• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi kasus gambaran pengaruh sistem sekolah terhadap perilaku kenakalan siswa di sekolah X - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Studi kasus gambaran pengaruh sistem sekolah terhadap perilaku kenakalan siswa di sekolah X - USD Repository"

Copied!
158
0
0

Teks penuh

(1)

i SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh :

Fera Elsarina Naipospos NIM : 069114020

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)

iv

Kamu tidak akan pernah bisa menyeberangi lautan

apabila takut melupakan pantai

(Christopher Columbus)

Di setiap hembusan nafasmu, ingat selalu ada doa Mama disitu...

(5)

v

Tuhan Allah Bapaku yang Maha Penyabar,

Papa, Mama, Adik-adikku,

Seluruh Keluarga besar,

Teman bertukar pikiran Rafael

Segenap Dosen dan seluruh warga Fakultas Psikologi

Teman-teman angkatan 2006

almamater kebanggaanku

(6)
(7)

vii

Fera Elsarina Naipospos

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan ingin memahami kasus kenakalan remaja berdasarkan situasi yang alamiah dan sesuai dengan konteks dimana peristiwa itu terjadi sehingga dapat diperoleh gambaran menyeluruh mengenai pengaruh sistem sekolah terhadap perilaku kenakalan siswa di sekolah X. Narasumber dalam penelitian ini terdiri atas guru BK, guru mata pelajaran, anggota komite sekolah dan siswa. Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif deskriptif dengan desain studi kasus. Sedangkan data penelitian diperoleh dari proses wawancara, observasi dan dokumentasi data berupa catatan konseling serta transkrip nilai rapot salah satu narasumber siswa. Kemudian proses pengolahan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara analisis tematik sehingga dapat mengarah pada pengembangan konsep yaitu mendapat data konkrit berupa kata kunci, tema, kategori, hubungan antar kategori serta mengembangkan teori. Tema–tema yang muncul dalam penelitian ini antara lain : adanya peluang ketidakdisiplinan, guru memberi contoh yang kurang baik, sistem kepemimpinan kepala sekolah, dampak sistem sekolah yang kurang maksimal, faktor penyebab kenakalan di sekolah, perwujudan sistem sekolah, adanya tuntutan pekerjaan dalam sistem, dan ketidakdisiplinan di dalam sekolah.

(8)

viii ABSTRACT

This study aims to understand the case of juvenile delinquency based on the natural situation and in accordance with the context in which it happened so as to obtain an overall picture of the school system influence the behavior of students in X delinquency school. Resource persons in this study consisted of teachers BK, subject teachers, school committee members and students. The research method used is descriptive qualitative approach to the design case studies. While the research data obtained from the interviews, observation and documentation of data in the form of counseling records and transcripts report one student speaker. Then the data processing in the study done by the thematic analysis that could lead to the development of the concept of getting concrete data in the form of keywords, themes, categories, relationships between categories and developing theory. The themes that emerged in this study include: the opportunity indiscipline, teachers gave examples of poor, school leadership system, the impact of the school system less than the maximum, the factors causing mischief at school, school system embodiment, the demands of work in the system, and indiscipline in schools.

(9)
(10)

x

penyertaan yang diberikan selama pengerjaan skripsi. Penulis menyadari banyak orang telah menjadi inspirasi selama pengerjaan skripsi. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih pada beberapa orang tersebut, yakni :

1. Sylvia Carolina MYM, S.Psi, M.Si. selaku Dosen Pembimbing Skripsi atas pengertian, waktu, energi, pembelajaran, dan tentunya doa selama pengerjaan skripsi.

2. Ibu Dr. Ch. Siwi Handayani. S.Psi., M.Si. selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

3. Bapak Prof. Dr. Augustinus Supratiknya selaku Dosen Pembimbing Akademik semester I-VIII atas pendampingannya selama ini.

4. Ibu Agnes Indar Etikawati S.Psi. Psi. M.Si. atas kepercayaan dan bimbingan ketika penulis menjadi Asisten Mata Kuliah Tes Proyektif TAT / CAT.

5. Seluruh Dosen Fakultas Psikologi atas pendidikan dan bimbingan selama penulis menjalankan masa studi.

6. Karyawan Fakultas Psikologi (Mas Muji, Mas Doni, Mbak Nanik, Mas Gandung dan Pak Gi) dan seluruh karyawan di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Terima kasih atas bantuan selama masa kuliah dan selama pengerjaan skripsi. 7. Semua teman-teman dalam berbagai kepanitian yang ada di Fakultas Psikologi

(11)

xi

Nita, Wayan, Coro, Adit, Satria, Windy, Berto, Aji, Liem, Herman, Tante, Mami, Endy, Piping, Wulan, Made, Wandan, Ely, Ike, Riani, Jina, Chris, Bruder Pras, Yoga, Erisa, Mia, Tari, Dita, Sha-Sha, Timo, Ance, Andin, Thea, Nita Sinaga, Tya, Melida, Lingga, Spy, Brijit, Jeny Wulandari, Hayu, Ayu, Manto, Guntur, Lisa “Mumun” dan semua teman-teman angkatan 2006. Keberadaan kalian membuat masa-masa kuliah menjadi indah dan selalu kompak.

10. Kakak-kakak angkatan yang banyak membantu selama ini Mas Koen, Mbak Jesy, Mbak Matilda, Mbak Tyas (asisten kognitif), Mbak Asti (asisten grafis), Mbak Fera (asisten TAT), Mbak Galuh, Mbak Ucik, Mas Bagwan, Ko Ronald atas pinjaman bukunya, Mas Alit, Bang Printa, serta mas dan mbak lainnya yang belum disebut, terima kasih atas keceriaannya selama ini.

11. Anak-anak kos putri “Ayu” Mbak Ocha, Mbok Esi, Mbok Eva, Mbok Ulik, Mbak Dewi, Mbak Desty, Mbak Tika, Mbak Tya, Mbak Rizka, Teta, Nuri, Dek Anggi Gendut, Dek Nisa, Dek Gita, Dek Anggita, Astie, Mbok Devi, Gek Ayu, Dini, Mbak Dwi, Tata, Mbak Vita, Mbak Ika, Mayang, Mas Sugi, Mas Mail, Mas Susilo dan semua mantan anak kos yang udah pada pindah.

(12)

xii

13. Tak lupa penulis mengucapkan terimakasih pada pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Penulis menyadari keterbatasan dalam penelitian. Oleh karenanya, penulis terbuka akan kritik, saran, dan informasi tambahan guna membuat penelitian ini lebih baik.

Yogyakarta, 2011

(13)

xiii

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN... ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

HALAMAN MOTTO... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... vi

ABSTRAK... vii

ABSTRACT... viii

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH... ix

KATA PENGANTAR... x

DAFTAR ISI... xiii

DAFTAR TABEL ... xvii

DAFTAR GAMBAR... xviii

DAFTAR LAMPIRAN... xix

BAB I. PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Rumusan Masalah... 5

C. Tujuan Penelitian... 5

(14)

xiv

2. Bentuk-Bentuk Kenakalan Remaja... 7

3. Karakteristik Remaja yang Nakal... 8

4. Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Nakal... 10

5. Latarbelakang Penyebab Terjadinya Kenakalan Remaja... 11

B. Kontrol Sosial... 14

1. Pranata Sosial... 14

2. Problema Sosial... 16

C. Remaja... 17

1. Pengertian Remaja... 17

2. Perkembangan Remaja... 18

3. Tugas-tugas Perkembangan Remaja... 21

D. Sistem Sekolah... 22

1. Pengertian Sistem... 22

2. Karakteristik Sistem... 23

3. Pengertian Sekolah... 23

4. Karakteristik Sekolah... 24

5. Kepala Sekolah Sebagai Bagian dari Sistem... 25

(15)

xv

A. Pendekatan Penelitian... 38

B. Batasan Kasus... 39

C. Subyek Penelitian... 40

D. Metode Pengumpulan Data... 41

1. Teknik Wawancara... 41

2. Teknik Observasi... 44

3. Dokumentasi Data... 45

E. Teknik Analisis Data... 46

1. Reduksi Data... 46

2. Penyajian Data... 47

3. Menarik Kesimpulan... 47

F. Kredibilitas Data... 48

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN... 50

A. Gambaran Setting Penelitian... 50

B. Hasil Penelitian... 55

1. Adanya Peluang Ketidakdisiplinan... 55

2. Guru Memberi Contoh Kurang Baik... 56

(16)

xvi

7. Adanya Tuntutan Perkerjaan dalam Sistem... 60

8. Ketidakdisiplinan dalam Sistem Sekolah... 60

C. Pembahasan... 62

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN... 68

A. Kesimpulan... 68

B. Keterbatasan Penelitian... 69

C. Saran... 70

DAFTAR PUSTAKA... 71

(17)

xvii

(18)
(19)

xix

Lampiran 2 Wawancara Korban... 78

Lampiran 3 Wawancara Narasumber Siswa Bermasalah... 80

Lampiran 4 Wawancara Orangtua Narasumber... 86

Lampiran 5 Wawancara Latarbelakang Keluarga Narasumber Siswa... 88

Lampiran 6 Catatan Proses Konseling... 89

Lampiran 7 Catatan Kejadian Konseling... 95

Lampiran 8 Rangkuman Konseling... 98

Lampiran 9 Observasi Lapangan... 101

Lampiran 10 Deskripsi Observasi Sekolah... 106

Lampiran 11 Wawancara Guru BK 2... 111

Lampiran 12 Wawancara Anggota Komite Sekolah... 116

Lampiran 13 Wawancara Guru... 125

Lampiran 14 Surat Keterangan Penelitian... 139

(20)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Kenakalan remaja belakangan ini merupakan salah satu dari sekian banyak masalah sosial yang semakin merebak di kalangan masyarakat. Masalah sosial sering juga dikaitkan dengan masalah perilaku menyimpang dan bahkan pelanggaran hukum atau tindak kejahatan. Kenakalan remaja tidak hanya berbentuk perilaku bolos sekolah, mencuri kecil-kecilan, tidak patuh pada orang tua, tetapi dapat pula mengarah pada tindakan kriminal seperti, perkelahian antar pelajar atau tawuran yang menyebabkan kematian, perkosaan, pembunuhan dan lain-lain.

Pelaku kenakalan pada umumnya adalah para remaja yang belum matang secara emosional dan berada pada masa pencarian identitas sehingga menyebabkan remaja cenderung sulit untuk dikontrol dan terkesan liar (Santrock, 2002). Banyak pihak menganggap bahwa perilaku kenakalan remaja disebabkan oleh pola pengasuhan dalam keluarga yang kurang baik, namun perlu disadari bahwa remaja juga berinteraksi secara luas di lingkungan sosialnya. Lingkungan keluarga bisa menjadi salah satu penyebab kenakalan remaja, namun penyebab lain yang dapat saling mempengaruhi adalah pola pergaulan, karakteristik remaja itu sendiri, lingkungan tempat tinggal dan tidak lupa lingkungan sekolah.

(21)

Lingkungan keluarga yang cenderung kurang perhatian terhadap anak dapat menjadi salah satu penyebab timbulnya perilaku nakal. Akan tetapi karakteristik dari diri remaja yang mudah terpengaruh oleh pola pergaulan yang kurang baik pun menjadi penyebab lain terjadinya kenakalan remaja. Adapun karakteristik diri remaja yang suka melakukan tindak kenakalan diantaranya adalah memiliki fisik yang lebih kuat, memiliki emosi yang lebih labil, kurang memiliki kontrol diri serta rasa tanggunjawab terhadap diri sendiri, pada umumnya menyukai tantangan, memikirkan kesenangan sesaat dan lain sebagainya (Kartono, 2003).

Soerjono Soekanto dalam (Herimanto & Winarno, 2010 : 192) mengatakan bahwa setiap masyarakat memiliki sejumlah norma-norma yang menyangkut kesejahteraan, kebendaan, kesehatan, dan penyesuaian terhadap lingkungan sosial. Penyimpangan terhadap norma-norma tersebut memunculkan gejala abnormal yang mengarah pada terciptanya problema sosial yang salah satunya karena adanya faktor kebudayaan sehingga dapat menimbulkan tindak kenakalan anak. Oleh sebab itu, apabila lingkungan sekolah tidak kondusif dan kurang mampu menjalankan sistem dengan baik maka perilaku kenakalan dapat terjadi terutama di lingkungan sekolah karena remaja merasa tidak takut dan berani melawan aturan yang telah diberlakukan.

(22)

Winarno, 2010 : 190). Pranata adalah sistem norma atau aturan yang menyangkut suatu aktivitas masyarakat yang bersifat khusus. Sedangkan dalam tatanan kehidupan masyarakat Bali yang menjadi lokasi diadakannya penelitian, pranata lebih dikenal dengan istilah awig-awig desa adat. Tatanan kehidupan desa adat diatur oleh perangkat hukum yang dikenal dengan hukum adat. Adapun hukum adat atau awig-awig dibuat seperti halnya tujuan hukum yaitu untuk mewujudkan kedamaian dalam masyarakat atau suasana yang tertib secara fisik dan tentram secara batin (Windia, 2010 : 31).

Sekolah yang juga dapat berpotensi menjadi salah satu penyebab terjadinya perilaku kenakalan remaja, bagi sebagian orang menjadi tempat pendidikan sekunder yang setiap hari didatangi oleh remaja selain lingkungan rumah. Oleh sebab itu pengaruh sekolah diharapkan mampu membawa nilai positif bagi perkembangan jiwa remaja melalui pendidikan formal. Sebagai lembaga pendidikan, salah satu fungsi sekolah yaitu berkewajiban mengajarkan nilai-nilai dan norma-norma yang ada di masyarakat disamping mengajarkan berbagai keterampilan dan kepandaian kepada para siswanya (Sarwono, 1994 : 121).

(23)

sistem tidak dapat dijalankan dengan baik oleh sekolah, maka hal tersebut dapat menjadi salah satu penyebab munculnya tindakan kenakalan remaja yang terjadi di lingkungan sekolah antara lain membolos, mengganggu teman, tidak mendengarkan pelajaran, mencontek, memalak, dan lain sebagainya karena siswa merasa dapat bersikap seenaknya tanpa takut akan mendapatkan teguran yang tegas.

Karakteristik sekolah yang berada pada lingkungan desa adat juga menjadi situasi yang secara tidak langsung dapat mempengaruhi sistem karena sekolah memiliki keterikatan dengan nilai kebudayaan desa adat setempat (banjar) yaitu dalam hal kegiatan persembahyangan keagamaan, sehingga muncul harapan dari salah satu anggota komite sekolah sebagai penyambung aspirasi warga masyarakat bahwa ketika berhadapan dengan tindak kenakalan siswa sebaiknya pihak sekolah tidak melupakan nilai-nilai keagamaan yang mengajarkan kebaikan (dharma) serta turut memperhatikan kaidah hukum adat setempat (awig-awig).

(24)

mengenai pengaruh sistem sekolah terhadap perilaku kenakalan siswa di sekolah X.

B. RUMUSAN MASALAH

Bagaimana gambaran menyeluruh mengenai pengaruh sistem sekolah terhadap perilaku kenakalan siswa di sekolah X?

C. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan ingin memahami kasus kenakalan remaja berdasarkan situasi yang alamiah dan sesuai dengan konteks dimana peristiwa itu terjadi sehingga dapat diperoleh gambaran menyeluruh mengenai pengaruh sistem sekolah terhadap perilaku kenakalan siswa di sekolah X.

D. MANFAAT PENELITIAN

1. Manfaat Teoritis

a. Memberikan tambahan informasi yang sesuai dengan batasan konteks serta situasi yang melatarbelakangi timbulnya perilaku kenakalan remaja di sekolah.

(25)

2. Manfaat Praktis

(26)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. KENAKALAN REMAJA

1. Pengertian Kenakalan Remaja

Kenakalan remaja (juvenile delinquency) mengacu kepada suatu rentang perilaku yang luas, mulai dari perilaku yang tidak dapat diterima secara sosial seperti bertindak berlebihan di sekolah, melakukan pelanggaran seperti melarikan diri dari rumah hingga tindakan-tindakan kriminal seperti mencuri (Santrock, 2002 : 22). Sedangkan kenakalan remaja yang dimaksud oleh Sarwono (1994 : 200) adalah perilaku yang menyimpang dari atau yang melanggar aturan hukum.

Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa kecenderungan kenakalan remaja adalah mengacu pada perilaku atau tindakan yang melanggar aturan sehingga mengakibatkan kerugian terhadap diri sendiri maupun orang lain yang dilakukan oleh remaja.

2. Bentuk-Bentuk Kenakalan Remaja

Jensen dalam Sarwono (1994 : 200) membagi perilaku kenakalan remaja dalam 4 bentuk yaitu :

a. Kenakalan yang menimbulkan korban fisik pada orang lain: perkelahian, perkosaan, perampokan, pembunuhan, dan lain- lain.

(27)

b. Kenakalan yang menimbulkan korban materi: perusakan, pencurian, pencopetan, pemerasan dan lain- lain.

c. Kenakalan sosial yang tidak menimbulkan korban di pihak orang lain: pelacuran, penyalahgunaan obat, hubungan seks bebas.

d. Kenakalan yang melawan status, misalnya mengingkari status anak sebagai pelajar dengan cara membolos, minggat dari rumah, membantah perintah.

3. Karakteristik Remaja yang Nakal

Menurut Kartono (2003), remaja nakal itu mempunyai karakteristik umum yang sangat berbeda dengan remaja tidak nakal. Perbedaan itu mencakup:

a. Perbedaan struktur intelektual

Mereka kurang toleran terhadap hal-hal yang ambigu biasanya mereka kurang mampu memperhitungkan tingkah laku orang lain bahkan tidak menghargai pribadi lain dan menganggap orang lain sebagai cerminan dari diri sendiri.

b. Perbedaan fisik dan psikis

(28)

c. Karakteristik individual

Remaja yang nakal mempunyai sifat kepribadian khusus yang menyimpang seperti :

1) Rata-rata remaja nakal ini hanya berorientasi pada masa sekarang, bersenang-senang dan puas pada hari ini tanpa memikirkan masa depan.

2) Kebanyakan dari mereka terganggu secara emosional.

3) Mereka kurang bersosialisasi dengan masyarakat normal, sehingga tidak mampu mengenal norma-norma kesusilaan, dan tidak bertanggungjawab secara sosial.

4) Mereka senang menceburkan diri dalam kegiatan tanpa berpikir yang merangsang rasa kejantanan, walaupun mereka menyadari besarnya risiko dan bahaya yang terkandung di dalamnya.

5) Pada umumnya mereka sangat impulsif dan suka tantangan dan bahaya.

6) Hati nurani tidak atau kurang lancar fungsinya.

(29)

4. Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Nakal

Perilaku yang mendahului kenakalan remaja sebagaimana dijelaskan oleh Santrock (2002 : 24) adalah sebagai berikut :

a. Identitas

Erikson yakin apabila kenakalan remaja terjadi karena anak remaja gagal mengatasi identitas peran.

b. Pengendalian diri

Beberapa anak remaja gagal memperoleh pengendalian yang esensial yang pada umumnya dicapai orang lain selama proses pertumbuhan. c. Usia

Penampakan awal perilaku antisosial berkaitan dengan pelanggaran-pelanggaran serius di kemudian hari pada masa remaja. Akan tetapi tidak semua anak yang bertindak berlebihan menjadi anak nakal.

d. Jenis kelamin

Anak laki-laki banyak terlibat dalam perilaku antisosial daripada anak perempuan, walaupun anak-anak perempuan lebih cenderung melarikan diri dari rumah. Anak laki-laki banyak terlibat dalam tindakan-tindakan kejahatan.

e. Harapan dalam pendidikan dan nilai rapot sekolah

(30)

f. Pengaruh orangtua

Remaja nakal seringkali berasal dari keluarga-keluarga dimana orangtua jarang memantau anak-anak mereka, memberi sedikit dukungan, dan mendisiplinkan mereka secara tidak efektif.

g. Pengaruh teman sebaya

Bergaul dengan teman-teman sebaya yang nakal menambah besar resiko menjadi nakal.

h. Status sosioekonomi

Pelanggaran-pelanggaran yang serius lebih sering dilakukan oleh kaum laki-laki kelas rendah.

i. Kualitas lingkungan

Masyarakat seringkali membiakkan kejahatan. Tinggal di suatu daerah yang tingkat kejahatannya tinggi, yang juga dicirikan oleh kondisi-kondisi kemiskinan dan kehidupan yang padat, menambah kemungkinan bahwa seorang anak akan menjadi nakal. Masyarakat ini seringkali memiliki sekolah-sekolah yang sangat tidak memadai.

5. Latarbelakang Penyebab Terjadinya Kenakalan Remaja

(31)

perilaku kenakalan remaja yang menunjukkan bahwa (Puspitawati, 2009 : 90) :

a. Karakteristik remaja atau pelajar yang cenderung berperilaku nakal adalah pelajar yang berkepribadian terlalu maskulin danekstrovert(baik laki-Iaki maupun perempuan), keadaan psikologinya kurang baik (kurangnya esteem dan kecerdasan emosi), mengalami stres, bersikap dan berperilaku agresif, terlalu solider dan terikat dengan teman-teman yang bermasalah, bersekolah di SMK-TI terutama swasta, tinggal di Kabupaten Bogor dan bergabung dengan kelompok Basis (barisan siswa).

b. Karakteristik keluarga yang cenderung punya remaja nakal adalah ekonomi menengah ke bawah yang mempunyai tekanan ekonomi tinggi, keluarga yang bertempat tinggal di kabupaten, keluarga yang orangtuanya mempraktekkan pengasuhan dengan kecenderungan kasar dan keras, keluarga yang hubungan antar anggotanya tidak harmonis (tidak bahagia dan tidak puas), keluarga yang mempunyai hubungan antara orangtua dan anak yang cenderung kasar dan keluarga yang mempunyai komunikasi yang tidak terbuka dengan frekuensi yang mempunyai komunikasi dengan pihak sekolah sangat terbatas.

(32)

fasilitasnya terbatas dan tidak memadai terutama sarana dan prasarana olahraga, sekolah yang guru-gurunya tidak melakukan pembinaan dan pengawasan dengan baik serta jarang sekali melakukan home visit dan sekolah yang disiplinnya rendah.

Maka dari itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa temuan-temuan analisis yang telah dilakukan oleh Puspitawati menunjukkan adanya suatu kesalahan pada sistem-sistem yang ada, baik pada sistem keluarga, sistem lingkungan sekolah, dan sistem lingkungan di masyarakat. Sistem lingkungan keluarga, sistem lingkungan masyarakat dan sistem lingkungan sekolah menimbulkan munculnya tindak kenakalan pelajar. Hal ini membuktikan bahwa terdapat kontrol sosial (social control) yang lemah termasuk kontrol dari pihak pemerintah, sekolah, keluarga, dan masyarakat.

(33)

B. KONTROL SOSIAL

1. Pranata Sosial

Dalam suatu lingkungan sosial masyarakat, tiap individu maupun suatu lembaga akan diatur oleh berbagai aturan yang secara tidak langsung ikut mengatur tatanan kehidupan. Aturan-aturan maupun norma-norma yang ada di masyarakat akan secara sadar dipatuhi karena merupakan wujud kesepakatan antar warga untuk menjaga kerukunan dan kenyamanan. Aturan maupun norma yang ada tidak hanya yang resmi tertulis dan diatur oleh undang-undang, namun juga ada yang tidak tertulis tetapi sudah menjadi kesepakatan yang dijalankan oleh masing-masing individu secara turun-temurun. Maka dari itu, lokasi yang dijadikan tempat penelitian yaitu salah satu wilayah kecamatan yang ada di Bali juga memiliki tatanan aturan yang berhubungan dengan adanya desa adat di masing-masing wilayah. Aturan tersebut dikenal dengan istilah awig-awig desa adat yang memiliki tujuan untuk mewujudkan kedamaian dalam masyarakat yaitu suasana yang tertib secara fisik dan tentram secara batin (Windia, 2010 : 31).

Sedangkan dalam kehidupan bermasyakat secara umum, istilah

(34)

menyangkut aktivitas masyarakat yang bersifat khusus. Kehidupan masyarakat memiliki beragam pranata, semakin besar dan kompleks kehidupan masyarakat maka makin banyak jumlah pranata yang ada. Penggolongan pranata berdasarkan fungsinya untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia dibagi dalam beberapa ragam antara lain :

a. Pranata-pranata untuk memenuhi kebutuhan kehidupan kekerabatan, misal perkawinan, pengasuhan anak, pergaulan antar kerabat dan sistem istilah kekerabatan.

b. Pranata-pranata ekomoni antara lain pertanian, peternakan, barter, industri dan perbankan.

c. Pranata-pranata pendidikan misal model pendidikan, jenjang pendidikan, pers, pemberantasan buta aksara, dan perpustakaan.

d. Pranata-pranata ilmiah antara lain metodologi ilmiah, penelitian, dan pengukuran.

e. Pranata-pranata untuk memenuhi kebutuhan akan keindahan dan seni seperti olahraga, berbagai kesenian dan kesusastraan.

f. Pranata-pranata keagamaan sebagai kebutuhan manusia untuk berhubungan dengan Tuhan atau alam gaib. Misal upacara, semedi, bertapa, penyiaran agama, dan ilmu gaib.

(35)

h. Pranata-pranata untuk memenuhi kebutuhan akan kenyamanan hidup seperti pemeliharaan kecantikan, kebugaran, kesehatan, dan kedokteran.

2. Problema Sosial

Adanya aturan atau pranata sosial di dalam masyarakat, tidak pula menjamin bahwa kehidupan dapat berjalan dengan teratur dan tertib sebab pada kenyataannya masing-masing individu memiliki pemikiran serta batas tanggungjawab yang berbeda-beda. Oleh sebab itu, di dalam masyarakat sosial pastinya akan muncul permasalahan dan problema sosial yang harus menjadi fokus pemikiran bersama.

(36)

a. Problema sosial karena faktor ekonomi seperti kemiskinan, kelaparan dan pengangguran.

b. Problema sosial karena faktor biologis seperti wabah penyakit.

c. Problema sosial karena faktor psikologis seperti bunuh diri, sakit jiwa dan disorganisasi.

d. Problema sosial karena faktor kebudayaan seperti perceraian, kejahatan, kenakalan anak, konflik ras, dan konflik keagamaan.

C. REMAJA

1. Pengertian remaja

Remaja atau dikenal dengan istilah adolescence berasal dari kata Latin adolescere (kata bendanya adolescentia yang berarti remaja) yang berarti “tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa”. Istilah adolescence yang sering digunakan saat ini mempunyai arti yang lebih luas mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik (Hurlock 1997 : 206).

Piaget (dalam Hurlock, 1997 : 206) mengatakan bahwa secara psikologis masa remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia dimana anak tidak lagi merasa di bawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak.

(37)

perubahan-perubahan yang sangat cepat, baik dari segi fisik, psikis dan psikososial. Perkembangan remaja yang sering disebut sebagai masa “topan dan badai” memang kerapkali menimbulkan ketidakstabilan dari waktu ke waktu sebagai suatu konsekuensi dari penyesuaian diri pada pola perilaku serta harapan sosial yang baru. Hal ini berkaitan dengan tugas perkembangan remaja yang harus dilaluinya dan merupakan masa tersulit sebab remaja harus bisa bahkan dituntut untuk dapat menyesuaikan diri dengan orang-orang dewasa di luar lingkungan rumah serta lingkungan sekolahnya.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa masa remaja adalah masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa dengan adanya perubahan-perubahan yang sangat cepat dari segi fisik, psikis dan psikososial.

2. Perkembangan Remaja

a. Aspek Fisik

(38)

haid pada wanita dan mimpi basah pada laki-laki) dan tanda-tanda seksual sekunder yang tumbuh.

b. Aspek Kognitif

Menurut Piaget (dalam Santrock, 2002 : 10) pemikiran operasional formal berlangsung antara usia 11 sampai 15 tahun. Pemikiran operasional formal lebih abstrak, idealis, dan logis daripada pemikiran operasional konkret. Piaget menekankan bahwa remaja terdorong untuk memahami dunianya karena tindakan yang dilakukannya termasuk penyesuaian diri biologis. Secara lebih nyata mereka mengaitkan suatu gagasan dengan gagasan lain. Mereka bukan hanya mengorganisasikan pengamatan dan pengalaman akan tetapi juga menyesuaikan cara berfikir mereka untuk menyertakan gagasan baru karena informasi tambahan membuat pemahaman lebih mendalam.

(39)

sosial. Hal ini menekankan pentingnya interaksi sosial dan budaya dalam perkembangan kognitif remaja.

c. Aspek Sosial

Santrock (2002) mengungkapkan bahwa pada transisi sosial, remaja mengalami perubahan dalam hubungan individu dengan manusia lain yaitu dalam emosi, dalam kepribadian, dan dalam peran dari konteks sosial dalam perkembangan. Membantah orangtua, serangan agresif terhadap teman sebaya, perkembangan sikap asertif, kebahagiaan remaja dalam peristiwa tertentu serta peran gender dalam masyarakat merefleksikan peran proses sosial-emosional dalam perkembangan remaja. John Flavell (dalam Santrock, 2002) juga menyebutkan bahwa kemampuan remaja untuk memantau kognisi sosial mereka secara efektif merupakan petunjuk penting mengenai adanya kematangan dan kompetensi sosial mereka.

(40)

Collins (dalam Santrock, 2002 : 42) menyimpulkan bahwa banyak orangtua melihat remaja mereka berubah dari seorang anak yang selalu menurut menjadi seseorang yang tidak mau menurut, melawan, dan menantang standar-standar orangtua. Bila ini terjadi, orangtua cenderung berusaha mengendalikan dengan keras dan memberi lebih banyak tekanan kepada remaja agar mentaati standar-standar orangtua.

Berdasarkan uraian tersebut, maka peneliti menyimpulkan bahwa proses perkembangan remaja meliputi masa transisi biologis yaitu pertumbuhan dan perkembangan fisik. Transisi kognitif yaitu perkembangan kognitif remaja pada lingkungan sosial dan juga proses sosio-emosional dan yang terakhir adalah masa transisi sosial yang meliputi hubungan dengan orangtua, teman sebaya, serta masyarakat sekitar.

3. Tugas-tugas Perkembangan Remaja

Havinghurst membagi tugas-tugas perkembangan remaja menjadi lima, yaitu (Zulkifli, 1992 : 76) :

a. Bergaul dengan teman sebaya dari kedua jenis kelamin b. Mencapai peranan sosial sebagai pria dan wanita c. Menerima keadaan fisik sendiri

d. Memilih dan mempersiapkan lapangan pekerjaan

(41)

D. SISTEM SEKOLAH

1. Pengertian Sistem

Pengertian sistem dalam kamus besar bahasa Indonesia (1995 : 950) adalah susunan perangkat yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas. Dalam dunia pendidikan, sistem menjadi satu kesatuan komponen yang saling berkaitan dan saling berinteraksi untuk mencapai suatu hasil yang diharapkan secara optimal sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan, seperti halnya siswa, guru, kepala sekolah, gedung, sarana dan prasarana merupakan bagian dari sistem sekolah.

(42)

2. Karakteristik Sistem

Terdapat tiga hal penting yang menjadi karakteristik suatu sistem, pertama setiap sistem pasti memiliki tujuan. Tujuan merupakan ciri utama dari suatu sistem karena tidak ada sistem tanpa tujuan. Tujuan merupakan arah yang harus dicapai oleh suatu pergerakan sistem. Semakin jelas tujuan maka semakin mudah menentukan pergerakan sistem. Kedua,sistem selalu mengandung suatu proses. Proses adalah rangkaian kegiatan yang diarahkan untuk mencapai tujuan. Semakin kompleks tujuan, maka semakin rumit juga proses kegiatan. Ketiga, proses kegiatan dalam suatu sistem selalu melibatkan dan memanfaatkan berbagai komponen atau unsur-unsur tertentu. Oleh sebab itu, suatu sistem tidak mungkin hanya memiliki satu komponen saja. Sistem memerlukan dukungan berbagai komponen yang satu sama lain saling berkaitan (Pengertian dan kegunaan sistem pendidikan, 2011).

3. Pengertian Sekolah

(43)

menerima dan memberi pelajaran dalam hal dagang, guru, teknik, pertanian, dan sebagainya. Beberapa kalangan juga mengartikan bahwa sekolah merupakan tempat menuntut ilmu pengetahuan dan pengajaran untuk memperoleh kepandaian atau tujuan tertentu.

4. Karakteristik Sekolah

Karakteristik sekolah yang cenderung mempunyai pelajar nakal adalah sekolah yang jumlah muridnya banyak dengan rasio guru / murid yang rendah, sekolah yang fasilitasnya terbatas dan tidak memadai terutama sarana dan prasarana olahraga, sekolah yang guru-gurunya tidak melakukan pembinaan dan pengawasan dengan baik serta jarang sekali melakukan home visit, dan sekolah yang disiplin siswanya rendah (Puspitawati, 2009 : 91).

(44)

5. Kepala Sekolah Sebagai Bagian dari Sistem

Kepala sekolah merupakan pimpinan tertinggi di sebuah lembaga pendidikan yang dipilih oleh dinas terkait. Sebagai seorang pemimpin, peran kepala sekolah secara tidak langsung berpengaruh pada pertumbuhan prestasi belajar siswa. Hal ini berhubungan dengan adanya kepuasan guru terhadap pelaksanaan peranan profesional seorang kepala sekolah sehingga berdampak pula pada kinerja guru dalam mengajar. Dengan melakukan perbaikan sistem sekolah serta melalui penataan dan praktek pembelajaran, kepemimpinan seorang kepala sekolah lebih bersifat transaksional yang dicirikan dengan adanya pemenuhan kebutuhan guru dan murid berdasarkan tujuan sekolah yang telah disepakati bersama (Sulistyorini, 2009).

Selain itu kepala sekolah adalah guru yang diberikan tambahan tugas struktural, dengan demikian jika masa tugas selesai maka dengan sendirinya akan kembali sebagai guru sepenuhnya. Seorang kepala sekolah juga merupakan birokrat, atasan, kepanjangan tangan departemen pendidikan atau yayasan sehingga perlu disadari bahwa kepala sekolah juga menjadi

(45)

kurikulum dan aneka kebijakan secara tepat serta kreatif-inovatif sesuai situasi dan kondisi setempat (Kartono, 2009 : 20).

Kewajiban serta tanggungjawab seorang kepala sekolah sebagaimana yang telah dipaparkan di atas sangatlah tidak mudah. Banyak beban dan harapan yang secara tidak langsung ditujukan padanya melalui pihak sekolah. Kepemimpinan seorang kepala sekolah yang juga merangkap sebagai guru pada dasarnya memiliki kesamaan dengan tugas seorang manajer di suatu perusahaan yang bertugas menjadi pemimpin dan mengatur anak buahnya. Maka dari itu, kepala sekolah sepatutnya memperhatikan tugas-tugasnya sebagai berikut (Yukl, 2005 : 34) :

a. Sebagai Supervisi

Kepala sekolah wajib memperbaiki kinerja bawahannya dengan bekerjasama untuk menganalisis kekuatan dan kelemahan mereka, memberikan pelatihan, mengembangkan keterampilan, merencanakan pekerjaan, dan menetapkan sasaran prestasi.

b. Sebagai Perencana

(46)

c. Sebagai Pembuat Keputusan / Kebijakan

Kepala sekolah membuat suatu keputusan tanpa ragu dalam situasi yang tidak terstruktur, memberi kewenangan untuk membuat penyimpangan kecil maupun besar terhadap prosedur yang telah ditetapkan untuk memenuhi keadaan baru dan tidak biasa.

d. Sebagai Pemantau

Kepala sekolah memantau kekuatan internal dan eksternal yang dapat mempengaruhi termasuk indikator tentang kinerja, keuangan dan aset sekolah serta suasana budaya dan sosial di sekitar sekolah.

e. Sebagai Pengendali

Kepala sekolah mengembangkan rencana kerja dan perkiraan biaya serta waktu untuk menyampaikan suatu produk jasa pendidikan, menelusuri produktivitas, memastikan kinerja serta menganalisis efektivitas operasional sekolah.

f. Sebagai Pemberi Penjelasan

Kepala sekolah wajib menjawab pertanyaan dan menanggapi keluhan dari pihak luar, berkomunikasi dengan pihak luar untuk memajukan hubungan, bernegosiasi dengan pihak luar, menjaga citra lembaga sehingga tetap mendapatkan kepercayaan.

g. Sebagai Koordinator

(47)

sebelumnya, menyelesaikan persoalan dan mencapai tujuan, mempertahankan hubungan baik dengan lembaga lain serta menengahi kesalahpahaman dan konflik yang muncul diantara individu.

h. Sebagai Konsultan

Kepala sekolah selalu mengikuti perkembangan teknologi yang sedang terjadi dalam bidang tertentu, memperkenalkan teknik-teknik atau teknologi baru ke dalam sekolah dan bertindak sebagai penasehat, konsultan bagi bawahan.

i. Sebagai Administrasi

Kepala sekolah melakukan aktivitas administrasi dasar seperti mencari informasi mengenai praktek serta prosedur sekolah, menganalisis informasi rutin atau menyelenggarakan arsip dan dokumen yang terperinci serta akurat.

E. Gambaran Sekolah X

(48)

Untuk standar sekolah yang berada di kecamatan / desa, sekolah X termasuk sekolah yang memiliki sarana dan prasarana yang tidak kalah lengkapnya dengan sekolah menengah pertama yang berada di kabupaten. Para orangtua yang notabene banyak berasal dari tingkat ekonomi menengah ke bawah dapat terbantu dengan adanya program BOS (Biaya Operasional Sekolah) sehingga uang sekolah anak-anaknya pun ditanggung oleh pemerintah pusat. Selain keringanan tersebut, sekolah pun menawarkan kegiatan ekstrakurikuler yang didukung pula dengan adanya ketersediaan sarana sekolah yang cukup memadai seperti laboraturium fisika dan biologi, lapangan basket, UKS, koperasi sekolah, kantin, ruang belajar, perpustakaan yang cukup lengkap serta dilengkapi dengan adanya internet yang sekaligus menjadi ruang multimedia, dan tempat persembahyangan yang disebut dengan “padmasana” karena mayoritas warga sekolahnya adalah umat Hindu. Akan tetapi kelengkapan sarana tersebut tidak disertai dengan pemeliharaan yang baik sebab ruang multimedia dan internet yang disediakan selama ini dalam kondisi rusak sehingga tidak dapat dipergunakan untuk belajar.

(49)

penjagaan yang ada di depan pintu gerbang sekolah sudah cukup membantu. Akan tetapi hal tersebut tidak begitu saja mampu dijalankan dengan baik sebab beberapa siswa yang suka membolos masih bisa meloncati tembok sekolah yang jauh dari pengawasan guru dan pos penjagaan satpam.

Sebenarnya dengan adanya tata tertib tersebut, semua pihak mengharapkan seluruh warga sekolah dapat saling mengingatkan dan menuntun perilaku antar individu melalui pemberian sanksi-sanksi yang berlaku dan cukup mengikat. Akan tetapi dalam pelaksananaannya masih mengalami beberapa hambatan sehingga sekolah X yang bertujuan ingin meningkatkan mutu pendidikan membuat program berupa visi, misi serta kode etik siswa yang diharapkan dapat memunculkan semangat kebersamaan antara lain :

Visi : Sekolah X selalu berpacu dalam prestasi. Misi : Unggul dalam perolehan “NEM”

Unggul dalam lomba-lomba akademik dan non akademik Unggul dalam kegiatan spiritual

Kode Etik Siswa :

Standar etika siswa adalah standar perilaku yang baik yang mencerminkan ketinggian akhlak dan ketaatan terhadap norma-norma etik yang hidup dalam masyarakat meliputi :

1. Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai agama dan kepercayaan yang dianut.

(50)

3. Menjunjung tinggi kebudayaan nasional. 4. Menjaga kewibawaan dan nama baik sekolah.

5. Secara aktif ikut memelihara sarana dan prasarana sekolah serta menjaga kebersihan, ketertiban dan keamanan.

6. Menjaga integritas pribadi sebagai warga sekolah. 7. Mentaati peraturan dan tata tertib sekolah.

8. Berpenampilan rapi dan sopan.

9. Berperilaku ramah dan menjaga sopan santun terhadap orang lain. 10. Menghormati orang lain tanpa membedakan suku, agama, ras dan status

sosial.

11. Taat terhadap norma hukum dan norma lainnya yang hidup di tengah masyarakat.

12. Menghargai pendapat orang lain.

13. Bertanggungjawab dalam perbuatannya.

14. Menghindari perbuatan yang tidak bermanfaat dan atau bertentangan dengan norma hukum dan norma lainnya yang hidup di tengah masyarakat.

(51)

Kekhasan dari peraturan sekolah yang ada di Bali adalah dalam hal melakukan persembahyangan atau tri sandya bersama di dalam kelas sebelum jam pelajaran berlangsung. Kegiatan persembahyangan tersebut diatur dalam salah satu butir tata tertib sekolah yang mengatur tentang perilaku siswa di dalam lingkungan sekolah. Isi dari peraturan ini dengan jelas menyebutkan bahwa sebelum pelajaran dimulai, semua siswa harus berdoa atau sembahyang sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing. Bagi siswa yang beragama Hindu akan dipimpin oleh salah satu teman di depan kelas untuk sembahyang bersama, sedangkan bagi yang beragama lain pun mengikuti sikap berdiri selama sembahyang sambil berdoa sesuai kepercayaannya. Apabila siswa yang beragama lain sudah selesai berdoa, diharapkan tidak mengganggu teman-teman yang lain maupun teman-teman yang masih membaca doa di dalam kelas.

(52)

menyebabkan harus diberlakukannya pembagian jam masuk sekolah di pagi dan siang hari.

Jumlah murid sebanyak 1055 orang dan 16 ruang kelas yang tidak seimbang menjadi masalah lain yang ada di sekolah X sebab pada kenyataannya jumlah guru keseluruhan 79 orang juga tidak seimbang dengan jumlah murid yang berakibat beberapa guru memiliki jam mengajar yang penuh, sedangkan guru-guru yang sudah sertifikasi justru tidak memenuhi jam mengajar yang seharusnya. Permasalahan ini kurang mendapat perhatian dari kepala sekolah sebagai seorang pemimpin sebab kepala sekolah terkesan lebih mencari keuntungan finansial dengan menerima banyak siswa tanpa memperhatikan aturan serta kesepakatan dengan sekolah lain untuk membagi kuota penerimaan siswa baru.

F. Pengaruh Sistem Sekolah terhadap Perilaku Kenakalan Siswa di Sekolah

(53)

namun beberapa diantaranya menjurus ke dalam perilaku kriminalitas misal tawuran antar pelajar yang menelan korban jiwa dan bahkan tindak pembunuhan serta seks bebas.

Peristiwa tersebut menjadi sangat memprihatinkan sebab terkadang orangtua maupun sekolah tidak mengetahui apabila siswanya mencoba melakukan tindak kenakalan, baik di dalam lingkungan rumah maupun sekolah ataupun di luar lingkungan tersebut. Hal ini bisa terjadi karena kedua sistem yang saling terkait tersebut terkadang kurang mampu menjalin komunikasi dengan baik sebab merasa bahwa sistem pendidikan yang telah mereka ajarkan kepada anak telah sesuai dengan aturan dan merasa sudah dijalankan dengan baik. Sekolah yang juga dapat berpotensi menjadi salah satu penyebab terjadinya perilaku kenakalan remaja, bagi sebagian orang menjadi tempat pendidikan sekunder yang setiap hari didatangi oleh remaja selain lingkungan rumah. Oleh sebab itu pengaruh sekolah diharapkan mampu membawa nilai positif bagi perkembangan jiwa remaja melalui pendidikan formal (Sarwono, 1994 : 121). Dengan demikian kerjasama antara orangtua dengan sekolah diharapkan dapat lebih baik dan saling terbuka dalam menyampaikan informasi dua arah yang berkaitan mengenai diri remaja yang ada di bawah pengawasan mereka.

(54)

lingkungan tersebut. Selain itu terkadang lingkungan keluarga dan sekolah mempraktekkan pola asuh atau pola pengajaran yang keras terhadap remaja sehingga akhirnya muncul penolakan dan perlawanan dari para remaja yang memiliki kecenderungan lebih agresif, lebih berani, dan tidak takut akan adanya pemberlakuan hukuman. Akan tetapi terkadang lingkungan sosial maupun pola pergaulan juga dapat saling mempengaruhi sebab remaja merasa mendapatkan kenyamanan yang tidak mereka peroleh di lingkungan rumah dan sekolah. Lingkungan sosial masyarakat yang menjadi tempat perlindungan bagi diri remaja akan selalu dapat mencuri perhatian sebab memiliki kemampuan untuk lebih memahami perkembangan remaja yang notabene berada pada masa transisi.

(55)

Lingkungan sekolah pastinya memiliki suatu sistem yang berlaku umum dan bertujuan untuk mengatur banyak kepentingan di dalamnya. Apabila sistem dapat dijalankan dengan baik maka akan diperoleh ketertiban serta keteraturan di dalam lingkungan sekolah. Termasuk dalam hal ini tindak kenakalan remaja dapat diminimalkan dengan adanya peraturan yang jelas. Namun apabila suatu sistem tidak dapat dijalankan dengan baik oleh sekolah, maka hal tersebut dapat menjadi salah satu penyebab munculnya tindakan kenakalan remaja yang terjadi di lingkungan sekolah antara lain membolos, mengganggu teman, tidak mendengarkan pelajaran, mencontek, memalak, dan lain sebagainya karena siswa merasa dapat bersikap seenaknya tanpa takut akan mendapatkan teguran yang tegas.

(56)

Gambar 1

Skema Teoritis

Kenakalan remaja

Sistem sekolah Remaja

Kepala sekolah sebagai bagian

dari sistem Tugas perkembangan

remaja Latarbelakang

penyebab kenakalan

Karakter remaja

Karakter keluarga

Karakter lingkungan

Kontrol sosial

(57)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. PENDEKATAN PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dengan desain penelitian studi kasus. Studi kasus merupakan sebuah eksplorasi dari suatu sistem yang terikat dari waktu ke waktu melalui pengumpulan data yang mendalam serta melibatkan berbagai sumber informasi yang kaya dalam suatu konteks. Sistem terikat yang dimaksudkan yaitu diikat oleh waktu dan tempat sedangkan kasus dapat dikaji dari suatu program, peristiwa, dan aktivitas dari suatu individu. Dengan kata lain peneliti menggali suatu kasus dalam waktu tertentu serta mengumpulkan informasi terinci dan mendalam dengan menggunakan berbagai prosedur pengumpulan data (Creswell, 1998).

Creswell mengungkapkan bahwa konteks kasus dapat “mensituasikan” kasus di dalam settingnya yang terdiri dari setting fisik maupun setting sosial, sejarah atau setting ekonomi. Sedangkan fokus di dalam suatu kasus dapat dilihat dari keunikannya sehingga memerlukan studi intrinsik (intrinsic case study) sebab hal-hal yang menarik untuk dipelajari berasal dari kasus itu sendiri atau dapat dikatakan mengandung minat intrinsik (intrinsic interest). Pada dasarnya, studi kasus yang sifatnya unik dan kualitatif tidak dapat diukur dengan parameter yang digunakan dalam penelitian kuantitatif yang bertujuan untuk mencari generalisasi.

(58)

B. BATASAN KASUS

Dalam sebuah penelitian diperlukan batasan kasus agar tidak mengaburkan fokus penelitian yang akan diteliti. Batasan kasus dapat dilihat dari aspek waktu, proses dan peristiwa (Creswell, 1998) sehingga dalam penelitian ini kemudian dibatasi hanya untuk memahami kasus kenakalan remaja berdasarkan situasi yang alamiah dan sesuai dengan konteks dimana peristiwa itu terjadi sehingga dapat diperoleh gambaran menyeluruh mengenai pengaruh sistem sekolah terhadap perilaku kenakalan siswa di sekolah X. Adapun narasumber yang terlibat dalam proses wawancara adalah bagian dari sistem sekolah yang tidak dapat terlepas satu dengan lainnya yaitu guru, murid, kepala sekolah dan sarana serta prasarana sekolah yang dapat terlihat melalui proses observasi lapangan.

(59)

kepentingan studi saja dan tidak akan disebarkan dengan cara menuliskan data pribadi hanya dalam bentuk inisial nama serta inisial sekolah.

C. SUBJEK PENELITIAN

Untuk memperoleh informasi yang diperlukan, maka narasumber penelitian dipilih sesuai tujuan yang hendak dicapai. Tujuan dari penelitian ini adalah ingin memahami kasus kenakalan remaja berdasarkan situasi yang alamiah dan sesuai dengan konteks dimana peristiwa itu terjadi sehingga dapat diperoleh gambaran menyeluruh mengenai pengaruh sistem sekolah terhadap perilaku kenakalan siswa di sekolah X. Unsur-unsur yang menjadi bagian dari sistem sekolah diantaranya adalah siswa, guru, kepala sekolah, gedung, sarana dan prasarana (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1995 : 950). Tidak ada aturan pasti dalam jumlah subjek yang harus diambil dalam penelitian kualitatif dan sangat bergantung pada apa yang ingin diketahui oleh peneliti, tujuan penelitian, konteks saat itu, apa yang dianggap bermanfaat serta apa yang dapat dilakukan dengan waktu dan sumberdaya yang tersedia (Patton dalam Poerwandari 2001).

(60)

mengenai prestasi yang pernah diukir serta masa jabatan beliau di sekolah X sebagai tambahan argumentasi dari pihak kepala sekolah.

D. METODE PENGUMPULAN DATA

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi, wawancara, dan dokumen / hasil catatan perilaku salah satu siswa yang menjadi narasumber sebagai data tambahan penelitian.

1. Teknik Wawancara

Wawancara adalah percakapan dengan bertatap muka dengan tujuan untuk memperoleh informasi aktual, untuk menilai dan menarik kesimpulan kepribadian individu, untuk tujuan konseling atau penyuluhan dan tujuan terapeutis. Dalam proses wawancara ada dua pihak yang menempati kedudukan yang berbeda yaitu pewawancara (interviewer) sebagai pengejar informasi atau yang mengajukan pertanyaan dan pihak yang diwawancarai (interviewee) sebagai pemberi informasi atau yang memberikan jawaban atas pertanyaan yang diajukan tersebut (Kartono, 1996 : 187).

(61)

kegiatan wawancara dan jawaban dari seluruh informasi dibuat dalam catatan lapangan. Supaya data yang diperoleh dalam penelitian ini sesuai dengan harapan maka langkah yang ditempuh dalam mengadakan wawancara (interview) adalah :

a. Mempersiapkan hal-hal yang akan diungkap. Peneliti mencari informasi dari berbagai sumber mengenai motif dan latar belakang melakukan tindak bullying yang akhirnya terbentuklah suatu daftar pertanyaan sebagai pedoman dalam mengumpulkan dan mencari data dari subyek penelitian.

b. Menciptakan hubungan yang baik dengan subyek penelitian yang akan diwawancarai, melakukan pendekatan personal, serta menciptakan rasa nyaman dengan menerima apapun keadaan yang ada pada diri subyek penelitian.

c. Peneliti menyampaikan maksud adanya wawancara dan membentuk kepercayaan bahwa apapun yang peneliti lakukan terhadap subyek tidak akan disebarluaskan.

d. Peneliti menyiapkan alat berupa tape recorder / HP untuk menyimpan hasil wawancara peneliti terhadap responden.

(62)

Proses wawancara difokuskan pada empat hal utama antara lain bentuk kenakalan-kenakalan siswa, data kenakalan di sekolah (meningkat / menurun), sistem kebudayaan setempat yang secara tidak langsung berpengaruh kepada sekolah, serta mengenai cara penanganan pihak sekolah terhadap perilaku kenakalan siswa di sekolah.

Tabel 1. Wawancara

Aspek Narasumber

Bentuk kenakalan siswa

Data perilaku kenakalan di sekolah

Sistem kebudayaan setempat

Cara penanganan sekolah terhadap perilaku kenakalan

Guru BK, salah satu siswa

bermasalah, korban dari tindak

kenakalan teman.

Guru BK, salah satu guru honor.

Salah satu guru tetap seklaigus

anggota komite sekolah.

(63)

2. Teknik Observasi

Kartono (1996 : 157) mengatakan bahwa observasi merupakan studi yang disengaja dan sistematis tentang fenomena sosial dan gejala-gejala alam dengan jalan pengamatan dan pencatatan. Metode observasi ini digunakan untuk mengamati penampilan dan perilaku subyek yang meliputi ciri fisik, sifat, penampilan dan pembawaan juga perilaku ketika wawancara. Observasi ini menggunakan pedoman observasi yang berisi daftar kegiatan yang mungkin timbul dan akan diamati.

(64)

Tabel 2. Observasi

Aspek yang diungkap Deskripsi

Lingkungan sekolah

Keluarga narasumber siswa bermasalah

Pola pergaulan

Gambaran mengenai lingkungan

sekolah, kegiatan, sarana, siswa

dan guru.

Relasi dengan orangtua dan

saudara.

Relasi dengan teman-teman di

sekolah.

3. Dokumentasi Data

Analisis dokumen dilakukan untuk mengumpulkan data yang bersumber dari arsip dan dokumen yang berada di sekolah maupun di luar sekolah yang berhubungan dengan penelitian. Menurut Arikunto (2010 : 201) teknik dokumentasi adalah mencari data mengenai hal-hal yang berupa catatan, transkrip, buku, dan lain sebagainya.

(65)

2010 belum tercatat sebab guru BK belum memberikan proses konseling lanjutan. Oleh karena alasan tersebut, maka catatan konseling yang bisa diperoleh oleh peneliti adalah dokumentasi di tahun sebelumnya.

Selain itu, peneliti menggunakan nilai rapot narasumber dari kelas 1 sampai kelas 2 untuk melihat perkembangan selama proses konseling berlangsung. Berdasarkan pengamatan, rata-rata nilai dalam rapot didominasi dengan nilai 6 dan nilai kepribadian “C” yang artinya cukup. Tak banyak prestasi atau nilai yang menonjol dari rapot narasumber sehingga menurut guru BK, narasumber masih memerlukan bimbingan dalam proses belajar.

E. TEKNIK ANALISIS DATA

Dalam penelitian ini, analisis yang digunakan adalah analisis tematik. Analisis tematik merupakan proses mengkode yang beranjak dari data konkrit kemudian semakin lama akan semakin mengarah pada pengembangan konsep yaitu dari data konkrit akan memperoleh kata kunci, tema, kategori, hubungan antar kategori (pola) serta mengembangkan teori (Poerwandari, 2005 : 137). Analisis data dalam penelitian ini dilakukan melalui kegiatan sebagai berikut : 1. Reduksi Data

(66)

2. Penyajian Data

Setelah data-data itu terkumpul kemudian peneliti menyajikan data-data yang sudah dikelompokkan tadi melalui penyajian dalam bentuk narasi dengan tujuan atau harapan setiap data tidak lepas dari kondisi permasalahan yang ada dan peneliti bisa lebih mudah dalam melakukan pengambilan kesimpulan.

3. Menarik Kesimpulan

(67)

Tabel 3. Kode Organisasi Data

Data Kode

 Wawancara guru BK 1, 8 -1- 2010

 Wawancara korban dari narasumber siswa, 11 -1- 2010

 Wawancara narasumber siswa bermasalah, 18 -1- 2010

 Wawancara orangtua narasumber, 20 -1- 2010

 Wawancara latarbelakang keluarga narasumber, 28 -1- 2010

 Wawancara guru BK 2, 21-4-2011

 Wawancara anggota komite sekolah, 25-4-2011

 Wawancara guru, 25-4-2011

 Catatan proses konseling

 Observasi lapangan

 Deskripsi observasi sekolah

 WWCR BK 1, 8-1-2010

 WWCR Krb, 11-1-2010

 WWCR Sis, 18-1-2010

 WWCR Org, 20-1-2010

 WWCR Lbk, 28-1-2010

 WWCR BK 2, 21-4-2011

 WWCR Ks, 25-4-2011

 WWCR Gr, 25-4-2011

 CPK

 OL

 DO

F. KREDIBILITAS DATA

(68)

penelitian berhasil mewujudkan maksud untuk mengeksplorasi masalah atau mendeskripsikansetting, proses, dan pola interaksi yang kompleks.

Moleong (2004 : 320) mengatakan bahwa keabsahan data adalah setiap keadaan harus memenuhi demonstrasi nilai yang benar, menyediakan dasar agar hal itu dapat diterapkan dan memperbolehkan keputusan luar yang dapat dibuat tentang konsistensi dari prosedurnya dan kenetralan dari temuan dan keputusan-keputusannya.

Keabsahan data dalam penelitian ini dilakukan guna membuktikan temuan hasil penelitian dengan kenyataan di lapangan. Adapun teknik yang digunakan untuk membuktikan kebenaran data dapat dilakukan melalui ketekunan pengamatan di lapangan, triangulasi, pengecekan dengan kondisi sekitar, kajian terhadap kasus-kasus negatif dan referensi yang memadai. Dalam penelitian ini teknik yang digunakan terbatas pada teknik pengamatan di lapangan maksudnya adalah untuk melihat keberadaan data yang diberikan tiap-tiap narasumber penelitian pada saat diwawancarai.

(69)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Bab ini akan dipaparkan dalam tiga bagian yaitu gambaran setting

penelitian, hasil penelitian dan pembahasan.

A. GambaranSettingPenelitian

Keseluruhan subjek yang terlibat dalam proses pengambilan data adalah 7 orang yang terdiri dari guru BK sebagai pendamping selama di lokasi, kepala sekolah sebagai pemberi ijin penelitian, siswa bermasalah sebagai salah satu narasumber, korban yang pernah menjadi target kejahilan narasumber siswa bermasalah, orangtua siswa yang bermasalah, salah satu anggota komite sekolah sekaligus guru tetap dan anggota warga sekitar sekolah yang memiliki kerabat bersekolah di sekolah X, serta guru honor yang telah mengabdi selama 2 tahun di sekolah X.

Letak sekolah X adalah di kecamatan yang kebanyakan siswanya berasal dari desa setempat dan berlatarbelakang ekonomi menengah ke bawah sehingga rata-rata orangtua murid bekerja sebagai buruh, petani, pedagang, dan lain sebagainya. Sebagai salah satu sekolah yang terletak di desa, sekolah X memiliki bangunan sekolah yang cukup baik dan memadai dengan adanya sarana serta prasarana berupa laboraturium fisika dan biologi, laboraturium komputer / ruang multimedia, perpustakaan, lapangan basket, kantin, toilet,

(70)

ruang kelas serta tempat persembahyangan. Akan tetapi beberapa diantaranya tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya sebab sedang mengalami kerusakan dan belum diperbaiki seperti halnya ruang multimedia. Ruang kelas sebanyak 16 ruangan pun secara keseluruhan tidak dapat menampung semua jumlah murid di sekolah X sehingga jadwal sekolahnya dibagi menjadi 2 yaitu di pagi hari dan siang hari.

Berdasarkan data yang diperoleh dari guru BK, jumlah guru tetap sebanyak 64 orang dan guru honor 15 orang tidak seimbang dengan jumlah murid keseluruhan yaitu 1055. Akibat kelebihan jumlah murid, beberapa guru memiliki jam mengajar yang penuh, sedangkan guru-guru yang sudah sertifikasi justru tidak memenuhi jam mengajar yang seharusnya. Pembagian jam mengajar antara guru tetap dan guru honorer pun tidak seimbang sehingga ketimpangan jam mengajar ini terkadang membuat guru-guru senior hanya datang ke sekolah untuk sekedar absen hadir, berbincang di ruang guru, atau hanya sekedar mengambil uang honor mengajar.

(71)

kepada murid-muridnya. Sedangkan guru honorer dituntut untuk melakukan tugasnya dengan baik supaya mendapatkan rekomendasi dari kepala sekolah dan segera diangkat menjadi guru tetap.

Selama penelitian berlangsung, peneliti disediakan ruangan bersama dengan ruang BK yang di dalamnya terdapat fasilitas TV dan air minum sendiri (tidak digabung dengan air minum umum yang ada di ruang TU). Terkadang ruang BK beralih fungsi dari ruang konseling menjadi ruang nonton bersama para guru yang sedang tidak mengajar. Maka tidak mengherankan apabila sering terjadi pengusiran oleh guru BK ketika ada siswa yang harus di konseling pada saat yang sama. Selain itu kantin di dalam sekolah termasuk dalam kategori terlalu banyak sebab kurang lebih ada 8 kantin dengan perbandingan lokasi sekolah yang tidak terlalu luas sehingga secara tidak langsung, keberadaan kantin-kantin tersebut menyebabkan keributan pada saat jam pelajaran berlangsung.

(72)

murid tidak memiliki kesempatan untuk membolos atau keluar dari sekolah secara diam-diam.

Beberapa kali peneliti juga diajak untuk mengunjungi ruang guru karena sedang diadakan demo dari beberapa penjual produk kosmetik, perhiasan, perlengkapan rumah tangga dan pedagang jamu. Yang membuat peneliti bingung adalah kenapa bisa para pedagang dan sales tersebut masuk ke dalam lingkungan sekolah disaat jam pelajaran berlangsung. Anehnya lagi beberapa guru akan lebih memilih tidak masuk kelas untuk mengajar dan lebih memilih untuk melihat barang dagangan tersebut. Peneliti juga sempat mengunjungi kelas-kelas yang ditinggalkan oleh guru pengajar, saat ditanya pun, para murid mengatakan bahwa guru tidak memberikan tugas sehingga mereka leluasa untuk membuat keributan dan menganggu teman-temannya di kelas.

(73)

Selama proses pengambilan data, peneliti juga mengadakan pengamatan terhadap narasumber siswa yang bermasalah secara langsung saat mengikuti guru BK memberikan materi di kelas dan pada saat kunjungan rumah. Peneliti menggunakan observasi non partisipan (peneliti sebagai observer) dengan pertimbangan peneliti dapat mencatat dengan segera informasi penting yang muncul di lapangan. Hal-hal yang diobservasi adalah mengenai perilaku narasumber serta kondisi secara umum di dalam kelas maupun di sekolah saat jam istirahat berlangsung, hubungan narasumber dengan teman-temannya, keluarga dan masyarakat serta kegiatan di rumah.

Peneliti berada di lingkungan sekolah selama 10 hari yaitu pada tanggal 5, 8, 11, 13, 18, 20, 26, 27, 28 dan 29 Januari 2010. Bulan Januari adalah awal masuk sekolah sehingga proses belajar dan mengajar belum berjalan efektif sebab pada bulan yang sama juga terdapat hari raya umat Hindu yaitu “Siwa Latri”, oleh sebab itu para murid dan warga sekolah pun libur pada tanggal 14 sampai 17 Januari 2010. Dikarenakan hal teknis tersebut maka peneliti memilih tanggal-tanggal tersebut di atas untuk melaksanakan proses pengambilan data penelitian.

(74)

secara tidak langsung berpengaruh kepada sekolah, serta mengenai cara penanganan pihak sekolah terhadap perilaku kenakalan siswa di sekolah.

B. Hasil Penelitian

Berdasarkan proses penelitian yang telah dilakukan, diperoleh hasil berupa temuan tema-tema penting dari analisis masalah berupa gambaran menyeluruh mengenai pengaruh sistem sekolah terhadap perilaku kenakalan siswa di sekolah X. Adanya peluang beberapa siswa bermasalah untuk melakukan tindakan yang tidak disiplin didukung oleh hal-hal di bawah ini : 1. Adanya Peluang Ketidakdisiplinan

Kurang disiplinnya petugas keamanan sekolah dalam menjaga area-area vital yaitu pos penjagaan yang berdekatan dengan pintu gerbang sekolah menyebabkan lolosnya pengawasan terhadap anak-anak yang keluar dari lingkungan sekolah disaat jam istirahat berlangsung. Anggapan beberapa guru bahwa lingkungan sekolah sudah relatif aman dan para murid tidak memiliki peluang untuk membolos, menyebabkan rentannya pengawasan sehingga siswa yang bermasalah cenderung telah memahami sistem pengawasan yang diberlakukan di sekolah.

Biasanya pak satpam terlihat di awal jam masuk sekolah, jam istirahat dan jam pulang sekolah, selebihnya pos penjagaan dibiarkan kosong serta pintu gerbang yang tidak dikunci sehingga ada beberapa murid yang terlihat keluar tanpa ijin. (DO, 5)

(75)

2. Guru Memberi Contoh Kurang Baik

Perilaku beberapa guru yang memberikan contoh kurang baik diantaranya terlihat asyik makan sambil ngobrol di kantin saat jam pelajaran dan nonton TV di ruang konseling ketika jam mengajar sedang berlangsung secara tidak langsung ikut mempengaruhi perilaku siswa di sekolah karena tidak mendapatkan arahan yang baik. Para siswa menganggap bahwa berdasarkan pengalaman mereka selama ini, para guru tidak terlalu mengawasi perilaku mereka karena sudah disibukkan dengan kegiatan yang lain.

…..beberapa guru juga terlihat asyik makan sambil ngobrol di kantin saat jam pelajaran….. (DO, 3)

Terkadang ruang BK beralih fungsi dari ruang konseling menjadi ruang nonton bersama para guru yang sedang tidak mengajar. (DO, 4)

3. Sistem Kepemimpinan Kepala Sekolah

(76)

Ketika menjelang jam pulang sekolah, sebagian guru sudah meninggalkan kelas 30 menit sebelum jam pelajaran usai. (DO, 7)

Kepala sekolah pun terkesan tidak peduli karena biasanya di jam mendekati pulang sekolah, bapak kepala sekolah akan mengunjungi istrinya yang berjualan di salah satu kantin sekolah sambil membantu membereskan jualan yang sudah habis. (DO, 7)

4. Dampak Sistem Sekolah yang Kurang Maksimal

Sikap kurang tegas dari pemimpin menyebabkan munculnya pemikiran yang pragmatis para guru dalam memandang permasalahan anak-anak yang bermasalah di sekolah.

Upaya terbaik yang dilakukan sekolah adalah selalu mempertahankan semua muridnya yang bermasalah walau sudah mendapat kartu merah. (WWCR Gr, 25-4-2011, 34) ….kepala sekolah yang acuh menyebabkan beberapa guru ikut arus saja seperti saya sekarang. Sebenarnya bapak kepala orang yang baik kalau udah kenal tapi memang beliau tidak terlalu ambil pusing dengan anak-anak. Bapak merasa sudah ada guru BK yang bertugas mengawasi anak-anak sehingga segalanya dipercayakan kepada pihak yang bersangkutan. (WWCR Gr, 25-4-2011, 24)

….kebanyakan dari mereka (para guru) yang menjawab “biarkan saja bu, anggap saja anak itu enggak ada di kelas yang penting daftar hadirnya ada”. (WWCR Gr, 25-4-2011, 22)

Kebanyakan para guru menganggap bahwa kurangnya ketegasan pemimpin menghadapi ketidakdisiplinan akhirnya memunculkan sikap tidak peduli dan membiarkan para siswa bersikap seenaknya di sekolah.

5. Faktor Penyebab Kenakalan di Sekolah

(77)

lingkungan adat setempat sehingga merasa dapat bersikap seenaknya di sekolah.

Rata-rata dari mereka adalah anak yang memang di lingkungan rumahnya pun cenderung dibiarkan karena permasalahan ekonomi sehingga orangtuanya sibuk mencari nafkah sedangkan mereka dibiarkan bergaul sendiri dengan lingkungannya. (WWCR Ks, 25-4-2011, 14)

….tipe anak yang bermasalah pada umumnya hampir sama, biasanya mereka berasal dari banjar sini sehingga merasa bisa berkuasa atau anak-anak yang memang memiliki masalah di rumahnya sehingga orangtuanya pun sulit untuk diajak berkoordinasi. (WWCR Gr, 25-4-2011, 44)

…anak-anak yang berasal dari banjar sini cenderung arogan dan merasa bisa berbuat seenaknya. Ya kalau pas saya lihat anak yang seperti itu, pasti sudah saya tegur duluan tapi sayangnya mereka tidak berani berulah di depan saya sehingga saya perlu memantau lebih giat lagi. (WWCR Ks, 25-4-2011, 10)

Karakteristik tersebut didukung pula kurang pedulinya pemimpin terhadap perilaku anak-anak bermasalah, terutama anak-anak yang berasal dari desa adat setempat. Mereka merasa bahwa sikap sok berkuasa di sekolah tidak mendapat teguran dari pemimpin sehingga berdampak pada semakin beraninya anak-anak bermasalah melawan para guru terutama menyepelekan guru perempuan.

…ada aduan dari beberapa guru yang lain apalagi dari guru wanita apabila anak-anak yang berasal dari banjar sini cenderung arogan dan merasa bisa berbuat seenaknya. (WWCR Ks, 25-4-2011, 10)

6. Perwujudan Sistem Sekolah

(78)

Ya sebelumnya pihak sekolah memberikan pembinaan dan pengawasan, apabila masih melakukan pelanggaran ya pihak sekolah mengadakan rapat untuk mengembalikan subjek pada orangtua. Tapi udah beberapa kali surat peringatan dikasih, akhirnya pihak sekolah mengadakan kunjungan rumah untuk bertemu orangtuanya. (WWCR BK 1, 8-1-2010, 8)

Banyak sekali mbak, dari mulai teguran, dipanggil ke ruang BK, dinasehati, surat panggilan orangtua, di skors dan kunjungan rumah…( WWCR BK 1, 8-1-2010, 12) Ya pertama dapet surat peringatan sampai 3 kali, abis tuh di skors seminggu. Orangtua juga pernah dipanggil ke sekolah, dikasih surat pernyataan ama kunjungan rumah dari guru BK. (WWCR Sis, 18-1-2010, 52)

Ya ibu guru BK dah pernah datang ke rumah. (WWCR Org, 20-1-2010, 4)

Pihak sekolah terutama kepala sekolah pada dasarnya merumuskan kebijakan berupa penanganan yang kekeluargaan. (WWCR BK 2, 21-4-2011, 2)

…setiap ada masalah yang dilakukan oleh yang bersangkutan dan kemudian diadakan pemanggilan orangtua, ayahnya tidak pernah datang karena yang datang biasanya paman atau ibunya saja. (WWCR BK 2, 21-4-2011, 6)

Program-program tersebut dijalankan oleh guru BK sebagai pembimbing anak-anak terutama anak yang bermasalah. Namun pada prakteknya selama ini, program menjadi kurang efektif dan cenderung hanya sebagai formalitas karena tuntutan pekerjaan saja tanpa didukung oleh adanya tindakan nyata dari kepala sekolah sebagai pemimpin.

(79)

7. Adanya Tuntutan Pekerjaan dalam Sistem

Akan tetapi sikap kurang tegas pemimpin dalam upaya mewujudkan kedisiplinan berdampak pula pada tidak meratanya pembagian tugas para guru sehingga ketimpangan jam mengajar ini terkadang membuat guru-guru senior hanya datang ke sekolah untuk sekedar absen hadir, berbincang di ruang guru, atau hanya sekedar mengambil uang honor mengajar. Sedangkan guru honorer dituntut untuk bekerja dengan maksimal supaya mendapatkan surat rekomendasi dari kepala sekolah sehingga bisa segera diangkat menjadi guru tetap. Tuntutan pekerjaan yang berat dan tidak sehat menyebabkan timbulnya jam kerja yang tidak seimbang. Pembagian tugas yang dibebankan kepada masing-masing guru menjadi kurang jelas karena adanya perbedaan kepentingan yang melatarbelakangi. Oleh sebab itu perlu diberikan kejelasan sehingga diperoleh kenyamanan dalam bekerjasama.

Pembagian jam mengajar antara guru tetap dan guru honorer pun tidak seimbang sehingga ketimpangan jam mengajar ini terkadang membuat guru-guru senior hanya datang ke sekolah untuk sekedar absen hadir, berbincang di ruang guru, atau hanya sekedar mengambil uang honor mengajar. (DO, 2)

8. Ketidakdisiplinan dalam Sistem Sekolah

(80)

diajak untuk mengunjungi ruang guru karena sedang diadakan demo dari beberapa penjual produk kosmetik, perhiasan, perlengkapan rumah tangga dan pedagang jamu. Peneliti menangkap sebuah kebiasaan yang sudah terlanjur terbentuk sehingga akan sangat sulit ketika harus menata ulang sikap ketidakdisiplinan di sekolah yang telah berdampak kepada banyak hal. Beberapa kali peneliti juga diajak untuk mengunjungi ruang guru karena sedang diadakan demo dari beberapa penjual produk kosmetik, perhiasan, perlengkapan rumah tangga dan pedagang jamu. (DO, 6)

Ketidakpedulian para guru terhadap penjual yang masuk ke lingkungan sekolah menjadi tidak relevan dengan kegiatan belajar di sekolah karena dapat menimbulkan ketidakdisiplinan. Selain itu beberapa guru akan lebih memilih melihat barang dagangan yang ditawarkan para

salesdaripada mengajar di kelas.

Anehnya lagi beberapa guru akan lebih memilih tidak masuk kelas untuk mengajar dan lebih memilih untuk melihat barang dagangan tersebut. (DO, 6)

(81)

C. Pembahasan

Melalui hasil penelitian yang telah peneliti dapatkan, baik secara observasi maupun wawancara dengan beberapa narasumber, diperoleh gambaran bahwa terdapat pengaruh sistem sekolah yang kurang maksimal sehingga munculnya perilaku kenakalan siswa di sekolah. Berbagai macam perilaku pelanggaran yang dilakukan oleh siswa di sekolah pada dasarnya tidak berdiri sendiri sebab banyak pihak ikut memiliki andil untuk mempengaruhinya. Sesuai dengan hasil temuan yang ada, terlihat bahwa pihak sekolah membuka peluang untuk melakukan tindak pelanggaran. Pelanggaran-pelanggaran yang ada selama ini tidak hanya dilakukan oleh para siswa saja, namun beberapa guru serta staf pekerja yang bertugas menjaga keamanan sekolah pun kurang maksimal ketika menegakkan sikap disiplin. Dalam hal ini, beberapa guru justru memberikan contoh yang kurang bertanggungjawab kepada peserta didik sebab mereka terlihat sedang ngobrol di kantin bersama guru-guru yang lain saat jam belajar sedang berlangsung.

(82)

memilih untuk melihat sales yang datang ke sekolah dibandingkan harus mengajar ke kelas dan mengakhiri pelajaran di jam terakhir lebih awal sebelum bel pulang sekolah berbunyi.

Selain itu, sistem kepemimpinan kepala sekolah yang kurang memperhatikan pelanggaran di sekolah semakin mendukung terjadinya ketidakdisiplinan terutama bagi munculnya perilaku kenakalan siswa yang cenderung berani melawan peraturan. Dalam suatu lingkungan sosial masyarakat, tiap individu maupun suatu lembaga akan diatur oleh berbagai aturan yang secara tidak langsung ikut mengatur tatanan kehidupan. Tatanan kehidupan yang mengatur masyarakat umumnya dikenal dengan sebutan pranata sosial, namun khusus di daerah yang khas dengan nilai kebudayaan, maka di Bali istilah pranata lebih dikenal dengan sebutan awig-awigdesa adat. Menurut Koentjaraningrat dalam (Herimanto & Winarno, 2010 : 190), pranata sosial menunjuk pada sistem pola-pola resmi yang dianut suatu warga masyarakat dalam berinteraksi. Maka peran kepala sekolah sebagai seorang pemimpin yang menjadi bagian dari sistem adalah bertugas untuk mengatur tata tertib sekolah sehingga dapat mewujudkan kedisiplinan.

(83)

tersebut yang penting absen di kelas yang bersangkutan tetap berjalan. Maka walaupun sudah ada peraturan atau pranata sosial di dalam masyarakat, tidak pula menjamin bahwa kehidupan dapat berjalan dengan teratur dan tertib sebab pada kenyataannya masing-masing individu memiliki pemikiran serta batas tanggungjawab yang berbeda-beda. Setiap masyarakat memiliki sejumlah norma-norma yang menyangkut kesejahteraan, kebendaan, kesehatan, dan penyesuaian terhadap lingkungan sosial. Sehingga berdasarkan faktor penyebabnya, perilaku kenakalan remaja muncul sebagai akibat dari problema sosial karena adanya kebudayaan yang mengikat di dalam keluarga, masyarakat dan sekolah.

Gambar

Gambar 1Skema Teoritis
Tabel 3. Kode Organisasi Data

Referensi

Dokumen terkait

Pertama, telah terjadi sinisme politik yang berlebihan dalam kontestasi politik pada pemilihan presiden tahun 2019, sehingga stereotip yang dimunculkan dengan dua

Pada hasil penyebaran angket kinerja, skor terendah didapat oleh item nomor 2 dan 3 yaitu yang menyatakan bahwa pegawai tidak kesulitan menangani volume

PENGARUH PEMBERIAN KOMPENSASI TERHADAP PRESTASI KERJA KARYAWAN PADA PT.. POS INDONESIA (PERSERO)

Orientasi masa depan adalah bagaimana seseorang membuat dan menyusun visi kedepan dengan membagi orientasi jangka pendek, menengah dan jangka panjang, sehingga

dengannya ketika ia masih menjadi pengajar di Departemen Ilmu Politik, Universitas Chicago. Menjelang tahun 1940an, tepatnya tahun 1939, politik dunia kian memanas. Perang Dunia

Program pengembangan kualitas mencakup seluruh aspek kegiatan audit di lingkungan APIP. Program tersebut dirancang untuk mendukung kegiatan audit APIP, memberikan nilai tambah dan

Pada kecepatan 40 km/jam RMS percepatan hasil simulasi yang dialami pengemudi berada pada kondisi sedikit tidak nyaman sedangkan untuk kecepatan 100 km/jam RMS

entitas induk sebesar Rp9,33 triliun hingga periode 30 September 2017 atau meningkat dari laba sebesar Rp 9,08 triliun pada periode yang sama tahun sebelumnya..