BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 CVA Infark
Menurut AHA/ASA 2013 CVA infark susunan saraf adalah kematian sel otak, medulla spinalis dan retina yang disebabkan oleh iskemia, berdasarkan :
1. patologis, pencitraan, atau bukti obyektif lainnya dari cedera iskemik fokal otak, medulla spinalis, atau retina yang sesuai distribusi vaskular.
2. bukti klinis cedera iskemik fokal otak, medulla spinalis, atau retina berdasarkan gejala yang bertahan ≥ 24 jam atau sampai kematian, dan etiologi lainnya disingkirkan. Sedangkan definisi stroke iskemik adalah suatu episode disfungsi neurologis yang disebabkan oleh infark fokal serebral, medulla spinalis, atau retina.
Cerebrovascular disease adalah abnormalitas otak yang disebabkan oleh proses patologi pembuluh darah. Proses patologi meliputi oklusi lumen karena emboli atau thrombus, pecah pembuluh darah, perubahan permeabilitas dinding pembuluh darah, atau peningkatan viskositas darah yang mengalir di pembuluh darah otak. Proses patologi pembuluh tidak hanya aspek umum (emboli, thrombosis, atau pecah pembuluh), juga menganai gangguan dasar, seperti aterosklerosis, hipertensi, perubahan aterosklerosis, arteritis, aneurysmal dilatation, dan pembentukan malformasi. Terdapat dua tipe lesi pembuluh yang menyebabkan perubahan parenkim otak, yaitu iskemik (dengan atau tanpa infark) dan pendarahan.
Berdasarkan penyebabnya stroke dapat digolongkan menjadi dua golongan yaitu stroke iskemik (infark) dan stroke hemorhagik (perdarahan). Stroke iskemik 2/3 berupa stroke trombotik dan 1/3 berupa stroke embolik, sedangkan stroke perdarahan terdiri dari perdarahan intraserebral dan perdarahan subarahnoid.
Stroke iskemik (infark) adalah keadaan dimana otak mengalami iskemia dan nekrosis akibat aliran darah ke suatu area otak menurun atau terhenti akibat suatu sumbatan baik karena thrombus atau emboli.
II.2 Anatomi Pembuluh Darah Otak
Otak terdiri dari sel-sel otak yang disebut neuron, sel-sel penunjang yang dikenal sebagai sel glia, cairan serebrospinal, dan pembuluh darah. Semua orang memiliki jumlah neuron yang sama sekitar 100 miliar, tetapi koneksi di antara berbagi neuron berbeda-beda. Pada orang dewasa, otak membentuk hanya sekitar 2% (sekitar 1,4 kg)
dari berat tubuh total, tetapi mengkonsumsi sekitar 20% oksigen dan 50% glukosa yang ada di dalam darah arterial.
Otak harus menerima lebih kurang satu liter darah per menit, yaitu sekitar 15% dari darah total yang dipompa oleh jantung saat istirahat agar berfungsi normal. Otak mendapat darah dari arteri. Yang pertama adalah arteri karotis interna yang terdiri dari arteri karotis (kanan dan kiri), yang menyalurkan darah ke bagian depan otak disebut sebagai sirkulasi arteri serebrum anterior. Yang kedua adalah vertebrobasiler, yang memasok darah ke bagian belakang otak disebut sebagai sirkulasi arteri serebrum posterior. Selanjutnya sirkulasi arteri serebrum anterior bertemu dengan sirkulasi arteri serebrum posterior membentuk suatu sirkulus willisi.
Ada dua hemisfer di otak yang memiliki masing-masing fungsi. Fungsi-fungsi dari otak adalah otak merupakan pusat gerakan atau motorik, sebagai pusat sensibilitas, sebagai area broca atau pusat bicara motorik, sebagai area wernicke atau pusat bicara sensoris, sebagai area visuosensoris, dan otak kecil yang berfungsi sebagai pusat koordinasi serta batang otak yang merupakan tempat jalan serabut-serabut saraf ke target organ.
Jika terjadi kerusakan gangguan otak maka akan mengakibatkan kelumpuhan pada anggota gerak, gangguan bicara, serta gangguan dalam pengaturan nafas dan tekanan darah. Gejala di atas biasanya terjadi karena adanya serangan stroke.
Gambar 2. Aliran darah arteri pada bagian interior otak. II.3 Epidemiologi
Stroke merupakan masalah kesehatan mayor di dunia, menjadi penyebab kematian ketiga setelah penyakit jantung dan kanker, serta menjadi penyebab kecacatan utama. Belum ada data pasti stroke di Indonesia, namun riset kesehatan dasar (Riskesdas) Departemen Kesehatan Indonesia tahun 2007 menunjukkan bahwa stroke merupakan penyebab kematian utama di rumah-rumah sakit di Indonesia.2 Prevalensi stroke di India diperkirakan 203 pasien per 100.000 penduduk, sedangkan di China insidennya 219 per 100.000 penduduk. Kemajuan teknologi kedokteran berhasil menurunkan angka kematian akibat stroke, namun angka kecacatan akibat stroke cenderung tetap bahkan meningkat. Diperkirakan terdapat 2 juta penderita pasca stroke di Amerika dengan biaya perawatan 65,5 miliar dolar pada tahun 2008.
Selain itu, stroke bukan hanya penyakit yang mematikan, tetapi juga mengakibatkan kecacatan. Saat ini, stroke merupakan penyebab utama kecacatan yang terjadi pada usia dewasa. Pada tahun 1999, 50 juta orang telah mengalami kecacatan akibat stroke. Jumlah ini merupakan 3,5% dari seluruh penderita cacat. Proyeksi hingga tahun 2020 nanti menunjukkan bahwa setiap tahun, 61 juta orang akan mengalami kecacatan akibat
stroke. Dinyatakan pula bahwa sebagian besar (lebih dari 4/5) penderita yang mengalami kecacatan akibat stroke tersebut tinggal di Negara yang sedang berkembang.
Angka kejadian di Indonesia masih belum diketahui secara pasti. Misbach dkk (1997) mendapatkan 2057 penderita dari 28 rumah sakit di seluruh Indonesia selama kurun waktu Oktober 1996 sampai dengan Maret 1997. Di Surabaya dengan penduduk 2,3 juta jiwa didapatkan sekitar 1400 stroke baru di 5 rumah sakit pemerintah dan swasta, sedangkan di Jawa Timur didapatkan 4000 penderita stroke baru dalam tahun 1996.
II.4 Etiologi
Berbagai penelitian menunjukkan terdapat beberapa faktor risiko yang membuat seorang individu menjadi lebih rentan mendapat stroke. Faktor risiko stroke dibagi menjadi faktor yang dapat dimodifikasi dan faktor yang tak dapat dimodifikasi.
Tabel 1. Faktor Risiko Stroke Faktor risiko yang tak dapat dimodifikasi
Usia
Jenis kelamin Ras atau etnis Riwayat keluarga
Faktor risiko yang dapat dimodifikasi
Faktor risiko yang sudah terbukti (intervensi terbukti bermanfaat) Hipertensi Fibrilasi atrium Merokok Diabetes Hiperlipidemia Stenosis karotis
Riwayat serangan iskemik sepintas Obesitas
Penyakit sel sabit
Faktor risiko yang belum terbukti (dari penelitian observasi, keuntungan terhadap intervensi belum terbukti)
Penyakit jantung Infark myokard
Disfungsi ventrikel kiri Penyakit katup jantung Hipertrofi ventrikel kiri Patensi foramen ovale Aneurisma septum atrium
Kalsifikasi mitral anuler Ruptur katup mitral Ateroma arkus aorta Inaktivitas fisik Pola diet buruk Lipoprotein (a)
Kosumsi alkohol berlebihan Antibodi antifosfolipid Hiperhomosisteinemia Kondisi hiperkoagulasi Terapi sulih hormon Kontrasepsi oral Hiperfibrinogenemia Penyalahgunaan narkoba Migren
Displasia fibromuskuler Infeksi / inflamasi kronis
II.5 Klasifikasi
Dikenal bermacam-macam klasifikasi stroke. Semuanya berdasarkan atas gambaran klinik, patologi anatomi, system pembuluh darah dan stadiumnya. Dasar klasifikasi yang berbeda-beda ini perlu, sebab setiap jenis stroke mempunyai cara pengobatan, preventif dan prognosa yang berbeda, walaupun patogenesisnya serupa.
Adapun klasifikasi tersebut, antara lain:
II.4.1 Berdasarkan Patologi Anatomi dan Penyebab A. Stroke Infark
1. Infark trombotik
Trombus terbentuk pada arteri otak yang sklerotik, sehingga sering terdapat pada usia lanjut dengan hipertensi atau faktor risiko lain.
2. Infark emboli
Kelainan jantung seperti infark miokard, endokarditis bakterialis sub akut, fibrilasi atrium, kelainan katup, dan lain-lain merupakan sumber emboli otak di samping sumber emboli lain seperti frakura tulang panjang, abses paru, dan sebagainya
3. Infark lakuner
Terdapat infark kecil yang multiple, sehingga menyebabkan stenosis pada pembuluh darah kecil yang sifatnya terbatas.
B. Stroke Hemoragik
2. Perdarahan subarachnoid (PSA)
Gambar 3. Perbandingan hemorrhagic stroke dan ischemic stroke
Gambar 4. Perbandingan antara thrombotic, embolic stroke, dan cerebral hemorrhage
II.4.2 Berdasarkan Gambaran Waktu a. Transient Ischemic Attack (TIA)
Gangguan neurologis sesaat, beberapa menit atau beberapa jam saja dan gejala akan hilang dalam waktu <24 jam
Dahulu disebut reversible ischemic neurologist deficits (RIND), gangguan neurologis setempat yang akan hilang dalam waktu 1 minggu dan maksimal 3 minggu.
c. Worsening Stroke
Dahulu disebut strokein evolution (SIE), yaitustroke yang terjadi masih terus berkembang dimana gangguan yang muncul semakin berat dan bertambah buruk. Proses ini biasanya berjalan dalam beberapa jam atau beberapa hari.
d. Stable Stroke
Dahulu disebut completed stroke, yaitu gangguan neurologis yang timbul bersifat menetap atau permanen.
II.4.3 Berdasarkan Sistem Pembuluh Darah A. Sistem Karotis
B. Sistem vertebro-basiler II.6 Patofisiologi
Patofisiologi stroke infark akut meliputi dua proses, antara lain:
1. Vaskuler, hematologi atau jantung (atherothromboembolism) yang menyebabkan pengurangan dan perubahan aliran darah ke otak
2. Perubahan kimia seluler yang disebabkan oleh keadaan vaskuler tersebut dan merupakan penyebab terjadinya nekrosis sel saraf dan glia
Proses iskemia yang terjadi di otak mengalami rangkaian kejadian dimulai dari jaringan saraf dan seterusnya menyebabkan kematian neuronal dan infark. Penyumbatan pembuluh darah yang memasuki parenkim otak menyebabkan daerah tersebut mengalami hipoksia sehingga terjadi daerah infark yang dikelilingi daerah penumbra. Aliran darah otak ≤ 20 ml/100gr/menit merupakan saat kritis untuk terjadi kerusakan sel otak, sedang daerah penumbra antara 10-20 ml/100gr/menit.
Penyumbatan yang berakibat terjadi iskemia akan diikuti produksi interleukin proinflamasi (IL-1, IL-2, IL-6 dan TNF-α) yang mengaktifasi reseptor pada permukaan endotel mikrovaskuler dan leukosit. Dengan bantuan molekul adhesi selektin leukosit, kemudian menempel dan menggelinding sepanjang permukaan endotel, kemudian migrasi ke diding pembuluh darah dengan bantuan molekul adhesi CD-18, maka leukosit akan terikat pada molekul ICAM-1 dan ICAM-2 dipermukaan endotel dan akhirnya menetap dipermukaan pembuluh darah. Peristiwa ini terjadi berulang-ulang sehingga dapat menyebabkan penyumbatan arteriola kecil dan menybakan area iskemik
yang merangsang prosuksi sitokin proinflamatori demikian seterusnya. Selain itu, sitokin dapat memacu terjadinya thrombosis dengan mengikat antikoagulan yang terdapat dalam sirkulasi seperti protein-C, protein-S dan antithrombin-III dan menghambat pelepasan tissue palsminogen activator. Migrasi leukosit ke dalam parenkim sel saraf, susunan saraf pusat akan memacu pelepasan sitokin oleh mikroglia, astrosit dan infiltrasi leukosit, sehingga terjadi neuronal cytotoxic injury.
Saat terjadi iskemia ringan akan terjadi kompensasi berupa penurunan pengguanaan energy dan peningkatan ekstraksi oksigen, sedangkan pada keadaan iskemia berat akan terjadi glikolisis anaerobik dengan menghasilkan asam laktat, penurunan energi fosfat dan inhibisi sintesa protein akibatnya terjadi penurunan adenosin trifosfat (ATP), pelepasan neurotransmitter (glutamat, aspartat), gangguan metabolism energy dan akhirnya terjadi depolarisasi anoksik. Keadaan ini akan diikuti influk ion kalsium dan natrium, serta efluk ion kalium, karena kegagalan pompa pada membran sel. Ion kalsium dalam sel akan mengaktivasi enzim fosfolipase yang memecah fosfolipid dan akan membentuk radikal bebas. Selain itu, akan memacu mikroglia memproduksi nitrit oksid secara besar-besaran dan pelepasan sitokin pada daerah infark yang akan menyebabkan kerusakan atau kematian sel. Beberapa jam setelah serangan, daerah infark akan dikelilingi daerah penumbra yaitu sel yang mengalami kerusakan tapi masih dapat hidup kembali. Reperfusi spontan terjadi pada kurang lebih 33% penderita pada 48 jam sesudah serangan dan 42 % penderita pada satu minggu pertama. Reperfusi ini akan dapat memperbaiki daerah penumbra, tetapi jika terjadi keterlambatan akan menyebabkan kematian sel.
Gambar 5. Patofisiologi stroke infark.
II.7 Gejala Klinis
Stroke iskemik akut pada umumnya mengalami gangguan neurologik fokal secara mendadak. Sebagian diantaranya menunjukkan gejala yang semakin memberat (progressing stroke atau stroke in evolution), dengan kesadaran tetap baik. Penurunan kesadaran dap;at dijumpai apda beberapa penderita dengan infark hemisferik yang sangat luas, oklusi arteria basilaris dan infark sereberal dengan edema yang mengakibatkan kompresi batang otak.
Tabel 2. Gejala Neurologik yang sering Dijumpai pada Penderita Stroke Iskemik Akut Hemisfer kiri (dominan), kortikal - Afasia
- Hemiparesis kanan
- Gangguan hemisensorik kanan - Neglect hemispasial kanan - Hemianopsia homonim kanan - Gaze paralysis kanan
Hemisfer kanan (dominan), kortikal - Hemiparesis kiri
- Neglect hemispasial kiri - Hemianopsia homonim kiri - Gaze paralysis kiri
Subkortikal, hemisfer atau batang otak - Hemiparesis (pure motor stroke)
- Gangguan hemisensorik (pure motor stroke)
- Disartria
- Hemiparesis ataksik
- Tidak ada gangguan fungsi kognisi, bahasa, penglihatan
Batang otak - Gangguan motorik atau sensorik keempat
anggota gerak
- Hemiparesis atau hemisensorik alternans - Diconjugate gaze
- Nistagmus - Ataksia - Disartria - Disfagia
Serebelum - Ataksia lengan ipsilateral
- Ataksia jalan
Beberapa penyakit dapat memberikan gambaran klinik yang menyerupai stroke. Diantaranya adalah sinkop, kelainan metabolik (misalnya hipoglikemia dan ensefalopati metabolic lainnya), tumor otak, perdarahan subdural, hemiparesis post-iktal (paralysis Todd). Dengan anamnesis dan pemeriksaan neurologik yang cermat, serta pemeriksaan tambahan, kelainan tersebut dapat dibedakan dengan serangan stroke.
Emboli
Hampir 20 % (bervariasi 14-31 %) stroke iskemik disebabkan emboli yang berasal dari jantung. Sekali stroke emboli jantung terjadi, maka kemungkinan untuk rekuren relatif tinggi, sehingga prevensi sekunder penting selain prevensi primer. Resiko stroke emboli dari jantung meningkat dengan bertambahnya umur, karena meningkatnya prevalensi fibrilasi atrial pada lansia. Umunya prognosis stroke kardioemboli buruk dan menyebabkan kecacatan yang lebih besar dibandingkan subtype stroke lainnya.
Timbulnya perdarahan otak tanpa tanda-tanda klinis memburuk sering terjadi 12-48 jam setelah onset stroke emboli yang disertai infark besar. Keadaan ini tidak dipengaruhi umur, tekanan darah atau sumber emboli. Perdarahan otak pada stroke emboli sangat sering terjadi pada infark yang besar.
II.8 Penegakan Diagnosa
Dalam menegakkan diagnosis, harus ditemukan empat hal yang menjadi pengertian stroke sendiri :
a. Defisit neurologis fokal atau global.
b. Berlangsung > 24 jam atau menyebabkan kematian. c. Akut atau mendadak.
d. Dikarenakan semata-mata kelainan pembuluh darah otak.
Jika terdapat empat ciri khas stroke di atas, maka bisa dikatakan bahwa pasien mengalami stroke. Langkah selanjutnya adalah menentukan diagnosis etiologi, lokalisasi, dan faktor resiko stroke. Untuk itu diperlukan anamnesa, pemeriksaan fisik, neurologis. Berkut tabel yang menampilkan perbedaan masing-masing jenis stroke:
Tabel 3. Diagnosis Banding Stroke Infark, PIS dan PSA
Kriteria Infark PIS PSA
Anamnesa TIA + - -Istirahat + - -Aktivitas - + + Nyeri kepala - + ++ Pemeriksaan Fisik Defisit neurologik + + +/-Penurunan kesadaran - + +/-Kaku kuduk - + +
Tekanan darah Sedang variasi sedang
Pemeriksaan tambahan
Punksi lumbal Jernih Xantochrome Gross
haemorrhagic Tabel 4. Diagnosis Banding Berdasarkan Anamnesis
Anamnesa Thrombosis Emboli PIS PSA
Umur 50-70 tahun Semua
umur 40-60 tahun Tak tentu (20-30 tahun)
Awitan Istirahat Aktivitas Aktivitas Aktivitas
Gejala Bertahap Cepat Cepat Cepat
Peringatan + + -
-Nyeri kepala - - + ++
Kejang - - + ++
Vertigo +/- - -
-Tabel 5. Diagnosis Banding Berdasarkan Gambaran Klinis
Klinis Trombosi
s
Emboli PIS PSA
Kesadar an
Normal Normal Menurun Menurun/No
rmal GCS > 7 > 7 < 6 < 6 Kaku kuduk - - -/+ + Kelump uhan Hemipares e Hemipares e Hemipleg ia Hemiplegia Aphasia ++/- ++/- - -Angiogr
afi Oklusi/stenosis Oklusi/stenosis Midline shift Aneurisma/AVM Parese
N 3,4,6 - - +
+/-LP Jernih Jernih Xantochr
ome Gross hemorrhagic CT Scan Hipodens ke sentral setelah 4-7 hari Hipodens perifer khas seperti baji setelah 4-7 hari Hiperden sitas seperti massa darah Hiperdensita s di subarachnoi d
Tabel 6. Diagnosis Banding Gejala Klinis Sistem Karotis dengan Sistem Vertebrobasiler
Sistem Karotis Sistem Vertebrobasilar Gangguan
Motorik
Ipsilateral terhadap saraf otak
Kontralateral terhadap gangguan saraf otak Kelumpuhan kontralateralHemiparese Hemiparese alternans
Gangguan Mata Amourosis Amourosis fugax Black out Diplopia Keseimbangan -Tinnitus Vertigo Drop attack Nystagmus Gangguan
Bahasa Disarthria Disarthria
Gangguan Sensorik
Hemihipestesi
Diagnosa
Diagnosa ditegakkan dari: a. Anamnesis
Anamnesis yang cermat sangat membantu untuk menegakkan diagnose yang tepat. Beberapa hal yang perlu ditanyakan kepada penderita stroke adalah:
Harus ditanya bagaimana permulaan, apakah sangat akut (mendadak) sehingga dalam beberapa detik penderita jatuh tidak sadar, atau terjadi subakut dalam beberapa jam. Yang terakhir biasanya suatu infark
Harus ditanya apakah pada permulaan serangan penderita baru bangun, ataukah serangan pertama terjadi sewaktu penderita baru marah, bau makan, atau melakukan aktivitas lain, yang terakhir biasanya suatu perdarahan atau emboli
Bagaimana selanjutnya perjalanan gejala: Apakah gejala bertambah buruk, ataukah gejala-gejala semakin berkurang
Berapa kali serangan telah dialami penderita. Pada infark kadang-kadang sebelumnya telah terjadi serangan, yang setelah seperempat jam sembuh (TIA), kemudian terjadi lagi serangan baru, yang sembuh lagi, dan seterusnya, tiap serangan bertambah berat
Harus ditanya apakah terjadi nyeri kepala sebelum atau selama terjadi serangan
Juga harus ditanya apakah penderita mual dan muntah (sering pada suatu perdarahan)
Apakah terjadi kejang (sering pada suatu perdarahan)
Apakah intelek penderita akhir-akhir ini mundur
Apakah kesadaran penderita berkurang
Apakah penderita dapat berbicara dan menulis
Apakah ia lumpuh
Apakah separuh dari badan gringgingen
Apakah terdapat gangguan penglihatan
Apakah penderita sering pusing sehingga ia jatuh
Apakah terdapat penyakit sebelumnya seperti diabetes, hipertensi atau anesi
Apakah sebelum timbul gejala penderita minum obat-obatan (antidiabetes, antihipertensi)
b. Pemeriksaan fisik umum dan neurologik yang baik c. Pemeriksaan penunjang
d. Dari penentuan lokalisasi lesi e. Mencari etiologi serta faktor resiko
Pemeriksaan Penunjang 1. CT scan
Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan baku emas untuk membedakan stroke infark dengan stroke perdarahan. Pada stroke infark, gambaran CT scannya secara umum adalah didapatkan gambaran hipodense sedangkan pada stroke perdarahan menunjukkan gambaran hiperdens.
2. Pemeriksaan MRI
Pemeriksaan ini sangat baik untuk menentukan adanya lesi di batang otak (sangat sensitif).
3. Pemeriksaan Angiografi.
Pemeriksaan ini digunakan untuk menentukan apakah lokasi pada sistem karotis atau vertebrobasiler, menentukan ada tidaknya penyempitan, oklusi atau aneurisma pada pembuluh darah.
Gambar 6. Gambaran Angiografi Pada Penderita Stroke
4. Pemeriksaan USG
Pemeriksaan ini untuk menilai pembuluh darah intra dan ekstra kranial, menentukan ada tidaknya stenosis arteri karotis.
Gambar 7. Gambaran USG pada Penderita Stroke 5. Pemeriksaan Pungsi Lumbal
Pemeriksaan ini digunakan apabila tidak adanya CT scan atau MRI. Pada stroke PIS didapatkan gambaran LCS seperti cucian daging atau berwarna kekuningan. Pada PSA didapatkan LCS yang gross hemorragik. Pada stroke infark tidak didapatkan perdarahan (jernih).
6. Pemeriksaan Penunjang Lain.
Pemeriksaan untuk menetukan faktor resiko seperti darah rutin, komponen kimia darah (ureum, kreatinin, asam urat, profil lipid, gula darah, fungsi hepar), elektrolit darah, thoraks foto, EKG, echocardiografi.
Tabel 7. Siriraj Stroke Score (SSS)
Jenis Pemeriksaan Poin
Derajat kesadaran Komposmentis
Somnolen dan stupor Semikoma dan koma
0 1 2 Muntah dalam waktu 2 jam Tidak ada
Ada
0 1 Nyeri kepala dalam 2 jam Tidak ada
Ada
0 1 Tanda ateroma
(Diabetes, angina, penyakit arteri perifer)
Tidak ada Ada
0 1 Cara penghitungan:
SSS = (2,5 x derajat kesadaran) + (2 x muntah) + (2 x nyeri kepala) + (0,1 x tekanan darah diastolik) - (3 x ateroma) - 12
> 1 : Menunjukkan kemungkinan stroke perdarahan < -1 : Menunjukkan kemungkinan stroke infark
-1 < SSS < 1 : Diagnosa meragukan (Gunakan kurva atau CT Scan) Tabel 8. Skor Gajah Mada (SGM)
Gejala Diagnosa
Terdapat ketiga gejala (+) dari 3 (+) Stroke PIS Penurunan kesadaran (+) Nyeri kepala (-) Refleks Babinski (-) Stroke PIS Penurunan kesadaran (+) Nyeri kepala (-) Refleks Babinski (-) Stroke PIS Penurunan kesadaran (-) Nyeri kepala (+)
Refleks Babinski (-) Stroke Infark
Penurunan kesadaran (-) Nyeri kepala (-)
Refleks Babinski (-) Stroke Infark
Menggunakan 3 variabel pemeriksaan, yaitu : – Penurunan Kesadaran
– Nyeri Kepala
– Refleks Babinski
II.9 Penatalaksanaan
Pada prinsipnya tujuan utama terapi pada stroke adalah:
Mencegah kerusakan otak yang bersifat ireversibel
Mencegah komplikasi
Mencegah kecacatan yang lebih berat
Mencegah serangan ulang Penatalaksanaan stroke meliputi: 1. Terapi umum
Pedoman terapi ini meliputi 5B, yaitu: a. Breath
- Menjaga agar fungsi pernafasan dan oksigen adekuat terutama pada penderita dengan kesadaran menurun.
b. Blood
- Penurunan tekanan darah yang terlalu cepat hingga normotensi pada stroke fase akut harus dihindarkan karena menurunkan perfusi ke otak. Obat antihipertensi dipertimbangkan terutama pada penderita muda dengan tekanan darah 180/100 mmHg atau penderita tua dengan tekanan darah 210/120 mmHg atau lebih.
- Penurunan tekanan darah rata-rata tidak boleh lebih dari 20% dari tekanan darah arterial rata-rata. Beberapa obat antihipertensi yang direkomendasikan antara lain: Nitroprusid, nitrigliserin, labetolol, diltiazem yang diberikan secara iv, sedangkan oral dapat diberikan captopril, nifedipin dan lain-lain.
Cairan
- Tujuan dari terapi cairan adalah euvolemi. Optimal CVP bervariasi di antara pasien. Jika terjadi hipovolemi yang dapat mengakibatkan hipotensi, maka CVP dipertahankan antara 5-12 mmHg.
- Balans cairan diperhitungkan dengan mengukur produksi urin sehari ditambah dengan pengeluaran cairan yang tidak dirasakan (produksi urin sehari ditambah 500 ml untuk kehilangan cairan yang tidak tampak dan ditambah lagi 300 ml per derajat celcius pada penderita panas)
- Elektrolit (sodium, potassium, kalsium, magnesium) harus selalu diperiksa dan diganti bila terjadi kekurangan sampai tercapai harga normal
- Asidosis dan alkalosis harus dikoreksi sesuai dengan hasil BGA
- Cairan isotonis seperti 0,9% salin dengan dosis 1 ml/kgBB/jam adalah yang dianjurkan pada penderita PIS
- Cairan yang mengandung dekstrosa dihindari kecuali ada hipoglikemia
- Sistemik hiposmolality (< 280 mmol/kg) harus segera diterapi dengan manitol atau hipertonik salin 3%
- Status euvolume harus dipertahankan dengan memantau keseimbangan cairan, central venous pressure dan berat badan
c. Brain
- Penurunan kesadaran
• Dipantau dengan GCS (Glasgow Coma Scale) serta tanda-tanda vital (tekanan darah, derajat nadi, frekuensi pernafasan) serta waspada agar jangan mengalami aspirasi. - Kejang
• Sering terjadi pada lesi kortikal daripada subkortikal. Segera diatasi dengan pemberian diazepam iv
• Kejang dapat mengakibatkan kerusakan neuron dan menyebabkan ketidakstabilan pada pasien yang sudah kritis, karena itu harus segera diterapi
• Pada PIS, terapi antiepilepsi profilaksis (lebih disukai pemakaian phenytoin dengan dosis titrasi tergantung kadar obat dalam darah (14-23 µgr/mL)), diberikan selama 1 bulan dan kemudian diturunkan dan dihentikan bila tidak ada kejang selama pengobatan (Level of Evidence V, Grade C Recommendation)
• Kejang akut dapat juga diterapi dengan lorazepam (0,05-0,1 mg/kg) diikuti oleh phenitoin loading dose 20 mg/kg, valproic acid 45 mg/kg atau Phenobarbital 15-20 mg/kg
• Kaze (1996) pemberian antikonvulsi profilaksis apada stroke perdarahan tidak dianjurkan
- Peningkatan intrakranial
Beberapa cara untuk menurunkan tekanan intracranial yang meningkat, antara lain: • Tirah baring dengan kepala ditinggikan 20-300
• Hipotermi
• Hiperventilasi dengan ventilasi sehingga PaCO2 30-35 mmHg
• Manitol 20% 100ml atau 0,25-0,5 g/kgBB/kali dalam waktu 15-30 menit, 4-6 kali sehari
Manajemen suhu tubuh
- Suhu tubuh harus dipertahankan dalam keadaan normal. Acetaminophen 650 mg dan kompres dingin harus segera diberikan bila suhu lebih dari 38,50C
- Pada pasien febris atau beresiko terjadi infeksi, harus dilakukan kultur dan hapusan (tracheal, darah dan urin) dan diberikan antibiotic. Jika memakai kateter ventrikuler, analisa LCS harus dilakukan untuk mendeteksi meningitis
- Jika didapatkan meningitis, maka segera diikuti terapi antibiotic
- Panas pada PIS sangat sering dan harus segera diterapi. Peningkatan suhu telah dibuktikan memperburuk outcome
d. Bowel
- Dengan memperhatikan fungsi saluran cerna dan nutrisi
- Nutrisi enteral harus segera dimulai setelah 48 jam untuk mencegah terjadinya malnutrisi
- Bisa juga memakai nasoduodenal tube untuk emngurangi resiko terjadinya aspirasi - Penelitian membuktikan terjadi penurunan angka kematian sebanyak 6% pada penderita
disphagic stroke yang mendapatkan nutrisi enteral seawall mungkin dibandingkan dengan yang tidak dipasang tube feeding selama 1 minggu pertama
e. Bone and body skin
- Dengan cara mengubah posisi tidur miring kiri dan kanan secara bergantian tiap selang waktu beberapa jam. Hal ini dilakukan untuk mencegah komplikasi seperti decubitus, postural pneumoni, dan lain-lain
- Perawatan dan pemantauan kulit Penatalaksanaan medik yang lain
a. Pada beberapa pasien yang tidak sadar sering gelisah. Hal ini akan mempengaruhi kondisi pasien sendiri maupun keluarganya
b. Jika terapi psikologik tidak membawa hasil, maka dianjurkan menggunakan minor dan mayor tranquilizer
c. Short acting benzodiazepine atau propofol bisa digunakan
d. Obat-obatan yang lazim seperti analgesik dapat diberikan dengan dosis yang disesuaikan dengan keadaan klinis pasien
2. Terapi khusus stroke infark
Penanggulangan stroke iskemik yang diderita oleh sebagian besar (> 80%) dari seluruh penderita stroke. Upaya yang paling krusial untuk menurunkan kecacatan dan kematian akibat stroke adalah upaya terapi stroke pada fase akut. Untuk mencegah kecacatan dan kematian karena stroke, penderita harus diperlakukan dengan prinsip ‘time is brain’. Menurut cara pandang ini, serangan stroke akut merupakan keadaan darurat yang harus segera ditangani. Terapi stroke harus dimulai sedini mungkin, agar tidak terjadi kecacatan dan kematian. Beberapa penelitian klinik telah menunjukkan bahwa iskemia serebral yang berlangsung lebih dari 6 jam dapat mengakibatkan kerusakan sel otak secara permanen.
Strategi pengobatan stroke iskemik saat ini tertuju pada tatalaksana modifikasi faktor resiko melalui kombinasi perubahan gaya hidup, termasuk diet, olahraga, henti merokok, operasi karotis pada resiko tinggi dan terapi farmakologik dengan antihipertensi, antihiperlipidemia, antikoagulan dan atau antiplatelet.
1. Reperfusi yaitu memperbaiki aliran darah ke otak yang bertujuan untuk memperbaiki area iskemik dengan obat-obatan antitrombotik (antikoagulan, antiplatelet dan trombolitik)
2. Neuroproteksi yaitu mencegah kerusakan otak agar tidak berkembang lebih berat akibat adanya area iskemik. Obat yang digunakan antara lain pirasetam, CPD cholin dan lain-lain
Obat-obatan yang digunakan pada stroke infark, antara lain: a. Terapi antiplatelet
Terapi antiplatelet memegang peran penting dalam prevensi jangka panjang stroke iskemik dan kejadian vaskuler pada penderita yang telah mengalami stroke iskemik akut atau TIA. Pada meta analisis dari 287 studi penelitian yang melibatkan penderita dengan resiko tinggi untuk kejadian vaskuler iskemik terapi antipletelet menurunkan resiko stroke sebesar 30%. Beberapa faktor membantu kita menentukan pemilihan penggunaan antiplatelet yang harus segera diberikan pada TIA atau stroke iskemik. Faktor-faktor seperti penyakit komorbid, efek samping obat dan biaya pengobatan akan mempengaruhi penentuan pemilihan obat, mulai dengan aspirin dosis rendah, kombinasi aspirin dan dipyridamole ER, ADP antagonis reseptor ticlopidine dan clopidogrel. Aspirin merupakan antiplatelet yang lebih murah dan akan berpengaruh pada kepatuhan jangka panjang. Belum cukup data untuk merekomendasikan pilihan antiplatelet selain aspirin. Tidak terdapat bukti untuk meningkatkan dosis aspirin akan memberikan keuntungan tambahan.
Untuk penderita yang tidak tahan terhadap aspirin karena alergi atau kerja samping saluran cerna, maka clopidogrel adalah pilihan yang tepat. Beberapa penderita tidak toleran erhadap dipyridamole karena nyeri kepala yang persisten.
Kombinasi aspirin dan clopidogrel mungkin tepat untuk penderita kejadian sindroma koroner akut yan baru terjadi atau setelah pemasangan sten vaskuler. Antiplatelet memberikan resiko perdarahan intracranial yang ringan pada sebagian besar penderita, berkisar antara 1-2 per 1000 penderita yang diobati per tahun pada studi pengobatan dengan antiplatelet jangka panjang (0,1-0,2%). Hanya berkisar 3 per 1000 penderita per tahun (0,3%) dengan perdarahan ekstrakranial yang pada umumnya dapat diselamatkan.
b. Aspirin
Aspirin dengan dosis antara 50 hingga 1300 mg per hari, efektif untuk prevensi stroke iskemik setelah serangan stroke atau TIA. Penelitian dengan dosis tinggi dan
rendah menunjukkan efikasi yang sama dalam prevensi kejadian vaskuler. Dan pada dosis tinggi aspirin memberikan resiko perdarahan saluran cerna yang lebih besar. Dampak terapi disebabkan kemampuan aspirin untuk menghambat cyclo-oxygenase secara ireversibel dan mengurangi pembentukan thromboxane A2 yang diketahui sebagai aktivator untuk trombosit yang kuat. Pemberian aspirin dalam waktu 48 jam pada stroke iskemik akut memberikan keuntungan yang kecil, tapi bermakna secara statistic dalam mengurangi terjadinya stroke iskemik sekunder. Dalam studi International Stroke Trial (IST) dilaporkan lebih sedikit penderita yang memperoleh stroke berikutnya pada kelompok yang diberikan aspirin dalam 14 hari pertama stroke (RR 23%). Pada CAST (Chinese Acute Stroke Trial) penderita yang diberikan aspirin lebih sedikit mengalami serangan stroke ulang dalam 30 hari pengamatan (RR 30%). Masih diperdebatkan tentang dosis aspirin yang optimal. Dosis harian antara 30 hingga 325 mg dianjurkan pada pencegahan stroke sekunder. Beberapa penderita masih menunjukkan kejadian vaskuler walaupun mereka telah mempergunakan aspirin. Beberapa penderita menunjukkan resisten terhadap aspirin secara biokimia seperti yang dilaporkan pada penelitian agregasi platelet. Pada keadaan seperti ini dianjurkan segera menentukan pilihan antiplatelet yang lain untuk prevensi stroke.
c. Dipyridamole
Dipyridamole adalah inhibitor phosphodiesterase platelet yang mempertahankan cyclic adenosine monophosphate, sehingga mencegah agregasi platelet. Dipyridamole juga bekerja sebagai vasodilator dan mencegah adhesi platelet ke dinding pembuluh darah. Studi dipyridamole hanya untuk prevensi sekundee stroke. European Stroke Prevention Study (ESPS 1) membandingkan dipyridamole dan aspirin terhadap plasebo dan mendapatkan penurunan resiko relative stroke sebesar 38% lebih besar pada mereka dengan terapi kombinasi. Diduga ini adalah efek tambahan dari dipyridamole dan selanjutnya pada studi ESPS 2 diperoleh hasil ER dipyridamole 200 mg 2 kali sehari bersama dengan aspirin 50 mg per hari adalah lebih superior dibanding monoterapi dengan aspirin denga penurunan resiko absolute sebesar 2,9% dan RR 23%. Juga lebih efektif dibanding plasebo dengan RR 37%. Sering dijumpai keluhan nyeri kepala yang menyebabkan penghentian obat, namun secara statistik tidak ada peningkatan angka perdarahan secara bermakna dibandingkan dengan pengobatan aspirin momoterapi.
Sebagai derivate dari thienopyridine telah dilakukan evaluasi ticlopidine pada 3 penelitian secara acak (CATS-TASS-AAAPS) dengan penurunan resiko keluaran sebesar 23% dibanding plasebo. Kerja samping obat yang terbanyak adalah diarrhea (12%), gejala gastrointestinal lain dan rash pada kulit serta dengan kemungkinan frekuensi perdarahan yang sama dengan aspirin. Neutropenia terjadi pada 25% kasus dan juga dilaporkan gambaran thrombotic thrombocytopenic purpura pada penderita dengan ticlopidine.
e. Clopidogrel
Clopidogrel adalah inhibitor fungsi platelet yang bersifat ireversibel dengan hambatan pada reseptor adenosine diphosphat untuk mencegah agregasi platelet. Clopidogrel memiliki profil kemanan yang sama dengan aspirin pada penderita dengan resiko tinggi pada kejadian iskemin yang berulang namun disebutkan angka kejadian perdarahan gastrointestinal dan intracranial yang lebih rendah. Tolerabilitas copidogrel telah ditunjukkan pada studi CAPRIE dan MATCH dimana copidogrel diberikan untuk jangka waktu 1,5 hingga 3 tahun. The Copidogrel versus Aspirin in Patients at Risk of Ischemic Events (CAPRIE) studi merupakan penelitian terkontrol yang meelibatkan sekitar 20000 penderita yang diberikan aspirin 325 mg atau copidogrel 75 mg per hari. Studi ini menunjukkan penurunan resiko absolute 0,5% dan sebesar 8,7% penurunan resiko relative untuk kelompok copidogrel pada primary end point.
Pada subkelompok mereka dengan stroke sebelumnya didapatkan hasil RR 7,3% yang labih baik pada kelompok copidogrel walaupun hasil ini tidak bermakna secara statistic. Mereka dengan Diabetes Mellitus dan stroke iskemik serta infark miokard sebelumnya memperoleh keuntungan yang lebih besar pada pengobatan dengan copidogrel disbanding aspirin.
Pada studi MATCH yang meneliti apakah ada keuntungan tambahan pemberian aspirin pada copidogrel. Ditunjukkan kelebihan copidogrel dibanding aspirin. End point primer (stroke iskemik, MI, kematian vaskuler atau masuk rumah sakit ulang untuk kejadian iskemik akut) menunjukkan penambahan aspirin pada penderita yang diberikan copidogrel tidak memberikan keuntungan tambahan (event rates 16% untuk aspirin + copidogrel dan 17% plasebo + copidogrel; RR 6,4%, tidak bermakna), sedangkan penambahan aspirin terhadap copidogrel berakibat tingginya angka perdarahan yang membahayakan jiwa secara bermakna. Pada mereka resiko tinggi dengan stroke lakuner lebih dianjurkan monoterapi dengan copidogrel daripada terapi kombinasi aspirin dan copidogrel. Terapi kombinasi masih mungkin memberikan
keuntungan pada beberapa penderita stroke seperti pembuluh darah besar, penyakit atherothrombosis atau stenosis intracranial namun masih kurang adanya penelitian yang psesifik untuk indikasi keadaan tersebut diatas.
f. Terapi antikoagulan
Bukti meta analisis menunjukkan warfarin adalah efektif pada pencegahan primer stroke thromboembolik pada penderita dengan fibrilasi atrium (AF) dengan penurunan resiko sebesar 68%. Lebih jauh pada studi investigasi pencegahan stroke sekunder pada penderita dengan AF non rematik dan TIA atau stroke minor yang baru terjadi, warfarin lebih efektif dibanding aspirin dengan perbandingan 90 terhadap 40 kejadian vaskuler (utamanya stroke) yang dapat dicegah tiap tahun untuk setiap 1000 penderita. Percobaan pemberian inhibitor thrombin ximelagatran pada AF hasilnya setara dengan warfarin, namun FDA tidak merekomendasikan obat ini berdasarkan resiko keamanan obat. Studi warfarin dibandingkan dengan aspirin untuk pencegahan serangan ulang iskemia serebral yang bukan berasal dari jantung dihentikan karena tingginya komplikasi perdarahan dengan warfarin (WARSS-Warfarin Aspirin Recurrent Stroke Study) dan tidak ada peebedaan yang bermakna efektivitas warfarin dan aspirin untuk pencegahan serangan ulang stroke iskemik pada penderita dengan stroke non kardioemboli; perbedaan lebih besar dan tidak bermakna antara aspirin dibanding warfarin pada pria dibandingkan wanita. Hasil studi WASID menunjukkan warfarin tidak lebih baik untuk pencegahan sekunder penderita dengan stenosis intracranial. Lebih banyak dijumpai komplikasi perdarahan dengan mortalitas lebih besar pada kelompok warfarin. Sesuai dengan konsensus, maka warfare hanya diberikan pada penderita dengan AF, sumber emboli t yang jelas berasal dari jantung (katub prothesa, infark miokard dengan thrombus mural, kardiomiopati dan gagal jantung kongesti) dan juga diindikasikan pada thrombosis vena serebral.
g. Trombolitic agents (rtPA)
Pemberian suntikan rtPA intravena 0,9 mg/kg berat badan dengan dosis maksimal 90 mg, dilakukan dengan prosedur tertentu. Berdasarkan criteria NINDS (National Institute of Neurogical Disorders and Stroke), pemberian rtPA hanya dilakukan dalam selang waktu 3 jam setelah serangan stroke iskemik akut dengan syarat, antara lain: - Gambaran CT-Scan kepala tidak menunjukkan adanya perdarahan
- Penderita tidak pernah mengalami trauma kepala maupun serangan stroke selama 3 bulan terakhir
- Serta tekanan darah sistolik < 185 mmHg dan diastolik < 110 mmHg
Dengan prosedur dan criteria tersebut, rtPA dapat menunrunkan angka kecacatan dan kematian. Dilaporkan bahwa jumlah penderita stroke iskemik akut yang dapat diselamatkan dari cacat dan kematian dengan rtPA adalah 1 diantara 7-8 penderita.
Pemakaian rtPA pada stroke iskemik akut dapat meningkatkan kejadian perdarahan intracranial 3 kali lebih banyak dibanding tanpa rtPA. Tetapi hanya 6-7% kasus yang mengalami perdarahan intracranial simtomatik. Untuk mencegah meningkatnya kejadian perdarahan intracranial, criteria dan prosedur pemberian rtPA harus dipatuhi dengan cermat dan hati-hati.
h. Neuroprotektan
Hingga saat ini telah banyak penelitian yang dilakukan untuk mengetahui manfaat neuroprotekta yang diduga dapat melindungi sel neuron dari kematian akibat stroke iskemik akut. Beberapa diantaranya adalah golongan penghambat kanal kalsium (nimodipin, flunarisin), antagonis reseptor glutamat (aptiganel, gavestinel, selfotel, serestat, magnesium), agonis GABA (klomethiazol), penghambat peroksidase lipid (titrilazad), antibody anti-ICAM-1 (enlimomab) dan activator metabolic (pirasetam, sitikolin). Sangat diharapkan pemberian neuroprotektan pada stroke iskemik akut akan dapat menurunkan angka kecacatan dan kematian.
Pencegahan
Terdapat dua cara untuk mencegah terjadinya stroke, yaitu: 1. Pencegahan primer
Pencegahan primer adalah langkah-langkah untuk mencegah terjadinya ateroma, yaitu: a. Mengatur tekanan darah baik sistolik meupun diastolik
b. Mengurangi makan asam lemak jenuh c. Berhenti merokok
d. Minum aspirin 2 kali sehari, 300 mg per hari, pada:
- Individu dengan anamnesa keluarga dengan penyakit vaskuler - Umur lebih dari 50 tahun
- Tidak ada ulkus lambung
- Tidak ada penyakit mudah berdarah - Tidak alergi aspirin
2. Pencegahan sekunder
Bila tedapat gejala TIA atau iskemik retina, maka ini merupakan bukti bahwa pencegahan primer gagal. Gejala ini merupakan tanda bahwa terjadi tromboemboli atau penyakit pembuluh darah yang primer. Cara-cara pencegahan sekunder, antara lain: a. Hipertensi diturunkan melalui
- Minum obat antihipertensi - Mengurangi berat badan
- Mengurangi netrium dan meningkatkan kalium - Olahraga
- Jangan minum amfetamin
b. Turunkan kadar kolesterol yang meningkat
c. Mangurangi natrium makanan dan meningkatkan intake kalium melalui sayur dan buah-buahan
d. Mengurangi obesitas
Karena resiko hipertensi dan DM berkurang, maka secara sekunder resiko stroke juga berkurang
e. Mengurangi minum alkohol f. Mengurangi isap rokok
Isap rokok meningkatkan fibrinogen di darah, menambah agregasi platelet dan meningkatkan hematokrit. Peningkatan dari hematokrit terjadinya stroke iskemik. g. Mengurangi kadar gula darah pada penderita DM
h. Mengontrol penyakit jantung
Penyakit jantung yang berbahaya antara lain: Gangguan irama, gangguan katub dan kerusakan miokard
i. Olahraga
Olahraga akan menurunkan tekanan darah, meningkatkan kadar LDL dan mengurangi obesitas
j. Mengurangi hematokrit kalau meningkat
Phlebotomy dianjurkan untuk mengurangi hematokrit yang meningkat k. Mengurangi trombositosis dengan aspirin
l. Berilah kontrasepsi estrogen rendah pada wanita dengan hipertensi dan yang menghisap rokok
Komplikasi dari pemkaian narkotiak adalah krisis hipertensi dengan infark atau perdarahan otak
n. Obat-obat antitrombotik
Berilah antiplatelet agregating agents. Agregasi trombosit ada 3 jalur, yaitu: - Asam arakhidonat
- ADP
- Platelet activating factor (PAP)
Aspirin (menghambat jalur 1), dosis 300 mg/hari 2 kali sekali. Ticlopidine (menghambat jalur 2 dan 3), kombinasi aspirin dan ticlopidine adalah yang terbaik. II.10 Prognosis
Indikator prognosis adalah: tipe dan luasnya serangan, age of onset, dan tingkat kesadaran. Hanya 1/3 pasien bisa kembali pulih setelah serangan stroke iskemik. Umumnya, 1/3-nya lagi adalah fatal, dan 1/3- nya mengalami kecacatan jangka panjang. Jika pasien mendapat terapi dengan tepat dalam waktu 3 jam setelah serangan, 33% diantaranya mungkin akan pulih dalam waktu 3 bulan.
Hanya 10-15 % penderita stroke bisa kembali hidup normal seperti sedia kala, sisanya mengalami cacat, sehingga banyak penderita Stroke menderita stress akibat kecacatan yang ditimbulkan setelah diserang stroke.