• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN - OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN NEGERI BADAN HUKUM (PTNI-BH) Repository - UNAIR REPOSITORY

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN - OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN NEGERI BADAN HUKUM (PTNI-BH) Repository - UNAIR REPOSITORY"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sebagaimana terdapat dalam Alinea Keempat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI 1945)1 yang sangat otentik menyebutkan mengenai tujuan negara salah satunya melalui pendidikan yakni “mencerdaskan kehidupan bangsa” tentunya berkaitan erat

dengan peran Pemerintah sebagai pemegang amanat Konstitusi dan pengampu amanat penderitaan rakyat. Esensi selanjutnya adalah melakukan penjabaran poin “mencerdaskan kehidupan bangsa” yakni terdapat dalam Pasal 31 UUD NRI 1945

yang pada intinya adalah 1) Setiap rakyat Indonesia berhak mendapatkan Pendidikan, 2) Pemerintah haruslah memberikan sistem Pendidikan yang tepat dan layak.

Dalam Analisis kaum Marxian (penganut paham Marxisme yang dibawa oleh seorang filsuf Rusia, Karl Marx) tentang sebuah paham yang dikatakan sebagai paham Neo-liberalisme yang menganggap bahwa semua sektor kehidupan bermasyarakat harus diserahkan kepada mekanisme Pasar Bebas, termasuk juga dalam sektor pendidikan. Isu yang diangkat oleh kaum-kaum Neo-liberal adalah globalisasi, memang dalam hal ini globalisasi dapat berperan positif dalam perkembangan pendidikan berkaitan dengan teknologi dan informasi yang mudah diakses oleh siapapun, namun dalam hal yang lain teori Pasar Bebas dalam paham Neo-liberal yang meletakkan pendidikan semata-mata untuk mengeruk

(2)

keuntungan. Ada beberapa cara yang dilakukan kaum Neo-liberal untuk mengeruk keuntungan dari pendidikan dan melebarkan paham yang mereka anut melalui pendidikan. Pertama, berusaha melepaskan tanggung jawab pemerintah terhadap pembiayaan sektor pendidikan yang menjadi hak dari rakyat sehingga dapat menjadi lahan bagi pihak swasta untuk mengambil alih peran Pemerintah sebagai lahan bisnis mereka. Kedua, adalah menjadikan pendidikan sebagai upaya industrialisasi, dalam hal ini pendidikan bukan menjadi hak masyarakat. Namun, pemodal akan menjual pendidikan sehingga barangsiapa yang bisa membayar lebih maka dia akan mendapat pendidikan yang lebih, sedangkan yang tidak mampu membayar maka akan mendapatkan pendidikan yang ala kadarnya. Selain itu, pendidikan hanya dibatasi sebagai upaya melakukan pola pikir atau mindset masyarakat agar mudah dijadikan budak industrialisasi yang menjadi agenda dari kaum Neo-liberalis. Ketiga, adalah pendidikan menjadi sebuah upaya indoktrinasi kaum Neo-Liberal terhadap masyarakat sehingga akan terjadi perubahan gaya hidup dan pola-pola kehidupan seperti kaum Neo-Liberal seperti hilangnya kesadaran berbangsa, bernegara, dan berbudaya sesuai dengan kehidupan bangsa dan negaranya.

Seiring dengan berkembangnya zaman dalam menyikapi liberalisasi pendidikan yang begitu masif terjadi adalah pola berpikir kritis dalam mahzab atau aliran Pendidikan Kritis. Aliran Pendidikan Kritis (critical pedagogy)2 merupakan suatu aliran yang meyakini adanya muatan politik pada semua aspek

2 M. Agus Nuryatno.,Mahzab Pendidikan Kritis : Menyingkap Relasi Pengetahuan, Politik, dan

(3)

kependidikan. Aliran ini menjadi antitesa dari mahzab pendidikan liberal yang telah berkembang pada saat ini bahwa posisi masyarakat golongan menengah ke atas saja yang boleh mengenyam pendidikan dan kekuasaan seperti memanfaatkan posisi tersebut sehingga pendidikan merupakan komoditas utama yang diperjual belikan.

Sebagai ideologi yang mendunia, Kapitalisme tidak hanya dalam wilayah ekonomi, melainkan sudah merambah kepada dunia pendidikan. Dampak yang terlihat jelas adalah pendidikan yang digambarkan melalui determinasi ilmu yang ditujukan kepada peserta didik hanya digunakan sebagai jalan menuju dunia industri saja. Peserta didik serasa dibutakan sehingga tidak mampu mengasah critical subjectivity, yakni kemampuan untuk melihat dunia secara kritis. Pendidikan Tinggi yang seharusnya diselenggarakan sebagai bentuk badan publik akan semakin berkurang dengan adanya intervensi asing. Pendidikan Tinggi yang memiliki nilai-nilai yang luhur, demokratis, dan dibentengi oleh kekuatan “civil society”3 sekarang mulai mengedepankan pertimbangan-pertimbangan komersial

yang dikemas menjadi macam-macam bentuk pengelolaan Perguruan Tinggi Negeri. Terlebih terdapat legalitas yang mendukung keberadaan komersialisasi tersebut.

Di Indonesia terdapat beberapa Peraturan Perundang-Undangan yang disinyalir sebagai “pesanan asing” seperti Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009

(4)

tentang Badan Hukum Pendidikan4 (UU BHP) terutama dalam bidang Pendanaan dan otonomi perguruan tinggi sehingga pemerintah dapat secara perlahan-lahan menarik diri dari kewajiban untuk menjamin kecerdasan kehidupan berbangsa dalam upaya pendidikan nasional. Namun, keberadaan UU BHP tidak berlangsung lama karena dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11-14-21-126-136/PUU-VII/20095 yang membatalkan UU BHP yang dinilai bertentangan dengan UUD NRI 1945. Dalam Amar Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menyebutkan bahwa “kerugian seperti negara melepaskan

tanggung jawabnya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa yang merata bagi masyarakat dan menurunkan kualitas pengelolaan institusi pendidikan oleh karena adanya kegiatan lain diluar peningkatan keilmuan”6.

Namun, kewaspadaan masyarakat sekejap sirna setelah dibatalkannya UU BHP muncul metamorfosis UU BHP berupa Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi7 (UU Dikti) yang disahkan dan mulai berlaku pada tanggal 10 Agustus 2012 yang menambah kerisauan masyarakat terhadap pelaksanaan Pendidikan Tinggi. UU Dikti merupakan peraturan yang terkesan dipaksakan oleh Pemerintah setelah Pencabutan UU BHP oleh Mahkamah

4 Indonesia, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan,

Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2009 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4965.

5 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14-11-21-126-136/PUU-VII/2009 perihal pengujian

Undang No. 9 tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, tanggal 31 Maret 2010.

6 Ibid., Konsideran Menimbang Amar Putusan, Hal 15-16,

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/Putusan%20Perkara%20No.11-14-21-126%20-136PUU-VII-2009.pdf, dikunjungi pada tanggal 22 Agustus 2014

7 Indonesia, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, Lembaran

(5)

Konstitusi yang bisa diartikan sebagai pelaksanaan misi “melepas kewajiban”

terhadap pendidikan nasional. Dalam hal ini pemaksaan kehendak Pemerintah untuk melakukan komersialisasi juga dapat dilihat dalam Pasal 24 ayat (4) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas 2003)8 yang seharusnya amanat membuat peraturan mengenai pendidikan harusnya berbentuk Peraturan Pemerintah (PP) dan bukan berbentuk Undang-Undang (UU). Oleh karena itu, keberadaan UU Dikti sangatlah janggal9. UU Dikti menyebutkan bahwa otonomi perguruan tinggi menjadi “roh” dari

Undang-Undang tersebut. Dampak otonomi tersebut yang dapat diartikan sebagai upaya “Privatisasi PTN” sehingga segala bentuk pengelolaannya dikelola secara

mandiri oleh PTN tanpa melibatkan hal-hal yang berhubungan dengan keuangan negara. Didalam UU Dikti yang dijelaskan sebagai Otonomi Perguruan Tinggi bersifat sebagai Otonomi Perguruan Tinggi terhadap bidang keilmuan yang dijelaskan dalam Pasal 8 ayat (1) UU Dikti menyatakan bahwa dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berlaku kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan.

Selain pada Pasal 8 ayat (1) UU Dikti yang menyebutkan mengenai otonomi keilmuan, terdapat peristilahan otonomi yang berbeda lagi dalam UU

8 Indonesia, Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301.

9 Mahesa Danu, “Alasan Menolak UU Pendidikan Tinggi”,

(6)

Dikti yang terdapat dalam Pasal 62 ayat (1) UU Dikti yakni mengenai otonomi pengelolaan perguruan tinggi. Pasal 62 ayat (1) UU Dikti menyatakan bahwa perguruan tinggi memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan tridharma. Dari kedua peristilahan tersebut tampakt adanya hubungan kausalitas yang dapat diartikan dalam beberapa pengertian, Pertama agar dapat melakukan otonomi keilmuan maka Perguruan Tinggi Negeri harus memiliki otonomi pengelolaan Perguruan Tinggi yang dapat diartikan bahwa otonomi keilmuan merupakan hasil dari otonomi pengelolaan Perguruan Tinggi Negeri. Dalam hal ini diartikan bahwa otonomi pengelolaan Perguruan Tinggi sebagai upaya “swastanisasi” perguruan tinggi merupakan langkah untuk

melakukan otonomi Keilmuan, atau Kedua otonomi pengelolaan Perguruan Tinggi Negeri dapat diberikan oleh Pemerintah jika Perguruan Tinggi Negeri telah berhasil melakukan otonomi keilmuan. Dalam pengertian yang kedua ini masih terdapat sisi positif dikarenakan dengan keberhasilan Perguruan Tinggi Negeri melakukan otonomi keilmuan, Pemerintah dapat memberikan “reward”

berupa otonomi pengelolaan Perguruan Tinggi Negeri yang tentunya dalam pengawasan Pemerintah.

(7)

Badan Layanan Umum dan/atau Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum yang ketentuannya berbunyi sebagai berikut

Pasal 65

(1) Penyelenggaraan otonomi Perguruan Tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 dapat diberikan secara selektif berdasarkan evaluasi kinerja oleh Menteri kepada PTN dengan menerapkan Pola Keuangan Badan Layanan Umum atau dengan membentuk PTN badan Hukum untuk menghasilkan Peendidikan Tinggi bermutu

(2) PTN yang menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki tata kelola dan kewenangan pengelolaan sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan (3) PTN badan Hukum sebagaimana dimaksud ayat (1) memiliki :

a. kekayaan awal berupa kekayaan negara yang dipisahkan kecuali tanah; b. tata kelola dan pengambilan keputusan secara mandiri;

c. unit yang melaksanakan fungsi akuntabilitas dan transparansi; d. hak mengelola dana secara mandiri, transparan, dan akuntabel;

e. wewenang mengangkat dan memberhentikan sendiri dosen dan tenaga kependidikan;

f. wewenang mendirikan badan usaha dan mengembangkan dana abadi; dan

g. wewenang untuk membuka, menyelenggarakan, atau menutup program studi

Berdasarkan Pasal tersebut dapat dibandingkan mengenai bentuk Badan Hukum PTN dengan ketentuan yang ada pada Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN)10 yang berbunyi : Pasal 1

1. Badan Usaha Milik Negara, yang selanjutnya disebut BUMN, adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan

2. ... dst.

Berdasarkan ketentuan pasal-pasal tersebut terdapat kesamaan istilah dalam dua Undang-Undang yang berbeda tersebut yakni dalam peristilahan “kekayaan

10 Indonesia, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara,

(8)

negara yang dipisahkan”, sehingga dapat ditarik pemikiran apakah terdapat kesamaan dalam istilah dalam kedua Peraturan Perundang-Undangan tersebut yang jelas-jelas berbeda penerapannya. Hal tersebut yang dapat menjadi pekerjaan rumah bagi segenap “stakeholder” Perguruan Tinggi Negeri agar dapat menyikapi

kebijakan Pemerintah terkait Pendidikan Tinggi yang jika tidak dikaji lebih jauh maka akan menimbulkan kerugian yang semakin banyak pula.

1.2 Rumusan Masalah

Pada bagian Latar Belakang telah dipaparkan beberapa masalah terkait Pengelolaan Pendidikan Tinggi melalui mekanisme pembentukan Perguruan Tinggi Badan Hukum (PTN-BH), karena terdapat banyak masalah terkait hal tersebut maka penulisan skripsi ini akan difokuskan pada 2 (dua) permasalahan yang timbul, yaitu:

1. Status Badan Hukum PTN-BH yang diatur dalam UU Dikti

2. Akibat hukum atas otonomi pengelolaan keuangan yang diberikan kepada PTN-BH

1.3 Tujuan dan Manfaat Penulisan

Adapun tujuan Penulisan Skripsi ini adalah untuk :

1. Memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Airlangga;

2. Mengulas mengenai kedudukan Perguruan Tinggi Badan Hukum dalam UU Dikti;

(9)

Badan Hukum yang memiliki beragam makna.

4. Membahas mengenai akibat hukum yang ditimbulkan oleh bentuk Badan Hukum Perguruan Tinggi Negeri.

Sedangkan manfaat penulisan skripsi ini adalah untuk :

1. Sarana pembelajaran masyarakat tentang fungsi dan kedudukan Perguruan Tinggi Negeri yang sekarang memiliki bentuk Badan Hukum dan dampaknya bagi kelangsungan Pendidikan Tinggi di Indonesia;

2. Sarana pendidikan terhadap seluruh Mahasiswa di Indonesia agar lebih kritis terhadap segala bentuk implikasi positif maupun negatif yang ditimbulkan dari peraturan perundang-undangan tentang Pendidikan Tinggi tersebut;

3. Sarana penulisan yang lebih luas dan mendalam terkait masalah Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN-BH) dalam rezim UU Dikti terkait dampak positif dan negatif dalam peraturan perundang-undangan tersebut.

1.4 Metode Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode penulisan skripsi sebagai berikut :

1.4.1 Tipe Penulisan

(10)

permasalahan yang sedang ditulis. Selain itu, metode penulisan Yuridis Normatif ini dilakukan dengan tujuan memberikan preskripsi mengenai apa yang seharusnya atas masalah yang diajukan, oleh karena itu saran yang dihasilkan dari penelitian harus sedapat mungkin dapat diterapkan

1.4.2 Pendekatan Masalah

Berdasarkan pendapat Peter Mahmud Marzuki, pendekatan-pendekatan yang dapat digunakan dalam metode penelitian hukum adalah “Pendekatan

Undang-Undang (Statute Approach), Pendekatan Kasus (Case Approach), Pendekatan Historis (Historical Approach), Pendekatan Komparatif (Comparative Approach), dan Pendekatan Konseptual (Conseptual Approach)”11.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan beberapa pendekatan masalah sebagai berikut :

1. Statute Approach yaitu dilakukan dengan menelaah peraturan perundang-undangan yang berlaku dan yang berkaitan dengan isu hukum yang sedang diangkat oleh Penulis dengan cara mencari ratio legis dan dasar ontologis lahirnya peraturan perundang-undangan yang terkait dengan adanya Perguruan Tinggi Badan Hukum (PTN-BH) dan peraturan yang terkait lainnya.

2. Conseptual Approach yaitu dilakukan dengan menelaah sebuah konsep melalui kajian-kajian terhadap doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum. Dalam hal ini penulis berusaha untuk mengkaji konsepsi

(11)

“kekayaan negara yang dipisahkan” dalam Undang-Undang Nomor 12

Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.

3. Historical Approach yaitu dilakukan dengan melacak peraturan perundang-undangan terkait keberadaan Perguruan Tinggi Badan Hukum (PTN-BH) atau lembaga yang sejenis sehingga penulis dapat membandingkan landasan konsep filosofis terkait peraturan perundang-undangan tersebut.

1.4.3 Sumber Bahan Hukum

Dikarenakan dalam penelitian hukum tidak mengenal adanya data sebagai sumber penelitian, maka untuk memecahkan isu hukum, diperlukan sebuah sumber-sumber bahan penelitian, antara lain :

1. Bahan Hukum Primer

Bahan Hukum Primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif yang berarti bahwa Bahan Hukum tersebut mempunyai kekuatan mengikat dikarenakan otoritasnya dan dapat dipertanggungjawabkan sebagai peraturan perundang-undangan, yaitu :

1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang telah diamandemen beserta penjelasannya.

2) BW (Burgerlijk Wetboek)

(12)

4) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1961 tentang Perguruan Tinggi, Lembaran Negara Tahun 1961 Nomor 302, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2361.

5) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1969 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1969 tentang Bentuk-bentuk Usaha Negara Menjadi Undang-Undang, Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2904.

6) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Lembaran Negara Tahun 1989 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3390.

7) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Pendapatan Negara Bukan Pajak, Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 43, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3687.

8) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3502.

9) Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok Kepegawaian Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3890.

(13)

Negara Tahun 2001 Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4132.

11)Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4279.

12)Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4286.

13)Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4297.

14)Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4301.

15)Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4355.

16)Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan, Pengelolaan, dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4400.

(14)

Lembaran Negara Tahun 2005 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4586.

18)Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4756.

19)Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan, Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4965.

20)Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, Lembaran Negara Tahun 2012 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5336.

21)Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparartur Sipil Negara, Lembaran Negara Tahun 2014 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5494.

22)Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, Lembaran Negara Tahun 2014 Nomor 292, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5601.

23)Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah. Lembaran Negara Tahun 1963 Nomor 61

(15)

Tambahan Lembaran Negara Nomor 3732.

25)Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri sebagai Badan Hukum. Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3860. 26)Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2000 tentang Perusahaan

Jawatan (PERJAN). Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3928.

27)Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum, Lembaran Negara Tahun 2005 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4502

28)Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2012 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum, Lembaran Negara Tahun 2012 Nomor 171, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5340.

29)Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2013 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah, Lembaran Negara Tahun 2013 Nomor 14, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3643. 30)Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2013 tentang Bentuk dan

Mekanisme Pendanaan Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum, Lembaran Negara Tahun 2013 Nomor 142, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5348.

(16)

Universitas Indonesia, Lembaran Negara Tahun 2013 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5455.

32)Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi dan Pengelolaan Pendidikan Tinggi, Lembaran Negara Tahun 2014 Nomor 16, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5500.

33)Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2014 tentang Statuta Universitas Airlangga, Lembaran Negara Tahun 2014 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5535.

34)Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 2013 tentang Statuta Universitas Bengkulu, Berita Negara Nomor 847.

35)Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor. 14-11-21-126-136/PUU/VII tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

36)Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor. 111/PUU-X/2012 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

(17)

tentang Pendidikan Tinggi terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

38)Fatwa Mahkamah Agung RI Nomor WKMA/Yud/20/VIII/2006 tanggal 6 Agustus 2006 terkait Surat Menteri Keuangan RI Nomor S-324/MK.01/2006 tanggal 26 Juli 2006.

2. Bahan Hukum Sekunder

Bahan Hukum Sekunder bersumber dari bahan kepustakaan berupa buku-buku, artikel dari majalah maupun Internet, karya ilmiah tentang hukum , serta bacaan lainnya yang dianggap relevan dengan topik pembahasan yang sedang diteliti.

1.4.4 Pengumpulan dan Pengolahan Bahan Hukum

1. Pengumpulan dan Pengolahan Bahan Hukum

Bahan Hukum Primer dikumpulkan dengan cara meneliti ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Perundang-Undangan yang mengatur tentang Permasalahan yang diteliti, sedangkan Bahan Hukum Sekunder dikumpulkan dengan menggunakan sistem studi kepustakaan.

2. Analisa Bahan Hukum

(18)

Referensi

Dokumen terkait

Untuk mewujudkan kegiatan dimaksud, khususnya kegiatan Lomba, Festival dan Olimpiade tahun 2018 telah disusun berbagai kebijakan dan strategi yang kemudian dijabarkan dalam

PENGGUNAAN MEDIA GAMBAR SERI UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN MENULIS KARANGAN NARASI SISWA SEKOLAH DASAR.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah instrumen validitas perangkat pembelajaran fisika model problem posing yang terdiri dari instrumen validasi

Uji multikolinearitas dimaksudkan untuk mengetahui apakah dalam suatu model regresi terjadi korelasi antara variabel bebas yang satu dengan yang lainnya atau tidak. Uji

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui implementasi kegiatan tugas piket untuk mengembangkan karakter mandiri, disiplin dan tanggung jawab, bentuk perkembangan karakter

By our indifference to the presidents both in practice and in the halls of academia perhaps we should heed the warnings of Lincoln who said ˆThe philosophy of the school room in

Banyaknya diagram sequence yang harus digambar adalah sebanyak pendefinisian use case yang memiliki proses sendiri atau yang penting semua use case yang telah

Metode penelitian yang digunakan adalah metode survei dengan pertimbangan antara penelitian pemeliharaan itik lokal petelur dengan menggunakan ransum tepung limbah ikan gabus pasir