• Tidak ada hasil yang ditemukan

TEORI NASKH DALAM PANDANGAN WILLIAM MONTGOMERY WATT DAN RICHARD BELL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TEORI NASKH DALAM PANDANGAN WILLIAM MONTGOMERY WATT DAN RICHARD BELL"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Tersedia online di: journal.stainkudus.ac.id/index.php/Hermeneutik

DOI: 10.1234/hermeneutik.v13i2.6387

TEORI

NASKH

DALAM

PANDANGAN

WILLIAM

MONTGOMERY WATT DAN RICHARD BELL

Mufti Labib Jalaluddin

UIN Jakarta

labib.djalal16@mhs.uinjkt.ac.id

Abstract

This article discusses about two figures‟ thought, William Montgomery Watt and Richard Bell, about the Qur‟an, especially about naskh or an-nasikh wa-l-mansukh in the Qur‟an. The discussion about the theory of naskh evidently results different proclivity of the thoughts. Watt which in one hand accepted the truth of the revelation of Muhammad and in another hand perceived the alteration of revelation in sociological perspective, also proposed hypotheses in which the alteration of revelation might be the result of Prophet‟s addition, although he said that his hypotheses had not have a strong proof. Meanwhile, Bell saw that naskh tends to Prophet‟s revision on compilizing the verses within the Qur‟anic chapters though he also mentioned naskh in understanding of that the abrogation of the law of verse which being remained in the Qur‟an. This article is based on descriptive-analitical and comparative methods.

Keywords: naskh, revelation, Qur‟an, Watt, Bell

Abstrak

Artikel ini membahas mengenai pemikiran dua tokoh, William Montgomery Watt dan gurunya Richard Bell, mengenai al-Qur‟an, khususnya mengenai naskh atau an-nasikh wa-l-mansukh dalam al-Qur‟an. Perbincangan seputar teori naskh dalam pembahasan dua tokoh tersebut ternyata menghasilkan kecenderungan pemikiran yang berbeda. Watt yang di satu sisi menerima kebenaran turunnya wahyu Nabi Muhammad dan di sisi lain melihat naskh dalam arti perubahan wahyu berkaitan dengan kondisi masyarakat secara sosiologis, juga ternyata mengajukan hipotesa bahwa perubahan wahyu bisa saja merupakan hasil penambahan Nabi, kendati hipotesa tersebut menurutnya masih tanpa bukti. Sementara itu, Bell melihat naskh lebih kepada revisi Nabi atas kompilasi ayat

(2)

DENGAN TEORI BARAT

dalam surah-surah al-Qur‟an walaupun ia juga menyebutkan naskh dalam pengertian pencabutan hukum ayat yang mana tetap dituliskan dalam al-Qur‟an. Artikel ini berlandaskan metode deskriptif-analitik dan komparatif.

Kata kunci: Naskh, wahyu, al-Qur‟an, Watt, Bell

Pendahuluan

Al-Quran sebagai kitab suci umat Islam menjadi objek kajian yang menarik bagi para sarjana, tak terkecuali sarjana Barat yang non-muslim untuk mengetahui apadan bagaimana Islam. Bagi umat Islam, al-Quran adalah wahyu yang merupakan firman (kalam) Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. melalui Malaikat Jibril sebagai pedoman hidup untuk kebahagiaan manusia di dunia dan di akhirat, sedang membacanya dianggap berpahala. Umat Islam meyakini bahwa al-Qur‟an kekal dan abadi sepanjang zaman berdasarkan QS. Al-Hijr [15]:9. Konsep wahyu sendiri ialah inti dari agama-agama Abrahamik: Judaisme, Kristiani, dan Islam. Wahyu dalam agama berarti mengungkapkan beberapa kebenaran atau pengetahuan melalui komunikasi dengan dewa. Dalam agama-agama Abrahamik, istilah ini digunakan untuk merujuk pada proses dimana kehendak Tuhan diungkapkan kepada manusia .(Rafiq, 2015)

Pandangan berbeda ditunjukkan oleh para orientalis ketika mengkaji al-Quran. Gustav Weil membuktikan bahwa Nabi Muhammad SAW menderita epilepsi. Aloys Sprenger mengatakan selain epilepsi Muhammad juga menderita histeria. Margoliouth dengan tidak segan-segan menuduh Muhammad SAW dengan sengaja membuat bingung orang.(Masduki, 2017) Alphonse Mingana mengatakan bahwa Nabi Muhammad maupun masyarakat muslim tidak pernah menganggap Alquran secara berlebihan, kecuali setelah meluasnya negara Islam. John Burton menyatakan bahwa keseluruhan Alquran sekarang adalah karya Muhammad.(Said, 2018) Richard Bell mengatakan bahwa Muhammad terpengaruh dari ajaran Kristen dan memasukkannya ke dalam al-Quran.(Hanafi, 2013)

Kendati begitu, tidak semua orientalis bersikap negatif terhadap Islam. Beberapa orientalis berusaha secara obyektif dan apresiatif mengkaji dan menyajikan kajian mereka mengenai Islam. Kondisi seperti ini beriringan dengan adanya perubahan religius, politik, dan intelektual serta adanya keingininan mempelajari sesuatu dengan objektif. Di antaranya ada Voltaire dan Thomas Carlyle.(Rahim, 2010) Theodor Noldeke terlihat membela kebenaran inspirasi Muhammad SAW dan menolak pemikiran bahwa nabi penderita epilepsi, tetapi iasering mengalami dorongan emosi yang menyebabkan yakin bahwa dirinya dipengaruhi oleh kekuatan Ilahi.(Masduki, 2017) William Montgomery Watt dengan menggunakan teori collective unconscious menyatakan bahwa Muhammad benar-benar menerima wahyu dan tidak benar bahwa

(3)

ayat-ayat al-Quran adalah perkataan Muhammad (Watt, 1969) meskipun, lanjutnya, Muhammad menerima pengetahuan dari konsepsi Bibel secara umum (Leirvik, 2015; Rahman, 1984)dan merupakan hasil dari imajinasi kreatif (Watt, 1961).

Yang menarik di sini adalah perbedaan pandangan antara Richard Bell dan William Montgomery Watt yang mana merupakan guru dan murid. Meski demikian, apakah pandangan mereka berdua yang berbeda juga berimplikasi pada pandangan mereka mengenai pemahaman nasikh wa-l-mansukh dalam al-Quran, khususnya mengenai kemungkinan revisi al-Qur‟an? Bagaimana pandangan keduanya mengenai hal tersebut?

Kajian Literatur

Dalam Jurnal Al-Fikrah, Masduki menulis tentang “Teori Collective

Unconscious: Pemikiran W. Montgomery Watt tentang al-Qur‟an dalam Islamic Revelation in the Modern World” (Masduki, 2017). Tulisan ini membahas pemikiran

Watt mengenai wahyu Muhammad dan unsur historisitas al-Qur‟an dalam buku Watt

Islamic Revelation in the Modern World. Dalam tulisannya tersebut, Masduki

mengemukakan bahwa Watt secara tersurat mengakui kebenaran wahyu Muhammad yang diterimanya di alam bawah sadar. Dengan menggunakan teori collective

unconscious Jung, Watt menyatakan bahwa Muhammad menerima wahyu dan tidak

merubahnya. Kendati demikian, Masduki menilai bahwa sekalipun Watt sempat menyatakan tidak ada revisi al-Qur‟an, namun tulisan Watt selanjutnya malah bertendensi mengemukakan dan memperkuat hipotesanya mengenai kemungkinan revisi al-Qur‟an yang pada akhirnya dimasukkan ke dalam bagian al-Qur‟an sebab dianggap perintah dari Allah (Masduki, 2017).

Abd. Rahim menulis “Sejarah Perkembangan Orientalisme” (Rahim, 2010) yang isinya membagi periodisasi kecenderungan prasangka Barat dalam mengkaji Islam yang ia bagi ke dalam delapan periode. Secara umum, tulisan tersebut menyajikan informasi mengenai tiga kecenderungan besar studi Barat terhadap Islam: apologi missionaris yang juga membawa misi penyerangan, obyektivitas, dan terakhir adanya historisisme yang malah memporak-porandakan obyektivitas yang telah dibangun sebelumnya. Dalam kesimpulannya, Abd Rahim menilai bahwa baik para orientalis yang cenderung „menjelek-jelekkan‟ dengan sikap kurang apresiatif maupun para apologis muslim yang cenderung „membaik-baikkan‟ tanpa sikap kritis sama-sama terjerembab ke dalam subyektivitas dan eksklusivitas (Rahim, 2010).

(4)

DENGAN TEORI BARAT

Pemikiran William M.Watt tentang an-nasikh wa-l-mansukh

Salah satu terma yang mendapat sorotan dari kalangan orientalis adalah mengenai an-nasikh wa-l-mansukh. Secara bahasa, nasikh berarti „yang menghapuskan atau yang membatalkan‟ dan mansukh berarti „yang dihapuskan atau yang dibatalkan‟. Sedangkan secara istilah, naskh berarti menghapuskan hukum syar‟i dengan memakai dalil syar‟i dengan adanya tenggang waktu, dengan catatan kalau sekiranya tidak ada

naskh itu tentulah hukum yang pertama itu akan tetap berlaku (Djalal, 2013). Mahmoud

Muhammed Toha memiliki definisi lain yang kontradiktif daripada itu. Ia menyatakan bahwa naskh berasaskan evolusi syariah; ia menunda berlakunya hukum ayat-ayat yang datang pertama (mansukh, umumnya ialah Makkiyah) dengan ayat-ayat yang datang kemudian (nasikh, umumnya ialah Madaniyah) karena ada sebab sampai saat yang tepat hukum tersebut dapat diberlakukan (Falahuddin., 2017).

Dalam bukunya Islamic Revelation in the Modern World, Watt menyatakan bahwa Nabi Muhammad benar-benar menerima wahyu. Dia juga menyayangkan perkataan para sarjana Eropa yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad secara sadar melakukan revisi terhadap al-Qur‟an. Baginya hal tersebut tidak ilmiah sebab tidak memperhitungkan corak fenomenologis esensial dari pengalaman Nabi (Watt, 1969). Bahkan ia menganggap bahwa jikalaupun ada perubahan isi al-Qur‟an, maka wahyu yang baru adalah untuk melengkapi wahyu sebelumnya. Ia menganggap perubahan atau penambahan isi al-Qur‟an yang berbeda dari sebelumnya adalah seiring dengan keadaan Nabi Muhammad dan umat Islam kala itu. Ia mengajukan hipotesa ini dari membandingkan adanya ayat-ayat yang hanya mengkritik kaum Yahudi dan ayat-ayat yang mengkritik kaum Yahudi dan Kristen. Kemungkinan yang terjadi bagi Watt adalah adanya ayat-ayat yang mengkritik orang-orang Kristen turun setelah adanya pertentangan dari orang-orang Kristen. Namun menurutnya hipotesa ini masih bersifat kemungkinan dan tidak ada bukti yang pasti bahwa hal inilah yang terjadi (Watt, 1969). Watt menganggap bahwa wahyu disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat, termasuk Umat Islam. Maka perubahan kebutuhan masyarakat berimplikasi pada wahyu yang turut berubah (Watt, 1969). Watt yang menggunakan analisa Trhotoan menganalisa aspek manusiawi dalam wahyu, karena itu wahyu dipandang tidak semata-mata bersumber dari Tuhan tetapi ada elemen manusiawi yang muncul dari konteks lingkungannya. Upaya Throtoan ini diiukuti oleh Watt dengan menggunakan pendekatan historisisme, dengan kesimpulan bahwa wahyu tidak dipahami sebagai peristiwa transhistoris.(Muzayyin, 2015)

Selain mengajukan hipotesa tersebut, perhatian Watt tentang al-Qur‟an juga tidak luput dari membahas an-naskh wa-l-mansukh. Teori ini mengasumsikan bahwa

(5)

beberapa perintah yang ada di dalam al-Qur‟an yang ditujukan kepada Nabi Muhammad dan kaum muslimin berlaku untuk waktu tertentu. Watt mencoba menguatkan teori tersebut dengan permulaan surah al-Muzammil [Q.S. 73] yang menyuruh umat Islam untuk mendirikan salat di sebagian besar malam. Menurutnya, perintah tersebut hanya dapat dilakukan ketika periode Mekkah. Ketika periode Madinah, ayat terakhir dari surah tersebut turun dan membatalkan perintah dari permulaan surah tersebut. Namun baik ayat nasikh maupun mansukh tetap dipertahankan dalam al-Qur‟an (Watt, 1969).

Watt mengatakan, kata „nasakha‟ yang menjadi pijakan teori an-nasikh

wa-l-mansukh muncul dua kali dalam al-Qur‟an yang menurutnya keduanya bertendensi

„pembatalan‟. Kedua ayat tersebut adalah pada QS. Baqarah [2]: 106 dan QS. Al-Hajj [22]: 52. Ayat pertama, menurut Watt, berkenaan dengan beberapa aspek dari pengalaman Nabi dalam menerima wahyu. Sedangkan dari ayat kedua, yang berkaitan dengan usaha setan dalam memasukkan kata-kata yang berlawanan dengan monoteisme Islam ke lisan Nabi dalam membaca al-Qur‟an namun dihapuskan oleh Allah, Watt mengatakan bahwa „pembatalan‟ di sini berarti penghapusan. Watt membedakan antara „pembatalan‟ dan „membuat lupa‟ yang mana terma kedua malah akan mengarah pada hilangnya ayat dari al-Qur‟an (Watt, 1969).

Kendati demikian, lanjut Watt, al-Qur‟an memberi isyarat mengenai kemungkinan bahwa Nabi Muhammad bisa saja lupa dengan wahyu yang diturunkan kepadanya, namun hal tersebut tidak menyiratkan kegagalan atau kelemahan beliau, namun karena kehendak Tuhan. Artinya, bagi Watt, al-Qur‟an menyiratkan adanya revisi yang berasal dari pembatalan atau penghapusan ayat-ayat sebab kehendak Allah untuk kemudian Ia gantikan dengan wahyu lainnya. Singkat kata, hipotesa Watt adalah kemungkinan adanya suatu wahyu turun yang merevisi wahyu sebelumnya dengan cara membatalkan atau melupakan wahyu sebelumnya (Watt, 1969). Perubahan atau revisi wahyu al-Qur‟an di sini sekali lagi, bagi Watt, terjadi seiring perubahan kondisi sosial yang dihadapi umat Islam pada saat itu. Jika pada saat awal-awal pendirian komunitas atau umat wahyu yang turun adalah respons-respons positif, maka ketika komunitas atau umat tumbuh dan menghadapi berbagai macam tantangan, maka wahyu yang turun kemudian adalah wahyu yang berisikan bimbingan lebih lanjut. Singkatnya, kata Watt,

an-nasikh wa-l-mansukh atau apapun namanya merupakan adaptasi pesan yang

diungkapkan kepada kehidupan umat yang sedang tumbuh (Watt, 1969).

Pemikiran Richard Bell tentang an-nasikh wa-l-mansukh

Richard Bell dalam bukunya Introduction to the Qur’an menyatakan bahwa surah-surah dalam al-Qur‟an cenderung disusun (dikonstruksi) daripada hanya sekedar ditulis. Bell mengkritisi riwayat yang menganggap bahwa susunan surah dalam al-Qur‟an tersusun begitu saja sebagaimana yang kita dapati sekarang. Adanya

(6)

riwayat-DENGAN TEORI BARAT riwayat yang menyatakan bahwa Zaid bin Tsabit menempatkan bagian-bagian tertentu ke dalam al-Qur‟an bagi Bell adalah sebagai argumen penguat meskipun riwayat yang popular cenderung menerima begitu saja bahwa surah-surah tersusun seperti sekarang (Bell, 1953).

Untuk menguatkan pendapatnya, Bell memberi argumentasi bahwa Nabi lebih sering menyusun surah daripada anggapan popular selama ini. Banyaknya variasi panjangnya surah tidaklah mudah dipertanggungjawabkan melalui perbedaan subjek, rima, atau bentuk, meskipun hal tersebutdapat menjelaskan mengapa beberapa dari bagian pendek dipertahankan sebagai surah yang berbeda. Pada kasus bismillah, yang menurut Bell memberii alas an bahwa itu termasuk ke dalam susunan, setidaknya menandakan permulaan surah. Di samping itu, adanya „huruf-huruf misterius‟, lanjut Bell, nampak memberii arti bahwa tidak hanya surah, melainkan kelompok surah sudah ada ketika al-Qur‟an disusun sebagaimana susunannya yang sekarang (Bell, 1953).

Berpijak pada QS. Hud [11]: 16 yang berisikan tantangan kepada mereka yang melawan Nabi Muhammad untuk membuat sepuluh surah semisal dengan al-Qur‟an, Bell menguatkan dugaannya mengenai keberadaan surah-surah al-Qur‟an. Alasannya, jika para penantang Nabi mengambil tantangan tersebut untuk membuat sepuluh surah semisal al-Qur‟an, maka Nabi pada waktu itu juga harus sudah memiliki sepuluh surah. Meskipun waktu turunnya ayat tantangan tersebut tidaklah pasti, namun Bell menduga bahwa itu tidak lebih dari awal periode Madinah, dan banyak surah lainnya sudah mulai tersusun pada masa hidup Nabi selanjutnya (Bell, 1953). Lanjut Bell, “bukti paling konklusif dari bagian nabi dalam penyusunan surah berasal dari studi mendalam tentang struktur surah-surah tersebut, yang mengungkapkan bukti revisi dan perubahan seperti hampir tidak mungkin dibuat tanpa otoritasnya, dan yang kita dapati, dalam banyak kasus, memberiikan alasan mengenai keadaan dan tujuannya yang terus berubah.” (Bell, 1953). Artinya dalam hal ini Bell mempercayai bahwa Nabi mengetahui apabila ada revisi surah. Selain daripada itu, keberadaan sebagian surah yang secara alami memiliki rima dalam satu asonansi –yang menurut Bell membuat Geyer cenderung pada asumsi mengenai suatu bentuk formasi soneta –diadaptasi dalam sebuah surah yang memiliki asonansi yang berbeda menjadi argumen tambahan bagi Bell dalam memperkuat hipotesanya (Bell, 1953).

Bell tidak lupa memberii catatan mengenai doktrin nasikh dan mansukh. Doktrin ini berasal dari QS. [2]: 100, QS. [13]: 39, QS. [16]: 103, dan QS. [22]: 51. Bell menyebutkan bahwa, merujuk pada ayat yang terakhir disebutkan, apa yang dilontarkan oleh setan yang terkenal dengan „ayat-ayat setan‟ –sebagaimana yang juga telah disinggung oleh Watt di atas - telah dihapuskan seluruhnya sehingga tidak terdapat dalam al-Qur‟an.

(7)

Pembahasan nasikh wa-l-mansukh , menurut Bell, tidak hanya penting dilihat dari sudut pandang kritik sastra saja, melainkan dalam sudut pandang hukum yakni dalam menentukan ayat mana yang dicabut dalam al-Qur‟an dan mana yang tetap valid. Lanjut Bell, doktrin tersebut diperluas hingga mencakup pencabutan hukum orang-orang Arab Pagan, Yahudi, dan Kristen di satu sisi, dan di sisi lain mencakup pengakuan kemungkinan tata cara al-Qur‟an yang dibatalkan oleh Sunnah. Akan tetapi dalam kemungkinan yang kedua, Bell mengemukakan pendapat as-Syafi‟i bahwa apabila hal tersebut terjadi maka pasti ada sesuatu dalam al-Qur‟an yang mengukuhkan Sunnah (Bell, 1953).

Selain doktrin nasikh wa-l-mansukh mengalami perluasan, juga mengalami pembatasan. Pembatasan tersebut bahwasanya hal itu berlaku pada perintah, bukan kisah ataupun janji. Adapun perubahan praktik seperti perintah untuk bersabar ketika periode Mekkah dan perintah untuk berperang ketika periode Madinah, lanjut Bell, tidak masuk ke dalam kategori nasikh wa-l-mansukh, melainkan lebih merupakan penundaan diundangkannya hukum Islam sebab kondisi yang tidak memungkinkan pada waktu itu. Ada kasus-kasus lain yang mana diperbolehkan melakukan hukum awal meskipun undang-undang yang berbeda telah diterapkan. Lebih lanjut, Bell mengutip as-Suyuthi dalam al-Itqan bahwa adopsi pembatasan-pembatasan hukum tersebut mengurangi jumlah kasus naskh hingga dua puluh kasus (Bell, 1953).

Bell mengatakan bahwa pengakuan Islam mengenai penghapusan ayat yang digantikan oleh ayat lain menarik baginya. Ayat-yang dihapuskan tersebut tetap ditulis dalam al-Qur‟an sampai saat ini, bagi Bell memberiikan anggapan kuat bahwa tidak ada upaya yang dilakukan untuk mengadaptasinya terhadap ide-ide yang sudah ada sebelumnya. Kendati demikian, kata Bell, penetapan bacaan dengan pencabutan peraturan merupakan kesulitan tersendiri bagi Islam. Kemudian Bell mengemukakan dua alasan as-Suyuthi yang berkenaan dengan hal tersebut. Pertama, ayat-ayat yang dibatalkan adalah Firman Allah yang memang pantas untuk dibaca. Kedua, pencabuatan atau nasakh umumnya diarahkan untuk mempermudah segala sesuatu, sedangkan peraturan sebelumnya dipertahankan sebagai sisa rahmat Allah (Bell, 1953).

Perbandingan

Watt mengatakan bahwa Nabi Muhammad tidak pernah secara sadar merevisi al-Qur‟an. Ia juga menyesalkan anggapan para sarjana Eropa yang berbicara bahwa Nabi seolah-oleh berbuat demikian. Mereka yang berbicara seperti itu dianggapnya gagal memperhitungkan corak fenomenologis kehidupan Nabi secara ilmiah. Watt juga menganjurkan agar perbincangan seputar revisi al-Qur‟an tidak lagi dilakukan dalam atmosfir „antar-agama‟ (Watt, 1969). Singkat kata, Watt menolak anggapan Nabi Muhammad melakukan revisi al-Qur‟an secara sadar. Tampaknya, Watt di sini berusaha

(8)

DENGAN TEORI BARAT memposisikan dirinya sebagai penengah yang berupaya membangun hubungan baik antara Islam-Kristen dan sarjana yang cenderung objektif.

Bagi Watt, bila memang ada revisi maka ia anggap itu adalah wahyu yang melengkapi wahyu sebelumnya. Namun kecenderungan Watt di sini tidak menganggap revisi sebagai koreksi, melainkan lebih kepada perubahan kandungan wahyu. Perubahan wahyu ini, dalam pandangan Watt, seiring dengan situasi yang dihadapi oleh Nabi Muhammad dan umat Islam (Watt, 1969). Agaknya Watt melihat perubahan wahyu yang turun dalam sudut pandang sosiologis dan sangat manusiawi, menyesuaikan dengan konteks lingkungannya.(Muzayyin, 2015)

Adapun Bell dalam melihat naskh dalam al-Qur‟an cenderung kepada anggapan bahwa Nabi Muhammad dan para pengumpul al-Qur‟an menyusun dan meletakkan ayat-ayat ke dalam surah-surah tertentu. Kendati dalam bukunya ia sempat menyebutkan bahwa naskh bisa saja merupakan penundaan perundangan Islam yang dikarenakan situasi yang belum memungkinkan, namun kecenderungan Bell dalam tulisannya lebih kepada anggapan bahwa al-Qur‟an telah direvisi oleh Nabi dalam penetapan kompilasi ayat dan adanya revisi tersebut adalah dengan sepengetahuan dan otoritas Nabi sendiri (Bell, 1953). Hipotesa Bell ini juga ia kuatkan dengan adanya perbedaan panjang surah dan adanya asonansi dan rima dalam suatu ayat yang berbeda daripada ayat-ayat dalam suatu surah (Bell, 1953). Tampaknya di sini Bell mencoba menggunakan kritik sastra dalam melihat kemungkinan adanya naskh dalam pengertian revisi kompilasi surah.

Baik Watt maupun Bell, nampaknya, menerima adanya naskh dalam al-Qur‟an namun dalam pengertian dan sudut pandang yang berbeda. Bilamana Watt memandang naskh dalam al-Qur‟an dalam sudut pandang sosiologis yang berarti bahwa adanya wahyu yang turun yang berubah dibandingkan wahyu sebelumnya dikarenakan kondisi masyarakat yang juga berubah, maka Bell melihat persoalan naskh dalam arti adanya kemungkinan revisi susunan al-Qur‟an yang dilakukan oleh Nabi dan para pengumpul al-Qur‟an setelah melakukan kritik sastra. Meskipun demikian, Bell tetap berusaha mengemukakan pandangan bahwa ada indikasi terdapatnya ayat-ayat al-Qur‟an yang telah di-naskh dalam artian dibatalkan hukumnya namun ayat tersebut tetap dipertahankan dalam al-Qur‟an. Ini menandakan bahwa Bell berusaha menyajikan pemahaman naskh dari apa yang telah diperkenalkan dalam dunia Islam.

Kesimpulan

Di sini penulis cenderung memilih pendekatan sosiologis yang ditawarkan oleh Watt dalam melihat persoalan perubahan wahyu. Wahyu di satu sisi

(9)

hendak merubah tatanan masyarakat ke arah yang lebih baik dalam sudut pandang agama dan di sisi lain tidak bisa melepaskan diri dari realita kehidupan agar ia membumi diterima dalam masyarakat. Perbedaan kondisi masyarakat pada saat periode Mekkah dan periode Madinah bisa dijadikan alasan mengapa wahyu atau surah Makkiyah dan surah Madaniyah memiliki perbedaan karakteristik. Lebih lanjut, perubahan masyarakat, khususnya umat Islam, dalam satu periode, khususnya dalam periode Madinah, juga beriringan dengan perubahan wahyu kendati memiliki persamaan karakteristik. Dalam hal ini, penulis mengemukakan argumen bahwa terdapat tiga ayat yang berkenaan dengan khamr atau minuman keras yang turun secara gradual dalam hal wahyu merespon perubahan masyarakat. Pertama, ayat yang menginformasikan tentang adanya madharat dalam khamr. Kedua, ayat yang melarang orang yang mabuk khamr untuk mendirikan shalat. Ketiga, ayat yang melarang khamr. Namun demikian, terdapat wahyu-wahyu yang turun yang independen yang terlepas dari kondisi sosial. Wahyu-wahyu ini khususnya berkenaan dengan masalah keimanan dan hal-hal teologis yang bersifat absolut dan universal. Maka melihat wahyu dalam sudut pandang sosiologis secara sepenuhnya juga tidak dapat diterima.

Selanjutnya, tawaran teori collective unconscious Jung yang ditawarkan oleh Watt – yang juga dibahas oleh Masduki – menarik untuk dipertimbangkan. Dengan teori tersebut, Watt mencoba memberi alasan bahwa wahyu yang ditawarkan oleh Nabi Muhammad adalah benar-benar wahyu yang berasal dari alam bawah sadarnya dan bukan perkataan Nabi itu sendiri. Tapi hal ini tidak berarti kita dapat menerima teori ini tanpa kritik. Menerima teori ini seutuhnya dalam melihat asal usul wahyu dan mengaitkannya dengan hipotesa Watt mengenai kemungkinan adanya revisi wahyu oleh Nabi Muhammad, maka kita akan dihadapkan pada persoalan bahwa Nabi melalui pengalamannya yang membekas hingga alam bawah sadar, bisa saja „menambahkan‟ kata-kata hasil olah pikiran bawah sadarnya ke dalam wahyu.

Adapun Bell yang menurut penulis menggunakan pendekatan kritik sastra dalam melihat kemungkinan revisi al-Qur‟an oleh Nabi Muhammad dalam hal kompilasi surah, tidak seharusnya melihatnya hanya dengan sudut pandang tersebut. Hal ini berkenaan bahwa al-Qur‟an kendati memiliki tingkat sastra yang tinggi, namun ia bukanlah produk sastra murni. Maka melihat kemungkinan adanya revisi surah berdasarkan kritik sastra dalam pandangan penulis merupakan hal yang kurang tepat. Kritik sastra lebih tepat digunakan dalam hal penafsiran, yakni untuk melihat kandungan dan signifikansi ayat-ayat al-Qur‟an, mengingat, sekali lagi, al-Qur‟an bukanlah produk sastra murni meskipun memiliki tingkatan sastra yang tinggi.

(10)

DENGAN TEORI BARAT

Daftar Pustaka

Bell, R. (1953). Introduction to the Qur’an. Edinburgh: Edinburgh University Press. Djalal, A. (2013). Ulumul Quran. . Surabaya: CV. Dunia Ilmu.

Falahuddin. (2017). Pendekatan Komprehensif-Integratif dalam Kajian Fikih

Terorisme” dalam Azra, Azyumardi... [et al.]. Reformulasi Ajaran Islam: Jihad, Khilafah, dan Terorisme. Bandung: Mizan.

Hanafi, Y. (2013). Qur‟anic Studies Dalam Lintasan Sejarah Orientalisme Dan Islamologi Barat. Hermeunetik, 7(2).

Leirvik, O. (2015). Waḥy and tanzīl. Studia Theologica - Nordic Journal of Theology,

69(2), 101–125. https://doi.org/10.1080/0039338X.2015.1081617

Masduki, M. (2017). Teori Collective Unconscius Pemikiran W. Montgomery Watt Tentang Al-Qur‟an Dalam Islamic Revelation in the Modern World. Al-Fikra,

7(2), 344–357.

Muzayyin, M. (2015). AL-QUR‟AN MENURUT PANDANGAN ORIENTALIS (Studi Analisis „Teori Pengaruh‟Dalam Pemikiran Orientalis). Jurnal Studi Ilmu-Ilmu

Al-Qur’an Dan Hadis, 16(2), 203–221.

Rafiq, A. (2015). Religion, Revelation and Western Views about Qur’ān.

Rahim, A. (2010). Sejarah Perkembangan Orientalisme. HUNAFA: Jurnal Studia

Islamika, 7(2), 179–192.

Rahman, F. (1984). Islam. Bandung: Pustaka Salman.

Said, H. A. (2018). Potret Studi Alquran Di Mata Orientalis. Jurnal At-Tibyan: Jurnal

Ilmu Alquran Dan Tafsir, 3(1), 22–41.

Watt, W. M. (1961). Mohammad: Prophet and Statesman. Oxford: Oxford University Press.

Watt, W. M. (1969). Islamic Revelation in the Modern World. Edinburgh: Edinburgh University Press.

Referensi

Dokumen terkait