS, Harun mempunyai keinginan untuk meneruskan sekolah ke MULO, akan tetapi orang tuanya tidak merestui keinginannya karena menganggap pengetahuan umumnya sudah cukup dengan sekolah di HIS. Akhirnya, dia melanjutkan pendidikan ke sekolah agama yang bersemangat modern, yaitu Moderne Islamietische Kweek School (MIK), sederajat MULO di Bukit Tinggi.

Setelah sekolah di MIK ternyata sikap keberagamaan Harun mulai tampak berbeda dengan sikap keberagamaan yang selama ini dijalankan oleh

(2)

orang tuanya. Harun bersikap rasional sedangkan orang tua dan lingkungannya bersikap tradisional, karena itulah oleh orang tuanya, dia dipindahkan belajar agama ke Arab Saudi.

Di Negeri Padang Pasir itu, Harun tidak lama dan memohon pada orang tuanya agar mengijinkan pindah studi ke Mesir. Di Mesir dia mulai mendalami Islam pada Fakultas Ushuluddin, Universitas Al-Azhar. Namun Beliau tidak puas dengan ilmu yang di dapatkan di universitas tersebut, lalu pindah ke Universitas Amerika di Kairo. Di Universitas tersebut, Harun bukan mendalami hukum-hukum Islam melainkan mendalami ilmu pendidikan dan ilmu sosial.

Setelah selesai dari Universitas tersebut dengan memperoleh ijazah dengan gelar BA, dia bekerja di perusahaan swasta dan kemudian di konsulat Indonesia-Kairo. Dari Konsulat itulah, putra Batak yang mempersunting gadis Mesir bernama Sayedah, memulai karir diplomatiknya. Dari Mesir Harun ditarik ke Jakarta bekerja sebagai pegawai Departemen Dalam Negeri lalu menjabat sebagai Sekertaris di Kedutaan Besar Indonesia di Brussel.1

Situasi politik dalam negeri Indonesia pada dekade 60-an membuatnya megundurkan diri dari karir diplomatik dan pergi ke Mesir. Di Mesir dia kembali mendalami dunia ilmu pengetahuan di Sekolah Tinggi Islam di bawah bimbingan seorang ulama fiqih Mesir terkemuka yakni Abu Zahrah. Pada saat itu Harun mendapat tawaran untuk mengambil studi Islam di Universitas Mc Gill, Kanada. Pada saat dia kuliah di jenjang Magister, Harun menulis tentang ”Pemikiran Islam di Indonesia”, sedangkan untuk disertasinya, dia menulis tentang “Dalam Posisi Akal Pemikiran Teologi Muhammmad Abduh”.

Setelah meraih Doktor, Harun kembali ke tanah air dan mencurahkan perhatiannya pada pengembangan pemikiran Islam lewat IAIN. Ia sempat

1

Abdul Halim, Ed. Teologi Islam Rasional, Apresiasi terhadap wacana dan praksis Harun Nasution, Jakarta, Ciputat Press, 2001, hlm. 3-4.

(3)

menjadi Rektor IAIN Jakarta selama dua periode (1974-1982). Kemudian Ia memelopori berdirinya Pascasarjana untuk studi Islam di IAIN Jakarta.2

Kemudian dengan berdirinya program Pascasarjana, Harun menjabat sebagai Direktur program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta sampai meninggal dunia (tahun 1998) di usianya lebih kurang 79 tahun.

Demikianlah gambaran umum tentang biografi Prof. Dr. Harun Nasution, mulai dari lahir hingga akhir hayatnya, yang dapat penulis gambarkan sebagai berikut :

1. 1919 lahir di Pematang Siantar, Sumatera Utara. 2. 1934 lulus HIS Pematang Siantar.

3. 1937 lulus Mederne Islamitische Kweek School, Bukit Tinggi Sumatera Barat.

4. 1940 lulus Ahlia Universitas AL-Azhar Kairo Mesir.

5. 1952 meraih gelar Sarjana Muda dari Universitas Amerika, Kairo. 6. 1953-1960 menjadi pegawai luar negeri RI di Kairo dan Brussel. 7. 1968 meraih gelar Doktor dari Universitas Mc Gill, Kanada.

8. 1969 menjadi Dosen IAIN Syarif Hidayatullah, IKIP dan Universitas Nasional di Jakarta.

9. 1973-1984 menjabat Rektor IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.

10. 1982-1998 menjadi Dekan Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.

11. 1998 dia wafat (18 September) di Jakarta.3

B. Karya-karya Prof.Dr. Harun Nasution

Harun Nasution di samping di kenal sebagai ahli filsafat Islam, juga di kenal juga sebagai penulis, semasa hidupnya Ia telah banyak menghasilkan tulisan, baik yang berupa buku, artikel, maupun jurnal ilmiah di dalam dan luar negeri, yang relatif menjadi buku teks (wajib) terutama di lingkungan

2

Harun Nasution, Islam Rasional, Gagasan dan pemikiran, Jakarta, Mizan, 1996, hlm. 6.

3

Ade armando, dkk., Ensiklopedi Islam untuk pelajar menggunakan huruf Helvetika dan souvenir light, Jakarta, PT Ikhtiar BaruVan Hoeve, 2001, hlm. 90

(4)

IAIN dan STAIN yang ada di Indonesia. Buku-buku yang telah di tulis Prof. Dr. Harun Nasutioan antara lain sebagai berikut :

1. Islam ditinjau dari berbagai aspeknya (1974 ), buku ini terdiri dari dua jilid, yang diterbitkan pertama kali oleh UI-Press, yang intinya adalah memperkenalkan Islam dari berbagai aspeknya, pada jilid yang pertama ini terdiri dari enam bab, yang pertama tentang agama dan pengertian agama dalam berbagai bentuknya, bab kedua tentang Islam dalam pengertian yang sebenarnya, bab ketiga tentang aspek ibadah, latihan spiritual dan ajaran moral, bab keempat tentang aspek sejarah dan kebudayaan mulai periode klasik (650-1250 M), periode pertengahan (1250-1800 M) dan periode modern (1800 M), bab kelima tentang aspek politik dan bab yang terakhir tentang lembaga-lembaga kemasyarakatan.4 Sedangkan pada jilid yang kedua merupakan lanjutan dari jilid sebelumnya, yang diterbitkan karena permintaan yang sampai pada yayasan penerbit Universitas Indonesia supaya bersama dengan buku Teologi Islam, buku ini juga dicetak kembali, yang isinya tentang perbaikan kecil, terutama terhadap salah cetak pada cetakan pertama. Buku ini terdiri dari lima bab yang berisi tentang, aspek hukum, aspek teologi, aspek falsafah, aspek mistisisme serta aspek pembaharuan dalam Islam.5

2. Akal dan wahyu dalam Islam (1986). Buku ini terdiri dari enam bab yang pertama tentang akal, kedua tentang wahyu, ketiga tentang Al-qur’an dan kandungannya, ke-empat tentang kedudukan akal dalam Al-qur’an dan Hadist, ke-lima perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam atas dasar pengaruh ajaran pemakaian akal, yang keenam akal dan wahyu dalam pemikiran keagamaan dalam islam. Dalam buku ini Harun Nasution mencoba menggambarkan bahwa dalam agam Islam akal mempunyai kedudukan tinggi dan banyak dipakai bukan dalam perkembangan ilmu

4

Abdul Halim, op.cit., hlm. 18.

5

Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai Aspeknya, cet, ll, Jakarta, UI-Press, 1978, hlm. Pendahuluan.

(5)

pengetahuan dan kebudayaan saja, tetapi juga dalam perkembangan ajaran-ajaran keagamaan islam itu sendiri.6

3. Falsafah dan Mistisisme dalam Islam (1978), buku ini merupakan kumpulan ceramah dan kuliah yang diberikan terutama kepada Mahasiswa IAIN yang mengerti bahasa Arab. Buku ini terdiri dari dua bagian , bagian pertama tentang falsafah Islam, pada bagian pertama ini memiliki tujuh bab, yang pertama, kontak pertama antara Islam dan Ilmu Pengetahuan serta falsafah Yunani , bab kedua sampai dengan bab ketujuh membahas tentang para filosof Islam , seperti Al-Kindi, Al-Razi, Al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Gazali dan Ibnu Rusyd. Sedangkan bagian kedua tentang Mistisime Islam - Tasawuf , dan memiliki sembilan bab, yang pertama, asal usul tasawuf, kemudian jalan untuk mendekatkan diri pada Tuhan, Al-zuhd dan stasion-stasionnya, yang juga dilengkapi dengan Maqomat dan ahwal serta tokoh-tokoh sufi dan juga konsep-konsep dalam terminologi tasawuf, seperti, Mahabbah, ma’rifat, fana’, dan Baqo’, Al-Ittihad, Al-Hulul, serta Al-Wahdad Al- Wujud, buku ini diterbitkan Bulan Bintang , Jakarta.7

4. Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa, dan Perbandingan (1977). Buku ini terdiri dari dua bagian. Bagian pertama, mengandung uraian tentang aliran dan golongan-golongan teologi, bukan hanya yang masih ada tetapi juga yang pernah terdapat dalam Islam seperti aliran Khawarij, Murji’ah, Qodariah dan Jabariah, Mu’tazilah, dan Ahli Sunnah wal jama’ah. Uraian diberikan sedemikian rupa, sehingga di dalamnya mencakup sejarah perkembangan dan ajaran-ajaran terpenting dari masing-masing aliran atau golongan itu. Bagian kedua, mengandung analisa dan perbandingan dari aliran-aliran tersebut.Yang diperbandingkan bukanlah pendapat teologis terlepas dari sistem teologi dari aliran bersangkutan dengan pendapat teologis terlepas pula dari sistem teologi

6

Harun Nasution, Akal dan Wahyu Dalam Islam, Ed l, cet ll, Jakarta, UI-Press, 1986, hlm. 101.

7

Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, cet ll, Jakarta, Bulan Bintang, 1978, hlm. 6-8.

(6)

aliran lain, melaikan yang diperbandingkan adalah sistem teologi dengan sistem teologi lainnya. Dengan kata lain, yang diperbandingkan adalah aliran dengan aliran yang lain, sehingga dapat diketahui aliran mana yang besifat liberal, mana yang besifat tradisional, dan aliran yang mempunyai sifat antara liberal, dan tradisional. Buku ini dicetak pertama kali tahun 1972 oleh UI-Press. Buku ini merupakan pokok pembahasan dari disertasi Harun Nasution.

5. Falsafah Agama (1978). Buku ini menjelaskan tentang epistimologi dan wahyu, ketuhanan, argumen-argumen adanya Tuhan, roh, serta kejahatan dan kemutlakan Tuhan. Kandungan buku ini adalah kumpulan dari kuliah-kuliah yang diberikan Harun di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan ceramah-ceramah yang disampaikan pada kelompok diskusi agama Islam di kompleks IKIP Jakarta, dan di Rawamangun tahun 1967-1970. Buku ini semula diterbitkan dalam bentuk stensilan oleh kelompok diskusi tersebut, namun kemudian penerbit buku Bulan Bintang besedia untuk mencetaknya mulai tahun 1973.

6. Pembaharuan dalam Islam : Sejarah Pemikiran dan Geraksn (1978). Buku ini merupan kumpulan ceramah dan kuliah Harun di berbagai tempat di Jakarta tentang Aliran-aliran Modern dalam Islam. Buku ini yang terbit pertama kali tahun 1975 oleh penerbit Bulan Bintang, membahas tentang pemikiran dan gerakan pembaharuan dalam Islam, yang timbul di jaman yang lazim disebut jaman modern dalam sejarah Islam. Pembahasannya mencakup atas pembaharuan yang terjadi di tiga negara Islam, yakni; Mesir, Turki, dan India- Pakistan.

7. Islam Rasional (1995). Buku ini menguraikan hampir seluruh pemikiran Harun Nasution sejak tahun 1970 sampai 1994 (diterbitkan oleh Saiful Muzani), terutama mengenai tuntutan modernisasi bagi umat Islam. Dalam buku ini, Harun berpendapat bahwa keterbelakangan umat Islam, tidak terkecuali di Indonesia disebabkan lambatnya mengambil bagian dalam modernisasi dan dominannya pandangan hidup tradisional, khususnya teologi Asy’ariyah. Hal itu menurut Harun, harus diubah dengan

(7)

pandangan rasional yang sebenarnya telah dikembangkan oleh teologi Mu’tazilah. Karena itu, reaktualisasi dan sosialisasi teologi Mu’tazilah merupakan langkah strategis yang harus diambil. Karena itulah, buku ini memiliki kekuatan analisis terhadap kemandegan umat, serta menawarkan alternatif solusi fundamental bagi persoalan keislaman.

Hal yang menarik dari tulisan Harun Nasution adalah sumber rujukan karyanya secara umum merupakan buku-buku standar yang ditulis pemikir-pemikir Islam terkenal, baik yang hidup jaman klasik, pertengahan, maupun modern. Buku-buku rujukan karya Harun itu banyak dipergunakan dan dipelajari di berbagai dunia perguruan tinggi yang menekuni studi Islam dewasa ini.8

Harun Nasution tidak hanya menulis buku, tetapi berbagai bahan untuk kuliah, seminar dan ceramah. Dasar dari penulisan untuk berbagai buku itu adalah ingatannya selama menekuni kuliah di Mc Gill yang kemudian disampaikan atau diberikan di berbagai tempat, antara lain di ruang kuliah IKIP, UNAS, UI, dan IAIN Jakarta, termasuk dibeberapa IAIN yang ada di Indonesia.

Pada mulanya, karangan atau tulisannya bagi kalangan IAIN tampaknya kurang berarti, hanya berarti (dipakai) bahkan besar manfa’atnya bagi kalangan luar IAIN, terutama buku Pembaharuan dalam Islam. Tetapi, kemudian tulisan-tulisannya banyak di gemari oleh pemikir Islam di Indonesia, termasuk pemikir muda di kalangan IAIN sendiri, lebih-lebih sejak di bukanya program Strata dua dan tiga di berbagai IAIN yang ada di Indonesia. Tulisan Harun menjadi bahan diskusi bagi para mahasiswa, buku-bukunya menjadi sumber rujukan, dan kuliahnya menjadi pertemuan-pertemuan yang sangat banyak membuka ide pemikiran baru dan layak di kembangkan untuk masa datang.9

8

Abdul Halim, op.cit., hlm. 22.

9

(8)

C. Relasi Agama dan Ilmu Pengetahuan dalam Pandangan Prof. Dr. Harun Nasution

Agama dan ilmu Pengetahuan merupakan suatu keluarga yang diikat oleh tali persaudaraan. Sekalipun ilmu pengetahuan terbatas hanya membahas alam benda karena tidak sanggup membahas pangkal mula kejadian dan akhir sesudahnya, namun demikian ia dapat dipergunakan sebagai jenjang naik untuk kehikmatan sebagai tujuan pokok dari dekat maupun jauh.

Sebenarnya tidak ada pertentangan yang hakiki antara ilmu dan agama. Sekiranya terdapat pertentangan diantara keduanya kemungkinan besar justru ilmu belum dapat menjangkau permasalahannya. Sekalipun demikiian ilmu dapat memberikan oksigen dalam udara akal yang baik, sehingga hati menjadi mantap pendiriannya. Kemantapan itu sebagai bashiroh, tidak secara bodoh dan tersesat oleh tiruan tanpa pengertian.

Perbedaan yang terjadi antara keduanya mungkin didasari oleh salah satu dari dua kemungkinan :

1. Pendirian dari salah satu dari dua pihak bersikap menentang pihak yang lain dalam keseluruhan, tetapi bermaksud untuk membebaskan pihak yang lain dari pendiriannya, atau menentang karena tidak mengerti dari masing-masing pihak karena mengira apa yang tidak masuk dalam daerah jangkauan ilmunya tidak benar dan palsu.

2. Ada beberapa masalah tertentu yang dikatakan bahwa ilmu dan agama mempunyai dua hukum yang bertentangan. Hal ini hanya terjadi ketika agama itu menjamah unsur yang bersifat kejiwaan dari daerah problematika ilmu dan hal-hal yang eksak bagi ilmu itu.10

Selama ini ada anggapan bahwa antara agama yang mempunyai ajaran-ajaran absolut dan dogma yang di wahyukan oleh Tuhan yang Maha Tahu dan Maha Benar, dan ilmu pengetahuan yang banyak bergantung oleh pemikiran akal manusia yang kebenarannya bersifat relatif, terdapat pertentangan keras. Sejarah memang menunjukkan bahwa di Barat pada

10

Ika Rohdjatun Sastrahidayat, Ilmu Pengetahuan Modern dan Agama Islam, Malang, AVICENNA, 1981, hlm. 17-18.

(9)

abad pertengahan terjadi pertentangan keras antara ilmu pengetahuan dan agama; di Timur, hal serupa dijumpai pula pada masa antara abad ketiga belas dan abad kedua puluh.

Menurut Prof. Dr. Harun Nasution yang dikutip oleh Amsal Bahtiar dalam bukunya Filsafat Agama I, penemuan sains di Barat tidak dapat diharmoniskan dengan dogma Kristen. Akhirnya menimbulkan pertentangan keras antara gereja di satu pihak dan kaum filosof dan saintis di pihak lain. Kaum filosof, demikian Harun Nasution, yang membawa pemikiran-pemikiran dan saintis yang menimbulkan penemuan-penemuan yang bertentangan dengan pendapat gereja dikeluarkan dari Gereja. Maka filsafat dan sains yang mereka kembangkan menjadi terlepas dari ikatan agama. Dengan demikian berkambanglah filsafat dan sains yang sekuler di Eropa Barat sebagaimana halnya dengan filsafat dan sains di Yunani zaman klasik. Filsafat ini mengajarkan bahwa mencari sebanyak mungkin kesenangan adalah prinsip yang di pakai dalam bidang moral. Dalam bidang teologi, timbul teologi Tuhan telah mati, agama tidak ada artinya lagi. Yang menentukan segala-galanya adalah manusia. Nilai yang absolut lenyap digantikan dengan nilai yang relatif.

Pemakaian sains pun, demikian Harun Nasution tidak dikontrol oleh agama. Soal sains membawa kerusakan atau manfa’at bagi para masyarakat, menurut para saintis, bukanlah urusan mereka, tetapi itu adalah masalah kaum agama atau moralis. Padahal kaum agama dan moralis di Barat boleh di katakan tidak ada pengaruhnya lagi.11

Etika memang tidak termasuk dalam kawasan ilmu dan tehnologi yang bersifat otonom, tetapi tidak dapat disangkal ia berparan dalam perbincangan ilmu pengetahuan dan tehnologi. Penerapan dari ilmu pengetahuan dan tehnologi membutuhkan dimensi etis sebagai pertimbangan dan kadang-kadang kita lihat akan mempunyai pengaruh pada proses perkembangan lebih lanjut ilmu pengetahuan dan tehnologi, dan hal ini ada keharusan untuk memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia, menjaga keseimbangan

(10)

ekosistem, bertanggung jawab pada kepentingan umum, kepentingan generasi mendatang, dan bersifat universal. Karena pada dasarnya ilmu pengetahuan dan tehnologi adalah untuk mengembangkan dan memperkokoh eksisitensi manusia bukan untuk menghancurkan eksistensi manusia.12

Menurut Harun Nasution, agama dan sains menghadapi persoalan yang cukup rumit ketika berhadapan dengan situasi yang demikian. Satu sisi sains di Barat berkembang dengan pesatnya, tetapi jauh dari jiwa agama, sehingga yang terjadi adalah sains yang sekuler, Sebaliknya di Timur masyarakatnya taat beribadah, tetapi lemah moralnya, sehingga muncul bentuk sekularisasi juga dalam umat beragama. Karena itu, Harun Nasution memberikan alternatif untuk mengatasi persoalan terebut:

1. Menyesuaikan filsafat dan sains yang sekuler dengan ajaran dasar agama, sehingga yang berkembang di dunia bukan filsafat dan sains yang sekuler, tetapi filsafat dan sains yang agamis.

2. Kedua mengutamakan pendidikan moral umat beragama, di samping pengajaran ibadat dan syari’at, sehingga terciptalah umat beragama yang berakhlak mulia.13

Dalam Islam hubungan yang harmonis dapat dijumpai selama lima abad, mulai abad kedelapan sampai abad ketiga belas masehi. Itu bisa terjadi karena dalam Islam akal sebenarnya mempunyai kedudukan yang sangat tinggi.

Dalam bidang keagamaan sendiri akal juga banyak dipergunakan. Ini bisa terjadi karena dari ayat Al-Qur’an yang jumlahnya kurang lebih 6.250 itu, hanya kira-kira 500 ayat yang mengandung ajaran mengenai akidah, ibadah dan hidup kemasyarakatan. Disamping itu terdapat pula kurang lebih 150 ayat mengenai fenomena nature. Pada umumnya ayat-ayat itu datang dalam bentuk prinsip-prinsip dan garis-garis besar tanpa penjelasan mengenai perincian maupun cara pelaksanaannya. Dalam memahami perincian dan cara

11

Amsal Bahtiar, Filsafat agama I, Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1997, hlm. 229.

12

Achmad Charris Zubair, Dimensi Etik Dan Asketik Ilmu Pemgetahuan Manusia (Kajian Filsafat Ilmu), cet. I, Lembaga Studi Filsafat Islam (LESFI), Yogjakarta, 2002, hlm. 49.

13

(11)

pelaksanaannya banyak dipakai akal oleh para ulama. Pemakaian akal yang tinggi kedudukannya dalam Al-Qur’an dan Hadist itulah, yang di sebut Ijtihad. Oleh karena itu, ijtihad disamping Al-Qur’an dan Hadist merupakan sumber ketiga dari ajaran Islam.

Dengan demikian berkembanglah dalam Islam pada abad kedelapan dan kesembilan masehi, teologi yang bercorak rasional. Dalam teologi ini mendorong manusia bersifat dinamis dan aktif, bukan statis maupun pasif. Teologi ini yang mengajarkan kebebasan manusia dalam kehendak serta pebuatan, dan adanya sunnatullah yang mengatur alam semesta, menghasilkan tokoh-tokoh ilmu pangetahuan pada masa lima abad tersebut, yang dalam sejarah Islam dikenal dengan Zaman Klasik. Konsep hukum alam ciptaan Tuhan bukan hasil nature, yang membawa keyakinan bahwa antara agama dan ilmu pengetahuan tidak ada pertentangan.

Sumber agama adalah wahyu dan sumber ilmu pengetahuan adalah sunnatullah, sedang keduanya berasal dari sumber yang satu, yakni Allah. Maka antara keduanya tak bisa diadakan pertentangan.14 Ayat-ayat Al-Kawniyyah dalam Al-qur’an, ayat-ayat yang mengajarkan manusia supaya memperhatikan febomena alam, mendorong para ulama Islam zaman klasik untuk mempelajari dan meneliti alam sekitar.

Pada masa yang terletak antara abad kedelapan dan abad ketiga belas masehi, Ilmu pengetahuan duniawi sangat berkembang dalam dunia Islam, yang dimulai dengan penerjemahan buku-buku Yunani ke dalam bahasa Arab yang berpusat di Bayt Al-Hikmah di Baghdad. Pada zaman itu, akal sangat dijunjung tinggi, sehingga melahirkan teologi rasional dalam Islam, yang mengandung ajaran bahwa akal manusia mempunyai kemampuan yang tinggi, dan manusia diberi kebebasan oleh Tuhan dalam perbuatan dan kemauan, dengan demikian manusia bersikap dinamis.

Tetapi sayangnya pandangan luas, pikiran terbuka serta rasional, dan sikap dinamis umat pada zaman klasik hilang lenyap pada zaman pertengahan islam yang dimulai pada tahun 1250 M, dan berakhir pada tahun 1880 M.

(12)

Sebagai gantinya timbul pemiliran tradisional dengan pandangan yang sempit, pikirannya yang tetutup, serta sikapnya yang statis. Pada zaman ini ajaran-ajaran yang dihasilkan ulama-ulama pada zaman klasik, dalam bidang aqidah, ibadah, muamalah dan lain-lain, juga diyakini sebagai dogma. Maka yang mengikat pemikiran pada zaman pertengahan bukan ajaran-ajaran absolut, tetapi juga ajaran-ajaran relatif yang banyaknya bertumpuk-tumpuk dengan perkembangan zaman, sehingga kebebasan perpikir dan bergerak amat terikat. Dengan keadaan demikian perkembangan kebudayaan Islam akan mengalami hambatan-hambatan.15

Hambatan-hambatan itu menurut Harun Nasution di karenakan:

1. Umat Islam mempunyai pandangan yang sempit tentang Islam, yaitu pandangan yang hanya bersifat legalistis; Pandangan filosofis, teologis, dan ilmiah kurang diperhatikan.

2. Umat Islam pada umumnya hanya terikat pada tradisi, taitu interpretasi ajaran-ajaran Islam kira-kira seribu tahun lalu; Suatu interpretasi yang disesuaikan pada keadaan umat di jaman itu.

3. Karena berpegang pada tradisi itu, Islam sekarang dalam usaha-usaha menyelesaikan persoalan-persoalan yang ditimbulkan oleh ilmu pengetahuan dan tehnik modern, tidak kembali kepada ajaran-ajaran seperti yang terkandung dalam Al-qur’an dan Hadits yang sedikit jumlahnya, tetapi kembali ke buku-buku klasik yang mengandung interpretasi tua tentang ajaran-ajaran itu.

Oleh sebab itu maka Harun Nasution mencoba untuk menghidupkan kembali teologi rasional zaman klasik pada umat Islam di Indonesia, yang dimulai dengan peranannya di IAIN Jakarta, menurutnya dengan konsep manusia berpikir dan dinamis, serta konsep sunnatullah-nya, yang keduanya membawa pada perkembangan pemikiran dan ilmu pengetahuan akan mendorong umat Islam untuk berpikir dan tidak segan mengadakan jihad,

14

Harun Nasution, Islam rasional gagasan dan pemikiran, op.cit., hlm. 297-298.

15

(13)

sehingga akan meningkatkan peran dan sumbangan dalam pembangunan Nasional.16

Untuk itu Harun Nasution memberikan alternatif bagi pengembangan dan kemajuan serta modernisasi umat Islam khususnya di Indonesia, yaitu: 1. Pandangan sempit umat Islam di Indonesia harus diperluas dengan

mengubah pendidikan agama Islam yang selama ini hanya dipusatkan pada ajaran-ajaran ibadah dan fiqih, umumnya fiqih Syafi’i. Dalam pendidikan agama Islam di Indonesia harus ditambah dan diperbanyak. Dengan memperluas pandangan ini banyak hal yang selama ini dianggap bertentangan ternyata hal itu tidak demikian.

2. Dalam mencari penyelesaian tentang persoalan-persoalan yang ditimbulkan oleh ilmu pengetahuan dan tehnologi umat Islam seharusnya jangan kembali ke tradisidan interpretasi lama, tetapi langsung kembali kepada ajaran yang terkandung dalam Al-qur’an dan Hadist.

Jelaslah kiranya bahwa dengan memperkecil pandangan legalistis, serta memperdalam pengetahuan tentang hakekat Islam dan dengan kembali kepada ajaran-ajaran kemasyarakatan yang memang sedikit jumlahnya dalam Al-qur’an dan Hadist serta mengadakan interpretasi yang baru dan modern tentang ajaran-ajaran yang sedikit itu, umat Islam akan mempunyai ruang gerak yang luas sekali dalam usaha-usaha modernisasi umatnya.

Dengan demikian umat beragama khususnya Islam tidak lagi dianggap sebagai penghalang kemajuan serta perkembangan ilmu pengetahuan dan modernisasi, seperti umat Islam zaman klasik ketika mampu membangun peradabannya sendiri.17 16 Ibid., hlm. 303-304. 17 Ibid., hlm. 165-166.

Referensi

Dokumen terkait

Menyediakan material hasil peledakan Melaksanakan meeting harian dilapangan untuk mendukung agar proses produksi berjalan lancar Melakukan kontrol kualitas, sehingga proses

Dokter sebagai individu yang memiliki keahlian di bidang kesehatan secara administratif profesi dipercaya oleh rumah sakit untuk menangani pasien yang ada di rumah sakit

Oleh karena itu para pelaku pasar swalayan jangan hanya mementingkan persaingan harga dan tidak memperhatikan bahwa pelayanan merupakan sesuatu hal yang harus diperhatikan pada saat

Berdasarkan hal tersebut rumusan masalah yang dibahas dalam penelitian yaitu: (1) apakah P e m e r i n t a h Kota Batam sudah efektif dalam memberikan dukungan

Menurut stanford d.school mengartikan proses empati sebagai,” Empatize is the foundation of human centered design. The problem you’re trying to solve is rarely your own, they are

Berdasarkan penelusuran terhadap literatur-literatur yang berkaitan dengan objek dalam penelitian ini, penulis menemukan beberapa karya ilmiah berupa buku- buku dan jurnal

Menurut sepengetahuan bapak/ibu, apakah siswa yang memiliki kebutuhan khusus senang mengikuti pembelajaran di kelas inklusi?...

a.. Bagian Marketing dapat mengakses menu Transaksi a. Mengakses pembayaran Uang Muka 5) Menambah data pembayaran 6) Menyimpan data pembayaran 7) Mencetak data pembayaran.2.