• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMANFAATAN BELUT (Monoptherus albus Zuieuw) DALAM PEMBUATAN BAKSO LUSI ANINDIA RAHMAWATI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PEMANFAATAN BELUT (Monoptherus albus Zuieuw) DALAM PEMBUATAN BAKSO LUSI ANINDIA RAHMAWATI"

Copied!
78
0
0

Teks penuh

(1)

PEMANFAATAN BELUT (

Monoptherus albus

Zuieuw) DALAM

PEMBUATAN BAKSO

LUSI ANINDIA RAHMAWATI

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013

(2)

ABSTRACT

LUSI ANINDIA RAHMAWATI. Utilization of Eel (Monoptherus albus Zuieuw) in Fishball Production. Supervised by Sri Anna Marliyati and Dodik Briawan. The objective of this research was to utilize eel in fishball production. The experimental design used in this research was a Complete Randomized Factorial Design. Factors used in this experimental design was A-factor which is type of flour (tapioca and sago flour) and B-factor which is amount of flour (10%, 20%, 30%, 40%). The organoleptic test showed eel fishball selected formula was A1B1 with the addition of tapioca flour 10% of the weight of the eel. Every 100 grams formula contains 84 kcal energy, 7.7 g carbohydrate, 0.9 g fat, 11.5 g protein, 185 mg phosphorus, and 490 mg calcium. Recommendation of fishball consumption per serving size was 80 g to met 15.4% protein, 24.6% phosphorus, and 49.0% calcium of Indonesian’s Daily References Value. Therefore, this formula can be considered as a good source of protein, and rich of phosphorus and calcium.

(3)

RINGKASAN

Lusi Anindia Rahmawati. Pemanfaatan Belut (Monoptherus albus Zuieuw) dalam Pembuatan Bakso. (Dibimbing oleh Sri Anna Marliyati dan Dodik Briawan)

Bakso ikan adalah produk makanan berbentuk bulatan atau lain yang diperoleh dari campuran daging ikan (kadar daging ikan tidak kurang dari 50%) dan pati atau serealia dengan atau tanpa penambahan makanan yang diizinkan (BSN 1995). Menurut Park (2004), bakso ikan adalah produk yang paling populer di Asia Tenggara yang berasal dari surimi. Pemanfaatan daging belut dalam pembuatan bakso diharapkan mampu menjadi alternatif produk olahan pangan hewani yang memiliki nilai gizi yang baik dan dapat diterima oleh konsumen. Secara umum tujuan dari penelitian ini adalah untuk memanfaatkan belut (Monoptherus albus Zuieuw) dalam pembuatan bakso. Selain itu, tujuan khusus pada penelitian ini adalah: 1) menganalisis sifat fisik, kandungan gizi, dan daya cerna protein belut, 2) menentukan formula yang tepat dalam pembuatan bakso belut, 3) mengkaji pengaruh dari penambahan jenis tepung dan konsentrasi penambahan tepung yang berbeda serta interaksi antar faktor terhadap sifat organoleptik bakso belut, 4) menganalisis sifat fisik, kandungan gizi, dan daya cerna bakso belut terpilih, 5) menilai kontribusi zat gizi bakso belut formula terpilih terhadap Acuan Label Gizi (ALG) serta menghitung biaya pembuatan bakso belut formula terpilih.

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini dibagi dua, yaitu alat untuk pembuatan bakso belut serta analisis fisik dan kandungan gizi. Pembuatan bakso memerlukan alat, antara lain food processor dan panci. Alat-alat yang digunakan dalam analisis fisik dan kimia adalah timbangan analitik, cawan, oven vakum, desikator, cawan alumunium, cawan porselin, tanur, gelas ukur, labu kjeldahl, buret, labu soxhlet, dan alat bantu lainnya. Bahan yang digunakan terdiri atas bahan utama, bahan pendukung, dan bahan kimia. Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah daging belut yang diperoleh dari Pasar Anyar Kota Bogor. Bahan pendukung yang digunakan adalah tepung tapioka, tepung sagu, bawang putih, lada, garam dapur, dan es batu. Bahan kimia yang digunakan adalah aquades, air bebas ion, HCl, NaOH, H2SO4, Na2SO3, HNO3, buffer fosfat pH 6, enzim termamyl, pepsin, dan pankreatin.

Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap Faktorial. Faktor yang digunakan dalam rancangan percobaan ini adalah faktor A yaitu jenis tepung (tepung tapioka dan tepung sagu) dan faktor B yaitu taraf penambahan tepung (10%, 20%, 30%, 40%). Unit percobaan pada penelitian ini adalah daging belut.

Derajat keasaman (pH) belut adalah 6,1, sedangkan persentase air terikat (% mg H2O) belut adalah 63,1%. Kandungan gizi belut terdiri dari kadar air 80,1%, abu 0,9% (bb), lemak 0,6% (bb), protein 15,3% (bb), karbohidrat 3,1% (bb), kadar kalsium 387 mg/100g, kadar besi 109,7 mg/100g, kadar fosfor 217 mg/100g, dan daya cerna protein belut 84,9%.

Pembuatan bakso belut diawali dengan pembersihan daging belut dari kotoran, tulang, serta ekor dan kepalanya. Rendemen akhir dari daging belut yang diperoleh ± 42,7%. Tahap selanjutnya adalah proses penggilingan daging belut dengan penambahan bahan-bahan lain yang terdiri dari garam sebanyak 3,5% dari berat total adonan dan es sebanyak 20% dari berat daging. Penggilingan kemudian dilanjutkan dengan menambahkan bahan pengisi, bawang putih, dan lada. Adonan yang sudah homogen selanjutnya dibentuk bulatan-bulatan dan dimasukkan ke dalam panci yang berisi air panas (80°C)

(4)

hingga mengapung. Bulatan bakso yang sudah mengapung kemudian dimasukkan ke dalam air es. Bulatan bakso kemudian direbus di dalam air mendidih hingga matang.

Faktor jenis tepung yang berbeda memberikan pengaruh nyata (p<0,05) terhadap mutu kecerahan warna. Faktor taraf penambahan tepung yang berbeda memberikan pengaruh nyata (p<0,05) terhadap mutu kecerahan warna, aroma belut, tekstur, dan rasa belut, sedangkan interaksi antar kedua faktor hanya memberikan pengaruh nyata (p<0,05) terhadap mutu kecerahan warna. Selain itu, faktor taraf penambahan tepung yang berbeda juga memberikan pengaruh nyata (p<0,05) untuk tingkat kesukaan panelis terhadap atribut rasa dan keseluruhan. Faktor jenis tepung yang berbeda dan interaksi antar kedua faktor tidak memberikan pengaruh nyata (p>0,05) terhadap tingkat kesukaan panelis. Berdasarkan hasil uji organoleptik tersebut, formula bakso belut terpilih adalah bakso dengan penambahan tepung tapioka 10% (A1B1).

Nilai rata-rata Aw bakso belut terpilih adalah 0,97. Hsu & chung (1998) menyatakan bahwa tekstur adalah karakteristik terpenting dari bakso dan konsumen lebih menyukai tekstur yang keras. Tingkat kekerasan (tekstur) bakso terpilih adalah 554,8 gf. Tingkat kekenyalan bakso belut terpilih adalah 40,7%. Kandungan gizi bakso belut terpilih terdiri dari kadar air 77,6%, kadar abu 2,4% (bb), kadar lemak 0,9% (bb), kadar protein 11,5% (bb), kadar karbohidrat 7,7% (bb), kadar kalsium 490 mg/100 g,p kadar besi 93,7 mg/100 g, kadar fosfor 185 mg/100 g, dan daya cerna protein belut 83,9 %.

Anjuran konsumsi bakso belut per takaran saji adalah 80 g atau setara dengan 8 buah bakso dengan berat per buahnya ± 10 gram. Satu takaran saji bakso belut formula terpilih telah memenuhi 15,4% dari ALG protein, 24,6% dari ALG fosfor, dan 49,0% dari ALG kalsium. Harga jual untuk bakso belut formula terpilih yaitu Rp. 13.452,- per 100 gram. Rata-rata harga bakso ikan komersial yaitu Rp. 8.188,- per 100 gram. Bakso belut formula terpilih memiliki harga lebih mahal dibandingkan dengan harga bakso ikan komersial. Akan tetapi dengan mempertimbangkan zat gizi mikro yang terdapat dalam bakso formula terpilih, maka bakso belut direkomendasikan sebagai kudapan bergizi.

(5)

PEMANFAATAN BELUT (

Monoptherus albus

Zuieuw) DALAM

PEMBUATAN BAKSO

LUSI ANINDIA RAHMAWATI

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi pada

Departemen Gizi Masyarakat

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013

(6)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Skripsi :Pemanfaatan Belut (Monoptherus albus Zuieuw) dalam Pembuatan Bakso

Nama : Lusi Anindia Rahmawati NIM : I14080051

Menyetujui :

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Dr. Ir. Sri Anna Marliyati, MSi Dr. Ir. Dodik Briawan, MCN NIP: 19600205 198903 2 002 NIP: 19660701 199002 1 001

Mengetahui,

Ketua Departemen Gizi Masyarakat

Dr. Ir. Budi Setiawan, MS NIP: 19621218 198703 1 001

(7)

PRAKATA

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “ Pemanfaatan Belut (Monoptherus albus Zuieuw) dalam Pembuatan Bakso” ini dengan baik. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang telah membantu dalam pembuatan skripsi ini.

1. Dr. Ir. Sri Anna Marliyati, MSi dan Dr. Ir. Dodik Briawan, MCN selaku dosen pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktu dan pikirannya, memberikan saran dan kritik dalam menyelesaikan skripsi ini.

2. Dr. Ir. Budi Setiawan, MS selaku dosen pemandu seminar dan dosen penguji yang telah memberikan saran dalam perbaikan skripsi ini.

3. Bapak Muryanto atas bantuan dana penelitiannya sehingga penelitian ini dapat berjalan dengan baik.

4. Orangtua, Ayahanda Wahyudi, Spd dan Ibunda Sumini, Spd yang selalu bersedia mendengar keluh kesah penulis. Skripsi ini saya persembahkan untuk Bapak dan Ibu.

5. Oki Kurniawan Nur Cahyo yang telah membantu selama proses penelitian dan skripsi.

6. Bapak Mashudi dan seluruh laboran atas bantuannya selama proses penelitian ini berlangsung.

7. Ambar, Winda, Elok, Duti, Anggun, Indah, Dheanni, Ibnu, Agus, Anti, Rohadi, Yusti, Ai, Ade, Fani, Rahayu, Ayu Sekar, Leman. Terima kasih atas semangat dan bantuan yang telah diberikan selama ini .

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak.

Bogor, Januari 2013

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Magetan, jawa Timur pada tanggal 27 Oktober 1989 dari Ayahanda Wahyudi dan Ibunda Sumini. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Penulis mengawali pendidikan di SDN Magetan 1 pada tahun 1996-2002. Pada tahun 2002-2005, penulis melanjutkan pendidikan di SMPN 1 Magetan dan pada tahun 2005-2008 melanjutkan pendidikan di SMAN 1 Magetan. Pada tahun 2008, penulis diterima di Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).

Selama mengikuti pendidikan di IPB, penulis aktif di Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekologi Manusia (BEM FEMA) kabinet Pejuang Ekologi sebagai staf divisi Sosial dan Lingkungan (SOSLING). Penulis juga aktif sebagai panitia dalam kegiatan Bazar TPB, SAMISAENA, Fema Care and Share (FRESH), Kemah Riset (KERIS), dll.

Tahun 2011 penulis mengikuti Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) bidang penelitian dan melaksanakan penelitian mengenai Fortifikasi Mikrokapsul Besi pada Permen Rasa Strawberry sebagai Salah Satu Upaya Mengatasi Anemia Gizi Besi pada Anak-Anak. Selain itu, pada tahun yang sama penulis melaksanakan Kuliah Kerja Profesi (KKP) di Desa Donowangun, Kecamatan Talun, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah. Pada tahun 2012, penulis melaksanakan Internship Dietetik di RSUD Cibinong, Bogor. Penulis juga pernah menjadi asisten praktikum pada mata kuliah Analisis Zat Gizi Mikro tahun ajaran 2011/2012 dan Analisis Zat Gizi Makro tahun ajaran 2012/2013.

(9)

IX

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ...xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 3

Kegunaan ... 4

TINJAUAN PUSTAKA ... 5

Belut (Monoptherus albus Zuieuw) ... 5

Bakso Ikan ... 7

Bahan Pembuatan Bakso Ikan ... 8

Proses Pengolahan ... 11

Uji Organoleptik ... 11

Uji Hedonik ... 12

Uji Mutu Hedonik ... 12

METODE ... 13

Waktu dan Tempat ... 13

Alat dan Bahan ... 13

Metode Penelitian ... 13

Rancangan Percobaan ... 18

Pengolahan dan Analisis Data ... 19

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 20

Sifat Fisik dan Kandungan Gizi Belut ... 20

Pembuatan Bakso Belut ... 24

Karakteristik Organoleptik Bakso Belut ... 27

Sifat Fisik Bakso Belut Terpilih ... 35

Kandungan Gizi Bakso Belut Terpilih ... 37

Kontribusi Zat Gizi Bakso Belut terhadap Acuan Label Gizi (ALG) ... 40

Analisis Biaya Pembuatan Bakso Belut Terpilih ... 42

KESIMPULAN DAN SARAN ... 44

Kesimpulan ... 44

Saran ... 45

DAFTAR PUSTAKA ... 46

(10)

X

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Komposisi zat gizi belut, telur ayam dan daging sapi ... 6

2 Kandungan gizi belut dan beberapa jenis ikan lain ... 7

3 Syarat mutu produk bakso ikan menurut SNI (1995) ... 8

4 Komposisi kimia tepung tapioka dan sagu ... 9

5 Formulasi bakso belut pada berbagai taraf penambahan es ... 14

6 Formula bahan dalam pembuatan bakso belut ... 15

7 Kandungan gizi dan daya cerna protein fillet belut ... 21

8 Hasil uji mutu hedonik dan hedonik warna bakso ... 27

9 Hasil uji mutu hedonik dan hedonik aroma bakso ... 29

10 Hasil uji mutu hedonik dan hedonik tekstur bakso ... 31

11 Hasil uji mutu hedonik dan hedonik rasa ... 32

12 Hasil uji hedonik bakso secara keseluruhan ... 34

13 Persentase penerimaan panelis untuk masing-masing formula ... 35

14 Kandungan zat gizi dan daya cerna protein bakso belut formula terpilih ... 37

15 Kandungan zat gizi bakso belut dan kontribusinya terhadap ALG per takaran saji ... 41

(11)

XI

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Belut (Monoptherus albus Zuieuw) ... 5

2 Bakso ikan ... 8

3 Diagram alir pembuatan bakso belut ... 17

4 Pemisahan tulang belut ... 24

5 Daging belut tanpa tulang ... 24

6 Proses pengulitan daging belut ... 25

7 Daging fillet belut ... 25

8 Bakso dengan bahan pengisi tepung tapioka ... 26

(12)

XII

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Prosedur analisis fisik ... 51

2 Prosedur analisis kandungan gizi dan daya cerna protein ... 53

3 Formulir organoleptik bakso belut ... 57

(13)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Makanan merupakan kebutuhan dasar manusia. Makanan sehari-hari sebaiknya dipilih dengan baik agar dapat memberikan semua zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh. Makanan yang tidak dipilih dengan baik dapat mengakibatkan tubuh kekurangan zat-zat gizi tertentu yang hanya dapat diperoleh dari makanan (Almatsier 2004).

Status gizi seseorang dipengaruhi oleh konsumsi makanan. Status gizi baik akan tercapai apabila tubuh memperoleh cukup zat-zat gizi yang digunakan secara efisien, sehingga memungkinkan perkembangan otak, pertumbuhan fisik, kemampuan kerja, dan kesehatan secara umum yang baik. Status gizi kurang terjadi apabila tubuh mengalami kekurangan satu atau lebih zat-zat gizi esensial (Almatsier 2004).

Salah satu zat gizi yang penting namun masih dikonsumsi dalam jumlah yang kurang untuk sebagian besar orang adalah protein. Protein mempunyai fungsi yang khas yang tidak dapat digantikan oleh zat gizi lain, yaitu membangun serta memelihara sel-sel dan jaringan hidup. Selain itu protein juga berfungsi untuk membentuk ikatan-ikatan esensial tubuh, mengatur keseimbangan air, memelihara netralitas tubuh, pembentukan antibodi, mengangkut zat-zat gizi, serta sumber energi (Almatsier 2004).

Protein dapat diperoleh dari pangan hewani maupun nabati. Protein hewani lebih dianjurkan dibandingkan protein nabati. Hal ini dikarenakan protein hewani mangandung asam-asam amino esensial yang lebih lengkap dan lebih banyak yang sangat dibutuhkan manusia jika dibandingkan dengan protein nabati (Winarno 1997). Menurut Muchtadi (2010), protein hewani pada umumnya memiliki kandungan asam amino yang cukup serta daya cerna yang baik. Selain itu protein hewani mempunyai nilai biologis yang lebih baik dibanding protein nabati. Siagian (2008) menyatakan konsumsi protein hewani di Indonesia relatif rendah, yaitu 4,7 g/orang/hari. Konsumsi ini jauh dari target 6 g/orang/hari. Padahal konsumsi protein hewani di Malaysia, Thailand, dan Filipina, rata-rata 10 g/orang/hari.

Salah satu bahan pangan sumber protein adalah belut. Belut (Monoptherus albus Zuieuw) merupakan salah satu jenis ikan air tawar yang sampai saat ini potensinya belum dimanfaatkan secara maksimal. Belut tergolong ikan yang memiliki kandungan protein sangat baik. Selain itu,

(14)

2 kandungan mineral seperti kalsium pada belut lebih tinggi dibandingkan pada beberapa jenis ikan lainnya (Persagi 2009).

Kalsium merupakan salah satu mineral makro yang penting untuk pembentukan tulang dan gigi yang normal. Kalsium juga berperan dalam proses pembekuan darah, reaksi biologik, dan kontraksi otot (Almatsier 2004). Salah satu akibat dari kekurangan kalsium adalah osteoporosis. Hasil studi pada tahun 2007 menunjukkan bahwa prevalensi osteoporosis di Indonesia masih cukup tinggi, yaitu 53,6% (wanita) dan 38% (pria) di atas usia 70 tahun, sedangkan untuk usia di bawah 70 tahun sebesar 18-36% (wanita) dan 20-27% (pria) (Rachman & Setiyohadi 2007 diacu dalam Ferazuma et al. 2011)

Sejauh ini pemenuhan kebutuhan kalsium telah dilakukan melalui berbagai cara, salah satunya adalah konsumsi suplemen tinggi kalsium. Namun, upaya tersebut dianggap kurang efektif karena hanya menitikberatkan pada pemenuhan salah satu zat gizi tanpa berkontribusi pada pemenuhan zat gizi lainnya. Salah satu alternatif yang dianggap efektif adalah penganekaragaman pangan. Usaha penganekaragaman pangan dapat dilakukan dengan mencari bahan pangan yang baru atau pemilihan bahan pangan yang sudah ada dengan kandungan gizi yang baik, kemudian dikembangkan menjadi produk pangan olahan yang beranekaragam. Diantara bahan pangan yang sudah ada, bahan pangan yang memiliki kandungan kalsium dan protein cukup baik adalah belut.

Penelitian tentang pengolahan belut telah dilakukan sebelumnya seperti penelitian Dewi (2002) menjadi sosis, dan Sulistyarini (2007) menjadi produk keripik. Pembuatan belut menjadi bakso merupakan alternatif lain yang dapat dilakukan untuk menambah keanekaragaman produk dan meningkatkan daya tarik untuk mengkonsumsi belut. Menurut Wibowo (2006), bakso merupakan produk yang banyak dikonsumsi orang, mulai dari anak-anak, dewasa, hingga manula.

Bakso adalah suatu produk dari daging yang dihaluskan, dibentuk bulatan-bulatan, kemudian direbus (Tarwotjo et al. 1971). Bakso yang beredar di pasaran antara lain bakso sapi, bakso udang, dan bakso ayam. Meskipun bakso ikan juga sudah banyak beredar di masyarakat, tapi masih jarang bakso yang memanfaatkan belut sebagai bahan utamanya. Menurut Park (2004), bakso ikan adalah produk yang paling populer di Asia Tenggara yang berasal dari surimi. Selain itu, menurut Wibowo (2006), permintaan masyarakat Indonesia untuk produk bakso sangat tinggi yaitu mencapai 160.000 ton bakso per tahun.

(15)

3 Salah satu bahan yang diperlukan dalam pembuatan bakso adalah bahan pengisi. Bahan pengisi merupakan bahan bukan daging yang biasa ditambahkan dalam pembuatan bakso. Menurut Pandisurya (1983) diacu dalam Afrianty (2002), bahan pengisi yang digunakan dalam pembuatan bakso mempunyai kadar karbohidrat tinggi, sedangkan kadar proteinnya rendah. Bahan pengisi yang umum digunakan dalam pembuatan bakso adalah tepung tapioka dan tepung sagu. Penggunaan bahan pengisi sangat berperan penting dalam memperbaiki elastisitas produk akhir, kemampuan mengikat air, warna, dan tekstur secara keseluruhan (Sekarwiyati 2000). Oleh karena itu, penggunaan bahan pengisi yang tepat sangat menentukan kualitas bakso yang dihasilkan.

Berdasarkan uraian di atas, maka perlu dilakukan penelitian untuk mengembangkan produk bakso dari belut. Bakso belut ini diharapkan mampu menjadi alternatif produk olahan pangan hewani yang memiliki nilai gizi yang baik dan dapat diterima oleh konsumen.

Tujuan Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk memanfaatkan belut (Monoptherus albus Zuieuw) dalam pembuatan bakso.

Tujuan Khusus

Tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk :

1. Menganalisis sifat fisik, kandungan gizi, dan daya cerna protein belut (Monoptherus albus Zuieuw).

2. Menentukan formula yang tepat dalam pembuatan bakso belut.

3. Mengkaji pengaruh dari penambahan jenis tepung dan konsentrasi penambahan tepung yang berbeda serta interaksi antar faktor terhadap sifat organoleptik bakso belut.

4. Menganalisis sifat fisik, kandungan gizi, dan daya cerna bakso belut formula terpilih.

5. Menilai kontribusi zat gizi bakso belut formula terpilih terhadap Acuan Label Gizi (ALG) serta menghitung biaya pembuatan bakso belut formula terpilih.

(16)

4 Kegunaan

Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan bakso yang dapat diterima oleh konsumen. Bakso yang dihasilkan diharapkan juga dapat dijadikan sebagai alternatif pangan hewani yang kaya zat gizi dan mampu meningkatkan nilai ekonomis belut.

(17)

5

TINJAUAN PUSTAKA

Belut (Monoptherus albus Zuieuw)

Sarwono (2003) mengemukakan bahwa klasifikasi perikanan yang berlaku di Indonesia untuk belut (Monoptherus albus Zuieuw) adalah belut termasuk ke dalam kelas pisces, subkelas Teleostomi, ordo Synbranchidae, genus Monopterus, dan spesies albus Zuieuw.

Belut memiliki ciri-ciri antara lain tidak memiliki sirip (sirip dada, sirip punggung, dan sirip dubur pada belut berubah menjadi sembulan kulit yang tidak berjari-jari), tubuhnya tidak bersisik (Sarwono 2003). Kulit belut juga licin karena mengeluarkan lendir (Djajadireja et al 1977). Mata belut kecil lengkung, memiliki tiga pasang insang, bibirnya berupa lipatan kulit yang lebar di sekeliling mulutnya. Gigi belut runcing berbentuk kerucut, punggungnya berwarna kehijauan, dan perut kekuning-kuningan. Bagian badannya lebih panjang dari bagian ekornya yang pendek. Tinggi badannya kurang lebih 1/20 kali panjang tubuhnya, sedangkan panjang tubuhnya antara 20-50 cm (Djajadireja et al 1977). Gambar 1 menunjukkan bentuk tubuh dan warna dari belut.

Gambar 1 Belut (Monoptherus albus Zuieuw) (Leo 2012)

Belut adalah salah satu jenis ikan yang sudah berhasil dibudidayakan dan pemeliharaannya relatif lebih mudah dibandingkan dengan ikan darat lainnya (Peranginangin & Yunizal 1992). Di Indonesia terdapat tiga jenis belut, yaitu belut sawah (Monoptherus albus Zuieuw), belut rawa (Synbranchus bengalensis Mc. Clell), dan belut bermata sangat kecil (Macrotema caligans Cant). Belut sawah merupakan jenis belut yang paling dikenal orang Indonesia karena seringnya belut ini terdapat di sawah-sawah, sedangkan belut rawa jumlahnya terbatas sehingga kurang begitu dikenal (Sarwono 2003).

Belut hidupnya di lumpur, sehingga bau lumpur akan mempengaruhi produk olahan ikan ini. Untuk menghilangkan bau lumpur, maka perut ikan belut harus dikosongkan dengan membiarkan berada dalam air bersih yang mengalir selama satu hari (Peranginangin & Yunizal 1992).

(18)

6 Belut yang dimatikan dengan cara dipukul bagian kepalanya akan memiliki keadaan daging yang kenyal daripada dimatikan dengan penambahan konsentrasi garam 3%. Belut dapat dibersihkan dengan melumuri abu gosok ke seluruh permukaan tubuhnya sampai lendir hilang. Abu gosok memiliki daya serap tinggi dan bentuknya yang kasar mudah menyerap lendir selama tiga kali pemakaian (Rusiana 1988 diacu dalam Dewi 2002). Pengkulitan daging belut menurut Sarwono (2003) dapat dilakukan bagi yang sudah ahli. Namun, menurut Rusiana (1988) diacu dalam Dewi (2002), pengkulitan sulit dilakukan karena ikatan antara kulit dan daging sangat kuat sehingga apabila ditarik daging pun ikut tertarik.

Di Indonesia, belut mulai dikenal dan digemari sejak tahun 1979. Hingga saat ini, belut banyak dibudidayakan dan menjadi salah satu komoditas ekspor. Belut termasuk ikan yang bercita rasa lezat. Belut umumnya dipasarkan dalam bentuk segar dan dapat bertahan hidup dalam waktu relatif lama asalkan kulitnya tetap lembab. Permintaan konsumen akan keberadaan belut semakin meningkat karena belut merupakan sumber protein hewani yang baik (Gaffar 2007). Komposisi zat gizi belut dibandingkan dengan komposisi telur ayam dan daging sapi dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Komposisi zat gizi belut, telur ayam, dan daging sapi Zat Gizi Belut Daging Sapi Telur Ayam

Protein (g) 14,6 18,8 12,4 Lemak (g) 0,8 14,0 10,8 Karbohidrat (g) 1 0 0,7 Energi (kkal) 70 201 154 Kalsium (mg) 49 11 86 Fosfor (mg) 155 170 258 Besi (mg) 1,5 2,8 3 Vitamin A (SI) 0 9 61 Kadar Air (g) 81,5 66,0 74,3 Sumber: Persagi (2009)

Apabila dibandingkan dengan ikan-ikan lain, belut memiliki kandungan kalsium yang lebih tinggi dibandingkan dengan kandungan kalsium pada jenis ikan lainnya. Kandungan gizi belut dan beberapa jenis ikan lain dapat dilihat pada Tabel 2.

(19)

7 Tabel 2 Kandungan gizi belut dan beberapa jenis ikan lain

Zat Gizi Belut Bandeng Ikan Mas Kakap Layur

Protein (g) 14,6 20 16 20 18 Lemak (g) 0,8 4,8 2 0,7 1 Karbohidrat (g) 1 0 0 0 0,1 Energi (kkal) 70 123 86 92 82 Kalsium (mg) 49 20 20 20 48 Fosfor (mg) 155 150 150 200 229 Besi (mg) 1,5 0,05 2 1 2,2 Vitamin A (SI) 0 45 45 9,1 4 Kadar Air (g) 81,5 74 80 77 80,1 Sumber: Persagi (2009) Bakso Ikan

Bakso adalah suatu produk dari daging yang dihaluskan, dibentuk bulatan-bulatan, kemudian direbus (Tarwotjo et al. 1971). Bakso diduga berasal dari daerah Cina, dan telah lama dikenal masyarakat Indonesia sebagai makanan jajanan yang dianggap murah (Sunarlim 1992).

Dalam bahasa Cina, nama bakso atau baso berasal dari kata “baki” atau “ba” yang merupakan singkatan dari kata babi. Namun bakso yang populer di Indonesia dibuat dari daging sapi (Soekarto 1990). Bakso pada mulanya hanya dikenal dibuat dan dijual di daerah pemukiman orang Cina dan dijual di restoran-restoran Cina. Namun setelah tahun 1960-an, bakso mulai populer di masyarakat, selain di kota besar juga di kota kecil, terutama di pelosok dan daerah wisata. Konsumen bakso berasal dari golongan ekonomi atas sampai golongan berpenghasilan rendah sehingga bakso dapat dijumpai di restoran mewah, hotel berbintang, warung makan, pedagang kaki lima, dan pedagang keliling (Sunarlim 1992).

Bakso merupakan produk emulsi daging. Bakso dibuat dari daging yang digiling halus, ditambah bahan pengisi pati atau tepung terigu, dan bumbu-bumbu. Daging yang baik untuk membuat bakso adalah daging yang segar dan belum mengalami rigor mortis, karena daya ikat air pada ikan segar lebih tinggi dibandingkan daging rigor mortis maupun pasca rigor (Buckle et al. 2010). Fase rigor mortis pada ikan berlangsung 1 – 7 jam setelah ikan mengalami kematian atau 3 – 120 jam setelah kematian pada ikan beku (Forrest et al. 1975).

Berdasarkan bahan utama yang digunakan, bakso dibedakan menjadi beberapa macam, yaitu bakso ikan, bakso sapi, dan bakso babi (Tarwotjo et al. 1971). Menurut BSN (1995), bakso ikan adalah produk makanan berbentuk bulatan atau lain yang diperoleh dari campuran daging ikan (kadar daging ikan tidak kurang dari 50%) dan pati atau serealia dengan atau tanpa pemberian

(20)

8 bahan tambahan pangan yang diizinkan. Gambar 2 menunjukkan bakso ikan yang umum beredar di masyarakat.

Gambar 2 Bakso ikan (Direktorat Pemasaran Dalam Negeri 2012)

Adapun syarat mutu produk bakso ikan berdasarkan SNI (1995) dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Syarat mutu produk bakso ikan menurut SNI (1995)

No. Kriteria uji Satuan Persyaratan

1 Keadaan

1.1 Bau - Normal, khas ikan

1.2 Rasa - Gurih 1.3 Warna - Normal 1.4 Tekstur - Kenyal 2 Air % b/b Maks 80,0 3 Abu % b/b Maks 3,0 4 Protein % b/b Min 9,0 5 Lemak % b/b Maks 1,0

6 Boraks - Tidak boleh ada

7 Bahan tambahan makanan Sesuai dengan SNI 01-0222-1995 8 Cemaran logam :

8.1 Timbal (Pb) mg/kg Maks 2,0

8.2 Tembaga (Cu) mg/kg Maks 20,0

8.3 Seng (Zn) mg/kg Maks 100,0

8.4 Timah (Sn) mg/kg Maks 40,0

8.5 Raksa (Hg) mg/kg Maks 0,5

9 Cemaran arsen (As) mg/kg Maks 1,0 10 Cemaran mikroba :

10.1 Angka lempeng total Koloni/g Maks 1 x 107 10.2 Bakteri bentuk koli APM/g Maks 4 x 102

10.3 Salmonella - Negatif

10.4 Staphylococcus aureus Koloni/g Maks 5 x 102

10.5 Vibrio cholerae - Negatif

Sumber: BSN (1995)

Bahan Pembuatan Bakso Ikan Bahan Utama

Bahan utama untuk bakso ikan adalah daging ikan adalah daging ikan dari satu jenis ikan atau campuran daging beberapa jenis ikan (Wibowo 2006). Daging yang digunakan untuk membuat bakso adalah daging yang masih dalam keadaan segar tanpa melalui proses penyimpanan atau pengawetan sehingga dapat menghasilkan mutu bakso yang lebih baik (Buckle et al. 2010). Adapun

(21)

9 bahan utama dalam penelitian pembuatan bakso ikan ini adalah daging ikan belut.

Bahan Tambahan

Bahan tambahan adalah bahan yang diperlukan untuk melengkapi bahan utama dalam proses produksi (Wibowo 2006). Adapun bahan tambahan dalam proses pembuatan bakso meliputi bahan pengisi, garam dapur, es, dan bumbu-bumbu.

Bahan pengisi

Bahan pengisi merupakan bahan bukan daging yang biasa ditambahkan dalam pembuatan bakso. Adapun penambahan pengisi bertujuan untuk mengurangi biaya produksi, meningkatkan cita rasa, dan memperkecil penyusutan selama proses pemasakan (Kramlich 1971).

Bahan pengisi yang umumnya digunakan pada pembuatan bakso adalah tepung tapioka atau sagu aren. Bahan tersebut memiliki kadar karbohidrat yang tinggi, namun kadar proteinnya rendah (Pandisurya 1983 diacu dalam Afrianty 2002). Perbedaan kandungan gizi yang terdapat pada tepung tapioka dan tepung sagu dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Komposisi kimia tepung tapioka dan sagu Komponen Tapioka Sagu aren

Air (%) 13,12 17,82

Protein (%) 0,13 0,11

Lemak (%) 0,04 0,04

Abu (%) 0,16 0,26

Karbohidrat (%) 86,55 81,77 Sumber : Pandisurya (1983) diacu dalam Afrianty (2002)

Bahan pengisi dapat meningkatkan daya ikat air, karena mempunyai kemampuan menahan air selama proses pengolahan dan pemasakan. Bahan pengisi pati dapat mengabsorpsi air sampai dua kali lipat dari berat semula dan dapat menahannya. Pada proses pemanasan sampai 70°C, adonan daging akan membentuk gel, dan setelah dingin akan membentuk padatan (Ockerman 1983). Tapioka merupakan pati yang berasal dari ekstraksi umbi ketela pohon (Manihot utilissima Pohl.) yang telah mengalami pencucian dan pengeringan. Tapioka mengandung amilosa 17% dan 83% amilopektin (Haryanto & Pangloli 1991).

Pati sagu mengandung amilosa 27% dan amilopektin 73%. Perbandingan amilosa dan amilopektin ini mempengaruhi sifat kelarutan dan derajat gelatinisasi pati. Semakin besar kandungan amilosa, maka pati semakin bersifat kering dan kurang lengket (Wiranatakusumah et al. 1984 diacu dalam Sekarwiyati 2000).

(22)

10 Garam dapur (NaCl)

Komponen lain yang penting dalam pembuatan bakso adalah garam. Garam sering digunakan sebagai bahan tambahan agar mutu bakso menjadi lebih baik. Penambahan garam dapur atau NaCl mempunyai fungsi untuk meningkatkan cita rasa bakso, sebagai pelarut protein sehingga dapat menstabilkan emulsi daging, sebagai pengawet karena dapat mencegah pertumbuhan mikroba sehingga memperlambat kebusukan, serta meningkatkan daya ikat air yang biasa dipadukan dengan sodium tripolifosfat (Lawrie 2003). Es

Komponen berikutnya yang berperan penting adalah es. Es berfungsi untuk mempertahankan suhu daging agar tetap rendah selama proses penggilingan daging serta pembuatan adonan, serta agar produk tidak kering. Air dan es yang ditambahkan akan meningkatkan keempukan dan berperan sebagai fase pendispersi (Forrest et al. 1975). Suhu daging yang lebih tinggi dari 15°C - 20°C dapat menyebabkan kerusakan emulsi (Wilson et al. 1981).

Bumbu-bumbu

Pembuatan bakso pada umumnya selalu perlu penambahan bumbu-bumbu. Tujuan penambahan bumbu yaitu untuk meningkatkan cita rasa yang disukai dari produk yang dihasilkan. Bumbu yang digunakan dalam pembuatan bakso ikan adalah bawang putih, dan lada. Bawang putih (Allium sativum) merupakan bahan alami yang biasa ditambahkan ke dalam bahan pangan sehingga diperoleh aroma yang khas guna meningkatkan selera (Hitokoto et al. 1990). SNI 01-3717-1995 menyatakan bahwa merica atau lada putih bubuk adalah lada putih (Piper ningrumlin) yang dihaluskan, mempunyai aroma dan rasa khusus lada. Manfaat penambahan lada yaitu untuk menguatkan rasa yang terdapat pada makanan terutama rasa pedas.

Proses Pengolahan

Menurut Pandisurya (1983) diacu dalam Nurhayati (2009), pembuatan bakso pada prinsipnya terdiri dari empat tahap. Tahap pertama adalah penghancuran daging dengan menggunakan alat atau tangan. Tahap kedua adalah penambahan bahan-bahan lainnya seperti tepung atau bumbu-bumbu lainnya. Tahap ketiga adalah pencetakan adonan menjadi bulat, dan yang terakhir adalah tahap pemasakan dengan cara merebus di dalam air mendidih.

(23)

11 Pengahancuran daging dilakukan dengan cara mencacah (mincing), menggiling (grinding), atau mencincang sampai lumat atau halus (chopping) (Wilson et al. 1981).

Pembentukan adonan menjadi bakso umumnya dilakukan dengan cara membuat adonan menjadi bola-bola kecil berdiameter 2-7 cm dengan tangan, kemudian memasaknya dalam air bersuhu 60°C - 80°C (Elviera 1988). Pemasakan pada suhu yang terlalu tinggi tidak disarankan, karena dapat mengakibatkan lemak terpisah dari emulsi. Hal ini disebabkan lemak mengembang dan protein mengkerut secara mendadak sehingga matriks protein pecah dan lemak keluar dari campuran (Sugiyono 1991 diacu dalam Putri 2001).

Uji Organoleptik

Menurut Soekarto (1985), penilaian dengan indera disebut juga penilaian organoleptik atau penilaian sensorik merupakan suatu cara penilaian yang paling primitif. Penilaian dengan indera ini banyak digunakan untuk menilai mutu komoditi hasil pertanian dan makanan. Penilaian cara ini banyak disenangi karena dapat dilaksanakan dengan cepat dan langsung. Kadang-kadang penilaian ini dapat memberi hasil penilaian yang sangat teliti. Dalam beberapa hal penilaian dengan indera bahkan melebihi ketelitian alat yang paling sensitif.

Sistem penilaian organoleptik telah dapat dibakukan dan dijadikan alat penilaian dalam laboratorium, dunia usaha, dan perdagangan. Penilaian organoleptik telah digunakan sebagai metode dalam penelitian dan pengembangan. Dalam hal ini prosedur penilaian memerlukan pembakuan baik dalam cara penginderaan maupun dalam melakukan analisis data (Soekarto 1985).

Uji Hedonik

Uji hedonik disebut juga uji kesukaan. Dalam uji hedonik panelis dimintakan tanggapan pribadinya tentang kesukaan atau sebaliknya ketidaksukaan. Di samping panelis mengemukakan tanggapan senang, suka, atau kebalikannya, mereka juga mengemukakan tingkat kesukaannya. Tingkat-tingkat kesukaan ini disebut skala hedonik (Setyaningsih et al. 2010).

Uji Mutu Hedonik

Berbeda dengan uji hedonik, uji mutu hedonik tidak menyatakan suka atau tidak suka, melainkan menyatakan kesan tentang baik atau buruk. Kesan baik-buruk ini disebut kesan mutu hedonik. Kesan mutu hedonik lebih spesifik

(24)

12 daripada sekedar kesan suka atau tidak suka. Mutu hedonik dapat bersifat umum yaitu baik-buruk dan bersifat spesifik seperti empuk-keras untuk daging, pulen-keras untuk nasi, serta renyah-lembek untuk mentimun. Rentangan skala hedonik berkisar dari ekstrim baik sampai ke ekstrim jelek (Setyaningsih et al. 2010).

(25)

13

METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan selama tiga bulan mulai dari bulan Mei 2012 sampai bulan Agustus 2012. Tempat yang digunakan untuk melakukan penelitian ini adalah Laboratorium Percobaan Makanan, Laboratorium Kimia dan Analisis Makanan 1, Laboratorium Kimia dan Analisis Makanan 2, Laboratorium Kimia dan Analisis Makanan 3, dan Laboratorium Organoleptik Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini dibagi dua, yaitu alat untuk pembuatan bakso belut dan analisis fisik dan kandungan gizi. Pembuatan bakso memerlukan alat, antara lain food processor dan panci. Alat-alat yang digunakan dalam analisis fisik dan kimia adalah timbangan analitik, cawan, oven vakum, desikator, cawan alumunium, cawan porselin, tanur, gelas ukur, labu kjeldahl, buret, labu soxhlet, dan alat bantu lainnya.

Bahan yang digunakan terdiri atas bahan utama, bahan pendukung, dan bahan kimia. Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah daging belut yang diperoleh dari Pasar Anyar Kota Bogor. Bahan pendukung yang digunakan adalah tepung tapioka, tepung sagu, bawang putih, lada, garam dapur, dan es batu. Bahan kimia yang digunakan adalah aquades, air bebas ion, HCl, NaOH, H2SO4, Na2SO3, HNO3, buffer fosfat pH 6, enzim termamyl, pepsin, dan pankreatin.

Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan meliputi penelitian untuk menentukan persentase es yang paling tepat, sedangkan penelitian utama terdiri dari dua tahap. Tahap pertama terdiri dari analisis fisik dan kimia daging belut, penentuan formula bakso, dan pembuatan bakso. Tahap kedua terdiri dari uji organoleptik bakso yang dihasilkan serta analisis fisik dan kimia formula bakso terpilih.

Penelitian Pendahuluan

Penelitian pendahuluan dilakukan untuk menentukan persentase es yang akan ditambahkan ke dalam adonan. Persentase penambahan es yang

(26)

14 digunakan pada penelitian pendahuluan ini adalah 10% (F1), 15% (F2), dan 20% (F3) dari berat daging. Penentuan jumlah es yang ditambahkan didasarkan pada penambahan es pada adonan bakso domba hasil penelitian Nurhayati (2009) dengan mempertimbangkan daya mengikat air pada masing-masing daging yang digunakan. Nilai daya mengikat air ditentukan melalui pengukuran kandungan air daging yang dinyatakan dalam persen air yang terikat (% mg H2O). Semakin besar persentase mg H2O, semakin rendah kemampuan daging untuk mengikat air (Soeparno 2005). Berdasarkan hasil penelitian Nurhayati (2009), untuk daging domba dengan persentase mg H2O sebesar 38,66 ± 2,95% dibutuhkan penambahan es sebanyak 30% dari berat daging yang digunakan. Oleh karena itu, untuk daging belut dengan persentase mg H2O sebesar 63,11% atau hampir dua kali lipat daging domba, maka dibutuhkan es sebanyak setengah dari penambahan es pada daging domba atau kurang lebih 15%.

Formula bakso belut dengan persentase penambahan es yang berbeda kemudian diuji secara organoleptik terhadap parameter tekstur. Formula yang menghasilkan bakso dengan tekstur yang paling disukai panelis dinyatakan sebagai komposisi terbaik, kemudian digunakan dalam penelitian selanjutnya. Formulasi awal bakso belut dengan taraf penambahan es yang berbeda disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Formulasi bakso belut pada berbagai taraf penambahan es Bahan Persentase es yang ditambahkan 10% 15% 20% Daging belut 100 100 100 Tepung tapioka 20 20 20 Es batu 10 15 20 Garam dapur 5 5 0,5 Bawang putih 1 1 1 Lada 0,5 0,5 0,5 Penelitian Utama

Penelitian utama terdiri dari dua tahap. Tahap pertama terdiri dari analisis fisik dan kandungan gizi serta daya cerna daging belut, penentuan formula bakso, dan pembuatan bakso. Tahap kedua terdiri dari uji organoleptik bakso yang dihasilkan dan analisis fisik, kandungan gizi, serta daya cerna protein formula bakso terpilih.

Penelitian tahap pertama

Pada penelitian tahap pertama dilakukan analisis fisik dan kandungan gizi serta daya cerna protein belut. Analisis fisik meliputi pH dan Daya Mengikat Air

(27)

15 (DMA). Nilai pH suatu makanan menunjukkan derajat keasaman makanan. Nilai pH dapat dijadikan sebagai indikator kualitas daging karena berkaitan dengan warna, keempukan, cita rasa, daya ikat air, dan masa simpan (Lukman et al. 2007). Menurut Aberle et al. (2001), pH daging akan mempengaruhi daya mengikat air yang dihasilkan. Daya mengikat air diartikan sebagai kemampuan daging untuk mengikat airnya atau air yang ditambahkan selama ada pengaruh kekuatan dari luar, misalnya pemotongan, penggilingan, pemanasan, dan pengolahan (Soeparno 2005). Daya mengikat air pada daging merupakan faktor yang berperan terhadap kualitas bakso yang dibuat (Buckle et al. 1987). Analisis kandungan gizi, meliputi analisis proksimat, analisis kadar kalsium, besi, dan fosfor daging belut. Selain itu juga dilakukan analisis daya cerna protein dari daging belut. Prosedur analisis fisik dan kandungan gizi secara lengkap disajikan pada Lampiran 1 dan 2.

Setelah dilakukan analisis fisik dan kandungan gizi belut, kemudian dilakukan penentuan formula bakso. Formula bakso tersebut diperoleh secara trial and error, yaitu untuk mencari perbandingan komposisi yang optimal dari adonan. Perlakuan yang diberikan pada masing-masing formula adalah penambahan jenis tepung yang berbeda dan taraf penambahan tepung. Terdapat dua jenis tepung yang digunakan pada penelitian ini yaitu tepung tapioka dan tepung sagu. Penambahan masing-masing tepung terdiri dari empat taraf, yaitu 10%, 20%, dan 30%, dan 40% dari berat daging belut pada masing-masing formula. Berikut adalah formula bahan dalam pembuatan bakso secara lengkap (Tabel 6).

Tabel 6 Formula bahan dalam pembuatan bakso belut Formula Daging belut (g) Tapioka (g) Sagu (g) Es batu (g) Garam (g) Bawang putih (g) Lada (g) A1B1 100 10 - 20 3,85 1,1 0,44 A1B2 100 20 - 20 4,2 1,2 0,48 A1B3 100 30 - 20 4,55 1,3 0,52 A1B4 100 40 - 20 4,9 1,4 0,56 A2B1 100 - 10 20 3,85 1,1 0,44 A2B2 100 - 20 20 4,2 1,2 0,48 A2B3 100 - 30 20 4,55 1,3 0,52 A2B4 100 - 40 20 4,9 1,4 0,56

Setelah diperoleh formula bakso belut yang tepat, kemudian dilakukan pembuatan bakso. Pembuatan bakso ini menggunakan proses pengolahan bakso modifikasi Nurhayati (2009). Modifikasi yang dilakukan adalah mengganti penggunaan daging domba sebagai bahan utama dengan daging belut, komposisi bahan-bahan dan es, tahap perendaman bakso setangah matang di

(28)

16 dalam air es, serta lamanya waktu yang dibutuhkan pada masing-masing tahapan.

Pembuatan bakso diawali dengan penentuan jenis belut yang akan digunakan. Belut yang digunakan dalam penelitian ini adalah belut segar dengan ukuran kurang lebih 40-55 cm dengan berat antara 75-125 gram. Pemilihan ukuran belut ini dimaksudkan untuk memudahkan dalam proses pengulitan. Belut segar ini kemudian dimatikan dengan cara membungkus belut didalam kantong plastik dan membantingnya kuat-kuat ke lantai.

Belut yang sudah mati kemudian dibersihkan isi perutnya dengan cara memotong belut pada bagian leher. Apabila leher belut sudah setengah terbuka, maka isi perut dikeluarkan dengan membuka tubuh belut mengikuti bentuk tubuh belut dari leher hingga ekornya. Setelah semua isi perut terlihat, isi perut belut kemudian dikeluarkan. Untuk memisahkan daging belut dengan tulangnya, pengirisan dilanjutkan dengan cara mengikuti tulang belakang pada belut. Kepala dan ekor sebaiknya tidak dibuang terlebih dahulu untuk memudahkan dalam memisahkan daging dan tulang belakang. Apabila tulang belakang belut sudah terpisah dari dagingnya, ekor dan kepala kemudian dipotong bersamaan dengan tulang belakang. Pemisahan daging dan tulang dengan cara menghancurkan tulangnya terlebih dahulu sebaiknya dihindari karena selain menghasilkan rendemen yang lebih sedikit, akan terdapat sisa hancuran tulang belakang yang menempel di daging dan sulit dipisahkan.

Daging belut yang sudah terlepas dari tulang, kepala, dan ekor kemudian dikuliti dengan cara membentangkannya secara vertikal disebuah papan, kemudian menyayat dagingnya dengan pisau tajam. Cara ini akan menghasilkan rendemen yang lebih banyak dibandingkan apabila menarik kulitnya. Selain itu, daging fillet belut yang dihasilkan dengan cara ini juga lebih utuh dan rapi. Daging fillet belut yang diperoleh kemudian dibersihkan dengan air mengalir dari kotoran yang melekat. Agar bau amis dari belut berkurang, fillet belut kemudian direndam dalam air jeruk nipis selama 15 menit. Perendaman sebaiknya tidak dilakukan terlalu lama karena dapat menyebabkan rasa daging sedikit asam.

Tahap berikutnya yaitu penggilingan belut yang telah difillet dan ditambahkan es serta garam dapur. Penggilingan daging belut dilakukan dengan menggunakan food processor selama 3 menit. Daging yang sudah halus kemudian ditambah tepung dan bumbu-bumbu lainnya dan digiling selama 5 menit. Adonan yang terbentuk kemudian didiamkan selama 3 menit dan dicetak

(29)

17 berbentuk bulatan-bulatan. Bulatan-bulatan bakso tersebut kemudian dimasukkan ke dalam panci yang berisi air panas (80°C) hingga melayang di permukaan air. Bakso yang sudah melayang kemudian diambil dan direndam di dalam air es selama 3 menit. Bakso yang telah mengeras selanjutnya dimasak dalam air mendidih (100°C) selama 3 menit. Setelah masak, bakso diangkat dan ditiriskan selama 15 menit selanjutnya siap diuji. Berikut adalah diagram proses pembuatan bakso belut secara lengkap (Gambar 3).

Keterangan : * yang modifikasi

Gambar 3 Diagram alir pembuatan bakso belut (Nurhayati 2009 dengan beberapa modifikasi)

Penelitian tahap kedua

Penelitian tahap kedua diawali dengan uji organoleptik. Uji organoleptik yang digunakan adalah uji hedonik (kesukaan) dan mutu hedonik. Panelis yang

100 g daging belut yang telah difillet dimasukkan ke dalam penggilingan daging *

Digiling halus selama 3 menit*

Digiling kembali selama 5 menit*

Adonan yang terbentuk didiamkan selama 3 menit*

Ditambahkan 20% es, 3,5% NaCl*

Ditambahkan 0,4% lada, 10,20,30, 40% tepung, 1% bawang putih*

Adonan dicetak berbentuk bulatan-bulatan bakso kemudian dimasukkan ke dalam panci yang berisi air panas (80°C) hingga mengapung*

Bulatan-bulatan bakso dimasak dalam air mendidih (100°C) selama 3 menit*

Bakso diangkat dan ditiriskan selama 15 menit

Bakso siap diuji organoleptik serta dianalisa

(30)

18 digunakan sebanyak 30 orang dengan dua kali ulangan. Parameter yang diuji meliputi rasa, aroma, warna, tekstur, dan keseluruhan.

Pada uji hedonik, panelis diminta untuk menyatakan tingkat kesukaannya terhadap bakso yang diberikan. Penilaian uji hedonik menggunakan tujuh skala. Skala yang diberikan untuk parameter yang diuji, yaitu (1) sangat tidak suka, (2) tidak suka, (3) suka, (4) biasa, (5) agak suka, (6) suka, (7) sangat suka.

Penilaian uji mutu hedonik menggunakan tujuh skala. Skala untuk kecerahan warna, yaitu (1) sangat gelap, (2) gelap (3) agak gelap, (4) biasa, (5) agak cerah, (6) cerah, (7) sangat cerah. Skala untuk aroma belut, yaitu (1) sangat kuat, (2) kuat, (3) agak kuat, (4) biasa, (5) agak lemah, (6) lemah, (7) sangat lemah. Skala untuk aroma bumbu, yaitu (1) sangat lemah, (2) lemah, (3) agak lemah, (4) biasa, (5) agak kuat, (6) kuat, (7), sangat kuat. Skala untuk tekstur, yaitu (1) sangat alot, (2) alot, (3) agak alot, (4) biasa, (5) agak kenyal dan renyah, (6) kenyal dan renyah, (7) sangat kenyal dan renyah. Skala untuk rasa belut, yaitu (1) sangat kuat, (2) kuat, (3) agak kuat, (4) sedang, (5) agak lemah, (6) lemah, (7) sangat lemah.

Setelah diperoleh formula bakso terpilih berdasarkan uji organoleptik, penelitian tahap kedua dilanjutkan dengan melakukan analisis sifat fisik dan kandungan gizi serta daya cerna protein dari formula bakso yang terpilih tersebut. Analisis sifat fisik meliputi tekstur (kekerasan dan kekenyalan), Aw, dan pH. Analisis kandungan gizi meliputi analisis proksimat, kadar kalsium, besi, dan fosfor, serta daya cerna protein bakso belut terpilih.

Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap Faktorial. Faktor yang digunakan dalam rancangan percobaan ini adalah faktor A yaitu jenis tepung (tepung tapioka dan tepung sagu) dan faktor B yaitu taraf penambahan tepung (10%, 20%, 30%, 40%). Unit percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah daging belut yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan jenis tepung dan taraf penambahan tepung yang berbeda terhadap sifat organoleptik bakso belut. Model matematika dari rancangan percobaan tersebut adalah sebagai berikut:

𝑌𝑖𝑗k = μ + A𝑖 + B𝑗 + AB𝑖𝑗 + ŋ𝑖𝑗k Keterangan :

𝑌𝑖𝑗k = Peubah respon akibat pengaruh faktor A pada taraf ke-i dan faktor B pada taraf ke-j pada ulangan ke-k

(31)

19 μ = nilai rata-rata umum

A𝑖 = pengaruh faktor A (jenis tepung) pada taraf ke-i

B𝑗 = pengaruh fator B (taraf penambahan tepung) pada taraf ke-j AB𝑖𝑗 = interaksi antara faktor A dan faktor B pada taraf ke-i dan ke-j ŋ𝑖𝑗k = galat dari setiap perlakuan pada taraf ke-i, ke-j dan ulangan ke-k

Pengolahan dan Analisis Data

Data hasil uji organoleptik baik hedonik maupun mutu hedonik diolah menggunakan Microsoft Excel 2007. Data selanjutnya dianalisis dengan SPSS 16.0 for Windows melalui uji one way ANOVA untuk mengetahui produk terbaik. Apabila hasil analisis menunjukkan pengaruh yang nyata maka dilakukan uji lanjut Duncan (Andi 2010). Untuk mengetahui pengaruh faktor A dan faktor B serta interaksinya, digunakan uji General Linear Model.

(32)

20

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sifat Fisik dan Kandungan Gizi Belut

Sifat fisik belut yang dianalisis adalah derajat keasaman (pH), dan daya mengikat air (WHC). Kandungan gizi belut yang dianalisis adalah kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, kadar karbohidrat (metode by difference), kadar kalsium, kadar besi, dan kadar fosfor, serta daya cerna protein.

Sifat Fisik Belut

Derajat keasaman (pH). Derajat keasaman atau pH merupakan salah satu faktor penting yang menentukan daya tahan bahan pangan terhadap kontaminasi mikroorganisme (Silvia 2002). Pada pH rendah, sifat fungsional protein sebagai emulsifier sangat dibutuhkan dalam pembuatan bakso. Protein dapat mengikat air pada sisi luar yang bersifat hidrofil dan mengikat lemak pada sisi dalam yang bersifat hidrofob (Soeparno 2005).

Derajat keasaman fillet belut hasil analisis adalah 6,1. Menurut Buckle et al (2010), sebagian besar mikroorganisme dapat tumbuh pada kisaran pH 6,0-8,0 dan nilai pH di luar kisaran 2,0-10,0 biasanya bersifat merusak. Beberapa mikroorganisme dalam bahan pangan tertentu, seperti khamir dan bakteri asam laktat tumbuh dengan baik pada kisaran nilai pH 3,0-6,0 dan sering disebut sebagai asidofil.

Daya mengikat air (WHC). Menurut Aberle et al. (2001), beberapa sifat fisik daging seperti warna, tekstur, dan kekerasan daging mentah serta sari minyak (juiceness) dan keempukan daging masak dipengaruhi oleh daya mengikat air. Hampir semua prosedur penyimpanan dan pengolahan daging dipengaruhi oleh daya mengikat air jaringan. Nilai daya mengikat air ditentukan melalui pengukuran kandungan air daging yang dinyatakan dalam persen air yang terikat (% mg H2O). Persentase mg H2O fillet belut hasil analisis adalah 63,1%. Menurut Soeparno (2005), semakin besar persentase mg H2O yang terikat, semakin rendah kemampuan daging untuk mengikat air.

Kandungan Gizi dan Daya Cerna Protein Belut

Analisis kandungan gizi belut meliputi kadar air, abu, lemak, protein, karbohidrat (by difference), kalsium, besi, dan fosfor. Selain itu juga dilakukan analisis daya cerna protein belut. Data hasil analisis sifat kimia belut disajikan pada Tabel 7.

(33)

21 Tabel 7 Kandungan gizi dan daya cerna protein fillet belut

Atribut Belut bb bk Air (%) 80,1 - Abu (%) 0,9 4,7 Lemak (%) 0,6 2,8 Protein (%) 15,3 76,7 Karbohidrat (%) 3,1 15,8 Kalsium (mg/100 gr) 387 - Besi (mg/ 100 gr) 109,7 - Fosfor (mg/ 100 gr) 217 -

Daya cerna protein (%) 84,9 -

Kadar air. Kadar air dalam suatu bahan pangan akan menentukan penerimaan dan daya tahan bahan tersebut (Winarno 1997). Hasil analisis menunjukkan kadar air fillet belut sebesar 80,1% (bb). Kandungan air pada daging ikan berkisar antara 60-84% (Afrianto & Liviawati 1993 diacu dalam Suhartini & Hidayat 2005). Kadar air belut berdasarkan hasil penelitian Vishwanath et al. (1998) adalah sebesar 77,00 ± 0,08 %. Hasil analisis kadar air belut tidak berbeda jauh dengan literatur dan masih berada dalam rentang yang normal untuk daging ikan. Kadar air belut hasil analisis sedikit lebih tinggi daripada literatur. Perbedaan komposisi pada daging dapat terjadi dan dipengaruhi oleh proses pemotongan, perbedaan spesies, keturunan, usia, jenis kelamin, tipe pemberian makanan, dan lain-lain (Colmenero et al. 2001). Kadar air memegang peranan penting pada pertumbuhan bakteri. Kadar air yang rendah dapat memperlambat kerusakan ikan (Stansby 1963 diacu dalam Vishwanath et al. 1998).

Kadar abu. Abu merupakan bahan anorganik yang tidak terbakar pada proses pembakaran. Abu menunjukkan elemen mineral suatu bahan pangan (Winarno 2008). Kadar abu fillet belut adalah sebesar 0,9% (bb) atau 4,7% (bk). Kadar abu belut menurut Vishwanath et al. (1998) adalah sebesar 7,00 ± 0,57 % (bk). Kadar abu belut hasil analisis lebih kecil dibandingkan literatur. Menurut Govindan (1985), kandungan abu pada ikan dapat digunakan untuk mengetahui komponen mineral dalam daging ikan seperti kalsium, sodium, dan potassium. Selain itu, ada komponen yang lebih kecil kandungannya seperti besi, tembaga, dan magnesium.

Kadar lemak. Lemak merupakan bahan yang tidak larut dalam air yang berasal dari tumbuh-tumbuhan dan hewan (Buckle et al 2010). Kadar lemak fillet belut sebesar 0,6% (bb) atau 2,8% (bk). Menurut Persagi (2009), kadar lemak belut adalah 0,8 g/100 g atau 0,8% (bb). Kadar lemak belut hasil analisis sedikit

(34)

22 lebih kecil dibandingkan literatur. Perbedaan komposisi pada daging dapat terjadi dan dipengaruhi oleh proses pemotongan, perbedaan spesies, keturunan, usia, jenis kelamin, tipe pemberian makanan, dan lain-lain (Colmenero et al. 2001).

Kadar protein. Kandungan protein dalam bahan pangan bervariasi baik dalam jumlah maupun jenisnya. Bahan pangan hewani (seperti telur, daging, susu, dan ikan), leguminose (seperti kacang-kacangan), dan serealia (seperti beras, gandum, dan jagung) umumnya mengandung protein yang tinggi (Andarwulan et al. 2011).

Kadar protein fillet belut hasil analisis sebesar 15,3% (bb) atau 76,7% (bk). Menurut Vishwanath et al. (1998), kadar protein kasar pada belut sebesar 79,00 ± 0,20% (bk). Kadar protein belut hasil analisis tidak berbeda jauh dengan literatur dan cederung lebih kecil. Hampir semua asam amino yang terdapat pada protein hewan juga terdapat pada protein daging ikan dan di antara asam-asam amino tersebut terdapat asam amino esensial, yaitu valin, histidin, isoleusin, lisin, leusin, methionin, threonin, triptofan, dan fenilalanin (Irianto & Giyatmi 2009).

Kadar karbohidrat. Kadar karbohidrat fillet belut sebesar 3,1% (bb) atau 15,8% (bk). Menurut USDA (2002), belut tidak mengandung karbohidrat. Kadar karbohidrat hasil analisis menunjukkan adanya karbohidrat pada daging belut dalam jumlah yang tidak terlalu tinggi. Menurut Irianto dan Giyatmi (2009), ikan mengandung karbohidrat dalam jumlah yang sangat rendah dibandingkan dengan tanaman. Karena kandungannya yang sangat kecil, maka dapat diabaikan.

Kadar kalsium. Kalsium adalah salah satu mineral makro yang penting bagi tubuh. Kalsium dibutuhkan di semua jaringan tubuh, khususnya tulang (Arisman 2004). Kadar kalsium fillet belut sebesar 387 mg/100 g. Menurut Ruiter (1995), kadar kalsium belut berkisar 15 - 188 mg/100 g. Berdasarkan hasil analisis, kadar kalsium belut jauh lebih tinggi dibandingkan literatur. Namun demikian, kadar kalsium hasil analisis masih dalam rentang normal kadar kalsium ikan menurut FAO/WHO (2002) diacu dalam James (2006), yaitu berkisar antara 17 – 1751 mg/100 g. Menurut Ruiter (1995), perbedaan kadar kalsium yang jauh dapat terjadi disebabkan perbedaan jumlah tulang dan cangkang.

Kadar besi. Besi dalam makanan dapat berada dalam bentuk besi hem dan besi non-heme. Besi hem terutama berasal dari hemoglobin dan mioglobin dan banyak ditemukan pada pangan hewani (Almatsier 2004).

(35)

23 Kadar besi fillet belut berdasarkan hasil analisis adalah sebesar 109,7 mg/100g. Menurut Ruiter (1995), kadar besi pada belut berkisar antara 0,5 – 5,44 mg/ 100 g. Menurut FAO/WHO (2002) diacu dalam James (2006), kadar besi ikan berkisar antara 0,6 – 9,2 mg/ 100 g. Kadar besi belut hasil analisis menunjukkan hasil yang jauh lebih tinggi dibandingkan literatur. Menurut Ruiter (1995), perbedaan kadar besi yang besar dapat terjadi dikarenakan kontaminasi logam serta perbedaan dalam metode analisis. Selain itu kondisi belut yang hidup di lumpur juga diduga dapat mempengaruhi kadar besinya.

Kadar fosfor. Fosfor terdapat di dalam semua makanan, terutama makanan kaya protein seperti daging, ayam, ikan, telur, susu dan hasilnya, kacang-kacangan dan hasilnya, serta serealia (Almatsier 2004). Kadar fosfor fillet belut berdasarkan hasil analisis adalah sebesar 217 mg/100 g. Menurut Ruiter (1995), kadar fosfor belut berkisar antara 196 – 501 mg/ 100 g. Kadar fosfor belut hasil analisis menunjukkan hasil yang sesuai dengan literatur. Kalsium dan fosfor adalah mineral yang paling banyak terdapat pada ikan, manusia, dan organisme hidup lainnya. Kurang lebih 99% kalsium dan 80 – 85% fosfor terdapat pada tulang dalam bentuk kalsium fosfat (Ruiter 1995).

Daya Cerna Protein. Kemampuan suatu protein untuk dihidrolisis menjadi asam amino oleh enzim-enzim pencernaan dikenal dengan istilah daya cerna protein (Muchtadi 1989). Latar belakang penilaian mutu protein ialah karena tidak semua protein yang dikonsumsi dapat dicerna dan dimanfaatkan oleh tubuh.

Berdasarkan hasil analisis, daya cerna protein fillet belut adalah 84,9%. Daya cerna fillet belut lebih rendah apabila dibandingkan dengan daya cerna protein ikan mas. Menurut Layly (2002), daya cerna protein ikan mas berkisar antara 96,9% - 97,8%. Perbedaan daya cerna protein ini dapat terjadi karena jenis bahan pangan yang berbeda. Selain itu, menurut Bender (2002), ada faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas enzim dalam mencerna protein, yaitu pH saat inkubasi atau lingkungan, suhu, konsentrasi enzim, konsentrasi substrat, dan adanya inhibitor atau aktivator yang akan mempengaruhi daya cerna protein.

(36)

24 Pembuatan Bakso Belut

Pembersihan daging belut

Pembuatan bakso diawali dengan pembersihan daging belut dari kotoran, tulang, serta ekor dan kepalanya. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan daging belut yang diinginkan. Belut yang digunakan pada penelitian ini merupakan belut segar yang diperoleh dari pasar Anyar. Belut yang sudah dimatikan kemudian dibersihkan dari kotoran yang ada di dalam perutnya. Dalam penanganan ikan, menurut Wibowo (2006), ikan disiangi bertujuan agar isi perut yang menjadi sumber enzim dan bakteri tidak merusak daging ikan.

Setelah semua isi perut dibersihkan, pengirisan dilanjutkan mengikuti tulang belakang belut hingga tulang belakang terpisah dari dagingnya. Apabila tulang belakang sudah terpisah, kepala dan ekor dipotong sehingga hanya diperoleh daging belut tanpa tulang.

Daging belut yang sudah terlepas dari tulang, kepala, dan ekor kemudian dikuliti dengan cara membentangkannya secara vertikal disebuah papan, lalu menyayat dagingnya dengan pisau tajam. Rendemen akhir dari daging belut yang diperoleh ± 42,8%. Dalam penanganan ikan, menurut Wibowo (2006), rendemen yang diperoleh dari proses fillet dan pelumatan berkisar antara 40 – 60% dari berat ikan, tergantung jenis ikannya.

Daging belut kemudian dicuci dengan air mengalir untuk membersihkan kotoran dan darah yang menempel pada daging. Daging belut yang sudah bersih kemudian direndam di dalam air perasan jeruk nipis selama 15 menit. Setelah perendaman selesai, daging dicuci kembali untuk menghilangkan rasa asam dari air jeruk nipis yang masih menempel pada daging. Selanjutnya daging belut dipotong kecil-kecil untuk mempermudah proses penggilingan. Penghancuran daging ini bertujuan untuk memecah serabut daging, sehingga protein yang larut dalam garam akan mudah keluar. Berikut ini disajikan beberapa gambar proses pembersihan daging belut (Gambar 4-7).

(37)

25

Gambar 6 Proses pengulitan daging belut Gambar 7 Daging fillet belut Pembuatan Bakso

Tahap pembuatan bakso diawali dengan proses penggilingan daging belut dengan penambahan garam dan es. Penambahan garam dalam pembuatan produk seperti bakso berfungsi untuk merenggangkan protein-protein miofibril serta untuk meningkatkan kemampuan mengemulsi (Lawrie 2003). Persentase garam yang ditambahkan adalah sebesar 3,5% dari berat total daging dan tepung yang digunakan. Persentase ini diperoleh melalui trial and error, sedangkan persentase penambahan es didasarkan penelitian pendahuluan yang telah dilakukan sebelumnya. Hasil uji organoleptik terhadap tekstur bakso pada penelitian pendahuluan menunjukkan bahwa penambahan es sebanyak 20% dari berat daging menghasilkan tekstur yang terbaik. Oleh karena itu, pada proses pembuatan bakso selanjutnya digunakan persentase penambahan es sebanyak 20% dari berat daging. Menurut Hsu dan Yu (1999), penambahan lebih dari 2,2% garam dan air kurang dari 22% dapat menghasilkan bakso yang dapat diterima.

Pada tahap pembuatan bakso, selain menggunakan daging juga ditambahkan bahan lain berupa bahan pengisi dan bumbu-bumbu yang terdiri dari bawang putih dan lada. Bahan pengisi adalah fraksi bukan daging yang ditambahkan dalam pembuatan bakso. Bahan pengisi yang digunakan dalam pembuatan bakso ini adalah tepung tapioka untuk formula pertama dan tepung sagu untuk formula kedua. Masing-masing formula terdiri dari empat taraf penambahan, yaitu 10%, 20%, 30%, dan 40%. Menurut Standar Nasional Indonesia mengenai baso ikan, baso ikan adalah produk makanan berbentuk bulatan atau lain yang diperoleh dari campuran daging ikan dan pati atau serealia dengan atau tanpa penambahan makanan yang diizinkan. Kadar daging ikan yang digunakan tidak kurang dari 50% (BSN 1995). Persentase bawang putih

(38)

26 dan lada yang ditambahkan diperoleh melalui trial and eror untuk menghasilkan rasa bakso yang terbaik.

Setelah daging belut halus, penggilingan dilanjutkan kembali dengan menambahkan bahan pengisi dan bumbu. Adonan yang sudah homogen didiamkan selama 3 menit lalu dicetak berbentuk bulatan-bulatan dan dimasukkan ke dalam panci yang berisi air panas (80°C) hingga mengapung. Pemanasan lebih dari suhu 80°C akan menyebabkan emulsi rusak yang ditandai dengan rusaknya elastisitas produk dan keluarnya lemak dari produk (Tanikawa 1971). Bulatan bakso yang sudah mengapung kemudian dimasukkan ke dalam air es. Air es ini berfungsi untuk menghasilkan tekstur yang lebih kompak dan kenyal. Bulatan bakso kemudian direbus di dalam air mendidih. Perebusan kembali ini perlu dilakukan karena menurut Dewi (2002), proses pemanasan yang suhunya kurang dari 100°C tidak dapat membunuh semua bakteri pembusuk, terutama bakteri yang bersifat tahan pada suhu tinggi. Setelah bakso matang, bakso diangkat dan ditiriskan. Berikut adalah gambar bakso yang dihasilkan (Gambar 8 dan 9).

Gambar 8 Bakso dengan bahan pengisi tepung tapioka

Gambar 9 Bakso dengan bahan pengisi tepung sagu A1B1 A1B2 A1B3 A1B4

A2B4 A2B3

A2B2 A2B1

(39)

27 Karakteristik Organoleptik Bakso Belut

Karakteristik organoleptik belut diamati dengan menggunakan uji mutu hedonik dan uji hedonik. Uji mutu hedonik yang dilakukan terhadap bakso belut meliputi beberapa atribut, yaitu kecerahan warna, aroma belut, aroma bumbu, tekstur, dan rasa belut. Uji hedonik yang dilakukan terhadap bakso meliputi tingkat kesukaan pada atribut warna, aroma, tekstur, dan rasa.

Kecerahan Warna. Nilai rata-rata hasil uji mutu hedonik dan hedonik bakso belut untuk atribut warna pada setiap formula dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8 Hasil uji mutu hedonik dan hedonik warna bakso Formula Mutu kecerahan warna Tingkat kesukaan

A1B1 4,24b 4,33a A1B2 4,15b 4,41a A1B3 5,31e 4,58a A1B4 5,32e 4,49a A2B1 4,44bc 4,34a A2B2 3,61a 4,29a A2B3 4,73cd 4,65a A2B4 4,89de 4,50a

Keterangan : A1: tepung tapioka, A2: tepung sagu; B1: taraf 10%, B2: taraf 20%, B3: taraf 30%, B4: taraf 40%. Nilai rata-rata pada kolom yang sama yang diikuti huruf yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (Uji Duncan).

Warna adalah kesan pertama yang muncul dalam penilaian produk pangan. Konsumen seringkali melalui sifat warnanya telah dapat memberikan penilaian, baik mengenai kualitas maupun kesukaan terhadap suatu jenis hidangan (Dewi 2002). Warna bakso belut yang dihasilkan adalah putih keabu-abuan. Hal ini disebabkan warna dasar daging belut yang putih keabu-keabu-abuan.

Hasil uji mutu hedonik terhadap kecerahan warna bakso berkisar antara 3,61 – 5,32. Nilai ini berkisar antara biasa sampai agak cerah. Nilai kecerahan warna yang semakin rendah menunjukkan mutu kecerahan warna bakso belut yang semakin gelap. Bakso belut dengan konsentrasi tepung tapioka 40% memiliki nilai kecerahan warna yang paling tinggi atau mendekati agak cerah, sedangkan bakso belut dengan konsentrasi tepung sagu sebanyak 20% memiliki nilai kecerahan warna yang paling kecil atau mendekati biasa.

Hasil sidik ragam (Lampiran 4) menunjukkan bahwa perlakuan penambahan jenis tepung yang berbeda berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap mutu kecerahan warna bakso belut. Penambahan tepung tapioka menghasilkan bakso yang memiliki tingkat kecerahan warna yang lebih tinggi dibandingkan penambahan tepung sagu. Selain itu, perlakuan taraf penambahan tepung juga berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap mutu kecerahan warna bakso belut

(40)

28 (Lampiran 4). Semakin tinggi taraf penambahan tepung akan menghasilkan bakso yang memiliki tingkat kecerahan warna yang lebih tinggi atau mendekati cerah.

Hasil sidik ragam (Lampiran 4) juga menunjukkan bahwa terdapat interaksi yang nyata (p<0,05) antara perlakuan A (penambahan jenis tepung yang berbeda) dengan perlakuan B (taraf penambahan tepung). Penggunaan jenis tepung yang berbeda pada berbagai taraf penambahan mempengaruhi mutu kecerahan warna bakso.

Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa mutu kecerahan warna formula bakso belut A2B2 berbeda nyata dengan mutu kecerahan warna bakso belut A1B1, A1B2, A1B3, A1B4, A2B1, A2B3, dan A2B4. Begitu juga dengan mutu kecerahan warna formula bakso belut A1B2 tidak berbeda nyata dengan bakso belut A1B1 dan A2B1. Mutu kecerahan warna bakso belut A2B1 tidak berbeda nyata dengan bakso belut A2B3. Mutu kecerahan warna formula bakso belut A2B3 tidak berbeda nyata dengan bakso belut A2B4, namun berbeda nyata dengan mutu kecerahan warna pada formula bakso belut A1B3 dan A1B4.

Hasil uji hedonik untuk tingkat kesukaan terhadap warna bakso belut menunjukkan bahwa nilai rata-rata tingkat kesukaan panelis terhadap warna bakso berkisar antara 4,29 – 4,65 atau berada pada kisaran biasa sampai agak suka. Panelis memberikan nilai tingkat kesukaan tertinggi terhadap bakso belut A2B3 dengan nilai 4,65 atau berada pada kisaran agak suka dan terendah formula bakso A2B2. Bakso belut yang paling disukai panelis adalah bakso yang memiliki mutu kecerahan warna agak cerah, sedangkan yang paling tidak disukai adalah bakso yang memiliki mutu kecerahan warna agak gelap.

Hasil sidik ragam (Lampiran 4) menunjukkan bahwa perlakuan penggunaan jenis tepung yang berbeda tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap tingkat kesukaan panelis untuk atribut warna, begitu juga perlakuan taraf penambahan tepung yang tidak memberikan pengaruh nyata (p>0,05) terhadap tingkat kesukaan panelis untuk atribut warna (Lampiran 4).

Hasil sidik ragam (Lampiran 4) juga menunjukkan bahwa tidak terdapat interaksi (p>0,05) antara penggunaan jenis tepung yang berbeda dengan taraf penambahan tepung terhadap tingkat kesukaan panelis untuk atribut warna bakso belut. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa tingkat kesukaan panelis terhadap atribut warna bakso belut A1B1, A1B2, A1B3, A1B4, A2B1, A2B2, A2B3, dan A2B4 tidak berbeda nyata.

Gambar

Gambar  3  Diagram  alir  pembuatan  bakso  belut  (Nurhayati  2009  dengan  beberapa modifikasi)
Gambar 8 Bakso dengan bahan pengisi tepung tapioka
Tabel 6 Hasil sidik ragam (ANOVA) data mutu aroma belut pada bakso
Tabel 11 Hasil sidik ragam (ANOVA) data mutu tekstur bakso
+2

Referensi

Dokumen terkait

dan Sifat Kedap Air pada Tanah Sekitar Rawa Pening (Studi kasus: Tanah Urug Tanggul di Jalan Lingkar Selatan Km.03 Ambarawa) ”. Tugas Akhir ini dibuat untuk memenuhi salah satu

Suhu telah konstan kemudian ikan manyung yang telah siap untuk diasapi dimasukkan ke dalam smoking cabinet untuk dilakukan proses pengasapan.. Pada setiap

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan negatif antara perilaku asertif dan tingkat stres kerja pada karyawan.. Subjek penelitian adalah karyawan

Berpikir kritis merupakan salah satu komponen utama dalam berpikir tingkat tinggi (King dkk, 2009). Keterampilan berpikir tingkat tinggi dapat dibentuk melalui

Dengan terjadinya penyimpanan benih jangka panjang yang berulang-ulang, genotipe padi gogo yang bertahan untuk digunakan petani adalah genotipe yang memiliki vigor

Danau-danau volkanik di Dataran Tinggi Dieng terkenal karena keunikannya dan telah dimanfaatkan untuk berbagai keperluan. Di Daerah Dataran Tinggi Dieng telah terjadinya

Pemanfaatan molase sebagai sumber karbon alternative dalam media fermentasi pembuatan nata de coco dapat diterapkan degan baik.Kualitas nata de coco dengan

Paling tidak kita harus menguasai empat jenis keterampilan dasar dalam komunikasi, yaitu menulis, membaca (bahasa tulisan), mendengar, dan berbicara (bahasa