• Tidak ada hasil yang ditemukan

INOVASI TEKNOLOGI REPRODUKSI MENDUKUNG PENGEMBANGAN KAMBING PERAH LOKAL 1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "INOVASI TEKNOLOGI REPRODUKSI MENDUKUNG PENGEMBANGAN KAMBING PERAH LOKAL 1)"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

INOVASI TEKNOLOGI REPRODUKSI MENDUKUNG

PENGEMBANGAN KAMBING PERAH LOKAL

1)

I Ketut Sutama

Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan Jalan Pajajaran, Kav. E-59, Bogor 16151

Telp. (0251) 8322185, 8328383 Faks. (0251) 8328382, 8380588 e-mail: puslitbangnak@litbang.deptan.go.id

Diajukan: 10 Mei 2011; Disetujui: 4 Agustus 2011

1) Naskah disarikan dari bahan Orasi Profesor Riset yang disampaikan pada tanggal 26 November 2009

di Bogor.

ABSTRAK

Konsumsi protein hewani asal ternak di Indonesia (5,72 g/kapita/hari) masih di bawah rekomendasi Widyakarya Pangan dan Gizi (6 g/kapita/hari) dan kontribusi terkecil berasal dari susu, yaitu 0,6 g/ kapita/hari. Kambing peranakan etawa (PE) dapat menjadi alternatif ternak perah untuk meningkatkan produksi susu dalam negeri. Hal ini didukung oleh tingginya sumber daya kambing PE, ketersediaan pakan, dan minat petani untuk mengembangkan kambing PE. Secara biologis, kambing PE bersifat prolifik dan adaptif pada kondisi tropis, serta telah tersebar luas di masyarakat. Dengan kelahiran setiap 8 bulan (tiga kali kelahiran tiap 2 tahun) dengan jumlah anak sekelahiran 1-3 ekor, menjadikan kambing PE juga berpotensi sebagai penghasil daging. Produksi susu kambing PE bervariasi (0,5-2 liter/ hari) dan berpeluang untuk ditingkatkan melalui seleksi. Ternak akan memproduksi susu bila terjadi perkawinan, kebuntingan, kelahiran, dan laktasi secara normal. Oleh karena itu, inovasi teknologi reproduksi untuk meningkatan produksi susu dan produktivitas ternak adalah mempercepat tercapainya pubertas, meningkatan jumlah anak sekelahiran dan bobot lahir, memperpendek selang beranak, memperbaiki efisiensi perkawinan, dan meningkatkan kemampuan hidup anak. Dengan dukungan teknologi tersebut, arah pengembangan kambing perah difokuskan pada: (1) penyebarluasan penerapan inovasi teknologi reproduksi untuk meningkatkan produktivitas di tingkat petani; (2) sosialisasi kambing perah sebagai sumber pendapatan utama petani; dan (3) menjadikan kambing perah sebagai salah satu sumber susu (diversifikasi) untuk mendukung peningkatan gizi masyarakat di perdesaan.

Kata kunci: Kambing perah, reproduksi, pengembangan ternak, ternak profilik

ABSTRACT

Innovation Technology in Reproduction for the Development of Local Dairy Goats

The consumption of animal protein in Indonesia is lower (5.72 g/capita/day) than the recommendation of Widyakarya Pangan dan Gizi (6 g/capita/day) and the lowest contribution is from milk (0.6 g/capita/ day). Dairy goat of etawa grade (peranakan etawa/PE) can be developed as an alternative to increase milk production in Indonesia. This idea is supported by the high potential of PE goats, feed resources, and farmers involved in goat production. Biologically, PE goats are prolific and adaptive to local

(2)

PENDAHULUAN

Pertambahan jumlah penduduk setiap tahun menuntut peningkatan ketersediaan berbagai produk pangan, termasuk pangan asal ternak. Secara nasional, konsumsi protein hewani asal ternak baru mencapai 5,72 g/kapita/hari, masih di bawah reko-mendasi Widyakarya Pangan dan Gizi, yaitu 6 g/kapita/hari. Dari jumlah tersebut, kontribusi terkecil berasal dari susu, yaitu 0,6 g/kapita/hari (Soedjana 2007).

Rendahnya konsumsi protein hewani asal ternak tidak terlepas dari kurangnya produksi susu dalam negeri. Saat ini, pro-duksi susu di Indonesia hampir seluruhnya berasal dari sapi perah dan baru memenuhi 30% dari kebutuhan, sisanya harus di-impor (Ditjennak 2007). Peluang me-ningkatkan produksi susu masih cukup besar, baik melalui peningkatan populasi dan produktivitas ternak maupun diver-sifikasi sumber susu. Salah satu ternak yang potensial sebagai ternak perah adalah kambing.

Ternak akan memproduksi susu apabila proses reproduksi, seperti berahi, perka-winan, kebuntingan, kelahiran, dan laktasi berlangsung normal. Proses reproduksi melibatkan berbagai jenis hormon, seperti estrogen, progesteron, follicle stimulating

hormone (FSH), luteinizing hormone (LH),

dan prolaktin (Yates et al. 1975; Sutama et

al. 1988a, 1993). Lingkungan yang

kon-dusif akan membantu proses biologis ter-nak berfungsi secara baik dan terter-nak ber-produksi sesuai potensi genetiknya.

Salah satu faktor penting yang me-mengaruhi produktivitas ternak adalah reproduktivitas, yang terdiri atas tiga komponen, yaitu fertilitas, prolifikasi, dan daya hidup anak sampai dapat beduksi. Kegagalan atau rendahnya repro-duktivitas secara alami menyebabkan lambatnya laju pertambahan populasi. Akibatnya, peningkatan produksi ternak juga rendah (Wodzicka-Tomaszewska et al. 1991; Sutama et al. 1993). Penerapan ino-vasi teknologi reproduksi yang tepat dan benar diharapkan dapat meningkatkan populasi dan produktivitas ternak, yang akhirnya berdampak pada peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani.

PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN REPRODUKSI

TERNAK KAMBING

Reproduksi adalah proses seksual atau nonseksual agar suatu makhluk hidup menghasilkan generasi penerusnya.

Mela-tropical environment and well distributed in the rural area. Kidding every eight months (three parturitions in two years) with litter size of 1-3 indicates that PE goats are also potential for meat production. Milk yield of PE goats of 0.5-2.0 liter/day indicates a high potential to be increased through selection. Milk can be obtained if mating, pregnancy, kidding, and lactation occurred normally. Therefore, innovation of reproductive technology can be used to increase productivity of PE goats such as accelerate onset of puberty, increase litter size and birth weight, reduce kidding intervals, increase mating efficiency, and improve survivability of kids. With the support of these innovation of reproductive technologies the development of dairy goats can be focussed on: (1) dissemination of reproductive technology innovation to increase productivity of dairy goats at farmer level; (2) dissemination of dairy goats as a main source of income for the farmer; and (3) dairy goat as an alternative to increase milk production and improve nutrient status of the people in rural area.

(3)

lui reproduksi, akan lahir atau terbentuk generasi baru yang memungkinkan terjadi-nya penambahan populasi. Dengan perka-taan lain, tanpa reproduksi tidak akan ada produksi, dan tingkat dan efisiensi repro-duksi akan menentukan tingkat dan efi-siensi produksi.

Pembuahan dan Perkembangan Embrio

Kehidupan suatu makhluk dimulai pada saat bersatunya sel telur dan spermatozoa pada bagian ampula dari tuba fallopii. Pembuahan terjadi melalui serangkaian proses yang dimulai dengan penembusan lapisan sel telur oleh salah satu spermato-zoa. Kemudian zona pellusida “mengeras” untuk mencegah masuknya spermatozoa yang lain.

Sel telur yang telah dibuahi (embrio) disalurkan ke dalam uterus yang umumnya berlangsung 1-4 hari, dan saat itu embrio telah berada pada fase 4-16 sel (blastosis). Pada beberapa spesies ternak dengan ovulasi lebih dari satu, embrio yang ter-bentuk akan didistribusikan ke kedua tanduk uterus untuk kemudian menem-pel (implantasi) pada dinding uterus (Wodzicka-Tomaszewska et al. 1991).

Sejak implantasi, embrio sangat ber-gantung pada induk. Embrio akan mati apabila tidak terjadi kesesuaian hormon, fisiologis, dan imunologis dengan induk-nya. Untuk itu, embrio membentuk persa-maan imunologi dengan induknya, yang melibatkan trofoblas yang menghasilkan trofoblastin untuk mengurangi keluarnya prostaglandin (PGF2a). Dengan demikian,

corpus luteum (CL) dari ovarium tetap

ber-fungsi menghasilkan hormon progesteron untuk mempertahankan kebuntingan. Massa sel embrio bagian dalam

berkem-bang menjadi fetus dan bagian trofoblas menjadi plasenta, yaitu jaringan yang ber-hubungan langsung dengan induk (Austin dan Short 1984; Wodzicka-Tomaszewska

et al. 1991).

Pertumbuhan Fetus

Fetus tumbuh mulai dari sel tunggal pada waktu pembuahan dan membelah 42 kali sampai lahir. Sebelum implantasi, embrio mendapat nutrisi dari sekresi kelenjar uterus. Selanjutnya, bagian trofoblas dari embrio menyerap nutrisi dari plasenta induk. Sekitar 2 bulan akhir masa kebun-tingan, fetus mendapat nutrisi melalui difusi antara sirkulasi darah fetus dan sirkulasi darah induk melewati plasenta (Annison et al. 1984). Oleh karena itu, sampai pertengahan masa kebuntingan, pertumbuhan fetus relatif lambat.

Fetus mulai tumbuh dengan cepat sekitar 2 bulan sebelum kelahiran. Pemba-tasan nutrisi induk pada periode tersebut akan menghasilkan fetus yang kecil dengan kemampuan hidup yang rendah. Sebaliknya, kelebihan nutrisi dapat meng-hasilkan fetus yang terlalu besar sehingga menyulitkan proses kelahiran (Yates et al. 1975; Wodzicka-Tomaszewska et al. 1991; Sutama et al. 1993).

Kelahiran dan Pertumbuhan Prasapih

Menjelang akhir masa kebuntingan, pro-ses kelahiran dimulai dan fetus memegang kendali atas proses tersebut. Hipotalamus fetus menghasilkan hormon pelepas

adrenocorticotrophic (ACTH-RH) yang

menyebabkan lonjakan sekresi hormon

(4)

menyebabkan sekresi hormon kortisol meningkat. Kortisol kemudian melewati plasenta yang meningkatkan sekresi PGF2a dan estrogen, dan menurunkan hormon progesteron. PGF2a menye-babkan kontraksi miometrium, yang me-rangsang pelepasan oksitosin. Oksitosin membantu mempertahankan kontraksi miometrium. PGF2a bersama-sama dengan relaksin mengendorkan servik agar fetus dapat melewati saluran kelahiran. Kon-traksi perut yang dibantu dengan konKon-traksi dari uterus mendorong fetus keluar, diikuti oleh plasenta 1-3 jam kemudian (Yates et al. 1975; Wodzicka-Tomaszewska et al. 1991). Pada bulan pertama setelah lahir, asupan nutrisi anak hampir seluruhnya berasal dari susu induk. Setelah lahir, anak harus segera mendapat kolostrum (susu pertama) yang banyak mengandung anti-bodi. Antibodi akan membantu anak yang baru lahir melawan infeksi penyakit se-belum sistem kekebalannya sendiri ber-fungsi penuh (Esfandiari et al. 2008). Pada bulan kedua, anak sudah mulai memakan pakan padat, dan produksi susu mulai menurun. Oleh karena itu, pemberian pakan tambahan (creep feeding) akan memper-cepat pertumbuhan dan menurunkan ang-ka kematian anak (Martawidjaja et al. 1999).

Perkembangan Seksual dan Pencapaian Pubertas Ternak sebenarnya telah menunjukkan tingkah laku seksual sejak umur sangat dini (3 hari), seperti menaiki temannya atau induknya. Sifat ini disebut play activity dan semua komponen dari aktivitas sek-sual, kecuali kopulasi (kawin), dimani-festasikan selama play activity (Banks 1964; Wodzicka-Tomaszewska et al. 1991).

Dengan bertambahnya umur, secara fisiologis akan terjadi perubahan hormonal dengan mulai berfungsinya organ repro-duksi (ovarium dan testis). Hal ini diekspre-sikan dengan munculnya sifat ketertarikan pada dan/atau menerima secara seksual kehadiran lawan jenisnya (pubertas). Kemunculan berahi pertama ini dipakai sebagai tanda tercapainya pubertas (Dyrmundsson 1973; Sutama et al. 1988b; Sutama 1994).

Mendekati pubertas, terjadi pening-katan sekresi hormon pelepas gona-dotropin (GnRH) dari hipotalamus. Pada ternak betina, GnRH memengaruhi kelen-jar pituitari untuk mensekresikan hormon gonadotropin, yaitu FSH dan LH. Akibat-nya, folikel ovarium berkembang dan menghasilkan hormon androgen dan es-trogen yang menyebabkan ternak berahi. Pada 2-6 jam sebelum berahi, terjadi lonjakan sekresi LH (preovulatory surge

of LH). Lonjakan sekresi LH berikutnya

(7-16 jam setelah berahi) umumnya diikuti dengan ovulasi sekitar 17-32 jam setelah lonjakan LH tersebut. Dengan demikian, perkawinan pada umur pubertas me-mungkinkan terjadinya kebuntingan (Yates et al. 1975; Sutama et al. 1988a, 1988c).

Kebuntingan dan Laktasi Setelah pubertas, kambing betina akan menunjukkan siklus berahi setiap 18-22 hari (rata-rata 20 hari). Tingkat kebuntingan pada berahi pertama (pubertas) umumnya rendah (45-60%) karena sebagian ternak (5-10%) berahi tanpa ovulasi (Sutama et

al. 1988b, 1994, 1995). Kebuntingan akan

berlangsung sekitar 5 bulan. Selama peri-ode ini, hormon progesteron berada dalam konsentrasi tinggi untuk mempertahankan

(5)

kebuntingan hingga terjadi kelahiran (Sutama et al. 1995, 2002a).

Setelah beranak, ternak akan meng-alami fase laktasi, yang berlangsung 2-4 bulan pada kambing nonperah. Pada kam-bing perah, laktasi berlangsung 8-10 bulan (Sitorus 1994; Sutama 1996; Subhagiana 1998). Pada awal periode laktasi, aktivitas reproduksi ternak sangat rendah. Ternak akan menunjukkan berahi kembali 3-5 bulan setelah beranak (Sutama et al. 1998; Sutama 2004, 2009).

Produksi susu pada kambing kacang berkisar antara 0,13-0,57 liter/hari, lebih rendah dibandingkan dengan kambing PE, yaitu 0,45-2,20 liter/hari (Devendra dan Burns 1983; Obst dan Napitupulu 1984; Mukherjee 1991; Sitorus 1994; Sutama et

al. 1995; Adriani et al. 2004). Produksi

susu kambing PE yang bervariasi tersebut memberi peluang untuk ditingkatkan mela-lui seleksi.

Jumlah anak sekelahiran (JAS) dapat digunakan sebagai indikator produksi susu tinggi. Ternak dengan JAS lebih ting-gi mempunyai kadar hormon progesteron yang lebih tinggi. Progesteron bersama dengan hormon lainnya berpengaruh positif terhadap perkembangan kelenjar ambing dan produksi susu (Manalu dan Sumaryadi 1995; Subhagiana 1998; Sutama

et al. 2002a).

INOVASI TEKNOLOGI REPRODUKSI DALAM PENINGKATAN PRODUKTIVITAS

KAMBING PERAH

Dengan memerhatikan proses biologis seperti yang dijelaskan sebelumnya, ter-buka peluang cukup besar untuk memper-baiki inovasi teknologi dalam upaya me-ningkatkan produktivitas kambing perah.

Mempercepat Tercapainya Pubertas

Umur, bobot badan, dan kondisi tubuh berpengaruh terhadap pencapaian pu-bertas. Ternak yang tumbuh lebih cepat akan mencapai pubertas lebih awal. Pada kambing, pubertas dicapai pada umur 6-12 bulan atau pada bobot 55-60% dari bobot badan ternak dewasa (Sutama et

al. 1995).

Umur pubertas berkaitan erat dengan pakan yang dikonsumsi. Ternak yang di-beri pakan tambahan konsentrat urea molases blok (UMB) mencapai pubertas 20 hari lebih cepat (Wodzicka-Tomas-zewska dan Mastika 1993). Pemberian hormon pregnant mare serum

gonado-trophin (PMSG) pada umur 7 bulan dapat

menstimulasi terjadinya siklus berahi dan ovulasi (Sutama et al. 1988c; Artiningsih

et al. 1996).

Manfaat yang lebih besar dari mem-percepat tercapainya pubertas terjadi di daerah subtropis karena aktivitas seksual ternak dipengaruhi oleh musim. Di daerah tersebut, kelahiran pada kambing dan domba umumnya terjadi pada musim semi dan pubertas dicapai pada musim gugur, saat ternak berumur 6-8 bulan. Bila pu-bertas tidak tercapai pada umur tersebut maka perkawinan pertama baru terjadi pada musim gugur tahun berikutnya (Yates et

al. 1975). Hal ini tidak terjadi pada ternak

di daerah tropis. Walaupun demikian, evaluasi terhadap pencapaian umur pu-bertas perlu dilakukan.

Umur pubertas dapat dipakai sebagai salah satu parameter dalam memilih ternak yang lebih produktif. Ternak yang men-capai pubertas lebih awal, setelah dewasa akan mempunyai produktivitas yang lebih tinggi (Ponzoni et al. 1979; Sutama 1992a; Levine et al. 1978).

(6)

Peningkatan Jumlah Anak Sekelahiran dan Berat Sapih Jumlah anak sekelahiran (JAS) umumnya berhubungan negatif dengan bobot lahir dan bobot sapih. Peningkatan JAS diikuti dengan penurunan bobot lahir dan bobot sapih. Hal ini berkaitan dengan kapasitas uterus dalam menampung fetus dan kon-sumsi susu anak prasapih. JAS yang lebih tinggi biasanya akan diikuti dengan pe-ningkatan mortalitas (Wodzicka-Tomas-zewska et al. 1991; Sutama et al. 1993).

Kambing PE memiliki tingkat kesuburan yang tinggi, ditunjukkan dengan JAS 1,3-1,7 dan rata-rata 1,5 (Subandriyo et al. 1986; Adriani et al. 2003; Sutama et al. 2007). Namun masih ada 41,7% induk yang beranak tunggal (Sutama et al. 2007). Upaya meningkatkan JAS dapat dilakukan dengan meningkatkan jumlah sel telur yang diovulasikan (superovulasi), dengan harapan akan ada lebih banyak sel telur yang dibuahi dan tumbuh berkembang menjadi anak. PMSG merupakan hormon yang paling sering dipakai dalam program superovulasi pada kambing (Artiningsih

et al. 1996; Sutama et al. 2002a; Adriani et al. 2003) maupun domba (McIntosh et al.

1975; Sutama 1988; Sutama et al. 1988a). Penyuntikan PMSG dengan dosis 500-700 IU/ekor meningkatkan jumlah ovulasi 80-160% dan anak yang lahir 31-72% (Arti-ningsih et al. 1996; Adriani et al. 2003).

Teknologi superovulasi juga mening-katkan produksi susu sebesar 32%, jumlah anak disapih dan bobot sapih 37-53% (Adriani et al. 2003; 2004). Hal ini terkait dengan lebih tingginya kadar hormon pro-gesteron maupun estrogen. Kedua jenis hormon tersebut merangsang pertum-buhan kelenjar ambing (Manalu dan Sumaryadi 1995; Sutama et al. 2002a). Di samping secara hormonal, peningkatan

JAS dapat dilakukan dengan menambah jumlah konsumsi gizi sekitar waktu kawin (flushing). Cara ini relatif mudah dan dapat dilakukan oleh petani. Namun, pening-katan JAS yang terjadi tidak setinggi cara hormonal, yaitu 22% (Adiati et al. 1999).

Peningkatan laju ovulasi akibat super-ovulasi ataupun flushing diikuti dengan lebih tingginya sel telur yang tidak ber-kembang menjadi anak (ova-wastage), yaitu 28,2-40,1%. Ini terjadi karena sel telur tidak dibuahi atau embrio mati (Sutama et

al. 1988b; Sutama 1989a, 1989b;

Wodzicka-Tomaszewska et al. 1991; Artiningsih et

al. 1996; Adriani et al. 2003). Walaupun

demikian, superovulasi dapat meningkat-kan produktivitas induk 109,6% dari total anak yang disapih (Adriani et al. 2003).

Memperpendek Selang Beranak

Selang beranak adalah jarak waktu antara beranak dengan beranak berikutnya. Oleh karena itu, selang beranak ditentukan oleh lama kebuntingan dan interval berahi setelah beranak. Variasi lama kebuntingan pada kambing relatif kecil, yaitu 144-156 hari (Artiningsih et al. 1996; Sutama 1996; Adiati et al. 1999; Budiarsana dan Sutama 2001; Kostaman dan Sutama 2006). Ternak umumnya akan berahi kembali 3-5 bulan setelah beranak sehingga selang beranak antara 8-10 bulan. Di lapangan, selang beranak dapat mencapai lebih dari 12 bulan karena tidak terdeteksinya berahi dan petani tidak memiliki pejantan. Padahal, penentuan berahi pada kambing lebih sulit tanpa adanya pejantan (Sutama et al. 1993). Ternak kadang-kadang tidak menun-jukkan tanda berahi dengan jelas, walau-pun secara fisiologis dalam keadaan berahi (Edey et al. 1978; Sutama et al. 1988a,

(7)

1988b, 1988c). Hal ini karena tidak adanya hormon progesteron yang cukup tinggi untuk menstimulasi sekresi hormon estro-gen yang diperlukan untuk mengekspre-sikan berahi (Foster dan Ryan 1981; Sutama et al. 1988c).

Masalah tersebut dapat diatasi dengan memperbaiki manajemen perkawinan de-ngan menempatkan pejantan pada kelom-pok betina (perkawinan secara alami) selama dua siklus berahi (40 hari). Pada perkawinan alami secara dituntun (hand

mating) atau melalui inseminasi buatan

(IB), perkawinan/inseminasi dilakukan pada setengah bagian akhir masa berahi dan diulang 10-12 jam kemudian.

Meningkatkan Efisiensi Perkawinan Perkawinan Alami

Cara mudah untuk memperoleh angka kebuntingan yang tinggi adalah dengan perkawinan alami. Rasio antara jantan dan betina dalam perkawinan alami adalah 1:10 sampai 1:50 ekor, bahkan dengan mana-jemen perkawinan yang baik, jumlah betina dapat ditambah.

Di daerah tropis, siklus berahi pada kambing terjadi sepanjang tahun, sesuai dengan ritme reproduksinya, asalkan kon-disi tubuh ternak mendukung terjadinya proses reproduksi (Wodzicka-Tomaszews-ka et al. 1991; Sutama et al. 1993; Sutama 2009). Namun, kelahiran setiap saat sepanjang tahun justru mengakibatkan tingginya alokasi waktu petani untuk mengurus induk dan anak kambing yang baru lahir. Untuk mengatasi masalah tersebut, dilakukan sinkronisasi berahi dan ovulasi secara hormonal menggunakan PGF2a (prostaglandin analog) atau

pro-gesteron sintetis dan memperoleh persen-tase berahi secara serempak 80-100% (Artiningsih et al. 1996; Adiati et al. 1998; Sutama et al. 2002a; Semiadi et al. 2003). Dampak dari banyaknya kambing yang berahi dan kawin secara serempak adalah manajemen pemeliharaan lebih mudah dan lebih efisien. Di samping itu, jumlah anak yang lahir dalam satuan waktu lebih banyak dan pada akhirnya pendapatan petani meningkat.

Di samping secara hormonal, sinkroni-sasi secara biologis dengan menggunakan pejantan (efek pejantan) lebih murah dan mudah dilaksanakan (Oldham 1980; Knight 1983; Adiati et al. 1998). Feromon yang di-keluarkan pejantan meningkatkan sekresi LH pada betina dalam waktu sekitar 2 jam. Sekresi LH diikuti dengan peningkatan sekresi hormon estrogen yang menyebab-kan terjadinya berahi, dan lonjamenyebab-kan sekresi LH berikutnya menyebabkan ovulasi (Chesworth dan Tait 1974).

Untuk memperoleh hasil sinkronisasi yang lebih tinggi, ternak betina diisolasi dari ternak jantan selama 3-4 minggu, baik secara fisik, penglihatan, suara maupun bau, kemudian secara tiba-tiba ternak betina diintroduksi pada pejantan atau sebalik-nya. Dalam waktu 2-8 hari, ternak betina akan menunjukkan tanda-tanda berahi dan perkawinan terjadi secara normal. Namun, tingkat kebuntingan yang diperoleh relatif rendah (30%) (Adiati et al. 1998). Bagi ternak yang tidak bunting, siklus berahi berikutnya (20 hari kemudian) akan normal.

Inseminasi Buatan

Pemanfaatan teknologi IB mempunyai kontribusi yang cukup besar terhadap peningkatkan produktivitas ternak dan efisiensi usaha, terutama dalam

(8)

meman-faatkan pejantan unggul, dan penurunan biaya pemeliharaan pejantan. Teknologi IB berkaitan erat dengan teknik pengenceran dan penyimpanan semen, pendeteksian waktu berahi, dan teknik inseminasi. Beberapa jenis pengencer telah dikem-bangkan untuk mengawetkan semen sapi, kerbau, domba, dan kambing, seperti laktose (Jellinek et al. 1980), susu skim (Herdis et al. 2002) dan tris-sitrat (Tambing

et al. 2000, 2001, 2003a, 2003b; Sutama

2002; Kostaman dan Sutama 2006). Berbeda halnya pada sapi, IB pada kambing belum banyak dilakukan. Kesu-litan dalam melakukan deposisi semen

intra-uterine merupakan salah satu

ken-dala IB pada kambing. Servik kambing yang berkelok-kelok (berbentuk spiral) menyulitkan alat inseminasi (insemination

gun) mencapai uterus. Umumnya deposisi

semen hanya dapat dilakukan di luar servik atau dalam vagina sehingga tingkat kebun-tingan yang diperoleh masih rendah, yaitu sekitar 30% (Budiarsana dan Sutama 2001; Ngangi 2002; Sutama et al. 2002b).

Untuk meningkatkan keberhasilan IB, beberapa inovasi teknologi telah diterap-kan, antara lain melakukan IB pada waktu yang tepat (35-40 jam setelah berahi muncul) sebanyak dua kali dalam selang waktu 12 jam. Melalui teknik ini tingkat kebuntingan meningkat dari 30% menjadi 41-56% (Budiarsana dan Sutama 2001; Sutama et al. 2002b). Tingkat keberhasilan IB yang lebih tinggi (70-80%) diperoleh de-ngan melakukan IB di dalam uterus (Susila-wati dan Afroni 2008), dengan meng-gunakan alat yang dapat melewati servik.

Meningkatkan Kemampuan Hidup Anak

Kematian kambing anak, khususnya pada masa prasapih, mencapai 10-50% (Sutama

et al. 1993, 2008; Adriani et al. 2003).

Rendahnya bobot lahir anak dan produksi susu induk serta sifat keindukan yang kurang baik merupakan penyebab utama kematian anak prasapih (Wodzicka-Tomaszewska et al. 1991). Umur 0-3 hari merupakan masa kritis bagi anak, dan konsumsi kolostrum pada masa ini sangat penting untuk memperoleh antibodi (Esfandiari et al. 2008). Untuk mengatasi masalah tersebut dapat dilakukan dengan perlakuan superovulasi dan memperbaiki pakan induk maupun anaknya dengan penerapan teknologi susu pengganti (milk

replacer) dan/atau creep feeding.

Susu sapi segar adalah yang paling umum dan cukup aman dipakai sebagai bahan dasar susu pengganti untuk kambing anak. Pakan creep feeding dibuat dari campuran beberapa bahan pakan (dedak padi, pollard, bungkil kedelai, dan mineral) dengan kandungan protein kasar sekitar 24% dan total digestible nutrient (TDN) 70%. Melalui cara ini, tingkat kematian anak prasapih menurun dari 13-18% menjadi 0-4%. Sehingga jumlah anak yang disapih dan dijual meningkat 15-17% (Martawidjaja et al. 1999; Adriani et al. 2003; Sutama et al. 2008).

ARAH DAN STRATEGI PENGEMBANGAN KAMBING

PERAH Arah

Dengan dukungan inovasi teknologi re-produksi yang sesuai dengan kebutuhan pengguna, arah pengembangan kambing perah ke depan dapat difokuskan pada tiga sasaran utama, yaitu: (1) penyebarluasan inovasi teknologi reproduksi dalam upaya meningkatkan produktivitas kambing

(9)

lokal di tingkat petani; (2) sebagai sumber pendapatan utama petani; dan (3) sebagai salah satu upaya diversifikasi sumber susu mendukung peningkatan gizi masyarakat perdesaan.

Strategi

Dalam upaya mencapai arah pengem-bangan kambing perah, diperlukan strategi yang lebih operasional sesuai dengan kebutuhan pengguna.

Pemanfaatan Pejantan Unggul Penjantan unggul dapat diperoleh dari populasi ternak yang ada melalui seleksi menggunakan metode yang benar, tepat, dan terarah, atau dapat juga berasal dari pusat pembibitan yang telah terakreditasi. Agar pejantan dapat melayani betina dalam jumlah besar, sistem perkawinan hendak-nya menggunakan IB. Semen pejantan unggul ditampung dengan menggunakan vagina buatan. Semen yang berkualitas baik selanjutnya diproses dan disimpan sebagai semen beku (suhu -192oC) atau

semen cair (suhu 3-5oC).

Semen beku dapat disimpan dalam waktu cukup lama (beberapa tahun) dan masih layak digunakan untuk IB. Semen cair umumnya harus diinseminasikan dalam waktu 3-7 hari (Putu et al. 2002; Tambing

et al. 2003a; Rizal et al. 2006). Walaupun

demikian, semen cair lebih praktis, lebih murah, dan pembuatannya lebih seder-hana.

Di lapangan, pelaksanaan IB akan lebih mudah bila petani melakukan usaha peter-nakan kambing perah secara berkelompok. Cara ini akan memudahkan petani dalam mendeteksi berahi dan mengatur

perka-winan dan/atau melaksanakan IB. Pene-rapan sinkronisasi berahi akan mening-katkan efisiensi pelaksanaan IB. Melalui sinkronisasi, IB dapat dilakukan pada saat yang hampir bersamaan sehingga kelahiran terjadi pada waktu yang relatif bersamaan. Sinkronisasi berahi dapat pula dipa-dukan dengan teknologi superovulasi untuk meningkatkan ovulasi dan anak yang lahir. Namun, kedua teknologi ter-sebut relatif mahal karena bahan yang digunakan masih diimpor. Pemanfaatan progesteron nabati, yang kini masih dalam tahap penelitian, diharapkan dapat me-nekan biaya sikronisasi berahi (Adiati 2009).

Pemanfaatan Ternak Prolifik Prolifikasi adalah suatu sifat yang menun-jukkan kemampuan seekor induk untuk menghasilkan anak dalam jumlah tertentu pada setiap kelahiran. Prolifikasi bersifat menurun sehingga gen prolifikasi memberi kesempatan untuk meningkatkan pro-duktivitas secara permanen (Bradford et

al. 1991).

Pada populasi kambing PE, dalam proporsi tertentu dijumpai induk yang beranak lebih dari satu (Sutama et al. 2007). Seleksi terhadap ternak yang mem-punyai prolifikasi lebih tinggi, diikuti dengan program pemuliaan yang benar akan meningkatkan produktivitas. Namun, ternak prolifik membutuhan asupan nutrisi yang lebih banyak daripada ternak non-prolifik (Inounu et al. 1993). Oleh karena itu, prolifikasi yang sesuai untuk setiap petani ditentukan oleh kemampuan petani dalam menyediakan pakan.

Di samping jumlah anak yang lahir le-bih banyak, ternak prolifik menghasilkan susu yang lebih tinggi daripada induk

(10)

beranak tunggal (Subhagiana 1998; Sutama et al. 2002a; Adriani et al. 2003, 2004). Dengan demikian, ternak prolifik akan memberi manfaat yang lebih besar kepada petani.

Penerapan Sistem Perkawinan yang Efisien

Pada sistem perkawinan alami, diperlukan strategi perkawinan yang tepat karena kemampuan seekor pejantan untuk mengawini sejumlah betina per satuan waktu terbatas. Perkawinan alami secara kelompok dalam batas tertentu sangat efektif untuk memperoleh tingkat kebun-tingan yang tinggi. Namun, pada perka-winan kelompok sering terjadi seekor pe-jantan hanya mengawini betina tertentu karena adanya faktor memilih (preference) dari pejantan bersangkutan (Jennings 1976; Synnot et al. 1981). Akibatnya, betina lain yang sedang berahi dalam kelompok tersebut tidak dikawini sampai masa berahinya berakhir. Penempatan lebih dari satu pejantan dalam satu kelompok dapat menjadi solusi. Namun, hal ini dapat ber-bahaya karena pejantan akan berkelahi sesamanya, kecuali perkawinan kelompok dilakukan di padang penggembalaan yang luas.

Pada usaha peternakan rakyat dengan skala pemilikan ternak yang rendah (2-3 ekor induk/petani), sangatlah tidak efisien bila setiap petani memiliki pejantan. Namun, tanpa pejantan, kebuntingan dan kelahiran tidak akan terjadi yang berarti kerugian. Untuk mengatasi hal ini, petani dapat ber-gabung dan membangun areal peternakan bersama (perkampungan ternak) dan pejantan menjadi milik bersama. Untuk menghindari kemungkinan kawin kerabat dekat (inbreeding), pergantian pejantan

hendaknya dilakukan secara terencana dan teratur.

Pada perkawinan secara dituntun (hand mating), deteksi berahi menjadi sangat penting. Deteksi berahi dapat di-lakukan dengan memerhatikan tingkah laku ternak atau perubahan pada organ seksual luar. Secara alami, pejantan sangat efektif dalam mendeteksi berahi. Ternak yang berahi sebaiknya dikawinkan dua kali selama periode berahi.

Konsolidasi Kelembagaan yang Kuat dalam Kesetaraan Bergabungnya petani dalam suatu kelom-pok tani atau koperasi akan memberi banyak keuntungan kepada petani dalam mengembangkan usahanya. Petani melalui kelompok tani/koperasi dapat bermitra dengan perusahaan/lembaga lain yang lebih berpengalaman dalam peternakan kambing perah. Petani dan mitra usahanya bekerja sama mulai dari proses produksi (hulu) sampai pemasaran produk (hilir).

Keberadaan kelembagaan petani akan memudahkan transfer teknologi atau ino-vasi baru di bidang peternakan kambing perah. Hal lain yang tidak kalah penting-nya adalah kelembagaan yang dapat melayani petani dengan tenaga penyuluh lapangan dan kesehatan hewan. Penge-nalan teknologi dan atau informasi pasar yang dapat memacu dan meningkatkan produktivitas ternak dan efisiensi usaha harus dilakukan oleh petugas pelayanan di lapangan.

Diseminasi dan Promosi Diseminasi dan promosi melalui pameran, ekspose, dan media cetak atau elektronik

(11)

penting dilakukan untuk mendukung program yang akan diimplementasikan. Diseminasi tidak hanya berupa penye-baran teknologi, namun sebaiknya juga berupa ternak, peralatan atau sarana pro-duksi dan pengolahan hasil. Pelaksana-annya dapat melalui kelembagaan petani dan mitra usahanya.

Untuk meningkatkan pangsa pasar produk susu dan ternak yang dihasilkan,

timing know-how merupakan strategi

yang dapat dilakukan, yang meliputi: (1) tepat jumlah yang diminta pasar; (2) tepat kualitas sesuai standar mutu; (3) tepat sasaran (konsumen); (4) tepat harga se-suai dan terjangkau konsumen; (5) tepat waktu sehingga tidak terjadi penumpukan produk; dan (6) tepat wilayah distribusi dan pemasaran.

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

Kesimpulan

1. Sebagai ternak yang sangat dekat de-ngan petani kecil, peningkatan produk-tivitas kambing perlu diupayakan secara terus-menerus. Peningkatan produktivitas tidak hanya difokuskan pada populasi dan bobot badan, tetapi juga produksi susu per ekor ternak sehingga dapat meningkatkan penda-patan dan kesejahteraan petani. 2. Upaya yang dapat ditempuh antara lain

adalah meningkatkan efisiensi kinerja reproduksi melalui: (1) penciptaan kon-disi lingkungan yang kondusif agar tampilan reproduksi ternak optimal sesuai potensi genetiknya; (2) pening-katan jumlah anak sekelahiran (JAS) dan daya hidup anak dengan

menerap-kan sinkronisasi berahi, superovulasi dan creep feeding; dan (3) penerapan perkawinan yang tepat untuk memper-pendek selang beranak.

3. Dalam penerapannya di lapang, stra-tegi pengembangan kambing perah antara lain meliputi pencapaian pu-bertas yang lebih awal, penyediaan pejantan unggul, pemanfaatan betina prolifik, dan perkawinan yang efisien. Di samping itu, diperlukan adanya kelembagaan produksi dan pemasar-an ypemasar-ang kuat serta diseminasi dpemasar-an promosi.

Implikasi Kebijakan

1. Dalam upaya mempercepat penerapan inovasi teknologi reproduksi di lapang-an, diperlukan kebijakan pemerintah dalam pembentukan kawasan sentra produksi kambing perah di setiap pro-vinsi yang dikelola oleh petani bekerja sama dengan pusat-pusat perbibitan pemerintah.

2. Pemerintah hendaknya memfasilitasi dan mengawasi pembentukan jejaring kerja (net-working) antara swasta dan petani dalam bentuk kemitraan yang saling menguntungkan dan berbagi risiko secara adil.

3. Keberadaan industri pengolahan susu (IPS) modern akan menjadi harapan petani dalam mempertahankan kelang-sungan berproduksi karena kepastian penyerapan susu dari swasta akan menjadi jaminan pasar bagi petani. 4. Pemerintah hendaknya memacu

pe-ngembangan kambing perah secara luas melalui perangkat kebijakan yang kondusif bagi pengembangan iptek dalam bidang reproduksi, mitra usaha, dan petani.

(12)

DAFTAR PUSTAKA

Adiati, U., Hastono, R.S.G. Sianturi, T.D. Chaniago, dan I K. Sutama. 1998. Sin-kronisasi secara biologis pada kambing peranakan etawah. hlm. 411-416. Pro-siding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Adiati, U., D. Yulistiani, R.S.G. Sianturi,

Hastono, I G.M. Budiarsana, IK. Sutama, dan IW. Mathius. 1999. Pengaruh perbaikan pakan terhadap respon reproduksi induk kambing peranakan etawah. hlm. 491-495. Prosiding Seminar Nasional Peter-nakan dan Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bo-gor.

Adiati, U. 2009. Isolasi solasodin dari buah

Solanum khasianum sebagai bahan

aktif pembentuk progesteron. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.

Adriani, A. Sudono, T. Sutardi, W. Manalu, dan I K. Sutama. 2003. Optimasi pro-duksi anak dan susu kambing peranak-an etawah dengperanak-an superovulasi dperanak-an suplementasi seng. Forum Pasca-sarjana 26(4): 335-352.

Adriani, I K. Sutama, A. Sudono, T. Sutardi, dan W. Manalu. 2004. Pengaruh super-ovulasi sebelum perkawinan dan suple-mentasi seng terhadap produksi susu kambing Peranakan Etawah. Jurnal Ilmu Ternak 6(2): 86-94.

Annison, E.F., J.M. Gooden, G.M. Houge, and G.H. McDowell. 1984. Physiological cost of pregnancy and lactation in the ewe. p. 174-181. In D.R. Lindsay and D.T. Pearce (Eds.). Reproduction in Sheep. Cambridge Univ. Press, Cam-bridge.

Artiningsih, N.M., B. Purwantara, R.K. Achjadi, dan I K. Sutama. 1996. Peng-aruh penyuntikan pregnant mere

serum gonadotrophin terhadap

kela-hiran kembar pada kambing peranakan etawah. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 2(1): 11-16.

Austin, C.R. and R.V. Short. 1984. Re-production in Mammals. Book 3. 2nd Ed.

Hormonal Control of Reproduction. Cambridge Univ. Press, Cambridge. 260 pp.

Banks, E.M. 1964. Some aspects of sexual behaviour in domestic sheep, Ovis

aries. Behavior 23(3-4): 249-279.

Bradford, G.E., I. Inounu, L.C. Iniguez, B. Tiesnamurti, and D.L. Thomas. 1991. The prolificacy gene of Javanese sheep. p. 67-73. In J.M. Elsen, L. Bodin, and J. Thimonier (Ed.). Major Gene for Reproduction in Sheep. 2nd

Inter-national Workshop, Toulouse, France, 16-18 July 1990. Institute National De La Recherche Agronomique, Paris, France.

Budiarsana, I G.M. dan I K. Sutama. 2001. Fertilitas kambing peranakan etawah pada perkawinan alami dan inseminasi buatan. hlm. 85-92. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.

Chesworth, J.M. and A. Tait. 1974. A note on the effect of presense of rams unpon luteinizing hormone in the blood of ewes. Anim. Prod. 19: 109-110. Devendra, C. and H. Burns. 1983. Goat

Production in the Tropics. Common-wealth Agricultural Bureau, U.K. Ditjennak (Direktorat Jenderal Peternakan).

2007. Statistik Peternakan 2007. Ditjennak, Jakarta. 251 hlm.

Dyrmundsson, O.R. 1973. Puberty and early reproductive performance in

(13)

sheep. I. Ewe lambs. Anim. Breed. Abstr. 41: 273-289.

Edey, T.N., R. Kilgour, and K. Bremner. 1978. Sexual behaviour and repro-ductive performance of ewe lambs at and after puberty. J. Agric. Sci. Camb. 90(1): 83-91.

Esfandiari, A., S. Widodo, I W.T. Wiba-wan, D. Sayuti, I K. Sutama, and S.D. Widhyari. 2008. Serum antibody concentration of etawah crossbred neonatus following various collostrum consumption. In Improved Dairy and Meat Goat Production for Small-Scale Farmers. Food and Fertilizer Tech-nology Center for the Asian and Pacific Region, Indonesian Research Institute for Animal Production, Livestock Re-search Institute, Council of Agriculture, Taiwan ROC.

Foster, A.E. and K.D. Ryan. 1981. Endo-crine mechanisms governing transi-tion into adulthood in female sheep. J. Reprod. Fert. (Supplement 30): 75-90.

Herdis, I. Kusuma, M. Surachman, M. Rizal, I K. Sutama, I. Inounu, B. Purwantara, dan I. Arifinantini. 2002. Peningkatan kualitas semen beku domba garut melalui penembahan alfa-tokoferol ke dalam pengencer susu skim kuning telur. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 7(1): 12-17.

Inounu, I., L.C. Iniguez, G.E. Bradford, Subandriyo, and B. Tiesnamurti. 1993. Production performance of prolific Javanese ewes. Small Rum. Res. 12: 243-257.

Jellinek, P., P. Situmorang, and I K. Sutama. 1980. A lactose base diluent effective in the preservation of buffalo semen. p. 399-403. Animal Production and Health in the Tropics. 1 AAAP Science Congress, Serdang, Malaysia.

Jennings, J.J. 1976. Mating behaviour of rams in late anoestrous. Ir. J. Agric. Res. 15: 301-307.

Knight, T.W. 1983. Ram induce stimulation of ovarium and oestrus activity in an-oestrus ewes: A review. Proc. Aust. Soc. Anim. Prod. 13: 321-324.

Kostaman, T. dan I K. Sutama. 2006. Studi motilitas dan daya hidup spermatozoa kambing Boer pada pengencer tris-sitrat-fruktose. Jurnal Sain Veteriner 24(1): 58-64.

Levine, J.M., M. Vavra, R. Phillips, and W. Hohenboken. 1978. Ewe lambs concep-tion as an indicator of future producconcep-tion in farm flock Columbia and Targhee ewes. J. Anim. Sci. 46: 19-25.

Manalu, W. dan M. Sumaryadi. 1995. Hubungan antara konsentrasi proges-teron dan estradiol dalam serum induk selama kebuntingan dengan total massa fetus pada akhir kebuntingan. hlm. 57-62. Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi Peternakan, Balai Penelitian Ternak, Ciawi, Bogor. Martawidjaja, M., B. Setiadi, dan S.S.

Sitorus. 1999. Karakteristik pertum-buhan anak kambing kacang prasapih dengan tata laksana pemeliharaan

creep feeding. hlm. 485-490. Prosiding

Seminar Nasional Peternakan dan Vete-riner. Pusat Penelitian dan Pengem-bangan Peternakan, Bogor.

McIntosh, J.E., R.M. Moor, and W.R. Allen. 1975. Pregnant mare serum gona-dotrophin: Rate of clearance from the circulation of sheep. J. Reprod. Fert. 44(1): 95-100.

Mukherjee, T.K. 1991. Crossbreeding for genetic improvement of local goats innovative results. p.34-52. In J.M. Panandam, S. Sivaraj, T.K. Mukherjee, and P. Horst (Eds.). Goat Husbandry

(14)

and Breeding in the Tropics. Uni-versity of Malaya, Kuala Lumpur, Malaysia.

Ngangi, L.R. 2002. Efektivitas Lama Pemberian Implan Progesteron Intra-vaginal dan Waktu Inseminasi terha-dap Penampilan Reproduksi Kambing Peranakan Etawah. Tesis Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. 75 hlm.

Obst, J.M. and Z. Napitupulu. 1984. Milk yields of Indonesian goats. Proc. Aust. Soc. Anim. Prod. 15: 501 504.

Oldham, C.M. 1980. Stimulation of ovu-lation in seasonal or lactational an-ovular ewes by rams. Proc. Aust. Soc. Anim. Prod. 13: 73-74.

Ponzoni, R.W., M. Azzarini, and S.K. Walker. 1979. Production in mature Corriedale ewes first mated at 7 to 11 or 18 months of age. Anim. Prod. 29(3): 385-391.

Putu, I G., P. Situmorang, T. Sugiarti, E. Triwulaningsih, A. Lubis, D.A. Kusu-maningrum, dan R.G. Sianturi. 2002. Uji multilokasi penggunaan semen cair. hlm. 229-231. Prosiding Seminar Nasi-onal Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peter-nakan, Bogor.

Rizal, M., Surachman, M. Herdis, dan A.S. Aku. 2006. Peranan plasma semen dalam mempertahankan kualitas spermatozoa asal epididimis domba yang disimpan pada suhu rendah (3-5oC). Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner

11(4): 287-301.

Semiadi, G., I K. Sutama, dan Y. Syaefudin. 2003. Sinkronisasi estrus pada kambing peranakan etawah menggunakan CIDR-G. Jurnal Produksi Ternak 5(2): 83-86.

Sitorus, S.S. 1994. Milk production from “Kacang” goat in Indonesia. Proc. 7th

AAAP Animal Science Congress, Bali, Indonesia 2: 263-264.

Soedjana, T.D. 2007. Masalah dan kebi-jakan peningkatan produksi peter-nakan untuk memenuhi gizi masya-rakat. hlm. 2-4. Prosiding Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia XXVII: Dukungan teknologi untuk mening-katkan produk pangan hewani dalam rangka pemenuhan gizi masyarakat. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta.

Subandriyo, B. Setiadi, and P. Sitorus. 1986. Etawa grade goat production in Bogor and Cirebon goat station of West Java. Working Paper No. 82, SR CRSP/Balai Penelitian Ternak, Bogor.

Subhagiana, I.W. 1998. Keadaan Kon-sentrasi Progesteron dan Estradiol Selama Kebuntingan, Bobot Lahir dan Jumlah Anak pada Kambing Peranakan Etawah pada Tingkat Produksi Susu yang Berbeda. Tesis. Program Pasca-sarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. 102 hlm.

Susilawati, T. and Y. Afroni. 2008. Fertility evaluation of many breeds goat. In Im-proved Dairy and Meat Goat Produc-tion for Small-Scale Farmers. Food and Fertilizer Technology Center for the Asian and Pacific Region, Indonesian Research Institute for Animal Produc-tion, Livestock Research Institute, Council of Agriculture, Taiwan ROC. Sutama, I K. 1988. Lama birahi, waktu

ovulasi dan kadar LH pada domba ekor pipih setelah perlakuan “progestagen-PMSG”. Ilmu dan Peternakan 3(3): 93-95.

Sutama, I K., T.N. Edey, and I.C. Fletcher. 1988a. Oestrous cycle dynamics in peri-pubertal and mature Javanese thin-tail sheep. Anim. Reprod. Sci. 16: 61-70.

(15)

Sutama, I K., T.N. Edey, and I.C. Fletcher. 1988b. Studies on reproduction of Javanese thin-tail ewes. Aust. J. Agric. Res. 39: 703-711.

Sutama, I K., T.N. Edey, and I.C. Fletcher. 1988c. Peri-pubertal ovulatory events and progesterone profiles of Javanese thin-tail sheep. Anim. Reprod. Sci. 16: 53-60.

Sutama, I K. 1989a. Pengaruh “flushing” terhadap performance reproduksi domba ekor gemuk. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Peternakan. Lustrum Ke-4 Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Sutama, I K. 1989b. Pengaruh tingkat pemberian pakan terhadap perfor-man reproduksi domba ekor tipis. Pro-siding Pertemuan Ilmiah Ruminansia, Cisarua, Bogor, 8-10 November 1988. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan 2: 54-62.

Sutama, I K. 1992a. Breeding the ewe lambs. p. 67-69. In P. Ludgate and S. Scholz (Eds.). New Technology for Small Ruminant Production in Indo-nesia. Winrock International Institute for Agriculture Development.

Sutama, I K., I.G. Putu, and M. Wodzicka-Tomaszewska. 1993. Improvement in small ruminant productivity through more efficient reproduction. p. 191- 266.

In M. Wodzicka-Tomaszewska, A.

Djajanegara, S. Garner, T.R. Wiradarya, and I M. Mastika. Small Ruminant Production in the Humid Tropics. Sebelas Maret Univ. Press, Surakarta. Sutama, I K. 1994. Puberty and early

reproductive performance of “per-anakan etawah” goat. p. 233-234. Proc. 7th AAAP Animal Science Congress,

Bali-Indonesia, 11-16 July 1994. Sutama, I K., I G.M. Budiarsana, dan Y.

Saefudin. 1994. Kinerja reproduksi

sekitar pubertas dan beranak pertama kambing Peranakan Etawah. Ilmu dan Peternakan 8: 9-12.

Sutama, I K, I G.M. Budiarsana, H. Setyanto, and A. Priyanti. 1995. Productive and reproductive performance of young etawah-cross does. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 1(2): 81-85.

Sutama, I K. 1996. Potensi produktivitas ternak kambing di Indonesia. hlm. 35-50. Prosiding Seminar Nasional Peter-nakan dan Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bo-gor.

Sutama, I K., B. Setiadi, I G.M. Budiarsana, dan U. Adiati. 1998. Aktivitas seksual setelah beranak dari kambing perah peranakan etawah dengan tingkat produksi susu yang berbeda. Pro-siding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan 2: 401-409.

Sutama, I K. 2002. The effect of equili-bration time on the quality of frozen semen of ettawa crossbred and Boer goats. p. 141-147. Proc. The 3rd

Inter-national Seminar on Tropical Animal Production, Yogyakarta.

Sutama, I K., R. Dharsana, I G.M. Budi-arsana, dan T. Kostaman. 2002a. Sinkronisasi birahi dengan larutan komposit testosterone, oestradiol, dan progesterone (TOP) pada kambing peranakan etawah. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 7: 110-115.

Sutama, I K., B. Setiadi, P. Z. Situmorang, U. Adiati, I G.M. Budiarsana, T. Kos-taman, Maulana, Mulyawan, dan R. Sukmana. 2002b. Uji kualitas semen beku kambing peranakan etawah dan kambing Boer. hlm. 88-111. Prosiding Hasil Penelitian Bagian Proyek Reka-yasa Teknologi Peternakan/ARMP-II.

(16)

Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.

Sutama, I K. 2004. Tantangan dan peluang peningkatan produktivitas kambing melalui inovasi teknologi reproduksi. hlm. 51-60. Prosiding Lokakarya Na-sional Kambing Potong. Pusat Pene-litian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.

Sutama, I K., I G.M. Budiarsana, W. Puas-tuti, Supriyati, T. Kostaman, Subiharta, dan M. Yani. 2007. Introduksi teknologi produksi kambing perah sebagai kom-ponen agribisnis di lahan marginal di Temanggung. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Ternak, Bogor. Sutama, I K., T. Kostaman, I G.M.

Budi-arsana, and D. Priyanto. 2008. Pre-weaning growth performances of per-anakan etawah (PE) goats on different rearing management systems. In Im-proved Dairy and Meat Goat Produc-tion for Small-Scale Farmers. Food and Fertilizer Technology Center for the Asian and Pacific Region, Indonesian Research Institute for Animal Produc-tion, Livestock Research Institute, Council of Agriculture, Taiwan ROC. Sutama, I K. 2009. Productive and

reproductive performances of female peranakan etawah (PE) goats in Indonesia. Wartazoa 19(1): 1-6. Synnot, A.L., W.J. Fulkerson, and D.R.

Lindsay. 1981. Sperm output by rams and distribution amongst ewes under conditions of continual mating. J. Reprod. Fert. 61: 355-361.

Tambing, S.N., M.R. Toelihere, T.L. Yusuf, dan I K. Sutama. 2000. Pengaruh

gliserol dalam pengencer tris terhadap kualitas semen beku kambing pera-nakan etawah. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 5(2): 84-91.

Tambing, S.N., M.R. Toelihere, T.L. Yusuf, dan I K. Sutama. 2001. Kualitas semen beku kambing peranakan etawah setelah equilibrasi. Hayati 8(3): 70-75. Tambing, S.N., I K. Sutama, dan R.I.

Arifiantini. 2003a. Efektivitas berbagai konsentrasi laktosa dalam pengencer tris terhadap viabilitas semen cair kambing Saanen. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 8(2): 84-90.

Tambing, S.N., M.R. Toelihere, T.L. Yusuf, B. Purwantara, I K. Sutama, dan P.Z. Situmorang. 2003b. Kualitas semen beku kambing Saanen pada berbagai jenis pengencer. Hayati 10(4): 146-150. Wodzicka-Tomaszewska, M., I K. Sutama, I.G. Putu, and T.D. Chaniago. 1991. Re-produksi, Tingkah Laku dan Produksi Ternak di Indonesia. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Wodzicka-Tomaszewska, M. and M. Mas-tika. 1993. Effects of feeding molasses urea blocks on growth rate and onset of puberty in Ettawa cross goats. p. 213-219. In Advances in Small Ru-minant Research in Indonesia. Proo-ceeding of workshop held in Ciawi Bogor, Indonesia, 3-4 August 1993. Yates, N.T.M., T.N. Edey, and M.K. Hill.

1975. Animal Science: Reproduction, climate, meat and wool. Pergamon Press (Australia), Pott Point, New South Wales. p. 3-165.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui : (1) saluran pemasaran gula aren (2) besarnya biaya, marjin dan keuntungan pemasaran gula aren (3) besarnya bagian

Because motive merupakan faktor yang berhubungan dengan sebab dari tindakan yang melatar belakangi ODOJers untuk ikut bergabung dalam komunitas One day

Tujuan yang hendak d1capai dari permasalahan tersebut adalah untuk mengkaji dan menganalisa dasar pertimbangan sehingga pam pihak membuat perjanj1an pemberian kuasa

Ini berarti input tehnologi (induced breeding) oleh petani pembenih ikan lele dumbo sangat berpengaruh terhadap produksi benih. Pada penelitian ini dari 45

Demikian pula dengan hipotesis kedua, bahwa “Jaringan relasional yang terdiri atas jaringan relasional vertikal dan jaringan relasional horisontas berpengaruh secara

Driver motor berfungsi sebagai sakelar untuk mengatur pergerakan motor, dalam robot line follower ini menggunakan dua driver motor tiap driver motor mengontrol dua motor dan

Yaitu suatu penelitian yang bermula dari suatu bukti data sumber, suatu penelusuran atas catatan atau peninggalan tersebut untuk memperoleh seluruh informasi yang

© Aksi Edit Hapus Deskripsi Roduk xxxxx Warna xxxxx Ukuran xx Kategori xxxx Harga xxxxx Stock xx Gambar xxxxx Nama Produk xxxxx Kode Produk xxxxx No x Tambah [+] Produk ADMIN