• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Hampir dalam semua tradisi hukum, baik civil law, common law, maupun

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Hampir dalam semua tradisi hukum, baik civil law, common law, maupun"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

13 BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Hampir dalam semua tradisi hukum, baik civil law, common law, maupun Islamic law, perkawinan adalah sebuah kontrak berdasarkan persetujuan sukarela yang bersifat pribadi antara seorang pria dan wanita untuk menjadi suami-istri. Perkawinan disebut juga pernikahan, dari kata nikah yang berarti

‘aqad (kontrak), tetapi kemudian berarti jima’ (persetubuhan). Di Indonesia

kontrak atau perjanjian disebut akad nikah (perjanjian pernikahan atau perkawinan). Sebagai perjanjian atau kontrak, maka pihak-pihak terkait dengan perjanjian atau kontrak berjanji akan membina rumah-tangga yang bahagia lahir batin dengan melahirkan anak- cucu yang meneruskan cita-cita mereka. Bila ikatan lahir dan batin tidak lagi dapat diwujudkan dalam perkawinan, misalnya tidak lagi dapat melakukan hubungan seksual, atau tidak dapat melahirkan keturunan, atau masing-masing sudah mempunyai tujuan yang berbeda, maka perjanjian dapat dibatalkan melalui pemutusan perkawinan (perceraian) atau paling tidak ditinjau kembali melalui perkawinan kembali setelah terjadi perceraian.1

Hukum positif Indonesia, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) memakai asas mempersulit terjadinya perceraian. Hal ini dibuktikan dengan adanya ketentuan bahwa perceraian

1 Rifyal Ka’bah, “Permasalahan Perkawinan”, artikel pada Varia Peradilan: Majalah Hukum tahun ke XXII No.271 Juni 2008, hlm.7.

(2)

14

hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

Pengadilan yang dimaksud dalam hal ini ialah Pengadilan Negeri bagi yang beragama selain Islam dan Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam. Sebagaimana disebutkan dalam UU No. 7 tahun 1989 juncto UU No. 3 tahun 2006 tentang Pengadilan Agama pada Pasal 2 bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam, yang salah satu kewenangannya adalah di bidang perkawinan.

Sebagaimana perkawinan, putusnya perkawinan yang dikarenakan perceraian pun menimbulkan akibat, yaitu adanya kewajiban dan hak. Dalam Pasal 41 UU Perkawinan dijelaskan mengenai akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah : a. baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberikan keputusannya; b. bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut; c. pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.

Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam, dalam Pasal 149 dinyatakan bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib: a.

(3)

15

memberikan mut’ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut qobla al dukhul; b. memberikan nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas istri selama dalam ‘iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba’in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil; c. melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya, dan separuh apabila qabla al dukhul; d memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun.

Peraturan Pelaksana UU Perkawinan yaitu Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 dalam Pasal 24 ayat (2) mengatur bahwa selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan penggugat atau tergugat, pengadilan dapat : a. menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami; b. menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak; c. menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami-istri atau barang-barang-barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak istri.

Selain ketentuan dalam peraturan di atas, terdapat satu perangkat hukum dalam hukum positif Indonesia yang merupakan sumber hukum perkawinan nasional yang bersifat khusus, yang mengatur tentang izin perkawinan dan perceraian bagi pegawai negeri sipil yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 (selanjutnya disebut PP No. 10 Tahun 1983 juncto PP No. 45 Tahun 1990), yang di dalamnya mencakup mengenai permasalahan kewajiban

(4)

16

pegawai negeri sipil untuk memberikan sebagian gajinya untuk penghidupan bekas istrinya setelah perceraian.

Adapun ketentuan pembagian gaji setelah perceraian tersebut, sebagaimana diatur dalam Pasal 8 PP No 10 Tahun 1983 juncto PP No. 45 Tahun 1990 yang berbunyi :

(1) Apabila perceraian terjadi atas kehendak Pegawai Negeri Sipil pria, maka ia wajib menyerahkan sebagian gajinya untuk penghidupan bekas istri dan anak-anaknya.

(2) Pembagian gaji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ialah sepertiga untuk Pegawai Negeri Sipil pria yang bersangkutan, sepertiga untuk bekas istrinya, dan sepertiga untuk anak atau anak-anaknya.

(3) Apabila dari perkawinan tersebut tidak ada anak, maka bagian gaji yang wajib diserahkan oleh Pegawai Negeri Sipil pria kepada bekas istrinya ialah setengah dari gajinya.

(4) Pembagian gaji kepada bekas istri tidak diberikan apabila alasan perceraian disebabkan karena istri berzina, dan atau melakukan kekejaman atau penganiayaan berat baik lahir maupun batin terhadap suami, dan atau istri menjadi pemabuk, pemadat dan penjudi yang sukar disembuhkan, dan atau istri telah meninggalkan suami selama dua tahun berturut-turut tanpa ijin suami dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.

(5)

17

(5) Apabila perceraian terjadi atas kehendak istri, maka ia tidak berhak atas bagian penghasilan dari bekas suaminya.

(6) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) tidak berlaku, apabila istri meminta cerai karena dimadu, dan atau suami berzina, dan atau suami melakukan kekejaman atau penganiayaan berat baik lahir maupun batin terhadap istri, dan atau suami menjadi pemabuk, pemadat, dan penjudi yang sukar disembuhkan, dan atau suami telah meninggalkan istri selama dua tahun berturut-turut tanpa ijin istri dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.

(7) Apabila bekas istri Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan kawin lagi, maka haknya atas bagian gaji bekas suaminya menjadi hapus terhitung ia mulai ia kawin lagi.

Meninjau peraturan-peraturan tersebut, dalam hukum Islam sendiri (yang berlaku di Pengadilan Agama), untuk bekas istri tersebut hanyalah mungkin diberikan uang penghibur yang diistilahkan mut’ah dan uang nafkah selama dalam masa ‘iddah itupun dengan memperhatikan dan mempertimbangkan segala seginya, di antaranya keadaan dan kemampuan bekas suami/ si ayah. Hukum Islam tidak pernah mengenal adanya nafkah untuk bekas istri yang berlaku sampai ia kawin lagi atau meninggal dunia.2

Berdasarkan uraian tersebut, dalam skripsi ini penulis ingin mengetahui sejauh mana ketentuan mengenai pembagian gaji setelah perceraian tersebut

2

Roihan A. Rasyid, “Kewenangan Peradilan Agama terhadap Gugatan Uji Materiil Peraturan di bawah Derajat Undang-Undang” artikel pada Mimbar Hukum No. 12 Thn. V 1994.

(6)

18

diterapkan dalam putusan pengadilan, dalam hal ini yaitu pertimbangan hukum hakim dalam menetapkan biaya penghidupan setelah perceraian.

B.Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka dapat disimpulkan rumusan masalah yaitu :

Bagaimana ketentuan pembagian gaji setelah perceraian menurut PP No 10 Tahun 1983 juncto PP No 45 Tahun 1990 dalam kaitannya dengan penetapan kewajiban biaya kehidupan anak dan bekas istri setelah perceraian diterapkan dalam putusan pengadilan?.

C.Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah sebagaimana tersebut di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana ketentuan pembagian gaji setelah perceraian yang ada dalam PP No.10 Tahun 1983 juncto PP No.45 Tahun 1990 diterapkan dalam putusan pengadilan dalam perkara perceraian.

D.Tinjauan Pustaka

Permasalahan mengenai perkawinan, dalam hukum perkawinan nasional, UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 1 Undang-Undang tersebut menyebutkan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Sedangkan menurut KHI, dalam Pasal 2 disebutkan bahwa perkawinan menurut Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan

(7)

19

gholiiza untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.

Akad perkawinan dalam hukum Islam bukanlah perkara perdata semata, melainkan ikatan suci (miitsaqan gholiiza) yang terkait dengan keyakinan dan keimanan kepada Allah. Dengan demikian ada dimensi ibadah dalam sebuah perkawinan. Untuk itu perkawinan harus dipelihara dengan baik sehingga bisa abadi dan apa yang menjadi tujuan perkawinan dalam Islam yakni terwujudnya keluarga sejahtera (mawaddah wa rahmah) dapat terwujud.3

Sulaiman Rasjid dalam Fiqh Islam-nya mengemukakan bahwa nikah adalah salah satu asas pokok hidup yang paling utama dalam pergaulan atau masyarakat yang sempurna. Pernikahan itu bukan saja merupakan satu jalan yang amat mulia untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan keturunan, tetapi juga dapat dipandang sebagai satu jalan menuju pintu perkenalan antara suatu kaum dengan kaum lain, dan perkenalan itu akan menjadi jalan untuk menyampaikan pertolongan antara satu dengan yang lainnya.

Oleh karena adanya suatu akad nikah (perjanjian perkawinan), maka seorang laki-laki yang menjadi suami memperoleh berbagai hak dalam keluarga, demikian juga seorang perempuan yang menjadi istri dalam suatu perkawinan memperoleh berbagai hak pula. Di samping itu mereka pun

3

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Ed.pertama, Prenada Media, Jakarta, 2004, hlm. 207.

(8)

20

memikul pula kewajiban-kewajiban sebagai akibat dari mengikatkan diri dalam perkawinan itu.4

Hak dan kewajiban suami istri itu ditegaskan baik dalam al-Qur’an maupun hadist Rasul.

£`èdrçŽÅ°$tãur...

5

.... Å$rã•÷èyJø9$$Î/

Ayat di atas menjelaskan bahwa di antara suami-istri haruslah bergaul dengan cara yang makruf. Pengertian makruf (baik-baik) menurut Mohd. Idris Ramulyo dalam Hukum Perkawinan Islam ialah antara suami istri harus saling menghormati dan wajib menjaga rahasia masing-masing.6

ô`ÏBur ÿ¾ÏmÏG»tƒ#uä ÷br& t,n=y{ /ä3s9 ô`ÏiB öNä3Å¡àÿRr& %[`ºurø—r& (#þqãZä3ó¡tFÏj9 $ygøŠs9Î) Ÿ@yèy_ur Nà6uZ÷•t/ Zo¨Šuq¨B ºpyJômu‘ur ....4 7

Ayat tersebut senada dengan tujuan perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam Pasal 3 bahwa perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmat.

Apabila pergaulan kedua suami istri tidak dapat mencapai tujuan-tujuan tersebut, maka hal itu akan mengakibatkan berpisahnya dua keluarga. Karena tidak adanya kesepakatan antara suami istri, maka dengan keadilan Allah swt. dibukakan-Nya suatu jalan keluar dari segala kesukaran itu, yakni pintu

4

Mohd.Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Ctk. Pertama, Jakarta, Bumi Aksara, 1996, hlm.62-63.

5 Q.S An-Nisa’ (4) : 19 6 Ibid., hlm.63

(9)

21

perceraian. Mudah-mudahan dengan adanya jalan itu terjadilah ketertiban dan ketentraman antara kedua belah pihak, dan supaya masing-masing dapat mencari pasangan yang cocok yang dapat mencapai apa yang dicita-citakan.

Sebenarnya putusnya perkawinan merupakan hal yang wajar saja, karena makna dasar sebuah akad nikah adalah ikatan atau dapat juga dikatakan perkawinan pada dasarnya adalah kontrak.8

Meskipun perceraian dalam Islam hukumnya diperbolehkan. Perceraian dalam hukum Islam adalah sesuatu perbuatan halal yang mempunyai prinsip dilarang oleh Allah swt. Berdasarkan hadist Nabi Muhammad saw. sebagai berikut :

قﻼﻄﻟا ﷲا ﻰﻟإ لﻼﺤﻟا ﺾﻐﺑا

Berdasarkan hadist tersebut, menunjukkan bahwa perceraian merupakan alternatif terakhir (pintu darurat) yang dapat dilalui oleh suami istri bila ikatan perkawinan (rumah tangga) tidak dapat dipertahankan keutuhan dan kelanjutannya. Sifat alternatif terakhir dimaksud, berarti sudah ditempuh berbagai cara dan teknik untuk mencari kedamaian di antara kedua belah pihak, baik melalui hakam (arbitrator) dari kedua belah pihak maupun langkah-langkah dan teknik yang diajarkan oleh Alqur’an dan Alhadist. 9

Hukum Perkawinan Nasional sendiri, yakni UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dalam Pasal 38 disebutkan bahwa perkawinan dapat

8 Amiur Nuruddin, Loc.Cit., hlm. 207. 9

Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Ctk.pertama, Jakarta, Sinar Grafika, 2006, hlm.73.

(10)

22

putus karena : (1). kematian salah satu pihak, (2) perceraian baik atas tuntutan suami maupun istri, (3) karena putusnya pengadilan.

Kemudian dalam Pasal 39 UU Perkawinan disebutkan :

1) Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami-istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami-istri.

3) Tata cara perceraian di depan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan perundangan tersendiri.

Ketentuan dalam Pasal di atas menentukan bahwa UU Perkawinan menganut prinsip mempersukar perceraian, mengingat perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan, dan dengan alasan-alasan yang terbukti bahwa suami-istri tersebut memang tidak dapat dirukunkan kembali.

Mengenai Pengadilan mana yang berwenang, dapat dilihat dalam Pasal 49 UU No 7 Tahun 1989 jo UU No 3 Tahun 2006 tentang Pengadilan Agama yang menyatakan bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang :a. Perkawinan; b. Waris; c. Wasiat; d. Hibah; e. Wakaf; f.Zakat; g. Infaq; h. Shadaqah; dan i. Ekonomi syariah.

(11)

23

“Yang dimaksud dengan “perkawinan” adalah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan Undang-Undang mengenai perkawinan yang berlaku yang dilakukan menurut syari’ah antara lain :

1. Izin beristri lebih dari seorang

2. Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang berusia 21 (dua puluh satu) tahun, dalam hal orang tua wali, atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat

3. Dispensasi kawin 4. Pencegahan perkawinan

5. Penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah 6. Pembatalan perkawinan

7. Gugatan kelalaian atas kewajiban suami dan istri 8. Perceraian karena talak

9. Gugatan perceraian

10. Penyelesaian harta bersama 11. Penguasaan anak-anak

12. Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bilamana bapak yang seharusnya bertanggung jawab tidak mematuhinya

13. Penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas istri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri 14. Putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak

(12)

24

16. Pencabutan kekuasaan wali

17. Penunjukan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut

18. Penunjukan seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18 (delapan belas) tahun yang ditinggal kedua orangtuanya

19. Pembebanan kewajiban ganti kerugian atas harta benda anak yang ada di bawah kekuasaannya

20. Penetapan asal-usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam

21. Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan campuran

22. Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain.

Talak adalah suatu bentuk perceraian menurut hukum Islam yang umum yang banyak terjadi di Indonesia. Mohd.Idris Ramulyo dalam Hukum Perkawinan Islam menyebutkan bahwa kewajiban suami yang telah menjatuhkan talak terhadap istrinya adalah :1). memberi mut’ah (pemberian untuk menggembirakan hati) kepada bekas istri, 2). Memberi nafkah, pakaian dan tempat kediaman untuk istri yang ditalak itu selama ia masih dalam

(13)

25

keadaan ‘iddah, 3). Membayar atau melunaskan mas kawin, 4). Membayar nafkah untuk anak-anaknya.10

Peraturan Pelaksana UU Perkawinan yaitu Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 dalam Pasal 24 ayat (2) mengatur bahwa selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan penggugat atau tergugat, pengadilan dapat : a. menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami; b. menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak; c. menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami-istri atau barang-barang-barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak istri.

Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat dikatakan bahwa UU Perkawinan dan Peraturan Pelaksananya, PP No 9 tahun 1975 menyerahkan kewenangan pelaksanaan persoalan mengenai kewajiban dan hak setelah adanya perceraian tersebut kepada majelis hakim dengan memperhatikan dan mempertimbangkan segala seginya.

Sedangkan kemudian dalam Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1983 juncto Peraturan Peerintah No. 45 tahun 1990 ditemukan aturan mengenai ketentuan pembagian gaji bagin Pegawai Negeri Sipil yang melaini ketentuan dalam UU Perkawinan tersebut.

Berbagai tulisan dan kajian tersebut di atas pada pokoknya menjelaskan masalah perkawinan dan hal-hal yang muncul berkaitan dengan adanya ikatan perkawinan maupun putusnya perkawinan tersebut secara umum. Oleh karena

(14)

26

itu, guna melengkapi tulisan-tulisan yang telah ada penyusun mencoba meninjau bagaimana ketentuan mengenai pembagian gaji setelah perceraian dalam PP No 10 Tahun 1983 juncto PP No 45 Tahun 1990 tersebut diterapkan.

E.Metode Penelitian

1. Objek Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana ketentuan pembagian gaji setelah perceraian yang ada dalam PP No.10 Tahun 1983 juncto PP No.45 Tahun 1990 diterapkan dalam putusan pengadilan dalam kaitannya dengan pertimbangan hakim dalam menetapkan kewajiban biaya kehidupan bagi anak dan mantan istri setelah perceraian.

2. Sumber Data

Sumber data primer dalam skripsi ini diperoleh dari hasil wawancara secara bebas dengan hakim Pengadilan Agama Wates yang memutus perkara perceraian yang putusan pengadilannya menjadi data sekunder dalam penelitian ini. Sehingga data sekunder dalam skripsi ini adalah dokumen berupa putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap mengenai perceraian PNS yang mencakup permasalahan mengenai pembagian gaji sebagai akibat perceraian tersebut khusus dalam penelitian ini yaitu Putusan Perkara No. 069/Pdt.G/2006/PA.Wt, Perkara No. 251/Pdt.G/2006/PA.Wt, dan Perkara No. 176/Pdt.G/2007/PA.Wt. serta hasil dari studi kepustakaan terhadap buku fiqh, buku hukum umum, peraturan perundang-undangan, karya tulis ilmiah dan sumber-sumber pustaka lain yang menunjang penelitian ini.

(15)

27

3. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menelusuri dan mempelajari putusan pengadilan dalam hal ini yaitu putusan-putusan pengadilan mengenai perkara perceraian PNS yang berkaitan erat dengan permasalahan pembagian gaji kepada bekas istri dan anak sebagai akibat perceraian, khusus dalam penelitian ini yaitu Putusan Perkara No. 069/Pdt.G/2006/PA.Wt, Perkara No. 251/Pdt.G/2006/PA.Wt, dan Perkara No. 176/Pdt.G/2007/PA.Wt. Terhadap putusan pengadilan tersebut kemudian dilakukan wawancara secara bebas pada hakim yang terkait guna menguatkan pemahaman penulis terhadap materi putusan perkara yang dimaksud. Selain itu juga dengan melakukan studi kepustakaan terhadap peraturan perundang-undangan, buku hukum umum, buku fiqh, karya tulis ilmiah dan sumber-sumber pustaka lain yang relevan dengan permasalahan dalam penelitian skripsi ini.

4. Pendekatan yang Digunakan

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif, yakni untuk memahami suatu masalah yang diteliti dengan mendasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku dan ketentuan nash Al-Qur’an , Al-Hadist maupun kitab-kitab fiqh. Serta melalui pendekatan yuridis yakni dengan melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan penelitian ini yang telah menjadi putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, untuk memahami sekaligus menganalisa putusan hakim khusus dalam hal pelaksanaan ketentuan

(16)

28

pembagian gaji PNS sebagai akibat perceraian. Dalam kaitannya dengan penelitian ini adalah bagaimana ketentuan pembagian gaji setelah perceraian menurut PP No 10 tahun 1983 juncto PP No 45 Tahun 1990 diterapkan dalam putusan hakim yang dikaitkan dengan kewajiban nafkah dan biaya kehidupan setelah perceraian dengan meninjau putusan-putusan pengadilan dalam perkara cerai talak PNS di Pengadilan Agama Wates.

5. Analisis Data

Data yang berupa data sekunder tersebut disusun secara sistematis, sehingga diperoleh gambaran menyeluruh mengenai masalah ketentuan pembagian gaji setelah perceraian dengan meninjau aturan mengenai nafkah ‘iddah dan mut’ah dalam Islam, dan aturan dalam hukum positif selanjutnya data tersebut dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif. Analisa kualitatif disebut juga analisa non statistik yang sesuai untuk data deskriptif atau data textular. Data deskriptif sering hanya dianalisis menurut isinya, oleh karena itu analisa semacam ini juga disebut analisis isi (content

analysis).11 Sedangkan dalam mengambil kesimpulan digunakan pola

berpikir deduktif yaitu suatu cara menarik kesimpulan dari yang umum ke yang khusus, sedangkan pola berpikir induktif yaitu suatu cara menarik kesimpulan dari yang khusus ke yang umum.12

11

Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, Ed. 1, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm. 40.

12

Referensi

Dokumen terkait

Deskripsi Unit : Unit kompetensi ini berhubungan dengan pengetahuan, keterampilan dan sikap kerja yang dibutuhkan untuk melakukan komunikasi melalui telepon dengan tamu

Berdasarkan masalah yang ada, maka dalam penelitian ini peneliti merumuskan masalah yakni untuk mengetahui “adakah perbandingan kemampuan menyikat gigi sebelum dan

Solusi yang terdapat pada pemberitaan konflik etnis Rohingya dan militer Myanmar di Tirto.id berasal dari narasumber yang dipilih Tirto.id, dan bukan berasal dari redaksi

Apabila supervisor akan menggunakan orientasi langsung dalam melaksanakan supervisi pengajaran, maka bentuk aplikasinya dalam proses supervisi klinik akan sebagai berikut:

motivasi kerja PNS tidak mempengaruhi komitmen organisasional para pegawai. Faktor lain yang mempengaruhi komitmen organisasional yaitu

Muchtar, Gunung

 Provided direction for day-to-day operations of Company in all areas, including sales, marketing, administration and financial reporting creating a more unified operation. 

Menurut Shunji Murai, Sistem Informasi Geografis (SIG) diartikan sebagai sistem informasi yang digunakan untuk memasukkan, menyimpan, memangggil kembali, mengolah, menganalisis